Vous êtes sur la page 1sur 6

AMMATOA

Perempuan Kajang adalah perempuan yang taat pada tradisi. Tradisi yang
diturunkan secara turun-temurun dari para leluhur yang telah berlangsung
ratusan tahun.

Salah satu tradisi yang diturunkan dan dikerjakan oleh perempuan suku
Kajang adalah menenun kain khas suku Kajang.

Membahas tentang tenun, berarti sangatlah erat kaintannya dengan


perempuan. Perempuan-perempuan tanah air memiliki tangan-tangan
terampil yang lahir secara alamiah. Di tangan perempuanlah lahir kain-kain
Nusantara yang mencerminkan corak suatu komunitas atau kebudayaan.

Di situlah posisi dan peran perempun suku Kajang ditempatkan.

Proses menenun sarung hitam

Suku kajang adalah sebuah komunitas adat di Sulawesi Selatan yang di kenal
dengan pakainan hitam dan setiap hari mereka mengenakan pakaian
berwarna hitam (tope leleng).

Tope leleng atau sarung hitam adalah sarung khas kajang yang dibuat
dengan proses alamiah dan ditenun dari tangan-tangan terampil perempuan
Kajang.

Sarung ini adalah pakaian masyarakat Kajang yang digunakan sehari-hari.


Sarung ini juga menjadi syarat ketika ada upacara-upacara adat di Kajang.

Ikatan bathin perempuan suku Kajang dengan alam sangat lekat. Tenun
Kajang yang merupakan sebuah budaya dimana prosesnya memiliki ikatan
dengan alam, membuat peran perempuan Kajang sangat strategs.

Alat-alat tenun yang digunakan adalah warisan nenek moyang yang terbuat
dari bambu dan kayu. Pada umumnya ibu-ibu di Kajang menenun di bawah
rumah atau biasa juga disebut Siring.

Sarung hitam ini di buat dengan proses tradisional dengan tangan-tangan


terampil perempuan Kajang.

Gadis Kajang wajib bisa menenun

Tidak semua perempuan (ibu) di sana bisa menenun. Keterampilan menenun


juga lahir secara turun temurun. Tidak semua anak perempuan suku Kajang
diberi bakat untuk menenun. Tetapi, bagi perempuan atau para gadis suku
Kajang wajib meneruskan tradisi menenun kain hitam suku Kajang ini.
Pertama mereka menanam daun tarung, selama beberapa bulan daun tarung
mereka petik kemudian di rendam beberapa hari dalam baskom atau ember.

Daun tarung adalah sejenis tumbuhan yang menghasilkan warna hitam yang
mereka gunakan sebagai pewarna hitam untuk benang.

Sekarang orang-orang di Kajang menggunakan benang katun putih yang


biasanya di pasok dari pasar butung Makassar. Dahulu sebelum
menggunakan benang mereka menggunakan bahan baku dari kapas.

Benang- benang putih mereka kemudian direndam beberapa hari dalam


baskom yang, dan jemur dibambu panjang di bawah terik matahari selama
beberapa jam.

Setelah proses mengitamkan benang dari daun tarung selesai. Benang-


benang tersebut kemudian di pintal dan di masukkan kedalam alat tenun.
Proses menenun satu sarung adalah tiga sampai empat bulan lamanya.

Sarung hitam ini biasanya di beri motif biru, merah dan putih, yang di buat
vertical. Motifnya tidak ramai seperti kain-kain etnik pada umumnya. Sesuai
dengan prinsip masyarakat Kajang sendiri, yaitu sederhana.

Selain sarung hitam, mereka juga juga menenun passapu. Passapu adalah
kain hitam yang digunakan sebagai ikat kepala.

Setelah melalui proses panjang, sarung hitam ini kemudian dibuat


mengkilat, dalam bahasa Kajang di sebuat garusu. Sarung hitam dibuat
mengkilat dengan menggunakan Kerang dari laut.

Sarung Kajang tidak diproduksi dalam jumlah yang banyak sehingga tidak
banyak ditemukan di toko penjaja oleh-oleh di Makassar.

Desa Adat Ammatoa berada di Desa Tana Towa, Kecamatan Kajang,


Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Gerbang masuk berupa pendopo
kayu dengan atap dari jerami dengan bernuansa hitam. Ada papan nama yang
menggantung besar bertuliskan "Selamat Datang Kawasan Adat Ammatoa".

