Vous êtes sur la page 1sur 17

ANTAGONIS HISTAMIN

Pengaruh histamin yang dihasilkan tubuh dapat dikurangi dengan berbagai


cara. Antagonis fisiologis, terutama epinefrin, mempunyai kerja yang berlawanan
dengan histamin pada otot polos, tetapi bekerja pada reseptor yang berbeda. Hal
ini penting dalam klinik karena suntikan epinefrin dapat menghindarkan kematian
pada nagilaksis sistemik dan keadaan lain dimana terjadi pengeluaran histamin
berlebihan atau perantara lainnya.
Pelepasan inhibitor karena pemicuan imunologik akibat interaksi antigen-IgE
menurunkan degranulasi mast cells kromolin dan nedokromil tampaknya
mempunyai efek demikian dan digunakan dalam pengobatan asma, meskipun
mekanisme molekular dasar kerja obat tersebut belum diketahui sekarang.
Antagonis reseptor histamin merupakan pendekatan ketiga untuk mengurangi
respons yang perantarai histamin, suatu antagonis terhadap aktivitas histamin
dalam merangsang asam lambung. Penemuan antagonis reseptor H2 yang selektif
telah memberikan definisi kerja histamin yang lebih tepat dalam hubungannya
dengan reseptor khusus dan terapi yang lebih efektif untuk tukak lambung.
Antagonis H3 yang selektif belum ditemukan untuk penggunaan klinik.

Antagonis Reseptor H1
Senyawa yang secara kompetitif menghambat histamin pada reseptor H1 telah
digunakan dalam klinik sejak beberapa tahun yang lalu, dan 18 antagonis H1 telah
dipasarkan di Amerika. Beberapa diantaranya sebagai obat bebas dan dalam
bentuk formulasi kombinasi pil flu dan pengantar tidur

A. Farmakologi Dasar Antagonis Reseptor H1


Kimiawi dan Farmakokinetik
Obat-obat ini mudah diabsorpsi sesudah pemberian oral, dengan puncak
kosentrasi dalam darah terjadi 1-2 jam. Mudah didistribusikan ke seluruh
tubuh dan, kecuali untuk obat baru (terfenadin, loratadin, astemizol, dan
mekuitazin), masuk SSP dengan mudah.

1
Umumnya obat-obat mempunyai lama kerja efektif 4-6 jam setelah dosis
tunggal, tetapi meklizin dan penghambat H1 bekerja lama, dengan lama waktu
kerja 12-24 jam.

Beberapa Obat Anthistamin dalam Penggunaan Klinik


Obat Dosis Dewasa Komentar
Biasa
Etanolamin
Karbinoksamin (Clistin) 4-9 mg Sedasi ringan sampai sedang

Dimenhidrinat (garam 8-kloroteofillin 50 mg Ditandai sedasi : aktivitas anti-


difenhidramin) motion sickness
(dramin dan lain-lain)
Difenhidramin (Benadyl dan lain-lain) 25-50 mg Ditandai sedasi : aktivitas anti-
motion sickness
Doksilamin (Decapryn) 1,25-25 mg Ditandai sedasi : sekarang tersedia
hanya pada OTC penolong tidur
Etilenediamin
Antazolin 1-2 tetes Komponen larutan oftalmik
Pirilamin (neo-Antergan) 25-50 mg Sedasi sedang : komponen OTC
penolong tidur
Tripelenamin (PBZ) 25-50 mg Sedasi sedang
Derivat Piperazin
Siklizin (Merezine) 25-50 mg Sediasi ringan : aktivitas anti-motion
sickness
Mecklizin (bonine dan lain-lain) 25-50 mg
Sediasi ringan : aktivitas anti-motion
sickness
Alkilamin
Bromfeniramin (Dimetane dan lain-lain) 4-8 mg Sedasi ringan
Klorfeniramin (Chlor-trimeton dll) 4-8 mg Sedasi ringan : komponen umum
OTC medikasi demam
Deksklorfeniramin (polaramine) 2-4 mg Sedasi ringan : insomer
klorfeniramin aktif
Derivat fenotiazin
Prometazin (phenergen dan lain-lain) 10-25 mg Ditandai sedasi aktivitas antiemetik
dan antimuskarinik.
Piperidin
Astemizol (Hismanai) 10 mg Menurunkan insidens sedasi
Terfenadine (saldane) 60 mg Menurunkan insidens sedasi
Lain-lain
Siproheptadin (penactin dan lain-lain) 4 mg Sedasi sedang : juga mempunyai
aktivitas antiserotinin
Loratadin (claritin) 10 mg Memperpanjang kerja, sedikit sedasi
1. Farmakodinamik

