Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Oleh:
Arfiatul Isnaini 170341864503
Putri Widya Mayangsari 170341864517
1.3 Tujuan
Tujuan dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian adaptasi pada hewan.
1.3.2 Untuk mengetahui mekanisme adaptasi pada hewan.
1.3.3 Untuk mengetahui prinsip adaptasi pada hewan.
1.3.4 Untuk mengetahui berbagai macam jenis adaptasi pada hewan.
1.3.5 Untuk mengetahui adaptasi yang terjadi pada hewan migrasi.
BAB II
PEMBAHASAN
a b c
Gambar 2.1 Sirip pada ikan (a) homolog dengan sayap burung (b), dan sayap burung
analog dengan sayap kupu-kupu (c) (Sumber: Google Image)
Sirip dada dan sirip ekor pada ikan adalah anggota-anggota tubuh
belakang dan depan yang berfungsi sebagai alat renang. Kaki depan kuda,
sayap burung, kaki kura-kura dan sirip ikan merupakan alat-alat tubuh yang
secara embrional berasal dari jaringan yang sama, tetapi dalam
perkembangannya berubah menjadi bagian tubuh yang fungsinya berbeda.
Keadaan tersebut disebut homolog. Pada fenomena lain, burung dan belalang
mempunyai sayap untuk bergerak di udara, tetapi kedua alat gerak itu berasal
dari jaringan embrional yang berbeda. Keadaan itu disebut analog
(Dharmawan et al., 2005).
2.4.1.3 Warna Tubuh
Selain warna hitam dan putih, hewan-hewan ada yang mempunyai warna
merah, hijau dan lain-lain, bahkan ada yang mempunyai beberapa warna
sekaligus dalam tubuhnya. Munculnya warna pada permukaan tubuh
disebabkan oleh (1) pigmen-pigmen khusus yang menyerap panjang
gelombang tertentu dan memantulkan panjang gelombang yang lain, (2)
struktur permukaan tubuh yang menyebabkan sinar terserap dan
direfraksikan, (3) kombinasi dari pengaruh-pengaruh, absorbtif, refraktir,
reflektif atau difraktif (Pearse, 1926). Diantara warna-warnaitu mungkin ada
yang berhubungan dengan sifat adaptif terhadap lingkungannya. Hubungan
itu ditunjukkan oleh hewan-hewan yang hidup di lingkungan geografis yang
sama mempunyai warna yang sama. Braun 1914 (seperti yang dikutip oleh
Pearse, 1926) yang mempelajari Microlepidoptera dari genus Licthocolletis
yakin bahwa pola-pola warna pada hewan merupakan akibat dari proses
fisiologis dan bahwa pola-pola itu mengikuti kecenderungan orthogenetik,
artinya tergantung pada kondisi eksternal. Warna hewan mempunyai
manfaat atau fungsi-fungsi khusus untuk menghadapi lingkungannya
(Dharmawan et al., 2005).
2.4.1.4 Mimikri
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa warna-warna hewan
mempunyai manfaat tertentu bagi dirinya. Sesuai dengan manfaatnya warna-
warni itu dapat dibedakan dengan klasifikasi Poulton (Pearse, 1926):
a) Warna apatetik, sama dengan semua atau beberapa bagian dari warna
lingkungannya.
(1) Warna kriptik, yaitu warna yang sama dengan lingkungannya, untuk
bersembunyi, yang dibedakan menjadi: 1) warna prokriptik: kesamaan
warna untuk berlindung, 2) warna antikriptik: kesamaan warna untuk
menyerang.
(2) Warna pseudosematik, yaitu warna untuk peringatan atau tanda yang
ironik, yang dibedakan atas: 1) warna pseudaposematik: mimikri yang
protektif, dan 2) warna pseudepisematik: mimikri yang bersifat agresif
dan warna yang bersifat erotik.
b) Warna sematik, warna untuk memberi peringatan dan sinyal.
(1) Warna aposematik, yaitu warna untuk peringatan.
(2) Warna episematik, yaitu warna untuk memberi sinyal.
c) Warna epigamik, warna yang ditampilkan untuk kawin.
Kesamaan bentuk, warna dan tingkah laku antara lain satu jenis
organisme hewan dengan jeis organisme hewan lain juga terjadi di alam.
Hewn yang bentuk, warna atau tingkah lakunya meniru disebut mimik,
sedang hewan yang bentuk, warna atau tingkah lakunya ditiru disebut
model. Kejadian mimikri terhadap bentuk, warna dan tingkah laku itu banyak
dijumpai pada serangga. Sifat mimikri mempunyai manfaat untuk terhindar
dari serangan predator. Ada dua macam bentuk mimikri sehubungan dengan
kepentingannya untuk mengurangi kemungkinan daat diserang oleh predator,
yaitu mimikri Batesian dan mimikri Mullerian (Dharmawan et al., 2005).
Mekanisme dari mimikri Batesian adalah peniruan oleh serangga peniru
yang tergolong tidak berbahaya pada model-model serangga yang tergolong
berbahaya atau beracun. Contoh yang cukup terkenal adalah lalat Eristalis
tenax yang morfologi dan perilakunya amat mirip dengan lebah spesies Apis
mellifera (Golding dan Edmunds, 2000). Pada penelitian yang dilakukan
keduanya, sang lalat syrphid terbukti mampu menirukan perilaku lebah
dengan sangat mirip dari aspek waktu kunjungan ke bunga tumbuhan-
tumbuhan tertentu, di samping memang secara morfologis sangat mirip.
Contoh lainnya, misalnya pada kumbang staphylinid myrmecophilous, Pella
comes yang mampu menirukan morfologi semut inangnya, dan bahkan
menghindarkannya dari pemangsaan oleh predator (katak pohon) (Taniguchi
et al., 2005).
