Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
1.2 ETIOLOGI
Secara umum faktor-faktor yang dianggap sebagai penyebab tumor adalah :
a. Penyebab kimiawi
Di berbagai negara ditemukan banyak tumor kulit pada pekarja pembersih cerobong asap. Zat yang
mengandung karbon dianggap sebagai penyababnya
b. Faktor Genetik (biomolekuler)
Golongan darah A lebih tinggi 20% berisiko menderita kanker/ tumor pada lambung dari pada
golongan darah O, selain itu berubahan genetik termasuk perubahan atau mutasi dalam gen normal
dan pengaruh protein bisa menekan atau meningkatkan perkembangan tumor.
c. Faktor Fisik
Secara fisik, tumor berkaitan dengan trauma/pukulan berulang-ulang baik trauma fisik maupun
penyinaran. Penyinaran bisa berupa sinar ultraviolet yang berasal dari sinar matahari maupun sinar
lain seperti sinar X (rontgen) dan radiasi bom atom.
d. Faktor Nutrisi
Salah satu contoh utama adalah dianggapnya aflaktosin yang dihasilkan oleh jamur pada kacang dan
padi-padian sebagai pencetus timbulnya tumor.
e. Penyebab Bioorganisme
Misalnya virus, pernah dianggap sebagai kunci penyabab tumor dengan ditemukannya hubungan
virus dengan penyakit tumor pada binatang percobaan. Namun ternyata konsep itu tidak berkembang
lanjut pada manusia.
f. Faktor Hormon
Pengaruh hormon dianggap cukup besar, namun mekanisme dan kepastian peranannnya belum
jelas. Pengaruh hormon dalam pertumbuhan tumor bisa dilihat pada organ yang banyak dipengaruhi
oleh hormon tersebut.
1.3 PATOFISIOLOGI
Sebab-sebab keganasan pada tumor masih belum jelas, tetapi virus, faktor lingkungan, faktor
hormonal dan faktor genetik semuanya berkaitan dengan risiko terjadi tumor. Permulaan terjadinya
tumor dimulai dengan adanya zat yang bersifat initiation yang merangsang permulaan terjadinya
perubahan sel. Diperlukan perangsangan yang lama dan berkesinambungan untuk memicu timbulnya
penyakit tumor. Initiati agent biasanya bisa berupa unsur kimia, fisik atau biologis yang
berkemampuan beraksi langsung dan merubah struktur darsar dari komponen genetic (DNA).
Keadaan selanjutnya akibat keterpaparan yang lama ditandai dengan berkembangnya neoplasma
dengan terbentuknya formasi tumor. Hal ini dapat berlangsung lama,minggu bahkan sampai tahunan.
Dengan semakin meningkatnya volume massa sel-sek yang berproliferasi maka secara mekanik
menimbulkan desakan pada jaringan sekitarnya,pelepasan berbagai substansi pada jaringan normal
seperti prostalandin, radikal bebas dan protein-protin reaktif secara berlebihab sebagai penyebab
timbulnya karsinoma meningkatkan daya rusak sel-sel kanker terhadap jaringan sekitarnya, terutama
jaringan yang memiliki ikatan yang relatif lemah. Kanker sebagai bentuk jaringan progresif yang
memiliki ikatan yang longgar mengakibatkan sel-sel yang dihasilkan dari jaringan kanker lebih mudah
untuk pecah dan menyebar keberbagai organ tubuh lainnya (metastase) melalui kelenjar, pembuluh
darah maupun peristiwa mekanis dalam tubuh. Adanya pertumbuhan sel-sel progresif pada
mediastinum secara mekanik menyebabkan penekanan (direct pressure/indirect pressur) serta dapat
menimbulkan distruksi jaringan sekitar yang menimbulkan manifestasi seperti penyakit infeksi
pernafasan lain seperti sesak nafas, nyeri inspirasi, peningkatan produksi sputum, bahkan batuk
darah atau lendir berwarna merah (hemaptoe) manakala telah melibatkan banyak kerukan pembuluh
darah. Kondisi kanker juga meningkatkan risiko timbulnya infeksi sekunder, sehingga kadang kala
manifestasi klinik yang lebih menonjol mengarah pada infeksi saluran napas seperti pneumoni
tuberkulosis walaupun mungkin secara klinik kurang dijumpai gejala demam yang menonjol.
