Vous êtes sur la page 1sur 24

1

1. Apa yg dimaksud intoksikasi karbamat?


Insektisida dari golongan karbamat adalah racun saraf yang bekerja
dengan cara menghambat kolinesterase (ChE). Jika pada golongan
organofosfat hambatan tersebut bersifat irreversible (tidak dapat dipulihkan),
pada karbamat hambatan tersebut bersifat reversible (dapat dipulihkan).
http://eprints.undip.ac.id/17532/1/YODENCA_ASSTI_RUNIA.pdf

2. Apa saja yg menyebabkan keracunan?


Pengklasifikasian bahan toksik yang menjadi penyebab keracunan:
Menurut keadaan fisik : gas, cair, debu
Menurut ketentuan label : eksplosif, mudah terbakar, oksidizer
Menurut struktur kimiawi : aromatik, halogenated, hidrokarbon, nitrosamin
Menurut potensi toksik : super toksik, sangat toksik sekali, sangat toksik, toksik,
agak toksik
BAHAN PENYEBAB KERACUNAN
Ada berbagai macam kelompok bahan yang dapat menyebabkan keracunan, antara
lain :
o Bahan kimia umum ( Chemical toxicants ) yang terdiri dari berbagai
golongan seperti pestisida ( organoklorin, organofosfat, karbamat ), golongan
gas ( nitrogen, metana, karbon monoksida, klor ), golongan logam (timbal,
posfor, air raksa, arsen), golongan bahan organik ( akrilamida, anilin, benzena
toluene, vinil klorida fenol ).
Bahan kimia

Bahan
Penjelasan Potensi Bahaya Kesehatan
Kimia
Senyawa ini beracun dan korosif.
Simpanlah dalam botol berwarna
Dapat menyebabkan luka bakar dan kulit melepuh.
AgNO3 dan ruang yang gelap serta
Gas/uapnya juga menebabkan hal yang sama.
jauhkan dari bahan-bahan yang
mudah terbakar.
Senyawa ini beracun dan bersifat
Dapat menyebabkan luka bakar dan kulit melepuh.
HCl korosif terutama dengan
Gas/uapnya juga menebabkan hal yang sama.
kepekatan tinggi.
Senyawa ini mudah terbakar dan Menghirup bahan ini dapat menyebabkan pingsan,
H2S
beracun gangguan pernafasan, bahkan kematian.
Senyawa ini sangat korosif,
higroskopis, bersifat membakar
Jangan menghirup uap asam sulfat pekat karena
bahan organik dan dapat
dapat menyebabkan kerusakan paru-paru, kontak
H2SO4 merusak jaringan tubuh
dengan kulit menyebabkan dermatitis, sedangkan
Gunakan ruang asam untuk
kontak dengan mata menyebabkan kebutaan.
proses pengenceran dan
hidupkan kipas penghisapnya.
Senyawa ini bersifat higroskopis
NaOH Dapat merusak jaringan tubuh.
dan menyerap gas CO2.
Senyawa ini mempunyai bau Menghirup senyawa ini pada konsentrasi tinggi dapat
NH3
yang khas. menyebabkan pembengkakan saluran pernafasan dan
2

sesak nafas. Terkena amonia pada konsentrasi 0.5%


(v/v) selama 30 menit dapat menyebabkan kebutaan.
Hindarkan kontak dengan kulit. Jangan menghirup
HCN Senyawa ini sangat beracun. gas ini karena dapat menyebabkan pingsan dan
kematian.
Gas/uap maupun larutannya Dapat menyebabkan iritasi kulit, mata, dan saluran
HF
sangat beracun. pernafasan.
Dapat menyebabkan luka bakar, menghirup uapnya
HNO3 Senyawa ini bersifat korosif.
dapat menyebabkan kematian.

o Racun yang dihasilkan oleh makluk hidup ( Biological toxicants ) mis :


sengatan serangga, gigitan ular berbisa , anjing dll
o Racun yang dihasilkan oleh jenis bakteri ( Bacterial toxicants ) mis :
Bacillus cereus, Bacillus cocovenans (pada tempe bongkrek), Compilobacter
jejuni, Clostridium botulinum (pada makanan kaleng), Staphilococcus aureus
(pada makanan basi) Escherichia coli dll
o Racun yang dihasilkan oleh tumbuh tumbuhan ( Botanical toxicants ) mis
: jamur amnita, jamur psilosibin, oleander, kecubung dll
o Makanan : jamur, jengkol, singkong (mengandung HCN)
Sumber : Pencegahan keracunan secara umum BPOM

3. Faktor-faktor yg mempengaruhi intoksikasi?

Berat ringannya keracunan oleh bahan kimia atau oleh bahan-bahan racun lainnya
tergantung pula pada faktor:
1. Sifat racun :
Keracunan akut
Keracunan kronis(menahun).
Keracunan sistemik yaitu keracunan yang mempengaruhi keseluruh atau
mempengaruhi sebagian dalam tubuh, seperti hati, ginjal,jantung dan lain-lain.
2. Cara masuknya ke dalam tubuh :
Melalui aspirasi (pernapasan).
Melalui mulut (gastrointestinal).
Melalui absorpsi kulit dan jalan kontak (bersentuhan) atau dengan jalan
tertumpah melalui kulit
3. Sifat-sifat bahan racun :
Racun bersifat korosif dan iritatif, yaitu racun yang merusak dan merangsang
jaringan-jaringan pada alat-alat pernapasan, alat-alat pencernaan dan kulit.
Racun yang merusak saraf (neurotoksis) seperti racun bisa ular tanah (ular
gebuk), racun yang merusak saraf pusat (central nervous depression) seperti
Carbon Disulfide CS2 dan sebagainya.
Racun yang merusak sel-sel darah sebagai racun pelarut darah (hematotoksis
dan hemapotic) seperti bahan-bahan kimia yang mengandung senyawa arsen
dan racun hewan bisa ular kobra.
4. Banyak racun yang masuk kedalam tubuh baik melalui aspirasi, melalui absorpsi
kulit maupun mulut(oral).
5. Jenis / macam dan kadar racun :
Racun kuat, racun agak kuat, racun sedang dan racun lemah.
3

Keracunan oleh bahan-bahan kimia tergantung pula pada sifat-sifat kimia dan
fisik dari bahan-bahan tersebut
- Kecepatan absorpsi ditentukan, oleh daya larut dari bahan-bahan
tersebut. Struktur kimia menentukan pengaruh bahan tersebut terhadap
metabolisme dari sel-sel dalam tubuh.
- Sifat fisik seperti besarnya partiket-partikel debu mempengaruhi daya
penetrasi (penembusannya) dalam paru-paru.
- Sifat reaksi jaringan, mekanisme dan eliminasi (pengeluarannya)
bahan-bahan kimia tersebut dari tubuh.
- Keadaan / kondisi pribadi. Mekanisme dan eleminasi dan kepekaan
seseorang terhadap bahan-bahan kimia tertentu.

4. Mengapa pada pasien mengalami penurunan kesadaran,muntah dan kejang?


Interpretasi dari vital sign?
5. Mengapa pupil miosis dan isokor?
6. Mengapa tampak hiperhidrosis dan hipersaliva dan tremor ekstremitas? Apa saja efek
muskarinik,efek nikotinik,dan efek toksin pd SSP?

