Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
Asma
Pengertian Asma
Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan sel dan
elemennya, di mana dapat menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas
yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada
terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Gejala tersebut
berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali
bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan (PDPI, 2003).
10
11
Penyebab Asma
sensitisasi, inflamasi dan serangan asma. Ketiga proses ini dipengaruhi oleh dua
Sensitisasi, yaitu individu dengan risiko genetik (alergik/atopi, hipereaktivitas bronkus, jenis
kelamin dan ras) dan lingkungan (alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara,
infeksi pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga) apabila terpajan
dengan pemicu (inducer/sensitisizer) maka akan menimbulkan sensitisasi pada dirinya. Faktor
pemicu tersebut adalah alergen dalam ruangan: tungau, debu rumah, binatang berbulu (anjing,
kucing, tikus), jamur, ragi dan pajanan asap rokok.
Inflamasi, yaitu individu yang telah mengalami sensitisasi, belum tentu menjadi asma. Apabila
telah terpajan dengan pemacu (enhancer) akan terjadi proses inflamasi pada saluran napas. Proses
inflamasi yang berlangsung lama atau proses inflamasinya berat secara klinis berhubungan dengan
hipereaktivitas.
Faktor pemacu tersebut adalah rinovirus, c. Serangan asma, yaitu setelah mengalami inflamasi
maka bila individu terpajan
oleh pencetus (trigger) maka akan terjadi serangan asma (Depkes RI, 2009). Faktor pencetus asma
adalah semua faktor pemicu dan pemacu ditambah
dengan aktivitas fisik, udara dingin, histamin dan metakolin . Secara umum faktor pencetus
serangan asma adalah:
1) Alergen
12
Alergen merupakan zat-zat tertentu yang bila dihisap atau dimakan dapat
menimbulkan serangan asma seperti debu rumah, tungau, spora jamur, bulu
binatang, tepung sari, beberapa makanan laut (Muttaqin, 2008). Makanan lain
yang dapat menjadi faktor pencetus adalah telur, kacang, bahan penyedap,
pengawet, pewarna makanan dan susu sapi (Depkes RI, 2009).
Infeksi saluran napas terutama disebabkan oleh virus. Diperkirakan dua pertiga
pasien asma dewasa serangan asmanya ditimbulkan oleh infeksi saluran
pernapasan (Muttaqin, 2008). Asma yang muncul pada saat dewasa dapat
disebabkan oleh berbagai faktor, seperti adanya sinusitis, polip hidung, sensitivitas
terhadap aspirin atau obat-obat Anti-Inflamasi Non Steroid (AINS), atau dapat
juga terjadi karena mendapatkan pemicu seperti debu dan bulu binatang di tempat
kerja yang mengakibatkan infeksi saluran pernapasan atas yang berulang. Ini
disebut dengan occupational asthma yaitu asma yang disebabkan karena
pekerjaan (Ikawati, 2010).
3) Tekanan jiwa
Faktor ini berperan mencetuskan serangan asma terutama pada orang yang agak
labil kepribadiannya, ini lebih menonjol pada wanita dan anak-anak (Muttaqin,
2008). Ekspresi emosi yang dimunculkan secara berlebihan juga dapat menjadi
faktor pencetus asma (Depkes RI, 2009).
5) Obat-obatan
Pasien asma biasanya sensitif atau alergi terhadap obat tertentu (Muttaqin, 2008).
Obat tersebut misalnya golongan aspirin, NSAID, beta bloker, dan lain-lain
(Depkes RI, 2009)
6) Polusi udara
Pasien asma sangat peka terhadap udara berdebu, asap pabrik atau kendaraan,
asap rokok, asap yang mengandung hasil pembakaran dan oksida fotokemikal
serta bau yang tajam (Muttaqin, 2008).
