Vous êtes sur la page 1sur 14

ASPEK YURIDIS RELAAS ONLINE

Oleh : Suhartono, S.Ag., SH., MH.


(Alumnus Magister Hukum UNEJ)

Abstrak

Di era informasi (information age), efesiensi dan


efektifitas dalam berbagai bidang merupakan keniscayaan, tidak
terkecuali terhadap pelayanan penyelesaian perkara yang
diajukan ke Pengadilan Agama. Para pencari keadilan
membutuhkan proses penyelesaian yang cepat dan tidak
formalistis atau informal procedure and can be put into motion
quickly1, maka untuk menunjang tercapainya tujuan dimaksud,
mau tidak mau harus larut dalam peradaban digital, yakni
pemanfaatan teknologi telekomunikasi dan informasi secara
maksimal, baik dalam proses administrasi maupun penyelesaian
perkara.
Hal di atas bukanlah ide baru, karena Badilag sudah lebih
dahulu meretas jalan tersebut. Diantaranya, memanfaatkan
teknologi dengan surat panggilan sidang secara online untuk
menunjang panggilan melalui koran dan radio. Namun ini bukan
hal yang mudah karena disamping berhadapan sisi teknis yakni
rumitnya teknologi informasi, disisi lain juga berhadapan dengan
sisi yuridisnya, sehingga tidak dipungkiri kemudian muncul
beragam komentar dan tanggapan seputar terobosan dalam
hukum acara perdata tersebut 2, hal ini adalah wajar mengingat
belum ada peraturan perundangan yang mengaturnya secara
tegas.

Kata Kunci : Aspek Yuridis, relaas online, alat bukti elektronik,


akta otentik.

1
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan
Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika, Jakarta, 1997, hal. 248.
2
Vide tanggapan terhadap berita Pengadilan Agama Memanggil yang Gaib
via Internetyang dimuat oleh hukumonline pada tanggal 28 Maret 2008,
berita serupa berjudul Terbuka Peluang Pemanggilan Pihak Berperkara
Melalui Media Online.
2

Pendahuluan

Di tengah globalisasi komunikasi yang semakin terpadu


(global communication network), keberadaan suatu informasi
mempunyai peranan yang sangat penting di seluruh aspek
kehidupan, sehingga ketergantungan akan tersedianya informasi
semakin meningkat. Perubahan bentuk masyarakat menjadi
suatu masyarakat informasi (information society) memicu
perkembangan teknologi informasi (information technology
revolution) yang menciptakan perangkat teknologi semakin
canggih dan informasi yang berkualitas. Hal ini yang membuat
internet memiliki peran yang sangat penting karena sebagai
media teknologi informasi, internet mempunyai keunggulan
antara lain 3:
1. Keberadaannya sebagai jaringan elektronik public yang
sangat besar;
2. Mampu memenuhi berbagai kebutuhan berinformasi dan
berkomunikasi secara murah, cepat, dan mudah diakses;
3. Menggunakan data elektronik sebagai media
penyampaian pesan/data sehingga dapat dilakukan
pengiriman, penerimaan dan penyebarluasan informasi
secara mudah dan ringkas.

Adalah sangat rasional dan strategis jika Badilag


kemudian menggalakkan pemanfaatan teknologi internet untuk
mendongkrak kualitas kerja jajarannya, sekaligus memberikan
pelayanan maksimal kepada para pihak pencari keadilan, hal ini
sejalan dengan amanat KMA Nomo: 144/KMA/SKIVIII/2007
Tahun 2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan.
3
M. Arsyad Sanusi, Hukum dan Teknologi Informasi, Tim Kemas Buku,
Jakarta, 2005, hal. 120.
3

Seiring telah disahkannya Undang-Undang Informasi dan


Transaksi Elektronik (ITE) dalam Rapat Paripurna DPR RI pada
tanggal 25 Maret 2008 seolah membawa angin segar bagi
lembaga peradilan khususnya Badilag untuk terus inovatif
melakukan terobosan-terobosan di bidang hukum acara perdata,
terkait dengan bidang kewenangannya. Sebagaimana diketahui,
Badilag memanfaatkan teknologi internet dengan melakukan
panggilan yang gaib melalui internet (relaas online) dengan
memanfaatkan teknologi informasi berbasis sistem komputer.
Hal ini juga didukung oleh rumusan hasil diskusi kelompok
Bidang Peradilan Agama pada RAKERNAS MA RI Tahun 2007,
yakni: Perkara perceraian yang pihak tergugat/termohon
tempat kediamannya tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak
mempunyai tempat kediaman yang tetap, pemanggilannya
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 27 PP Nomor 9
Tahun 1975, dan dapat menggunakan media lain seperti
internet.
Ada beragam tanggapan seputar terobosan hukum
tersebut, terutama apabila nantinya dikaitkan dalam hal
pembuktian, mengingat informasi elektronik belum terakomodasi
dalam sistem hukum acara Indonesia secara komprehensif4,
sehingga menarik untuk didiskusikan dari aspek hukumnya,
namun kajian ini hanya dibatasi mengenai panggilan gaib via
internet dalam perspektif yuridisnya.