2.4.1.5 Bau
Hewan-hewan tertentu mempunyai bau yang khas. Bau yang khas itu
dapat merupakan tanda bagi hewan lain yang sejenis, misalnya serangga-
serangga tertentu mempunyai hormon yang dikenal dengan nama feromon,
yang dapat digunakan untuk menarik lawan jenisnya pada musim kawin.
Namun, hewan-hewan lain ada yang mempunyai bau yang tidak disukai oleh
hewan lain. Bau seperti itu menyebabkan hewan predator menjauhinya.
Contoh yang mudah diamati adalah bau pada walang sangit (Dharmawan et
al., 2005).
2.4.2 Adaptasi Fisiologis
Adaptasi fisiologis adalah adaptasi yang menyangkut kesesuaian proses-
proses fisiologis hewan dengan kondisi lingkungan dan sumberdaya yang ada
di habitatnya. Diantaranya ada yang berhubungan dengan adaptasi struktural,
terutama pada bagian dalam tubuh. Misalnya pada proses respirasi, pencernan
makanan dan lain-lain yang menggambarkan adanya adaptasi terstruktur
(Dharmawan et al., 2005).
2.4.3 Adaptasi Tingkah Laku
Adaptasi tingkah laku adalah respon-respon hewan terhadap kondisi
lingkungan dalam bentuk perubahan tingkah-laku. Perubahan tingkah laku itu
biasanya muncul dalam bentuk gerakan untuk menangkap rangsangan yang
mengenai dirinya. Rangsangan itu dapat berasal dari lingkungan luar dan dari
lingkungan dalam tubuhnya sendiri. Diantara macam-macam tingkah laku
hewan yang biasanya muncul sebagai tanggapan terhadap rangsangan yang
berasal dari lingkungan luar. Misalnya hibernasi dan estivasi (Dharmawan et
al., 2005).
2.4.3.1 Hibernasi
Hibernasi adalah tingkah laku hewan untuk mengurangi metabolisme
tubh pada musim dingin. Tingkah laku ini kebanyakan dimiliki oleh hewan-
hewn yang hidup didaerah beriklim dingin. Aspek tingkah laku hibernasi
adalah perubahan intensitas gerakan dari gerakan aktof untuk mencari makan
menjadi tidak aktif atau istirahat (dormansi). Salah satu hewan yang
melakukan hibernasi adalah beruang kutub. Pada musim dingin beruang
kutub pada umumnya pergi ke tempat-tempat yang terlindung, misalnya goa
untuk berlindung dari serangan cuaca dingin, dan tidak melakukan kegiatan
apapun. Tingkah laku bertapa itu dilakukan untuk menghemat energi tubuh
yang diperlukan untuk termoregulasi atau mempertahankan suhu tubuh.
Penghematan energi itu perlu dilakukan agar ada keseimbangan antara energi
yang tersimpan dalam tubuh dengan pengeluaran untuk respirasi dalam
rangka menahan penurunan temperatur tubuh. Jika pada musim dingin hewan
harus aktif untuk mencari makan, selain udara diluar sangat dingin, makanan
yang dicari juga tidak mudah ditemukan. Dalam keadaaan itu energi yang
diperlukan sangat banyak tidak seimbang dengan energi yang diperoleh.
Sebaliknya pada musim panas hewan-hewan didaerah dingin mencari makan
sebanyak-banyaknya sebagai cadangan makanan pada musim dingin
(Dharmawan et al., 2005).
2.4.3.2 Estivasi
Estivasi adalah tingkah laku untuk melakukan dormansi pada kondisi
temperatur tinggi. Tingkah laku ini pada umumnya terjadi pada hewan-hewan
yang hidup di daerah yang tinggi. Tingkah laku ini pada umumnya terjadi
hewan-hewan yang hidup didaerah beriklim panas. Hewan-hewan yang
melakukan estivasi antara lain belut dan siput air. Di indonesia belut dan siput
air banyak dijumpai pada rawa atau sawah dataran rendah. Estivasi terjadi
bukan hanya berkaitan degan tingginya temperatur lingkungan, melainkan
juga hubungan dengan rendahnya kelembanpan udara. Tingginya temperatur
dan rendahnya kelembapan mempercepat hilangnya air dari dalam tubuh.
Maka dari itu, belut dan siput yang hidup di Indonesia melakukan estivasi
pada musim kemarau (Dharmawan et al., 2005).
Pada musim penghujan sawah hampir setiap saat tergenang air. Dalam
keadaan seperti belut dan siput air setiap hari aktif pada malam hari, dan
masuk ke dalam tanah pada siang hari. Namun , jika temperatur udara tidak
terlalu tinggi, pada siang hari sering dijumpai belut dan siput berkeliaran di
permukaan tanah. Pada musim kemarau. Selain temperatur tinggi, sawah pada
umumnya berada dalam keadaan kering. Dalam keadaan itu, belut dan siput
air tidak hnay berada dalam tanah pada malam hari, tetapi boleh dikata
selama musim kemarau.
Siput darat banyak banyak dijumpai di pekarangan atau kebun juga
melakuakn estivasi pada musim kemarau. Untuk meghindari udara yang
panas dan kering siput masuk ke batu-batuan atau timbunan sampah dan
berada di dalamnya selama musim kemarau. Sering kali dapat dijumpai siput
yang tinggal di semak-semak. Siput biasanya membentuk epifragma untuk
menutup cangkagnya. Siput darat pada uumnya tidak memiliki penutup
cangkang seperti yang dimiliki siput air. Penutup cangkang pada siput air
terbentuk dari zat kapur, keras dan permanen, dapat dibuka dan ditutup setiap
saat. Epifragma merupakan lapisan tipis yang terbentuk dari lendir yang
disekresikan oleh tubuh menutup cangkang tanpa dapat dibuka dan ditutup
(Dharmawan et al., 2005).
