Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang ditandai dengan penurunan komponen
selular pada darah tepi yang diakibatkan oleh kegagalan produksi di sumsum tulang. Pada
keadaan ini jumlah sel-sel darah yang diproduksi tidak memadai. Penderita mengalami
pansitopenia, yaitu keadaan dimana terjadi kekurangan jumlah sel darah merah, sel darah putih,
dan trombosit.1,2,3
Konsep mengenai anemia aplastik pertama kali diperkenalkan pada tahun 1988 oleh Paul
Ehrlich. Ia melaporkan seorang wanita muda yang pucat dan panas dengan ulserasi gusi,
menorrhagia, anemia berat dan leukopenia. Sewaktu dilakukan autopsi ditemukan tidak ada
sumsum tulang yang aktif, dan Ehrlich kemudian menghubungkannya dengan adanya penekanan
pada fungsi sumsum tulang. Pada tahun 1904, Chauffard memperkenalkan istilah anemia
aplastik.1,2,4
Insidensi anemia aplastik bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2 sampai 6 kasus
persejuta penduduk pertahun.2 Insidensi anemia aplastik diperkirakan lebih sering terjadi
dinegara Timur dibanding negara Barat. Peningkatan insiden mungkin berhubungan dengan
faktor lingkungan seperti peningkatan paparan terhadap bahan kimia toksik dibandingkan faktor
genetik. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya peningkatan insiden pada penduduk Asia yang
tinggal di Amerika. Penelitian yang dilakukan di Thailand menunjukkan peningkatan paparan
dengan pestisida sebagai etiologi yang tersering.3,5
Ketersediaan obat-obat yang dapat diperjualbelikan dengan bebas merupakan salah satu faktor
resiko peningkatan insiden. Obat-obat seperti kloramfenikol terbukti dapat mensupresi sumsum
tulang dan mengakibatkan aplasia sumsum tulang dan mengakibatkan aplasia sumsum tulang
sehingga diperkirakan menjadi penyebab tingginya insiden.6
Diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan berdasarkan gejala subjektif, gejala objektif,
pemeriksaan darah serta pemeriksaan sumsum tulang. Gejala subjektif dan objektif merupakan
manifestasi pansitopenia yang terjadi. Namun, gejala dapat bervariasi dan tergantung dari sel
mana yang mengalami depresi paling berat. Diagnosa pasti anemia aplastik adalah berdasarkan
pemeriksaan darah dan pemeriksaan sumsum tulang. Penegakkan diagnosa secara dini sangatlah
penting sebab semakin dini penyakit ini didiagnosis kemungkinan sembuh secara spontan atau
parsial semakin besar.6,7
Hampir semua kasus anemia aplastik berkembang ke kematian bila tidak dilakukan pengobatan.
Angka kelangsungan hidup tergantung seberapa berat penyakit saat didiagnosis, dan bagaimana
respon tubuh terhadap pengobatan.8 Semakin berat hipoplasia yang terjadi maka prognosis akan
semakin jelek. Dengan transplantasi tulang kelangsungan hidup 15 tahun dapat mencapai 69%
sedangkan dengan pengobatan imunosupresif mencapai 38%.9
Mengingat kasus anemia aplastik ini memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang cukup
tinggi dan pentingnya diagnosis lebih dini diharapkan tinjauan pustaka ini dapat menjadi salah
satu sumber referensi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.2 Epidemiologi
Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2
sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun.2 Analisis retrospektif di Amerika Serikat
memperkirakan insiden anemia aplastik berkisar antara 2 sampai 5 kasus persejuta penduduk
pertahun.9 The Internasional Aplastic Anemia and Agranulocytosis Study dan French Study
memperkirakan ada 2 kasus persejuta orang pertahun.2,9 Frekuensi tertinggi anemia aplastik
terjadi pada orang berusia 15 sampai 25 tahun; peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69
tahun. Anemia aplastik lebih sering terjadi di Timur Jauh, dimana insiden kira-kira 7 kasus
persejuta penduduk di Cina, 4 kasus persejuta penduduk di Thailand dan 5 kasus persejuta
penduduk di Malaysia. Penjelasan kenapa insiden di Asia Timur lebih besar daripada di negara
Barat belum jelas.9 Peningkatan insiden ini diperkirakan berhubungan dengan faktor lingkungan
seperti peningkatan paparan dengan bahan kimia toksik, dibandingkan dengan faktor genetik.
