Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Puji dan Syukur Atas Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat Rahmat dan HidayahNya,
sehingga Penulis dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah tentang ASKEP dengan kasus
Inkontinensia Urine ini dengan baik dan tepat pada waktunya.
Pada makalah ini Penulis membahas tentang ASKEP dengan kasus Inkontinensia
Urine. dalam pembuatan makalah ini penulis menyadari bahwa tidak dapat menyelesaikan
makalah ini dengan sendirinya, sehingga banyak pihak-pihak yang ikut terlibat dalam pembuatan
makalah ini. Maka dari itu penulis ingin mengucapkan terimah kasih kepada semua pihak yang
telah ikut membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah yang dibuat masih sangat jauh dari kesempurnaan.
Sehingga penulis masih sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar penulis
dapat memperbaikinya dikemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Sekian kata pengantar dari penulis. Terima Kasih.
Mataram,November 2017
DAFTAR ISI
HAL JUDUL...................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang.............................................................................................................. 1
1. Tujuan ........................................................................................................................... 1
1. Pengertian............................................................................................................. 2
2. Etiologi................................................................................................................. 3
3. Patofisiologi.......................................................................................................... 3
4. Manifestasi klinis.................................................................................................. 6
5. WOC.................................................................................................................... 7
6. Klasifikasi............................................................................................................. 8
7. Pemeriksaan Diagnostik....................................................................................... 10
8. Penatalaksanaan.................................................................................................... 11
2. ASKEP Teori................................................................................................................. 14
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan.............................................................................................................. 42
4.2 Saran........................................................................................................................ 42
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PEDAHULUAN
1. Latar Belakang
Inkontinensia urin merupakan salah satu masalah besar di bidang gerontik yang perlu mendapat
perhatian serius. Masalah itu tampaknya akan menjadi salah satu masalah kesehatan dan
psikososial yang sering dijumpai di masa mendatang seiring dengan makin banyaknya jumlah
usia lanjut di Indonesia.
Data di luar negeri menyebutkan bahwa 15 30 % usia lanjut yang tinggal di masyarakat dan 50
% usia lanjut yang di rawat menderita inkontinensia urun. Pada tahun 1999, dari semua pasien
yang di rawat di RSUPN Cipto Mangunkusumo di dapatkan angka kejadian inkontinensia urin
sebesar 10%, dan pada tahun 2000, angka kejadian inkontinensia urin meningkat menjadi 12%.
Inkontinensia urin seringkali menyebabkan pasien dan atau keluarganya frustasi, bahkan depresi.
Bau yang tidak sedap, perasaan kotor, tidak suci untuk beribadah tentu menimbulkan masalah
sosial dan psikologis. Selain itu, adanya inkontinensia urin juga akan mengganggu aktivitas fisik,
seksual, dan pekerjaan. Secara tidak langsung masalah itu juga dapat menyebabkan dehidrasi
karena umumnya pasien akan mengurangi minumnya karena khawatir mengompol. Dekubitus,
infeksai saluran kemih berulang, jatuh, dan tidak kalah pentingnya adalah biaya perawatan yang
tinggi untuk pembelianpampers, kateter adalah masalah yang juga dapat timbul akibat
inkontinensia urin.
2. Tujuan
Mahasiswa mengetahui bagaimana konsep teori serta asuhan keperawatan yang tepat untuk klien
inkontinensia urine pada lansia. Dan dapat menerapkannya dalam praktek pemberian asuhan
keperawatan kepada pasien.
BAB II
KONSEP TEORI
1. Pengertian
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak terkendali atau
terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth, 2002).
Inkontinensia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang tidak terkendali pada waktu yang
tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya,yang mengakibatkan masalah
social dan higienis pendeitanya (FKUI, 2006).
Menurut International Continence Sosiety, inkontinensia urine adalah kondisi keluarnya urin tak
terkendali yg dpt didemonstrasikan secara obyektif dan menimbulkan gangguan hygiene dan
social.
Inkontinensia urine adalah pelepasan urine secara tidak terkontrol dalam jumlah yang cukup
banyak. Sehingga dapat dianggap masalah bagi seseorang.
2. Etiologi
1) Persalinan pervaginan
Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan
jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya
inkontinensia urine.
2) Proses menua
Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas),
akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga
menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Semakin tua seseorang semakin besar
kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih
dan otot dasar panggul.