2
a. Penghambatan Reseptor Hitamin :
Antagonis reseptor H1menghambat kerja histamin secara antagonis
kompetitif yang reversibel pada reseptor H1. potensinya untuk reseptor
H2 dapat diabaikan dan kecil untuk reseptor H3.
b. Kerja yang tidak disebabkan oleh penghambatan reseptor histamin
Antagonis reseptor H1 banyak mempunyai kerja yang tidak dapat
dijelaskan sebagai penghambatan kerja histamin.
1) Sedasi
Efek yang banyak dijumpai dari antagonis H1 adalah sedasi, tetapi
intensitas efek berbeda diantara subgrup kimiawi dan antar pasien
sendiri. Efek ini jelas terlihat dengan beberapa obat yang
digunakan sebagai obat pembantu tidur dan tidak cocok
digunakan siang hari. Pengaruhnya mirip dengan obat
antimuskarinik.
Disebutkan juga bahwa obat antihistamin efektif untuk profilaksis
motion sickness juga penggunaan pada sindrom meniere, tetapi
efikasi dalam penggunaan ini belum jelsa.
c. Mual dan muntah hamil
Beberapa obat antara gonis H1 telah diteliti untuk kemungkinan
pengobatan motion sickness. Masalah malformasi fetal akibat
penggunaan Bendectin ini dibicarakan dibawah ini.

Toksisitas
Efek toksik ringan dari penggunaan sistemik meliputi eksitasi dan
konvulasi pada anak-anak, hipotensi postural, dan respon alergi.
Kemungkinan adanya efek teratogenik akibat doksilamin
dipublikasikan oleh media massa secara luas setelah tahun 1978 akibat
laporan kasus malformasi janin yang dikaitkan dengan ibu yang minum
Bendectin. Tetapi setelah penelitian prospektif dengan 6000 kehamilan dan
3000 pengguna Bendektin tidak terlihat peningkatan cacar.

Interaksi Obat

3
Ketiga obat terakhir menghambat netabolisme obat-obat pada
umumnya dan meningkatkan konsetrasi antihistamin dalam darah. Bahaya
dari interaksi ini yaitu, seperti pada terfenadin dan astemizol harus dilarang
untuk pasien yang menggunakan ketokonazol.
Untuk antagonis H1 yang menyebabkan sedasi hebat, penambahan
obat-obatan yang menyebabkan depresi SSP akan memberikan efek aditif
dan merupakan kontra indikasi jika menjalankan kendaraan atau
menggunakan mesin-mesin.

Antagonis Reseptor H2
Frekuensi penyakit tukak lambung dan keluhan saluran usus cerna
yang berkaitan, merupakan perhatian yang besar dalam penggunaan
potensi antagonis reseptor H2. karena kemampuan obat golongan ini
mengurangi sekresi asam lambung, obat-obat itu sekarang paling banyak
digunakan di AS.

1. Farmakologi dasar Antagonis Reseptor H2


a. Kimiawi dan Farmakokinetik
Karena bersifat toksik, obat-obat ini tidak lagi digunakan. Empat
antagonis H2 yang beredar di USA adalah : simetidin, ranitin,
femotidin, dan nizatidin.
b. Farmakodinamik
1) Cara Kerja
Antagonis H2 yang ada sekarang dapat berkopetisi secara
reversibel dengan histamin pada reseptor H2.

