Vous êtes sur la page 1sur 29

Clinical Science Session

Gagal Jantung Akut

Oleh:

Feby Arrahmi 1310311102

Fina Seprianita 1310311154

Ega Atista 1310311104

Masyfuk Zuhdi Jamhur 1310311107

Zahara Bunga H. 1310311105

Preseptor :

dr. Muhammad Fadhil, SpJP (K)

BAGIAN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang progresif dengan angka morbiditas
dan mortalitas yang tinggi di negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia.
Usia pasien yang menderita gagal jantung di Indonesia relatif lebih muda dibandingkan
dengan pasien di Eropa dan Amerika disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat. 1
Diperkirakan hampir 5% pasien yang dirawat di rumah sakit, 4,7% merupakan pasien wanita
dan 5,1% pasien laki-laki. Insiden gagal jantung dalam setahun diperkirakan sekitar 2,3 3,7
perseribu penderita pertahun. Kejadian gagal jantung akan semakin meningkat di masa depan
karena semakin bertambahnya usia harapan hidup dan berkembangnya terapi penanganan
infark miokard mengakibatkan perbaikan harapan hidup penderita dengan penurunan fungsi
jantung.2

Gagal jantung adalah sindroma klinis yang ditandai dengan gejala gagal jantung
(sesak nafas saat istirahat atau saat melakukan aktifitas disertai atau tidak kelelahan); tanda-
tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki); adanya bukti objektif
kelainan struktur atau fungsi jantung saat istirahat.3

Berdasarkan presentasinya, gagal jantung dapat diklasifikasikan menjadi : 1) Gagal


jantung akut, dimana onset timbulnya sesak nafas cepat (<24 jam) akibat kelainan fungsi
jantung, gangguan fungsi sistolik, diastolik, irama jantung, kelebihan preload, kelebihan
afterload, dangangguan kontraktilitas. Keadaan ini dapat mengancam jiwa bila tidak di
tatalaksana secara cepat 2) Gagal jantung menahun (kronis), merupakan suatu sindroma klinis
yang kompleks akibat kelainan struktural dan fungsional yang mengganggu kemampuan
pompa jantung atau gangguan pada pengisian jantung dan 3) Acute on chronic heart failure.3

Tujuan diagnosis dan tatalaksana pada gagal jantung yaitu untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas. Semua gagal jantung harus dicari penyebabnya dan dikoreksi,
selain daripemberian obat gagal jantung itu sendiri.2

1.2 Batasan Masalah


Referat ini membahas definisi, epidemiologi, etiologi dan faktor risiko, patofisiologi,

manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, dan prognosis Gagal Jantung Akut.

1.3 Tujuan Penulisan

Referat ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang Gagal

Jantung Akut.

1.4 Metode Penulisan

Metode penulisan dari referat ini adalah dengan tinjauan pustaka yang merujuk

berbagai literatur.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang pasien harus
memiliki tampilan berupa: Gejala gagal jantung (nafas pendek yang tipikal saat istrahat atau
saat melakukan aktifitas disertai / tidak kelelahan); tanda retensi cairan (kongesti paru atau
edema pergelangan kaki); adanya bukti objektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung
saat istrahat.1

Gagal jantung akut adalah gejala gagal jantung yang datang secara tiba tiba,
berbahaya, mengancam nyawa, dan membutuhkan penanaganan segera. Gagal jantung akut
bisa muncul dari pasien yang sebelumnya tidak ada gejala berupa acute de novo (serangan
baru dari gagal jantung akut, tanpa ada kelainan jantung sebelumnya), atau perburukan dari
gagal jantung sebelumnya berupa dekompensasi akut dari gagal jantung kronik. Disfungsi
jantung dapat berupa disfungsi sistolik, disfungsi diastolik, atau bahkan keduanya.4

2.2 Epidemiologi

Gagal jantung akut telah menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia sekaligus
penyebab signifikan jumlah perawatan di rumah sakit dengan menghabiskan biaya yang
tinggi. Prevalensi kasus gagal jantung di komunitas meningkat seiring dengan meningkatnya
usia: 0,7 % (40-45 tahun), 1,3 % (55-64 tahun), dan 8,4 % (75 tahun ke atas). Lebih dari 40%
pasien kasus gagal jantung memiliki ejeksi fraksi lebih dari 50%. Pada usia 40 tahun, risiko
terjadinya gagal jantung sekitar 21% untuk lelaki dan 20.3 % pada perempuan.5

Prevalensi gagal jantung terus mengalami peningkatan dari tahun ketahun. Tahun
2008, diperkirakan terdapat 5,7 juta orang Amerika berusia >20 tahun (2,4%) menderita gagal
jantung. Pada tahun 2010, terdapat sekitar 6,6 juta orang Amerika berusia > 18 tahun (2,8%)
yang mengalami gagal jantung. Tahun 2030 diperkirakan akan terdapat peningkatan
prevalensi dibandingkan tahun 2010, yakni penambahan penderita gagal jantung sekitar 3 juta
orang (25%).6

Menurut Hasil Riskesdas tahun 2013, prevalensi gagal jantung di Sumatera Barat
sama dengan di Indonesia, yakni sebesar 0,3% berdasarkan gejala, atau yang terdiagnosis
dokter.7

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko


Dalam Buku Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung yang diterbitkan oleh PERKI
(Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia) disebutkan beberapa faktor
pencetus dan penyebab gagal jantung akut yang dapat terjadi secara sangat cepat maupun
tidak terlalu cepat.1

Keadaan yang menyebabkan gagal jantung secara cepat :

a. Gangguan takiaritmia atau bradikakardia yang berat


b. Sindroma koroner akut
c. Komplikasi mekanis pada sindroma koroner akut (rupture septum intravetrikuler, akut
regurgitasi mitral, gagal jantung kanan)
d. Emboli paru akut
e. Krisis hipertensi
f. Diseksi aorta
g. Tamponade jantung
h. Masalah perioperative dan bedah
i. Kardiomiopati peripartum

Keadaan yang menyebabkan gagal jantung yang tidak terlalu cepat :

a. Infeksi ( termasuk infektif endocarditis )


b. Eksaserbasi akut PPOK / asma
c. Anemia
d. Disfungsi ginjal
e. Ketidakpatuhan berobat
f. Penyebab iatrogenik ( obat kortikosteroid, NSAID )
g. Aritmia, bradikardia, dan gangguan konduksi yang tidakmenyebabkan perubahan
mendadak laju nadi
h. Hipertensi tidak terkontrol
i. Hiper dan hipotiroidisme
j. Penggunaan obat terlarang dan alcohol
2.4 Klasifikasi