Kajian Yuridis Panggilan Gaib via Internet


Sebelum lebih jauh pembahasan topik di atas, perlu
kiranya diketengahkan terlebih dahulu mengenai definisi yang

4
Vide Penjelasan UU ITE Bab I Umum.
4

jelas mengenai surat panggilan, panggilan gaib dan internet agar


ada gambaran pemahaman dan alur pikir yang sama.
Surat panggilan (relaas), dalam hukum acara perdata
dikatagorikan sebagai akta autentik. Dalam Pasal 165 HIR dan
Pasal 285 RBg. serta Pasal 1868 B.W., disebutkan bahwa akta
autentik adalah suatu akta yang dibuat dihadapan pegawai
umum dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang yang
berlaku, maka apa yang termuat dalam relaas harus dianggap
benar, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.5 Pengertian
panggilan dalam hukum acara perdata adalah menyampaikan
secara resmi (official) dan patut (properly) kepada pihak-pihak
yang terlibat dalam suatu perkara di pengadilan, agar memenuhi
dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan
majelis hakim atau pengadilan.6 Sedangkan yang dimaksud
dengan Panggilan gaib, adalah panggilan terhadap
tergugat/termohon yang tidak diketahui tempat kediamannya
yang jelas di Indonesia, atau tidak diketahui pasti tempat tinggal
tergugat/termohon berada.7
Definisi internet (interconnected Network) adalah
konvergensi telematika yang merupakan perpaduan antara
teknologi komputer, media dan teknologi informasi. Internet
merupakan jaringan komputer yang terdiri dari ribuan bahkan
jutaan jaringan komputer independent yang saling terhubung ke
seluruh dunia tanpa mengenal batas territorial, hukum dan
budaya. Secara fisik dianalogikan sebagai jaring laba-laba (The
Web) yang menyelimuti bola dunia dan terdiri dari titik-titik

5
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama (Edisi Revisi), Prenada Media, Jakarta, 2005, hal. 136.
6
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal.
213.
7
Abdul Manan, Op.Cit., hal. 141.
5

(node) yang saling berhubungan. Walaupun secara fisik internet


adalah interkoneksi antar jaringan komputer namun secara
umum internet harus dipandang sebagai sumber daya informasi.
Isi internet adalah informasi, dapat dibayangkan sebagai suatu
database atau perpustakaan multimedia yang sangat besar dan
lengkap. Bahkan internet dipandang sebagai dunia dalam bentuk
lain (maya) karena hampir seluruh aspek kehidupan di dunia
nyata ada di internet seperti, bisnis, hiburan, olahraga, politik,
hukum dan sebagainya.
Berkaitan dengan pemanggilan dan pemberitahuan
putusan berikut petugas dan tata caranya telah diatur dalam
Pasal 122, 390 HIR, 146, 718 RBg., Pasal 26-28 PP Nomor 9
Tahun 1975 dan Pasal 138-140 Kompilasi Hukum Islam. Khusus
mengenai panggilan gaib diatur dalam Pasal 27 PP Nomor 9
Tahun 1975 yang berbunyi:
Pasal 27:
(1) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut
dalam Pasal 20 ayat (2)8, panggilan dilakukan dengan
cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di
pengadilan dan mengumumkannya melalui satu atau
beberapa surat kabar atau mass media lain yang
ditetapkan oleh Pengadilan.
(2) Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar
atau mass media tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2
(dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara
pengumuman pertama dan kedua.

8
Pasal 20 ayat (2) berbunyi: Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak
jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap,
gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman
Penggugat.
6

(3) Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagai


dimaksud ayat (2) dengan persidangan ditetapkan
sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
(4) Dalam hal sudah dilakukan panggilan sebagai dimaksud
dalam ayat (2) dan Tergugat atau kuasanya tetap tidak
hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali
apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.