Obat-obat Penghambat Reseptor H2

4
2)
c. Alkaloloid amin dengan prototip erdonovin

2) Efek pada sistem organ


a) Sekresi asam dan gerakan lambung
Kerja antagonis reseptor H2 yang paling penting adalah
mengurangi sekresi asam lambung.
b) Efek lain yang berhubungan dengan penghambatan reseptor H2
Dengan dosis yang menghambat sekresi asam lambung, simetidin
dan ranitidin mempunyai efek yang rendah terhadap jantung atau
tekanan darah.
c) Efek yang tidak ada hubungan dengan penghambatan reseptor
H2
Semetidin dan ranitidin, walaupun tidak terlalu kuat, dapat
menhambat sistem metabolisme oksidasi sitokrom P450.

5
B. Oksitosin dan Ekstrak Hipofisis Posterior
Hipofisis posterior menyimpan dan melepaskan oksitosin dan hormon anti
diuretik (ADH, vasoperin).
1. Fisiologi merangsang otot polos uterus dan kelenjar mama.
Fungsi perangsangan ini bersifat selektif dan cukup kuat. Stimulus
sensoris pada servick, vagina dan payudara secara refleks melepaskan
oksitosin dari hipofisis posterior. Sensitivitas uterus terhadap oksitosin
meninggi bersamaan dengan bertambahnya umur kehamilan. Oksitosin
dianggap memberikan kemudahan bertambahnya umur kehamilan.
Oksitosin dianggap memberikan kemudahan dalam persalinan serta
memegang peranan penting dalam refleks ejeksi susu.
2. Farmakologi
Uterus. Oksitosin merangsang frekuensi dan kekuatan kontraksi otot polos
uterus, tergantung pada kosentrasi estrogen. Pada kosentrasi estrogen yang
rendah, efek oksitosin terhadap uterus berkurang. Uterus imatur kurang
peka terhadap oksitosin. Respon uterus terhadap oksitosin sejalan dengan
peningkatan aktivitas motorik. Meskipun ada perbedaan antar individu,
umumnya persalinan berlangsung setelah infus oksitosin 25 mili unit
(0,05,49).
Efek ADH. ADH llebih nyata efeknya pada uterus tidak hamil. Hanya
pada trimester terakhir kehamilan, efek oksitosin lebih nyata dari ADH.
Beberapa peneliti berpendapat bahwa nyeri haid berhubungan dengan
peninggian tonus dan tekanan intrauterin timbul secara konsisten oleh
ADH, bukan oleh oksitosin.
Kelenjar mama, bagian alveolarnya dikelilingi jaringan otot polos, yaitu
mioepitel. Kontraksi meopitel menyebabkan susu mengalir dari saluran
alveolar kedalam sinus yang besar, sehingga mudah dihisap bayi (fungsi
ejeksi susu) kontraksi miopitel tidak tergantung pada saraf otonom, tetapi
dikontrol oleh oksitosin. Sediaan oksitosin berguna untuk memperlancar
ejeksi susu, bila oksitosin endogen tidak mencukupi, juga berguna untuk
mengurangi pembengkakan payudara pasca persalinan.

6
Sistem kardiovaskular. Apabila oksitosin diberikan dalam dosis besar akan
terlihat relaksasi otot polos pembuluh darah secara langsung. Terjadi
penurunan tekanan sistolik terutama tekanan diastolik, warna kulit menjadi
merah dan aliran darah ke ekstremitas bertambah. Secara refleks akan
timbul takikardia dan peninggian curah jantung. Bila dosis besar diberikan
secara terus-menerus secara infus, maka penurunan tekanan darah akan
diikuti sedikit peninggian tekanan darah tetapi menetap. Bila mekanisme
refleks kompensasi menurun misalnya pada penggunaan obat bersamaan
dengan penghambat ganglion atau penghambat simpatis, maka penurunan
tekanan darah akan lebih nyata.
Efek lain, sosis besar oksitosin mungkin menimbulkan intoksikasi air
terutama pada penderita yang mendapat cairan infus dalam jumlah besar.
Oksitosin dapat mensupresi sekresi ACTN.
3. Farmakokinetik
Oksitosin diabsorpsi dengan cepat melalui mukosa mulut dan bukal,
sehingga memungkinkan oksitosin diberikan sebagai tablet isap. Cara
pemberian nasal atau tablet isap dicadangkan untuk penggunaan pasca
persalinan. Selama kehamilan, kadar aminopeptidase dalam plasma
(oksitosine atau sistil amino peptidase) meningkat sepuluh kali dan
menurun setelah persalinan enzim ini mengaktifkan oksitosin dan ADH
melalui pemecahan ikatan peptida. Diduga sumber oksitosinase ini adalah
plasenta. Waktu parahnya antara 12-17 menit. Penurunan kadar plasma
sebagian besar disebabkan eksresi oleh ginjal dan hati.
4. Sediaan
Suntikan oksitosin (pitocin) berisi 10 unit USP/ml, dapat diberikan IM
atau IV. Semua sediaan yang beredar sekarang adalah sediaan sintetik.
Oksitosin juga terdapat dalam bentuk semprot hidung berisi 40 unit
USP/ml, sediaan subliual yang berisi 200 unit USP pertablet.

