Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rabies
Rabies atau dikenal juga dengan istilah penyakit anjing gila adalah penyakit
infeksi akut yang bersifat zoonosis pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh
virus rabies yang masuk ke keluarga Rhabdoviridae dengan genus Lysavirus dan
ditularkan melalui gigitan hewan penular rabies terutama anjing, kucing dan kera
Virus rabies mempunyai 6 (enam) tipe, yaitu : Tipe 1 : Strain challenge virus
standard sebagai prototype, Tipe 2 : Strain lagos sebagai prototype, Tipe 3 : Strain
Sumber penular penyakit rabies adalah anjing sebagai penular utama, disamping itu
dapat juga ditularkan oleh kucing dan kera. Di luar negeri, disamping ketiga hewan
di atas, dapat juga ditularkan melalui gigitan binatang seperti : srigala, kelelawar,
skunk dan raccoon (Dinkes Provinsi Bali, 2010). Rabies di Indonesia terutama
disebabkan oleh gigitan anjing pembawa virus lyssa yang bersifat neurotrop. Rabies
bersifat zoonosis artinya penyakit tersebut dapat menular dari hewan ke manusia dan
menyebabkan kematian pada manusia dengan CFR (Case Fatality Rate) 100%.
Virus rabies dikeluarkan bersama air liur hewan yang terinfeksi dan disebarkan
7
8
melalui luka gigitan atau jilatan (Evalina, 2009). Berdasarkan siklusnya, ada dua
bentuk rabies, yakni rabies di lingkungan pemukiman (urban rabies) dan rabies di
dikenal sejak ribuan tahun sebelum masehi. Prasasti rabies yang berisikan aturan
denda bagi pemilik anjing, yang positif rabies menggigit manusia hingga mati telah
dibuat pada zaman kekuasaan raja Hamurabi (2300 SM). Rabies pada anjing dan
kucing telah digambarkan oleh Democritus (500 SM) dan Aristoteles (322 SM),
hubungan antara gejala takut air (hidrofobia) pada manusia dengan rabies pada
Di Indonesia rabies telah ditemukan sejak 1889, pada seekor kerbau di Bekasi
(Dharmojono, 2001). Secara kronologis tahun kejadian penyakit rabies mulai di Jawa
Barat (1948), Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (1953), Sumatera Utara
(1956), Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara (1958), Sumatera Selatan (1959),
D.I.Aceh (1970), Jambi dan Yogyakarta (1971), Bengkulu, DKI Jakarta dan
Tengah (1978), Kalimantan Selatan (1983) dan P. Flores (1997) (Dunia Veteriner,
2003).
penyakit. Masa inkubasi rabies pada hewan berkisar antara 3 sampai 6 minggu
9
setelah gigitan hewan rabies (Depkes RI, 2008). Pada manusia 2 sampai 8 minggu
dan paling lama 1 tahun. Masa inkubasi tergantung dari lokasi gigitan (akan semakin
pendek jika gigitan semakin dekat dengan kepala), bila gigitan terdapat di banyak
tempat, umur, virulensi (banyaknya virus yang masuk melalui gigitan / jilatan),
banyaknya saraf pada luka gigitan (C.Bell, Palmer, & M.Payne, 1995; Depkes RI,
Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus
tetap tinggal pada tempat masuk dan didekatnya, kemudian bergerak mencapai
luas pada semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi khusus terhadap sel-
sel sistem limbik, hipotalamus dan batang otak (Depkes RI, 2000b).
kearah perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf
otonom. Dengan demikian virus menyerang hampir tiap organ dan jaringan didalam
otak (encephalitis) yang akut baik pada hewan maupun manusia. Pada manusia
keinginan untuk menyerang orang lain pada umumnya tidak ada (Hiswani, 2003).
a. Bentuk ganas (furious rabies) masa eksitasi panjang, kebanyakan akan mati
b. Bentuk diam atau dungu (dumb rabies) disini terjadi kelumpuhan (paralisa)
sangat cepat menjalar keseluruh anggota tubuh dan masa eksitasi pendek.
Selain dari ketiga bentuk tanda klinis rabies pada anjing dan kucing bisa
menyendiri, tetapi dapat lebih menjadi agresif dan nervous. Reflek cornea
b. Pada fase eksitasi hewan akan menyerang siapa saja yang ada disekitarnya
c. Pada fase paralisa cornea kering, mata terbuka dan kotor, semua reflek
Tanda klinis pada hewan pemamah biak dapat dilibat seperti gelisah, gugup,
liar dan adanya rasa gatal pada seluruh tubuh, kelumpuhan pada kaki belakang dan
akhirnya hewan mati. Pada hari pertama atau kedua gejala klinis terlihat biasanya
temperatur normal, anorexia, eskpresi wajah berubah dari biasa, sering menguak dan
ini merupakan tanda yang spesifik bagi hewan yang menderita rabies (Hiswani,
2003).
