Vous êtes sur la page 1sur 45

Asma Bronchial

Oleh:
Saefanius Ovalinsky

11-2016-092

Pembimbing :

dr. Dwi Haryadi Sp.A

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Anak


Periode 29 Mei 2017 s/d 5 Agustus 2017
Rumah Sakit Bayukarta Karawang
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna No.6 Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Indonesia
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

(Universitas Kristen Krida Wacana)

Jl. Terusan Arjuna No.6 Kebon Jeruk, Jakarta Barat

IDENTITAS PASIEN

Nama lengkap : An. A Jenis kelamin : Laki-laki


Tempat/tanggal lahir : Karawang, 20 Suku Bangsa : jawa
September 2010
Usia : 6 tahun 9 bulan 10 hari Agama : islam
Pekerjaan : Belum bekerja Pendidikan : -
Alamat : Teluk Jambe RT 09/RW 04 Datang ke IGD RS Bayukarta
30 Juni 2017, pukul 11.00 wib

IDENTITAS ORANG TUA


Nama Orang Tua Ibu Ayah
Nama Ny. L Tn. S
Umur 34 tahun 38 tahun
Pendidikan SLTA SMA
Pekerjaan Ibu Rumah Tangga Pegawai Swasta

II. Anamnesis
Diambil dari : Alloanamnesis dari ibu Pasien
Tanggal : 30 Juni 2017 di bangsal anak Lukas 1 pukul 15.00 wib
RIWAYAT PENYAKIT
Keluhan Utama
Sesak
Riwayat Penyakit Sekarang

Ibu pasien mengatakan anaknya sesak sajak 1 minggu SMSR. Sesak dirasakan
setiap hari dan dalam sehari bisa terjadi 1-3x serangan sesak. Saat malam hari anak
sering terbangun karena sesak dan mengganggu aktifitas anak. Sebelum sesak biasanya
anak diawali batuk selama seminggu ini. Batuk dirasa sesekali, tidak disertai dahak,
tidak ada darah. Anak juga pilek selama seminggu ini. BAB padat 1x hari ini, terdapat
ampas, lendir darah tidak ada. Muntah tidak ada. Demam tidak ada. BAK sering, warna
kuning jernih, volume gelas aqua. Nafsu makan minum masih baik. Anak sudah
dinebulizer dirumah dengan velutine setiap kali sesak tetapi pasien merasa tidak ada
perbaikan.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mempunyai riwayat Asma sejak umur 1 bulan, sudah di periksa kedokter.
Terakhir dirawat tahun 2012.

Riwayat Penyakit Keluarga


Penyakit Ya Tidak Hubungan
Alergi

Asma Nenek dari ayah


Tuberkulosis
Hipertensi
Diabetes
Kejang Demam
Epilepsi

Silsilah Keluarga ( Family Tree )


Silsilah Keluarga

Note :
: laki-laki
: perempuan

:penderita asma

OS merupakan anak kandung yang pertama, dari kedua orang tuanya


Riwayat Kehamilan Dan Kelahiran
Kehamilan : Perawatan antenatal : Baik, rutin kontrol ke bidan.
Penyakit kehamilan : Tidak ada.
Kelahiran : Tempat Kelahiran : Rumah Sakit Ibu dan Anak
Penolong Persalinan : Dokter
Cara Persalinan : Pervaginam, tanpa penyulit
Masa Gestasi : 39 minggu
Keadaan Bayi : Berat Badan Lahir : 3500 gram
Panjang Badan Lahir : 50 cm
Lingkar Kepala : Tidak ingat
Kelainan Bawaan : Tidak Ada Kelainan Bawaan
Langsung menangis saat lahir, suara nyaring, kulit kemerahan, dan
bergerak aktif.
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
1. Motorik Kasar
Mengangkat kepala : 3 bulan
Membalikkan badan : 3 bulan
Dada terangkat menumpu pada lengan : 5 bulan
Berdiri : 12 bulan
Berjalan : 13 bulan