Hal ini terbukti dengan tidak ditemukan peningkatan insiden pada orang Asia yang tinggal di
Amerika.5
2.4.1 Radiasi
Aplasia sumsum tulang merupakan akibat akut yang utama dari radiasi dimana stem sel dan
progenitor sel rusak. Radiasi dapat merusak DNA dimana jaringan-jaringan dengan mitosis yang
aktif seperti jaringan hematopoiesis sangat sensitif.4,12 Bila stem sel hematopoiesis yang
terkena maka terjadi anemia aplastik. Radiasi dapat berpengaruh pula pada stroma sumsum
tulang dan menyebabkan fibrosis.2
Efek radiasi terhadap sumsum tulang tergantung dari jenis radiasi, dosis dan luasnya paparan
sumsum tulang terhadap radiasi. Radiasi berenergi tinggi dapat digunakan sebagai terapi dengan
dosis tinggi tanpa tanda-tanda kerusakan sumsum tulang asalkan lapangan penyinaran tidak
mengenai sebagian besar sumsum tulang. Pada pasien yang menerima radiasi seluruh tubuh efek
radiasi tergantung dari dosis yang diterima. Efek pada sumsum tulang akan sedikit pada dosis
kurang dari 1 Sv (ekuivalen dengan 1 Gy atau 100 rads untuk sinar X). Jumlah sel darah dapat
berkurang secara reversibel pada dosis radiasi antara 1 dan 2,5 Sv (100 dan 250 rads).
Kehilangan stem sel yang ireversibel terjadi pada dosis radiasi yang lebih tinggi. Bahkan pasien
dapat meninggal disebabkan kerusakan sumsum tulang pada dosis radiasi 5 sampai 10 Sv
kecuali pasien menerima transplantasi sumsum tulang. Paparan jangka panjang dosis rendah
radiasi eksterna juga dapat menyebabkan anemia aplastik.13
2.4.3 Obat-obatan
Anemia aplastik dapat terjadi atas dasar hipersensitivitas atau dosis obat berlebihan. Praktis
semua obat dapat menyebabkan anemia aplastik pada seseorang dengan predisposisi genetik.
Yang sering menyebabkan anemia aplastik adalah kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga
sering dilaporkan adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, emas, dan antikonvulsan, obat-obatan
sitotoksik misalnya mieleran atau nitrosourea.2
Tabel 3. Obat-obatan yang menyebabkan Anemia Aplastik.
Kategori Resiko Tinggi Resiko Resiko Rendah
Menengah
Anti mikroba
Alkylating Busulfan,
agen cyclophosphamide,
melphalan,
nitrogen mustard
Anti Fluorourasil,
metabolit mercaptopurine,
methotrexate
Antibiotik Daunorubisin,
Sitotoksik doxorubisin,
mitoxantrone
Hipoglikemik Klorpropamide,
tolbutamide
Lain-lain Allopurinol,
interferon,
pentoxifylline
Catatan : Obat dengan dosis tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang disebut resi
2.5 Patogenesis11
Setidaknya ada tiga mekanisme terjadinya anemia aplastik. Anemia aplastik yang diturunkan
(inherited aplastic anemia), terutama anemia Fanconi disebabkan oleh ketidakstabilan DNA.
Beberapa bentuk anemia aplastik yang didapatkan (acquired aplastic anemia) disebabkan
kerusakan langsung stem sel oleh agen toksik, misalnya radiasi. Patogenesis dari kebanyakan
anemia aplastik yang didapatkan melibatkan reaksi autoimun terhadap stem sel.
Anemia Fanconi barangkali merupakan bentuk inherited anemia aplastik yang paling sering
karena bentuk inherited yang lain merupakan penyakit yang langka. Kromosom pada penderita
anemia Fanconi sensitif (mudah sekali) mengalami perubahan DNA akibat obat-obat tertentu.
