Vous êtes sur la page 1sur 27

LAPORAN KASUS

ATRIAL SEPTAL DEFECT

IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. J
Umur : 22 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Cilellang Selatan, Kab. Barru
No.Rekam Medik : 6996xx
Tanggal MRS : 08 Agustus 2015

RIWAYAT PENYAKIT
Keluhan Utama : Jantung berdebar-debar
Anamnesis Terpimpin :
Dialami sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit. Keluhan disertai sesak saat
beraktivitas. Sesak saat berbaring dan membaik saat duduk atau berdiri ada. Terbangun
malam hari saat beristirahat karena sesak tidak ada. Nyeri dada ada, dirasakan hilang
timbul saat beraktivitas. Nyeri ulu hati tidak ada. Batuk tidak ada. Lemah badan ada.
Cepat lelah saat beraktivitas ada.
Demam tidak ada, riwayat demam tidak ada, sakit kepala tidak ada, mual tidak
ada, muntah tidak ada. BAB dan BAK normal.

Riwayat Penyakit sebelumnya :


Riwayat berobat jalan di RSWS 3 bulan yang lalu karena gondok.
Riwayat Hipertensi tidak ada
Riwayat Diabetes Melitus tidak ada.
Riwayat merokok tidak ada.
Riwayat keluarga dengan penyakit jantung tidak ada
Riwayat infeksi saluran napas berulang tidak ada

1
Faktor Resiko
Dapat dimodifikasi :
Tidak ada
Tidak dapat dimodifikasi :
Riwayat kehamilan ibu tidak ada gangguan dan konsumsi obat-obatan

PEMERIKSAAN OBJEKTIF
A. Keadaan Umum : Sakit Sedang/Gizi cukup/Compos Mentis
B. Tanda Vital
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 78 x/menit
Pernapasan : 22 x/menit
Suhu ( axilla) : 36,5 C
C. Pemeriksaan Fisis
Kepala dan Leher :
Mata : Anemis (-), Ikterus (-)
Bibir : Sianosis (-)
Leher : DVS R+2 cmH20
Kelenjar limfa pembesaran (-)
Massa Tumor (-)
Kelenjar gondok pembesaran ada, grade IB
Dada:
Inspeksi
Bentuk : Simetris kiri sama dengan kanan, normochest
Buah dada : Tidak ada kelainan
Sela iga : Simetris kiri sama dengan kanan

2
Paru:
Palpasi : Fremitus simetris kiri sama dengan kanan
Nyeri tekan tidak ada
Perkusi : Batas paru hepar ICS VI dekstra
Batas paru belakang kanan ICS IX dekstra
Batas paru belakang kiri ICS X sinistra
Auskultasi : Bunyi Pernapasan Vesikuler
Bunyi Tambahan Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung:
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Thrill tidak teraba
Perkusi : Batas atas ICS III sinistra
Batas kanan linea parasternalis dekstra
Batas kiri linea midclavicularis sinistra
Aukultasi : BJ I/II murni reguler
Bising ejeksi sistolik ICS II sinistra
Abdomen
Inspeksi : Datar, simetris, ikut gerak napas
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
Palpasi : nyeri tekan (-), massa tumor (-), Hepar dan Lien tidak
teraba
Perkusi : Timpani (+), Ascites (-)
Ekstremitas
Edema : Pretibial -/-, dorsum pedis -/-

3
D. Pemeriksaan Elektrokardiografi (15/8/2015)

Interpretasi EKG
Irama dasar : sinus
QRS rate : 94 kali/menit
Regularitas : regular
PR interval : 0,20 detik

4
Axis : right axis deviation
Morfologi :
- Gelombang P : durasi 0,08 detik, bifasik pada V1
- Kompleks QRS : durasi 0,2 detik, terdapat konfigurasi RsR di sadapan III,
rsR pada V3, gelombang R lebar dan bertakik pada sadapan
II, AVF, dan V4, morfologi resiprokal RsR pada AVL,
gelombang S melebar pada sadapan I, dan S dalam ( 12 mm)
pada sadapan V5 dan V6
- ST segmen : Normal pada semua sadapan
- Gelombang T : Normal pada semua sadapan
Interpretasi : 1. Konfigurasi RsR di sadapan III, rsR pada V3,
Gelombang R lebar dan bertakik pada sadapan II, AVF,
dan V4 menandakan adanya perlambatan depolarisasi
ventrikel sebelah kanan.
2. Konfigurasi resiprokal RsR pada AVL dan S yang dalam
Pada V5 dan V6 mendukung adanya perlambatan arus
depolarisasi ventrikel kanan, yang menunjukkan arah
gelombang depolarisasi mengarah ke kanan pada akhir
kompleks QRS.
3. Durasi kompleks QRS yang normal pada semua sadapan
menunjukkan kesan incomplete block pada serabut
berkas kanan.
4. Adanya kesan incomplete block pada serabut berkas
kanan belum dapat diketahui pasti apakah penyebabnya
terdapat pada kegagalan jalur konduksi elektrik jantung
atau secara sekunder mengalami perlambatan akibat
pembesaran jantung sebelah kanan.