ESC (2008) membuat klasifikasi gagal jantung akut dan membaginya menjadi 6
subset, yaitu acute decompensated heart failure (ADHF), acute pulmonary edema,
hypertensive acute heart failure, syok kardiogenik, gagal jantung kanan terisolasi, serta acute
(de novo) heart failure ec acute coronary syndrome.8

a. Acute decompensated heart failure (ADHF)


Pada ADHF, terjadi perburukan progresif suatu gagal jantung kronik yang sudah
diketahui dan disertai dengan bukti berupa kongesti sistemik ataupun pulmoner.
b. Acute pulmonary edema
Pasien datang dengan distress pernapasan yang berat, takipnea, orthopnea, dan ditemukan
ronkhi pada lapangan paru, disertai dengan saturasi O2<90% sebelum pemberian O2.
c. Hypertensive acute heart failure
Hypertensive acute heart failure merupakan suatu gagal jantung akut yang disertai
dengan tekanan darah tinggi dan fungsi sistolik LV yang masih baik, disertai bukti
peningkatan tonus simpatis dengan takikardi dan vasokonstriksi. Pasien datang dalam
keadaan euvolemik atau hanya sedikit hipervolemik dan sering disertai adanya tanda
kongesti pulmoner tanpa tanda kongesti sistemik.
d. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik didefinisikan sebagai adanya hipoperfusi organ yang dipicu oleh gagal
jantung setelah adanya koreksi adekuat terhadap preload dan aritmia. Tidak ada parameter
hemodinamik diagnostik pada syok kardiogenik. Namun, pada syok kardiogenik,
ditemukan berkurangnya tekanan darah sistolik<90 mmHgdan luaran urin yang kurang
(<0,5/ml/kg/jam). Gangguan irama jantung merupakan tanda yang umum terjadi. Tanda
kongesti pulmoner dan hipoperfusi organ berkembang dengan cepat.
e. Gagal jantung kanan terisolasi
Gagal jantung kanan terisolasi merupakan adanya penurunan curah jantung tanpa disertai
adanya kongesti pulmoner, adanya peningkatan jugular venous pressure (JVP)dan
tekanan pengisian ventrikel kiri yang rendah, tanpa ataudisertai hepatomegali.
f. Acute (de novo) heart failure ec acute coronary syndrome
Pasien dengan gagal jantung akut ec ACS datang dengan adanya bukti klinis dan
laboratoriumACS. Sekitar 15% pasien ACS memiliki tanda dan gejala gagal
jantung.Gagal jantung akut pada pasien ACS sering berhubungan atau dipicu oleh adanya
aritmia (bradikardi, AF, VT).
Gambar 2.1. Enam subset gagal jantung akut

2.5 Patofisiologi

Terdapat tiga kondisi yang mendasari terjadinya gagal jantung, yaitu gangguan
kontraktilitas, peningkatan afterload dan gangguan pengisian diastol.4

1. Gangguan kontraktilitas
Pada keadaan gangguan kontraktilitas ini dapat disebabkan oleh Coronary artery
Disease baik yang telah terjadi infark miokard atau miocardial iskemi. Gangguan
kontraktilitas juga dapat disebabkan oleh volume berlebihan dalam keadaan
kronik contohnya padaa mitral regurgitasi atau aorta regurgitasi. Dilatasi
kardiomiopati juga dapat mempengaruhi gangguan kontraktilitas.4
2. Peningkatan afterload
Peningkatan afterload terdapat pada keadaan hipertensi yang tidak terkontrol atau
stenosis aorta yang berat.4
3. Gangguan pengisian fase diastol
Keadaan yang dapat mengganggu pengisian saat diastol adalah hipertofi ventrikel
kiri, tamponade jantung, iskemi ataupun fibrosis miokardial.4

Beban pengisian (preload) dan beban tekanan (afterload) pada ventrikel yang
mengalami dilatasi atau hipertrofi memungkinkan adanya peningkatan daya kontraksi jantung
yang lebih kuat, sehingga curah jantung meningkat. Pembebanan jantung yang lebih besar
meningkatkan simpatis, sehingga kadar katekolamin dalam darah meningkat dan terjadi
takikardi dengan tujuan meningkatkan curah jantung. Pembebanan jantung yang berlebihan
dapat mengakibatkan curah jantung menurun, maka akan terjadi redistribusi cairan dan
elektrolit (Na) melalui pengaturan cairan oleh ginjal dan vasokontriksi perifer dengan tujuan
untuk memperbesar aliran balik vena (venous return) ke dalam ventrikel sehingga
meningkatkan tekanan akhir diastolic dan menaikkan kembali curah jantung.9

Dilatasi, hipertrofi, takikardi, dan redistribusi cairan merupakan mekanisme


kompensasi untuk mempertahankan curah jantung dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi
badan. Bila semua kemampuan mekanisme kompensasi jantung tersebut di atas sudah
dipergunakan seluruhnya dan sirkulasi darah dalam badan belum juga terpenuhi, maka
terjadilah keadaan gagal jantung.10

Gagal jantung kiri atau gagal jantung ventrikel kiri terjadi karena adanya gangguan
pemompaan darah oleh ventrikel kiri sehingga curah jantung kiri menurun dengan akibat
tekanan akhir diastole dalam ventrikel kiri dan volume akhir diastole dalam ventrikel kiri
meningkat. Keadaan ini merupakan beban atrium kiri dalam kerjanya untuk mengisi ventrikel
kiri pada waktu diastolik, dengan akibat terjadinya kenaikan tekanan rata-rata dalam atrium
kiri. Tekanan dalam atrium kiri yang meninggi ini menyebabkan hambatan aliran masuknya
darah dari vena-vena pulmonal. Bila keadaan ini terus berlanjut, maka bendungan akan terjadi
juga dalam paru-paru dengan akibat terjadinya edema paru dengan segala keluhan dan tanda-
tanda akibat adanya tekanan dalam sirkulasi yang meninggi. Keadaan yang terakhir ini
merupakan hambatan bagi ventrikel kanan yang menjadi pompa darah untuk sirkuit paru
(sirkulasi kecil). Bila beban pada ventrikel kanan itu terus bertambah, maka akan meransang
ventrikel kanan untuk melakukan kompensasi dengan mengalami hipertropi dan dilatasi
sampai batas kemampuannya, dan bila beban tersebut tetap meninggi maka dapat terjadi
gagal jantung kanan, sehingga pada akhirnya terjadi akhirnya terjadi gagal jantung kiri-
kanan.11