2.4.3.3 Diurnal dan Nocturnal
Kebanyakan hewan aktif pada siang hari, dan segian kecil ada yang aktif
pada malam hari. Hewan yang aktif pada siang hari dinamakan diurnal, dan
yang yang aktif di malam hari disebut nokturnal. Hewan-hewan yang bersifat
nokturnal antara lain burung hantu. Burung hantu melakukan aktivitas
mencari makan dan aktivitas lain hanya pada malam hari. Salah satu
keistimewaan dari burung hantu adalah ketajaman mata, yang terlihat pada
intensitas cahaya yang sangat rendah. Hewan-hewan dari kelompok mamalia
yang bersifat nokturnal adalah kukang (primata), musang, kalelawar. Jika
hewan-hewan lain seperti burung hantu kukang dan musang mempunyai mata
tajam, bahkan dapat dikatakan buta. Namun kalelawar mempunyai alat yang
bersifat radar yang terdapat pada sayap. Radar itu dapat menangkap getaran
benda-benda yang ada disekitarnya. Untuk komunikasi dengan sesama
jenisnya, kalelawar seallu bersuara. Hewan dari kelompok serangga juga
banyak yang bersifat nokturnal, antara lain walang sangit (Dharmawan et al.,
2005).
2.4.3.4 Orientasi Lingkungan
Hampir semua hewan mempunyai kemampuan untuk berorientasi
terhadap lingkugannya sehingga dapat mengetahui posisi dan dapat
menentukan arah geraknya. Orientasi dilakukan dengan menggunakan alat-
alat indera. Pada hewan bersel satu orientasi terhadap lingkungan dilakukan
dengan indera yang berupa kemosensori. Kemosensori paramecium terletak
dibagian belakang tubuhnya. Jika pada waktu bergerak tubuh bagian belakang
menyentuh suatu benda, rangsangan, itu diterima oleh kemosensori dan
Paramecium bergerak kearah yang berlawanan membelok ke kanan
(Dharmawan et al., 2005).
Pada hewan-hewan bersel banyak orientasinya dapat dilakukan dengan
beberapa macam indera, antara lain peraba, pembau, pendengar dan penglihat.
Respon yang paling sederhana yang dilakuan oleh hewan karena adanya
rangsang-rangsang yang menyentuh inderanya adalah dengan gerakan taksis.
Taksis adalah gerakan yang dilakukan untuk mendekati atau menjauhi
rangsang. Gerakan mendekati rangsang disebut taksis positif dan menjauhi
rangsang disebut taksis negatif. Beberapa contoh tentang taksis adalah
sebagai berikut. Cacing tanah bergerak menghindar jika tubuhnya menyentuh
garam. Larva lalat bergerak menjauhi sinar datang dari satu arah tertentu.
Pada waktu berjalan menjauhi sinar, larva lalat itu tidak berjalan lurus, tetapi
bergerak membelok ke kiri dan kekanan secara bergantian. Hal ini disebabkan
oleh tidak adanya keseimbangan antara kedua mata yang ada di kedua sisi
kepalanya. Pada waktu kepalanya menghadap ke kiri, mata kiri terkena
cahaya, cacing membelokkan kepalanya ke arah kanan. Pada waktu
kepalanya menghadap ke kanan, mata kanan terkena cahaya, cacing
membelokkan kepalanya ke kiri (Dharmawan et al., 2005).
Spesies-spesies dari arthropoda mempunyai kemampuan orientasi
lingkungan berbeda-beda. Ketam darat, misalnya: Parathelphusa bogarensis,
yang banyak dijumpai disawah khusunyadi jawa, dapat menentukan arah
untuk pulang ke liang berdasarkan arah sinar matahari. Disamping itu ketam
sawah tersebut juga dapat menentukan arah gerakannya dengan berorientasi
pada arah gravitasi juga dimiliki oleh beberapa jenis ketam yang hidup di
daerah hutan bakau. Ketam tersebut memanjat pohon bakau jika air laut
pasang. Ketam yang hidup di daerah pasang-surut dapat menentukan arah laut
berdasarkan bau air laut. Ketam biota dapat menentukan arah untuk pulang
keliang dengan berorientasi pada bekas jejak kaki, gundukan-gundukan tanah
yang ada disekitar tempat tinggalnya. Hewan-hewan serangga misalnya lebah
dapat pergi kemana-kemana dan dapat pulang kembali ke rumahnya dengan
berorientasi pada posisi matahari (Dharmawan et al., 2005).
Hewan-hewan vertebrata dapat menentukan arah dengan menggunakan
hampir seluruh inderanya. Hewan-hewan itu dapat menentukan arah dengan
berorientasi pada sinar, bau, arah, angin, dan gravitasi. Hal ini dapat dipelajari
dengan mudah dengan mengamati bagaimana manusia berorientasi terhadap
lingkungannya. Hal yang mungkin tidak dijumpai pada manusia adalah
kemampuan berorientasi pada magnet bumi. Penelitian telah menunjukkan
bahwa burung yang bermigrasi dari belahan bumi sebelah utara ke belahan
bumi selatan menentukan arah berdasarkan magnet bumi (Dharmawan et al.,
2005).
2.4.3.5 Ototomi
Ototomi adalah tingkah laku memutus bagian-bagian tubuh. Ketam darat
memutuskan kakinya jika kakinya berada dalam keadaan bahaya, misalnya
dipatuk oleh burung bangau. Cecak memutuskan ekornya (ototomi) jika
diserang oleh hewan lain. ekor cecakyang terputus dapat tumbuh kembali.
Tumbuhnya kembali bagian tubuh yang telah putus, seperti pada ekor cecak
itu disebut regenerasi. Hewan ain yang mempunyai kemampuan ototomi dan
regenerasi adalah Planaria (Dharmawan et al., 2005).