1. Stadium Prodromal
2. Stadium Sensoris
Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas
luka, kemudian disusul dengan gejala cemas, dan reaksi yang berlebihan
3. Stadium Eksitasi
dengan stadium eksitasi ini penyakit mencapai puncaknya, yang sangat khas
pada stadium ini ialah adanya macam-macam fobi, yang sangat terkenal
gejala eksitasi ini dapat terus berlangsung sampai penderita meninggal, tetapi
pada saat dekat kematian justru lebih sering terjadi otot-otot melemah, hingga
4. Stadium Paralis
otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang
manusia, vaksin rutin diberikan kepada orang-orang yang pekerja dengan resiko
tinggi, seperti dokter hewan, pawang binatang, peneliti khusus hewan dan lainnya.
Selain itu pencegahan rabies pada hewan dapat dilakukan dengan cara :
1. Memelihara anjing dan hewan lainnya dengan baik dan benar. Jika tidak
pecinta hewan.
Peternakan setempat.
3. Pada hewan virus rabies dapat ditangkal dengan vaksinasi secara rutin 1-2
6. Pengamanan dan pelaporan terhadap kasus gigitan anjing, kucing, dan hewan
10. Menggunakan rantai pada leher anjing dengan panjang tidak lebih dari 2
meter bila tidak dikandang atau saat diajak keluar halaman rumah.
13
11. Tidak menyentuh atau memberi makan hewan yang ditemui di jalan
12. Daerah yang sudah bebas rabies, harus mencegah masuknya anjing, kucing
13. Pada area terkontaminasi dilakukan desinfeksi dari pemutih pakaian untuk
Setiap ada kasus gigitan hewan menular rabies harus ditangani dengan cepat
dan sesegera mungkin. Untuk mengurangi/mematikan virus rabies yang masuk pada
luka gigitan, usaha yang paling efektif ialah mencuci luka gigitan dengan air
(sebaiknya air mengalir) dan sabun atau detergent selama 10-15 menit, kemudian
diberi antiseptik (alkohol 70 %, betadine, obat merah dan lain-lain). Lalu korban
2.2 Vaksinasi Rabies dan Manfaatnya Terhadap Anjing, Kucing dan Kera
Vaksin rabies telah dikenal sejak tahun 1879 dibuat pertama kali oleh Victor
Galtier. Manfaat dari vaksin rabies adalah untuk mengendalikan penyakit rabies,
mengusahakan agar hewan yang peka terhadap rabies kebal terhadap serangan virus
rabies. Untuk mencapai hal tersebut, sebagian besar populasi hewan harus
vaksin yang berkualitas baik, tersedia dalam jumlah cukup dan tepat waktu
2.3 Manfaat Vaksin Anti Rabies (VAR) dan Serum Anti Rabies (SAR) serta
kekebalan terhadap virus rabies. Untuk memperoleh kualitas vaksin yang efektif dan
efisien, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, baik vaksin yang digunakan
bagi hewan maupun bagi manusia, yakni : Vaksin harus dijamin aman dalam
pemakaian, vaksin harus memiliki potensi daya lindung yang tinggi, vaksin harus
mampu memberikan perlindungan kekebalan yang lama, vaksin arus mudah dalam
cara aplikasinya, vaksin harus stabil dan menghasilkan waktu kadaluwarsa yang
lama, dan vaksin harus selalu tersedia dan mudah didapat sewaktu-waktu dibutuhkan
Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) disertai Serum Anti Rabies (SAR) harus
didasarkan atas tindakan tajam. Terhadap luka resiko rendah diberi VAR saja. Yang
termasuk luka yang tidak berbahaya adalah jilatan pada kulit luka, garukan atau lecet
(erosi, ekskoriasi), luka kecil disekitar tangan, badan dan kaki (Depkes RI, 2000b).
Terhadap luka resiko tinggi, selain VAR juga diberi SAR. Yang termasuk luka
berbahaya adalah jilatan/luka pada mukosa, luka diatas daerah bahu (muka, kepala,
leher), luka pada jari tangan/kaki, genetalia, luka yang lebar/dalam dan luka yang
banyak (multipel).