Gejala asma bersifat episodik, berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat
di dada. Gejala biasanya timbul atau memburuk terutama malam atau dini hari
(PDPI, 2003). Setelah pasien asma terpajan alergen penyebab maka akan timbul
dispnea, pasien merasa seperti tercekik dan harus berdiri atau duduk dan berusaha
mengerahkan tenaga lebih kuat untuk bernapas. Kesulitan utama terletak saat
ekspirasi, percabangan trakeobronkial melebar dan memanjang selama inspirasi
namun sulit untuk memaksa udara keluar dari bronkiolus yang sempit karena
mengalami edema dan terisi mukus. Akan timbul mengi yang merupakan ciri khas
asma saat pasien berusaha memaksakan udara keluar. Biasanya juga diikuti batuk
produktif dengan sputum berwarna keputih-putihan (Price & Wilson, 2006).
Tanda selanjutnya dapat berupa sianosis sekunder terhadap hipoksia hebat dan
gejala-gejala retensi karbon dioksida (berkeringat, takikardi dan pelebaran
14
tekanan nadi). Pada pasien asma kadang terjadi reaksi kontinu yang lebih berat
dan mengancam nyawa, dikenal denganatus is asmatikus adalah asma yang berat dan persisten yang
tidak berespon terhadap
terapi konvensional, dan serangan dapat berlangsung lebih dari 24 jam (Smeltzer & Bare, 2002).
Asma dapat bersifat fluktuatif (hilang timbul) yang berarti dapat tenang tanpa gejala tidak
mengganggu aktivitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat bahkan dapat
menimbulkan kematian (Depkes, 2009).
Gejala asma dapat diperburuk oleh keadaan lingkungan seperti perubahan temperatur, terpapar bulu
binatang, uap kimia, debu, serbuk, obat-obatan, olahraga berat, infeksi saluran pernapasan, asap
rokok dan stres (GINA, 2005). Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di
dada, pada asma alergik biasanya disertai pilek atau bersin. Meski pada mulanya batuk tidak disertai
sekret, namun dalam perkembangannya pasien asma akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid,
putih dan terkadang purulen. Terdapat sebagian kecil pasien asma yang hanya mengalami gejala
batuk tanpa disertai mengi, yang dikenal dengan istilah cough variant asthma (Sundaru, 2009).
Klasifikasi Asma
a. Asma alergik
Dapat disebabkan oleh alergen, misal serbuk sari, binatang, makanan dan jamur. Kebanyakan
alergen terdapat di udara dan bersifat musiman, biasanya pasien juga memiliki riwayat keluarga
yang alergik dan riwayat medis eczema
15
Jenis asma ini tidak berhubungan dengan alergen spesifik. Faktor seperti common
cold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi dan polutan lingkungan dapat
mencetuskan serangan. Selain itu beberapa agen farmakologi juga dapat menjadi
faktor seperti aspirin dan agen antiinflamasi nonsteroid lain, pewarna rambut,
antagonis beta-adrenergik dan pengawet makanan. Serangan pada asma ini menjadi
lebih berat dan sering, kemudian dapat berkembang menjadi bronkitis
Derajat Asma
Gejala
Gejala Malam
Faal Paru
(1)
(2)
(3)
(4)
Intermitten
Bulanan
APE80%
-
Gejala<1x/minggu
2 kali -
VEP180%
nilai
-
Tanpagejala
diluar
prediksi
serangan
nilai terbaik
-
Serangan singkat
-
Variabiliti
APE<20%
Persisten ringan
Mingguan
APE>80%
-
Gejala>1x/minggu,
> 2 kali sebulan-
VEP180%
tetapi <1x/hari
prediksi
-
Serangan
dapat
nilai terbaik
mengganggu
aktivitas
- Variabiliti APE
20-
dan tidur
30%
16
Lanjutan Tabel 1.
(1)
(2)
(3)
(4)
Persisten sedang
Harian
APE 60-80%
-
Gejala setiap hari
> 2 kali sebulan
-
VEP1 60-80% nilai
-
Serangan mengganggu
prediksi
APE 60-
-
Variabiliti
APE>30%
Persisten berat
Kontinyu
APE 60%
-
Gejala terus menerus
Sering
-
VEP1
60%nilai
-
Sering kambuh
prediksi
-
Aktivitas fisik terbatas
nilai terbaik
-
Variabiliti
APE>30%
APE = Arus Puncak Ekspirasi, VEP1 = Volume Ekspirasi Paksa detik pertama
Sumber: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan di Indonesia,
2004.