2.4.3.6 Adaptasi Mutual
Adaptasi mutual adalah adaptasi untuk hidup bersama atau hidup
berdampingan dengan individu atau spesies lain. hidup bersama ini ada yang
berbentuk koperasi, simbiosis, dan lain-lain (Dharmawan et al., 2005).
2.4.3.7 Tingkah Laku Sosial
Hewan-hewan ada yang hidup secara soliter dan ada yang berkelompok.
Hewan bersifat soliter hidup sendiri-sendiri terpisah antara satu individu
dengan individu yang lain. hewan yang berkelompok ada yang jumlahnya
sedikit, dan ada yang jumlahnya banyak pada tiap kelompok. Kelompokyang
anggotanya paling sedikit adalah kelompok yang hanya terdiri dari induk
jantan, betina dan anak. Kelompok yang demikian ada kalanya tidak
permanen, karena anaknya meisahkan diri setelah dewasa. Kelompok
demikian berbentuk dalam rangka pemeliharaan anak contoh dari kelompok
anggotanya yang terdiri dari anggota keluarga adalah kelompok banteng.
Beberapa jenis burung juga berkelompok dalamdan anaknya. Induk rangka
pemeliharaan anak. Dalam kelompok itu induk jantan membuat sarang,
mencari makan dan menjaga keselamatan induk betina dan anaknya. Induk
betina mengerami telur dan menghangatkan tubuh anaknya pada saat udara
dingin (Dharmawan et al., 2005).
Kelompok sosial yang anggotanya banyak antara lain kerbau liar. Dalam
satu kelompok terdiri dari kurang lebih 25 ekor. Di dalam lkelompok individu
yang paling besar biasanya menjadi pemimpin kelompok. Seperti yang terjadi
pada Taman Nasional Baluran mungkin dapat diamati beberapa aspek tingkah
laku kelompok pada kerbau liar. Pada musim kemarau kerbau dan hewan-
hewan mamalia yang lain, pergi ketempat-tempat genangan air disekitar hutan
pantai. Biasanya kerbau datang sekitar pukul 21.00 mungkin dapat
mengamati seekor kerbau yang yang datang sekitar sumber air. Kerbau itu
berputar-putar di sekitar sumber air beberapa saat kemudia pergi. Beberapa
saat saat kemudian akan datang segerombolan kerbau ke sumber air dan
masing-masing individu meminum air sumber itu. Dalam hal ini tampak
kerbau yang menjadi pimpinan bertanggung jawab atas keselamatankelompok
dengan mengadakan orientasi lebih dahulu terhadap kondisi di sekitar sumber
airyang akan dikunjungi. Pada musim kemarau. Bisanya semua jenis hewan
hidup di lingkungan yang sama, seperti di Taman Nasional Baluran,
menggunakan sumber air amat terbatas. Aspek tingkah laku lain dapat
diamati ketika kerbau sedang merumput di padang rumput. Jika kelompok
kerbau mendekati, kelompok itu merapat, hewan-hewan dewasa berada di
tepi dan yang lebih kecil berada di tengah-tengah. Hewan yang berada di tepi
menunjukkan sikap mempertahankan diri (Dharmawan et al., 2005).
Kelompok sosial juga ada pada hewan-hewan serangga, misalnya lebah
dan ani-anai. Kelompok sosial pada kedua jenis serangga itu
terorganisasilebih sistematik. Diantara anggota kelompok ada satu hewan
yang menjadi ratu yang tugasnya hanya bertelur. Anggota yang lain berperan
sebagai tentara yang bertuga menjaga kemanan kelompok, dan anggota
lainnya lagi mempunyai fungsi untuk mencari makan bagi seluruh anggota
kelompok (Dharmawan et al., 2005).
2.4.3.8 Tingkah Laku Perkembangbiakan
Tingkah laku kawin dapat dipandang sebagai suatu bentuk adaptasi,
karena hewan-hewan tertentu hanya berkembang biak pada waktu-waktu
tertentu. Misalnya, beberapa jenis burung yang hidup di belahan bumi utara di
daerah yang beriklim dingin bertelut dan memlihara anknya pada musim
panas di belahan bumi selatan. Burung-burung itu bermigrasi ke selatan pada
saat utara berlangsung musim dingin. Jika kegiatan bertelur dan memlihara
anak itu dilakukan di habitat aslinya induk-induk burung akan keslitan
mencari makanan untuk anak-anaknya, karena pada musim dingin tumbuh-
tumbuhan menggugurkan daunnya. Tingkah laku perkembangbikan seperti ini
sangat penting untuk kelestarian anak-anak yang dilahirkan. Hewan-hewan
lain yang ,elakukan perkembangbiakan di tempat lain dari habitatnya, antara
lain ikan salmon dan ketam air tawar. Ikan salmon hidup di laur tetapi
melakukan perkawinan dan bertelur di hulu sungai. Ketam air tawar pergi ke
laut pergi untuk bertelur (Dharmawan et al., 2005).
2.4.3.9 Tingkah Laku Berkelahi
Tingkah laku berkelahi merupakan adaptasi hewan untuk
mempertahankan hidupnya dari serangan hewan lain. serangan hewan lain
dapat berasal dari individu sesama spesies dan individu dari spesies lain.
tingkah laku berkelahi ada yang menyerang dan ada yang mempertahankan
diri. Tingkah laku menyerang pada umumnya dilakukan oleh hewan predator,
dan tingkah laku mempertahankan diri pada umumnya dilakukan oleh hewan
mangsa. Diantara sesama spesies perkelahian dapat terjadi persaingan,
misalnya untuk memperebutkan makanan, teritorial, dan pasangan kawin.