2. Motorik Halus
Memindahkan kubus : 8 bulan
Mencoret-coret : 13 bulan

3. Personal Sosial
Tepuk tangan : 8 bulan

4. Bahasa
Berteriak : 3 bulan
Mengucapkan papa mama : 11 bulan

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Suhu : 38.5 derajat C
Nadi : 128 x/menit
Pernapasan : 46 x/menit
Pemeriksaan Sistematis
Kepala : : Normocephal, tidak teraba benjolan, rambut hitam distribusi merata
Mata : Bentuk normal, konjungtiva anemis tidak ada, sclera kanan dan kiri tidak
ikterik.Tidak ada nistagmus, strabismus dan deviasi konjugae.
Telinga : Normotia, liang telinga lapang, tidak terdapat serumen , tidak terdapat
secret.
Hidung : Bentuk normal, deviasi septum tidak ada, ada sekret berwarna jernih.
Mulut : Bentuk normal, mukosa lembab, sianosis tidak ada, tonsil T1T1 dan faring
tidak hiperemis.
Leher : Tidak ada kelainan, kelenjar getah bening dan tiroid tidak teraba
pembesaran.
Paru paru
- Inspeksi : bentuk dada normal, simetris pada keadaan stasis maupun
dinamis, retraksi sela iga (-)
- Palpasi : vokal fremitus kanan sama dengan kiri, tidak ada bagian dada
yang tertinggal
- Perkusi : tidak dilakukan
- Auskultasi : suara napas brokovesikuler +/+, ronki -/-, wheezing +/+
Jantung
- Inspeksi : tidak tampak pulsasi ictus cordis
- Palpasi : teraba pulsasi ictus cordis di sela iga IV linea mid clavicula
sinistra
- Perkusi : tidak dilakukan
- Auskultasi : bunyi jantung I II murnireguler, murmur ( - ), gallop ( - )
Abdomen
- Inspeksi : datar, tidak tampak massa
- Aukultasi : Bising usus ( + ) normoperistaltik
- Palpasi : Tidak teraba adanya massa, tidak teraba adanya perbesaran
hepar dan lien, turgor kulit baik.
- Perkusi : timpani diseluruh lapang
Ekstremitas : akral hangat, tidak ada deformitas, tidak ada edema, tidak ada
sianosis, CRT < 2 detik.
Berdasarkan Kurva Pertumbuhan WHO (Z score) :Terlampir
Berat Badan : 18 kg
Panjang badan : 100 cm
BMI : 18 (normal)
Lingkar Kepala : 51 cm
Antropometri
- Lingkar kepala : 1 s/d 0 SD (normal)
- BB/U : 2 s/d 0 SD (normal)
- PB/U : 2 s/d 0 SD (normal)
- BB/PB :
- BMI/U :
Kesan : pertumbuhan dan perkembangan sesuai usia.
Riwayat Nutrisi
Usia 0 6 bulan : ASIekslusif (sampai 3 bulan) , susu formula.
Usia 6 9 bulan : Susu Formula + Bubur Bayi
Usia 9 12 bulan : Susu Formula + Bubur Nasi
Usia 12 sekarang : Susu Formula + Makanan Keluarga
Kesan : Kualitas cukup kuantitas : cukup
Riwayat Imunisasi
VAKSIN DASAR ULANGAN
(Umur) (Umur)
Hepatitis B 0 1 6
bulan bulan bulan
DPT/DT 2 4 6 2
bulan bulan bulan tahun
Polio 0 2 4 6 2
bulan bulan bulan bulan tahun
Campak 9
bulan
BCG 2
bulan

Kesan : Imunisasi dasar dan booster lengkap

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Nadi : 128 kali/menit, reguler
Suhu : 38,5 C
Pernapasan (frekuensi dan tipe) : 46 kali/menit
Keadaan gizi : Baik
Sianosis : Tidak ada
Udema umum : Tidak ada

Mata
Exophthalamus : Tidak ada
Enopthalamus : Tidak ada
Kelopak : Tidak edema, tidak hiperemis
Lensa : Jernih
Konjungtiva : Tidak anemis
Visus : Normal
Sklera : Tidak ikterik
Gerakan mata : Tidak ada jerky, tidak ada nistagmus
Lapangan penglihatan : Normal
Tekanan bola mata : N+

Telinga

Tuli : Tidak ada


Selaput pendengaran : Tidak ada tanda radang/hiperemis, tidak ada bulging
Liang : Lapang di kedua liang telinga
Penyumbatan : Tidak ada
Perdarahan : Tidak ada
Cairan : Tidak ada
Hidung : Tidak ada septum deviasi, tampak sekret, nyeri tekan sinus kanan-kiri
tidak ada, napas cuping hidung kanan-kiri tidak ada.
Tenggorokan : Faring tidak tampak hiperemis, tonsil kanan-kiri (T1-T1), tdiak tampak
kripta, detritus, atau eksudat.
Mulut

Bibir : Tidak sianosis, lembab, simetris


Tonsil : T1-T1, hiperemis (-)
Langit-langit : Tidak ada kelainan
Faring : Hiperemis (-)
Lidah : Coated tongue (-)
Sariawan : Tidak ada
Leher

Kelenjar Tiroid : Tidak teraba membesar, tidak ada massa


Kelenjar Limfe : Tidak teraba membesar, tidak ada massa
Dada
Bentuk : Simetris kanan dan kiri, sela iga tidak mencekung atau
mencembung
Paru Paru
Anterior
Inspeksi Kiri Simetris saat statis dan dinamis
Sela iga normal, benjolan (-)
Kanan Simetris saat statis dan dinamis
Sela iga normal, benjolan (-)
Palapasi Kiri Sela iga normal, benjolan (-),
nyeri tekan (-), fremitus taktil simetris
Kanan Sela iga normal, benjolan (-),
nyeri tekan (-), fremitus taktil simetris
Perkusi Kiri Sonor
Kanan Sonor
Auskultasi Kiri Vesikular, Rhonki (-), Wheezing (+)
Kanan Vesikular, Rhonki (-), Wheezing (+)

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di sela iga 4 garis mid-clavicularis kiri
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : BJ I > BJ II, murni reguler, tidak ada murmur, tidak ada gallop