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran kemih
bisa menyebabkan inkontinensia urine
3. Patofisiologi
Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan rangkaian koordinasi
proses fisiologik berurutan yang pada dasarnya dibagi menjadi 2 fase. Pada keadaan normal
selama fase pengisian tidak terjadi kebocoran urine, walaupun kandung kemih penuh atau
tekanan intra-abdomen meningkat seperti sewaktu batuk, meloncat-loncat atau kencing dan
peningkatan isi kandung kemih memperbesar keinginan ini. Pada keadaan normal, dalam hal
demikian pun tidak terjadi kebocoran di luar kesadaran. Pada fase pengosongan, isi seluruh
kandung kemih dikosongkan sama sekali. Orang dewasa dapat mempercepat atau memperlambat
miksi menurut kehendaknya secara sadar, tanpa dipengaruhi kuatnya rasa ingin kencing. Cara
kerja kandung kemih yaitu sewaktu fase pengisian otot kandung kemih tetap kendor sehingga
meskipun volume kandung kemih meningkat, tekanan di dalam kandung kemih tetap rendah.
Sebaliknya otot-otot yang merupakan mekanisme penutupan selalu dalam keadaan tegang.
Dengan demikian maka uretra tetap tertutup. Sewaktu miksi, tekanan di dalam kandung kemih
meningkat karena kontraksi aktif otot-ototnya, sementara terjadi pengendoran mekanisme
penutup di dalam uretra. Uretra membuka dan urine memancar keluar. Ada semacam kerjasama
antara otot-otot kandung kemih dan uretra, baik semasa fase pengisian maupun sewaktu fase
pengeluaran. Pada kedua fase itu urine tidak boleh mengalir balik ke dalam ureter (refluks).
Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan tanpa kendali. Sfingter uretra
eksternal dan otot dasar panggul berada dibawah control volunter dan disuplai oleh saraf
pudenda, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di bawah
kontrol sistem safar otonom,yang mungkin dimodulasi oleh korteks otak. Kandung kemih terdiri
atas 4 lapisan, yakni lapisan serosa, lapisan otot detrusor, lapisan submukosa dan lapisanmukosa.
Ketika otot detrusor berelaksasi, pengisian kandung kemih terjadi dan bila otot kandung kemih
berkontraksi pengosongan kandung kemih atau proses berkemih berlangsung. otot detrusor
adalah otot kontraktil yang terdiri atas beberapa lapisan kandung kemih. Mekanisme detrusor
meliputi otot detrusor,saraf pelvis, medula spinalis dan pusat saraf yang mengontrol berkemih.
Ketikakandung kemih seseorang mulai terisi oleh urin, rangsangan saraf diteruskan melalui saraf
pelvis dan medula spinalis ke pusar saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal (pada
ganglia basal dan serebelum) menyebabkan kandung kemih berelaksasi sehingga dapat mengisi
tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian kandung
kemih berlanjut,rasa penggebungan kandung kemih disadari, dan pusat kortikal (pada
lobusfrontal), bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat kortikaldan
subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan menunda pengeluaran urin.
Komponen penting dalam mekanisme sfingter adalah hubungan urethra dengan kandung kemih
dan rongga perut. Mekanisme sfingter berkemih memerlukan agulasi yang tepat antara urethra
dan kandung kemih.Fungsi sfingter urethra normal juga tergantung pada posisi yang tepat dari
urethra sehiingga dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen secara efektif ditrasmisikan ke
uretre. Bila uretra pada posisi yang tepat, urin tidak akan keluar pada saat tekanan atau batuk
yang meningkatkan tekanan intra-abdomen. Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh
refleks-refleks yang berpusat dimedula spinalis segmen sakral yang dikenal sebagai pusat
berkemih. Pada fase pengisian kandung kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom
simpatis yang mengakibatkan penutupan leher kandung kemih, relaksasi dinding kandung kemih
serta penghambatan aktivitas parasimpatis dan mempertahankan inversisomatik pada otot dasar
panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun, sedangkan
parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher kandung
kemih. Proses reflek ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang lebih tinggi yaitu batang otak,
korteks serebri dan serebelum. Pada usia lanjut biasanya ada beberapa jenis inkontinensia urin
yaitu ada inkontinensia urin tipe stress, inkontinensia tipe urgensi, tipe fungsional dan tipe
overflow.
4. Manifestasi Klinis
1) Desakan berkemih, di sertai ketidakmampuan mencapai kamar mandi karena telah berkemih
3) Inkontinensia stres, dicirikan dengan keluarnya sejumlah kecil urin ketika tertawa, bersin,
melompat, batuk atau membungkuk.
