Vous êtes sur la page 1sur 15

Laporan Praktikum Ke -VII Hari, tanggal : Jumat, 31 Maret 2017

Teknik Persiapan dan Perawatan Pasca Operasi Dosen : Dr. drh. Gunanti, MS
Drh. Henny Endah Anggraeni, MSc
Drh. Heryudianto Vibowo
Drh. Surya Kusuma Wijaya
Drh. Tetty Barunawati
Asisten : Nadiya, Amd

TEKNIS ANESTESI
Kelompok 2 (P1)

Suratman J3P115007
Ananda Sarah N. A J3P115011
Wilda Febrianti J3P115023
Febby Rhohma Safitry J3P115029
M. Luthfi Fadhillah J3P115031
Julia Veronica Ramses J3P215059

PROGRAM KEAHLIAN PARAMEDIK VETERINER


PROGRAM DIPLOMA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah anestesi dimunculkan pertama kali oleh dokter Oliver Wendell Holmes
(1809-1894) berkebangsaan Amerika, diturunkan dari dua kata Yunani : An berarti
tidak, dan Aesthesis berarti rasa atau sensasi nyeri. Secara harfiah berarti ketiadaan
rasa atau sensasi nyeri. Dalam arti yang lebih luas, anestesi berarti suatu keadaan
hilangnya rasa terhadap suatu rangsangan. Pemberian anestetikum dilakukan untuk
mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri baik disertai atau tanpa disertai
hilangnya kesadaran. Seringkali anestesi dibutuhkan pada tindakan yang berkaitan
dengan pembedahan. Anestetikum yang diberikan pada hewan akan membuat
hewan tidak peka terhadap rasa nyeri sehingga hewan menjadi tenang, dengan
demikian tindakan diagnostik, terapeutik atau pembedahan dapat dilaksanakan
lebih aman dan lancar.

Perjalanan waktu sepanjang sejarah menunjukkan bahwa anestesi pada hewan


digunakan untuk menghilangkan rasa dan sensasi terhadap suatu rangsangan yang
merugikan (nyeri), menginduksi relaksasi otot, dan terutama untuk membantu
melakukan diagnosis atau proses pembedahan yang aman. Alasan lain penggunaan
anestesi pada hewan adalah untuk melakukan pengendalian hewan (restraint),
keperluan penelitian biomedis, pengamanan pemindahan (transportasi) hewan liar,
pemotongan hewan yang humanis, dan untuk melakukan ruda paksa (euthanasia).
Secara umum tujuan pemberian anestetikum pada hewan adalah mengurangi atau
menghilangkan rasa nyeri dengan meminimalkan kerusakan organ tubuh dan
membuat hewan tidak terlalu banyak bergerak. Semua tujuan anestesi dapat dicapai
dengan pemberian obat anestetikum secara tunggal maupun dalam bentuk balanced
anesthesia, yaitu mengkombinasikan beberapa agen anestetikum maupun dengan
agen preanestetikum.

Keadaan teranestesi dapat dihasilkan secara kimia dengan obat-obatan dan


secara fisik melalui penekanan sensori pada syaraf. Obat-obatan anestetika
umumnya diklasifikasikan berdasarkan rute penggunaannya, yaitu: 1). Topikal
misalnya melalui kutaneus atau membrana mukosa; 2). Injeksi seperti intravena,
subkutan, intramuskular, dan intraperitoneal; 3). Gastrointestinal secara oral atau
rektal; dan 4). Respirasi atau inhalasi melalui saluran nafas.

Anestetetikum juga dapat diklasifikasikan berdasarkan daerah atau luasan pada


tubuh yang dipengaruhinya, yaitu : 1). Anestesi lokal, terbatas pada tempat
penggunaan dengan pemberian secara topikal, spray, salep atau tetes, dan infiltrasi.
2). Anestesi regional, mempengaruhi pada daerah atau regio tertentu dengan
pemberian secara perineural, epidural, dan intratekal atau subaraknoid. 3). Anestesi
umum, mempengaruhi seluruh sistem tubuh secara umum dengan pemberian secara
injeksi, inhalasi, atau gabungan (balanced anaesthesia).
1.2 Tujuan

Praktikum ini bertujuan agar mahasiswa mengetahui apa itu anestesi dan
tipe serta fungsi anestesi.