Tingkah laku perkelahian dinyatakan sebagai adaptasi karena, pola-pola
tingkah laku bersifat khas pada satu jenis hewan yaitu, dalam cara
menyerang, cara mempertahankan diri. Misalnya burung elang menyerang
dengan cara meyambar, harimau menyerang dengan cara menerkan, banteng
menyerang dengan menanduk. Sifat adaptasi tingkah laku berkelahi lebih
nyata jika dihubungkan dengan alat-alat yang dimiliki oleh hewab untk
berkelahi, misalnya kerbau dengan tanduk, ayam bertaji, dan ular berbisa
(beracun) (Dharmawan et al., 2005).
2.4.3.10 Tingkah Laku Refleks
Tingkah laku hewan dapat dibedakan menjadi tingkah laku refleks,
insting dan belajar. Sebagai gambaran bahwa kecenderungan untuk
mengumpulkan uang pada manusia ada lah suatu insting bukan refleks.
Gerakan taksis pada hewan avertebrata pada umumnya gerakan reflek.
Misalkan pada wereng cokelat mendekati sinar lampu pada malam hari,
gerakan larva lalat menjauhi sumber cahaya pada lingkungan yang gela.
Tingkah laku refleks tampak pada gerakan-gerakan tubuh yang tidak
dikendalikan oleh oleh sistem saraf sadar. Gerakan terjadi secara spontan
sebagai tanggapan terhadap rangsang yang mengenai tubuh (Dharmawan et
al., 2005).
Pavlov membedakan gerakan refleks menjadi gerakan refleks yang
bersifat kondisional dan gerakan refleks yang tidak kondisional. Dengan
melakukan percobaan pada anjing. Dengan menyodorkan makanan yang
merangsang selera makan tanpa memberi kesempatan pada anjing untuk
memakannya. Bersamaan dengan penyodoran makanan pavlov membunyikan
bel. Anjing mengeluarkan air liur sebagai respon terhadap rangsangan
tersebut. Penyodoran makanan dan membunikan bel dilakukan berkali-kali.
Suatu ketika ia membunyikan bel tanpa menyodorkan makanan, ternyata
anjing mengeluarkan air liur. Keluarnya air liur ketika mendengar bel tanpa
dibarengi dengan makanan itu disebut tingkah laku refleks kondisional.
Dalam kehidupan sehari-hari setiap anjing akan mengeluarkan air liur jika
disosorkan makanan yang merangsang, meskipun tidak dibarengi dengan bel.
Tingkah laku itu adalah refleks tidak kondisional (Dharmawan et al., 2005).
2.4.3.11 Tingkah Laku Insting
Gerakan insting adalah gerakan-gerakan yang tidak memerlukan
pengalaman khusus. Gerakan itu pada umumnya bersifat bawaan, dan pola
gerakannya sama pada semua individu dalam satu spesies. Pemunculan
gerakan terkendali oleh kekuatan dari dalam tubuh, atau dikendalikan oleh
sistem saraf pusat. Pola suatu gerakan insting biasanya sama antara yang
terjadi di lapangan dengan yang terjaid di dlaboratorium. Contoh yang sangat
menarik dan merupakan kejadian yang mengherankan adalah sebagai berikut.
1. Anak bebek yang baru menetas mengikuti hewab aoa yang dijumpai
pertama kali. Jika yang dijumpai pertama adalah induk ayam yang
mengerami anak itik akan mengikuti ayam tersebut kemanapun pergi,
demikian pula jika yang dijumpai pertama adalah manusia.
2. Burung robin menyerang benda-benda yang berbentuk burung. Robin
jantan bersyap merah yang digantung. Tingkah laku seperti itu disebut
tingkah laku stereotip, artinya hewan beraksi terhadap ciri-ciri khusus
organisme lain atau lingkungannya.
Contoh gerakan insting yang sering ditemui di alam adalah anak hewan
mamalia yang baru lahir mencari dan mengulum punting susu induknya dan
induknya yang baru pertama kali melahirkan juga mengambil posisi atau
melakukan gerakan tertentu agar anaknya yang baru lahir menyusu putinya.
Anjing yang menyambut pemiliknya sambil menggerak-gerakkan ejkornya
ketika pemiliknya datang gerakan ini juga disebut insting (Dharmawan et al.,
2005).
2.4.3.12 Tingkah Laku Belajar
Belajar adalah modifikasi tingkah laku yang relative permanen dengan
terbentuk melalui latihan dan pengalaman(Drickamer, 1982) belajar
merupakan proses dalam sistem syaraf pusat yang menyebabkan terjadinya
perubahan mekanisme tingkah laku insting sebagai tanggapan terhadap
rangsangan dari luar. Sementara W,H Thorpe (1963) berpendapat bahwa
belajar merupakan manifestasi perubahan tingkah laku yang bersifat adaptif
sebagai akibat adanya pengalaman. Pola tingkah laku belajar dikendalikan
oleh faktor internal yang disebut motivasi. Tingkah laku dapat dibedakan
menjadi beberapa macam, yaitu habituasi, trial and erorr, pemahaman dan
pelajaran laten.
1. Habituasi
Habituasi adalah suatu penurunan amplitude dan probabilitas suatu
respons secara gradual sebagai akibat dari hadirnya stimulus tertentu
secara berulang-berulang (kendel 1976) . penurunan respon itu bersifat
persisten dan tidak diikuti oleh berbagai macam reinforcemen atau
penguatan. Tingkah laku yang bersifat habituasi antara lain adalah tingkah
laku: melahirkan diri, menyerang, seksual dan frekuensi ejakulasi
(Dharmawan et al., 2005).
Contoh-contoh tingkah laku habituasi adalah sebagai berikut.