4) Inkontinensia overflow, dicirikan dengan aliran urin buruk atau melambat dan merasa
menunda atau mengedan.
5) Inkontinensia fungsional, dicirikan dengan volume dan aliran urin yang adekuat
Persalinan pervaginan
Proses menua
ISK
glukosuria
poliuria
Refluks urtrovesikal
MK: Kelelahan
urgensi
nokturia
mengompol
Desakan berkemih
Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi ke toilet sehingga
berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium teratasi maka inkontinensia urin umumnya juga
akan teratasi. Setiap kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapat memicu timbulnya
inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia persisten, seperti fraktur tulang
pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya. Resistensi urin karena obat-obatan, atau obstruksi
anatomis dapat pula menyebabkan inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan
urethra (vaginitis dan urethritis) mungkin akan memicu inkontinensia urin. Konstipasi juga
sering menyebabkan inkontinensia akut. Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat
memicu terjadinya inkontinensia urin, seperti glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan
insufisiensi vena dapat menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan
terjadinya inkontinensia urin nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat mencetuskan terjadinya
inkontinensia urin seperti Calcium Channel Blocker, agonist adrenergic alfa, analgesicnarcotic,
psikotropik, antikolinergik dan diuretic. Untuk mempermudah mengingat penyebab
inkontinensia urin akut reversible dapat dilihat akronim di bawah ini :
Delirium
Poliuria, pharmasi
Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, meliputi anatomi,
patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek klinis, klasifikasi klinis lebih bermanfaat
karena dapat membantu evaluasi dan intervensi klinis. Kategori klinis meliputi :
Merupakan eliminasi urine diluar keinginan melalui uretra sebagai akibat dari peningkatan
mendadak pada tekanan intra-abdomen. seperti pada saat batuk, bersin atau berolah raga.
Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul, merupakan penyebab tersering
inkontinensia urin pada lansia dibawah 75 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita tetapi mungkin
terjadi pada laki-laki akibat kerusakan pada sfingter urethra setelah pembedahan trans urethral
dan radiasi. Pasien mengeluh mengeluarkan urin pada saat tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah
urin yang keluar dapat sedikit atau banyak.
Urge Incontinence
Terjadi bila pasien merasakan drongan atau keinginan untuk urinasi tetapi tidak mampu
menahannya cukup lama sebelum mecapai toilet. Inkontinensia urin jenis ini umumnya dikaitkan
dengan kontraksi detrusor tak terkendali (detrusor overactivity). Masalah-masalah neurologis
sering dikaitkan dengan inkontinensia urin urgensi ini, meliputi stroke, penyakit Parkinson,
demensia dan cedera medula spinalis. Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di toilet
setelah timbul keinginan untuk berkemih sehingga timbul peristiwa inkontinensia urin.
Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan penyebab tersering inkontinensia pada lansia di atas 75
tahun. Satu variasi inkontinensia urgensi adalah hiper aktifitas detrusor dengan kontraktilitas
yang terganggu. Pasien mengalami kontraksi involunter tetapi tidak dapat mengosongkan
kandung kemih sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti inkontinensia urin stress, overflow
dan obstruksi. Oleh karena itu perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena dapat menyerupai
inkontinensia urine tipe lain sehingga penanganannya tidak tepat.
Overflow Incontinence
Ditandai oleh eliminasi urine yang sering dan kadang-kadang terjadi hampir terus-menerus
terjadi. Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan kansdung kemih tidak dapat
mengosongkan isinya secara normal dan megalami distensi yang berlebihan. Meskipun eliminasi
urine sering terjadi, kandug kemih tidak pernah kosong. Hal ini disebabkan oleh obstruksi
anatomis, seperti pembesaran prostat, faktor neurogenik pada diabetes melitus atau sclerosis
multiple, yang menyebabkan berkurang atau tidak berkontraksinya kandung kemih, dan faktor-
faktor obat-obatan. Pasien umumnya mengeluh keluarnya sedikit urin tanpa adanya sensasi
bahwa kandung kemih sudah penuh.
Merupakan inkontinensia dengan fungsi saluran kemih bagian bawah yang utuh tetapi ada factor
lain, seperti angguan kognitif berat yang membuat pasien sulit untk mengidentifkasi perlunya
miksi (demensia alzhimer) atau gangguan fisik yang menyebabkan pasien sulit atau tidak
mungkin menjangkau toilet untuk melakukan urinasi. Memerlukan identifikasi semua komponen
tidak terkendalinya pengeluaran urine akibat faktor-faktor di luar saluran kemih. Penyebab
tersering adalah demensia berat, masalah muskuloskeletal berat, faktor lingkungan yang
menyebabkan kesulitan unutk pergi ke kamar mandi, dan faktor psikologis. Seringkali
inkontinensia urin pada lansia muncul dengan berbagai gejala dangan membran urodinamik lebih
dari satu tipe inkontinensia urin. Penatalaksanaan yang tepat memerlukan identifikasi semua
komponen.
