Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Perempuan Kajang adalah perempuan yang taat pada tradisi. Tradisi yang
diturunkan secara turun-temurun dari para leluhur yang telah berlangsung
ratusan tahun.
Salah satu tradisi yang diturunkan dan dikerjakan oleh perempuan suku
Kajang adalah menenun kain khas suku Kajang.
Suku kajang adalah sebuah komunitas adat di Sulawesi Selatan yang di kenal
dengan pakainan hitam dan setiap hari mereka mengenakan pakaian
berwarna hitam (tope leleng).
Tope leleng atau sarung hitam adalah sarung khas kajang yang dibuat
dengan proses alamiah dan ditenun dari tangan-tangan terampil perempuan
Kajang.
Ikatan bathin perempuan suku Kajang dengan alam sangat lekat. Tenun
Kajang yang merupakan sebuah budaya dimana prosesnya memiliki ikatan
dengan alam, membuat peran perempuan Kajang sangat strategs.
Alat-alat tenun yang digunakan adalah warisan nenek moyang yang terbuat
dari bambu dan kayu. Pada umumnya ibu-ibu di Kajang menenun di bawah
rumah atau biasa juga disebut Siring.
Daun tarung adalah sejenis tumbuhan yang menghasilkan warna hitam yang
mereka gunakan sebagai pewarna hitam untuk benang.
Sarung hitam ini biasanya di beri motif biru, merah dan putih, yang di buat
vertical. Motifnya tidak ramai seperti kain-kain etnik pada umumnya. Sesuai
dengan prinsip masyarakat Kajang sendiri, yaitu sederhana.
Selain sarung hitam, mereka juga juga menenun passapu. Passapu adalah
kain hitam yang digunakan sebagai ikat kepala.
Sarung Kajang tidak diproduksi dalam jumlah yang banyak sehingga tidak
banyak ditemukan di toko penjaja oleh-oleh di Makassar.
Di depan pendopo ada Sekolah Dasar (SD) yang menjadi tempat menimba
ilmu anak-anak Desa Tana Towa. Saat jam pulang sekolah tiba, puluhan
anak menyeruak keluar dari kelas-kelas mereka. Berjalan bersama kawan-
kawannya pulang ke rumah.
Ada satu yang menjadi perhatian dari siswa Sekolah Dasar Negeri (SDN)
351 Kawasan Ammatoa Kecamatan Kajang tersebut yaitu pada seragam
yang mereka gunakan. Berbeda dengan siswa sekolah dasar pada umumnya
di sebagian wilayah di Indonesia yang menggunakan seragam putih dan
merah, siswa SD di desa Tana Towa mengenakan seragam putih dan hitam.
"Menurut Ammatoa cara hidup kita di sini diatur oleh Pasang. Pasang
semacam petuah yang tidak tertulis yang disampaikan secara lisan kepada
leluhur. Pasang meliput beberapa unsur dalam kehidupan baik mengatur
bidang kelangsungan hidup dan lain-lain," ujar Kepala Desa Tana Towa,
Sultan.
Kehidupan masyarakat Desa Adat Ammatoa bisa dibilang tak tersentuh oleh
modernisasi. Tak akan ditemui benda elektronik, telepon selular dan listrik.
Bahkan mobil dan motor pun tak dapat masuk ke pemukiman masyarakat
desa yang akses jalannya masih didominasi bebatuan. Pendopo di gerbang
masuk desa seakan menjadi pembatas kehidupan modern dan kehidupan adat
khas Suku Kajang.
Konsep hidup masyarakat Suku Kajang yang selaras dengan alam rupanya
menjadi perhatian banyak kalangan. Baik dari akademisi maupun lembaga
pemerhati lingkungan. Agus Mulyana dari Center for International Forestry
Research (CIFOR) mengatakan bahwa di Desa Ammatoa ini, ditemukan titik
keseimbangan antara lingkungan dan masyarakat.
"Di Bulukumba kayu biti makin bengkok makin mahal. Di sini (Tana Towa)
kayu biti banyak sekali," ujar dosen Fakultas Kehutanan Universtas
Hassanudin, Asar Said Mahbub.
Asar yang merupakan seorang dosen dan peneliti, mengaku sangat terkesan
dengan perilaku hidup masyarakat desa adat Ammatoa karena kesederhanaan
mereka.
"Yang kedua adalah yang terpenting ada ikan untuk makan, ada sawah, ada
kebun. Bukan berapa luasnya, isinya apa saja," katanya.
Akses
Jangan lupa juga untuk mengenakan pakaian serba hitam untuk menghormati
masyarakat desa serta meminta izin setiap hendak mengambil foto. Hormati
segala pantangan yang mungkin ada. Anggap sebagai cara untuk
menghormati alam.