Tabel 2. Efek muskarinik, nikotinik dan saraf pusat pada toksisitas organofosfat.
Efek Gejala
1. Muskarinik - Salivasi, lacrimasi, urinasi dan diaree (SLUD)
- Kejang perut
- Nausea dan vomitus
- Bradicardia
- Miosis
- Berkeringat
2. nikotinik - Pegal-pegal, lemah
- Tremor
- Paralysis
- Dyspnea
- Tachicardia
3. sistem saraf pusat - Bingung, gelisah, insomnia, neurosis
- Sakit kepala
- Emosi tidak stabil
- Bicara terbata-bata
- Kelemahan umum
- Convulsi
- Depresi respirasi dan gangguan jantung
- Koma

Gambaran klinis yang dapat menunjukkan bahan penyebab keracunan


Gambaran Klinis Kemungkinan Penyebab
Opioid
Inhibitor kolinesterase
Pupil pin point, RR
Klonidin
Fenotiazin
Dilatasi pupil, RR Benzodiazepin
Dilatasi pupil, takikardia Antidepresan trisiklik
4

Amfetamin, ekstasi, kokain


Antikolinergik (benzeksol, benztropin)
Antihistamin
Obat depresan SSP
Sianosis
Bahan penyebab methemoglobinemia
Hipersalivasi Organofosfat/karbamat, insektisida
Nistagmus, ataksia, tanda Antikonvulsan (fenitoin, karbamazepin)
serebelar Alkohol
Antidepresan trisiklik, antikonvulsan
Seizures Teofilin, antihistamin, OAINS
Fenotiazin, isoniazid
Fenotiazin, haloperidol
Gejala ekstrapiramidal
Metoklopramid
Hiperthermia Litium, antidepresan trisiklik, antihistamin
Hiperthermia & hipertensi,
Amfetamin, ekstasi, kokain
takikardia, agitasi
Hiperthermia & takikardia,
Salisilat
asidosis metabolik
Penghambat beta, digoksin, opioid, klonidin, antagonis
Bradikardia
Ca (kecuali dihidropiridin), organofosfat insektisida
Abdominal cramp, diare,
Withdrawal alkohol, opiat, benzodiazepin
takikardi, halusinasi

www.repository.usu.ac.id

7. Bagaimana proses intoksikasi karbamat pd skenario (patofisiologi)?

Organofosfat adalah insektisida yang paling toksik di antara jenis pestisida lainnya dan
seringmenyebabkan keracunan pada manusia. Bila tertelan, meskipun hanya dalam jumlah
sedikit,dapat menyebabkan kematian pada manusia.Organofosfat menghambat aksi
pseudokholinesterase dalam plasma dan kholinesterase dalamsel darah merah dan pada
sinapsisnya. Enzim tersebut secara normal menghidrolisis acetylcholine menjadi asetat dan
kholin. Pada saat enzim dihambat, mengakibatkan jumlah acetylcholine meningkat dan
berikatan dengan reseptor muskarinik dan nikotinik pada systemsaraf pusat dan perifer. Hal
tersebut menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada seluruh bagian
tubuh.

Mekanisme toksisitas dari karbamat adalah sama dengan organofosfat, dimana enzim achE
dihambat dan mengalami karbamilasi, tetapi efek hambatan kolinesterase bersifat reversibel
dan tidak mempunyai efek sentral karena tidak dapat menembus blood brain barrier.

Karbamat, merupakan ester asam Nmetilkarbamat. Bekerja menghambat asetilkolinesterase


seperti insektisida Organofosfat, tetapi pengaruhnya terhadap enzim tersebut tidak
berlangsung lama, karena
prosesnya cepat dan reversibel. Kalau timbul gejala, gejala itu tidak bertahan lama dan cepat
kembali normal. Insektisida kelompok ini dapat bertahan dalam tubuh antara 1 sampai 24 jam
sehingga cepat diekskresikan^. Insektisida karbamat jenis propoksur masih digunakan
5

sebagai insektisida rumah tangga. Insektisida propoksur mempunyai waktu paruh sekitar 4
jam, sehingga insektisida jenis ini cepat hilang namun tetap berbahayajika terjadi akumulasij.
Raini, Mariana. 2009. Toksikologi insektisida Rumah Tangga dan Pencegahan Keracunan.
Dalam ejournal.litbang.depkes.go.id, diunduh 1 Desember 2013

Neurotransmisi pada neuron kolinergik

Neurotransmisi dalam neuron kolinergik meliputi 6 tahap, yaitu :

1. Sintesis asetilkolin : kolin diangkut dari cairan ekstrasel ke dalam sitoplasma neuron
kolinergik oleh suatu sistem pembawa yang bersamaan dengan masuknya natrium. Enzim
koline asetiltransferase (CAT) mengkatalisis reaksi kolin dengan asetil CoA untuk
membentuk asetilkolin dalam sitosol.

2. Penyimpanan asetilkolin dalam vesikel : asetilkolin dikemas ke dalam vesikel-vesikel


melalui suatu proses transpor aktif yang berpasangan dengan keluarnya proton dari sel.
Vesikel yang matang tidak saja mengandung asetilkolin tetapi juga adenosin trifosfat dan
proteoglikan.

3. Pelepasan asetilkolin : jika suatu potensial kerja yang dipropagasi oleh kerja kanal
bervoltase peka Na tiba pada suatu ujung saraf, maka kanal-kanal bervoltase peka Ca pada
membran prasinaptik terbuka, yang menyebabkan peningkatan kadar Ca di dalam sel.
Peningkatan kadar Ca ini memacu fusi vesikel-vesikel sinaptik dengan membran sel dan
melepas kandungan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps.

4. Ikatan pada reseptor : asetilkolin yang dilepas dari vesikel sinaptik berdifusi melewati
ruangan sinaptik dan mengikat baik reseptor pascasinaptik pada sel sasaran maupun reseptor
prasinaptik pada membran neuron yang melepas asetilkolin. Ikatan pada reseptor ini
menimbulkan suatu respons biologi dalam sel seperti mulainya suatu impuls saraf pada
serabut pasca ganglionik atau aktivasi sejumlah enzim tertentu didalam sel efektor sebagai
perantara pada reaksi molekul second messenger .

5. Penghancuran asetilkolin : sinyal pada tempat efektor pasca sambungan secepatnya


diakhiri. Proses ini terjadi di dalam celah sinaptik dengan enzim asetilkolinesterase memecah
asetilkolin menjadi kolin dan asetat.

6. Daur ulang kolin : kolin mungkin ditangkap kembali melalui suatu sistem ambilan
kembali berafinitas tinggi yang berpasangan dengan Na ke dalam neuron, yang kemudian
diasetilasi dan disimpan hingga dilepas lagi oleh potensial kerja berikutnya.

Reseptor Kolinergik

Reseptor kolinergik terdapat dalam semua ganglia, sinaps dan neuron postganglioner
sari SP, juga dipelat pelat ujung motorik (otot lurik) dan di bagian Susunan Saraf Pusat
yang disebut sistem ekstrapiramidal. Berdasarkan efeknya terhadap perangsangan, reseptor
ini dapat dibagi dalam dua jenis, yakni reseptor muskarin dan reseptor nikotin, yang masing
masing menghasilkan efek berlainan.
6

A. Reseptor muskarinik

Muskarin adalah derivat-furan yang bersifat sangat beracun dan terdapat sebagai alkalloida
pada jamur merah Amanita muscaria.

Reseptor ini, selain ikatannya dengan asetilkolin, mengikat pula muskarin, yaitu suatu
alkaloid yang dikandung oleh jamur beracun tertentu. Sebaliknya, reseptor muskarinik ini
menunjukkan afinitas lemah terhadap nikotin. Dengan menggunakan studi ikatan (binding
study) dan penghambat tertentu, maka telah ditemukan beberapa subklas reseptor muskarinik
seperti M1, M2, M3, M4, dan M5.

Asetilkolin (ACh) bekerja tidak selektif dan merangsang ketiga tipe reseptor M, serupa
dengan adrenalin dan NA dari sistem simpatis (SS), yang juga merangsang secara tak selektif
reseptor alfa dan beta adrenergis. Obat obat yang mengaktifasi reseptor M1, M2, atau M3
secara selektif hingga kini belum ditemukan.

1. Lokasi reseptor muskarinik : reseptor musfkarinik ini dijumpai dalam ganglia sistem
saraf tepi dan organ efektor otonom, seperti jantung, otot polos, otak dan kelenjar eksorin.
Secara khusus, walaupun kelima subtipe reseptor muskarinik terdafpat dafldam neuron,
namun reseptor M1 ditemukan pula dalam sel parietal lambung, dan reseptor M2 terdapat
dalam otot jantung dan otot polos, dan reseptor M3 ditemukan dalam kelenjar eksokrin dan
otot polos. [Catatan; obat oabt yang bekerja muskarinik lebih peka dalam memacu reseptor
muskarinik dalam jaringan tadi, tetapi dalam kadar tinggi mungkin memacu reseptor
nikotinik pula].

