Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
1. Definisi
Menurut Diane C. Baughman dan JoAnn C. Hackley (2000) dalam buku saku dari
Brunner & Suddarth mendefinisikan, Bells palsy (paralisis parsial) adalah kondisi
yang diakibatkan oleh kerusakan saraf cranial ketujuh bagian perifer pada satu sisi,
yang mengakibatkan kelemahan atau paralisis otot fasial.
Paralisis Bell (paralisis wajah) Karen aketerlibatabn perifer saraf cranial ketujuh
pada salah satu sisi, yang mengakibatkan kelemahan atau paralisis otor wajah (Arif
Muttaqin, 2012).
Paralisis Bell (Bells palsy) atau prosoplegia adalah kelumpuhan nervus fasialis
perifer, terjadi secara akut, dan penyebabnya tidak diketahui atau tidak menyertai
penyakit lain yang dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis (Harsono, 2009).
2. Etiologi
Menurut Harsono (2009) mengatakan paralisis fasial perifer dapat terjadi pada
penyakit-panyakit tertentu, misalnya diabetes mellitus, hipertensi berat, anestesi
local pada pencabutan gigi, infeksi telinga bagian tengah, sindrom Guillain Barre,
kehamilan trimester terakhir, meningitis, perdarahan, dan trauma. Apabila factor
penyebabnya jelas maka disebut paralisis fasialis perifer dan bukannya paralisis
Bell.
3. Patofisiologi
Pada observasi dapat terlihat juga bahwa gerakan kelompok yang tidak sehat lebih
lambat jika dibandingkan dengna gerakan kelopak mata yang sehat lebih lambat
jika dibandingkan dengan gerakan kelopak mata yang sehat. Lipatan nasolabial pad
asisi kelumpuhan mendatar. Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi
yang lumpuh tidak mengembung. Saat mencibir, gerakan bibir tersebut menyimpan
ke sisi yang tidak sehat. Jika klien diminta untuk memperlihatkan gigi geliginya
atau diminta meringis, sudut mulut sisi yang lumpuh tidak terangkat, sehingga
mulut tampaknya mencong kearah yang sehat.
Setelah paralisi pasial perifer sembuh, masih sering terdapat gejala sisa. Pada
umumnya gejala itu merupakan proses regerasi yang salah, sehingga timbul
gerakan fasial yang berasosiasi dengan gerakn otot kelompok lain. Gerakan yang
mengikuti gerakan otot kelopak lain disebut sinkinetik. Gerakan yang mengikuti
gerakan otot kelopak lain itu disebut sinkinetik. Adapun gerakan sinkinetik adalah
ikut terangkatnya sudut mulut pada waktu mata ditutup dan fisula palpebra sisi
yang pernah lumpuh menjadi sempit, pada waktu rahang bawah ditarik ke atas atau
ke bawah, seperti sewaktu berbicara atau mengunyah. Dalam hal ini, di luar
serangan spasme fasialis, sudut mulut sisi yang pernah lumpuh tampak lebih tinggi
kedudukannya dari padapada sisi yang sehat. Oleh karena itu, banyak kekeliruan
mengenai sisi yang memperlihatkan paresis fasialis, terutama jika klien yang
pernah mengalami Bells Palsy kemudian memperoleh stroke.
4. Manifestasi klinis
Mulut tampak mencong terlebih pada saat meringis kelopak mata tidak dapat
dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya
maka bola matanya makan bola mata tampak terputar ke atas (tanda Bell).
Penderita tak dapat bersiul atau menutup, apabila berkumur atau minum makan air
akan keluar melalui sisi mulut yang lumpuh. Selanjutnya gejala dan tanda klinis
lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi.
Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), ditambah dengan hilangnya ketajaman
pengecapan lidah (dua pertiga bagian depan) dan salviasi di sisi yang terkena
berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus
intermedius, sekaligus menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus
menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda timpani bergabung
dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.
Gejala tanda klinis seperti pda (1) dan (2), ditambah dengan adanya hiperakusis.
Gejala dan tanda klinik sepertipada (1), (2), dan (3) disertai dengan nyeri di
belakang dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pascaherpes di
membrane timpani dan konka. Syndrome Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis
fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum.
Lesi herpetic terlihat di membrane timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina.
Gejala dan tanda klinik seperti di atas ditambah dengna tuli sebagai akibat dari
terlibatnya nervus akustikus.