Sebagai akibatnya, pasien dengan anemia Fanconi memiliki resiko tinggi terjadi aplasia,
myelodysplastic sindrom (MDS) dan akut myelogenous leukemia (AML). Kerusakan DNA juga
mengaktifkan suatu kompleks yang terdiri dari protein Fanconi A, C, G dan F. Hal ini
menyebabkan perubahan pada protein FANCD2. Protein ini dapat berinteraksi, contohnya
dengan gen BRCA1 (gen yang terkait dengan kanker payudara). Mekanisme bagaimana
berkembangnya anemia Fanconi menjadi anemia aplastik dari sensitifitas mutagen dan
kerusakan DNA masih belum diketahui dengan pasti.
Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapat disebabkan oleh paparan
radiasi, kemoterapi sitotoksik atau benzene. Agen-agen ini dapat menyebabkan rantai DNA
putus sehingga menyebabkan inhibisi sintesis DNA dan RNA.
Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi sistem imun mungkin merupakan
mekanisme utama patofisiologi anemia aplastik. Walaupun mekanismenya belum diketahui
benar, tampaknya T limfosit sitotoksik berperan dalam menghambat proliferasi stem sel dan
mencetuskan kematian stem sel. Pembunuhan langsung terhadap stem sel telah dihipotesa
terjadi melalui interaksi antara Fas ligand yang terekspresi pada sel T dan Fas (CD95) yang ada
pada stem sel, yang kemudian terjadi perangsangan kematian sel terprogram (apoptosis).
Pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada tabel 5 terlihat bahwa
pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan pendarahan ditemukan pada lebih
dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali, yang sebabnya bermacam-macam ditemukan pada
sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun. Adanya
splenomegali dan limfadenopati justru meragukan diagnosis.2
2.8 Diagnosa3,9,10
Diagnosa pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan darah dan dan pemeriksaan sumsum tulang.
Pada anemia aplastik ditemukan pansitopenia disertai sumsum tulang yang miskin selularitas
dan kaya akan sel lemak sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Pansitopenia dan
hiposelularitas sumsum tulang tersebut dapat bervariasi sehingga membuat derajat anemia
aplastik (lihat tabel 1).
Kelainan yang paling sering mirip dengan anemia aplastik berat yaitu sindrom myelodisplastik
dimana kurang lebih 5 sampai 10 persen kasus sindroma myelodisplasia tampak hipoplasia
sumsum tulang. Beberapa ciri dapat membedakan anemia aplastik dengan sindrom
myelodisplastik yaitu pada myelodisplasia terdapat morfologi film darah yang abnormal
(misalnya poikilositosis, granulosit dengan anomali pseudo-Pelger- Het), prekursor eritroid
sumsum tulang pada myelodisplasia menunjukkan gambaran disformik serta sideroblast yang
patologis lebih sering ditemukan pada myelodisplasia daripada anemia aplastik. Selain itu,
prekursor granulosit dapat berkurang atau terlihat granulasi abnormal dan megakariosit dapat
menunjukkan lobulasi nukleus abnormal (misalnya mikromegakariosit unilobuler).9
Kelainan seperti leukemia akut dapat dibedakan dengan anemia aplastik yaitu dengan adanya
morfologi abnormal atau peningkatan dari sel blast atau dengan adanya sitogenetik abnormal
pada sel sumsum tulang. Leukemia akut juga biasanya disertai limfadenopati,
hepatosplenomegali, dan hipertrofi gusi.7,14
Hairy cell leukemia sering salah diagnosa dengan anemia aplastik. Hairy cell leukemia dapat
dibedakan dengan anemia aplastik dengan adanya splenomegali dan sel limfoid abnormal pada
biopsi sumsum tulang.14
Pansitopenia dengan normoselular sumsum tulang biasanya disebabkan oleh sistemik lupus
eritematosus (SLE), infeksi atau hipersplenisme. Selularitas sumsum tulang yang normoselular
jelas membedakannya dengan anemia aplastik.
2.10 Penatalaksanaan
Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi akibat granulositopenia dan
monositopenia memerlukan tatalaksana untuk menghilangkan kondisi yang potensial
mengancam nyawa ini dan untuk memperbaiki keadaan pasien (lihat tabel 7).9
Tabel 7. Manajemen Awal Anemia Aplastik9
Menghentikan semua obat-obat atau penggunaan agen kimia yang diduga menjadi penyebab
anemia aplastik.