C. Farmakologi Klinik dari Antagonis Reseptor H2


1. Tukak Lambung Duodenal
Diperkirakan 10% orang dewasa di Barat akan menderita penyakit tukak
lambung dalam hidupnya. Meskipun angka mortalitas

7
H2 ditujukan untuk menurunkan keasaman dengan obat-obat
antimuskarinik dan antasida. Namun, obaty antimuskarinik harus
digunakan dalam dosis tinggi sehingga menyebabkan efek samping yang
cukup besar. Antasida mengurangi gejala dan, dalam dosis tinggi, akan
mempercepat kesembuhan. Namun diperlukan dosis berulang dan
keputusan pasien kurang kecuali selama fase simtomatik akut pada
penyakit.
2. Tukak lambung
Untuk pasien dengan tukak, lambung jinak, pemberian antagonis reseptor
H1 akan menghilangkan gejala dan mempercepat kesembuhan. Dosis sama
dengan untuk pengobatan penyakit duodenum.
3. Esofagitis erosit (gangguan refluks gastroesofagus)
Esofagitis erosif sering memerlukan pemberian dosis yang lebih sering
dibanding tukak lambung. Dosis harian total yang lebih tinggi, tetapi
dibagi paling tidak kali sehari.
4. Kondisi hipersekresi
Mastositosis sistemik dan adenoma endokrin multipel sering menyebabkan
hipersekresi.
5. Kondisi lain
Keuntungan penggunaan obat pada pasien, belum diketahui secara
lengkap.

Toksisitas
Yang sakit kepala, dan ruam kulit beberapa efek lain dijelaskan
dibawah:
a. Disfungsi SSP
b. Efek endokrin
c. Diskrasias darah
d. Toksisitas hati
e. Kehamilan dan ibu yang menyusukan

8
Interaksi Obat
Simetidin menghambat jalur metabolisme oksidasi obat yang
menggunakan enzim kataisator sitokrom P450. obat ini mengurangi aliran
darah hati, yang juga akan mengurangi bersihan obat-obat lain. pemberian
bersama simetidin dengan salah satu obat-obat lain. pemberian bersama
simetidin dengan salah satu obat-obat berikut akan meningkatkan efek
farmakologik ataupun toksisitas : warfarin, fenitoin, propranolol,
metoprolol, labetalol, kuinidin, kafein, lidokain, teofilin, alprazolam,
diazepam, flurra zepam, triazolam, klordiazepoksid, karbamazepin, etanol,
anti depresan trisklik, metronidazol, penghambat saluran kalsium, dan
sulfonilurea.

Serotonin (5-Hidroksitriptamin)
Sebelum 5-hidroksitriptamin (5-HT) dikenal, telah diketahui jika darah
dibiarkan membeku akan melepaskan suatu zat vasokonstriktor dari
bekuan tersebut ; zat ini disebut serotinin. Dalam kajian lain dikuktikan
adanya rangsangan otot polos pada mukosa intestinum yang disebut
enteramin, diketahui serotonin dan enteramin merupakan metaboliy yang
sama dari 5-hidroksitriptofan.
Serotinin diketahui berperan dalam beberapa penyakit dan mungkin
masih banyak penyakit lain yang belum diktahui. Salah satu kondisi
tersebut disebut Sindrom serotinin.