5
Diagnosis : Sinus rhytm, HR 94 x/menit, right axis deviation
dengan incomplete RBBB

E. Pemeriksaan Foto Thorax Konvensional (6/8/2015)

Interpretasi :
- Corakan bronkovaskular paru meningkat.
- Cor sulit dinilai, kesan membesar. Pinggang jantung menonjol, apex terangkat
(RVE), aorta normal.
- Kedua sinus dan diafragma baik
- Tulang-tulang intak
- Kesan :
- Cardiomegaly dengan tanda-tanda L to R shunt
- Usul : Konfirmasi dengan Echocardiography

6
F. Pemeriksaan Laboratorium (11/8/2015)
LAB NILAI UNIT
WBC 5,1 (10/UI)
RBC 4,71 (106/UI)
HGB 12,1 (gr/dL)
HCT 36,2 (%)
PLT 212 (103/uL)
GDS 85 mg/dL
Ureum/Creatinin 19/0,5 mg/dL
SGOT 18 mmol/L
SGPT 19 mg/dL
BT 2,30 minutes
CT 7,00 minutes
PT 11,9 seconds
aPTT 28,4 seconds
INR 1,11
Natrium 142 mmol/L
Kalium 3,9 mmol/L
Klorida 111 mmol/L
Kesan : Normal

7
G. Pemeriksaan Ekokardiografi
1. Transtorakal Ekokardiografi (21/5/2015)

Interpretasi :
- Fungsi sistolik ventrikel kiri normal, ejeksi fraksi 63%
- Dimensi ruang-ruang jantung : RA dan RV dilatasi (LVEDd 4,0 cm, LA mayor
5,8 cm, LA minor 2,7 cm, RA minor 4,4 cm, RVDB 3,2 cm)
- Hipertrofi ventrikel kiri : negatif
- Pergerakan miokard : Global normokinetik

8
- Fungsi sistolik ventrikel kanan baik, tricuspid angular plane sistolik excursion
1,8 m
- Katup-katup jantung :
Mitral : Fungsi dan pergerakan baik
Aorta : 3 cuspis, kalsifikasi negatif, fungsi dan pergerakan baik
Trikuspid : Trikuspid regurgitasi sedang (TR maxPG :69,73
mmHg)
Pulmonal : Pulmonal regurgitasi ringan
- E/A >2
- ASD Sekundum besar (ukuran 2,6 cm, Rim anterior 1,4 cm, Rim posterior 0,8
cm) dengan left to the right shunt (Qp : Qs = 3,9)
- eRAP : 10 mmHg
- Kesimpulan :
o ASD Sekundum besar dengan left to the right shunt
o Pulmonal hipertensi sedang
o Atrium kanan dan ventrikel kanan dilatasi
- Usul : Kateterisasi Jantung
2. Transesofageal Ekokardiografi (13/8/2015)

9
Interpretasi :
Tampak defek di septum interatrial ukuran 2,9 cm, rim anterior 0,6 cm, rim
posterior 0,8 cm, rim SVC 1,1 cm, rim IVC floppy 0,7 cm.
Kesan :
ASD Sekundum

H. Diagnosis Kerja
Atrial Septal Defect Sekundum

I. Penatalaksanaan
- ASD Closure
- Furosemid 40 mg/24jam/oral

10
TINJAUAN PUSTAKA
ATRIAL SEPTAL DEFECT (ASD)

I. DEFINISI
Defek septum atrium/atrial septal defect (ASD) adalah salah satu
kelainan jantung kongenital di mana terdapat hubungan antar atrium kanan dan
kiri karena adanya defek/lubang pada sekat atrium. Defek ini memungkinkan
adanya aliran darah antar atrium, yaitu dari atrium kiri ke kanan dan pada
keadaan yang lebih buruk yaitu dari kanan ke kiri(1). Adanya aliran ini
disebabkan karena perbedaan tekanan, yang mana membuat darah yang kaya
akan oksigen pada atrium kiri kembali bercampur dengan darah yang kurang
oksigen pada ventrikel kanan, sehingga membuat total darah yang dipompa ke
seluruh tubuh berkurang akibat adanya left to right shunt.(2)