(http://dedyrn.blogspol.com/2009.diakses tanggal 30 oktober 2011)
1.4 KLASIFIKASI
Klasifikasi tumor mediastinum didasarkan atas organ/jaringan asal tumor atau jenis histologisnya
seperti yang dikemukakan oleh Rosenberg :
1. Neurogenik
Arising from peripheral nervus :
- Neuruvibroma
- Neurilemoma (schwannoma)
- Neurosarkoma
Arising from sympatetic ganglia
- Ganglioneuroma
- Ganglioneuro blastoma
- Neuroblastoma
Arising from paraganglionik tissue
- Phechromocytoma
- Chemodectoma (paraganglioma)
2. Thymic
Thymoma
Carsinoid
Thymoliphoma
3. Lymphoma
Hodgkins disease
Histiocytic lympoma
Undifferentiated
4. Germ cell tumors
Seminoma
Nonseminomatus tumors
Pure embryonal cell
Mixed embrional cell
- With seminomatus elemens
- With trophoblastic elemen
- With teratoid elemens
- With entodermal sinus elemens (yolk sac tumors)
Teratoma, benign
5. Aneurysms
6. Mesenchymal tumors
Fibroma and fibrosarcoma
Limpoma and hiposarcoma
Myxoma
Mesothelioma
Leiomyoma and leimyoma sarcoma
Rhabdomysarcoma
Xanthogranuloma
Mesenchymoma
Hemangioma
Hemangiondothelioma
Hemangipericytoma
Lymphangioma
Lymphangiomyoma
Lyphangiopericytoma
7. Endocrine Tumor
Thyroid
Parathyroid
8. Cysts
Pericardial
Bronchogenic
Enteric
Thymic
Thoracic duct
Meningoceles
9. Hernias
Hiatal
Morgagni
10. Lymphadenopathy
Inflammatory
Granulomatous
Sarcoid
3. Sindrom vena kava superior (SVKS) lebih sering terjadi pada tumor mediastinum yang
ganas dibandingkan dengan tumor jinak.
6. Nyeri dinding dada pada tumor neurogenik atau pada penekanan pada sistem syaraf.
Nyeri dada timbul paling sering pada tumor mediastinum anterosuperior. Nyeri dada yang serupa
biasanya disebabkan oleh kompresi atau invasi dinding dada posterior dan nervus interkostalis.
Kompresi batang trakhebronkus biasanya memberikan gejala seperti dispnae, batuk, pneumonitis
berulang atau gejala yang agak jarang yaitu stidor. Keterlibatan esophagus bisa menyebabkan
disfagia atau gejala obstruksi. Keterlibatan nervus laringeus rekuren, rantai simpatis atau plekus
brakialis masing-masing menimbulkan paralisis plika vokalis, sindrom horner dan sindrom pancoast.
Tumor mediastinun yang menyebabkan gejala ini paling sering berlokalisasi pada mediastinum
superior. Keterlibatan nervus frenikus bisa menyebabkan paralisis diafragma.
1. Foto thoraks
Dari foto thoraks PA atau lateral untuk menentukan lokasi tumor anterior, medial atau posterior, tetapi
pada kasus dengan ukuran tumor yang besar sulit ditentukan lokasinya yang pasti.
2. Tomografi
Dapat menentukan lokasi tumor, mendeteksi klasifikasi pada lesi yang sering ditemukan pada kista
dermoid, tumor tiroid, dan kadang-kadang timoma. Teknik ini semakin jarang digunakan.
Dapat mendeskripsikan lokasi, kelainan tumor secara lebih baik, kemungkina jenis tumor, misalnya
pada teratoma dan timoma, menentukan stage pada kasus timoma dengan cara mencari apakah
telah terjadi invasi atau belum, mempermudah pelaksanaan pengambilan bahan untuk pemeriksaan
sitologi, serta untuk menentukan luas radiasi beberapa jenis tumor mediastiinum bila dilakukan CT-
Scan Toraks dan CT-Scan abdomen.
4. Flouroskopi
Untuk mendeteksi pulsasi pada tumor yang diduga terjadi aneurisma aorta.
6. Angiografi
Lebih sensitif untuk mendeteksi aneurisma aorta dibandingkan flouroskopi dan ekokardiografi.
7. Esofagografi
Pemeriksaan ini dianjurkan dilakukan bila ada dugaan invasi atau penekanan pada esofagus.
8. USG, MRI, dan Kedokteran Nuklir
Jarang dilakukan, tetapi pemeriksaan ini terkadang harus dilakukan untuk beberapa kasus tumor
mediastinum.