Patofisiologi Asma
berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel
epitel. Faktor lingkungan dan faktor lain berperan sebagai pencetus inflamasi
saluran napas pada pasien asma (PDPI, 2003). Inflamasi saluran napas pada pasien
asma merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi yaitu terdapatnya obstruksi
saluran napas yang menyebabkan hambatan aliran udara yang dapat kembali secara
spontan atau setelah pengobatan (Sundaru, 2009). Obstruksi pada pasien asma
dapat disebabkan oleh kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronkus yang
menyempitkan jalan napas, pembengkakan membran yang melapisi bronkus dan
pengisian bronkus dengan mukus yang kental (Smeltzer & Bare, 2002).
Asma dapat terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur
imunologis didominasi oleh antibodi IgE yang merupakan reaksi hipersensitivitas
tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada
orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah
17
antibodi IgE abnormal dalam jumlah yang besar, golongan ini disebut atopi. Pada
asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada
interstisial paru yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila
seseorang menghirup alergen maka akan terjadi fase sensitisasi yang
menyebabkan antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan
dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini
berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang
dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan
bradikinin. Ini akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil,
sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus dan spasme otot polos
bronkiolus yang menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase
cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan
alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel
mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase
lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan selama 16-24
jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti
eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel
kunci dalam patogenesis asma (Rengganis, 2008).
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen,
makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas.
Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi
yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas
lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa,
18
Penatalaksanaan Asma
meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup
normal kembali tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Terdapat
tujuh komponen program penatalaksanaan asma yaitu:
a. Edukasi
Pengetahuan yang baik akan menurunkan angka kesakitan dan kematian. Tujuan
dari seluruh edukasi adalah membantu pasien agar dapat melakukan
penatalaksanaan dan mengontrol asma. Edukasi terkait dengan cara dan waktu
19
Penilaian klinis berkala antara 1 6 bulan dan monitoring asma oleh pasien
dilakukan pada penatalaksanaan asma. Ini dikarenakan berbagai faktor yaitu gejala
dan berat asma berubah sehingga membutuhkan perubahan terapi, pajanan
pencetus menyebabkan perubahan pada asma, dan daya ingat serta motivasi pasien
perlu direview sehingga membantu penanganan asma secara mandiri. Pemeriksaan
faal paru, respon pengobatan saat serangan akut, deteksi perburukan asimptomatik
sebelum menjadi serius, respon pengobatan jangka panjang, dan identifikasi
pencetus perlu dimonitor secara berkala (PDPI, 2003).
Pasien asma ada yang dengan mudah mengenali faktor pencetus namun ada juga
yang tidak dapat mengetahui faktor pencetus asmanya. Identifikasi faktor pencetus
perlu dilakukan dengan berbagai pertanyaan mengenai beberapa hal yang dapat
sebagai pencetus serangan seperti alergen yang dihirup, pajanan lingkungan kerja,
polutan dan iritan di dalam dan di luar ruangan, asap rokok, refluks gastroesofagus
dan sensitif dengan obat-obatan (PDPI, 2003).
Pengobatan asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral dan
parenteral (subkutan, intramuskular, intravena). Obat-obatan asma ditujukan
20
untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas yang terdiri atas
pengontrol dan pelega. Pengontrol merupakan medikasi asma jangka panjang
untuk mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan
mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol
(controllers) sering disebut pencegah yang terdiri dari (PDPI, 2003):
1) Glukokortikosteroid inhalasi
2) Glukokortikosteroid sistemik
4) Teofilin
Termasuk agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan formoterol yang
mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Memiliki efek relaksasi otot polos,
meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh
darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel mast dan basofil.
6) Leukotriene modifiers
Merupakan anti asma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral.
Menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi
akibat alergen, sulfurdioksida dan latihan berat. Selain itu juga memiliki efek
antiinflamasi.