Di depan pendopo ada Sekolah Dasar (SD) yang menjadi tempat menimba
ilmu anak-anak Desa Tana Towa. Saat jam pulang sekolah tiba, puluhan
anak menyeruak keluar dari kelas-kelas mereka. Berjalan bersama kawan-
kawannya pulang ke rumah.

Ada satu yang menjadi perhatian dari siswa Sekolah Dasar Negeri (SDN)
351 Kawasan Ammatoa Kecamatan Kajang tersebut yaitu pada seragam
yang mereka gunakan. Berbeda dengan siswa sekolah dasar pada umumnya
di sebagian wilayah di Indonesia yang menggunakan seragam putih dan
merah, siswa SD di desa Tana Towa mengenakan seragam putih dan hitam.

Warna hitam sepertinya memang sudah menjadi simbol masyarakat Desa


Tana Towa yang didiami oleh Suku Kajang. Hitam, bagi mereka merupakan
filosofi hidup. Dari gelapnya rahim di kandungan ibu kembali ke gelapnya
liang kubur saat meninggal. Warna hitam pula yang menjadi pakaian warga
desa setiap harinya. Mulai dari sarung, baju hingga penutup kepala.

KOMPAS.COM/FITRI PRAWITASARI Anak-anak Sekolah Dasar (SD)


Desa Adat Ammatoa, Desa Tana Towa, Kecamatan Kajang, Kabupaten
Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Masuk ke kawasan desa adat Ammatoa, disambut oleh tanah bebatuan dan
rerimbunan pepohonan besar di sepanjang jalan masuk. Hal tersebut tidak
hanya ditemui pada jalan masuk melainkan seluruh kawasan desa yang
sebagian besarnya memang masih merupakan kawasan hutan. Sedangkan
nama Ammatoa adalah sebutan bagi kepala adat Suku Kajang. Untuk
komunikasi sehari-hari, mereka menggunakan bahasa Konjo.

Sesekali terlihat rumah penduduk berbentuk panggung memanjang terbuat


dari kayu. Tak jarang juga terlihat sang pemilik rumah sedang beraktifitas di
sekelilingnya. Semakin diperhatikan, ternyata bentuk rumah penduduk
adalah sama, pun menghadap ke satu arah yang sama. Pada pekarangan di
setiap rumah mereka, rata-rata memiliki binatang peliharaan. Entah ayam,
sapi atau kuda.
KOMPAS.COM/FITRI PRAWITASARI Gerbang Masuk desa adat
Ammatoa, Desa Tana Towa Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba,
Sulawesi Selatan.

Dalam kesehariannya, masyarakat Suku Kajang masih menganut berbagai


mitos. Hal tersebut bukan bermaksud menakut-nakuti melainkan untuk
menjaga perilaku masyarakat supaya tetap serasi hidup berdampingan
dengan alam.

"Menurut Ammatoa cara hidup kita di sini diatur oleh Pasang. Pasang
semacam petuah yang tidak tertulis yang disampaikan secara lisan kepada
leluhur. Pasang meliput beberapa unsur dalam kehidupan baik mengatur
bidang kelangsungan hidup dan lain-lain," ujar Kepala Desa Tana Towa,
Sultan.

Sultan pun mengatakan, adanya Ammatoa bertugas untuk mendoakan


manusia dan seisi alam agar jauh dari bahaya. Karena masyarakat Suku
Kajang meyakini daerah dimana mereka tinggal sekarang, Tana Towa,
adalah tanah tertua yang ada di dunia sebelum adanya kehidupan.

Kehidupan masyarakat Desa Adat Ammatoa bisa dibilang tak tersentuh oleh
modernisasi. Tak akan ditemui benda elektronik, telepon selular dan listrik.
Bahkan mobil dan motor pun tak dapat masuk ke pemukiman masyarakat
desa yang akses jalannya masih didominasi bebatuan. Pendopo di gerbang
masuk desa seakan menjadi pembatas kehidupan modern dan kehidupan adat
khas Suku Kajang.

Rumah masyarakat desa adat Ammatoa, Desa Tana Towa Kecamatan


Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Bukannya mereka menolak kemajuan teknologi yang ada melainkan mereka
memiliki konsep hidup dengan cukup. Memanfaatkan apa yang telah alam
sediakan kepada mereka dengan sewajarnya dan tetap menjaga
kelestariannya.