2. Mekanisme transduksi sinyal asetilkolin : sejumlah mekfanisme molekular yang berbeda


terjadi dengan menimbulkan sinyal yang disebabkan setelah asetilkolin mengikat reseptor
muskarinik. Sebagai contoh, bila reseptor M1 atau M2 diaktifkan, maka reseptor ini
mengalami perubahan konformfasi dan berinteraksi dengan protein G, yang selanjutnya akan
mengaktifkan fosfolipase C. Akibatnya akan terjadi hidrolisis fosfatidilinositol-(4,5)-bifosfat
(PIP2) mejadi diasilgliserol (DAG) dan inositol (1,4,5)-trifosfat (IP3) yang akan
menyebabkan peningkatan kadar Ca intrasel. Kation ini selanjutnya akan berinteraksi untuk
memacu atau menghambat enzim-enzim, atau menyebabkan hiparpolarisasi, sekresi atau
kontraksi. Sebaliknya, aktivasi subtipe M2 pada otot jantung memacu protein G yang
menghambat adenililsiklase dan mempertinggi konduktan K, sehingga denyut dan
kontraksiotot jantung akan menurun.

3. Agonis dan antagonis muskarinik : Beberapa upaya dikerjakan untuk mengembangkan


agonis dan antagonis yang ditujukan terhadap subtipe reseptor spesifik. Sebagai contoh,
pirenzepin, obat antikolinergik trisiklik, secara selektif menghambat reseptor muskarinik M1,
seperti yang terdapat pada mukosa lambung. Dalam dosis terapi, obat ini tidak menimbulkan
banyak efek samping seperti halnya obat yang tidak spesifik terhadap subtipe M1. oleh
karena itu, pirenzepin cocok untuk mengobati tukak lambung dan duodenum.

B. Reseptor Nikotin (N)


7

Reseptor ini selain mengikat asetilkolin, dafpat pula mengenal nikotin, tetapi afinitas lemah
terhadap muskarin. Tahap awal nikotin memang memacu reseptor nikotinik, namun setelah
itu akan menyekat reseptor itu sendiri. Reseptor nikotinik ini terdapat didalam sistem saraf
pusat (SSP), medula adrenalis, ganglia otonom, dan sambungan neuromuskular. Obat obat
yang bekerja nikotinik akan memacu reseptor nikotinik yang terdapat dadflam jaringan tadi.
Reseptor nikotinik pada ganglia otonom berbeda dengan reseptor yang terdapat pada
sambungan neuromuskular. Sebagai contoh, reseptor ganglionik secara selektif dihambat oleh
heksametonium, sedangkan reseptor pada sambunan neuromuskular secara spesifik dihambat
oleh tubokurarin.

Reseptor nikotin terutama terdapat dipelat- pelat ujung myoneural dari otot kerangka dan di
ganglia otonom (simpatis dan parasimpatis). Stimulasi reseptor ini oleh kolinergika
(neostigmin dan piridostigmin) menimbulkan efek yang menyerupai efek adrenergika, jadi
bersifat berlawanan sama sekali. Misalnya vasokontriksi dengan naiknya tensi ringan,
penguatan kegiatan jantung, juga stimulasi SSP ringan. Pada dosis rendah, timbul kontraksi
otot lurik, sedangkan pada dosis tinggi terjadi depolarisasi dan blokade neuromuskular.

Mekanisme kerjanya berdasarkan stimulasi penerusan impuls di ganglia simpatis dan


stimulasi anak ginjal dengan sekresi noradrenalin. Disamping itu juga terjadi stimulasi
ganglia kolinergis (terutama di saluran lambung usus dengan peningkatan peristaltik) dan
pelat pelat ujung motoris otot lurik, dimana terdapat banyak reseptor nikotin.

Efek nikotin dari ACh juga terdjadi pada perokok, yang disebabkan oleh sejumlah kecil
nikotin yang diserap kedalam darah melalui mukosa mulut.

Selektifitas parsiil (sebagian) untuk reseptor M dan N terdapat pada kolinergika klasik,
seperti pilokarpin, karbachol, dan aseklidin (glauchofrin). Obat obat ini pada dosis biasa
mengaktifasi beberapa tipe reseptor M tanpa mempengaruhi reseptor nikotin. Sebaliknya,
kolinergika lain, seperti zat zat antikolinesterase (neostigmin, piridostigmin), bekerja tidak
selektif.

Kejang terjadi akibat lepas muatan proksimal yang berlebihan dari sebuah focus
kejang atau dari jarringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik.
Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut.
Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat
epileptogenetik, Sedangkan lesi di serebelun dan batang otak umumnya tidak memicu
kejang.
Di tingkat membrane sel, focus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut :
Instabilitas membrane sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan
Neuron- neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan
8

Kelainan polarisasi ( polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu


dalam repolarisasi ) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi
asam gama-aminobutirat (GABA)
Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
peningkatan berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau deplesi
neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan2 metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian
disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama
kejang, kebutuhan metabolic secara drastis meningkat;lepas muatan listrik sel-sel
saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000/detik. Aliran darah otak meningkat,
demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan
serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Secara umum, tidak dijumpai
kelainan secara nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa
lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada factor patologik yang
secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin,
suatu neurotransmitter fasilitatorik; Fokus-fokus tersebut lambat meningkat dan
menyingkirkan asetilkolin.
Patofisiologi Sylvia A.Price

Mekanisme keracunan pestisida


Penggunaan pestisida untuk mengendalikan hama tanaman mengandung risiko
kecelakaan pada manusia dalam bentuk keracunan kronik/ akut dan atau kematian.
Beratnya tingkat keracunan berhubungan dengan dengan tingkat penghambatan
kholinesterase dalam darah.
Kemampuan zat meracuni tubuh berbeda untuk tiap zat, hal ini dipengaruhi oleh
banyak faktor, baik faktor yang terkandung dalam racun maupun faktor diluar zat
racun. Kemampuan suatu zat meracuni tubuh antara lain dipengaruhi oleh :
1. Sifat fisik bahan kimia (gas; uap; debu; kabut; fume; awan; dan asap)
2. Dosis atau jumlah dan konsentrasi racun yang masuk dalam tubuh
3. Lama paparan;
4. Sifat kimia dari zat racun seperti jenis persenyawaan; besar molekul; kelarutan
dalam jaringan tubuh; dan jenis pelarut
5. Jalan masuk racun kedalam tubuh (pernafasan, pencernaan, kulit, selaput lender)
6. Faktor host atau pejamu seperti umur, jenis kelamin, derajat kesehatan tubuh,
toleransi, kebiasaan, nutrisi, faktor genetic.
Menurut data yang ada golongan pestisida yang banyak digunakan pertanian
Indonesia adalah golongan organofosfat dan karbamat, suatu golongan pestisida yang
dikenal sebagai inhibitor untuk enzim cholinesterase. Beberapa zat yang terkandung
dalam pestisida (seperti golongan organofosfat dan karbamat) mampu mengurangi
kamampuan enzim cholinesterase untuk menghidrolisa asetilcholin, sehingga laju
penyampaian rangsangan pada impuls saraf terhambat dan pada akhirnya akan
menyebabkan kelainan fungsi sistem saraf (Rasyid, 1995).
9