Pelega pada prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan
gejala akut seperti mengi, batuk dan rasa berat di dada, serta tidak memperbaiki
inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. Pelega
(reliever) terdiri dari:
Golongan terdiri dari salbutamol, terbutalin, fenoterol dan prokaterol yang telah
beredar di Indonesia. Pemberian dapat secara inhalasi atau oral, pemberian
inhalasi memiliki kerja lebih cepat dan efek samping minimal. Efek samping
dapat berupa rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia.
2) Antikolinergik
3) Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila tidak ada
agonis beta-2 atau tidak merespon dengan agonis beta-2 kerja singkat. Pemberian
secara subkutan harus hati-hati pada usia lanjut atau pada pasien gangguan
kardiovaskuler.
Selain pemberian obat pelega dan pengontrol asma, beberapa cara digunakan
sebagai terapi pelengkap untuk mempercepat proses penyembuhan asma seperti
homeopati, terapi herbal, ayuverdik medicine, ionizer, osteopati dan manipulasi
chiropractic, spleoterapi, teknik pernapasan Buteyko, akupuntur, hipnosis, dan
lain-lain (PDPI, 2003). Salah satu terapi pelengkap untuk pasien asma adalah
teknik pernapasan Buteyko. Teknik pernapasan ini didasarkan pada usaha
mengembalikan cara bernapas yang benar pada pasien asma (Vitahealth, 2005).
Terapi dilakukan sesuai dengan keadaan pasien, terapi ini dianjurkan kepada
pasien yang memiliki pengalaman buruk terhadap gejala asma dan dalam kondisi
darurat. Penanganan dilakukan di rumah pasien dengan menggunakan obat
bronkodilator2-agonisinhalasi dansepertiglukokortikosteroidoral (GINA,
2005)
Dalam penatalaksanaan asma, pola hidup sehat sangat penting seperti melakukan
olahraga secara teratur untuk meningkatkan kebugaran fisik, menambah rasa
percaya diri dan meningkatkan ketahanan tubuh. Bagi pasien yang memiliki jenis
asma dimana serangan timbul setelah exercise (Exercise-Induced Asthma/EIA)
dianjurkan menggunakan beta-2 agonis sebelum melakukan olahraga. Berhenti
atau tidak merokok dan menghindari faktor pencetus juga dapat dilakukan oleh
pasien asma untuk mencegah terjadinya serangan asma (PDPI, 2003).
24
asma terkontrol, di mana kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan (PDPI,
2003). GINA yang merupakan organisasi kerjasama WHO dengan National Heart,
Lung and Blood Institute (NHLBI) Amerika Serikat memperkenalkan panduan
diagnosis dan tata laksana asma. Panduan pengobatan asma menurut GINA
menekankan pentingnya upaya pengobatan mencapai dan mempertahankan asma
terkontrol (GINA, 2011). Menurut Depkes RI (2009), untuk menentukan kondisi
pasien dapat dilihat ciri-ciri dari asma terkontrol, terkontrol sebagian dan tidak
terkontrol yang dijelaskan sebagai berikut:
Karakteristik
Terkontrol
Terkontrol Sebagian
Tidak Terkontrol
Gejala harian
kali
Tiga atau
lebih
kurang perminggu)
seminggu
gejala
dalam
Pembatasan
Tidak ada
Sewaktu-waktu
dalam
kategori
Asma
aktivitas
seminggu
Terkontrol
Gejala nokturnal /
Tidak ada
Sewaktu-waktu
dalam
Sebagian,
muncul
gangguan
tidur
seminggu
sewaktu-waktu
(terbangun)
dalam seminggu
Kebutuhan
akan
Tidak ada (dua kali atau
Lebih
dari
dua
kali
rescue
seminggu)
Fungsi paru (PEF:
Normal
< 80%
(perkiraan
atau
Peak Expiratory
dari kondisi
terbaik
bila
diukur)
Eksaserbasi
Tidak ada
Sekali atau
lebih
dalam
Sekali
dalam
seminggu**)
seminggu***)
*) Fungsi paru tidak berlaku untuk anak-anak di usia 5 tahun atau di bawah 5 tahun
**) Untuk semua bentuk eksaserbasi sebaiknya dilihat kembali terapinya apakah benar-benar
adekuat
***) Suatu eksaserbasi mingguan, membuatnya menjadi asma tidak terkontrol Sumber: GINA, 2006
tidur, keterbatasan aktivitas harian, kerusakan fungsi paru dan penggunaan obat-
25
obatan dapat dikontrol dengan terapi yang sesuai. Jika asma berhasil dikontrol,
maka hanya akan terjadi rekurensi gejala berkala dan eksaserbasi berat akan
menjadi sangat jarang. Penurunan gejala asma menunjukkan perbaikan kontrol
asma (NHLBI, 2003). Tingkat asma terkontrol memungkinkan pasien dapat
melakukan aktivitas kehidupannya seperti orang sehat lainnya (GINA, 2011).