Ayam terkejut dan melahirkan diri ketika melihat bayangan daun
melayang. Daun itu disosiasikan sebagai burung elang yang menyambar.
Namun, ketika tahu bahwa daun tidak mengejar dan tidak menyerang,
ayam tidak melarikan diri bila ada daun yang gugur lagi. Habituasi dapat
dipelajari di laboratorium, misalnya dengan menggunakan cacing tanah
sebagai hewan coba. Cacing tanah dimasukkan ke dalam plastik sedang
melingkar. Batang plastik dibuat berlubang-lubang. Kepala cacing
dibunyikan bel berulang-ulang dalam waktu pendek. Pada deringan
pertama cacing memberikan respon berupa gerakan berbalik arah,
mungkin demikian juga pada deringan yang kedua dan ketiga. Namun
pada deringan-deringan berikutnya cacing tidak berbalik arah ketika
berjalan (Dharmawan et al., 2005).
Tingkah laku habituasi mempunyai beberapa fungsi adaptif
a. Mengurangi respon bertahan atau melarikan diri dari rangsangan
yang mengejutkan dari predator yang mendekat.
b. Mengenal hewan-hewan lain yang ada di daerah teritorial
c. Menstandartkan tingkah laku sosial antara individu-individu dalam
satu spesies dan mempertajam rspons untuk stimulus syarat.
2. Trial and Error
Trial and error adalah tingkah laku yang tampak bila seekor hewan
menampilkan tingkah laku appetitive atau searching yang sering kali
diperkuat oleh kejadian-kejadian yang muncul secara tidak terencana.
Bentuk tingkah laku ini ditunjukkan oleh Skinner melalui percobaan pada
tikus yang diletakkan dalam kotak yang dikenal dengan kotan skinner.
Kotak itu dilengkapi kotak-kotak kecil yang berisi makanan. Kotak itu
dapat dibuka dengan pengungkit yang terletak didalam kotak besar. Jika
pengungkint digerakkan kotak kecil terbuka dan butir makanan keluar
dari kotak kecil. Tikus itu mencoba menyentuh benda-benda yang ada
dalam kotak. Secara tidak sengaja tikus itu juga menyentuh pengungkit
kotak kecil, kotak kecil itu terbuka dan makanan jatuh dekat tikus, tikus
memakan makanan itu, ketika tikus menyentuh pengungkit berulang-
ulang, makanan keluar lagi. Keluarnya makanan merangsang tikus untuk
mengulang perbuatannya menyentuh pengungki. Sebagai hasil percobaan,
skinner berkesimpulan bahwa tingkah laku tersebut meripakan tingkah
laku yang dikendalikan kesalhan, tingkah laku tersebut disebut tingkah
laku operan (Slavin 1994). Makanan yang keluar dari kotak kecil karena
pengungkit yang disentuh merupakan penguatan (reinforcement) bagi
munculnya tingkah laku operan (Dharmawan et al., 2005).
3. Belajar Pemahaman
Belajar pemahaman (insigh learning) adalah tingkah laku yang
terbentuk melalui asosiasi kejadian-kejadian atau kegiatan-kegiatan yang
telah dipelajari sebelumnya. Tingkah laku yang terbentuk adalah tingkah
laku yang dapat memecahkan masalah baru yang sedang dihadapi.
Pemahaman pada hewan ditunjukkan oleh Koliler (1982) dengan
menggunakan simpanse deasukkan ke dalam ruangan, diruangan itu
digantungkan sebuah pisang pada langit-langit, dan disediakan sebatang
tongkat. Simpanse tidak dapt mengambil pisang dengan tangan. Ketika
melihat tongkat mengambil dan menggunakannya untuk menjolok pisang.
Berdasarkan fakta tersebut disimpulkan bahwa simpanse dapat
mengasosiasikan oanjang tongkat dengan tinggi pisang. Berdasarkan
asosiasinya simpanse menampilkan tingkah laku untuk memecahkan
masalah (kesulkitan) untuk mengambil pisang (Dharmawan et al., 2005).
4. Pelajaran Laten
Belajar laten (latent learning) yaitu pembuatan asosiasi tanpa
adanya penguatan atau tanpa adanya bukti dari perbuatan yang terbentuk
pada saat kegiatan belajar. Kegiatan belajar itu muncul sebagai akibat
dorongan atau motivasi dari dalam, sehingga tidak perlu ada penguatan
yang berasal dari akibat atau hasil dari kegiatan belajar yang pernah
dialami. Sifat belajar seperti ini mungkin lebih banyak terjadi pada
manusia. Manusia mempunyai semua sifat belajar yang disebutkan diatas
yaitu refleks, insting, trial and error, pemahaman, selain belajar laten
(Dharmawan et al., 2005).
2.5 Adaptasi Pada hewan Migrasi
Proses migrasi pada ikan merupakan respons fisiologis terhadap input
internal maupun eksternal yang diterima (Lucas & Baras, 2001). Input yang
diterima oleh ikan akan menghasilkan tanggapan atau perubahan pada perilaku
dan morfologi. Tanggapan ikan terhadap suatu rangsangan yang diterima bisa
berbeda walaupun yang diterima sama, hal ini disebabkan oleh perkembangan
fisiologi ikan dan motivasi dalam merespons suatu rangsangan. Peran hormon
menjadi sangat penting dalam mempengaruhi respons ikan, berikut ini adalah
faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi ikan melakukan migrasi
(Gambar 2.3).
Selama proses migrasi ikan akan melakukan berbagai upaya atau strategi
untuk mempertahankan hidup di antaranya adalah mengatur tekanan osmotik
(osmoregulasi) dan metabolisme.
Pada hewan-hewan yang mengalami metamorfosa dari embrio, larva,
yuwana, dan dewasa akan memasuki lingkungan yang berbeda pada setiap
stadianya sebagai upaya adaptasi terhadap perubahan fisiologi badannya.