Anemia : transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang dibutuhkan.
Pendarahan hebat akibat trombositopenia : transfusi trombosit sesuai yang dibutuhkan.
Tindakan pencegahan terhadap infeksi bila terdapat neutropenia berat.
Infeksi : kultur mikroorganisme, antibiotik spektrum luas bila organisme spesifik tidak dapat
diidentifikasi, G-CSF pada kasus yang menakutkan; bila berat badan kurang dan infeksi ada
(misalnya oleh bakteri gram negatif dan jamur) pertimbangkan transfusi granulosit dari donor
yang belum mendapat terapi G-CSF.
Assessment untuk transplantasi stem sel allogenik : pemeriksaan histocompatibilitas pasien,
orang tua dan saudara kandung pasien.
Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri dari tiga pilihan yaitu transplantasi stem sel
allogenik, kombinasi terapi imunosupresif (ATG, siklosporin dan metilprednisolon) atau
pemberian dosis tinggi siklofosfamid.9 Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi
imunosupresi atau transplantasi sumsum tulang. Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor
saudara yang cocok (matched sibling donor), faktor-faktor resiko seperti infeksi aktif atau beban
transfusi harus dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling baik mendapat terapi
imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien yang lebih muda umumnya
mentoleransi transplantasi sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai GVHD (Graft
Versus Host Disease). Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai komorbiditas biasanya
ditawarkan terapi imunosupresif. Suatu algoritme terapi dapat dipakai untuk panduan
penatalaksanaan anemia aplastik.15
Pengobatan Suportif15
Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed red cells sampai
kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien dengan penyakit kardiovaskular.
Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari 20.000/mm3. Transfusi trombosit
diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar trombosit dibawah 20.000/mm3 sebagai
profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit donor acak. Transfusi trombosit konsentrat
berulang dapat menyebabkan pembentukan zat anti terhadap trombosit donor. Bila terjadi
sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok HLA-nya (orang tua atau saudara kandung).
Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih kontroversial dan tidak dianjurkan karena
efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup leukosit yang ditransfusikan
sangat pendek.
Terapi Imunosupresif
Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah antithymocyte globulin (ATG) atau
antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CSA). ATG atau ALG diindikasikan pada15
:
Anemia aplastik bukan berat
Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok
Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun dan pada saat pengobatan tidak terdapat
infeksi atau pendarahan atau dengan granulosit lebih dari 200/mm3
Mekanisme kerja ATG atau ALG belum diketahui dengan pasti dan mungkin melalui koreksi
terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal dan stimulasi langsung atau tidak
langsung terhadap hemopoiesis.15
Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi alergi ringan sampai
berat sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid.15 Siklosporin juga
diberikan dan proses bekerjanya dengan menghambat aktivasi dan proliferasi preurosir limfosit
sitotoksik.15 Sebuah protokol pemberian ATG dapat dlihat pada tabel 8.11
Metilprednisolon juga dapat digunakan sebagai ganti predinison. Kombinasi ATG, siklosporin
dan metilprednisolon memberikan angka remisi sebesar 70% pada anemia aplastik berat.
Kombinasi ATG dan metilprednisolon memiliki angka remisi sebesar 46%.15
Pemberian dosis tinggi siklofosfamid juga merupakan bentuk terapi imunosupresif. Pernyataan
ini didasarkan karena stem sel hematopoiesis memliki kadar aldehid dehidrogenase yang tinggi
dan relatif resisten terhadap siklofosfamid. Dengan dasar tersebut, siklofosfamid dalam hal ini
lebih bersifat imunosupresif daripada myelotoksis. Namun, peran obat ini sebagai terapi lini
pertama tidak jelas sebab toksisitasnya mungkin berlebihan yang melebihi dari pada kombinasi
ATG dan siklosporin.9 Pemberian dosis tinggi siklofosfamid sering disarankan untuk
imunosupresif yang mencegah relaps. Namun, hal ini belum dikonfirmasi. Sampai kini, studi-
studi dengan siklofosfamid memberikan lama respon leih dari 1 tahun. Sebaliknya, 75% respon
terhadap ATG adalah dalam 3 bulan pertama dan relaps dapat terjadi dalam 1 tahun setelah
terapi ATG.15
2.11 Prognosis9
Prognosis berhubungan dengan jumlah absolut netrofil dan trombosit. Jumlah absolut netrofil
lebih bernilai prognostik daripada yang lain. Jumlah netrofil kurang dari 500/l (0,5x109/liter)
dipertimbangkan sebagai anemia aplastik berat dan jumlah netrofil kurang dari 200/l
(0,2x109/liter) dikaitkan dengan respon buruk terhadap imunoterapi dan prognosis yang jelek
bila transplantasi sumsum tulang allogenik tidak tersedia. Anak-anak memiliki respon yang lebih
baik daripada orang dewasa. Anemia aplastik konstitusional merespon sementara terhadap
androgen dan glukokortikoid akan tetapi biasanya fatal kecuali pasien mendapatkan transplantasi
sumsum tulang.