Berbagai faktor berperan dalam mempengaruhi tingkat kontrol asma seperti usia,
jenis kelamin, tingkat pendidikan, merokok, asma derajat berat, penggunaan obat
kortikosteroid yang salah, genetik, penyakit komorbid (rhinitis alergi), kepatuhan
berobat yang buruk, pengetahuan mengenai asma dan berat badan berlebih
(Atmoko, 2009). Mengevaluasi kontrol asma membutuhkan suatu metode yang
sederhana dan praktis bukan saja untuk membantu petugas kesehatan tetapi juga
berguna untuk penelitian. Kriteria ideal alat ukur asma adalah sederhana, praktis,
bermanfaat, dapat diaplikasikan oleh pasien, petugas kesehatan dan peneliti, serta
mampu merefleksikan kontrol asma jangka panjang, bersifat diskriminatif dan
menunjukkan respon terhadap perubahan (Kusumawati, 2010).
Penilaian yang telah divalidasi untuk menilai kontrol klinis asma menghasilkan
tujuan sebagai variabel kontinu serta menyediakan nilai numerik untuk
membedakan tingkat kontrol yang berbeda-beda. Contoh instrumen yang telah
divalidasi adalah Asthma Control Test (ACT), Asthma Control Questionnare
(ACQ) dan Asthma Control Scoring System (ACSS), Childhood Asthma Control
Test (C-ACT), Asthma Theraphy Assesment Questionnare (ATAQ). Instrumen-
instrumen berupa kuesioner dengan atau tanpa pemeriksaan fungsi paru ini
memiliki potensi meningkatkan pemeriksaan kontrol asma, menyediakan
26
pemeriksaan yang objektif dan dapat dilakukan berulangkali yang dapat ditulis
dalam lembar kemajuan dalam waktu tertentu. Selain itu untuk dapat mengukur
dengan cepat dan tepat diperlukan suatu alat ukur yang dapat digunakan secara
akurat (NHLBI, 2003).
Berdasarkan beberapa alat ukur yang digunakan untuk menilai tingkat kontrol
asma, kuesioner yang paling sering digunakan yaitu kuesioner Asthma Control
Test (ACT) (Sundaru, 2011). ACT lebih valid, reliable, mudah digunakan dan
lebih komprehensif dibandingkan jenis kuesioner lain sehingga dapat digunakan
secara luas (Edisworo, 2009). ACT adalah suatu uji skrining berupa kuesioner
tentang penilaian klinis seorang pasien asma untuk mengetahui asmanya
terkontrol atau tidak. Kuesioner ini terdiri dari lima pertanyaan, dikeluarkan oleh
American Lung Association bertujuan memberi kemudahan kepada petugas
kesehatan dan pasien untuk mengevaluasi asma pada pasien yang berusia diatas
12 tahun dan menetapkan terapi pemeliharaannya. ACT tidak memakai kriteria
faal paru untuk menilai kontrol asma (Nathan et al, 2004 dalam Widysanto dkk,
2009). Parameter yang dinilai dalam kuesioner ACT adalah gangguan aktivitas
harian akibat asma, frekuensi gejala asma, gejala malam, penggunaan obat pelega
dan persepsi terhadap kontrol asma (Zaini, 2011).