Perubahan selama fase perkembangan (development) dapat terjadi secara
permanen dari generasi ke generasi (development plasticity), sekali lagi
perubahan fenotip tersebut merupakan ekspresi dari gen-gen yang berbeda juga.
Pada hewan akuatik faktor lingkungan seperti, suhu, salinitas, tekanan,
fotoperiod, pH, kecerahan, dan kandungan oksigen dapat memacu munculnya
fenotipik plastisity, karena ikan merupakan hewan polikioterm (suhu badan
mengikuti suhu lingkungan). Di samping itu, faktor biotik seperti predator,
kelimpahan populasi, perkembangan fisiologi, juga memacu munculnya
phenotipic plastisity. Faktor-faktor lingkungan dapat menyebabkan berbagai jenis
reaksi fenotip yang berbeda (Willmer, 2000).
Pada saat menghadapi perubahan lingkungan maka hewan umumnya akan
melakukan berbagai reaksi mulai dari yang paling sedikit mengeluarkan energi
yaitu menghindar dari perubahan lingkungan tersebut. Beberapa strategi yang
dilakukan oleh hewan pada saat menghadapi perubahan lingkungan yaitu;
1. Avoiders, mekanisme badan untuk menghindar dari perubahan atau tekanan
lingkungan
2. Conformer, merubah mekanisme internal badan mengikuti perubahan
lingkungan (eksternal), umumnya conformer dilakukan tidak untuk menjaga
homeostatik badan secara keseluruhan
3. Regulator, menjaga beberapa mekanisme atau komponen badan yang hampir
sama dengan kondisi lingkungan dan
Sebuah istilah yang umum dikenal pada proses adaptasi adalah konsep
plastisity. Kelenturan fenotipik (phenotypic plasticity) adalah variasi ekspresi
fenotip suatu genotip sebagai respons terhadap kondisi lingkungan tertentu
sehingga dapat meningkatkan kemampuan individu untuk tetap bertahan hidup
dan berkembang biak. Pengontrolan variasi fenotip ini dilakukan secara genetik
(level gene) (Sultan, 1987). Hewan yang mampu menyesuaikan diri dengan cepat
terhadap perubahan lingkungan dan mampu mengeskpresikan lebih dari satu
alternatif bentuk morfologi, status fisiologi, dan tingkah laku, maka hewan
tersebut dikatakan memiliki kelenturan fenotipik (Sultan, 1987). Kelenturan
fenotipik ini mencerminkan kepekaan fenotip terhadap perubahan lingkungan
(Noor, 1996). Menurut Taylor & Aarssen (l989), kelenturan fenotipik sebagai
suatu variasi ekspresi fenotip suatu genotip merupakan respons terhadap kondisi
lingkungan tertentu dan dapat meningkatkan kemampuan individu untuk tetap
bertahan hidup dan berproduksi pada lingkungan tersebut.
Prinsip plastisity telah menjadi kesepakatan pada para ilmuwan sebagai
salah satu upaya untuk dapat beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Namun
bagaimana cara mengukur plastisity masih terus berkembang hingga saat ini. Di
antara kendala dalam pengukuran satu karakter dari plastisity adalah apakah
karakter tersebut berdiri sendiri atau merupakan asosiasi dari berbagai gen. Salah
satu pengukuran plastisity yang umum dilakukan adalah dengan mengukur fenotip
individu dalam dua lingkungan yang berbeda tanpa menuntut keberadaan gen-gen
pengontrol plastisity. Dengan menempatkan individu pada lingkungan berbeda
maka hipotesa plastisity dapat dibangun.
Pada hewan akuatik yang melakukan aktivitas ruaya/migrasi fenomena
plastisity menjadi sangat penting untuk menyukseskan migrasi tersebut.
Mengingat migrasi merupakan aktivitas yang dilakukan dari generasi ke generasi
maka dapat diduga gen yang mengontrol kegiatan migrasi akan diturunkan kepada
generasi berikutnya. Untuk jangka panjang jika gen-gen yang mengontrol
plastisity pada hewan migran dapat dikenali, maka pemeliharaan hewan tersebut
dapat dilakukan di habitat yang diinginkan manusia.
2.5.1 Fenomena Plastisity Pada Ikan Migrasi
Fenotipik plastisity pada ikan migrasi dapat dilihat dari perubahan-
perubahan yang terjadi pada morfologi dan fisiologi ikan selama proses migrasi.
Perubahan lingkungan selama proses migrasi akan diikuti oleh perubahan
morfologi dan fisiologi ikan sebagai upaya adaptasi. Pada ikan sidat perubahan
morfologi terlihat mulai dari fase lepthochepalus hingga fase silver eel, meliputi
pigmentasi, morfologi, dan perkembangan organ-organ tertentu. Sedangkan
perubahan fisiologi umumnya terjadi pada saat memasuki fase pemijahan atau
perkembangan organ reproduksi dan pada saat memasuki perairan yang memiliki
karakter fisika dan kimia berbeda. Berikut ini merupakan perubahan-perubahan
yang dialami oleh ikan sidat selama proses migrasi, baik perubahan morfologi
maupun perubahan fisika (Fahmi, 2010).