Transplantasi sumsum tulang bersifat kuratif pada sekitar 80% pasien yang berusia kurang dari
20 tahun, sekitar 70% pada pasien yang berusia 20-40 tahun dan sekitar 50% pada pasien berusia
lebih dari 40 tahun. Celakanya, sebanyak 40% pasien yang bertahan karena mendapatkan
transplantasi sumsum tulang akan menderita gangguan akibat GVHD kronik dan resiko
mendapatkan kanker sekitar 11% pada pasien usia tua atau setelah mendapatkan terapi
siklosporin sebelum transplantasi stem sel. Hasil yang terbaik didapatkan pada pasien yang
belum mendapatkan terapi imunosupresif sebelum transplantasi, belum mendapatkan dan belum
tersensitisasi dengan produk sel darah serta tidak mendapatkan iradiasi dalam hal conditioning
untuk transplantasi.
Sekitar 70% pasien memiliki perbaikan yang bermakna dengan terapi kombinasi imunosupresif
(ATG dengan siklosporin). Walaupun beberapa pasien setelah terapi memiliki jumlah sel darah
yang normal, banyak yang kemudian mendapatkan anemia sedang atau trombositopenia.
Penyakit ini juga akan berkembang dalam 10 tahun menjadi proxysmal nokturnal
hemoglobinuria, sindrom myelodisplastik atau akut myelogenous leukimia pada 40% pasien
yang pada mulanya memiliki respon terhadap imunosupresif. Pada 168 pasien yang
mendapatkan transplantasi sumsum tulang, hanya sekitar 69% yang bertahan selama 15 tahun
dan pada 227 pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif, hanya 38% yang bertahan dalam
15 tahun.
Pengobatan dengan dosis tinggi siklofosfamid menghasilkan hasil awal yang sama dengan
kombinasi ATG dan siklosporin. Namun, siklofosfamid memiliki toksisitas yang lebih besar dan
perbaikan hematologis yang lebih lambat walaupun memiliki remisi yang lebih bertahan lama.
BAB III
RINGKASAN
Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang disebabkan oleh kegagalan produksi di
sumsum tulang sehingga mengakibatkan penurunan komponen selular pada darah tepi yaitu
berupa keadaan pansitopenia (kekurangan jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan
trombosit).
Anemia aplastik merupakan penyakit yang jarang ditemukan. Insidensinya bervariasi di seluruh
dunia yaitu berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun. Frekuensi tertinggi
insidensi anemia aplastik adalah pada usia muda.
Anemia aplastik dapat disebabkan oleh bahan kimia, obat-obatan, virus, dan terkait dengan
penyakit-penyakit yang lain. Anemia aplastik juga ada yang ditururunkan seperti anemia
Fanconi. Akan tetapi, kebanyakan kasus anemia aplastik merupakan idiopatik.
Tanda dan gejala klinis anemia aplastik merupakan manifestasi dari pansitopenia yang terjadi.
Hipoplasia eritropoietik akan menimbulkan gejala-gejala anemia antara lain lemah, dyspnoe
deffort, palpitasi cordis, takikardi, pucat dan lain-lain. Pengurangan elemen lekopoisis
(granulositopenia) menyebabkan penderita menjadi peka terhadap infeksi sehingga
mengakibatkan keluhan dan gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik.