Perhatian banyak kalangan

Konsep hidup masyarakat Suku Kajang yang selaras dengan alam rupanya
menjadi perhatian banyak kalangan. Baik dari akademisi maupun lembaga
pemerhati lingkungan. Agus Mulyana dari Center for International Forestry
Research (CIFOR) mengatakan bahwa di Desa Ammatoa ini, ditemukan titik
keseimbangan antara lingkungan dan masyarakat.

Hal tersebut terlihat dari bagaimana masyarakat menjaga kawasan desa


mereka yang sebagian besar adalah hutan. Hutan desa Ammatoa diketahui
memiliki jenis kayu biti (Vitex cofassus) dengan kualitas nomor wahid. Kayu
biti berbentuk bengkok adalah kayu terbaik untuk pembuatan kapal phinisi.

"Di Bulukumba kayu biti makin bengkok makin mahal. Di sini (Tana Towa)
kayu biti banyak sekali," ujar dosen Fakultas Kehutanan Universtas
Hassanudin, Asar Said Mahbub.

Asar yang merupakan seorang dosen dan peneliti, mengaku sangat terkesan
dengan perilaku hidup masyarakat desa adat Ammatoa karena kesederhanaan
mereka.

"Soal kebutuhan hidup mereka di sini paling bagus. Mereka konsepnya di


sini yang penting hidup cukup. Yang terpenting pertama itu adalah pakaian
adat, serba hitam. Mereka tidak mempersoalkan berapa harganya, di mana
membeli. Yang penting mereka cukup punya pakaian," katanya.

"Yang kedua adalah yang terpenting ada ikan untuk makan, ada sawah, ada
kebun. Bukan berapa luasnya, isinya apa saja," katanya.

Termasuk dalam pembuatan rumah. Bentuk maupun bagian dalam rumah


masyarakat adat Ammatoa adalah sama. Di bagian depan langsung disambut
dengan dapur. Hal tersebut bertujuan untuk menunjukkan kepada tamu yang
datang apa-apa saja yang dimiliki oleh sang empunya rumah, tercermin dari
dapurnya. Sehingga tak ada yang disembunyikan.

KOMPAS.COM/FITRI PRAWITASARI Jalan masuk ke Desa Adat


Ammatoa, Desa Tana Towa Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba,
Sulawesi Selatan.
Atap rumah bernama anjong yang di ujungnya berbentuk ekor ayam jantan
merupakan warisan dari Kerajaan Gowa. "Makanya di sini mencari rumah
Ammatoa itu sulit karena bentuk rumahnya sama semua. Orang luar tak akan
tahu kalau tidak diberi tunjuk sama warga sini," katanya.

Akses

Meski masyarakat adat Ammatoa tertutup dengan modernisasi bukan berarti


desa adat Ammatoa tak dapat dikunjungi. Jalan menuju gerbang masuk desa
dari Kota Bulukumba terbilang telah rapi. Dengan menggunakan kendaraan
pribadi, memakan waktu kira-kira satu jam lebih dari pusat kota Bulukumba.

Sedangkan angkutan umum, ada jasa 'pete-pete' yang beroperasi hanya


sampai siang hari. Yang perlu diingat, saat berkunjung harus memperhatikan
etika kesopanan. Ada baiknya untuk meminta izin terlebih dahulu kepada
Kepala Desa Tana Towa dengan berkunjung ke rumahnya yang berada
beberapa meter sebelum gerbang masuk desa adat.

Jangan lupa juga untuk mengenakan pakaian serba hitam untuk menghormati
masyarakat desa serta meminta izin setiap hendak mengambil foto. Hormati
segala pantangan yang mungkin ada. Anggap sebagai cara untuk
menghormati alam.

KOMPAS.COM/FITRI PRAWITASARI Anak-anak di Desa Adat


Ammatoa, Desa Tana Towa Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba,
Sulawesi Selatan.
Nikmati setiap langkah masuk ke dalam desa adat karena banyak petuah dan
pengetahuan baru yang bisa dipetik manfaatnya. Termasuk etika masyarakat
dalam menjaga "keperawanan" alamnya.

Selagi masyarakat perkotaan tanpa sadar menggerus alam dengan berbagai


pembangunan, Suku Kajang mencoba untuk berdamai dengan alam. Ya,
alam yang telah memberikan sendi-sendi kehidupan bagi mereka.

Vous aimerez peut-être aussi