(www.klik pdpi.com/tumor mediastinum)
B. Prosedur Endoskopi
1. Bronkoskopi
Dilakukan bila ada indikasi operasi, dapat memberikan informasi tentang penekanan tumor teerhadap
saluran nafas beserta lokasinya,. Bronkoskopi sering dapat digunakan untuk membedakan antara
tumor mediastinum dengan kanker paru primer.
2. Mediastinoskopi
4. Torakoskopi Diagnostik
Tindakan ini merupakan metode yang aman untuk mengambil sampel lesi-lesi yang terletak agak ke
perifer dimana bronkoskopi biasa tidak bisa mencapainya. Selain itu tindakan ini dapat digunakan
untuk mengambil sampel lesi tumor mediastinum dengan cara Tranbroncial Needle Bronchoscopy
Aspiration (TNBA), dimana dapat memberikan hasil diagnostik yang tinggi serta tidak dipengaruhi
oleh besar kecil dan lokasi tumor.
(www.klik pdpi.com/tumor mediastinum)
4. Biopsi Aspirasi Jarum (BAJ), yairu pengambilan bahan atau spesimen dengan menggunakan jarum,
dimana dilakukan bila terlihat massa intrabronkial pada saat pemeriksaan bronkoskopi yang sangat
mudah berdarah sehingga bila dilakukan pemeriksaan biopsi sangat berbahaya.
D. Pemeriksaan Laboratorium
1. Hasil pemeriksaan rutin laboratorium sering tidak memberikan informasi yang berkaitan dengan
tumor, tetapi terkadang LED meningkat pada limfoma dan TBC mediastinum.
2. Uji tuberkulin bila dicurigai adanya limfadenitis TBC.
4. Pemeriksaan beta-HCG dan alfa-fetoprotein dilakukan untuk tumor mediastinum yang termasuk
kelompok tumor sel germinal, khususnya bila ada keraguan antara tumor sel germinal seminoma atau
nonseminoma.
E. Pemeriksaan Lain
EMG adalah pemeriksaan penunjang untuk tumor mediastinum jenis timoma, dimana untuk
mencarikemungkinan terjadi miestenia gravis atau myesthenic reaction.
Berikut dapat dilihat alur pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada penderita tumor
mediastinum dengan atau tanpa kegawatan:
Keterangan:
MRI = Magnetic Resonance Imaging
PA = Posteroanterior
BJH = Biopsi Jarum Halus
TTB = Transtorakal Biopsy
KGB = Kelenjar Getah Bening
USG = Ultrasonografi
VATS = Video Assisted Thoracoscopy system
(http://jurnal respirologi.com)
1.7 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan tumor mediastinum tergantung sifat tumor, jinak atau ganas. Tindakan yang dapat
dilakukan pada tumor mediastinum yang bersifat jinak adalah bedah, sedangkan penatalaksanaan
secara umum untuk tumor yang bersifat ganas adalah multimodaliti, yaitu bedah, kemoterapi, dan
radiasi. Selain itu kemoradioterapi dapat juga diberikan sebelum prosedur pembedahan (neoadjuvan)
atau sesudah prosedur pembedahan (adjuvan). Berikut adalah penatalaksanaan yang dapat
dilakukan berdasarkan jenis tumor:
1. Timoma
Penatalaksanaan sangat tergantung pada invasif atau tidaknya tumor, staging, dan klinis
penderita.
Terapi untuk timoma adalah bedah, tetapi sangat jarang kasus penderita datang pada stage 1
atau noninvasif, sehingga terapi multimodalitilah yang dapat memberikan hasil yang lebih baik.
Jenis tindakan bedah untuk kasus ini adalah Extended Thymo Thymectomy (ETT) atau reseksi
komplet (Extended Resection = ER), yaitu mengangkat kelenjar timus beserta jaringan lemak
sekitarnya sampai jaringan perikard dan debulking reseksi sebagian atau pengangkatan massa tumor
sebanyak mungkin. Reseksi komplet ini diyakini dapat mengurangi risiko invasi dan meningkatkan
umur harapan hidup.
Radioterapi harus diberikan pada kasus timoma invasif atau reseksi sebagian untuk kontrol ketat,
tetapi tidak direkomendasikan untuk yang telah menjalani reseksi komplet. Dosis radiasi yang dapat
diberikan adalah 3500-5000 cGy dan harus dihindarkan pemberian lebih dari 6000 eGy untuk
mencegah terjadinya radiation-induced injury.