Pertanyaan pada Asthma Control Test berjumlah lima buah dan tiap pertanyaan
diskor mulai dari 1 sampai dengan 5. Telah dilakukan uji validasi dengan
sensitifitas 68,4% dan spesifisitas 76,2% (Eddy, 2008 dalam Kusumawati, 2010).
Interpretasi hasil yaitu apabila jumlah nilai sama atau lebih kecil dari 19 adalah
asma tidak terkontrol, apabila nilai 20-24 adalah asma terkontrol sebagian
27
dan apabila nilai 25 adalah asma terkontrol penuh. Tujuan Asthma Control Test
adalah menyeleksi asma yang tidak terkontrol, mengubah pengobatan yang tidak
efektif menjadi lebih tepat, melaksanakan pedoman pengobatan secara lebih tepat
dan memberikan pendidikan atau pengetahuan tentang bahaya keadaan asma yang
tidak terkontrol. Kuesioner ini telah diteliti dan divalidasi sehingga dapat dipakai
secara luas untuk menilai dan memperbaiki kondisi asma seseorang (Widysanto
dkk, 2009).
latihan bernapas secara teratur untuk melatih seseorang yang terbiasa bernapas
berlebihan (over-breathing) agar mampu bernapas dengan benar. Apabila pasien
asma mampu mengubah volume udara yang dihirup, maka akan mengurangi
serangan asma yang dialami dan penggunaan alat maupun obat-obatan dapat
dikurangi atau bahkan ditinggalkan sama sekali (Vitahealth, 2005). Metode
Buteyko juga digunakan untuk mengurangi gejala dan tingkat keparahan asma
dengan memelihara keseimbangan kadar CO2 dan nilai oksigenasi seluler, serta
mengurangi ketergantungan terhadap obat-obatan (Dupler, 2005). Menurut
London School of Facial Orthotropics (LSFO) tahun 2012, tujuan dari metode
Buteyko yaitu mengembalikan kondisi penderita agar dapat bernapas normal
dengan cara latihan menahan napas, bernapas melalui hidung dan latihan
pernapasan dengan melakukan relaksasi diafragma untuk mencapai volume
pernapasan yang normal.
Secara lebih jelas berikut beberapa teori yang melandasi Prof. Buteyko dalam
mengembangkan teknik pernapasan Buteyko yaitu:
Ketika pasien asma melakukan pernapasan dalam, maka jumlah CO2 yang
dikeluarkan akan semakin meningkat sehingga menyebabkan jumlah CO2 di paru-
Karbon dioksida merupakan zat yang sangat penting untuk kesehatan, setiap sel di
tubuh membutuhkan CO2 dalam konsentrasi khusus untuk mempertahankan
kehidupan yang normal. Cara bernapas yang berlebihan telah mempengaruhi
tingkat CO2 dalam paru-paru. Saat pasien asma menghirup terlalu banyak volume
udara dari yang sebenarnya dibutuhkan oleh tubuh, maka pada waktu bersamaan
pasien juga menghembuskan CO2 keluar secara terlalu cepat. Ini menyebabkan
reaksi kimiawi yang mempersulit pelepasan oksigen dari darah ke jaringan-
jaringan tubuh sehingga jaringan menjadi kekurangan oksigen yang
mengakibatkan lapisan otot yang mengelilingi jaringan bereaksi dengan cara
mengejang (Vitahealth, 2005).
1) Transportasi oksigen. Oksigen tidak larut dalam darah sehingga 98% gas
pada jumlah karbon dioksida dalam alveoli/arteri darah. Jika kadar karbon
dioksida tidak sesuai dengan tingkat yang diperlukan yaitu sekitar 5%, maka
pelepasan oksigen dari hemoglobin akan terganggu yang dapat menyebabkan
oksigen tidak dilepas ke jaringan dan organ.