Definisi mass media sebagaimana yang dimaksud pada


Pasal 27 di atas, kalau merujuk pada Kamus Besar Bahasa
Indonesia 9, maka pengertian mass media (media massa) adalah
sarana dan saluran resmi sebagai alat komunikasi untuk
menyebarkan berita dan pesan kepada masyarakat luas, media
massa di sini meliputi media cetak dan media elektronik. Lebih
tegas lagi menurut Andi Syamsu Alam (Ketua Muda Uldilag)
10
penafsiran media massa disini juga meliputi internet .
Pemanggilan melalui media online memang belum lazim
dilakukan saat sekarang, namun tidak menutup kemungkinan
mengikuti perkembangan zaman, pemanggilan seperti itu
menjadi hal yang biasa, karena setidaknya ada beberapa
keunggulan dari panggilan melalui media online, diantaranya:
1. Biayanya relatif murah apabila dibandingkan dengan
biaya pemanggilan melalui surat kabar;
2. Proses pemanggilannya relative lebih cepat dan efisien
karena tidak melalui birokrasi yang berbelit-belit;
3. Jangkauannya lebih besar karena dapat diakses di
seluruh dunia dalam jangka waktu yang lama,

9
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2001, al. 726.
10
Pengadilan Agama Memanggil yang Gaib via Internet,
http://hukumonline.com/detail.asp?id=17033&cl=Berita. 22 Maret 2008
7

sedangkan surat kabar frekuensi pemuatan berita dan


distribusinya terbatas, apalagi berita tersebut hanya
diletakkan dihalaman belakang paling pojok, demikian
juga melalui radio, jangkauan pemancarnya dan
frekwensi penyiarannya sangat terbatas.

Permasalahan timbul apabila terdapat syarat bahwa


suatu dokumen atau akta tersebut harus dapat dilihat, dikirim
dan disimpan dalam bentuk kertas, serta dokumen atau akta asli
selalu dalam bentuk tertulis yang ditanda-tangani oleh para
pihak yang bersangkutan, sebagaimana Pasal 390 ayat (1) HIR
dan Pasal 2 ayat (3) Rv, panggilan dilakukan dalam bentuk:
Surat tertulis (in writing), lazim disebut surat panggilan
atau relaas panggilan;
Panggilan tidak dibenarkan dalam bentuk lisan (oral)
karena sulit membuktikan keabsahannya. Oleh Karena itu,
panggilan dalam bentuk lisan tidak sah menurut hukum.

Oleh karena itu untuk menjaga prinsip kehati-hatian


Badilag saat ini hanya menjadikan relaas panggilan gaib via
internet hanya sebagai penunjang dari relaas yang sudah
disampaikan melalui surat kabar atau media lain11, artinya
bukan relaas asli sehingga tidak perlu tanda tangan dari
jurusita. Adapun relaas aslinya tetap dikirim melalui surat kabar
atau radio.
Mengenai persoalan keabsahan suatu tanda tangan
dalam relaas online pada dasarnya adalah berhubungan dengan

11
Sebagaimana pernyataan Wahyu Widiana (Dirjen Badilag) saat dihubungi
oleh Hukumonline, vide: Pengadilan Agama Memanggil yang Gaib via
Internet, http://hukumonline.com/detail.asp?id=17033&cl=Berita, Jumat, 28
Maret 2008.
8

otentisitas, keaslian suatu akta, dokumen atau surat. Oleh


karena itu, tanda tangan konvensional dengan menggunakan
tinta pada dasarnya hanyalah merupakan tradisi dan konvensi
yang berdasarkan karakternya mengambil bentuk fisik dan
berdimensi metafisik. Tanda tangan perlu ditafsirkan dengan
menitikberatkan pada substansi yaitu fungsi tanda tangan itu
daripada bentuk (form). Hal ini dapat dengan jelas dilihat
dibeberapa negara seperti Amerika, Inggris, Jerman, Singapura
dan Malaysia yang tidak menentukan bentuk tertentu suatu
tanda tangan sehingga keabsahan tanda tangan elektronik
diakui.12
Ketentuan dalam Pasal 5 UU ITE sendiri masih
ambivalen, dalam ayat (1) berbunyi: Informasi Eletronik
dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
merupakan alat bukti hukum yang sah.
Sedangkan pada Pasal 5 UU ITE ayat (4)
berbunyi:Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku untuk:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat
dalam bentuk tertulis; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-
Undang harus dalam bentuk akta notaril atau akta
yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Sejauh mana cakupan, pengertian bentuk tertulis pada


pasal 390 ayat (1) HIR dan Pasal 5 UU ITE di atas, perlu

12
Ignasius Sumarsono Raharjo, Informasi Elektronik Pada Electronic-
Commerce Dalam Hukum Pembuktian Perdata, E-mail:
library@lib.unair.ac.id;library@unair.ac.id Post Graduate Airlangga University,
08-06-2006.
9

diperhatikan perluasan jangkauan yang diatur dalam Pasal 2


ayat (3) Rv sebagai pedoman. Pasal ini membenarkan bentuk
tertulis meliputi:
Telegram;
Surat tercatat;