Kemoterapi yang sering digunakan adalah cisplatin based rejimen, kombinasi cisplatin dengan
doksorubisin dan siklofosfamid (CAP), kombinasi cisplatin dengan doksorubisin, vinkristin, dan
siklofosfamid (ADOC), serta rejimen lain yang lebih sederhana yaitu cisplatin dan etoposid (EP).
B. Radiasi
Indikasi dan syarat pasien dilakukan tindakan radiasi adalah ;
- Pasien dengan tumor yang operabel tetapi karena resiko tinggi maka pembedahan tidak dapat
dilakukan.
- Pasien kanker jenis adenokarsinoma atau sel skuamosa yang inoperabel yang diketahui
terdapat pembesaran kelenjar getah bening pada hilus ipsilateral dan mediastinal.
- Pasien dengan karsinoma bronkus dengan histology sel gandum atau anaplastik pada satu paru
tetapi terdapat penyebaran nodul pada kelenjar getah bening dibawah supraklavikula.
- Pasien kambuhan sesudah lobektomi atau pneumonektomi tanpa bukti penyebaran diluar rongga
dada.
Pada beberapa kasus, radioterapi dilakukan sebagai pengobatan kuratif dan biasa juga sebagai
terapi paliatif pada tumor dengan komplkasi, seperti mengurangi efek obsrtuksi atau penekanan
terhadap pembuluh darah atau brokus. Dosis umum 5000-6000 rad dalam jangka waktu 5-6 minggu,
pengobatan dilakukan dalam lima kali seminggudengan dosis 180-200 rad/ hari. Komplikasi:
1. Esofagitis, hilang 7 10 hari sesudah pengobatan
2. Pneumonitis, pada rontgen terlihat bayangan eksudat.
C. Kemoterapi
Kemoterapi digunakan untuk mengganggu pola pertumbuhan tumor, untuk menangani pasien
dengan tumor paru sel kecil atau dengan metastasi luas serta untuk melengkapi bedah atau terapi
radiasi.
- Pada karsinoma sel skuamosa sangat responsive pada kemoterapi
- Sedangkan pada non small cell carcinoma kurang member hasil yang baik.
Syarat untuk pelaksanaan radioterapi dan kemoterapi:
1. Hb > 10 gr%
2. Leukosit > 4000/dl
3. Trombosit > 100.000/dl
Selama pemberian kemoterapi atau radiasi perlu diawasi terjadinya melosupresi dan efek samping
obat atau toksisiti akibat tindakan lainnya.
Macam-macam kemoterapi berdasarkan klasifikasi tumor
1. Small Cell Lung Cancer (SCLC)
- Limited stage diseasediobati dengan tujuan kuratif (kombinasi kemoterapi dan radiasi) dan angka
keberhasilan terapi 20 %.
- Extensive stage disease diobati dengan kemoterapi.
2. Non Small Cell Lung Cancer (NSCLC)
- Kemoterapi adjuvant diberikan mulai stadium II dengan sasaran lokoregional tumor yang dapat
direseksi lengkap, dimana cara pemberiannya dilakukan setelah terapi definitif pembedahan,
radioteerapi, atau keduanya.
- Kemoterapi neoadjuvant diberikan mulai dari stadium II dengan sasaran lokoregional tumor yang
dapat direseksi lengkap, dimana pemberian terapi definitif pembedahan dan radioterapi diberikan
diantarra siklus pemberian kemoterapi.
- Kemoradioterapi konkomitan dilakukan mulai dari stage III, dimana pemberian kemoterapi
dilakukan bersamaan radioterapi.
Penatalaksanaan timoma berdasarkan staging:
1. Keluhan Utama
Biasanya klien datang setelah tumor cukup besar yang menyebabkan penekanan pada organ
sekitarnya sehingga muncul keluhan utama seperti batuk, sesak nafas, kesulitan menelan, ataupun
nyeri dada.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Klien mengatakan nyeri dada bagian tengah seperti tertekan benda berat dan sifatnya menetap,
batuk dengan atau tanpa sputum (batuk kering), sesak nafas, merasa sakit bila menelan makanan.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Perokok berat dan kronis, terpajan terhadap lingkungan karsinogen, penyakit paru kronis sebelumnya
yang telah mengakibatkan pembentukan jaringan parut dan fibrosis pada jaringan paru.
4. Riwayat penyakit Keluarga
Ada keluarga yang pernah menderita penyakit yang sama dengan klien, anggota keluarga menderita
penyakit kanker,.