Jika terjadi keracunan pestisida golongan organofosfat dan karbamat akan


menurunkan aktivitas enzim cholinesterase pada tingkat tertentu sesuai dengan tingkat
keracunannya. Sebetulnya selain dengan melihat aktivitas enzim cholinesterase,
keracunan pestisida dapat diketahui dengan cara melihat gejala-gejala yang
ditimbulkannya atau keluhan subjektif.
Enzim cholinesterase sangat penting terutama untuk kerja sistem saraf. Hidrolisis
asetilcholin oleh enzim cholinesterase menghasilkan asam asetat dan cholin yang
berfungsi sebagai perantara kimia pada sinaps sistem saraf otonom sehingga
rangsangan yang sampai dapat diteruskan. Tinggi rendahnya aktivitas enzim
cholinesterase menjadi indikator tinggi rendahnya tingkat keracunan.
Derajat pengaruh racun pada tubuh seseorang dipengaruhi oleh beberapa factor,
antara lain umur; jenis kelamin; derajad kesehatan tubuh; daya tahan; nutrisi; tingkat
kelemahan tubuh; faktor genetik; kondisi sinergi bahan kimia; dan status endocrine.
Faktor-faktor tersebut dapat menjadi faktor yang memperberat atau mempercepat
timbulnya keracunan atau justru sebagai barier sehingga kasus keracunan tidak
sampai terjadi.
Ketika seseorang terpapar pestisida golongan organofosfat, cholinesterase akan
berikatan dengan pestisida tersebut yang bersifat ireversible. Akibatnya tidak terjadi
reaksi dengan asetilcholin secara baik. Dalam pemeriksaan akan nampak terjadinya
penurunan aktivitas cholinesterase atau peningkatan kadar asetilcholin. Penurunan
aktivitas cholinesterase dalam eritrosit dapat berlangsung hingga 1 3 minggu,
sedangkan penurunan aktivitas cholinesterase dalam trombosit dapat berlangsung
hingga 12 minggu atau 3 bulan (Siswanto, 1991)
Sebagaimana diketahui, salah satu kemampuan enzim cholinesterase adalah
menghidrolisa asetilcholin dan merubahnya menjadi cholin dan asam asetat. Atau
dengan kata lain mampu mengubah derajad asam dan basa. Melalui kemampuan
hidrolisa ini kemudian dijadikan dasar untuk mengetahui keberadaan enzim ini. Di
laboratorium, prosedur pemeriksaan dilakukan dengan pemeriksaan sampel darah
yang ditambah larutan indikator bromothymol blue dan larutan substrat acetylcholine
perchlorate, kemudian dibiarkan beberapa menit sesuai dengan waktu pengukuran.
Aktivitas enzim cholinesterae dalam darah dapat dijadikan indikasi keberadaan
pestisida dalam darah.
Namun penting untuk diperhatikan, bahwa penurunan aktivitas enzim cholinesterase
dapat juga terjadi pada beberapa penyakit, terutama penyakit yang menyerang hati.
Infeksi virus pada hati dikenal dengan hepatitis, baik yang akut maupun yang kronis
dapat menurunkan aktivitas enzim cholinesterase antara 30 % 50 %, sedangkan
pada penyakit serosis hepatitis yang lanjut dan tumor hati ataupun tumor lainnya yang
berfermentasi ke hati dapat menurunkan aktivitas enzim cholinesterase sebanyak 50
% 70 %.
Klasifikasi tingkat keracunan berdasarkan persentase cholinesterase dalam darah
menurut Sumamur (1987), antara lain sebagai berikut :
1. Aktivitas cholinesterase dalam darah antara 76% -100% belum dianggap suatu
keracunan sehingga tenaga kerja masih dapat terus bekerja dan dilakukan
pemeriksaan ulangan di waktu yang dekat.
10

2. Aktivitas cholinesterase dalam darah antara 51% 75% kemungkinan ada


keracunan sehingga tenaga kerja perlu melakukan pemeriksaan kesehatan ulang
dan bila telah dipastikan, maka tenaga kerja tersebut masih boleh bekerja selama
dua minggu. Kemudian dilakukan pemeriksaan kesehatan ulang.
3. Aktivitas cholinesterase dalam darah antara 26% 50%, dapat diartikan telah
terjadi keracunan yang gawat, jika diyakini tenaga kerja tersebut tidak boleh
bekerja dengan pestisida dari golongan apapun juga. Tenaga kerja tersebut harus
mendapat pemeriksaan dan pengobatan dari dokter bila terlihat tandatanda ia
sakit.
4. Aktivitas cholinesterase dalam darah pada kadar 0 % 25 %, telah terjadi
keracunan sangat gawat sehingga tenaga kerja tidak boleh bekerja dan harus
menjalani perawatan dan pengobatan dokter.
Sedangkan menurut Depkes RI (1992), diagnosa gejala keracunan dapat dilakukan
dengan uji (test) kholinesterase dengan tingkat keracunan 75 -100% kadar
kholinesterase termasuk normal, 50 75% termasuk keracunan ringan, 25 5%
termasuk keracunan sedang dan 0 25 % termasuk keracunan berat.
Upaya-upaya mencegah terjadinya keracunan di tempat kerja :
1. Unit-unit operasi yang menimbulkan gas atau uap ke udara harus memakai sistem
tertutup dengan ventilasi keluar setempat. Ventilasi umum dan dilusi biasanya
tidak memadai.
2. Corong ventilasi keluar harus menutupi unit operasi sesempurna mungkin agar
dihindari pencegahan bahan kepada pekerja ditempattempat lain.
3. Bahan-bahan harus diangkut dengan alat angkut mekanik selama pengangkutan
demikian mu ngkin dilaksanakan.
4. Tempat-tempat pengolahan bahan berbahaya harus berlantai dan berbangku kerja
yang tak tembus, agar semuanya mudah dibersihkan sehingga dapat dicegah
penimbunan bahan-bahan baik padat maupun cair yang berbahaya. Selain itu
harus ada saluran-saluran air, agar tempat kerja tersebut mudah sering dicuci.
5. Bubuk-bubuk yang tumpah harus diambil dengan alat penghisap vacu m.
6. Menyapu harus secara basah atau kadang-kadang dipakai minyak untuk
persenyawan tertentu.
7. Cairan yang tumpah harus dibuang dengan mencuci.
8. Untuk ventilasi umum harus dipakai udara segar, dan tidak dipakai udara berulang
kali.
9. Sedapat mungkin di usahakan subsitusi dengan bahan-bahan yang kurang toksik.
10. Suhu harus diatur, apabila terdapat bahan-bahan yang mengalami dekomposisi
oleh panas.
11. Udara tempat kerja tidak boleh mengandung bahan-bahan yang melebihi Nilai
Ambang Batas (NAB), (Sumamur, 1987)

Refference, antara lain :


Pemeriksaan Kholinesterase Darah dengan Tintometer Kit. Ditjen PPM &
PLP, Depkes R.I. 1992
Sumamur, P.K. 1987. Hygiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja.
11

Wudianto, R. 2002. Petunjuk Penggunaan Pestisida.


Zilva, J.F. 1975. Liver Diseases and Gallatones.
Nedved, M. 1991. Fundamental of Chemical Safety and Major Hazard Control
Siswanto, 1991. Pestisida. Balai Hyperkes dan Ergonomi : Surabaya.

Mekanisme Keracunan Pestisida


Farmakokinetikxxiii
Inhibitor kolinesterase diabsorbsi secara cepat dan efektif melalui oral, inhalasi, mata, dan
kulit. Setelah diabsorbsi sebagian besar diekskresikan dalan urin, hampir seluruhnya dalam
bentuk metabolit. Metabolit dan senyawa aslinya di dalam darah dan jaringan tubuh terikat
pada protein. Enzim-enzim hidrolitik dan oksidatif terlibat dalam metabolisme senyawa
organofosfat dan karbamat. Selang waktu antara absorbsi dengan ekskresi bervariasi.
Farmakodinamik
Asetilkolin (ACh) adalah penghantar saraf yang berada pada seluruh sistem saraf pusat
(SSP), saraf otonom (simpatik dan parasimpatik), dan sistem saraf somatik. xxiv Asetilkolin
bekerja pada
ganglion simpatik dan parasimpatik, reseptor parasimpatik, simpangan saraf otot, penghantar
sel-sel saraf dan medula kelenjar suprarenal. Setelah masuk dalam tubuh, golongan
organofosfat dan karbamat akan mengikat enzim asetilkolinesterase (AChe), sehingga AChe
menjadi inaktif dan
terjadi akumulasi asetilkolin. Enzim tersebut secara normal menghidrolisis asetilkolin
menjadi asetat dan kolin. Pada saat enzim dihambat, mengakibatkan jumlah asetilkolin
meningkat dan berikatan dengan reseptor muskarinik dan nikotinik pada system saraf pusat
dan perifer. Hal tersebut menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada
seluruh
bagian tubuh. Keadaan ini akan menimbulkan efek yang luas.24
Organofosfat menghambat aksi pseudokolinesterase dalam plasma dan kolinesterase dalam
sel darah merah dan pada sinapsisnya. Penghambatan kerja enzim terjadi karena organofosfat
melakukan fosforilasi enzim tersebut dalam bentuk komponen yang stabil. Potensiasi
aktivitas parasimpatik post-ganglionik, mengakibatkan kontraksi pupil, stimulasi otot saluran
cerna, stimulasi saliva dan kelenjar keringat, kontraksi otot bronkial, kontraksi kandung
kemih, nodus sinus jantung dan nodus atrio-ventrikular dihambat.
Mula-mula stimulasi disusul dengan depresi pada sel sistem saraf pusat (SSP) sehingga
menghambat pusat pernafasan dan pusat kejang. Stimulasi dan blok yang bervariasi pada
ganglion dapat mengakibatkan tekanan darah naik atau turun serta dilatasi atau miosis pupil.
Kematian disebabkan karena kegagalan pernafasan dan blok jantung.
http://eprints.undip.ac.id/17532/1/YODENCA_ASSTI_RUNIA.pdf

8. Bagaimana pertolongan awal saat menghadapi pasien seperti ini?

1. Stabilisasi
Penatalaksanaan keracunan pada waktu pertama kali berupa tindakan resusitasi
kardiopulmoner yang dilakukan dengan cepat dan tepat berupa:
a. Pembebasan jalan napas.
b. Perbaikan fungsi pernapasan. (ventilasi dan oksigenasi).
c. Perbaikan sistem sirkulasi darah.