Gagal jantung kanan dapat pula terjadi karena gangguan atau hambatan pada daya
pompa ventrikel kanan sehingga isi sekuncup ventrikel kanan tanpa didahului oleh gagal
jantung kiri. Dengan menurunnya isi sekuncup ventrikel kanan, tekanan dan volume akhir
diastole ventrikel kanan akan meningkat dan ini menjadi beban atrium kanan dalam kerjanya
mengisi ventrikel kanan pada waktu diastole, dengan akibat terjadinya kenaikan tekanan
dalam atrium kanan. Tekanan dalam atrium kanan yang meningkat akan menyebabkan
hambatan aliran masuknya darah dalam vena kava superior dan inferior ke dalam jantung
sehingga mengakibatkan kenaikan dan adanya bendungan pada vena-vena sistemik tersebut
(bendungan pada vena jugularis dan bendungan hepar) dengan segala akibatnya (tekanan
vena jugularis yang meninggi dan hepatomegali). Bila keadaan ini terus berlanjut, maka
terjadi bendungan sistemik yang lebih berat dengan aakibat timbulnya edema tumit atau
tungkai bawah dan asites.11

Manifestasi CHF tidak hanya disebabkan karena ketidakmampuan jantung dalam


mensuplai oksigen yang adekuat ke jaringan perifer, tapi juga tergantung pada respon
sistemik dalam mengkompensasi ketidakadekuatan suplai oksigen ke jaringan. Beberapa
faktor yang menentukan cardiac output meliputi heart rate dan stroke volume. Stroke volume
ditentukan oleh preload, kontraktilitas, dan afterload. Variabel-variabel ini penting diketahui
dalam patofisiologis CHF dan potensi terapi. Selain itu interaksi kardiopulmonary penting
juga untuk diketahui dalam peranannya dalam kegagalan jantung.12

Preload dapat dilihat dari jumlah volume darah yang harus dipompa oleh jantung,
kontraktilitas merupakan kemampuan memompa jamtung, sedangkan afterload merupakan
kekuatan yang harus dikeluarkan oleh jantung untuk memompa darah. Preload tidak hanya
dipengaruhi oleh volume intravaskuler, tapi juga dipengaruhi oleh keadaan restriksi saat
pengisian ventrikel. Fungsi diastolic ditentukan oleh dua faktor yaitu elastisitas dari ventrikel
kiri, yang mana merupakan fenomena yang pasif, dan relaksasi myocardial yang mana proses
ini merupakan proses yang aktif dan membutuhkan energi. Ketidaknormalan ventrikel kiri
untuk relaksasi atau elastisitasnya baik itu karena structural (contoh: hypertropi ventrikel kiri)
atau perubahan pada fungsional (contoh: iskemia) mempengaruhi juga pengisian ventrikel
(preload). Variable kedua dari stroke volume adalah kontraktilitas jantung, Pada jantung
normal fungsi sistolik fraksi ejeksi akan selalu dipertahankan diatas 50-55%. Infark myokard
akan menyebabkan myokard tidak dapat bekerja dengan baik, hal ini dikarenakan jantung
tidak dapat berkontraksi dengan baik. Jaringan yang infark dapat diperbaiki dengan
pembedahan atau dengan terapi obat-obatan. Beberapa hal yang juga mempengaruhi
kontraktilitas jantung adalah agent farmakologik (calcium-channel blocker), hipoksemia, dan
asidosis yang parah. Variabel terakhir dari komponen stroke volume adalah afterload.
Afterload biasanya dilihat dengan pengukuran mean arterial pressure. Afterload dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu tahanan vaskuler, dan tekanan intratorakal. Bersama-sama ketiga
komponen ini saling mempengaruhi dalam patofisiologi CHF. Pada kondisi dimana terjadi
penurunan cardiac output, maka heart rate atau stroke volume harus berubah untuk menjaga
kelangsungan perfusi. Jika stroke volume tidak dapat dirubah, maka heart rate harus
ditingkatkan untuk menjaga cardiac output.12
Sistem neurohormonal teraktivasi pada disfungsi ventrikel dengan penurunan cardiac
output, terjadi aktivasi baroreseptor pada arkus aorta, sinus karotikus, dan ventrikel kiri.
Baroreseptor ini menstimulasi pusat regulator vasomotor pada medula, yang mana kemudian
mengaktivasisystem saraf simpatis, arginin vasopressin, dan rennin-angiotensin aldosteron
system. Aktivasi system saraf simpatis dapat terlihat dari adanya peningkatan kadar
norepinephrin plasma, hasilnya dapat terlihat dari peningkatan heart rate, kontraktilitas
myocardium, vasokonstriksi perifer. Renin angiotensin system teraktivasi pada kegagalan
jantung, melalui mekanisme intrarenal, yang distimulasi oleh perubahan tekanan atau
perubahan pada kadar sodium pada macula densa, yang kemudian menyebabkan terjadinya
retensi sodium dan cairan.13

Mekanisme kompensasi gagal jantung

a. Mekanisme Frank Starling


Mekanisme Frank Starling meningkatkan stroke volume berarti terjadi peningkatan
volume ventrivuler end diastolic. Bila terjadi peningkatan pengisian diastolic, berarti ada
peningkatan peregangan dari serat otot jantung, lebih optimal pada filament aktin dan myosin,
dan hasilnya meningkatkan tekanan pada kontraksi berikutnya. Pada keadaan normal,
mekanisme Frank Starling mencocokkan output dari dua ventrikel.14