1.3 Alat Bahan

Alat alat yang digunakan pada praktikum ini ialah gunting, spoit, kandang,
stopwatch, thermometer, stetoskop, mistar, pen light, meteran dan meja
praktikum.
Bahan bahan yang digunakan pada praktikum ini ialah kain blacu, needle,
athrophine, ketamine xylazine 0,2%, koran, dan kapas alcohol.

1.4 Metode
Alat dan bahan disiapkan. Suhu tubuh, frekuensi nahas, frekuensi jantung,
frekuensi nadi, reflex kelopak mata dan diameter pupil diukur sebelum diberikan
perlakuan. Berat badan, dosis atrophine dan ketamine xylazine dihitung.
Pemberian Atropine (Premedikasi)
Atropine diambil sebanyak hasil perhitungan dosis yaitu 0,2 ml
menggunakan syringe, pastikan tidak ada gelembung didalam spoit. Premedikasi
diberikan melalui subcutan. Kulit yang longgar pada daerah tungkuk dicubit.
Daerah yang akan disuntikan diaseptiskan terlebih dahulu menggunakan kapas
alcohol. Jarum ditusukkan dengan sudut 45O. Syring dilepaskan kembali dari daerah
subcutan dengan ditutupi menggunakan kapas kering. Temperatur, frekuensi nafas,
frekuensi nadi, frekuensi jantung, diameter pupil dan reflex kelopak mata kembali
dihitung.
Setelah Anastesi
Lima belas menit setelah pemberian Atropine (Premedikasi), ketamine
xylazine diberikan sesuai dengan hasil perhitungan dosis yaitu 0,2 ml. ketamine
xylazine diberikan secara Intra Muscular. Daerah yang akan disuntikkan
diaseptiskan terlebih dahulu menggunakan kapas alcohol. Suntikkan Ketamine
xylazine dengan sudut 90o. Aspirasi terlebih dahulu, jika terdapat darah maka posisi
jarum dirubah. perhitungan waktu (onset dan durasi) dimulai setelah pemberian
ketamine xylazine. Temperatur, frekuensi nafas, frekuensi nadi, frekuensi jantung,
diameter pupil dan reflex kelopak mata kembali dihitung setiap 15 menit sekali.
Pembuatan Gurita.
Kain blacu panjang dan gurita disiapkan. Panjang badan, lingkar perut,
lingkar kaki dan lingkar dada diukur menggunakan meteran. Kain blacu tersebut
digunting menjadi persegi panjang.lalu hasil potongan tersebut dilipat menjadi dua.
Lingkaran kaki digambarkan pada kain blacu untuk mempermudah pengguntingan.
Tali untuk mengikat gurita tersebut digambarkan sesuai dengan ukuran hewan
tersebut. Desain tali dan lingkaran kaki tersebut digunting menjadi 4 pasang untuk
tali dan 2 pasang untuk lingkar kaki.

II

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PERHITUNGAN DOSIS

DIKETAHUI :
Berat badan : 2 kg
PREMEDIKASI :
Atrophine = 0,25 mg/ml
Dosis = 0,025 mg/kg
ANASTESI :
Xylazine 2% = 2 mg/ml Ketamine 10 % = 100 mg/ml
Dosis = 2mg/kg Dosis = 10 mg/kg
HASIL PERHITUNGAN DOSIS:
2 2/
ATROPHINE = = 0,2 ml
20 /

2 10 /
KETAMINE = = 0,2 ml
100 /

2 0,025 /
XYLAZINE = = 0,2 mg
0,25 /
B. Tabel Pemeriksaan
b.1 Sebelum Premedikasi

No Parameter 0 menit 15 menit 30 menit 45 menit 60 menit 75 menit Keterangan


1 Temeperatur 37,4oC

2 Frekuensi 60x/me
nafas nit

3 Frekuensi 128x/
jantung menit

4 152x/
Frekuensi nadi
menit

5 Reflek kelopak
Ada
mata

6 Diameter
1 cm
pupil

b.2 Pemberian Atrophine (Premedikasi)