2. Dekontaminasi
12

a. Dekontaminasi merupakan terapi intervensi yang bertujuan untuk menurunkan


pemaparan terhadap racun, mengurangi absorpsi dan mencegah kerusakan. Petugas,
sebelum memberikan pertolongan harus menggunakan pelindung berupa sarung
tangan, masker dan apron. Tindakan dekontaminasi tergantung pada lokasi tubuh
yang terkena racun yaitu:
i. Dekontaminasi pulmonal. Dekontaminasi pumonal berupa tindakan
menjauhkan korban dari pemaparan inhalasi zat racun, monitor kemungkinan
gawat napas dan berikan oksigen lembab 100% dan jika perlu beri ventilator.
ii. Dekontaminasi mata. Dekontaminasi mata berupa tindakan untuk
membersihkan mata dari racun yaitu posisi kepala pasien ditengadahkan dan
miring kesisi mata yang terkena atau terburuk kondisinya. Buka kelopak
matanya perlahan dan irigasi larutan aquades atau NaCl 0,9% perlahan sampat
zat racunnya diperkirakan sudah hilang (hindari bekas larutan pencucian
mengemu wajah atau mata lainnya) selanjutnya tutup mata dengan kassa steril
segera konsul dokter mata
iii. Dekontaminasi kulit (rambut dan kuku). Tindakan dekontaminasi paling
awal adalah melepaskan pakaian, arloji, sepatu dan aksesori lainnya dan
masukkan dalarn wadah plastik yang kedap, air dan tutup rapat cuci
(scrubbing) bagian kulit yang terkena dengan air mengalir dan disabun
minimal 10 menit selanjutnya keringkan dengan handuk kering dan lembut
iv. Dekontaminasi gastrointestinal. Penelanan merupakan rute pemaparan yang
tersering, sehingga tindakan pemberian bahan pengikat (karbon aktif),
pengenceran atau mengeluarkan isi larnbung dengan cara induksi muntah atau
aspirasi dan kumbah lambung dapat mengurangi jumlah paparan bahan toksik.
Jenis tindakan Tata cara Kontraindikasi Perhatian khusus
Kesadaran turun, kejang Pneumopati inhalasi,
Stimulasi mekanis
Induksi mutah Apneu, paparan >4 jam sindroma Mallory
pada orofaring
Keracunan zat korosif Weis
Kesadaran turun
Air dingin atau susu Gangguan menelan/napas
Pengenceran
250 ml Nyeri abdomen
Asam pekat non kaustik
Posisi trendelenberg Kesadaran turun tanpa Efektif paparan <1
LLD, pasang NGT, pasang intubasi jam
Aspirasi dan
aspirasi, bilas 200- Zat korosif Kehamilan,
kumbah
300 ml sampai bersih, Zat hidrokarbon kelainan jantung,
lambung
tambah karbon aktif Asam pekat non kaustik depresi SSP,
50 gram Petroleum destilat perforasi lambung
Paparan >1 jam
Dosis tunggal 30-50 Ileus obstruktif GIT Konstipasi, distensi
Arang aktif
gram + 240 ml air Zat korosif lambung
Zat hidrokarbon
Polietilen glikol 60 gr
Gangguan napas Indikasi keracunan Fe,
+ NaCl 1,46 gr + KCl
SSP lithium. Tablet lepas
Irigasi usus 0,75 gr + Na bic 1,68
gr + Na sulfat 5,86 gr Jantung tak stabil
lambat atau tablet
+ air sampai 1 L Kelainan patologis usus salut enterik
Bila menelan zat
Bedah
sangat korosif asing
13

3. Eliminasi
a. Tindakan eliminasi adalah tindakan untuk mempercepat pengeluaran racun yang
sedang beredar dalam darah, atau dalam saluran gastro intestinal setelah lebih dari
4jam. Apabila masih dalam saluran cerna dapat digunakan pemberian arang aktif
yang diberikan berulang dengan dosis 30-50 gram(0,5 - 4 gram / kg BB) setiap 4 jam
per oral/ enteral. Tindakan ini bermanfaat pada keracunan obat seperti karbamazepin.
Chlordecone, quinin, dapson, digoksin, nadolol, fenobarbital, fenilbutazone, fenitoin,
salisilat, teofilin, phenoxyacelate herbisida.
b. Tindakan eliminasi yang lain perlu dikonsulkan pada dokter spesialis penyakit dalam
karena tindakan spesialistik berupa cara eliminasi racun yaitu: 1). Diuresis paksa
(forced diuresis); 2). Alkalinisasi urin, 3). Asidifikasi urin; 4).
Hemodialisis/Peritoneal dialisis.

4. Anti Dotum
Pada kebanyakan kasus keracunan sangat sedikit jenis racun yang ada obat
antidotumnya dan sediaan obat antidotum yang tersedia secara komersial sangat
sedikit jumlahnya.
Tabel : Jenis Keracunan dan Antidontum
Dose
Antidote Child Adult Poison
N-acetylcysteine 140 mg/kg PO load, followed by 70 Acetaminophen
mg/kg PO q4h for 18 total doses
Activated charcoal 1 g/kg PO Most ingested poisons
Antivenom Fab 46 vials IV initially over 1 h may be Envenomation by
repeated; 2 vials every 6 h for 18 h Crotalidae
Calcium gluconate 0.60.8 mL/kg IV 30 mL IV Hypermagnesemia,
10% (9 mg/mL hypocalcemia (ethylene
elemental calcium) glycol, hydrofluoric
or acid), calcium channel
Calcium chloride 0.20.25 mL/kg IV 10 mL IV antagonists, black widow
10% (27.2 mg/mL spider
elemental calcium)
Cyanide antidote Not typically used 1 ampule in Cyanide poisoning
kit oxygen chamber
Amyl nitrate of ambu-bag 30
s on/30 s off
Sodium nitrite Sodium nitrite 0.33 Sodium nitrite Hydrogen sulfide (use
mL/kg IV (3% 10 mL (3% only sodium nitrate)
solution) solution)
Thiosulfate Thiosulfate 1.65 Thiosulfate 12.5
mL/kg IV g IV
Deferoxamine 90 mg/kg IM (1 g 2 g IM or 15 Iron
max) or 15 mg//kg/h (68
mg//kg/h IV (1 g g/d max)
max)
Dextrose 11.5 g/kg IV Hypoglycemia
Digoxin Fab
Acute 1020 vials IV Digoxin and cardiac
14

Chronic 12 vials IV 36 vials IV glycosides


Ethanol
10% for IV 0.8 g/kg = 8-mL/kg load then 1/10 qh Ethylene glycol,
20% PO 0.8 g/kg = 4 mL/kg, then 1/10 qh methanol
Folic 12 mg/kg q46 h IV Methanol, methotrexate
acid/Leucovorin (only Leucovorin)
Fomepizole 15 mg/kg IV, then 10 mg/kg q12h Methanol, ethylene
glycol, disulfiram
Glucagon 50 micrograms/kg 110 mg IV Calcium channel blocker,

-blocker
Methylene blue 12 mg/kg 12 mg/kg Oxidizing chemicals (eg,
Neonates: 0.31 nitrites, benzocaine,
mg/kg sulfonamides)
Octreatide 1 micrograms/kg 50 micrograms Refractory hypoglycemia
q6h SC SC q6h after oral hypoglycemic
agent ingestion
Naloxone As much as is needed. Opioid, clonidine
Typical starting dose 0.4 mg10 mg IV
Physostigmine 0.02 mg/kg IV 12 mg IV Anticholinergic
substances (not TCAs)
Pralidoxime (2- 2040 mg/kg IV 12 g IV Cholinergic substances
PAM)
Protamine 1 mg neutralizes 2550 mg IV, Heparin
100 units over 15 min
administered
heparin; 0.6 mg/kg
IV over 15 min
Pyridoxine Gram-for-gram ingestion if amount of INH, Gyromitra
INH is known esculenta, rocket fuel
70 mg/kg IV 5 g IV
Sodium 12 mEq/kg IV bolus followed by 1-2 Sodium channel blockers,
bicarbonate mEq/kg/h alkalinization of urine or
serum
Thiamine 10100 mg IV 100 mg IV Ethylene glycol,
Wernicke syndrome,
"wet" beri-beri
Vitamin K1 25 mg/d PO 2550 mg PO Long-acting
TID anticoagulant
rodenticides
Whole bowel 0.5 L/h PO 1.52 L/h PO Multiple indications (eg,
irrigation sustained-release
products, body packers)

Key: IM = intramuscularly, INH = isoniazid, IV = intravenously, max = maximum,PO =


orally, q = every, SC = subcutaneously, TCA = tricyclic antidepressant, TID = 3 times a day.