2) Pelebaran pembuluh darah dan saluran udara. Karbon dioksida melebarkan otot
polos disekitar saluran udara, arteri dan kapiler. Menyusul peningkatan karbon
dioksida, terdapat lebih besar distribusi darah untuk pelebaran pembuluh darah.
Pengaruhnya dapat berupa gejala berkurang dan meningkatnya kehangatan tubuh
karena peningkatan sirkulasi darah (McKeown, 2004)
Defisiensi CO2 juga menyebabkan spasme otot polos bronkus, kejang pada otak,
pembuluh darah, spastik usus, saluran empedu dan organ lainnya. Jika
31
intensitas pernapasan dalam semakin sering dilakukan, maka akan semakin sedikit
jumlah oksigen yang mencapai otak, jantung, ginjal dan organ lainnya, ini yang
akan menyebabkan hipoksia disertai dengan hipertensi arteri (Microza, 2012).
Bila kadar CO2 pada organ-organ vital (termasuk otak) dan sel-sel saraf sudah
semakin sedikit, maka pusat pengendalian pernapasan di otak akan meningkatkan
stimulasi intensitas bernapas yang dikenal dengan istilah hiperventilasi/over-
breathing (Microza, 2012).
(Microza, 2012).
dalam kadar normal sehingga oksigenasi akan optimal (Agustiningsih dkk, 2007).
Teknik pernapasan Buteyko terdiri dari dua hal penting, yaitu relaksasi dan
latihan. Pada tahap relaksasi, postur tubuh diatur senyaman mungkin terutama
tubuh bagian atas. Ini berfungsi untuk merilekskan otot pernapasan dan iga secara
perlahan-lahan yaitu saat peregangan iga ke arah luar selama inspirasi dan
penarikan iga ke arah dalam selama ekspirasi. Saat latihan pasien asma dianjurkan
untuk bernapas melalui hidung, tidak melalui mulut (Dupler, 2005). Menurut Prof.
32
b. Postur
Postur yang baik sangat penting untuk melakukan latihan dengan benar sehingga
berhasil mengurangi hiperventilasi. Menggunakan kursi yang memiliki sandaran
sehingga memungkinkan duduk tegak dan kaki menyentuh lantai, serta tubuh
berada dalam kondisi senyaman mungkin. Jika tidak memiliki kursi dengan
sandaran, maka posisi kepala, bahu dan pinggul harus diatur agar tegak lurus.
c. Konsentrasi
Tutup mata dan fokus pada pernapasan, rasakan udara yang bergerak masuk dan
keluar dari hidung dan gerakan yang berbeda dari tubuh saat menghirup dan
menghembuskan napas. Individu dianjurkan berkonsentrasi pada
33
d. Relaksasi bahu
Rasakan udara yang keluar dari lubang hidung dengan menempatkan jari di bawah
hidung dengan posisi horizontal, jari jangan terlalu dekat ke lubang hidung karena
dapat menggangu aliran udara yang masuk dan keluar dari hidung. f. Bernapas
dangkal
Ketika merasakan udara sampai di jari, mulailah menarik napas kembali, ini akan
membantu mengurangi jumlah udara setiap kali bernapas. Meskipun kegiatan ini
akan meningkatkan jumlah napas yang dilakukan per menit, tapi ini tidak masalah
karena tujuannya untuk mengurangi volume udara. Udara hangat yang lebih
sedikit terasa di jari menandakan bahwa semakin berhasilnya penurunan volume
udara setiap kali bernapas. Diharapkan pasien mampu untuk terus bernapas
dengan cara ini selama 3-5 menit. Kemungkinan yang terjadi pasien tidak dapat
menyelesaikan 5 menit penuh saat pertama kali latihan. Ini akan lebih mudah
dipahami bila mempraktikkan secara langsung.
34
Setelah selesai melakukan latihan diatas selama 5 menit atau selama apapun
waktu yang dicapai untuk latihan, harus dilakukan kembali pengukuran control
pause dan denyut nadi.
h. Istirahat
i. Latihan blok
Setiap sesi latihan terdiri dari 4 blok penurunan frekuensi bernapas dengan
memeriksa control pause dan nadi sebelum dan setelah latihan setiap blok.