2.5.1.1 Adaptasi Morfologi
Adaptasi merupakan proses penyesuaian organisme, struktur organisme,
tingkah laku untuk meningkatkan fitness (kemampuan hidup) sehingga bisa
berkembang biak. Ikan sidat memiliki berbagai macam strategi beradaptasi
terhadap morfologinya. Di antara adaptasi morfologi yang ada pada ikan sidat
adalah bentuk badan, warna kulit, organ pernafasan, organ sensorik, mata, dan
lain-lain. Adaptasi bentuk badan ikan sidat pertama kali mulai terlihat pada fase
leptocephalus, yaitu bentuk badan yang pipih menyerupai daun. Hal ini sangat
penting dimiliki oleh ikan yang akan melakukan migrasi secara pasif (pasif
transported) mengikuti pola arus. Di samping bentuk badan yang pipih
lapthocephalus juga memiliki warna badan yang transparan sebagai upaya
adaptasi terhadap serangan predator. Pada saat memasuki perairan tawar ikan sidat
mulai mengalami metamorfosis yaitu bentuk badan berubah menjadi oval dan
panjang. Bentuk badan ini sangat memudahkan ikan untuk bergerak/ berenang
dengan cepat saat memasuki muara sungai, dan melakukan tingkah laku meliang
dalam lumpur. Di samping itu, kelenturan badan berperan dalam membantu ikan
sidat bersembunyi dibalik batu untuk menghindari serangan predator.
Pigmetasi ikan sidat akan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan pada
tahap larva ikan tidak memiliki warna atau transparan, sehingga memudahkan
larva mengindar dari serangan predator. Seiring dengan pertambahan ukuran
badan pigmen ikan sidat mulai muncul, hingga ukuran matang gonad warna badan
ikan akan semakin terang untuk mengikat pasangan.
Ikan sidat mempunyai bagian badan yang sensitif terhadap getaran
terutama di bagian lateral. Bagian badan yang sensitif ini sangat membantu ikan
sidat dalam bergerak karena kemampuan penglihatannya kurang baik. Di samping
itu, ikan sidat juga memiliki organ penciuman yang sangat baik untuk membantu
mengatasi kelemahan penglihatannya.
Organ pernafasan sidat terdiri atas insang dan kulit. Lamela-lamela yang
ada dalam insang memberi kemampuan padanya untuk mengambil oksigen
langsung dari udara, selain oksigen yang terlarut dalam air. Mata ikan sidat akan
beradaptasi saat memasukan perairan laut dalam. Pembesaran mata ikan sidat
mencapai empat kali lipat ukuran normal, hal ini dilakukan untuk meningkatan
kemampuan melihat karena lingkungan perairannya sudah mulai gelap.
2.5.1.2 Adaptasi Fisiologi
Pada saat ikan sidat menyiapkan diri untuk memijah dan bermigrasi dari
perairan tawar menuju laut dalam yang jaraknya sekitar 3.000 km2 terjadi
perubahan pada badan yaitu diameter mata membesar. Faktor suhu sangat
berpengaruh terhadap determinasi kelamin. Perkembangan gonad sangat terkait
dengan ketersediaan pakan, selama melakukan migrasi ikan sidat tidak makan
sehingga mempengaruhi energi untuk reproduksi. Periode pencahayaan dan
musim sangat berpengaruh pada kematangan gonad ikan sidat sub tropis.
Pengaruh periode cahaya dan salinitas terhadap perkembangan gonad ikan sidat
mempengaruhi perkembangan ovarium ikan sidat pada fase yellow eel.
Pencahayaan yang diperpanjang memacu perkembangan ovarium ikan sidat dalam
lingkungan air tawar. Perkembangan ovarium meningkat pada suhu yang lebih
tinggi berkaitan
Adaptasi fisiologis, juga dilakukan oleh ikan sidat pada saat menghadapi
kondisi lingkungan yang kurang baik. Secara umum, ikan sidat lebih tahan
terhadap konsentrasi oksigen yang rendah jika dibandingkan dengan jenis ikan
lainnya.
Ikan sidat dalam beberapa stadia hidupnya akan melakukan adaptasi
terhadap salinitas. Stadia glass eel (larva) lebih menyukai air laut dan bersifat
osmoregulator kuat. Sedangkan elver (benih sidat) yang sudah mengalami
pigmentasi penuh lebih menyukasi perairan tawar. Salinitas media pemeliharaan
juga mempengaruhi respons ikan sidat terhadap tekanan lingkungan.
BAB III
PENUTUP
3.2 Simpulan
1. Adaptasi umumnya diartikan sebagai penyesuaian makhluk hidup terhadap
lingkungannya. Adaptasi menunjukkan kesesuaian organisme dengan
lingkungannya yang merupakan produk masa lalu. Organisme yang ada
kini dapat hidup pada lingkungannya karena kondisi lingkungan itu secara
kebetulan sama dengan kondisi lingkungan nenek moyangnya.
2. Kemampuan hewan dalam beradaptasi dengan lingkungannya berbeda-
beda yang dipengaruhi oleh, sifat genetik, kemampuan berkembang biak,
frekwensi perubahan lingkungan. Kemampuan hewan untuk beradaptasi
terbatas oleh ketahanan hidup (survival), perbedaan kemampuan setiap
jenis organisme dan tumpang tindih dengan kondisi sebelumnya sehingga
adaptasi merupakan proses yang lambat, melibatkan seluruh kegiatan
hidup
3. Jenis-jenis adaptasi antara lain adaptasi morfologi atau struktural, adaptasi
fisiologi, (adaptasi tingkah laku), hibernasi, estivasi, diurnal dan nokturnal,
orientasi terhadap lingkungan, ototomi, adaptasi mutual tingkah laku
sosial, tingkah laku perkembangbiakan, tingkah laku refleks, tingkah laku
insting, tingkah laku belajar.
DAFTAR RUJUKAN
Dharmawan, A., Tuarita, H. Ibrohim, Suwono, H., dan Susanto, P. 2005. Ekologi
Hewan. Malang: Universitas Negeri Malang (UM Press).
Fahmi, M.R. 2010. Phenotypic Plastisity Kunci Sukses Adaptasi Ikan Migrasi:
Studi Kasus Ikan Sidat (Anguilla sp.). Prosiding Forum Inovasi
teknologi Akuakultur.