Pada pemberian suntikan VAR biasanya akan timbul reaksi lokal yang tidak
pemberian SAR yaitu terjadi serum sickness dengan gejala panas dan urtica dan
penyakit rabies. Partisipasi masyarakat dalam hal ini partisipasi pemilik hewan
penular rabies menunjukkan bukti bahwa pemilik hewan penular rabies merasa
terlibat dan merasa menjadi bagian dari pembangunan. Hal ini akan sangat
(Depkes RI, 2003). Partisipasi masyarakat atau sering disebut peran serta
aktif dan terorganinsasi dalam seluruh tahap pembangunan, mulai dari persiapan,
dalam tahap pengenalan dan penentuan prioritas masalah, partisipasi dalam tahap
penyediaan sumber daya, partisipasi dalam dalam tahap penilaian dan pemantapan
(Depkes RI, 2001). Dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN), bentuk partisipasi
diharapkan ikut berperan secara aktif dalam pembangunan kesehatan (Depkes RI,
2007).
2007)
rabies antara lain memberikan vaksinasi pada anjing peliharaan, mengikat anjing
dengan rantai yang panjangnya tidak lebih dari 2 meter, ketika dibawa keluar rumah
anjing diikat dengan rantai yang panjangnya tidak lebih dari 2 meter serta
terdekat bila terjadi kasus gigitan hewan penular rabies (Malahayati, 2009).
3. Anjing harus diberi makanan dan perawatan kesehatan yang baik supaya
Kabupaten).
(Dikantara, 2011).
Suatu program dapat dikatakan tidak berhasil jika tidak melibatkan masyarakat
itu sendiri. Oleh karena itu, penting sekali dipertimbangkan untuk meningkatkan
hewan penular rabies dalam program pencegahan penyakit rabies (Depkes RI, 2003).
Peran serta masyarakat dan kerjasama yang sinergis antar instansi pemerintah sangat
diharapkan. Ini semua untuk mewujudkan Indonesia menuju bebas rabies tahun 2015
(Karyono,2010).
Rabies
a. Anjing dipelihara diikat dengan rantai yang panjangnya tidak boleh lebih
dari 2 meter
b. Anjing peliharaan diikat dengan rantai yang panjangnya tidak boleh lebih
rumah.
18
setiap tahun
Penyakit Rabies
1. Vaksinasi Anti Rabies (VAR) pada kasus gigitan hewan tersangka rabies
melalui pemberian Vaksisinasi Anti Rabies (VAR) dan Serum Anti Rabies
Epidemiologi (Pe).
pengetahuan baik, sikap yang positif terhadap rabies dan telah melakukan tindakan
pencegahan rabies dengan baik (Yunita, 2009). Penelitian tentang status vaksinasi
rabies pada anjing di Kota Makassar menyatakan bahwa cakupan vaksinasi masih
pemeliharaan (OR= 4,3) dan pengetahuan pemilik tentang rabies (OR=3) (Utami,
sebagian besar penderita rabies tidak memelihara anjing (anjing) 65,6%. Penderita
yang memelihara anjing sebagian besar tidak memberikan VAR (63,6%), tidak
menyatakan bahwa 60% sistem pemeliharaan anjing dilepas keluar masuk halaman
rumah dan 53,3% responden tidak memberikan VAR (Sutini, 2011). Selain itu dari
rendahnya perilaku masyarakat dalam pemberian vaksin anti rabies bagi anjingnya
(Mustamar, 2001).
Selain itu penelitian yang dilakukan Oleh Malahayati (2009) anjing yang tidak
dipelihara dengan baik atau anjing liar/diliarkan merupakan suatu kondisi yang
sangat kondusif untuk menjadikan suatu daerah menjadi daerah endemis rabies. Pada
20
Penelitian yang dilakukan di Sumatera Barat mengenai kasus kontrol rabies pada
anjing yang dilepas keluar masuk halaman rumah akan memberikan peluang yang
lebih besar terjangkit rabies dibandingkan anjing yang diikat, dalam penelitian ini
waktu akan memberikan peluang kontak yang lebih besar dengan anjing liar
pernah ada kasus rabies pada hewan dan manusia (baik secara berurutan
2. Daerah bebas kriterianya yaitu daerah yang secara historis tidak pernah
ditemukan penyakit rabies, daerah yang tertular rabies tapi dalam 2 tahun
terakhir tidak ada kasus secara klinis dan epidemiologis serta sudah
ada kasus rabies secara klinis dan epidemiologis tapi belum dibuktikan