TERAPI GEJALA PENYERTA ATAU PENYULIT


15

1. Gangguan Cairan, Elektrolit dan Asam Basa


Kebutuhan dasar cairan harian 30 35ml/ kg BB/hari, Natrium (Na+) 1 1,5 mmol/ kg
BB/ hari, Kalium (K+) 1 mmol/kg BB/ hari. Apabila ada gangguan elektrolit dan
asam basa harus dikoreksi sesuai derajat berat ringannya.
2. Gangguan Irama Jantung
Sinus bradikardia yang disertai hipotensi dapat diberikan atropin 0,6 mg intravena
sedangkan pada sinus takikardia tidak diberikan terapi spesifik dan penghambat beta
jangan diberikan karena dapat menyebabkan dekompensasi Gangguan SVT disertai
gangguan hemodinamik diberikan kardiversi sinkronisasasi mulai 50 Joule, 100, 200,
300 Joule, setelah stabil diberikan adenosin 3mgi.v. bolus dan bila perlu dapat diulang
tiap 1 -2 menit dengan dosis 6mg dan kemudian 12 mg.
3. Methaemoglobinaemia (metHb)
Kebanyakan obat oksidan dapat menyebabkan hal ini yaitu dapsone, sulfonamide,
trimetoprim, nitrit, nitrat, local anesthesia (benzokain, lignokain, prilokain),
metoklopramid, metilen biru, klorat dan bramat. Pada kasus ringan (kadar metHb
<30%) diberikan oksigen, sedangkan kasus berat diberikan metilen biru 1 2 mg/kg BB
dalam >5 menit, selanjutnya periksa ulang kadar MetHb setelah 1 jam. Perlu
diwaspadai bahwa metilen biru sendiri dapt menyebabkan metHb dan hemolisis
terutama pada dosis >15 mg/kg BB dan mudah terjadi pada pasien dengan defisiensi
G6PD.
4. Hiperemesis.
Bila muntah gagal dikendalikan, maka dapat diberikan metoklopropamid 10
mg.i.v.atau proklorperazin 10 mg oral atau ondansetron 8 mg intravena pelan.
5. Distonia.
Distonia sering terjadi akibat overdosis obat anti psikotik dan beberapa antiemetik.
Reaksi yang terjadi berupa oculo gyric, torticolis dan trismus. Beberapa gejala
ekstrapiramidal yang lain seperti tremor, diskinesia, rigiditas dapat terjadi akibat over
dosis obat yang lain. Gejala ekstrapiramidal harus diterapi dengan procyclidine 5-10
mg i. v./ i. m, maksimum 20 mg/ 24 jam atau diberikan benztropine 1-2 mg.i.m./i,v.
6. Rabdomiolisis.
Kelainan ini bisa dideteksi dengan pemeriksaan kadar kreatinin kinase (CK) serum
dan kadar mioglobin urin. Penatalaksanaan meliputi pemberian cairan rehidrasi i.v.
dan alkalinisasi urin.
7. Sindrom antikolinergik.
Penatalaksanaan terbaik adalah terapi simptomatik dan suportif saja.
IPD FKUI JILID I EDISI 4

Supportif:
a. Keracunan Asam / Basa Kuat (Asam Klorida, Asam Sulfat, Asam Cuka
Pekat, Natrium Hidroksida, Kalium Hidroksida).
- Dapat mengenai kulit, mata atau ditelan.
- Gejala : nyeri perut, muntah dan diare.
- Tindakan :
Keracunan pada kulit dan mata :
- irigasi dengan air mengalir
- beri antibiotik dan antiinflamasi.
Keracunan ditelan / tertelan :
- asam kuat dinetralisir dengan antasida
- basa kuat dinetralisir dengan sari buah atau cuka
16

- jangan bilas lambung atau tindakan emesis


- beri antibiotik dan antiinflamasi.

b. Keracunan Alkohol / Minuman Keras


- Gejala : emosi labil, kulit memerah, muntah, depresi pernafasan, stupor
sampai koma.
- Tindakan :
Bilas lambung dengan air
Beri kopi pahit
Infus glukosa : mencegah hipoglikemia.

c. Keracunan Arsenikum
- Gejala : mulut kering, kulit merah, rasa tercekik, sakit menelan, kolik usus,
muntah, diare, perdarahan, oliguri, syok.
- Tindakan :
Bilas lambung dengan Natrium karbonat/sorbitol
Atasi syok dan gangguan elektrolit
Beri BAL (4-5 Kg/BB) setiap 4 jam selama 24 jam pertama. Hari kedua
sampai ketiga setiap 6 jam (dosis sama). Hari keempat s/d ke sepuluh dosis
diturunkan.

d. Keracunan Tempe Bongkrek


- Gejala : mengantuk, nyeri perut, berkeringat, dyspneu, spasme otot, vertigo
sampai koma.
- Tindakan : terapi simptomatik.

e. Keracunan Makanan Kaleng (Botulisme)


- Gejala : gangguan penglihatan, reflek pupil (-), disartri, disfagi, kelemahan
otot lurik, tidak ada gangguan pencernaan dan kesadaran.
- Tindakan :
Bilas lambung dengan norit
Beri ATS 10.000 unit.
Ber Fenobarbital 3 x 30-60 mg / oral.

f. Keracunan Ikan
- Gejala : panas sekitar mulut, rasa tebal pada anggota badan, mual, muntah,
diare, nyeri perut, nyeri sendi, pruritus, demam, paralisa otot pernafasan.
- Tindakan : Emesis, bilas lambung dan beri pencahar.

g. Keracunan Jamur
- Gejala : air mata, ludah dan keringat berlebihan, mata miosis, muntah, diare,
nyeri perut, kejang, dehidrasi, syok sampai koma.
- Tindakan :
Emesis, bilas lambung dan beri pencahar.
Injeksi Sulfas Atropin 1 mg / 1-2 jam
Infus Glukosa.

h. Keracunan Jengkol
- Gejala : kolik ureter, hematuria, oliguria anuria, muncul gejala Uremia.
- Tindakan :
17

Infus Natrium bikarbonat


Natrium bicarbonat tablet : 4 x 2 gr/hari

i. Keracunan Singkong
- Gejala : Mual, nyeri kepala, mengantuk, hipotensi, takikardi, dispneu,
kejang, koma (cepat meninggal dalam waktu 1-15 menit).
- Tindakan :
Beri 10 cc Na Nitrit 5 % iv dalam 3 menit
Beri 50 cc Na Thiosulfat 25 % iv dalam 10 menit.

j. Keracunan Marihuana / Ganja


- Gejala : halusinasi, mulut kering, mata midriasis
- Tindakan : simptomatik, biasanya sadar setelah dalam 24 jam pertama.

k. Keracunan Formalin
- Gejala :
Inhalasi : iritasi mata, hidung dan saluran nafas, spasme laring, gejala
bronchitis dan pneumonia.
Kulit : iritasi, nekrosis, dermatitis.
Ditelan/tertelan : nyeri perut, mual, muntah, hematemesis, hematuria, syok,
koma, gagal nafas.
- Tindakan : bilas lambung dengan larutan amonia 0,2 %, kemudian diberi
minum norit / air susu

l. Keracunan Barbiturat
- Gejala : mengantuk, hiporefleksi, bula, hipotensi, delirium, depresi
pernafasan, syok sampai koma.
- Tindakan :
Jangan lakukan emesis atau bilas lambung
Bila sadar beri kopi pahit secukupnya
Bila depresi pernafasan, beri amphetamin 4-10 mg intra muskular.