1. Farmakologi Dasar Serotinin


Kimiawi dan farmakokinetik
Seperti halnya dengan histamin, serotinin tersebar luas dalam alam,
terdapat pada jaringan tanaman ataupun hewan, bisa, dan sengatan. Pada
kelenjar pineal, serotonin merupakan prekursor melatonin yaitu hormon
stimulator melanosit. Pada mamalia (termasuk manusia), lebih 90%
serotinin tubuh terdapat dalam-sel-sel enterokromafin pada saluran
gastrointestinal. Dalam darah, serotinin ditemukan dalam trombosit, yang

9
dapat mengkosentrasikan amin melalui mekanisme karier aktif seperti
vesikel noradrenergik dan serotonergik ujung saraf.
Fungsi serotinin dalam sel enterokromafin tidak jelas. Serotinin
dimetabolisasi oleh monoamin oksidase dan hasil antara adalah 5-
hidrosiindolasetaldehid, yang selanjutnya dioksidasi oleh aldehid
dehidrogenase.
a. Mekanisme kerja
Kerja serotinin diperantarai melalui berbagai reseptor yang terdapat
pada membran sel. Reseptor-reseptor serotinin yang telah dikenal dan
dijelaskan lebih jauh. Tujuh macam subtipe reseptor 5-HT telah
dikenal, termasuk reeptor yang berpasangan dengan protein G dan
saluran ion yang diatur ligan.

Subtipe Reseptor Serotinin

10
b. Efek pada jaringan dan sistem organ
1) Sistem cardiovaskular
Serotinin secara langsung dapat menyebabkan kontraksi otot polos.
Pada manusia, serotinin merupakan vasokonstriktor kuat kecuali
pada otot polos skelet dan jantung, bersifat memperlebar pembuluh
darah.
Serotinin juga menyempitkan vena dan venokonstriksi dengan
peningkatan pengisian kapiler, tampak menimbulkan flush yang
dapat terlihat setelah pemberian serotinin.
2) Saluran gastrointestinal
Serotinin menyebabkan otot polos gastrointestinal, meningkatkan
tonus dan memacu peristaltik. Dalam dosis besar antagonis
serotinin tidak menimbulkan konstipasi. Sebaliknya kelebihan
produksi serotinin (dan substansi lain) dalam tumor karsinoid
menyebabkan diare hebat.
3) Pernapasan
Serotinin mempunyai efek perangsang langsung dan lemah
terhadap otot polos bronkioli pada orang normal.
4) Sistem saraf
Seperti histamin, serotinin merupakan perangsang sakit yang kuat
dan menimbulkan gatal pada ujung saraf sensoris, menyebabkan
beberapa gejala sengatan insek ataupun racun tanaman.
Berbagai obat dapat mengaktifkan refleks kemoreseptor. Antara
lain agonis kolinoseptor nikotinik dan glisida jantung, seperti
ouabain.

2. Farmakologi Klinik Serotinin


Serotinin tidak digunakan sebagai obat, buspiron, agonis 5-HT1a
banyak digunakan sebagai ansiolitik non benzodiazepin yang efektif.
Sumatriptan, analog serotinin yang baru, adalah agonis 5-HT1a. obat ini
efektif dalam pengobatan migren akut dan serangan sakit kepala setempat,

11
membuktikan adanya hubungan kelainan serotinin engan sindrom sakit
kepala (Moskowitz, 1993).
Setelah pemberian subkutan 6 mg sumatriptan suksinat, 70% pasien
yang menderita serangan migren akan mengalami kesembuhan.

Antagonis Serotinin
Antagonis demikian tidak banyak diperlukan pasien karsinoid tumor
dan hanya berguna untuk kondisi tertentu saja.
Seperti dijelaskan diatas, sintesis serotinin dapat dihambat oleh p-
klorofenilalanin dan p-kloroamfetamin.