Menurut pasal ini, panggilan yang dilakukan melalui


telegram atau surat tercatat dianggap sebagai panggilan atau
pemberitahuan patut (properly). Bagaimana halnya bentuk
panggilan elektronik melalui internet? Menurut Yahya Harahap,13
dari segi pendekatan hukum yang sempit (strict law) dan
formalistic legal thinking, bentuk-bentuk panggilan tersebut
dianggap bertentangan dengan hukum. Akan tetapi, berpijak
dari pendekatan perubahan sosial (social change), bentuk-
bentuk seperti di atas dapat diakomodasi.
Bagaimana dengan otentikasinya? Secara yuridis,
sepanjang tidak ada penyangkalan, relaas elektronik tersebut
harusnya diterima layaknya bukti tulisan konvensional. Masalah
otentikasi adalah persoalan yang berbeda dengan pengakuan
relaas elektronik. Jika relaas elektronik tersebut diterima atau
diakui secara hukum, dengan sendirinya proses otentikasi atas
data tersebut akan mengikutinya. Proses otentikasi adalah
persoalan teknologi, sedangkan pengakuan dokumen elektronik
menyangkut pengakuan secara formal di dalam peraturan
perundang-undangan.14
Agar suatu informasi digital memiliki bukti otentik, maka
harus diperoleh dari suatu sistem elektronik yang dapat

13
Yahya Harahap, Op. Cit, hal. 220.
14
Rapin Mudiarjo, Data Elektronik Sebagai Alat Bukti Masih Dipertanyakan,
Hukumonline.com, 08 Juli 2002.
10

melindungi keotentikan, integritas, kerahasiaan, ketersediaan,


dan keteraksesan dari informasi elektronik pada sistem
elektronik tersebut. Oleh karenanya Pasal 16 UU ITE
menegaskan:
(1) Sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang
tersendiri, setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib
mengoperasikan Sistem Elektronik yang memenuhi
persyaratan minimum sebagai berukut:
a. dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik dan
/atau Dokumen Elektronik secara utuh sesuai dengan
masa retensi yang ditetapkan dengan Peraturan
Perundang-undangan;
b. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan,
kerahasiaan, dan keteraksesan Informasi Elektronik
dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;
c. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk
dalam Penyelengaraan Sistem Elektronik tersebut;
d. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang
diumumkan dengan bahasa, informasi, atau symbol yang
dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan
Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; dan
e. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga
kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban
prosedur atau petunjuk.

Dengan demikian, apabila informasi itu hasil dari Sistem


Informasi yang berjalan baik sebagaimana yang dikehendaki
Pasal 16 di atas, maka relaas digital memiliki nilai otentik dan
bila diperlukan dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses
11

persidangan. Sebagaimana telah tertuang pada penjelasan UU


ITE Pasal 6, bahwa selama ini bentuk tertulis identik dengan
informasi dan/atau dokumen yang tertuang di atas kertas
semata, padahal pada hakikatnya informasi dan/atau dokumen
dapat dituangkan ke dalam media apa saja, termasuk media
elektronik. Dalam lingkup Sistem Elektronik, informasi yang asli
dengan salinannya tidak relevan lagi untuk dibedakan sebab
Sistem Elektronik pada dasarnya beroperasi dengan cara
penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak
dapat dibedakan lagi dari salinannya. Juga pada Pasal 5 (1) UU
ITE berbunyi: (1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum
yang sah.
Kendatipun belum ada regulasi yang jelas dan tegas
dalam hukum acara perdata mengenai permasalahan di atas,
maka disinilah tugas hakim untuk mencari dan menemukan
hukumnya (rechtvinding). Perlu dipahami bahwa penegakan
hukum bukan sekedar penerapan hukum tetapi sering
merupakan penemuan hukum. Dalam kasus di atas perlu
penafsiran (interpretasi) ekstensif, yakni penafsiran yang
melampaui batas-batas yang ditetapkan oleh interpretasi
gramatikal.
Pembentuk undang-undang tidak memberi prioritas
kepada salah satu metode dalam penemuan hukum. Hakim
akhirnya hanya akan menjatuhkan pilihannya berdasarkan
pertimbangan metode manakah yang paling meyakinkan dan
yang hasilnya paling memuaskan. Pemilihan mengenai metode
interpretasi merupakan otonomi hakim dalam penemuan hukum.
Motivasi pemilihan metode interpretasi tidak pernah dijumpai
12