Pada gagal jantung, mekanisme Frank Starling membantu mendukung cardiac output.
Cardiac output mungkin akan normal pada penderita gagal jantung yang sedang beristirahat,
dikarenakan terjadinya peningkatan volume ventricular end diastolic dan mekanisme Frank-
Starling. Mekanisme ini menjadi tidak efektif ketika jantung mengalami pengisian yang
berlebihan dan serat otot mengalami peregangan yang berlebihan. Hal penting yang
menentukan konsumsi energi otot jantung adalah ketegangan dari dinding ventricular.
Pengisian ventrikel yang berlebihan menurunkan ketebalan dinding pembuluh darah dan
meningkatkan ketegangan dinding pembuluh darah. Peningkatan ketegangan dinding
pembuluh darah akan meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung yang menyebabkan
iskemia dan lebih lanjut lagi adanya gangguan fungsi jantung.15

b. Aktivasi neurohormonal yang mempengaruihi sistem saraf simpatetik


Stimulasi sistem saraf simpatik berperan penting dalam respon kompensasi menurun
cardiac output dan patogenesis gagal jantung. Baik cardiac sympathetic tone dan katekolamin
(epinephrine dan norepinephrin) meningkat selama tahap akhir dari hamper semua bentuk
gagal jantung. Stimulasi lansung irama jantung dan kontraktilitas otot jantung oleh
pengaturan vascular tone, sistem saraf simpatetik membantu memelihara perfusi berbagai
organ, terutama otak dan jantung.15

Aspek negatif dari peningkatan aktivitas system saraf simpatetik melibatkan


peningkatan tahanan sistem vaskular dan kelebihan kemampuan jantung dalam memompa.
Stimulasi simpatetik yang berlebihan juga menghasilkan penurunan aliran darah ke kulit,
otot, ginjal, dan organ abdominal. Hal ini tidak hanya menurunkan perfusi jaringan tetapi juga
berkontribusi meningkatkan sistem tahanan vaskular dan stress berlebihan dari jantung.10

c. Mekanisme Renin-Angiotensin-Aldosteron
Salah satu efek yang paling penting dalam menurunkan cardiac output dalam gagal
jantung adalah reduksi aliran darah pada ginjal dan kecepatan filtrasi glomerulus, yang
menyebabkan retensi garam dan air. Penurunan aliran darah ke ginjal, meningkatkan sekresi
renin oleh ginjal yang secara paralel akan meningkatkan pula angiotensin II. Peningkatan
konsentrasi angiotensin II berkontribusi pada keadaan vasokonstriksi dan menstimulasi
produksi aldosteron dari adrenal korteks. Aldosteron akan meningkatkan reabsorpsi natrium
dengan meningkatkan retensi air.13

Selain itu angiotensin II dan aldosteron juga terlibat dalam inflamasi proses perbaikan
karena adanya kerusakan jaringan. Keduanya menstimulasi produksi sitokin, adhesi sel
inflamasi (contoh neutrofil dan makrofag) dan kemotaksis; mengaktivasi makrofag pada sisi
kerusakan dan perbaikan; dan menstimulasi pertumbuhan fibroblas dan sintesis jaringan
kolagen.15

d. Hipertrofi otot jantung dan remodeling


Perkembangan hipertrofi otot jantung dan remodeling merupakan salah satu
mekanisme akibat meningkatnya kerja yang berlebih. Meskipun hipertrofi ventrikel
memperbaiki kerja jantung, ini juga merupakan faktor risiko yang penting bagi morbiditas
dan mortalitas. Keadaan hipertrofi dan remodeling dapat menyebabkan perubahan dalam
struktur (massa otot, dilatasi chamber) dan fungsi (gangguan fungsi sistolik dan diastolik).
Ada 2 tipe hipertrofi, yaitu pertama Concentric hypertrophy, terjadi penebalan dinding
pembuluh darah, disebabkan oleh hipertensi.dan kedua Eccentric hypertrophy, terjadi
peningkatan panjang otot jantung disebabkan oleh dilated cardiomyopathy.4,16

2.6 Manifestasi Klinis


Tabel 2.1 Manifestasi Klinis Gagal Jantung1
Presentasi klinis pada gagal jantung akut sangat bervariasi. Berdasarkan presentasi klinis

pasien dengan gagal jantung akut dapat dibagi menjadi 6 kategori:17

1. Acute Decompensated Heart Failure: perburukan klinik dari pasien yang sudah

dikenal dengan gagal jantung kronik dengan adanya kongesti sistemik dan

pulmonal.

2. Gagal Jantung Akut Hipertensif: gagal jantung disertai dengan tekanan darah yang

tinggi dan fungsi sistolik ventrikel kiri yang relative baik. Hal ini dapat dibuktikan

dengan peningkatan tonus simpatik yaitu adanya takikardi dan pembuluh darah

yang vasokontriksi. Keadaan pasien dapat berupa euvolemik atau sedikit

hipervolemik dan sering disertai dengan kongesti paru tanpa adanya kongesti

sistemik.
3. Edema Paru: pasien dengan presentasi klinik sesak nafas yang hebat, nafas cepat

dan ortopneu dengan ronki basah pada sebagian besar lapangan paru. Saturasi

oksigen di arteri < 90% pada udara ruangan sebelum diberikan terapi oksigen.

4. Syok Kardiogenik: gagal jantung dengan disertai hipoperfusi jaringan setelah

koreksi terhadap preload dan aritmia. Syok kardiogenik biasanya ditandai dengan

penurunan tekanan darah sistolik (SBP <90 mmHg atau penurunan Mean Arterial

Pressure >30 mmHg) dan penurunan produksi urin (<0,5 mL/kg/jam). Prensentasi

klinis biasanya disertai gangguan irama jantung. Tanda hipoperfusi dan kongesti

paru berkembang dengan cepat.

5. Gagal Jantung Kanan Terisolasi: keadaan yang ditandai dengan output yang

rendah tanpa adanya kongesti paru dengan peningkatan tekanan vena jugularis

dengan atau tanpa hepatomegali dan tekanan pengisian ventrikel kiri yang rendah.

6. Sindrom Koroner Akut (SKA) dan Gagal Jantung: sebagian besar pasien gagal

jantung akut memiliki gambaran dari SKA. Sekitar 15% pasien SkA memiliki

tanda dan gejala dari gagal jantung.