Gambar 1. Jantung dengan ASD

Pada sebagian besar kasus, penyakit ini jarang menimbulkan gejala dan
biasanya ditemukan secara spontan pada saat dewasa. Akan tetapi, berat
ringannya penyakit tergantung dari seberapa besar kebocoran sekatnya,
beberapa gejala yang sering muncul yaitu infeksi saluran napas berulang, sesak

11
saat beraktivitas, berdebar-debar, bahkan adanya gangguan pertumbuhan yang
nantinya akan dibahas lebih lanjut pada bagian selanjutnya.(2)

II. KLASIFIKASI(3)

Gambar 2. Klasifikasi ASD

Menurut lokasi terjadinya defek septum, penyakit ini digolongkan


menjadi :
1. Ostium sekundum
Ostium sekundum merupakan jenis ASD yang paling sering (75-
80% dari semua kasus ASD) , di mana terdapat defek pada bagian
tengah dari septum interatrkium, di daerah foramen ovale.
2. Ostium primum
Ostium primum jenis ASD kedua tersering (15-20% dari kasus
ASD), di mana terdapat defek pada bagian bawah dari septum
interatrium yang sering juga disertai dengan gangguan pada katup
mitralis.
3. Sinus Venosus
ASD tipe sinus venosus merupakan ASD terjarang dengan 5-10%
dari keseluruhan kasus. Berlokasi di daerah superior dari septum.

12
III. EPIDEMIOLOGI
Kejadian kelainan kongenital pada system kardiovaskular sulit
ditentukan secara akurat, oleh karena ada beberapa hal yang tidak terdeteksi
pada saat kelahiran, misalkan kelainan katup aorta bicuspid, prolaps katup
mitral, defek septum atrium, dan lainnya. Adapun frekuensi kejadian beberapa
malformasi kongenital jantung menurut persentase insidensinya adalah defek
septum ventrikel 30,5%, defek septum atrium 9,8%, duktus arteriosus persisten
9,7%, stenosis pulmonal 6,9%, koarktasio aorta 6,8%, dst. (1)
Defek septum atrium merupakan penyakit jantung kongenital kedua
setelah defek septum ventrikel (VSD). ASD terdapat pada 1 dari 1.500
kelahiran hidup, dan diperkirakan telah mengalami peningkatan akibat
berkembangnya teknologi pemeriksaan jantung. Menurut jenis kelamin,
perbandingan perempuan dan laki-laki pada penyakit ini yaitu 2:1.(1, 3)

IV. ETIOLOGI
Penyebab pasti dari ASD belum dapat diidentifikasi secara pasti, dan
diperkirakan banyak factor yang berpengaruh, bahkan pula dapat bersifat
idiopatik atau spontan. Salah satu penyebab terjadinya menurut penelitian yaitu
adanya mutasi pada gen cardiac transcription factor NKX2.5, yang
berpengaruh pada ASD familial diturunkan secara autosomal dominan. Selain
itu, ASD timbul lebih sering pada pasien syndrome down (trisomy 21), ebstein
anomaly, fetal alcohol syndrome, Holt-Oram Syndrome, Lutembachers
syndrome. (3)
Selain itu, faktor risiko terjadinya ASD adalah infeksi rubella (german
measles) selama kehamilan, paparan obat-obatan, tembakau, dan alkohol, serta
adanya riwayat lupus dan diabetes pada ibu juga berpengaruh terhadap angka
kekerapan munculnya ASD. Namun masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut
terkait hal ini.(4)

13
V. PATOGENESIS
Sebelum membahas mengenai pathogenesis dari ASD, maka perlu
diketahui terlebih dahulu tahapan embriologi pembentukan septum atrium dan
anatomi terkait.(3, 5)

Gambar 3. Tahap pembentukan septum interatrium

Pada tahap awal di usia 4 sampai 5 minggu gestasi, terbentuk septum


primum yang berpangkal dari aspek superior atrium mengarah ke inferior
namun tidak sampai ke endocardial cushion, proses ini membentuk ostium
primum dan foramen interventrikular. Selanjutnya, septum primum muncul
dari endocardial cushion menutup ostium primum, di saat yang bersamaan
bagian superior dari septum primum berdegenerasi membentuk ostium
sekundum untuk menjamin darah tetap teralirkan dari atrium kanan ke atrium
kiri pada sirkulasi fetal. Setelah itu, terbentuk septum sekundum yang berasal