Gejala dan tanda klinis sama dengan diatas, disertai gejala dan tanda terlihatnya
nervus trigenius, nervus akustikus, dan kadang-kadang juga nervus abdusens,
nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus.
Sindrom air mata buaya (crocodile tears syndrome) merupakan gejala sisa paralisis
Bell, beberapa bulan pasca awitan, dengna manifestasi klinik: air mata bercucuran
dari mata yang terkena pada saat penderita makan. Nervus fasialis menginervasi
glandula lakrimalis dan granua salivarius submandibularis. Diperkirakan terjadi
regerasi saraf salivarius tetapi dalam perkembangannya terjadi salah jurusan
menuju ke granula lakrimali.
5. Pemeriksaan diagnosik
6. Penataksaaan
Menurut Diane C. Baughman dan JoAnn C. Hackley (2000) dalam buku saku dari
Brunner & Suddarth mengatakan tujuan dari penatalaksanaan adalah untuk
mempertahanakan tonus otot wajah dan untuk mencegah atau meminimalkan
penyimpangan.
1. Tenangkan pasien bahwa tidak terjadi stroke pada dirinya dan pemulihan
secara spontan akan terjadi dalam 3-5 minggu pada kebanyakan pasien.
2. Mungkin diberikan terapi steroid untuk mengurangi inflamasi dan edema, yang
akan menurunkan kompresi vaskuler dan memungkinkan pemulihan sirkulasi
darah pada saraf. Pemberian steroid awal tampaknya untuk mengurangi
keparahan, menghilangkan nyeri, dan meminimalkan penyimpangan.
3. Nyeri fasial diatasi dengan analgesic atau pemasangan kompres hangat pada
bagian wajah yang sakit.
4. Mungkin dilakukan stimulus listrik pada wajah untuk mencegah atrofi otot.
5. Eksplorasi melalui pembedahan mungkin dilakukan jika digunakan kuat adanya
tumor; pembedahan dekompresi saraf fasial; atau rehabilitasi pembedahan dari
wajah yang mengalami paralisis.
1. Pengkajian
Pengkajian menurut Arif Muttaqin (2012) anamnesis pada Bells Palsy meliputi
keluahan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit dahulu, dan pengkajian psikososial.
1. Keluhan utama
1. Pengkajian psikososiaspiritual
1. Pemeriksaan fisik
B1 (Breathing)
Jika tidak ada penyakit lain yang menyertai, pemeriksaan sistem pernafasan klien
dalam batas normal. Pada palpasi biasaanya taktil premitus seimbang kanan dan
kiri. Perkusi didapatkan resonan pada seluruh lapangan paru. Auskultasi tidak
terdengar bunyi nafas tambahan.
B2 (Blood)
Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan nadi dengan frekuensi
dan ritme yang normal, tekanan darah dalam batas normal, dan tidak terdengar
bunyi jantung tambahan.
B3 (Brain)
Status mental meliputi observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara,
ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien Bells Palsy tahap lanjut
biasanya status mental klien mengalami perubahan.
Saraf I, bisanya pada klien Bells Palsy tidak ada kelaianan pada fungus
penciuman.
Saraf III, IV, dan VI, penurunan gerakan kelopak mata pada sisi yang sakit
(lagoftalmos).
Saraf V, kelumpuhan seluruh otot wajah satu sisi, lipatan nasolabial pada sisi
kelumpuhan mendatar, adanya gerakan sinkinetik.
Saraf VIII, tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
Saraf XII, lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi,
indra pengecapan pada dua pertiga lidah sisi kelumpuhan kurang tajam.
Jika tidak melibatkan disfungsi neurologis lain, kekuatan otot normal, control
kesimbangan dan koordinasi pada Bells Palsy tidak ada kelainan.
Pengkajian refleks
Kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu tidak ada kelainan.
B4 (Bledder)
B5 (Bowel)
B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien secara
umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh
orang lain.
Tujuan penatalaksaan adalah untuk mempertahankan tonus otot wajah dan untuk
mencegah atau meminimalkan denervasi. Klien harus diyakinkan bahwa keadaan
yang terjadi bukan stroke dan pulih dengan spontan dalam 3 sampai 5 minggu paa
kebanyakan klien.
Terapi kostikosteroid (prednisone) dapat diberikan untuk menurunkan inflamasi
dan edema, yang pada gilirannya mengurangi kompresi vakular dan
memungkinkan perbaikan sirkulasi darah ke saraf tersebut. Pemberian awal terapi
kortikosteroid ditujukan untuk mengurangi penyakit semakin berat, mengurangi
nyeri, dan membantu mencegah atau meminimalakan denervasi.