m. Keracunan Amfetamin
- Gejala : mulut kering, hiperaktif, anoreksia, takikardi, aritmia, psikosis,
kegagalan pernafasan dan sirkulasi.
- Tindakan :
Bilas lambung
Klorpromazin 0,5-1 mg/kg BB, dapat diulang tiap 30 menit
Kurangi rangsangan luar (sinar, bunyi)

n. Keracunan Aminopirin (Antalgin)


- Gejala : gelisah, kelainan kulit, laborat : agranolositosis
- Tindakan :
Beri antihistamin im/iv
Beri epinefrin 1 %o 0,3 cc sub kutan.

o. Keracunan Digitalis (Digoxin)


- Gejala : anoreksia, mual, diare, nadi lambat, aritmia dan hipotensi
- Tindakan :
Propranolol
18

KCl iv

p. Keracunan Insektisida Gol.Organofosfat (Diazinon, Malathion)


- Gejala : mual, muntah, nyeri perut, hipersalivasi, nyeri kepala, mata miosis,
kekacauan mental, bronchokonstriksi, hipotensi, depresi pernafasan dan
kejang.
- Tindakan :
Atropin 2 mg tiap 15 menit sampai pupil melebar
Jangan diberi morfin dan aminophilin.

q. Keracunan Insektisida Gol.(Endrin, DDT)


- Gejala : muntah, parestesi, tremor, kejang, edem paru, vebrilasi s/d
kegagalan ventrikel, koma
- Tindakan :
Jangan gunakan epinefrin
Bilas lambung hati-hati
Beri pencahar
Beri Kalsium glukonat 10 % 10 cc iv pelan-pelan.

r. Keracunan Senyawa Hidrokarbon (Minyak Tanah, Bensin)


- Gejala :
Inhalasi : nyeri kepala, mual, lemah, dispneu, depresi pernafasan
Ditelan/tertelan : muntah, diare, sangat berbahaya bila terjadi aspirasi (masuk
paru)
- Tindakan :
Jangan lakukan emesis
Bilas lambung hati-hati
Beri pencahar
Depresi pernafasan : Kafein 200-500 mg im
Pengawasan : kemungkinan edem paru.

s. Keracunan Karbon Mono-oksida (CO)


- Gejala : kulit dan mukosa tampak merah terang, nyeri dan pusing kepala,
dispneu, pupil midriasis, kejang, depresi pernafasan sampai koma.
- Tindakan :
Pasang O2 bertekanan
Jangan gunakan stimulan
Pengawasan : kemungkinan edem otak

t. Keracunan Narkotika (Heroin, Morfin, Kodein)


- Gejala : mual, muntah, pusing, klulit dingin, pupil miosis, pernafasan
dangkal sampai koma.
- Tindakan :
Jangan lakukan emesis
Beri Nalokson 0,4 mg iv tiap 5 menit (atau Nalorpin 0,1 mg/Kg BB.
Obat terpilih Nalokson (dosis maximal 10 mg), karena tidak mendepresi
pernafasan, memperbaiki kesadaran, hanya punya efek samping emetik.
Karenanya pada penderita koma tindakan preventif untuk aspirasi harus
disiapkan.
19

Apa saja komplikasinya?


Depresi nafas: gagal nafas -- Jantung: aritmia
Komplikasi keracunan selalu dihubungkan dengan neurotoksisitas lama dan
organophosphorus-induced delayed neuropathy(OPIDN). Sindrom ini berkembang
dalam 8 35 hari sesudah pajanan terhadap organofosfat. Kelemahan progresif
dimulai dari tungkai bawah bagian distal, kemudian berkembang kelemahan pada jari
dan kaki berupa foot drop. Kehilangan sensori sedikit terjadi. Demikian juga refleks
tendon dihambat.
9. Apa tujuan dokter memberikan kumbah lambung dan memberikan arang karbon?

Dekontaminasi merupakan terapi intervensi yang bertujuan untuk menurunkan


pemaparan terhadap racun, mengurangi absorpsi dan mencegah kerusakan. Petugas,
sebelum memberikan pertolongan harus menggunakan pelindung berupa sarung
tangan, masker dan apron. Tindakan dekontaminasi tergantung pada lokasi tubuh
yang terkena racun yaitu:
Dekontaminasi gastrointestinal. Penelanan merupakan rute pemaparan yang
tersering, sehingga tindakan pemberian bahan pengikat (karbon aktif), pengenceran
atau mengeluarkan isi larnbung dengan cara induksi muntah atau aspirasi dan kumbah
lambung dapat mengurangi jumlah paparan bahan toksik.
Jenis tindakan Tata cara Kontraindikasi Perhatian khusus
Kesadaran turun, kejang Pneumopati inhalasi,
Stimulasi mekanis
Induksi mutah Apneu, paparan >4 jam sindroma Mallory
pada orofaring
Keracunan zat korosif Weis
Kesadaran turun
Air dingin atau susu Gangguan menelan/napas
Pengenceran
250 ml Nyeri abdomen
Asam pekat non kaustik
Posisi trendelenberg Kesadaran turun tanpa Efektif paparan <1
LLD, pasang NGT, pasang intubasi jam
Aspirasi dan
aspirasi, bilas 200- Zat korosif Kehamilan,
kumbah
300 ml sampai bersih, Zat hidrokarbon kelainan jantung,
lambung
tambah karbon aktif Asam pekat non kaustik depresi SSP,
50 gram Petroleum destilat perforasi lambung
Paparan >1 jam
Dosis tunggal 30-50 Ileus obstruktif GIT Konstipasi, distensi
Arang aktif
gram + 240 ml air Zat korosif lambung
Zat hidrokarbon
Polietilen glikol 60 gr
Gangguan napas Indikasi keracunan Fe,
+ NaCl 1,46 gr + KCl
SSP lithium. Tablet lepas
Irigasi usus 0,75 gr + Na bic 1,68
gr + Na sulfat 5,86 gr Jantung tak stabil
lambat atau tablet
+ air sampai 1 L Kelainan patologis usus salut enterik
Bila menelan zat
Bedah
sangat korosif asing

10. Apa kegunaan injeksi sulfas atropin?


20

Sulfas Atropin

Merupakan antikolinergik, bekerja menurunkan tonus vagal dan memperbaiki sistim


konduksi AtrioVentrikuler
Indikasi : asistole atau PEA lambat (kelas II B), bradikardi (kelas II A) selain AV blok
derajat II tipe 2 atau derajat III (hati-hati pemberian atropine pada bradikardi dengan iskemi
atau infark miokard), keracunan organopospat (atropinisasi)
Kontra indikasi : bradikardi dengan irama EKG AV blok derajat II tipe 2 atau derajat
III.
Dosis 1 mg IV bolus dapat diulang dalam 3-5 menit sampai dosis total 0,03-0,04
mg/kg BB, untuk bradikardi 0,5 mg IV bolus setiap 3-5 menit maksimal 3 mg.
dapat diberikan intratrakeal atau transtrakeal dengan dosis 22,5 kali dosis intra vena
diencerkan menjadi 10 cc
http://dokter-medis.blogspot.com/2009/07/obat-gawat-darurat-drugs-management.html

Atropin

2.2.1. Sumber dan Kimiawi

Atropin (hiosiamin) ditemukan dalam tumbuhan Atropa Belladonna, atau Tirai Malam
Pembunuh, dan dalam Datura Stramonium, atau dikenal sebagai biji jimson ( biji Jamestown)
atau apel berduri.

Atropine alam adalah l(-) hiosiamin, tetapi senyawanya sudah campuran (rasemik), sehingga
material komersilnya adalah rasemik d, l-hiosiamin.

Anggota tersier kelas atropine sering dimanfaatkan efeknya untuk mata dan system syaraf
pusat.

2.2.2. Absorbsi

Alkaloid alam dan kebanyakan obat-obat antimuskarinik tersier diserap dengan baik dari usus
dan dapat menembus membrane konjuktiva.

Reabsobsinya diusus cepat dan lengkap, seperti alkaloida alamiah lainnya, begitu pula dari
mukosa. Reabsorbsinya melalui kulit utuh dan mata tidak mudah.

2.2.3. Distribusi
21

Atropin dan senyawa tersier lainnya didistribusikan meluas kedalam tubuh setelah
penyerapan kadar tertentu dalam susunan saraf pusat (SSP) dicapai dalam 30 menit sampai 1
jam, dan mungkin membatasi toleransi dosis bila obat digunakan untuk memperoleh efek
perifernya. Didistribusikan keseluruh tubuh dengan baik.