dalam yurisprudensi: mengapa hakim memilih metode


interpretasi yang ini dan bukan yang itu tidak pernah disebut
dalam putusan hakim. Di dalam putusan-putusannya hakim tidak
pernah menegaskan argumen atau alasan apakah yang
menentukan untuk memilih metode tertentu, karena metode-
metode interpretasi sering digunakan bersama-sama secara acak
yang meliputi unsur-unsur gramatikal, histories, sistematis dan
teleologis.15
Dengan cara-cara menafsirkan atau penemuan hukum,
hakim menjamin aktualisasi aturan hukum untuk disesuaikan
dengan tuntutan atau perkembangan baru. Hakim tidak mungkin
sekedar mulut undang-undang atau legistik. Dalam kenyataan
tidak pernah ada kasus yang sepenuhnya sama dengan yang
terlukis dalam undang-undang, sehingga memerlukan rekayasa
hakim (engineering) agar dapat diputus dengan benar.16
Upaya mewujudkan substantial justice jangan sampai
terbentur oleh procedural justice, karena supremasi hukum tidak
bisa diidentikkan dengan supremasi undang-undang, yang
berakibat persoalan hukum tereduksi menjadi sekedar persoalan
ketrampilan tehnis yuridis.17

Penutup
Bentuk pemanggilan gaib melalui internet (relaas online)
adalah merupakan pengembangan penafsiran terhadap definisi
mass media yang tercantum dalam Pasal 27 PP Nomor 9 Tahun
1975. Pemanggilan semacam ini menurut hukum acara perdata

15
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum,
Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1992, hal. 20.
16
Bagir Manan, Menjadi Hakim yang Baik, Mahkamah Agung RI, Jakarta,
2007, hal. 188.
17
FX Adji Samekto, Studi Hukum Kritis Kritik Terhadap Hukum Modern, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 52.
13

adalah sah-sah saja apabila menggunakan pendekatan


perubahan sosial (social change) dan interpretasi ekstensif.
Soal otentikasi relaas digital tidak perlu dipermasalahkan,
sejauh Sistem Informasi telah berjalan dengan baik sesuai
ketentuan Pasal 16 UU ITE. Juga sebagaimana ketentuan pada
Pasal 5 UU ITE ayat (1) bahwa Informasi Elektronik maupun
Dokumen Elektronik berikut hasil cetaknya merupakan alat bukti
hukum yang sah, maka relaas online tidak perlu disangsikan
keabsahannya dan sepanjang diperlukan dapat dijadikan sebagai
alat bukti dalam persidangan.
Demikian kajian yang sangat sederhana ini dan jauh dari
kesempurnaan mudah-mudahah bermanfaat, amien.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa


Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta: Balai
Pustaka.

Harahap, M. Yahya. 1997. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem


Peradilan dan Penyelesaian Sengketa,
Jakarta: Sinar Grafika.
_______________________
. 2006. Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar
Grafika.

Manan, Abdul. 2005. Penerapan Hukum Acara Perdata di


Lingkungan Peradilan Agama (Edisi Revisi),
Jakarta: Prenada Media.

Manan, Bagir. 2007. Menjadi Hakim yang Baik, Jakarta:


Mahkamah Agung RI.

Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo. 1992. Bab-Bab Tentang


Penemuan Hukum, Jakarta: Citra Aditya
Bakti.
14

Mudiarjo, Rapin, Data Elektronik Sebagai Alat Bukti Masih


Dipertanyakan, Hukumonline.com, 08 Juli
2002.

Pengadilan Agama Memanggil yang Gaib via Internet,


http://hukumonline.com/detail.asp?id=17033&cl=Be
rita. 22 Maret 2008

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan


Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Raharjo, Ignasius Sumarsono, Informasi Elektronik Pada


Electronic-Commerce Dalam Hukum
Pembuktian Perdata, E-mail:
library@lib.unair.ac.id;library@unair.ac.id
Post Graduate Airlangga University, 08-06-
2006.

Samekto, FX Adji. 2005. Studi Hukum Kritis Kritik Terhadap


Hukum Modern, Bandung, Citra Aditya
Bakti.

Sanusi, M. Arsyad. 2005. Hukum dan Teknologi Informasi,


Jakarta: Tim Kemas Buku.

Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Vous aimerez peut-être aussi