No Parameter 0 menit 15 menit 30 menit 45 menit 60 menit 75 menit Keterangan


1 Temeperatur 38,0oC

2 Frekuensi 48x/me
nafas nit

3 Frekuensi 196 x/
jantung menit

4 156 x/
Frekuensi nadi
menit

5 Reflek kelopak
Ada
mata

6 Diameter
0,2 cm
pupil
b. 3 Setelah Anestesi

No Parameter 0 mnt 15 30 45 60 75 90 105 120 135 150 165 180 195 210 KET
mnt mnt mnt mnt mnt mnt mnt mnt mnt mnt mnt mnt mnt mnt
1 Temepera
38,4oC 38,0oC 37,4oC 36,3oC 35,2oC 35,8oC 35,7oC 35,0oC 34,8oC 34,7oC 34,8oC 34,5oC 34,5oC 34,6oC 35,5oC
tur

2 Frekuensi 84x/m 40x/m 28x/m 28x/m 36x/m 24x/m 28x/m 24x/m 76x/m 52x/m 52x/m 24x/m 26x/m 28x/m 70x/m
nafas nt nt nt nt nt nt nt nt nt nt nt nt nt nt nt

3 Frekuensi 208x/ 216x/ 120x/ 104x/ 84x/m 80x/m 76x/m 96x/m 120x/ 144x/ 100 72 88 60 85
jantung mnt mnt mnt mnt nt nt nt nt mnt mnt x/mnt x/mnt x/mnt x/mnt x/mnt

4 Frekuensi 80x/ 100 112 96x/m 88 80 84 72 112 156x/ 76x/m 48x/m 48x/m 68x/m 65x/m
nadi mnt x/mnt x/mnt nt x/mnt x/mnt x/mnt x/mnt x/mnt mnt nt nt nt nt enit

5 Mnt
Reflek 36.
Mela
kelopak - - - - - - - - - - - - - - Reflek
mbat
mata mata
lambat

6 Menit
30
Diameter
1 cm 1cm 1cm 1cm 1cm 1cm 1cm 1cm 1cm 1cm 1cm 1cm 1cm 1cm 1cm mata
pupil
sedikit
berair
Keterangan :
Onset :05 Menit 54 detik
Durasi :1 Jam 40 Sudah ada reflek bangun

C. GRAFIK SELAMA ANASTESI

temperature
40

35

30

25

20

15

10

0
0 mnt 15 30 45 60 75 90 105 120 135 150 165 180 195 210
mnt mnt mnt mnt mnt mnt mnt mnt mnt mnt mnt mnt mnt mnt

temperature

frekuensi nafas
90

80

70

60

50

40

30

20

10

0
0 mnt 15 30 45 60 75 90 105 120 135 150 165 180 195 210
mnt mnt mnt mnt mnt mnt mnt mnt mnt mnt mnt mnt mnt mnt

frekuensi nafas
Frekuensi jantung
250

200

150

100

50

0
0 15 30 45 60 75 90 105 120 135 150 165 180 195 210
menit menit menit mnt menit menit mnt mnt mnt mnt mnt mnt mnt mnt mnt

Frekuensi jantung

frekuensi nadi
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
0 15 30 45 60 75 90 105 120 135 150 165 180 195 210
menit menit menit menit menit menit menit menit menit menit menit menit menit menit menit

frekuensi nadi
Pemeriksaan fisik dari hewan penderita yang akan menjalani tindak
pembedahan adalah langkah awal dalam penentuan potensi resiko dalam
pelaksanaan pemberian anestesi. Evaluasi yang menyangkut cardiopulmonary,
fungsi ginjal dan hepar merupakan hal khusus yang penting diketahui kondisinya
(Sardjana dan Kusumawati, 2011). Sistem sirkulasi hewan terdiri dari suatu pompa
empat ruang, yaitu jantung dan sistem pembuluh yang mengedarkan darah baik dari
jantung (arteri) maupun ke jantung (vena). Jantung adalah suatu struktur muskular
berongga yang bentuknya menyerupai kerucut. (Frandson, 1992). Sementara itu
sistem respirasi memiliki 2 fungsi utama, yaitu sebagai penyedia oksigen bagi darah
dan mengambil karbondioksida dari dalam darah. Pusat pernafasan adalah
sekelompok neuron yang tersebar luas dan terletak bilateral medulla oblongata dan
pons.

McKelvey dan Hollingshead (2003) dan Tranquilli et al, (2007) menyatakan


bahwa untuk memonitor anestesi dilakukan pengamatan tahap-tahap anestesi
umum. Kualitas status teranestesi dapat dilihat dari perubahan fisiologis sebagai
tanda kedalaman anestesi. Berikut ini adalah tahapan dan indikasi status teranestesi
oleh anestetika umum:

1. Fase/ tahapan I, Fase ini dimulai dari pemberian agen anestesi sampai
menimbulkan hilangnya kesadaran. Pada fase ini hewan masih sadar dan
memberontak. Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan denyut jantung,
dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi, dengan kecepatan respirasi normal
(20-30x/menit).

2. Fase/tahapan II, fase ini dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan
fase pembedahan. Pada fase ini adanya eksitasi dan gerakan yang tidak menurut
kehendak. Pernafasan tidak teratur, inkontinentia urin, muntah, midriasi, takikardia.
3. Fase/tahapan III plane 1, ditandai dengan pernafasan yang teratur yaitu
1220x/mnt dan terhentinya anggota gerak. Tipe penafasan thoraco-abdominal,
refleks pedal masih ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra, konjuctiva, dan
kornea terdepres.
4. Fase/tingkatan III plane 2, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola
mata ventro medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut.
5. Fase/tingkatan III plane 3, ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola
mata kembali ke tengah dan otot perut relaksasi.

6. Fase/tingkatan III plane 4, ditandai dengan respirasi tidak teratur, pupil midriasis,
tonus muskulus menurun, refleks sphincter ani dan kelenjar air mata negatif.

7. Fase/tingkatan IV, fase ini disebut juga sebagai fase overdosis yang ditandai
dengan respirasi apnea (berhenti), fungsi kardiovaskuler kolap, respon bedah atau
insisi tidak ada, posisi bola berada di tengah, ukuran pupil dilatasi lebar, respon
pupil (-), dan refleks tidak disusul dengan kematian hewan.

Suhu tubuh adalah suhu bagian dalam (suhu inti), bukan suhu permukaan
yang merupakan suhu kulit atau jaringan bawah kulit. Suhu inti relatif konstan
kecuali bila terjadi demam, sedangkan suhu permukaan lebih dipengaruhi
lingkungan (Guyton and Hall, 1997). Pada kedokteran hewan pengukuran suhu
tubuh hewan khususnya kucing dengan menggunakan termometer yang diletakkan
di rektum. Ketika melakukan pengukuran suhu melalu rektum lakukan saat tidak
ada feses di dalam, agar suhu yang muncul melalui termometer menjadi wakil dari
suhu tubuh keseluruhan. Suhu normal pada kucing yaitu 38,0 C 39,3 C.
Berdasarkan pencatatan data dari kelompok kami, dapat dilihat bahwa suhu tubuh
kucing mengalami penurunan hingga ke titik 35,8 C. Pada awal (menit ke-0) obat
anestesi diinjeksikan ke tubuh hewan suhu tubuh masih dalam batasan normal
hingga menit ke-15, yaitu dengan suhu 38 C. Kemudian pada menit ke-30 suhu
tubuh kucing sudah mulai mengalami penurunan hingga menit ke-60. Pada menit
ke-75 suhu tubuh mulai sedikit naik menjadi 35,8 C. Secara fisiologi, suhu tubuh
diatur oleh suatu sistem termoregulator yang melibatkan kerja hipotalamus dan
saraf aferen/eferen. Hipotalamus berfungsi sebagai pengatur suhu tubuh dengan
saraf aferen sebagai reseptor dan saraf eferen sebagai penghantar impuls. Di dalam
hipotalamus terdapat reseptor-reseptor yang mendeteksi panas dan dingin.
Hipotalamus mengatur produksi panas, pembuangan panas, serta mencegah
hilangnya panas secara berlebihan dari dalam tubuh. Spesies hewan juga dikaitkan
dengan sistem termoregulasi (Suprayogi et al., 2009). Mekanisme hipotalamus
dalam mempertahankan atau meningkatkan produksi panas salah satunya dengan
mengatur pembuluh-pembuluh darah dalam kondisi vasokontriksi, sedangkan
dalam meningkatkan pelepasan panas dilakukan dengan mekanisme vasodilatasi
daerah perifer tubuh. Penyebab lain terjadinya penurunan suhu tubuh adalah apabila
hewan berada pada lingkungan dingin dalam jangka waktu yang lama, rongga tubuh
yang terbuka, cairan intravena yang dingin, pengaruh kain penutup operasi,
intensitas lampu operasi, dan lama proses operasi (Beattie, 2008).

Pada hasil monitoring pernafasan kucing terlihat terjadi penurunan


frekuensi yang cukup signifikan. Pada menit ke-0 masih terhitung 84 kali
pernafasan, sedangkan pada menit ke-15 sudah terjadi perubuahan frekuensi
menjadi 40 kali. Kemudian pada menit berikutnya selalu terjadi penurunan hingga
pada menit ke-75 memiliki frekuensi nafas 24 kali/menit. Pernapasan bertujuan
untuk mempertahankan konsentrasi O2, CO2, dan ion hidrogen dalam cairan tubuh
sehingga fungsi jaringan tubuh dapat terus berlangsung. Pengaturan fungsi
pernapasan dilakukan oleh medulla oblongata dan pons yang merupakan pusat
pernapasan. Di dalam substansi retikularis medulla oblongata terdapat pengaturan
inspirasi dan ekspirasi yang mengatur irama dasar pernapasan, sedangkan
kecepatan dan irama pernapasan terdapat di dalam pons (Frandson 1992).
Pengamatan pada frekuensi napas selama anestesi berlangsung dilakukan untuk
mengetahui gambaran kualitas fungsi pernapasan.
Adapun data frekuensi Nafas dan Jantung kucing dalam keadaaan normal, sbb:

Frekuensi Frekuensi Sumber


Nafas /menit Denyut Jantung
/menit

20-30 110-130 Armor Coy (USA)

20-30 110-130 Malkmus Opperman (1946)

20-30 110-130 Marek Moscy (1951)

Sumber: Ifianti, 2001

Pada monitoring frekuensi denyut jantung dari menit ke-0 terhitung


sebanyak 208 kali/menit, ini menunjukkan nilai yang tidak normal. Hal ini dapat
dipengaruhi oleh faktor ketegangan kucing, perlakuan handling, dan suasana
lingkungan sehingga kucing menjadi stress dan ketakutan. Pada menit ke-15 sudah
belum terjadi penurunan frekuensi denyut jantung, namun pada menit ke-30 dan
menit berikutnya sudah terjadi penurunan frekuensi denyut jantung. Hal ini
disebabkan karena efek dari obat anestesi sudah mulai bekerja.

Frekuensi nadi pada menit ke-0 sebanyak 80 kali/menit, menit ke-15


sebanyak 100 kali/menit, menit ke-30 sebanyak 112 kali/menit. Pada menit ke-0
hingga menit ke-30 masih terjadi peningkatan frekuensi nadi, namun pada menit
ke-45 hiingga menit ke-75 sudah terjadi penurunan. Hal ini MUNGKIN karena efek
dari kerja obat anestesi,

Reflek mata pada menit ke-0 sudah mulai melambat, hingga pada menit ke-
15 sampai menit ke-75 reflek mata sudah tidak ada. Sedangkan untuk ukuran
diameter pupil mata dari menit ke-0 terukur sebesar 1,3 cm dan diameter pupil mata
sampai menit ke-75 adalah sebesar 1 cm.
Prinsip Kerja Obat Premedikasi dan Anastesi

Atropin berasal dari golongan Antikolinergik yaitu obat yang berkhasiat


menekan /menghambat aktivitas kholinergik atau parasimpatis. Atropin merupakan
protipe tersier dari agen amin muskarinik, Atropin adalah derivat dari proses alami
atropin. Atropin merupakan kristal tidak bewarna dan tidak berbau, atau putih,
bubuk kristalin.
Sediaan atropin dalam injeksi dilaporkan kompatibel (dapat
dicampur/dikombinasi) dengan beberapa agen berikut seperti, benzquinamide HCl,
butorphanol tartat, chlorpromazine HCl, cimetidin HCl (tanpa pentobarbital),
dimenhydrinat, dipenhydramin HCl, dobutamin HCl, droperidol, fentanyl sitrat,
glycopyrolate, hydromorpone HCl, hydroxizine HCl, meperidine HCl, pentazocine
laktat, pentobarbital sodium, perphezanine, prochlorperazine edisilat, promazine
HCl, prometazine HCl, dan skopolamin HBr. Ddilaporkan tidak kompatibel dengan
norepinephrin bitartat, metarominol bitartat, methohexital sodium, dan sodium
bikarbonat. Kompatibilitasnya bergantung pada faktor pH, konsentrasi, temperatur
dan diluent yang digunakan. (Plumbs,2005).
Mekanisme kerja asetil kolin pada organ yang diinervasi serabut saraf
otonom para simpatis atau serabut saraf yang mempunyai neurotransmitter asetil
kolin. Obat ini menghambat muskarinik secara kompetitif yang ditimbulkan oleh
asetil kolin pada sel efektor organ tertentu pada kelenjar eksokrin, otot polos, dan
otot jantung, namun efek yang lebih dominan pada otot jantung, usus, dan bronkus
(Mangku dan Senapathi, 2010). Menurut Plumb (2005), atropin seperti agen
muskarinik lainnya, menghambat asetilkolin atau kolinergik lain secara kompetitif
pada ikatan neuroefektor parasimpatik postganglionik. Dosis tinggi dapat memblok
reseptor nikotinik pada autonomik ganglia dan pada ikatan neuromukuler.
Efek farmakologik, berelasi pada dosisnya. Pada dosis rendah
mengakibatkan salivasi, sekresi brochial, dan keringat di hambat. Pada dosis
moderat atropin mengakibatkan dilatasi dan menghambat akomodasi pada pupil,
dan meningkatkan frekuensi jantung. Dosis tinggi akan menurunkan motilitas
Gastrointestinal dan saluran urinari. Dan dosis yang sangat tinggi akan menghambat
sekresi gastrik. Atropine sulfat diabrsobrsi dengan baik pada pemberian secara oral,
injeksi Intramuskuler (IM), inhalasi, atau pemberian endotrakeal. Setelah
pemberian melalui intravena (IV), efek puncak pada jantung rata-rata terjadi dalam
3-4 menit. Atropine didistribusikan dengan baik melalui tubuh dan masuk ke sistem
saraf pusat, melewati placenta, dan didistribusikan ke susu dengan jumlah yang
kecil. Atropin dimetabolisme di hati dan dieksresikan melalui urin. Diperkirakan
30-50% dosis obat dieksresikan tanpa berubah bentuk melalui urin. Sedangkan di
manusia dilaporkan kaar paruh obat dapat bertahan dalam plasma antara 2-3 jam.
Dosis yang diberikan untuk kucing sebagai pranestetik sebanyak 0,02-0,04 mg/kg
secara subkutan.

a. Rantai Kimia Atropin b. Sediaan Atropin


Ketamin merupakan jenis obat anestesi yang dapat digunakan pada hampir
semua jenis hewan (Hall dan Clarke 1983). Ketamin dapat menimbulkan efek yang
membahayakan, yaitu takikardia, hipersalivasi, meningkatkan ketegangan otot,
nyeri pada tempat penyuntikan, dan bila berlebihan dosis akan menyebabkan
pemulihan berjalan lamban dan bahkan membahanyakan Efek samping yang tidak
diharapkan dari suatu pembiusan itu dapat diatasi dengan mengkombinasikan obat-
obatan dan mengambil kelebihan masing-masing sifat yang diharapkan (Sardjana
dan Kusumawati, 2004).
Ketamine adalah anestetikum umum injeksi golongan nonbarbiturat,
termasuk golongan phenilsycloheksamin. Ketamine mempunyai efek analgesia
yang sangat kuat akan tetapi efek sedasi dan hipnotiknya kurang (tidur ringan).
Ketamine meningkatkan tekanan darah sistol maupun diastol kira kira 20- 25%,
karena adanya aktivitas syaraf simpatik meningkat dan depresi baroreseptor.
Pemberian anestetikum ketamine secara tunggal dosis 10-15 mg/kg berat badan
secara intra muskular pada anjing menimbulkan kekejangan otot dan hipersalivasi
serta durasi kerja anestesi yang sangat pendek. Mengatasi kerugian penggunaan
anestetikum ketamine secara tunggal, ketamine sering dikombinasikan dengan obat
lain sebagai preanestesi.
Kombinasi yang paling sering digunakan untuk ketamin adalah xylazine
(Sektiari 2001). Kedua obat ini merupakan agen kombinasi yang saling melengkapi
antara efek analgesik dan relaksasi otot, ketamin memberikan efek analgesik
sedangkan xylazine menyebabkan relaksasi otot yang baik. Penggunaan xylazine
dapat mengurangi sekresi saliva dan peningkatan tekanan darah yang diakibatkan
oleh penggunaan ketamin. Penggunaan kombinasi ketaminxylazine sebagai
anestesi umum juga mempunyai banyak keuntungan, antara lain : mudah dalam
pemberian, ekonomis, induksinya cepat begitu pula dengan pemulihannya,
mempunyai pengaruh relaksasi yang baik dan jarang menimbulkan komplikasi
klinis.