14
dari superior dan inferior pada atrium namun tidak menyatu, membentuk
foramen ovale. Septum primum tadi yang kemudian berfungsi sebagai katup
foramen ovale, yang menjamin aliran darah dari atrium kanan ke kiri, namun
menghalangi aliran balik darah dari atrium kiri ke atrium kanan pada sirkulasi
fetal.(3, 5)

Gambar 4. Anatomi ASD tipe Sekundum

Pada kasus ASD tipe sekundum yang merupakan tipe ASD terbanyak,
di mana terjadi resorpsi berlebihan dari septum primum pada pembentukan
ostium sekundum sehingga katup foramen ovale relative memendek, atau dapat
pula disebabkan oleh kurang berkembangnya septum sekundum pada saat
pembentukan foramen ovale sehingga terbentuk foramen ovale yang besar.(1, 3)
Pada tipe ASD primum, terjadi kegagalan fusi septum primum dengan
endocardial chusion menyebabkan terdapatnya defek septum. Defek ini sangat
berdekatan dengan katup atrioventrikular, dan sering mengakibatkan kelainan
pada katup mitral pars septal atau anterior, namun katup tricuspid biasanya
masih intak.(1, 3)

15
Selanjutnya pada ASD tipe sinus venosus, terjadi abnormalitas fusi
antara sinus venosus embrional dengan atrium. Pada sebagian besar kasus tipe
ini, defek terjadi pada aspek superior septum interatrium dekat dengan jalur
masuk vena cava superior. Sering juga terdapat anomaly drainase vena
pulmonalis dextra superior.(3)

VI. PATOFISIOLOGI
Defek septum atrium merupakan penyakit kongenital di mana terdapat
defek pada septum yang menghubungkan antara atrium kiri dan kanan,
sehingga memungkinkan terjadinya arus darah antar atrium. Pergerakan darah
di jantung sangat dipengaruhi oleh perbedaan tekanan antar ruang jantung,
komplians dinding ruang jantung (atrium/ventrikel), dan pada ASD juga
sangat dipengaruhi oleh luas defek septum. Semakin beda tekanan, komplians,
dan besar defeknya, semakin besar pirau yang terjadi, dan semakin besar pula
dampak yang terjadi dalam sirkulasi.(2, 6)

Gambar 5. Patofisiologi ASD

Siklus jantung terdiri dari fase sistol dan diastol, di mana pada saat
sistolik terjadi pemompaan darah dari jantung ke paru-paru atau ke seluruh
tubuh melalui ventrikel kanan dan kiri yang bertekanan tinggi, sedangkan pada
fase diastolic terjadi pengisian darah di jantung dari paru-paru dan dari seluruh
tubuh. Atrium kiri menerima darah dari paru, dan atrium kanan menerima

16
darah dari seluruh tubuh. Secara umum, jantung terdiri dari ruang kanan dan
kiri, di mana rata-rata tekanan di sisi kiri lebih tinggi dari sisi kanan, karena
kerja mereka lebih berat. Maka ketika fase diastolik pengisian darah di kedua
atrium, pada umumnya terjadi aliran darah dari atrium kiri ke kanan karena
tekanan di atrium kiri lebih tinggi beberapa milimeterHg dari atrium kanan,
setelah itu darah mengalir ke ventrikel kanan dan dipompa kembali ke paru,
sedangkan darah di sisi kiri jantung yang berada di ventrikel kiri relatif lebih
sedikit, sehingga lebih sedikit pula yang dipompa.(2, 6)
Proses tersebut di atas dinamakan left to right shunt sehingga
vaskularisasi paru lebih banyak dari vaskularisasi sistemik (Qp>Qs). Pada
sebagian besar kasus ASD tidak menimbulkan gejala, tergantung pada
seberapa besar volume darah yang berpindah. Jika hal ini terus berlangsung,
maka akan terjadi volume overload pada sisi kanan jantung yang menyebabkan
dilatasi atrium kanan dan ventrikel kanan. Karena banyaknya beban yang
harus dipompa, maka regangan dinding jantung meningkat dan membutuhkan
daya pompa yang lebih kuat sehingga menyebabkan hipertofi ventrikel kiri.
Vaskularisasi paru yang terus meningkat menyebabkan vascular bed paru yang
terus terisi, lama kelamaan menyebabkan hipertensi pulmonal, yang semakin
meningkatkan lagi pressure overload yang terjadi pada sisi kanan jantung.(7)
Ketika tekanan di sisi kanan lebih tinggi baik itu akibat hipertensi
pulmonal atau kongesti, maka dapat terjadi pirau dari atrium kanan ke kiri
(right to left shunt) yang disebut sebagai sindrom eisenmenger yang memiliki
prognosis lebih buruk. Hal ini disebabkan darah dari sisi kanan jantung yang
cenderung hipoksik langsung dialirkan ke seluruh tubuh.(3)