Tabel 2.2 Klasifikasi gagal jantung akut berdasarkan presentasi klinis18


Manifestasi klinis dapat berdasarkan dari pemeriksaan fisik dengan ditemukannya

tanda dan gejala dari kongesti (wet vs dry) dan hipoperfusi perifer (cold vs warm).19

Tabel 2.3 Gambaran pasien dengan gagal jantung berdasarkan kongesti dan hipoperfusi19

Congestion (-) Congestion (+)


Pulmonary congestion
Orthopnoea/PND
Peripheral oedema
Jugular venous dilatation
Congested hepatomegaly
Gut congestion, ascites
Hepatojugular reflux
Hypoperfusion (-) Warm dry Warm wet

Hypoperfusion (+) Cold dry Cold wet


Cold sweated extremities
Oliguria
Mental confusion
Dizziness
Narrow pulse pressure

Pasien dengan gagal jantung disertai komplikasi AMI dapat diklasifikasikan

berdasarkan Killip and Kimball yaitu kelas 1, tidak ada gejala ; kelas 2, gagal jantung dengan

ronki dan S3 gallop ; kelas 3, udem pulmonal akut ; kelas 4, syok kardiogenik, hipotensi

(SBP <90 mmHg) dan berdasarkan vasokontriksi perifer seperti oliguria, sianosis, dan

berkeringat.19

Berdasarkan Klasifikasi Forrester, gagal jantung akut dibagi dalam 4 kelompok

berdasarkan manifestasi klinis dan status hemodinamik, yaitu normal, edema pulmonal, syok

hipovolemik, dan syok kardiogenik.18


Gambar 2.2 Klasifikasi Forrester 18

2.7 Diagnosis

Diagnosis mulai ditegakkan saat tatalaksana pra rumah sakit dan rumah sakit.

Diagnosa gagal jantung ditegakkan dengan menyingkirkan tanda dan gejala dari penyebab

lain seperti infeksi paru, anemia berat, dan gagal ginjal akut. Penegakkan diagnosa gagal

jantung akut dapat dengan anamnesis, tanda dan gejala kongesti atau hipoperfusi, dan

pemeriksaan penunjang seperti Elektrokardiografi (EKG), rontgen dada, pemeriksaan

laboratorium (biomarker spesifik) dan ekokardiografi.19

Pemeriksaan Penunjang

1. Foto toraks

Pemeriksaan pada foto toraks dapat ditemukannya pulmonary venous congestion,

efusi pleura, udem intersisial, dan kardiomegali yang sangat spesifik pada gagal
jantung akut. Pemeriksaan foto toraks juga digunakan untuk mengidentifikasi

penyakit lain dari jantung (pneumonia, dll). Pemeriksaan foto toraks harus

dilakukan secepatnya untuk menetukan derajat kongesti paru dan untuk menilai

kondisi paru dan jantung, serta yang lain.19

2. EKG

Pemeriksaan EKG dapat memberikan informasi mengenai irama dan kontraksi

jantung, konduksi jantung, serta etiologi seperti perubahan ST segmen iskemik

untuk kemungkinan STEMI atau NSTEMI.17

3. Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan:

- Anemia

- Hipokalemia dan hyperkalemia yang dapat meningkatkan resiko aritmia

- Hiponatremia, akibat penekanan system RAA (renin-angiotensin-aldosteron)

- Peningkatan kadar tiroid, pada tirotoksikosis atau miksedema

- Peningkatan produksi Brain Natriuretic Peptide (BNP), akibat peningkatan

tekanan intraventricular, seperti pada gagal jantung. Pemeriksaan BNP

digunakan juga untuk menentukan penyebab dari gagal jantung yang berasal

dari jantung atau yang lain.19

Tabel 2.4 Penyebab meningkatnya konsentrasi dari Natriuretic Peptides19

Cardiac Gagal jantung


Sindrom Koroner Akut
Emboli paru
Miokarditis
Left ventricular hypertrophy
Hypertrophic or restrictive
cardiomyopathy
Penyakit katup jantung
Penyakit jantung kongenital
Atrial dan ventricular aritmia
Kontusio
Kardioversi
Hipertensi pulmonal
Non-cardiac Usia lanjut
Stroke iskemik
Subarachnoid haemorrhage
Disfungsi renal
Disfungsi hati (sirosis dengan asites)
PPOK
Infeksi (sepsis dan pneumonia)
Anemia
Kelainan hormone dan metabolic
(tirotoksikosis, diabetic ketosis)

4. Ekokardiografi

Ekokardiografi adalah pemeriksaan yang harus dilakukan pada pasien dengan

hemodinamik tidak stabil (khususmya pada syok kardiogenik) dan pada pasien

dengan abnormal pada struktur dan fungsi jantung (acute valvular regurgitation

dan aortic dissection).19

Kadar kreatinin, glukosa, albumin, enzim hati juga perlu dievaluasi. Sedikit

peningkatan troponin jantung dapat terjadi pada pasien gagal jantung akut tanpa SKA.

Analisis gas darah memungkinkan penilaian oksigen, fungsi respirasi, dan keseimbangan

asam basa, terutama pada pasien dengan stress pernapasan.19

2.8 Tatalaksana

Tatalaksana awal gagal jantung akut bertujuan untuk memperbaiki gejala dan

menstabilkan kondisi hemodinamik, yang meliputi:9

Oksigenasi dengan sungkup masker atau CPAP (continious positive airway

pressure), dengan target SaO2 94-96%


Pemberian inotrop atau vasopresor bila tekanan darah < 85 mm Hg

Terapi diuretik dengan furosemid atau diuretik kuat lainnya (dimulai dengan

bolus IV, bila perlu diteruskan dengan infus berkelanjutan)

Pemberian morfin untuk memperbaiki status fisik, psikologis dan

hemodinamik

Pemberian infus intravena apabila ada kecurigaan tekanan pengisian yang

rendah (low filling pressure)

Pacing, antiaritmia atau elektroversi jika terjadi kelainan denyut dan irama

jantung

Mengatasi komplikasi metabolik dan kondisi spesifik organ lainnya.