7. Pemeriksaan Diagnostik
(Menurut Ouslander), tes diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan untuk mengidentifikasi
faktor yang potensial mengakibatkan inkontinensia, mengidentifikasi kebutuhan klien dan
menentukan tipe inkontinensia. Mengukur sisa urine setelah berkemih, dilakukan dengan cara :
Setelah buang air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur atau
menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti pengosongan
kandung kemih tidak adekuat. Urinalisis, dilakukan terhadap spesimen urine yang bersih untuk
mendeteksi adanya factor yang berperan terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti hematuri,
piouri, bakteriuri, glukosuria, dan proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila
evaluasi awal didiagnosis belum jelas. Tes lanjutan tersebut adalah :
Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosa
sitologi.
Tes urodinamik adalah untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian bawah
Tes tekanan urethra adalah mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat dinamis
Imaging adalah tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah.
2) Pemeriksaan penunjang Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-
alat mahal. Sisa-sisa urine pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis.
Pengukuran yang spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urine.
Merembesnya urin pada saatdilakukan penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi tersebut juga
harus dikerjakan ketika kandung kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih.
Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya
urin sering kali dapat dilihat. Informasi yang dapat diperoleh antara lain saat pertama ada
keinginan berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan
kapasitas kandung kemih.
3) Laboratorium Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk
menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuri.
4) Catatan berkemih (voiding record) Catatan berkemih dilakukan untuk mengetahui pola
berkemih. Catatan ini digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami
inkontinensia urin dan tidak inkontinensia urin, dan gejala berkaitan dengan inkontinensia urin.
Pencatatan pola berkemih tersebut dilakukan selama 1-3 hari. Catatan tersebut dapat digunakan
untuk memantau respon terapi dan juga dapat dipakai sebagai intervensi terapeutik karena dapat
menyadarkan pasien faktor-faktor yang memicu terjadinya inkontinensia urin pada dirinya.
8. Penatalaksanaan
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik
yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu catat waktu,
jumlah dan jenis minuman yang diminum.
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia urine, seperti
hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun
terapi yang dapat dilakukan adalah :
Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik
relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari.
Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya.
Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam,
selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.
Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan
lansia.
Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka
serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan
pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).
Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara
berulang-ulang.
Bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan
terapidiberikan secara singkat.
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapi non
farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya
memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan
terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).
Penatalaksanaan pembedahan
Ada berbagai macam tindakan bedah yang dapat dilakukan : perbaikan vagina, suspensi kandung
kemih pada abdomen dan elevasi kolum vesika urinaria. Sfingter artificial yang dimodifikasi
dengan megunakan balon karet-silikon sebagai mekanisme penekanan swa-regulasi dpat
digunakan untuk menutup uretra. Metode lain untuk mengontrol inkontinensia stress adalah
aplikasi stimulasi elektronik pada dasar panggul dengan bantuan pulsa generator miniature yang
dilengakapi electrode yang dipasang pada sumbat intra-anal.
5) . Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan inkontinensia urin,
dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin,
diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet sepertiurinal, komod dan bedpan
6). Kateter
Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karenadapat menyebabkan
infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukanbatu. Selain kateter menetap, terdapat kateter
sementara yang merupakanalat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung
kemih.Teknik ini digunakan pada pasien yang tidak dapat mengosongkankandung kemih.
Namun teknik ini juga beresiko menimbulkan infeksi padasaluran kemih.
Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang usia lanjutyang tidak mampu
bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu tersebutakan menolong lansia terhindar dari
jatuh serta membantu memberikankemandirian pada lansia dalam menggunakan toilet.
Posisi tidur telentang dengan kedua kaki ditekuk sehingga otot panggul sejajar dengan lantai.
Tahan otot panggul seperti menahan kencing selama sepuluh hitungan atau sesanggupnya.
Lepaskan dan relaks selama sepuluh hitungan.
1. Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, alamat, suku bangsa,
tanggal, jam MRS, nomor registrasi, dan diagnosa medis.