VII. PATOMEKANISME GEJALA (SYMPTOMATOLOGI)


Defek septum atrium sebagian besar tidak bergejala, apalagi jika defek
tidak terlalu luas, dan kebanyakan terdeteksi secara tidak sengaja melalui
pemeriksaan rutin, di mana didapatkan bising jantung atau keluhan lemah dan

17
berdebar-debar yang kemudian diperiksa lebih lanjut melalui EKG dan
echocardiography.(2)
Jika defek septum luas atau perlangsungan penyakit sudah lama
sehingga menyebabkan hipertensi pulmonal, volume overload, pressure
overloadedema paru, dilatasi dan hipertrofi atrium dan ventrikel kanan maka
gejala-gejala sudah mulai dirasakan.(2)
Gejala-gejala yang terjadi adalah sebagai berikut(1-3, 6) :
1. Sesak
Sesak (dyspnea) disebabkan oleh hipervaskularisasi paru yang
menyebabkan vascular bed paru sehingga mengisi ruang interstisial dan
menghalangi proses difusi oksigen. Sesak ini cenderung bertambah jika
beraktivitas, karena pada saat aktivitas kebutuhan oksigen meningkat
disamping itu pada saat aktivitas terjadi takikardi di mana periode diastolik
menurun dan cardiac output ke paru meningkat sehingga menyebabkan darah
cenderung tertahan di paru.
2. Cepat lelah (fatigue)
Keluhan cepat lelah jelas disebabkan karena menurunnya cardiac
output ke seluruh tubuh sehingga suplai darah dan oksigen ke seluruh organ
menurun menyebabkan menurunnya kapasitas kerja setiap organ. Bahkan pada
sebagian kasus terjadi perlambatan pertumbuhan pada anak akibat kurangnya
sirkulasi sistemik.
3. Nyeri dada
Keluhan nyeri dada disebabkan oleh ketidakseimbangan kebutuhan
oksigen dengan suplai oksigen. Mekanisme yang mendasari hamper mirip
dengan kelelahan tubuh, di mana karena terdapat pirau dari kiri ke kanan, maka
suplai darah koroner cenderung berkurang, di saat yang bersamaan jantung
bagian kanan terus bekerja keras karena beban yang berlebihan. Keadaan
hipoksia ditingkat selular menyebabkan metabolism bergeser dari aerob ke
anaerob dan dilepaskannya sejumlah zat termasuk adenosine, laktat,

18
norepinefrin yang merangsang serabut saraf simpatik aferen yang
menyebabkan terjadinya nyeri. Mekanisme ini mirip dengan angina pectoris
pada penyakit jantung koroner.
4. Berdebar-debar
Adanya pirau kiri ke kanan, menyebabkan dilatasi atrium kanan.
Adanya dilatasi menyebabkan perpanjangan jalur konduksi. Jalur konduksi
yang memanjang rentan mencetuskan fenomena re-entry. Hal ini dapat
mencetukan terjadinya aritmia, terutama fibrilasi atrial, flutter atrial, dan
paroksismal atrial takikardia yang dapat dirasakan sebagai keluhan berdebar-
debar.
5. Infeksi Saluran Napas Berulang
Infeksi saluran napas berulang pada masa kanak-kanak bisa menjadi
petunjuk bahwa terdapat kelainan jantung kongenital. Pasien dengan kelainan
jantung kongenital dengan left to right shunt seperti defek septum ventrikel,
defek septum atrium dan paten duktus arteri menyebabkan aliran darah paru
meningkat, yang pada ujungnya menyebabkan edema paru. Edema paru dapat
menjadi focus infeksi bakteri yang menyebabkan seseorang rentan terhadap
infeksi saluran napas bagian bawah berulang. Gejala berupa batuk, sesak,dan
demam.