Dibandingkan dengan sesi awal, waktu control pause harus lebih lama dan denyut
nadi harus lebih rendah setelah latihan.
untuk memperbaiki cara bernapas pasien asma. Waktu yang diperlukan untuk
melakukan latihan ini minimal 20 menit sehari. Langkah-langkah teknik
pernapasan Buteyko secara umum adalah:
Sebagai pemanasan sebaiknya ambil napas normal sebanyak dua kali, kemudian
tahan napas dengan cara mencubit hidung dengan ibu jari dan telunjuk, serta
pastikan mulut tertutup.
Pada keinginan pertama kali untuk bernapas, lepaskan cubitan hidung dan mulai
bernapas kembali melalui hidung, atur pernapasan sesegera mungkin.
Hitung berapa lama waktu dapat menahan napas. Individu tidak harus berusaha
menahan napas terlalu lama karena dapat menyebabkan seseorang mengambil
napas dalam setelah pengukuran CP.
Fokus pada pernapasan, konsentrasi dan rasakan udara yang mengalir keluar dan
masuk melalui hidung.
Pastikan bernapas hanya melalui hidung dan mulut tertutup saat bernapas.
Usahakan menggunakan pernapasan diafragma, bukan pernapasan dada.
Monitor jumlah udara yang keluar melalui lubang hidung dengan meletakkan jari
di bawah hidung dalam posisi horizontal.
36
Tarik napas sedikit kemudian keluarkan dengan lembut, ketika udara menyentuh
jari tarik napas kembali.
control pause - istirahat dilakukan sebanyak 4 sesi. CP yang diambil pada akhir dari
4 sesi sekitar 25% lebih tinggi dari yang diambil di awal. Nadi yang diukur setelah
latihan adalah sama atau lebih rendah daripada yang diukur di awal latihan
(McKeown, 2010).
37
Duduk tegak dan usahakan posisi senyaman mungkin, kemudian mulai bernapas
biasa melalui hidung dan ukur nadi dalam 1 menit.
Hitung control pause dengan cara melakukan napas normal dengan menghirup
dan menghembuskan udara melalui hidung. Memegang hidung dengan lembut dan
mulai hitung waktunya. Tahan napas sampai anda pertama kali merasakan
keinginan untuk bernapas kemudian lepaskan tahanan pada hidung dan hentikan
pengukur waktu. Kemudian mulailah bernapas lembut melalui hidung.
Lakukan control pause terakhir dan ukur denyut nadi. b. Teknik pernapasan
Buteyko pada minggu kedua:
Lakukan control pause dan reduced breathing yaitu bernapas dangkal selama
3 menit.
Duduk tegak dan usahakan posisi senyaman mungkin, kemudian mulai bernapas
biasa melalui hidung dan ukur nadi dalam 1 menit.
Lakukan control pause dan very reduced breathing yaitu dilakukan dengan
meletakkan tangan di atas dan bawah dada untuk memantau pernapasan sehingga
memungkinkan mengurangi frekuensi bernapas. Fokus pada pernapasan dan
usahakan melakukan pernapasan diafragma selama 1 menit. Kemudian kedua
tangan diturunkan ke pangkuan dan biarkan bahu bersantai. Tarik napas dan
bayangkan bahwa udara baru hanya bergerak sejauh dada bagian atas kemudian
tarik napas kembali, lakukan selama 1 menit. Selanjutnya mengurangi pernapasan
dan bayangkan udara baru hanya bergerak sejauh tenggorokan kemudian tarik
napas kembali, lakukan selama 1 menit.
Lakukan extended pause yaitu bernapas normal melalui hidung, kemudian tahan
napas 5-10 detik lebih lama dari waktu control pause dengan menggunakan teknik
distraksi seperti bergerak di kursi atau berjalan. Lepaskan tahanan pada hidung
dan pastikan bernapas melalui hidung
40
Terdapatnya mukus dalam saluran pernapasan yang merupakan cara tubuh untuk
mempersempit saluran udara dalam upaya mempertahankan CO2.