Gambar 2.3 Algoritma terapi farmakologis pada pasien yang telah didiagnosis sebagai gagal
jantung akut. 2
Gambar 2.4 Algoritma manajemen edema/kongesti paru akut.1
Pasien dengan edema/kongesti paru tanpa syok1
Diuretika loop (IV) direkomendasikan untuk mengurangi sesak nafas, dan kongesti.
Gejala , urin, fungsi renal dan elektrolit harus diawasi secara berkala selama
penggunaan diuretika IV
Pemberian Oksigen dosis tinggi direkomendasikan bagi pasien dengan saturasi perifer
< 90% atau PaO2 < 60 mmHg, untuk memperbaiki hipoksemia
Profilaksis tromboemboli direkomendasikan pada pasien yang belum mendapat
antikoagulan dan tidak memiliki kontraindikasi terhadap antikoagulan, untuk
menurunkan risiko deep vein thrombosis dan emboli paru
Pemberian ventilasi non invasive (CPAP, dll) harus dipertimbangkan bagi pasien
dengan edema paru dan pernafasan > 20x/ menit untuk mengurangi sesak nafas,
mengurangi hiperkapnia dan asidosis. Ventilasi non invasive dapat menurunkan
tekanan darah dan tidak dipergunakan pada pasien dengan tekanan darah sistolik < 85
mmHg
Opium (IV) harus dipertimbangkan terutama bagi pasien yang gelisah, cemas atau
distress untuk menghilangkan gejala-gejala tersebut dan mengurangi sesak nafas.
Kesadaran dan usaha nafas harus diawasi secara ketat, karena pemberian obat ini
dapat menekan pernafasan
Pemberian nitrat (IV) harus dipertimbangkan bagi pasien edema/ kongesti paru
dengan tekanan darah sistolik > 110 mmHg, yang tidak memiliki stenosis katup
mitral dan atau aorta, untuk menurunkan tekanan baji kapiler paru dan resistensi
vascular sistemik. Nitrat juga dapat menghilangkan dispnoe dan kongesti. Gejala dan
tekanan darah harus dimonitor secara ketat selama pemberian obat ini.
Infus sodium nitroprusid dapat dipertimbangkan bagi pasien edema/ kongesti paru
dengan tekanan darah sistolik > 110 mmHg, yang tidak memiliki stenosis katup
mitral dan atau aorta, untuk menurunkan tekanan baji kapiler paru dan resistensi
vascular sistemik. Nitrat juga dapat menghilangkan dispnoe dan kongesti. Gejala dan
tekanan darah harus dimonitor secara ketat selama pemberian obat ini.
Obat inotropic TIDAK direkomendasikan kecuali pasien mengalami hipotensi (
tekanan darah sistolik < 85 mmHg ), hipoperfusi atau syok, dikarenakan faktor
keamanannya (bisa menyebabkan aritmia atrial/ventricular, iskemia miokard dan
kematian)
Pasien dengan hipotensi, hipoperfusi atau syok1
Kardioversi elektrik direkomendasikan bila aritmia ventricular atau atrial dianggap
sebagai penyebab ketidakstabilan hemodinamik, untuk mengembalikan irama sinus
dan memperbaiki kondisi klinis pasien
Pemberian inotropic (IV) harus dipertimbangkan pada paien dengan hipotensi
(tekanan darah sistolik < 85 mmHg) dan atau hipoperfusi untuk meningkatkan curah
jantung, tekanan darah dan memperbaiki perfusi perifer. EKG harus domonitor secara
kontinu karena inotropic dapat menyebabkan aritmia dan iskmia miokardial
Alat bantu sirkulasi mekanik untuk sementara perlu dipertimbangkan (sebagai
jembatan untuk pemulihan) pada pasien yang tetap dalam keadaan hipoperfusi
walaupun sudah mendapat terapi inotropic dengan penyebab yang reversible
(mis.Miokarditis virus) atau berpotensial untuk menjalani tindakan intervensi (mis.
Ruptur septum intraventrikular)
Levosimendan (IV) atau penghambat fosfodiesterase dapat dipertimbangakan untuk
mengatasi efek penyekat beta bila dipikirkan bahwa penyekat beta sebagai penyebab
hipoperfusi. EKG harus dimonitor karena obat ini bias menyebabkan aritmia dan atau
iskemia miokardial dan juga obat ini mempunyai efek vasodilator sehingga tekanan
darah juga harus dimonitor
Vasopesor (mis. Dopamine atau norepinefrin) dapat dipertimbangakan bagi pasien
yang mengalami syok kardiogenik, walaupun sudah mendapat inotropic, untuk
meningkatkan tekanan darah dan perfusi organ vital. EKG harus dimonitor karena
obat ini dapat menyebabakan aritmia dan atau iskemia miokardial. Pemasangan
monitor tekanan darah intra-arterial juga harus dipertimbangkan
Alat bantu sirkulasi mekanik untuk sementara juga harus dipertimbangalan pada
pasien yang mengalami perburukan kondisi dengan cepat sebelum evalusi klinis dan
diagnostik lengkap dapat dikerjakan
Pasien dengan Sindroma Koroner Akut1
Tindakan Intervensi Koroner Perkutaneus Primer (IKPP) atau Bedah Pintas Arteri
Koroner (BPAK) direkomendasikan bila terdapat elevasi segmen ST atau LBBB baru
untuk mengurangi perluasan nekrosis miosit dan risiko kematian mendadak
Alternatif IKPP atau BPAK : trombilitik (IV) direkomendasikan, bila iKPP/ BPAK
tidak dapat dilakukan, pada elevasi segmen ST atau LBBB baru , untuk mengurangi
perluasan nekrosis miosit dan risiko kematian mendadak
IKP dini (atau BPAK pada pasien tertetu) direkomendasikan pada sindroma kaoroner
akut non elevasi segmen ST untuk mengurangi risiko sindroma koroner akut
berulang. Tindakan revaskularisasi secepat direkomendasikan bagi pasien dengan
hemodinamik yang tidak stabil
Antagonis mineralokortikoid direkomendasikan untuk menurunkan risiko kematian
dan perawatan karena masalah cardiovascular pada pasein dengan fraksi ejeksi < 40%
ACE (ARB) direkomendasikan bagi pasien dengan fraksi ejeksi < 40%, setelah
kondisi stabil, untuk mengurangi risiko kematian, infark miokard berulang dan
perawatan oleh karena gagal jantung
Penyekat direkomendasikan bagi pasien dengan fraksi ejeksi < 40 %, setelah
kondisi stabil, untuk mengurangi risiko kematian, infark miokard berulang dan
perawatan oleh karena gagal jantung
Opiat (IV) harus dipertimbangkan untuk mengurangi nyeri iskemik yang hebat (dan
memperbaiki sesak nafas). Kesadaran dan usaha nafas harus dimonitor secara ketat
karena opiate dapat menyebabkan depresi pernafasan
Pasien dengan brakikardia berat atau blok jantung1
Pacu jantung direkomendasikan bagi pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil
oleh karena bardikardia berat atau blok jantung, untuk memperbaiki kondisi klinis
pasien
Tabel 2.5 Dosis obat yang dipakai pada gagal jantung1
Tabel 2.6 Dosis diuretik yang digunakan pada pasien gagal jantung2

Sebelum pasien dipulangkan, harus dipastikan bahwa episode gagal jantung sudah
teratasi dengan baik, terutama tanda dan gejala kongesti sudah harus hilang, dan dosis
diuretic oral yang stabil sudah tercapai selama minimal 48 jam.Selain itu regimen obat gagal
jantung (ACEI/ ARB, penyekat dengan atau tanpa MRA) sudah dioptimalkan dosisnya
dengan baik, dan yang tidak kalah pentingnya adalah edukasi kepada pasien dan keluarga.1

2.9 Prognosis

Pasien gagal jantung akut memiliki prognosis yang buruk. Dalam satu randomized
trial yang besar, pada pasien yang dirawat dengan gagal jantung yang mengalami
dekompensasi, mortalitas 600 hari adalah 9,6%, dan apabila dikombinasikan dengan
perawatan ulang 60 hari menjadi 35,2%. Prediktor mortalitas yang tinggi antara lain
tekanan baji kapiler paru (Pulmonary Capillary Wedge Pressure) yang tinggi yaitu sama
atau lebih dari 16 mmHg, kadar natrium yang rendah, dimensi ruang ventrikel yang
meningkat dan konsumsi oksigen puncak yang rendah. Sekitar 45% pasien GJA akan
dirawat ulang satu kali, dan 15% paling tidak akan dirawat dua kali dalam 12 bulan
pertama.9

2.10 Komplikasi

Cedera Ginjal Akut pada Gagal Jantung Akut

Banyak pasien yang datang kerumah sakit dengan menderita gangguan jantung dan ginjal
dalam berbagai tingkat keparahan. Interaksi antara organ tersebut memiliki fungsi yang sangat
penting dalam menjaga stabilitas hemodinamik seperti pengaturan volume darah dan tonus
vaskuler. Ganguan utama salah satu dari kedua organ ini akan menghasilkan disfungsi atau jejas
sekunder pada organ lainnya. Interaksi tersebut merepresentasikan sebuah dasar patofisiologi
untuk sebuah entitas klinis yang biasa disebut dengan sindroma kardiorenal (SKR).20 Walaupun
secara umum didefinisikan sebagai kondisi yang ditandai dengan inisiasi dan/ atau progresifitas
dari insufisiensi ginjal sebagai akibat sekunder dari gagal jantung, istilah SKR juga digunakan
untuk mendiskripsikan efek negatif akibat berkurangnya fungsi ginjal pada jantung dan sistem
sirkulasi.20

Ronco dan kawan-kawan pada tahun 2008, telah membagi SKR berdasarkan kejadian
alamiah terjadinya interaksi bidireksional antara jantung dan ginjal menjadi 5 subtipe yang
merefleksikan patofisiologi sesuai alur waktu dari disfungsi jantung dan ginjal yang
konkomitan. Secara umum, SKR dapat didefinisikan sebagai gangguan patofisiologis dari
jantung dan ginjal, dimana disfungsi akut ataupun kronis salah satu organ tersebut dapat
menginduksi disfungsi akut atau kronis organ yang lain. SKR tipe 1 merefleksikan
perburukan mendadak fungsi jantung (misal pada renjatan kardiogenik dan ADHF yang
mengakibatkan cedera ginjal akut AKI. SKR tipe 2 merupakan abnormalitas kronis jantung
(misal pada gagal jantung kongestif kronik) yang menyebabkan gagal ginjal kronis progresif.
SKR tipe 3 merupakan perburukan fungsi ginjal yang mendadak yang menyebabkan
disfungsi jantung akut, seperti aritmia, iskemia dan gagal jantung. SKR tipe 4 dideskripsikan
sebagai kondisi gagal ginjal kronis yang berkontribusi kepada penurunan fungsi, hipertrofi
jantung dan/ atau peningkatan resiko dari kejadian kardiovaskuler. Sedangkan SKR tipe 5
adalah kondisi sistemik (misal: sepsis) yang menyebabkan disfungsi jantung dan ginjal secara
bersamaan.20

Acute kidney injury merupakan gabungan beberapa kondisi yang mempengaruhi struktur
dan fungsi ginjal. AKI didefinisikan sebagai penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba yang
termasuk didalamnya, tapi tidak terbatas pada gagal ginjal akut. Hal ini mencakup gejala klinis
yang luas termasuk penyakit ginjal yang speisfik (misal, nefritis interstisial akut, penyakit
glomerular dan vasculitis ginjal akut), kondisi non spesifik (misal, iskemia, cedera akibat toksik),
dan gangguan patologi ekstra renal (misal, azotemia prerenal dan nefropati obstruktif akut
postrenal). Lebih dari satu kondisi ini mungkin dapat terjadi secara bersamaan pada pasien yang
sama, namun yang lebih penting, bukti epidemiologis mendukung, walaupun kecil, AKI yang
reversibel, memiliki konsekwensi klinis yang penting, termasuk peningkatan risiko kematian.21
Lebih jauh, karena manifestasi dan konsekwensi klinis

AKI dapat sangat mirip tanpa memandang etiologi, sindroma AKI mencakup baik
cedera langsung ke ginjal maupun gangguan akut pada fungsi ginjal. Acute kidney injury
merupakan masalah kesehatan yang sering ditemukan, berbahaya dan berpotensi untuk
disembuhkan. Walaupun hanya terjadi sedikit penurunan fungsi ginjal sudah dapat
memberikan prognosis yang buruk. Deteksi dini AKI mungkin dapat meningkatkan keluaran
pasien. Dua definisi AKI yang berdasar kreatinin serum dan output urin (stratifikasi Risk,
Injury, Failure, Loss and End state renal disease (RIFLE) dan kriteria menurut Acute Kidney
Injury Network (AKIN) telah diperkenalkan dan divalidasi (Mehta, et al, 2007). Secara
umum, AKI didefinisikan sebagai (1) peningkatan kreatinin serum 0.3 mg/dL (
26.5mol/L) dalam kurun waktu 48 jam atau (2) peningkatan kreatinin serum 1,5 kali dari
garis dasar, yang diketahui atau diasumsikan terjadi dalam kurun waktu 7 hari terakhir, atau
(3) volume urin 0,5 ml/kg/ jam selama 6 jam.

Tabel 2.7 Kriteria AKI menurut klasifikasi AKIN.

Stadium Kreatinin serum Urin output

1 1,5-1,9 kali dari awal <0,5 mL/kg/jam selama 6-12

Atau Jam

Peningkatan 0,3 mg/dL (26,5 mol/ L)

2 2,0-2,9 kali dari awal <0,5mL/kg/jam selama 12

Jam

3 3,0 kali dari awal < 0,3 mL/kg/jam 12 jam

Atau Atau

Peningkatan kreatinin serum 4,0mg/dL (353,6 mol/L) Anuria selama >12 jam

Atau

Penggunaan renal replacement therapy/ CRRT

Atau

pada pasien <18 tahun, dengan penurunan eGFR hingga <35

mL/min per 1,73 m2


BAB III

KESIMPULAN

1. Gagal jantung akut adalah timbulnya gejala sesak nafas secara cepat (<24 jam ) akibat
kelainan fungsi jantung, gangguan fungsi sistolik atau diastolik atau irama jantung,
atau kelebihan beban awal (preload), beban akhir (afterload), atau kontraktilitas dan
keadaan ini dapat mengancam jiwa bila tidak ditangani dengan tepat
2. Penyebab tersering dari gagal jantung akut adalah hipervolum atau hipertensi pada
pasien dengan gagal jantung diastolik
3. Paisen gagal jantung akut dapat datang dengan berbagai kondisi klinis, yaitu Acute
decompensated heart failure (ADHF), Hypertensive heart failure, Edema Paru, Syok
Kardiogenik, High output failure dan Gagal jantung kanan
4. Kondisi yang mendasari terjadinya gagal jantung bisa akibat gangguan mekanik dan
abnormalitas otot jantung (primer atau sekunder). Dilatasi, hipertrofi, takikardi, dan
redistribusi cairan merupakan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah
jantung dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi badan. Bila semua kemampuan
mekanisme kompensasi jantung tersebut di atas sudah dipergunakan seluruhnya dan
sirkulasi darah dalam badan belum juga terpenuhi, maka terjadilah keadaan gagal
jantung.
5. Keluhan pasien dengan gagal jantung akut dapat berupa takikardi, sesak nafas yang
hebat, penurunan tekanan darah (SBP <90mmHg), edema ekstremitas, dan dyspnea d
effort.
6. Pemeriksaan pada foto toraks dapat ditemukannya pulmonary venous congestion,
efusi pleura, udem intersisial, dan kardiomegali yang sangat spesifik pada gagal
jantung akut. Pada pemeriksaan BNP adanya peningkatan produksi Brain Natriuretic
Peptide (BNP).
7. Tatalaksana awal gagal jantung akut bertujuan untuk memperbaiki gejala dan
menstabilkan kondisi hemodinamik, meliputi : oksigenasi, pemberian inotrop/
vasopresor bila tekanan darah < 85 mm Hg, diuretik, morfin, pemberian infus
intravena , pacing, antiaritmia atau elektroversi dan mengatasi komplikasi metabolik
dan kondisi spesifik organ lainnya.

26
8. Prognosis gagal jantung akut cukup buruk dimana angka mortalitas 600 hari sebesar
9,6% dan sekitar 45% akan dirawat kembali dalam 12 bulan pertama setelah keluar
dari rumah sakit.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Siswanto, BB, Nani H, Erwinanto, dkk. Pedoman tatalaksana gagal jantung :


Perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular indonesia; 2015. pp.1-42
2. Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi S, Soerinata. Diagnosis dan
Tatalaksana Proses Gagal jantung Akut. 2007.
3. Rilantono L. Penyakit Kardiovaskuler (PKV). Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2016.
4. Anjan Neal C, Michael AF. Heart Failure. In: Patophisyology of Heart Disease (fifth ed).
Lily S Leonard et al. Wolter Kluwer. 2011. P. 216-231
5. Permenkes No 5 Tahun 2014 : Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer. 2014
6. American Heart Association (AHA). Heart disease and stroke statistics-2012 update.
2012.
7. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan pengembangan Kesehatan Kementerian RI
tahun 2013. 2013
8. ESC (European Society of Cardiology) Guidelines. 2008 ESC Guidelines for the
diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure. 2008.
9. Manurung D. Gagal jantung akut. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar penyakit dalam 4th Ed. Jakarta: Pusat
penerbitan departemen ilmu penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2006. p.1515.
10. Rang, HP. Pharmacology. Edinburgh: Churchill Livingstone. 2003. p. 127.
11. Osama GMD. Topic Review Heart Failure. Albany Medical Review. January 2002. p.1
12. Figueroa MS and Peters JI. Congestive Heart Failure: Diagnosis,
Pathophysiology,Therapy, and Implications for Respiratory Care. Respir Care. 2006.
51(4), pp. 403 412.
13. Tsutsui H, Matsushima S, Kinugawa S, et al. Angiotensin II type 1 receptor blocker
attenuates myocardial remodeling and preserves diastolic function in diabetic heart.
Hypertens. Res. 2007. 30(5): 43949.
14. Boron, Walter F.; Boulpaep, Emile L. Medical Physiology: A Cellular and Molecular
Approach (Updated ed.). Saunders. 2005 p. 533.
15. Loscalzo, Joseph; Fauci, Anthony S.; Braunwald, Eugene; Dennis L. Kasper; Hauser,
Stephen L; Longo, Dan L. Harrison's Principles of Internal Medicine(17 ed.). McGraw-
Hill Medical. 2008. p. 279

28
16. Shigeyama J, Yasumura Y, Sakamoto A, et al. Increased gene expression of collagen
Types I and III is inhibited by beta-receptor blockade in patients with dilated
cardiomyopathy. Eur. Heart J. 2005. 26 (24): 2698705.
17. Dickstein K. Cohen-Solal A. Filippatos G, Mc Murray JJ, Ponikowski P, Poole WPA.
ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure.
European Journal Heart Fail 2008; 10:9333-989.
18. European society of cardiology. Guideline on the Diagnosis and Treatment of Acute
Heart Failure. European Heart Journal; 2005. pp. 4-5.
19. Ponikowski P, Voors A, Huker SD, Bueno H, Cleland JGF, Coast AJS, et al. ESC
Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic HF. European Heart
Journal:2016. 43-47.
20. Ronco, C., M. Haapio, A.A. House, N. Anavekar, R. Bellomo. Cardiorenal Syndrome. J
Am Coll Cardio: 2008. 52(19):1527-39
21. Hoste, E.A.J., G. Clermont, A. Kersten, R. Venkataraman, D.C. Angus, D.D. Bacquer,
dan J.A. Kellum. RIFLE criteria for acute kidney injury are associated with hospital
mortality in critically ill patients. Critical Care: 2006. 10(3):1-10

29

Vous aimerez peut-être aussi