VIII. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik terdiri dari inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
Penemuan yang didapatkan dari pemeriksaan fisik sangat bergantung dari besar
tidaknya defek yang terjadi, volume pirau yang terjadi, daya regang pada ruang
jantung, dan resistensi dari sirkulasi pulmonal dan sistemik, karena hal tersebut
mempengaruhi derajat penyakit.(1, 3)
Pada inspeksi sulit untuk mendapatkan kelainan. Pada palpasi dapat
teraba impuls sistolik pada tepi kiri bawah sternum yang menunjukkan
kontraksi hiperdinamik dari ventrikel kanan yang membesar dan kadang-

19
kadang juga dapat teraba pulsasi arteri pulmonal pada daerah di sekitar katup
pulmonal.(2)
Pada pemeriksaan perkusi, kemungkinan terdapat pelebaran batas-batas
jantung akibat kardiomegali, akibat pembesaran ruang-ruang jantung terutama
atrium dan ventrikel kanan. Pada auskultasi, bunyi jantung dapat terdengar
wide-fixed split di mana terdapat gap pada bunyi jantung S2 antara A2 dan P2.
Pada keadaan normal, memang terdapat gap pada saat inspirasi sehingga terjadi
split pada S2 (bunyi jantung 2 pecah). Hal ini disebabkan pada saat inspirasi,
tekanan intrathorakal bersifat negative (seperti vakum) yang menyebabkan
pengembalian darah dari vena cava ke atrium kanan dan ventrikel kanan
meningkat. Peningkatan ini membuat volume sekuncup sisi kanan sedikit lebih
banyak, hal ini menyebabkan durasi sistolik ventrikel kanan relatif lebih lama
dari durasi sistolik ventrikel kiri yang kemudian menyebabkan katup pulmonal
menutup lebih lambat dari katup aorta. Namun pada keadaan ASD, volume
diastolik akhir dari ventrikel kanan selalu lebih tinggi akibat adanya aliran dari
atrium kiri, maka menyebabkan split tetap ada tanpa memperhatikan apakah
saat fase inspirasi ataupun ekspirasi, istilah inilah yang disebut wide-fixed
split.(6)

Gambar 6. Wide-Fixed Split pada ASD

Temuan lainnya dalam auskultasi yaitu bising sistolik di intercostalis 2

20
sinistra linea para sternalis. Hal ini disebabkan adanya volume darah yang
relatif besar melalui katup pulmonal pada saat fase sistolik menyebabkan
stenosis relative katup pulmonal sehingga menimbulkan bising ejeksi sistolik.
Bising mid-diastolik di linea parasternalis kanan daerah katup mitral juga dapat
didengar, akibat adanya volume darah yang besar melewati katup mitral pada
fase diastole menyebabkan terjadinya bising mid-diastolik katup mitral. Bising
yang berasal dari aliran darah atrium kiri ke atrium kanan tidak terdengar,
karena perbedaan tekanan pada kedua ruang tersebut tidak terlalu besar.(3, 6)

IX. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. ELECTROCARDIOGRAPHY
Karakteristik dasar yang dapat ditemukan pada pemeriksaan EKG yaitu
tanda-tanda hipertrofi ventrikel kanan, yang sering disertai dengan tanda-tanda
pembesaran atrium kanan dengan gelombang p pulmonal. Selain itu terdapat,
complete atau incomplete right bundle branch block. Jika defeknya terdapat
pada ostium primum, maka didapatkan deviasi axis ke kiri oleh karena adanya
displacement dan hypoplasia dari fasikulus anterior cabang berkas kiri.(3)

Gambar 7. Konfigurasi rsR' di V1 pada Right Bundle Branch Block

21
Pada ASD tipe sekundum, terdapat deviasi axis ke kanan dengan
konfigurasi rSR di V1 yang menandakan perlambatan konduksi atau blockade
jalur berkas kanan pada ventrikel kanan. Pada ASD tipe sinus venosus, terdapat
deviasi axis ke kiri dan gelombang P negatif di lead III. Terkadang dapat
ditemukan perpanjangan interval PR pada ostium primum ASD karena
pembesaran atrium kiri sehingga menambah jarak antar nodus.(3, 6)

2. ECHOCARDIOGRAPHY
Pemeriksaan echocardiography merupakan pemeriksaan yang sangat
dianjurkan dalam mendiagnosis ASD, walaupun bukan gold standar diagnosis.
Pemeriksaan ini mudah, cepat, murah, dan tidak invasif serta dapat dengan baik
memperlihatkan struktur dinding jantung, katup, pergerakan, tekanan dan
volume ruang jantung secara real-time. Kekurangan dari modalitas ini adalah
bersifat operator-dependent , yaitu sangat bergantung pada cara, kemampuan,
dan pengalaman operator.(2, 3)
Pemeriksaan ini terbagi menjadi dua, yaitu TTE (transthoracal
echocardiography), yaitu sadapan (probe) diletakkan di dinding dada dan TEE
(transesophageal echocardiography) yaitu sadapan (probe) dimasukkan
melalui esophagus, untuk menangkap gambar yang lebih akurat.(2, 3)

Gambar 8. ASD pada Echocardiography dan gambaran RBB pada EKG

22
Diagnosis awal ASD melalui pemeriksaan TTE yang dapat menunjukkan
gambaran ruang ventrikel kanan, ventrikel kiri, katup pulmonal, dan septum
interatrium. Pada gambar 8 terlihat adanya defek pada garis putih yang
membatasi atrium kiri dan kanan, atrium kanan, dan adanya dilatasi vena
pulmonalis yang bermuara ke atrium kiri. Aliran darah juga dapat dengan jelas
jika diberikan warna, terlihat aliran bolak-balik sesuai dengan fase sistol dan
diastol jantung.(2, 6)

Gambar 9. Pemeriksaan TEE dengan color menunjukkan aliran darah pada ASD

Pemeriksaan TTE biasanya dilanjutkan dengan TEE untuk lebih


memperjelas pemeriksaan, mengonfirmasi luas defek, mencari kelainan lain
yang mungkin menyertai ASD. Pada gambar 9 terlihat TEE dengan efek color
pada atrium yang menunjukkan hubungan langsung antara atrium kiri dengan
kanan. TEE juga biasanya dijadikan guider dalam memasang perangkat untuk
menutup defek pada saat kateterisasi. Pada ASD tipe sinus venosus misalnya,
defek tidak terlalu jelas pada TTE, namun terdapat abnorlamitas dari
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan TTE seperti dilatasi ruang jantung kanan
dan dilatasi vena pulmonalis, maka dilakukan TEE untuk mendeteksi penyebab
pasti kelainan ini.(2, 6)

23
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG LAINNYA
Pemeriksaan darah rutin tidak terlalu berperan dalam mendiagnosis
kelainan ini. Pemeriksaan ini berguna sebelum dilakukannya kateterisasi
penutupan defek secara invasif. Panel yang diperiksa seperti darah rutin, tipe
golongan darah, profil lipid dan metabolik, serta PT (protrombin time), aPTT
(activated partial thrmboplastin time) untuk mendeteksi ada tidaknya gangguan
hemostasis, penyakit penyerta seperti infeksi dan metabolik.(3)
Pemeriksaan gold standard untuk konfirmasi pasti diagnosis ASD adalah
kateterisasi jantung (penyadapan jantung), namun setelah berkembangnya
teknologi USG jantung dalam hal ini echocardiography maka pemeriksaan ini
sudah jarang dilakukan dalam diagnosis ASD karena invasif dengan banyak
kemungkinan efek samping. Alat ini digunakan terutama dalam hal
penatalaksanaan ASD. Alat ini dapat dengan akurat mengukur perbedaan
tekanan ruang jantung, saturasi oksigen, kecepatan aliran darah, luas katup,
volume ejeksi, patensi pembuluh darah, serta dimensi ruang-ruang jantung
secara real-time.(1)

X. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan ASD terbagi menjadi dua, yaitu terapi simptomatik
dengan pengobatan, dan terapi definitif dengan penutupan defek baik itu secara
transkateter atau operatif.(8)

Gambar 10. Amplatzer Septal Occluder

24
Indikasi penutupan ASD adalah jika terdapat pembesaran atrium kanan
atau ventrikel kanan baik itu simtomatik maupun asimptomatik, kenaikan
tekanan arteri pulmonalis 50% atau < 2/3 dari tekanan aorta, atau ada riwayat
stroke transien (paradoxical embolism). Kontraindikasi tindakan penutupan
jika terjadi peningkatan tekanan pulmonal >2/3 aorta, Qp:Qs = >1,5:1, atau
terjadi sindrom eisenmenger (right to left shunt) dengan aliran pirau irreversibel
setelah pemberian vasodilator arteri pulmonal. Selain itu, juga belum
dianjurkan untuk operasi jika ukuran defek kurang dari 8 mm tanpa adanya
keluhan dan pembesaran jantung kanan. Tindakan penutupan dapat dilakukan
dengan operasi terutama untuk defek yang sangat besar lebih dari 40 mm, atau
tipe ASD selain tipe sekundum, sedangkan untuk ASD tipe sekundum dengan
defek kurang dari 40 mm dapat dipertimbangkan penutupan dengan Amplatzer
Septal Occluder (ASO), di mana penutupan dilakukan dengan perkutan melalui
kateter yang dimasukkan ke dalam vena femoralis menuju ke atrium kanan
dengan bantuan TEE atau fluoroskopi untuk mengarahkan kateter hingga
sampai ke lokasi defek kemudian penutup dikembangkan. (3, 7, 8)
Untuk terapi medikamentosa, dapat diberikan sesuai gejala yang timbul.
Jika terdapat tanda-tanda edema paru dapat diberikan furosemid. Jika terdapat
gangguan ritme dapat diberikan antiaritmia.(8)

XI. PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI


Jika tidak ditangani, usia harapan hidup pada pasien ASD tentunya lebih
rendah dari populasi normal, di mana usia harapan hidup yang melebihi 40-50
tahun itu kurang dari 50%, dan peningkatan angka kematian setelah usia 40
tahun sebesar 6% tiap tahun.(3)
Angka mortalitas setelah penutupan yaitu <1% pada pasien <45tahun
tanpa gagal jantung dan yang mempunya tekanan sistolik sirkulasi pulmonal
<60mmHg. Pembedahan sebelum usia 25 tahun, dapat memberikan usia
harapan hidup rata-rata 30 tahun dibandingkan dengan usia dan jenis kelamin

25
yang sama. Jika pembedahan dilakukan pada usia 25-40 tahun, angka harapan
hidup berkurang disbanding pada pembedahan <25 tahun. Jika tekanan arteri
pulmonalis sistolik >40 mmHg, maka angka harapan hidupnya berkurang
<50% dibandingkan control. Pembedahan juga dapat dilakukan meskipun usia
>60 tahun karena dapat mengurangi gejala, selama keadaan umum stabil, tidak
ada kontraindikasi, dan masih terdapat aliran left to the right shunt.(3)
Komplikasi dari ASD adalah hipertensi pulmonal (mPAP >20 mmHg).
Selain itu juga dapat terjadi gagal jantung kanan akibat volume overload dan
pressure overload dari sirkulasi paru. Sindrom Eisenmenger juga merupakan
komplikasi lanjut dari ASD di mana terjadi aliran dari kanan ke kiri akibat
tekanan yang meningkat. Aliran ini memungkinkan terjadinya pemompaan
darah yang kurang oksigen ke sirkulasi sistemik secara langsung, sehingga
mempunyai dasar mekanisme yang sama dengan penyakit jantung kongenital
sianotik. Komplikasi ini sangat menurunkan toleransi aktivitas, dan kualitas
hidup karena dapat mengganggu system hematologi, saraf pusat, dan kerusakan
ginjal, serta meningkatkan mortalitas dan morbiditas.(3)

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Ghanie A. Penyakit Jantung Kongenital pada Dewasa. In: Sudoyo A, Setiyohadi, B.,
Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S, editor. Ilmu Penyakit Dalam. V ed. Jakarta: Interna
Publishing; 2009.
2. Child J. Congenital Heart Disease in the Adult. In: Fauci ea, editor. Harrison's Principle
of Internal Medicine. 17th ed. USA: MC-Graw Hill; 2008.
3. Atler DH ea. Atrial Septal Defect. Medscape; 2014 [cited 2015 August, 19th]; Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/162914-overview#a6.
4. anonim. Risk factor atrial septal defect. USA: Mayo Clinic; 2014 [cited 2015 August
19th]; Available from: http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/atrial-septal-
defect/basics/risk-factors/con-20027034.
5. Robert J. Sommer MZMH, MD, MPH; John F. Rhodes Jr, MD. Pathophysiology of
Congenital Heart Disease in the Adult. AHA Journals. 2008;117:1090-9.
6. Berg D. BD. Patophysiology of Heart Disease. 5th edition ed. Lily Lea, editor. USA:
Lippincott williams and wilkins; 2011.
7. Kim NK PS, Choi JY. Transcatheter Closure of Atrial Septal Defect: Does Age Matter?
Korean Circ J. 2011;41(11): 6338.
8. Warnes C, et al. ACC/AHA 2008 Guidelines for the Management of Adults With
Congenital Heart Disease: Executive Summary. AHA Journals. 2008.

27

Vous aimerez peut-être aussi