2. Riwayat kesehatan
Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang mendahului inkonteninsia (stres,
ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan, usia/kondisi fisik, kekuatan dorongan/aliran
jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada penggunaan diuretik, terasa ingin
berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan.
Apakah klien pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan
eliminasi klien, apakah pernah terjadi trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi
saluran kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa dengan klien dan
apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.
3. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari terjadinya
inkontinensia
4. Pemeriksaan Sistem :
B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen menurun. kaji
ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.
B2 (blood)
B4 (bladder)
Inspeksi : periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena adanya aktivitas
mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi
pada bladder, pembesaran daerah suprapubik lesi pada meatus uretra, banyak kencing dan nyeri
saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter
sebelumnya.
Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di urera
luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing.
B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan abdomen, adanya
ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada ginjal.
B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang lain, adakah nyeri
pada persendian.
5. Pengkajian Psikososial
Bersedih
Murung
Mudah tersinggung
Mudah marah
Isolasi social
Perubahan peran
3. NCP
Meningkat-kan
relaksasi,
memfokus-kan
kembali perhatian
dan dapat
meningkat-kan
kembali
kemampuan
koping
Berikan
tindakan
keyamanan.
Contoh :
Membantu pasie
memberikan posisi
yang nyaman,
mendorong
penggunaan
relaksasi atau Meng-
latihan nafas dalam hilangkan nyeri,
menentukan obat
yang tepat untuk
Kolaborasi mencegah
fluktuasi nyeri
Berikan obat ber-hubungan
sesuai indikasi. dengan tegangan
Peningkatan BB
Timbang BB yang cepat
setiap hari mungkin
berhubungan
dengan retensi
Memper-
tahankan
keseimbangan
Pertahankan cairan
untuk memberikan
cairan paling
sedikit 2500
ml/hari dalam
batas yang dapat
ditoleransi jantung
Kolaborasi:
Berikan terapi
cairan sesuai
indikasi Memenuhi
kebutuhan cairan
Berikan cairan
tubuh
IV
Mempertahanka
n volum sirkulasi,
meningkatkan
fungsi ginjal
3. Resiko tinggi Mandiri:
infeksi b/d
glukosa darah Berikan Untuk
yang tinggi perawatan perineal mencegah
(hiperglikemia dengan air sabun kontaminasi
) setiap shift. Jika uretra.
pasien
inkontinensia, cuci
daerah perineal
sesegera mungkin.
Jika di pasang
kateter indwelling,
berikan perawatan
kateter 2x sehari
(merupakan bagian
dari waktu mandi
pagi dan pada
waktu akan tidur)
dan setelah buang
air besar
Kecuali
Kateter
dikontraindikasika
memberikan jalan
n, ubah posisi
pada bakteri untuk
pasien setiap 2jam
memasuki
dan anjurkan
kandung kemih
masukan sekurang-
dan naik ke
kurangnya 2400 ml
saluran
/ hari. Bantu
perkemihan
melakukan
ambulasi sesuai
dengan kebutuhan.
Berikan terapi
antibiotoik
Untuk
mencegah stasis
urine.
Mungkin
diberikan secara
profilaktik
sehubungan
dengan
peningkatn resiko
infeksi
4. Imlementasi
Dilaksanakan sesuai dengan rencana tindakan, menjelaskan setiap tindakan yang akan dilakukan
sesuai dengan pedoman atau prosedur tekhnis yang telah ditentukan.
5. Evaluasi
Pengukuran efektifitas intervensi askep yang telah disusun dan tujuan yang ingin dicapai ada 3
kemungkinan:
1) Tujuan tercapai
PENUTUP
1. Kesimpulan
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan kencing. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang baik, dengan beberapa prosedur diagnostik yang diperlukan mempunyai hasil yang baik
untuk menegakkan diagnosis gangguan ini. Jenis inkontinensia urine yang utama yaitu
inkontinensiastres, urgensi, luapan dan fungsional. Penatalaksanaan konservatif dilakukanpada
kasus inkompetem sfingter uretra sebelum terapi bedah. Bila dasar inkontinensia neurogen atau
mental maka pengobatan disesuaikan dengan faktor penyebab.
2. Saran
Agar penderita inkontinensia urine tetap menjaga kebersihan diri agar terhindar dari infeksi pada
saluran kemih bagian bawah dan tetap menjaga keseimbangan intake dan output cairan, agar
tidak terjadi deficit volum cairan.
DAFTAR PUSTAKA
FKUI. 2006. Ilmu Penyakit Dalam jilid III, Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI