Vous êtes sur la page 1sur 20

PRESENTASI KASUS

Tinea Pedis

Oleh :

Desi Arisanti

11.2016.172

Dokter Penguji :

dr. Juliana, Sp.KK., M.H.Kes.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT HUSADA

PERIODE 24 Juli 26 Agustus 2017

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

1
I. Identitas penderita

- Nama : Tn. KS

- Alamat : Gang Kingkit III No.17, RT/RW 010/004, Kebon Kelapa, Jakarta
Pusat 10120

- Jenis Kelamin : Laki laki

- Umur : 58 tahun 5 bulan

- Pekerjaan : Swasta

- Status Pernikahan : Sudah menikah

- Tanggal Lahir : 28 September 1951

- Agama : Islam

- Pendidikan : SMK

- Suku bangsa : Sunda

II. Anamnesis

Diambil secara: Autoanamnesis Tanggal 04 Agustus 2017 Jam 09.25

- Keluhan Utama

Gatal pada kedua kaki 20 tahun yang lalu.

- Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RS Husada dengan keluhan gatal pada kedua
kaki sejak 20 tahun yang lalu. Gatal dirasakan terutama jika kaki dalam kondisi basah,
lembab, dan berkeringat. Nyeri atau pun panas disangkal oleh pasien. Kulit kaki ini terdapat
sisik halus disertai dengan kerak terdiri atas tumpukan-tumpukan sel kulit yang hampir
terkelupas.

Keluhan ini dulunya berawal dengan kemerahan di sela-sela jari kanan yang disertai rasa
gatal. Karena pasien merasa sangat gatal, sehingga di garuk-garuk akibatnya lama-kelamaan
bercak merah tersebut menjadi melenting lalu bernanah. Kemudian nanah tersebut pecah dan
jadi kering berkerak. Setelah menyerang sela-sela jari kaki kanan lalu menyebar ke kaki
sebelahnya, telapak, punggung kaki, serta naik sampai ke daerah tumit. Diketahui dulunya
pasien memiliki kebiasaan sering memakai sepatu tertutup seharian sehingga kaki pasien
dalam kondisi lembab dalam waktu yang lama serta kaos kaki yang digunakan jarang dicuci,

2
hanya 1 minggu sekali. Setelah mengalami keluhan ini, pasien akhirnya memutuskan untuk
memakai sendal saat kerja. Meskipun menggunakan sendal saat kerja, setelah kaki terkena air
wudhu waktu akan menjalankan ibadah sholat, kaki pasien tidak dilap sehingga kakinya tetap
berada dalam kondisi lembab. Sedangkan untuk kontak dengan bahan-bahan kimia atau pun
sabun cuci disangkal oleh pasien.

- Riwayat Pengobatan

Pasien sudah berulang kali mengganti salep yang digunakan, seperti canesten (clotrimazole),
cinolone (fluocinolone acetonide, neomycin sulfate), dan masih banyak merek salep yang
lain, namun pasien lupa nama merek dagangnya. Selain itu, pasien juga sedang
mengkonsumsi obat-obatan rutin, yaitu amlodipin dan omeprazole.

- Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien sudah pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya, karena keluhan ini sering hilang
timbul dan sudah 20 tahun. Pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi sudah 2 tahun dan
obat yang dikonsumsinya secara teratur adalah amlodipin. Selain hipertensi, pasien juga
menderita sakit mag yang dialami sudah 2 tahun dan mengkonsumsi omeprazole setiap
harinya. Sedangkan untuk penyakit diabetes mellitus, penyakit jantung, atau pun asma
disangkal oleh pasien.

- Riwayat Penyakit Keluarga

Di rumah ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama, yaitu: ayah, anak ke-
dua (perempuan), dan cucu dari pasien.

- Riwayat Kebiasaan Pribadi

Dalam satu hari pasien mandi teratur 2 kali, tetapi kadang-kadang hanya sekali sehari dengan
menggunakan sabun batang Lifebuoy dan air PAM. Jika mandi, pasien hanya membersihkan
area wajah sampai badan saja, sering tidak memperhatikan kebersihan kakinya. Pasien
mengatakan daerah kakinya memang selalu terasa lembab terutama setelah mengambil air
wudhu karena kakinya tidak pernah dilap/dikeringkan.

-Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien adalah seorang karyawan swasta, yaitu sebagai supir pengantar anak-anak sekolah.

III. Pemeriksaan Fisik

- Status Generalis

Keadaan umum : Tampak sakit ringan.

3
Kesadaraan : Compos Mentis.

Vital sign : Nadi : 75 x/menit, reguler, kuat angkat.

Frekuensi pernafasan : 16 x/menit.

Tekanan darah :130/80 mmHg.

Suhu : afebris

Berat badan : 65 kg.

Kepala : Normocephali, benjolan (-), massa (-), rambut pendek,


distribusi merata, kebersihan baik, ketombe (-)

Leher : Dalam Batas Normal.

Thorax : Dalam Batas Normal.

Abdomen : Dalam Batas Normal.

Ekstremitas : Ekstremitas atas dan bawah tidak ada kelainan, nyeri (-),
pergerakkan baik, kuku pendek, berwarna kekuningan,
permukaan kuku tidak rata.

- Status Dermatologis

Regio : Dorsum pedis dan intertriginosa digiti 1-5 pedis dextra dan
sinistra.

Distribusi : Lokalisata, bilateral

Efloresensi Primer : Plak dengan dasar eritematosa dengan tepi lebih aktif
daripada bagian tengah.

Ukuran : Plakat

Batas : Tegas

Susunan/Bentuk : Polisiklik, teratur

Jumlah : Multipel

Efloresensi Sekunder : Skuama halus

4
IV. Pemeriksaan Penunjang

Tidak dilakukan

V. Anjuran Pemeriksaan Penunjang

- Larutan KOH 20%

- Kultur jamur

VI. Resume

Seorang pria berusia 66 tahun datang dengan keluhan gatal pada kedua kaki sejak 20 tahun
yang lalu. Gatal dirasakan terutama jika kaki dalam kondisi basah, lembab, dan berkeringat.
Kulit kaki ini terdapat sisik halus disertai dengan kerak terdiri atas tumpukan-tumpukan sel
kulit yang hampir terkelupas. Diketahui dulunya pasien memiliki kebiasaan sering memakai
sepatu tertutup seharian sehingga kaki pasien dalam kondisi lembab dalam waktu yang lama
serta kaus kaki yang digunakan jarang dicuci, hanya 1 minggu sekali. Setelah mengalami
keluhan ini, pasien akhirnya memutuskan untuk memakai sandal saat kerja. Meskipun
menggunakan sandal saat kerja, setelah kaki terkena air wudhu waktu akan menjalankan
ibadah sholat, kaki pasien tidak dilap/dikeringkan sehingga kakinya tetap berada dalam
kondisi lembab.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit ringan, kesadaran
pasien compos mentis, tanda-tanda vital dalam batas normal. Pemeriksaan status generalis
dalam batas normal. Pada pemeriksaan dermatologi didapatkan kelainan di regio dorsum
pedis dan intertriginosa digiti 1-5 pedis dextra dan sinistra, distribusi lokalisata, bilateral,
berupa plak dengan dasar eritematosa dengan tepi lebih aktif daripada bagian tengah, ukuran
plakat, batas tegas, susunan polisiklik, bentuk lonjong, teratur, jumlah multipe dengan
terdapat skuama halus.

VII. Diagnosis Kerja

- Tinea Pedis dengan Infeksi Sekunder

VIII. Diagnosis Banding

- Dermatitis Kontak Alergi

- Pityriaris Rubra Pilaris

- Paronychia

- Scabies pada Kaki

5
IX. Penatalaksanaan

-Non-Medikamentosa

1. Hindari pemakaian sepatu tertutup

2. Bersihkan area kaki secara rutin sampai ke sela jari kaki dengan sabun bayi untuk
menghindari iritasi

3. Setelah mandi dan mengambil air wudhu, area kaki harus dikeringkan sampai
benar-benar kering

4. Jangan menggunakan alat pribadi secara bergantian, misalnya: sandal, handuk, dll

5. Pakai obat secara teratur dan kontrol ke poli kulit dan kelamin

6. Jangan menggaruk atau mengopek-opek kulit yang kering di daerah kakinya untuk
mencegah adanya infeksi sekunder

-Medikamentosa

Sistemik

R/ Cefadroxil caps 500mg No.X

S 2 dd tab I

------------------/ /------------------

R/ Griseofulvin caps 500mg No.X

S 1 dd tab I
------------------/ /------------------
R/ Loratadine 10 mg tab No. X
S 1 dd tab I
------------------/ /------------------
Topikal
R/ Ketoconazole cream 2% tube No.I
S .u.e
------------------/ /------------------

X. Prognosis

- Ad vitam : Ad bonam

- Ad fungtionam : Ad bonam

- Ad sanationam : Dubia

6
Lampiran Gambar Kasus

7
TINJAUAN PUSTAKA

TINEA PEDIS

A. DEFINISI

Tinea pedis (Athletes foot, ringworm of the foot, kutu air) adalah dermatofitosis pada kaki,
terutama pada sela-sela jari dan telapak kaki.1

Istilah dermatofitosis harus dibedakan dengan dermatomikosis. Dermatofitosis adalah


penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk atau stratum korneum pada lapisan
epidermis di kulit, rambut dan kuku yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofita.
Sedangkan dermatomikosis merupakan arti umum, yaitu semua penyakit jamuryang
menyerang kulit.1

B. ETIOLOGI

Tinea pedis paling sering disebabkan oleh Trichophyton rubrum (60%) dan T. interdigitale
(sebelumnya dikenal sebagai T. mentagrophytes) (20%), diikuti oleh Epidermophyton
floccosum (10%). 2,3

Gambar 1. Karakteristik Dermatofit Tersebut.4

C. EPIDEMIOLOGI

Diperkirakan 10 sampai 15% populasi dunia memiliki tinea pedis. Prevalensi ini lebih tinggi
pada orang dewasa (17%) sedangkan anak-anak (4%). Dimana kondisi ini lebih sering terjadi
pada remaja daripada pada anak prasekolah. Kejadian usia puncak adalah antara 16 dan 45

8
tahun, terutama saat melakukan aktivitas pekerjaan. Tinea pedis lebih sering terjadi pada laki-
laki daripada perempuan. Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dengan orang yang
terinfeksi, hewan (khususnya hewan peliharaan rumah), orang tua yang terkontaminasi, atau
tanah. Transmisi antar anggota keluarga adalah penularan yang paling umum terjadi. Jika
sudah terinfeksi oleh jamur ini, maka bisa menginfeksi bagian tubuh yang lain. Faktor
predisposisi terkenanya infeksi ini salah satu faktor pendukungnya adalah penggunaan sepatu
yang lama dan dalam kondisi lembab. Penyakit ini banyak terjadi di kalangan atlet dan
pekerja buruh manual (manual laborers). Imunodefisiensi, diabetes mellitus, dermatitis
atopik, hiperhidrosis, perawatan kaki kurang, dan obesitas adalah faktor predisposisi lainnya.2

D. PATOGENESIS

Terjadinya penularan dermatofitosis adalah melalui 3 cara yaitu: 4

Antropofilik, transmisi dari manusia ke manusia. Ditularkan baik secara langsung


maupun tidak langsung melalui lantai kolam renang dan udara sekitar rumah
sakit/klinik, dengan atau tanpa reaksi keradangan (silent carrier).
Zoofilik, transmisi dari hewan ke manusia. Ditularkan melalui kontak langsung
maupun tidak langsung melalui bulu binatang yang terinfeksi dan melekat di pakaian,
atau sebagai kontaminan pada rumah / tempat tidur hewan, tempat makanan dan
minuman hewan. Sumber penularan utama adalah anjing, kucing, sapi, kuda dan
mencit.
Geofilik, transmisi dari tanah ke manusia. Secara sporadis menginfeksi manusia dan
menimbulkan reaksi radang

Terjadinya infeksi dermatofit melalui tiga langkah utama, yaitu: perlekatan pada keratinosit,
penetrasi melewati dan di antara sel, serta pembentukan respon pejamu.

Perlekatan dermatofit pada keratinosit4

Perlekatan artrokonidia pada jaringan keratin tercapai maksimal setelah 6 jam, dimediasi oleh
serabut dinding terluar dermatofit yang memproduksi keratinase (keratolitik) yang dapat
menghidrolisis keratin dan memfasilitasi pertumbuhan jamur ini di stratum korneum.
Dermatofit juga melakukan aktivitas proteolitik dan lipolitik dengan mengeluarkan serine
proteinase (urokinase dan aktivator plasminogen jaringan) yang menyebabkan katabolisme
protein ekstrasel dalam menginvasi pejamu. Proses ini dipengaruhi oleh kedekatan dinding
dari kedua sel, dan pengaruh sebum antara artrospor dan korneosit yang dipermudah oleh
adanya proses trauma atau adanya lesi pada kulit. Tidak semua dermatofit melekat pada
korneosit karena tergantung pada jenis strainnya.

Spora harus tumbuh dan menembus masuk stratum korneum dengan kecepatan melebihi
proses deskuamasi. Proses penetrasi menghasilkan sekresi proteinase, lipase, dan enzim
musinolitik, yang menjadi nutrisi bagi jamur. Diperlukan waktu 46 jam untuk germinasi dan
penetrasi ke stratum korneum setelah spora melekat pada keratin.

Dalam upaya bertahan dalam menghadapi pertahanan imun yang terbentuk tersebut, jamur
patogen menggunakan beberapa cara:

9
1. Penyamaran, antara lain dengan membentuk kapsul polisakarida yang tebal, memicu
pertumbuhan filamen hifa, sehinggga glucan yang terdapat pada dinding sel jamur
tidak terpapar oleh dectin-1, dan dengan membentuk biofilamen, suatu polimer ekstra
sel, sehingga jamur dapat bertahan terhadap fagositosis.
2. Pengendalian, dengan sengaja mengaktifkan mekanisme penghambatan imun pejamu
atau secara aktif mengendalikan respons imun mengarah kepada tipe pertahanan yang
tidak efektif, contohnya Adhesin pada dinding sel jamur berikatan dengan CD14 dan
komplemen C3 (CR3, MAC1) pada dinding makrofag yang berakibat aktivasi
makrofag akan terhambat.
3. Penyerangan, dengan memproduksi molekul yang secara langsung merusak atau
memasuki pertahanan imun spesifik dengan mensekresi toksin atau protease. Jamur
mensintesa katalase dan superoksid dismutase, mensekresi protease yang dapat
menurunkan barrier jaringan sehingga memudahkan proses invasi oleh jamur, dan
memproduksi siderospore (suatu molekul penangkap zat besi yang dapat larut) yang
digunakan untuk menangkap zat besi untuk kehidupan aerobik.

Kemampuan spesies dermatofit menginvasi stratum korneum bervariasi dan dipengaruhi oleh
daya tahan pejamu yang dapat membatasi kemampuan dermatofit dalam melakukan penetrasi
pada stratum korneum.

Respons imun pejamu4

Terdiri dari dua mekanisme, yaitu imunitas alami yang memberikan respons cepat dan
imunitas adaptif yang memberikan respons lambat. Pada kondisi individu dengan sistem
imun yang lemah (immunocompromized), cenderung mengalami dermatofitosis yang berat
atau menetap. Pemakaian kemoterapi, obat-obatan transplantasi dan steroid membawa dapat
meningkatkan kemungkinan terinfeksi oleh dermatofit non patogenik.

Mekanisme pertahanan non spesifik4

Pertahanan non spesifik atau juga dikenal sebagai pertahanan alami terdiri dari:

1. Struktur, keratinisasi, dan proliferasi epidermis, bertindak sebagai barrier terhadap


masuknya dermatofit. Stratum korneum secara kontinyu diperbarui dengan
keratinisasi sel epidermis sehingga dapat menyingkirkan dermatofit yang
menginfeksinya. Proliferasi epidermis menjadi benteng pertahanan terhadap
dermatofitosis, termasuk proses keradangan sebagai bentuk proliferasi akibat reaksi
imun yang dimediasi sel T.
2. Adanya akumulasi netrofil di epidermis, secara makroskopi berupa pustul, secara
mikroskopis berupa mikroabses epidermis yang terdiri dari kumpulan netrofil di
epidermis, dapat menghambat pertumbuhan dermatofit melalui mekanisme oksidatif.
3. Adanya substansi anti jamur, antara lain unsaturated transferrin dan 2-makroglobulin
keratinase inhibitor dapat melawan invasi dermatofit.

10
Mekanisme pertahanan spesifik4

Lokasi infeksi dermatofit yang superfisial tetap dapat membangkitkan baik imunitas humoral
maupun cell-mediated immunity (CMI). Pembentukan CMI yang berkorelasi dengan Delayed
Type Hypersensitivity (DTH) biasanya berhubungan dengan penyembuhan klinis dan
pembentukan stratum korneum pada bagian yang terinfeksi. Kekurangan CMI dapat
mencegah suatu respon efektif sehingga berpeluang menjadi infeksi dermatofit kronis atau
berulang. Respons imun spesifik ini melibatkan antigen dermatofit dan CMI.

Antigen dermatofit4

Dermatofit memiliki banyak antigen yang tidak spesifik menunjukkan spesies tertentu. Dua
kelas utama antigen dermatofit adalah: glikopeptida dan keratinase, di mana bagian protein
dari glikopeptida menstimulasi CMI, dan bagian polisakarida dari glikopeptida menstimulasi
imunitas humoral. Antibodi menghambat stimulasi aktivitas proteolitik yang disebabkan oleh
keratinase, yang dapat memberikan respons DTH yang kuat.

CMI4

Pertahanan utama dalam membasmi infeksi dermatofit adalah CMI, yaitu T cell-mediated
DTH. Kekurangan sel T dalam sistem imun menyebabkan kegagalan dalam membasmi
infeksi dermatofit. Penyembuhan suatu penyakit infeksi pada hewan dan manusia, baik secara
alamiah dan eksperimental, berkorelasi dengan pembentukan respon DTH. Infeksi yang
persisten seringkali terjadi karena lemahnya respon transformasi limfosit in vitro, tidak
adanya respon DTH, dan peningkatan proliferasi kulit dalam respon DTH. Reaksi DTH di
mediasi oleh sel Th1 dan makrofag, serta peningkatan proliferasi kulit akibat respon DTH
merupakan mekanisme terakhir yang menyingkirkan dermatofit dari kulit melalui deskuamasi
kulit. Respon sel Th1 yang ditampilkan dengan ciri pelepasan interferon gamma (IFN-),
ditengarai terlibat dalam pertahanan pejamu terhadap dermatofit dan penampilan manifestasi
klinis dalam dermatofitosis.

Respons T Helper-1 (Th1). Sitokin yang diproduksi oleh sel T (Sitokin Th1) terlibat dalam
memunculkan respon DTH, dan IFN- dianggap sebagai faktor utama dalam fase efektor dari
reaksi DTH. Pada penderita dermatofitosis akut, sel mononuklear memproduksi sejumlah
besar IFN- untuk merespon infeksi dermatofit. Hal ini dibuktikan dengan ekspresi mRNA
IFN- pada lesi kulit dermatofitosis. Sedangkan pada penderita dermatofitosis kronis, produksi
IFN- secara nyata sangat rendah yang terjadi akibat ketidakseimbangan sistem imun karena
respon Th2.

Sel Langerhans.Infiltrat radang pada dermatofitosis terutama terdiri dari sel T CD4+ dan sel
T CD8+ yang dilengkapi oleh makrofag CD68+ dan sel Langerhans CD1a+. Sel Langerhans
dapat menginduksi respon Sel Langerhans dapat menginduksi respon sel T terhadap
trichophytin, serta bertanggung jawab dalam pengambilan dan pemrosesan antigen pada
respon Th1 pada lesi infeksi dermatofit.

11
Imunitas humoral. Pejamu dapat membentuk bermacam antibodi terhadap infeksi dermatofit
yang ditunjukkan dengan teknik ELISA. Imunitas humoral tidak berperan menyingkirkan
infeksi, hal ini dibuktikan dengan level antibodi tertinggi pada penderita infeksi kronis.

Gambar 2. Masuknya Jamur ke Dalam Tubuh Host.5

E. GEJALA KLINIS

Gambaran klinis dari tinea pedis dapat dibedakan berdasarkan tipe:

1. Interdigital: Ini terjadi dalam dua bentuk, bentuk infeksi yang paling umum biasanya
muncul di sela antara jari kaki ke-4 dan ke-5, kadang menyebar ke bagian bawah kaki.
Jenis pertama tinea pedis interdigital dikenal sebagai dermatofitosis simpleks, yaitu:
sebagian besar bersifat asimtomatik, kulit yang kering, bersisik, dan kadang disertai
pruritus.3
Bentuk kedua dermatofitosis kompleks dengan gejala: simtomatik, biasanya ruang
interdigital basah, maserasi pada sela jari terutama sisi lateral berupa kulit putih dan
rapuh, berfisura dan sering bau hyperkeratosis, leukokeratosis, dan erosi.3
Bentuk klinis ini dapat berlangsung bertahun-tahun dengan menimbulkan sedikit
keluhan atau tanpa keluhan. Pada suatu ketika dapat disertai infeksi sekunder oleh
bakteri sehinngga terjadi selulitis, limfanfitis, limfadenitis, dan erysipelas, dengan
gejala konstitusi.3

12
Gambar 3. Tinea Pedis Interdigitalis.6

2. Moccasin, tipe papuloskuamosa hiperkeratotik yang menahun. Pada seluruh kaki,


telapak kaki, dari telapak, tepi sampai punggung kaki terlihat kulit menebal dan
bersisik, eritema biasanya ringan dan terutama terlihat pada bagian tepi lesi, di bagian
tepi lesi dapat pula dilihat papul dan kadang-kadang vesikel. Sering terdapa di daerah
tumit, telapak kaki, dan kaki bagian lateral, dan biasanya bilateral.3

Gambar 4. Lesi Tinea Pedis Jenis Moccasin.6

3. Pada bentuk subakut terlihat vesikel, vesiko-pustul dan kadang-kadang bula.


Kelainan ini mula-mula terdapat pada sela jari, kemudian meluas ke punggung kaki

13
atau telapak kaki, dan jarang pada tumit. Lesi-lesi ini mungkin berasal dari perluasan
lesi daerah interdigital. Isi vesikel berupa cairan yang kental, jika diisi dengan nanah
merupakan indikasi bakteriemia sekunder biasanya Staphylococcus aureus. Setelah
pecah, vesikel tersebut meninggalkan sisik berbentuk lingkaran yang disebut kolaret.
Infeksi sekunder dapat terjadi, sehingga dapat menyebabkan selulitis, limfangitis, dan
kadang-kadang menyerupai erysipelas. Jamur terdapat pada bagian atas vesikel.
Untuk menemukannya, sebaiknya diambil atap vesikel atau bula untuk diperiksa
secara sediaan langsung atau untuk dibiak.
Varian lain yang menyebabkan leukokeratosis adalah bakteri Micrococcus,
Sedantarious, Brevibacterium epidermidis, C. minutisimum.3

Gambar 5. Tinea Pedis: Vesiko Bulosa pada Telapak Kaki.6

4. Bentuk akut ulseratif pada telapak dengan maserasi, madidans, dan bau.

Gambar 6. Tinea Pedis Tipe Ulseratif.

14
F. DIAGNOSIS

Diagnosis sering dapat dilakukan secara klinis, terutama jika lesi khas. Namun, diagnosisnya
bisa jadi sulit dengan penggunaan obat-obatan sebelumnya seperti kortikosteroid atau
inhibitor kalsineurin. Jika diagnosisnya diragukan (mis. tinea incognito karena obat-obatan
tertentu) pemeriksaan KOH wet-mount pada kerokan kulit dari batas lesi yang aktif atau
bagian atas vesikel harus dilakukan.2

Gambar 7. Hifa pada T. rubrum dengan menggunakan KOH.6

Setetes 10 sampai 20% KOH, dengan atau tanpa dimetil sulfoksida, diteteskan ke dalam
kerokan. Spesimen tersebut kemudian dipanaskan dengan lembut untuk mempercepat
penghancuran sel skuamosa jika tidak ada dimetil sulfoksida yang ditambahkan. KOH
melarutkan jaringan epitel, meninggalkan hifa aktif yang mudah divisualisasikan. Namun,
hasil negatif tidak mengesampingkan kemungkinan terjadinya infeksi jamur terutama pada
kasus inflamasi.2

Meskipun kultur jamur adalah standar emas untuk mendiagnosis dermatofitosis, tetapi
jarang digunakan, kecuali jika diagnosisnya diragukan, infeksinya parah, meluas, atau
resisten terhadap pengobatan. Banyak faktor yang menyebabkan kultur jarang digunakan
karena harganya mahal dan hasilnya membutuhkan waktu 7 sampai 14 hari. Media kultur
yang paling umum adalah agar pepton-glukosa Sabouraud. Dengan adanya infeksi bakteri
Gram negatif dapat menyebabkan penurunan sensitivitas kultur. Pemeriksaan dengan
menggunakan lampu Wood pada lesi tinea pedis tidak efektif karena biasanya tidak
berpendar. Biopsi kulit untuk histopatologi juga bisa bermanfaat bila diagnosisnya
diragukan.2

PCR (Polymerase Chain Reaction), memiliki manfaat yang sangat besar pada pemeriksaan
kultur dermatofit dengan kinerja morfologi yang mudah dan khas. Meskipun PCR lebih

15
menguntungkan dikarenakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi, metode ini tidak
dapat digunakan untuk memantau respons pasien terhadap pengobatan karena biayanya yang
sangat mahal.7

G. DIAGNOSA BANDING

Adapun diagnosis banding dari tinea pedis, diantaranya:

Dermatitis kontak alergi8

Dermatitis dengan gejala gatal disertai eritema, vesikel, skuama terutama pada jari-jari,
punggung, dan kaki. Diakibatkan oleh kontak dengan zat yang menyebabkan alergi.

Gambar 8. Dermatitis Kontak Alergi Kronik.8

Pityriaris Rubra Pilaris8

Pityriasis rubra pilaris (PRP) merupakan suatu penyakit kulit kronis yang etiologinya tidak
diketahui, dengan ciri-ciri papula folikular keratosis, hiperkeratosis palmoplantar, sumbatan
folikular, dan eritema perifolikular. Lesi PRP biasanya dimulai dari kulit kepala dan
berkembang kearah kaudal. Lesi biasanya bilateral simetris. Area kulit yang biasanya terkena
adalah telapak tangan, telapak kaki, jari, pergelangan tangan, dan paha, akan tetapi beberapa
area lain dikulit, termasuk kuku juga bisa terkena.

Gambar 9. Pityriaris Rubra Pilaris.

16
Paronychia8

Candida kadang menyebabkan infeksi di daerah periungual dan di bawah. Spesies Candida
(tidak selalu C albicans) dapat diisolasi dari kebanyakan pasien dengan paronychia kronis.
Ragi diyakini berperan etiologis dalam kondisi ini, namun secara bersamaan bakteri juga
dapat bertindak sebagai patogen. Dermatitis kontak langsung ke alergen makanan mungkin
berperan dalam patogenesis kondisi juga. Penyakit ini biasanya terjadi pada wanita dengan 2
kondisi predisposisi penting, yaitu sindrom Cushing dan penyakit Raynaud. Selain itu juga,
lebih sering terjadi pada orang yang tangannya sering terkena air.

Sebagai catatan: Infeksi Candida harus didiagnosis banding ketika satu atau lebih kuku
menjadi berubah warna, memiliki perubahan warna subungual, pemisahan kuku dari kuku,
dan kurangnya bukti dermatofit.

Gambar 10. Infeksi Kandida pada Kuku.8

Skabies pada Kaki

Gejala gatal pada badan, sela jari tangan, lipat paha, dan lipatan siku yang disebabkan oleh
tungau (kutu) skabies.

H. PENATALAKSANAAN

Agen topikal umumnya efektif untuk tinea pedis interdigital ringan. Agen topikal over-the-
counter (OTC) bekerja dengan cukup baik dan lebih murah, seperti clotrimazole
(LotriminTM, MycelexTM) dan miconazole (MonistatTM, MicatinTM), namun memerlukan
perawatan selama 4 minggu. Sedangkan jika menggunakan krim terbinafine (LamisilTM)
hanya membutuhkan waktu 1-2 minggu tetapi harganya lebih mahal, Dalam praktik klinis
kami, pilihan pertama pengobatan biasanya adalah krim OTC.9

17
Jika tinea pedis sangat luas menggunakan krim antijamur topikal, seperti keconazole
(SpectazoleTM) dan nistatin (MycostatinTM), yang memiliki sifat fungisida dan mencapai
penyembuhan dalam waktu yang lebih singkat. Pada tinea pedis yang lebih luas atau dengan
menggunakan topikal sudah tidak mempan lagi, maka obat oral yang tersedia dapat
digunakan.9

Durasi terapi dengan oral bisa 1-2 minggu tergantung pengobatan yang digunakan. Pada
kasus tinea pedis dengan tanda dan gejala inflamasi (termasuk eritema, pruritis, dan burning),
kombinasi steroid / krim antijamur dapat digunakan. Namun, steroid tidak perlu diberikan
saat tanda-tanda peradangan mulai berkurang.9

Tabel 1. Dosis yang direkomendasikan untuk antijamur sistemik yang berbeda pada
dermatofitosis.10

Terapi topikal kurang efektif daripada antijamur oral untuk pengobatan tinea pedis, dan
pengobatan oral umumnya diberikan selama 4-8 minggu. Dalam suatu tinjauan sistematis
mengenai efikasi antijamur oral, terbinafine ditemukan lebih efektif daripada griseofulvin,
sedangkan efikasi terbinafine dan itraconazole adalah serupa. Selain terapi antijamur,
perban/balutan basah Burrow (aluminium acetate 1% atau aluminium subacetate 5%),
dioleskan selama 20 menit 2-3 kali/hari, dapat membantu jika vesikulasi atau maserasi ada.
Dari berbagai jenis tinea pedis, tipe hyperkeratotik lebih sulit diobati karena skuama yang
tebal menyebabkan ketidakefektifan antijamur topikal dan membutuhkan durasi antijamur
sistemik yang lebih lama. Penggunaan agen keratolitik dan antijamur topikal bersamaan
dengan antijamur sistemik telah terbukti lebih bermanfaat dalam pencapaian awal
penyembuhan klinis dan mikologi dan juga mengurangi durasi penggunaan antijamur oral
yang dapat meningkatkan kepatuhan pasien menjadi lebih baik. Infeksi bakteri sekunder
harus diobati dengan antibiotik oral. Terapi adjuvan lainnya termasuk penggunaan bedak
antijamur dapat membantu mencegah maserasi.10

I. KOMPLIKASI

Komplikasi meliputi infeksi bakteri sekunder dan penyebaran infeksi jamur ke bagian tubuh
lainnya seperti kuku (onikomikosis), selangkangan (tinea cruris), wajah (tinea faciei), daerah
berjanggut (tinea barbae), dan tangan (tinea manum).2

18
Selulitis ekstremitas bawah6

Selulitis adalah infeksi bakteri pada lapisan subkutan, yang biasanya berasal dari lesi atau
perlukaan. Faktor predisposisi yang umum pada selulitis meliputi trauma, ulserasi,
insufisiensi vena dan limfatik, dan penyakit vaskular perifer. Infeksi tinea pedis tipe
interdigital, bisa dipersulit oleh selulitis. Hal tersebut disebabkan oleh kondisi yang basah di
sela-sela jari dan menyebabkan maserasi dan retak pada kulit. Karena kulit tidak bisa
memberikan perlindungan yang kuat sehingga bisa menjadi titik masuk beberapa jenis bakteri
patogen. Bakteri tersebut, misalnya Streptokokus -hemolitik (kelompok A, B C, F, dan G),
Staphylcoccus aureus, Streptococcus pneumoniae, dan bakteri gram negatif yang semuanya
itu bisa menyebabkan selulitis.

Tinea unguum (onikomikosis)6

Tinea pedis yang disebabkan oleh T. rubrum merupakan penyebab utama onikomikosis
subungual.

Dermatophytid dan granuloma Majocchi6

Dermatophytid, juga disebut sebagai reaksi "ID"yaitu reaksi imunologis sekunder akibat
tinea pedis bersamaan dengan infeksi tinea lainnya. Hal ini paling sering menyebabkan erupsi
vesikular atau pustular di dekat lokasi infeksi atau pada telapak tangan dan jari tangan.
Reaksi biasanya mereda dengan terapi antijamur. Pada beberapa pasien granuloma Majocchi
bisa sembuh seiring berjalannya waktu.

Asma dan penyakit atopik6

Ada sebuah penelitian menemukan T. rubrum pada pada penderita asma kronis ternyata
memiliki tinea pedis. Patogen yang dominan adalah T. rubrum (63,1%) dan T.
mentagrophytes (35,5%). Peneliti ini menyarankan agar penderita asma intrinsik perlu diuji
sensitivitas terhadap Trichophyton spp. Penelitian lain juga telah mendiskusikan
kemungkinan hubungan antara infeksi dermatofitik dan asma.

J. PROGNOSIS

Prognosis pada tinea pedis baik jika pengobatannya tepat. Jika tidak diobati, lesi tetap ada
dan menjadi progresif.2

K. KESIMPULAN

Tinea pedis (Athletes foot, ringworm of the foot, kutu air) adalah dermatofitosis pada kaki,
terutama pada sela-sela jari dan telapak kaki. Gejala klinis pada tinea pedis ini dibagi menjadi
4 tipe, yaitu: interdigitalis, moccasin, subakut, dan ulseratif. Penatalaksanaan dari tinea pedis
dengan memberikan antijamur topikal. Dalam penatalaksanaannya tersebut, harus dilihat
terlebih dahulu derajat keparahan dan apakah disertai dengan komplikasi dan infeksi
sekunder atau tidak.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A, Mochtar H, Siti A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi Keenam.
Jakarta: FKUI; 2010.h.93.
2. Leung AKC, Benjamin B. Tinea pedis. Aperito Journal of Dermatology. 2015 Apr
20;2(1):109.
3. Kumar V, Ragini T, Pradyot P, Chaitanya N, Richa G. Tinea pedis.Int J Biol Med
Res. 2015.
4. Kurniati, Cita RSP. Etiopatogenesis dermatofitosis. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit &
Kelamin. Desember 2008; 20(3):243-9.
5. Lakshmipathy DT, Krishnan K. Review on dermatomycosis: pathogenesis and
treatment. Natural Science. 2010 Apr 3; 2(7):726-31.
6. Hasan ML, Matthew F, Mahnaz S, Guha K. Dermatology for the practicing allergist:
Tinea pedis and its complications. Clin Mol Allergy. 2004 Mar 29; 2:1-14.
7. Sharma V, Tarun KK, Anima S, Ruchi S, Subhash C. Dermatophytes: Diagnosis of
dermatophytosis and its treatment. African Journal of Microbiology Research. 2015
May 13; 9(19): 1286-93.
8. Robbins CM, Boni EE, Michael JW, Lester FL, Dirk ME, Gregory JR. Tinea
pedis differential diagnoses. 2017 Jul 11.
9. Carlo CJ, Patricia MWB. Tinea pedis (athletes foot). The Health Care of Homeless
Persons. p.151-4.
10. Sahoo AK, Rahul M. Tatalaksana tinea corporis, tinea cruris, dan tinea pedis: Suatu
tinjauan komprehensif. Indian Dermatol Online J. 2016 Mar-Apr; 7(2):7786.

20

Vous aimerez peut-être aussi