Antagonis Reseptor Serotinin


Seproheptadin mirip dengan obat antihistamin fenotiazin dalam
struktur kimia dan mempunyai kerja menghambat reseptor H1 yang kuat.
Mencegah efek otot polos pada kedua amin tetapi tidak mempunyai efek
paa sekresi lambung yang dirangsang oleh histamin.
Ketaserin merupakan obat penghambat reseptor 5-HT1c dan 5-HT2
serta sedikit atau tidak mempunyai aktivitas antagonis pada reseptor 5-HT
atau H1 lainnya. Obat ini juga menghambat adrenoseptor 1 vaskular.
Ritanserin, antagonis 5-Ht2 lainnya, sedikit atau tidak mempunyai sifat
kerja menghambat alfa.
Ondansetron, dosis efektif 0,1 dan 0,2 mg/kg intravena. Obat ini
digunakan untuk mual dan muntah sesudah operasi, ansietas, dan
psikogenik lain.

1. Farmakologi dasar Alkaloid Ergot


a. Kimiawai dan farmakokinetik
Alkaloid amin juga diabsorpsi dari rektum dan rongga mulut serta
sesudah pemberian inhaler aerosol. Absorpsi sesudah suntikan
intramuskular lambat tetapi biasanya dapat dipercaya, bromokriptin
diabsorpsi dengan baik dari saluran cerna.

12
Alkaloid ergot dimetabolisasi sempurna di dalam tubuh. Metabolit
primer mengalami hidroksilasi pada cincin A. dan alkaloid peptida
juga diubah dalam bentuk peptida tersebut. Sebagian besar dari
metabolit metisergid mengalami demetilasi pada posisi N1.
b. Farmakodinamik
1) Cara kerja
Alkaloid ergot bekerja pada berbagai tipe reseptor. Efeknya berupa
agonis, agonis parsial, dan antagonis pada adrenoseptor alfa dan
reseptor serotinin serta agonis pada reseptor dopamin di SSP.
2) Efek pada sistem alat tubuh
a) Seperti gejala ergotisme yang dialami secara
tradisional, alkoloid alamiah tertentu mempunyai sifat
halusinogenik yang kuat. Obat ini digunakan dalam
laboratorium sebagai antagonis 5-HT2 perifer yang kuat.
b) Otot polos vaskular
Ergotamin dan senyawanya memberikan penyempitan pada
sebagian besar pembuluh darah manusia sesuai dengan
perkiraan, lama dan kekuatannya.
Meskipun vasokonstriksi akibat alkaloid ergot dapat dijelaskan
sebagai efek agonis parsial pada adreseptor alfa, sebagian efek
itu dapat sebagai akibat efek pada reseptor 5-HT. erogotamin,
ergonovin, dan metisergid adalah agonis parsial pada reseptor
vaskular 5-HT2.
Ergotamin adalah alkaloid ergot yang khas dengan kerja
spektrum vasokonstriksi yang kuat. Hidrogenasi alkaloid ergot
pada posisi 9 dan 10 akan menghasilkan derivat dihidro yang
mempunyai efek lebih lemah pada otot polos dan efek
serotonin serta lebih selektif dalam kerjanya sebagai
penghambat reseptor alfa.

13
c) Otot polos uterus
Kemampuan ergot alkaloid memacu uterus, seperti pada otot
polos vaskular, merupakan kombinasi efek agonis alfa,
serotinin dan lainnya.
Dengan dosis sangat kecil, sediaan ergot meningkatkan
kontraksi ritmis dan relaksasi uterus. Pada kosentrasi yang
lebih tinggi obat ini menimbulkan kontraktur yang panjang.
d) Alat-alat berotot polos lainnya
Pada banyak penderita, alkalid ergot tidak mempunyai efek
yang bermakna pada otot polos bronchiolar. Mual, muntah dan
diare disebabkan oleh dosis rendah pada eberapa pasien tetapi
hanya dengan dosis tinggi pada pasien lainnya. Efek ini
konsisten dengan kerja pada pusat emetik SSP dan pada
reseptor serotinin saluran cerna.