a. Sediaan Ketamine b. Rantai Kimia Ketamine


Xylazine HCl adalah golongan alpha , sehingga menimbulkan
penghambatan SSP, mencegah hipertonus otot, meningkatkan efek sedasi dan
hipnotik (Stawicki 2007). Midazolam lebih potensial dibandingkan diazepam. 2-
adrenoceptor stimulant atau alpha-2 adrenergic receptor agonist. Xylazine bekerja
melalui mekanisme yang menghambat tonus simpatik karena xylazine
mengaktivasi reseptor postsinap 2-adrenoseptor sehingga menyebabkan
medriasis, relaksasi otot, penurunan denyut jantung, 4 penurunan peristaltik,
relaksasi saluran cerna, dan sedasi. Xylazine menyebabkan relaksasi otot melalui
penghambatan transmisi impuls intraneural pada susunan syaraf pusat dan dapat
menyebabkan muntah. Xylazine juga dapat menekan termoregulator (Adams
2001).
Pemberian xylazin sebagai preanestesi dapat memperpanjang durasi
analgesi, mengurangi dosis anestesi dan memperpendek masa pemulihan. Pada
kucing penggunaan bersama xylazin-ketamin menyebabkan perlambatan absorpsi
ketamin sehingga eliminasi ketamin lebih lama, hal ini menyebabkan durasi
anestesi lebih panjang. Xylazine dapat menyebabkan gejala bradikardi, arythmia,
peningkatan tekanan SSP, pengurangan sistem sistolik, depresi respirasi
(pengurangan frekuensi respirasi dan volum respirasi per menit) serta hipertensi
yang diikuti dengan hipotensi (Luna et al. dalam Zulfadli 2005). Efek xylazin pada
fungsi respirasi biasanya tidak berarti secara klinis, tetapi pada dosis yang tinggi
dapat mendepres respirasi sehingga terjadi penurunan volum tidal dan respirasi
rata-rata. Perubahan yang cukup jelas terlihat pada fungsi kardiovaskular. Awalnya
segera setelah injeksi, tekanan darah akan meningkat, kemudian diikuti dengan
konstriksi pembuluh darah kapiler. Sebagai reflek normal terhadap peningkatan
tekanan darah dan pemblokiran saraf simpatis, frekuensi denyut jantung akan
menurun sehingga menimbulkan bradikardi dan tekanan darah menurun mencapai
level normal atau subnormal. Pada babi, xylazin tidak memberikan hasil yang baik
kecuali digunakan dengan dosis yang tinggi.
III

SIMPULAN

Dari hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa anestesi adalah suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur
lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Tipe-tipe anestesi adalah
pembiusan lokal, pembiusan total, dan pembiusan regional. Fungsi anestesi adalah
menghilangkan kesadaran pasien dan menghilangkan rasa nyeri pada saat akan
melakukan operasi.

DAFTAR PUSTAKA

Plumb DC. 2005. Plumbs Veterinary Drug Handbook : Fifth


Edition. PharmaVet.Inc Stockholm, Wisconsin. United States of
America.

Mangku G & Senapathi, TG. 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi.
Jakarta (ID): PT. Macanan Jaya Cemerlang.

Hall LW, Clarke. 1983. Veterinary Anaesthesia 9th. Ed. Bailliere Tindall.
London. Pages: 58, 60, 308.

Sardjana IKW dan Kusumawati D. 2004. Anestesi Veteriner Jilid I. Yogyakarta


(ID): Gadjah Mada University Press. Bulaksumur.

Sektiari B dan Wiwik MY. 2001. Pengaruh Premedikasi Acepromazine Terhadap


Tekanan Intraokuler pada Anjing yang di Anestesi Ketamin HCl.
Media Kedokteran Hewan. 17 (3) : 120-122.

Stawicki SP. 2007. Common sedative agents. OPUS 12 Scientist. 1:8-9.

Adams RH. 2001. Veterinary Pharmacology and Therapeutics 8nd edition. IOWA
State University Press Ames.

Vous aimerez peut-être aussi