Nyeri wajah dikontrol dengan analgetik. Kompres panas pada sisi wajah yang sakit
dapat diberikan untuk mengurangi kenyamanan dan aliran darah sampai ke otak
tersebut.
Stimulasi listrik dapat diberikan untuk mencegah otot wajah menjadi atrofi.
Walaupun banyak klien pulih dengan pengobatan konservatif, namun eksplorasi
pembedahan pada saraf wajah dapat dilakukan pada klien melalui pembedahan dan
pembedahan untuk merehabilitasi keadaan paralisis wajah.
Pendidikan klien
Mata harus dilindungi karena paralisis lanjut dapat menyerang mata. Sering kali,
mata klien tidak dapat menutup dengan sempurna,dan refleks berkedip terbatas
sehingga mata mudah diserang hewan kecil dn benda asing. Iritasi kornea dan luka
adalah komplikasi potensial pada klien ini. Kadang-kadang keadaan ini
mengakibatkan keluarnya air mata yang berlebihan (epifora) karena keratis akibat
kornea kering dan tidak adanya refleks berkedip. Penutup mata bagian bawah
menjadi lemah akibat pengeluaran air mata. Untuk menangani masalah ini, mata
harus ditutup denna melindunginya dari cahaya silau pada malam hari. Kotoran
mata dapat merusak kornea, meskipun hal ini juga disebabkan karena beberapa
kesulitan dalam mempertahankan mata tertutup akibat paralisis parsial. Benda-
benda yang dapat digunakan pada mata saat tidur dapat diletakkan di atas mata
agar kelopak mata menempel satu dengan yang lainnya dan tetap tertutup selama
tidur.
Klien dianjurkan untuk menutup kelopak mata yang mengalami paralisis secara
manual sebelum tidur. Gunakan penutup mata dengan kacamata hitam untuk
menurunkan penguapan normal dari mata. Jika saraf tidak terlalu sensitive, wajah
dapat dimasase beberapa kali untuk mempertahankan tonus otot. Teknik untuk
memasase wajah adalah dengan gerakan lembut ke atas. Latihan wajah seperti
mengkerutkan dahi, mengembungkan pipi ke luar dan bersiul, dapat dilakukan
dengan mengguanakan cermin dan dilakukan teratur untuk mencegah atrofi otot.
Hindari wajah terhadap udara dingin.
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat ditemukan menurut Arif Muttaqin (2012), yaitu:
1. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan perubahan bentuk
wajah karena kelumpuhan pada satu sisi pada wajah.
2. Ansietas yang berhubungan dengan prognosis penyakit.
3. Deficit pengetahuan yang berhubungan dengan informasi yang tidak adekuat
mengenai proses penyakit dan pengobatan.
3. Intervensi keperawatan
Sasaran dari klien ini meliputi adanya peningkatan konsep diri klien dank lien
memperlihatkan kemampuan pemahaman yang adekuat tentnag penyakit yang
diderita serta pengobatannya.
Intervensi Rasional
Intervensi Rasional
3. Hindari konfrontasi.
3. Konfrontasi dapat meningkatkan
rasa marah, menurunkan kerja sama
dan mungkin memperlambatkan
penyembuhan.
4. Mengurangi
4. Mulai melakukan tindakan rangsangan eksternal yang tidak perlu.
untuk mengurangi kecemasan. Beri
lingkungan yang tenang dan suasana
penuh istirahat.
7. Dapat menghilangkan
6. Orientasikan kien terhadap ketegangan terhadap kekhawatiran
prosedur rutin dan aktivitas yang yang tidak diekspresikan.
diharapkan.
8. Memberikan waktu untuk
7. Beri kesempatan kepada klien mengekspresikan perasaan,
untuk mengungkapkan ansietasnya. menghilangkan cemas dan perilaku
adaptasi. Adanya keluarga dan teman-
teman yang dipilih klien melayani
8. Berikan privasi untuk klien dan aktivitas dan pengalihan akan
orang terdekat. menurunkan perasaan terisolasi.
Kriteria hasil: klien mampu secara subjektif menjelaskan ulang secara sederhana
terhadap apa yang telah didiskusikan.
Intervensi Rasional
5. Motivasi klien
mengekspresikan
ketidaktahuan/kecemasan dan beri
informasi yang dibutuhkan.
DAFTAR PUSTAKA