2. Farmakologi Klinik Alkaloid Ergot


Penggunaan klinik
a. Migren
Efikasi dari derivat ergot dalam terapi migren snagat spesifik sehingga
dpat dijadikan tes diagnostik. Ergotamin tartrat dapat diberikan per
oral, subliual, supositoria rektal, dan inhaler. Sering dikombinasikan
dengan kafein (100 mg kafein untuk 1 mg ergotamin tartrat) untuk
mempercepat absorpsi ergot.
Vasokonstriksi akibat ergot bersigat lama dan kumulatif bila obat
diberikan berulang, seperti pada serangan hebat. Karena itu, pasien
harus diberitahu agar jangan lebih dari 6 mg perparat oral yang
diminum untuk setiap serangan dan tidak boleh lebih 10 mg
perminggu. Untuk setiap serangan berat, 0,25-0,5 mg ergotamin tartrat
dapat diberikan intravena atau intramuskular. Dihidroergotamin, 0,5-1
mg intravena, disukai oleh beberapa dokter untuk pengobatan migren
hebat. Dihidroergotamin intranasal atau oral, yang masih dalam
penelitian, juga efektif.

14
Penggunaan kronik metisergid dapat menyebabkan fibroplasia
retroperitoneal dan fibrosis subendokardium, meskipun mungkin
melalui efek vaskularnya. Karena itu, pasien yang mendapatkan
metisergei menghentikan obat 3-4 minggu setiap 6 bulan.
Propranolol dan amitriptili juga efektif untuk profilaksis migren,
seperti pada halnya metisergid, obat ini tidak berguna untuk
pengobatan migren akut. Flunarizin, penghambat saluran kalsium,
dibakarkan pada uju pertama efektif untuk menurunkan serangan akut
dan menghambat terjadinya ulangan.
Sumatriptan, efektif sebagai alternatif ergotamin untuk pengobatan
serangan migren akut.
b. Hiperprolaktinemia
Karena efek umpan balik (feed back) negatif, hiperprolaktinemia
mempengaruhi amenore dan infertalitas pada wanita serta galaktore
pada kedua jenis kelamin.
Bromokriptin mesilat sangat efektif menurunkan kadar prolaktin yang
tinggi akibat tumor pituitari dan bahkan dapat memperkecil tumor
dalam beberapa kasus.
c. Perdarahan pasca kelahiran
Waktu itu penggunaannya untuk mempercepat persalinan yang
menyebabkan peningkatan kematian fetal dan maternal. Karena itu,
derivat dan ergot berguna hanya untuk mengatasi perdarahan uterus
dan jangan digunakan sebelum lahir.
d. Diagnosis angina varian
Ergonovin memberikan vasokonstriksi cepat pada pembuluh kororner
yang memberikan respons apastik.
e. Insufisiensi serebral pada manula
Telah dianjurkan bertahun-tahun untuk menghindarkan ketuaan dan
akhir-akhir ini untuk pengobatan demensia Alzheimer. Tidak terbukti
hasil yang menguntungkan.

15
Toksisitas dan Kontraindikasi
Efek toksik yang lebih berbahaya dari takar lanjak dengan ergotamin dan
ergonovin adalah vasospasme yang lama. Tanda-tanda dari perangsangan
otot polos vaskular dapat menimbulkan gangren dan memerlukan
amputasi.
Efek toksik alkaloid ergot lain adalah ngantuk dan, metisergik, rangsangan
pusat dan halusinasi dalam kenyataannya, metisergid sudah digunakan
sebagai pengganti LSD oleh kelompok masyarakat Budaya obat
Kontraindikasi penggunaan derivat ergot adalah penyakit vaskular
obstruktif dan kolagen.
Tidak terdapat bukti bahwa penggunaan ergot biasa atau metisergid untuk
migren berbahaya selama kehamilan. Sebaiknya dokter berhati-hati dan
tidak menggunakan obat-obat tersebut pada pasien hamil.

16
DAFTAR PUSTAKA

Katzuna, Betram G. 1994. Buku Bantuan farmakologi. Jakarta : Penerbit Buku


Kedoketaran EGC.
Gawiswarna, Sulistia G, 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Gaya Baru.

17

Vous aimerez peut-être aussi