Trombositopenia dapat mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan di
organ-organ. Gejala yang paling menonjol tergantung dari sel mana yang mengalami depresi
paling berat.
Pansitopenia perifer adalah kelainan hematologis yang utama untuk anemia aplastik. Anemia
bersifat normokrom normositer dan tidak disertai tanda-tanda regenerasi. Leukopenia berupa
grnaulositopenia. Trombosit kuantitas berkurang sedang secara kualitatif normal. Sumsum
tulang akan mengandung banyak sel lemak dan menganduk sedikit sekali sel-sel hemopoisis.
Tidak terlihat penambahan sel primitif.
Anemia aplastik bukan berat memiliki sumsum tulang yang hiposelular dan dua dari tiga kriteria
(netrofil < 1,5x109/l, trombosit < 100x109/l, hemoglobin <10 g/dl). Anemia aplastik berat
memiliki seluraritas sumsum tulang <25% atau 25-50% dengan <30% sel hematopoietik residu,
dan dua dari tiga kriteria (netrofil < 0,5x109/l, trombosit <20x109 /l, retikulosit < 20x109 /l).
Anemia aplastik sangat berat sama seperti anemia aplastik berat kecuali netrofil <0,2x109/l.
Pengobatan anemia aplastik dapat bersifat suportif yaitu dengan transfusi PRC dan trombosit.
Penggunaan obat-obat atau agen kimia yang diduga menjadi penyebab anemia aplastik harus
dihentikan. Pemberian antibiotik bila terjadi infeksi juga harus dilakukan untuk memperbaiki
keadaan umum pasien. Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi terapi imunosupresif atau
transplantasi sumsum tulang. Pasien yang lebih muda umumnya mentoleransi transplantasi
sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai GVHD (Graft Versus Host Disease). Pasien
yang lebih tua dan yang mempunyai komorbiditas biasanya ditawarkan terapi imunosupresif.
Prognosis dipengaruhi banyak hal, antara lain derajat anemia aplastik, usia pasien, ada tidaknya
donor dengan HLA yang cocok untuk transplantasi sumsum tulang allogenik serta apakah pasien
telah mendapatkan terapi imunosupresif sebelum tranplantasi sumsum tulang.
DAFTAR PUSTAKA
William DM. Pancytopenia, aplastic anemia, and pure red cell aplasia. In: Lee GR, Foerster J, et
al (eds). Wintrobes Clinical Hematology 9th ed. Philadelpia-London: Lee& Febiger, 1993;911-
43.
Salonder H. Anemia aplastik. In: Suyono S, Waspadji S, et al (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta. Balai Penerbit FKUI, 2001;501-8.
Supandiman I. Hematologi Klinik Edisi kedua. Jakarta: PT Alumni, 1997;95-101
Young NS, Maciejewski J. The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia. Available in
URL: HYPERLINK http://content.nejm.org/cgi/content/fill/336/19/
Shadduck RK. Aplastic anemia. In: Lichtman MA, Beutler E, et al (eds). William Hematology
7th ed. New York : McGraw Hill Medical; 2007.
Smith EC, Marsh JC. Acquired aplastic anaemia, other acquired bone marrow failure disorders
and dyserythropoiesis. In: Hoffbrand AV, Catovsky D, et al (eds). Post Graduate Haematology
5th edition. USA: Blackwell Publishing, 2005;190-206.
Paquette R, Munker R. Aplastic Anemias. In: Munker R, Hiller E, et al (eds). Modern
Hematology Biology and Clinical Management 2nd ed. New Jersey: Humana Press, 2007 ;207-
16.
Young NS. Aplastic anemia, myelodysplasia, and related bone marrow failure syndromes. In:
Kasper DL, Fauci AS, et al (eds). Harrisons Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York:
McGraw Hill, 2007:617-25.
Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. Hematology in Clinical Practice 4th ed. New York: Lange
McGraw Hill, 2005.
Linker CA. Aplastic anemia. In: McPhee SJ, Papadakis MA, et al (eds). Current Medical
Diagnosis and Treatment. New York: Lange McGraw Hill, 2007;510-11.
Solander H. Anemia aplastik In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK
UI, 2006;637-43.