B. PEMERIKSAAN FISIK
B1 (Breathing)
Batuk dengan atau tanpa sputum, batuk dengan atau tanpa darah, pernafasan stridor, sesak, ada
pergerakan otot bantu nafas.
B2 (Blood)
Sindrom obstruksi vena kava superior (SVKS), tekanan darah dan atau Heart Rate (HR) mungkin
meningkat, CRT mungkin masih dalam batas normal (kurang dari 2 detik), disritmia, peningkatan
JVP.
B3 (Brain)
1. Risiko ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan sekret berlebih
akibat penekanan atau kompresi massa tumor pada trakea dan atau bronkus ditandai dengan:
Klien mengatakan saat batuk tidak dapat mengeluarkan sekret karena takut nyeri bertambah
Klien tidak dapat melakukan batuk efektif dan sekret tidak dapat keluar.
2. Risiko ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penekanan atau kompresi pada trakea dan
atau bronkus, nyeri (akut) ditandai dengan:
Klien mengatakan merasa susah bernafas (terasa berat)
Respiration Rate kurang dari 16 kali per menit atau lebih dari 20 kali per menit (pada pasien
dewasa), cepat dan dangkal, lambat dan dalam
3. Gangguan Rasa Nyaman (Nyeri) berhubungan dengan penekanan atau kompresi massa tumor
pada sistem syaraf (nervus interkostalis) ditandai dengan :
Klien mengatakan dada tengah ke kanan nyeri seperti di tekan benda keras dan nyeri bersifat
menetap
4. Risiko ganggguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake kurang, kesulitan menelan akibat penekanan atau kompresi massa tumor pada esofagus
ditandai dengan:
1. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen (hipoventilasi) ditandai
dengan :
Dispnea
Hipoksemia
sianosis
2. ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan viskositas/ jumlah sekret,
keterbatasan gerakan dada/nyeri, kelelahan ditandai dengan :
dispnea
3. Nyeri (akut) berhubungan dengan insisi bedah (trauma jaringan), terpasang drainase dada ditandai
dengan :
4. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif (pembedahan) ditandai dengan
:
Menolak
Ketakutan
Marah
Hipersensitifitas
D. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan penekanan atau kompresi massa tumor pada sistem syaraf
(nervus interkostalis).
Tujuan : Setelah dilakuakn tindakan keperawatan, rasa nyeri terkontrol atau berkurang dalam waktu kurang
dari 1 x 24jam
Kriteria Hasil :
Klien dapat mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan management nyeri
2. Risiko ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penekanan atau kompresi pada
trakea dan atau bronkus
uan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam pola nafas kembali efektif
Kriteria Hasil :
RR 16-20 kali per menit, reguler
Tidak ada pernafasan cuping hidung
Intervensi dan Rasional:
1. Observasi frekuensi, kedalaman, suara tambahan (rhonki dan atau whezzing), serta upaya
pernafasan termasuk penggunaan otot bantu atau pelebaran nasal.
R/ Kecepatan pernafasan biasanya meningkat (Dispnea), kedalaman pernafasan bervariasi
tergantung derajat gagal nafas, ekspansi dada terbatas karena berhubungan dengan atelektasis atau
nyeri dada atau pleuritik, serta rhonki dan wheezing dapat menyertai obstruksi jalan nafas atau
kegagalan pernafasan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam pola nafas kembali efektif
Kriteria Hasil :
Klien dapat melakukan batuk efektif
Sekret dapat dikeluarkan
Intervensi dan Rasional:
1. Ajarkan dan motivasi klien untuk melakukan batuk efektif yang tepat;
- Nafas sedalam dan selambat mungkin sambil duduk bila mampu serta pasang bantal pada area
yang akan terasa nyeri.
- Pergunakan pernafasan diafragma
- Tahan nafas selama 3-5 detik kemudian hembuskan nafas secara perlahan melalui mulut
- Ambil nafas kedua, tahan dan kemudian batukkan denga kuat dari dada (gunakan dua kali batuk
pendek tapi benar-benar kuat) sambil menekan kuat-kuat bantal pada area yang akan timbul nyeri.
R/ Batuk efektif membantu mengeluarkan sekret.
2. Bantu klien untuk mengeluarkan sekret dengan metode fisioterapi nafas (clapping, vibrating, atau
postural drainage).
R/ Membantu mengeluarkan sekret.
3. Rencanakan periode istirahat (setelah batuk).
R/ Kelelahan merupakan salah satu penyebab kegagalan terapi.
4. Observasi adanya suara tambahan pada paru (rhonki).
R/ Mengetahui keefektifan terapi batuk efektif.
5. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian bronkodilator dan atau nebulizer.
R/ Bronkodilator membantu melebarkan bronkus utama dan nebulizer untuk mengencerkan sekret.
4. Risiko ganggguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake kurang, kesulitan menelan akibat penekanan atau kompresi massa tumor pada
esofagus.
uan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam mampu mempertahankan kebutuhan nutrisi yang
optimal
Kriteria Hasil :
Berat Badan stabil (tetap) atau naik
Intervensi :
1. Observasi kemampuan klien dalam mengkonsumsi makanan per oral (bubur saring/ cair).
Rasional: Mengetahui metastase tumor sampai ke esofagus dan mengevaluasi jumlah masukan
kalori yang dapat diterima klien
2. Observasi perubahan BB secara berkala dan pemeriksaan laboratorium (Hb, albumin) setiap hari.
Rasional : Mengetahui perubahan status gizi klien
3. Kolaborasi dalam pemberian nutrisi parenteral
Rasional : kebutuhan kalori pasien terpenuhi dengan pemberian cairan infus
4. Kolaborasi dalam pemasangan PEG (Percutanius )
Rasional : karena pemberian kalori per oral sudah tidak mungkin akibat dari metastase tumor
Kriteria Hasil :
Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan BGA dalam rentang
normal
Intervensi :
1. Catat frekuensi kedalaman dan kemudahan pernafasan. Observasi pengguanaan otot bantu, nafas
bibir, perubahan kulit/membran mukosa. Misal: pucat, sianosis
R/ pernafasan meningkat sebagai akibat nyeri astau sebagai mekanisme kompensasi awal terhadap
hilangnya jaringan paru.
R/: dapat menunjukkan peningkatan hipoksia atau komplikasi seperti penyimpangan mediastinal pada
pasien pneumonektomi bila disertai dengan takipnea, takikardi, dan deviasi trakeal.
3. Perubahan kepatenan jalan napas pasien dengan memberikan posisi, penghisapan, dan
penggunaan alat
4. Ubah posisi pasien dengan posisi duduk juga posisi terlentang sampei posisi miring
5. Hindari pemberian posisi pada sisi yang dioperasi dengan pasien pneumonektomi
R/: Posisi ini menurunkan ekspansi paru dan menurunkan perfusi pada paru yang baik dan dapat
memperkuat pengembangan tegangan pneumothoraks sekunder terhadap penyimpangan
mediastinal dan akumulasi cairan pada paru yang tersisa.
6. Bantu dengan latihan napas dalam dan napas bibir dengan tepat
R/: Drainase berdarah harus menurun dalam jumlah dan berubah sampai komposisi serosa sesuai
dengan kemajuan penyembuhan
Kriteria hasil:
Intervensi:
R/:Pernapasan bising, ronkhi, dan mengi menunjukkan penumpukkan sekret atau obstruksi jalan
napas
2. Bantu pasien untuk napas dalam efektif dan batuk dengan posisi duduk dan menekan daerah insisi
R/:Posisi duduk memungkinkan ekspansi paru maksimal dan penekanan menguatkan upaya batuk
untuk membuang sekret.
R/: adanya sputum yang kental, berdarah atau purulen diduga terjadi sebagai masalah sekunder
5. Berikan oksigen/nebulizer
R/: pemberian oksigen untuk menghindari hipoksia, sedangkan nebulizer memungkinkan memberikan
terapi pengenceran dahak sehingga sekret yang kental dapat menjadi encer dan dapat dikeluarkan
dengan mudah.
3. Nyeri (akut) berhubungan dengan insisi bedah (trauma jaringan), terpasang drainase dada
Kriteria hasil :
Intervensi
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, edisi revisi. Jakarta: EGC
Indrawati, Maya. 2009. Bahaya Kanker Bagi Wanita dan Pria. Jakarta : AV Publisher
Long, Barbara C, 1996, Perawatan Medikal Bedah: Suatu Pendekatan Proses Holistik. Bandung: Ikatan
Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran
Somantri, Irman. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan
Sistem Pernafasan, cetakan kedua. Jakarta: Salemba Medika
Sudoyo, Aru W, 2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi IV, Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Suyono, Slamet, 2001, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi III. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Underwood, J.C.E, 1999, Patologi Umum dan Sistematik, Edisi 2, Jakarta: EGC
Prasetyo, Wildan. 2010. Askep Tumorr Paru. http://wildanprasetyo.blog.com. Diakses 30 Oktober 2011