2.2.4. Metabolisme dan Ekskresi

Atropin cepat menghilang dari darah setelah diberikan dengan massa paruh sekitar 2 jam
kira-kira 60% dari dosis diekskresikan kedalam urine dalam bentuk utuh. Sisanya dalam
urine kebanyakan sebahagian metabolit hidrolisa dan konjugasi. Efeknya pada fungsi
parasimpatis pada semua organ cepat menghilang kecuali pada mata. Efek pada iris dan otot
siliaris dapat bertahan sampai 72 jam atau lebih.

Spesies tertentu, terutama kelinci memiliki enzim khusus satropin esterase yang membuat
proteksi lengkap terhadap efek toksik atropine dengan mempercepat metabolisme obat.

Ekskresinya melalui ginjal, yang separuhnya dalam keadaan utuh. Plasma t1/2 nya 2-4 jam.

2.2.5. Mekanisme Kerja

Atropine memblok aksi kolinomimetik pada reseptor muskarinik secara reversible


(tergantung jumlahnya) yaitu, hambatan oleh atropine dalam dosis kecil dapat diatasi oleh
asetilkolin atau agonis muskarinik yang setara dalam dosis besar. Hal ini menunjukan adanya
kompetisi untuk memperebutkan tempat ikatan. Hasil ikatan pada reseptor muskarinik adalah
mencegah aksi seperti pelepasan IP3 dan hambatan adenilil siklase yang di akibatkan oleh
asetilkolin atau antagonis muskarinik lainnya.

2.2.6. Mekanisme Kombinasi Atropin + Adrenalin

Penambahan adrenalin pada atropine akan memperpanjang masa kerja obat serta
meningkatkan penyebaran molekul yang masuk ke SSP.

2.2.7. Khasiat dan Penggunaan


22

Khasiatnya

Adapun khasiat daripada atropine antara lain :

Mengurangi sekresi kelenjar (liur, keringat, dahak)

Memperlebar pupil dan berkurangnya akomodasi

Meningkatkan frekuensi jantung dan mempercepat penerusan impuls di berkas His


(bundle of his), yang disebabkan penekanan SSP.

Menurunkan tonus dan motilitas saluran lambung-usus dan produksi HCl.

Merelaksasi otot dari organ urogenital dengan efek dilatasi dari rahim dan kandung
kemih

Merangsang SSP dan pada dosis tinggi menekan SSP (kecuali pada zat-zat
ammonium kwatener).

Penggunaan

Adapun penggunaan daripada atropine yaitu :

Sebagai spasmolitikum (pereda kejang otot) dari saluran lambung-usus, saluran


empedu, dan organ urogenital.

Tukak lambung/ usus, guna mengurangi motilitas dan sekresi HCL dilambung,
khususnya pirenzepin.

Sebagai medriatikum, untuk melebarkan pupil dan melumpuhkan akomodasi. Jika


efek terakhir tidak diingginkan, maka harus digunakan suatu adrenergikum, misalnya
fenilefrin.

Sebagai sadativum, berdasarkan efek menekan SSP, terutama atropine dan skolamin,
digunakan sebelum pembedahan. Bersamaan dengan anastetika umum. Antihistaminika dan
fenotiazin juga digunakan untuk maksud ini.

Sebagai zat anti mabuk jalan guna mencegah mual dan muntah.

Pada hiperhidrosus, untuk menekan pengeluaran keringat berlebihan.

pada inkontinesi urin, atas dasar kerja spasmolitisnya pada kandung kemih, sehingga
kapasitasnya diperbesar dan kontraksi spontan serta hasrat berkemih dikurangi.

2.2.8. Efek Pada Sistem Organ

1. Susunan Saraf Pusat


23

Pada dosis lazim, atropine merupakan stimulant ringan terhadap SSP, terutama pada pusat
parasimpatis medulla, dan efek sedative yang lama dan lambat pada otak.efek pemacu Vagal
pusat seringkali cukup untuk menimbulkan bradikardia, yang kemudian nodus SA yang
menjadi nyata. Atropine juga menimbulkan kegelisahan, agitasi, halusinasi, dan koma.

2. Mata

Otot konstriktor pupil tergantung pada aktivitas kolinoseptor muskarinik. Aktivitas ini secara
efektif dihambat oleh atropine topical dan obat antimuskarinik tersier serta hasilnya aktivitas
dilator simpatis yang tidak berlawanan dan midriasis (pupil yang melebar) nampaknya
disenangi oleh kosmetik selama Renaissance dan oleh karena ini obatnya disebut belladonna
(bahasa italic, wanita cantik) yang digunakan sebagai obat tetes mata selama waktu itu.

Efek penting kedua pada mata dari obat antimuskarinik adalah kelumpuhan otot siliaris, atau
sikloplegia. Akibat sigloplegia ini terjadi penurunan kemampuan untung mengakomodasi ;
mata yang teratropinisasi penuh tidak dapat memfokus untuk melihat dekat.

Kedua efek midriasis dan sigloplegia berguna dalam pftalmologi. Namun efek ini juga cukup
berbahaya karena pada pasien dengan sudut kamar depan yang sempit akan menimbulkan
gejala glaucoma akut.

Efek ketiga dari obat antimuskarinik pada mata adalah mengurangi sekresi air mata. Kadang-
kadang pasien akan merasa matanya kering atau mata berpasir bila diberikan obat anti
muskarinik dalam dosis besar.

3. Sistem Kardiovaskuler

Atrium sangat kaya dipersyarafi oleh serabut syaraf parasimpatis (n.vagus), dan oleh karena
itu nodus SA peka terhadap hambatan reseptor muskarinik. Efek denyut jantung yang
terisolasi, dipersarafi, dan secara spontan memukul jantung berupa hambatan perlambatan
vagus yang jelas dan takikardia relative. Bila diberikan dosis terapi sedang sampai tinggi,
maka efek takikardi nampaknya dapat menetap pada pasien tertentu. Namun, dalam dosis
kecil justru memacu pusat parasimpatis dan sering menimbulkan gejala brakikardia awal
sebelum efek hambatan terhadap vagus perifer menjadi jelas.

Dengan mekanisme yang sama juga mengatur fungsi nodus AV; pada keadaan tonus vagus
yang meninggi, maka pemberian atropine dapat menurunkan interval PR dalam EKG dengan
memblok reseptor muskarinik jantung.

4. Sistem Pernafasan

Baik otot polos atau sel kelenjar sekresi pada saluran pernafasan dipersarafi oleh vagus dan
mengandung reseptor muskarini. Bahkan pada individu normal, maka efek bronkodilatasi dan
pengurangan sekresi setelah menelan atropine dapat diukur. Efek demikian lebih dramatic
pada pasien saluran pernafasan terganggu, walaupun obat antimuskarinik ini tidak sebaik
pemacu beta-adrenoseptor pada pengobatan asma.

5. Saluran Cerna
24

Hambatan reseptor muskarinik menimbulkan efek dramatic terhadap motilitas dan beberapa
fungsi sekresi pada saluran cerna. Seperti pada organ lainnya, pacuan muskarinik eksogen
lebih efektif dihambat disbanding efek dari aktivitas saraf simpatis (vagal).

6. Kelenjar Keringat

Termoregulasi keringat di tekan pula oleh atropine. Reseptor muskarinik pada


kelenjarkeringat ekkrin dipersarafi oleh serabut kolinergik simpatetik dan dapat dipengaruhi
oleh obat antimuskarinik. Hanya pada dosis tinggi efek antimuskarinik pada orang dewasa
akan menimbulkan peninggian suhu tubuh. Sedangkan pada bayi dan anak-anak maka dalam
dosis biasapun sudah menimbulkan demam atropine (atropine fever).

DAFTAR PUSTAKA

Betram G. Katzung. Farmakologi Dasar dan Klinik. 2004. EGC. Jakarta .

Jay, Than Hoon dan Kirana, Raharja. Obat-Obat Penting. 2002. Gramedia. Jakarta.

Buku Penuntun Praktikum Farmakolologi. Departemen Farmakologi dan Terapetik


Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan.

11. Obat apa saja yang harus diwaspadai dosisnya yg dapat menyebabkan
intoksikasi?kadar berlebih dari semua obat.
12. Apa saja komplikasinya?

Pemberian Sulfas Atropindosisnya!

Farmakokinetik+farmakodinamik

Vous aimerez peut-être aussi