Perut
Inspeksi : Bentuk perut datar, tidak terlihat lesi kulit.
Palpasi :
Dinding perut : Supel, tidak ada nyeri tekan di regio epigastrium, benjolan atau massa
tidak ada
Hati : Tidak teraba pembesaran
Limpa : Tidak teraba pembesaran
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus normoperistaltik

Pemeriksaan penunjang
Darah rutin

Pemeriksaan
Hasil Satuan Nilai normal
Hematologi darah rutin
Hemoglobin 14.5 g/dL 10.8-12.8
Hematokrit 42.9 % 35.0-43.0
Eritrosit 5.63 106/L 3.60-5.20
Leukosit 14.24 103/L 6.00-17.00
Trombosit 340 103/L 217-497
Hitung jenis leukosit
Basofil 0 % 0-1
Eosinofil 1 % 1-5
Batang/STAB *0 % 0-8
Limfosit *9 % 20-70
Monosit 5 % 1-11
Segmen *85 % 17-60
Nilai eritrosit rata-rata
VER (MCV) 76.2 % 73-101
HER (MCH) 25.8 Pg 23-31
KHER (MCHC) 33.8 % 26-34

Radiologi

Gambar. 1
Gambar.2

Resume

pasien sesak sajak 1 hari SMSR. Awalnya keluhan disertai batuk Sejak 2 hari
SMRS. Batuk dirasakan terus menerus sepanjang hari, lebih sering pada malam dan
menjelang pagi hari. Batuk berdahak, berwarna putih. Keluhan batuk berdahak ini
sering dialami pasien terutama apabila dalam cuaca dingin. . Keluhan juga disertai
demam. Pasien juga mengeluhkan pilek, kadang keluar ingus berwarna putih. Pilek
dirasakan makin berat apabila pasien bangun tidur pada pagi hari. Keluhan nyeri
tenggorokan dan nyeri menelan tidak ada. Ibu os mengatakan juga bahwa hari pertama
masuk RS paisen muntah lebih dari enam kali berisi cairan, dan setiap minum pasien
muntah. Tidak terdapat adanya keluhan nyeri perut pada pasien. BAK dan BAB dalam
batas normal. Nafsu makan pasien menurun. Pasien sudah meminum obat untuk
mengurangi batuknya, tetapi pasien merasa tidak ada perbaikan. Adik pasien juga
mempunyai riwayat asma. Di lingkungan sekitar pasien tidak ada yang menderita
penyakit batuk yang lama.

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos mentis
Nadi : 128 kali/menit, reguler
Suhu : 38.5 C
Pernapasan (frekuensi dan tipe) : 46kali/menit
Keadaan gizi : Baik
Hidung : tampak sekret
Pemeriksaan paru-paru didapati adanya wheezing pada kedua lapang paru.

Diagnosis Kerja dan Diagnosis Banding

Diagnosis Kerja : Asthma bronkial


Dasar diagnosis :
Gejala Klinis : Adanya sesak yang dirasakan pasien. Pasien mempunyai riwayat
asma. Pemeriksaan fisik : didapati adanya wheezing pada kedua lapang paru.
Diagnosis Banding:
- Tuberkulosis paru
- Pertussis
Anjuran Pemeriksaan Penunjang
- Darah lengkap
- Foto thorax

Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
- Menghindari faktor pencetus
- Tidak memelihara binatang
- Hindari faktor penyebab dari makanan
- Hindarkan anak berada di tempat yang sedang terjadi perubahan cuaca
- Kegiatan bermain dan berolahraga tidak terlalu berlebihan.

Medika Mentosa
D5 NS 18 tpm.
Ceftriaxone 2 x 450 mg
Sanmol infus 4 x 150
Cortidex bolus 3 x 2 mg
Nebu velutin 3x per hari (1 amp)
Alco DMD 3 x cth I
Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad functionam : bonam
Ad sanationam : bonam

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

GINA (Global Initiative for Asthma) mendefinisikan asma ialah gangguan


inflamasi kronik saluran napas dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast,
eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan, inflamasi ini menyebabkan episode
mengi berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau
dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas
namun bervariasi, sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan
pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas terhadap
berbagai rangsangan.1
Selain definisi diatas, untuk mempermudah batasan operasional asma untuk
kepentingan klinis yang lebih praktis, Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA)
menggunakan batasan operasional asma yaitu mengi berulang dan/atau batuk persisten
dengan karakteristik sebagai berikut: timbul secara episodik, cenderung pada malam
hari/dini hari (nokturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisis, dan
bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta adanya riwayat
2
asma atau atopi lain pada pasien/keluarganya.

Etiologi
Sel-sel inflamasi (sel mast, eosinophil, limfosit T, neutrophil), mediator kimia
(histamine, leukotrien, platelet-activating factor, bradikinin), dan faktor kemotaktik
(sitokin, eotaksin) memerantai proses inflamasi yang terjadi pada saluran respiratori
penderita asma. Inflamasi menyebabkan terjadinya hiperresponsif saluran respiratori, yaitu
kecenderungan saluran respiratori mengalami konstriksi sebagai respon terhadap alergen,
iritan, infeksi virus, dan olahraga. Hal ini juga menyebabkan terjadinya edema,
peningkatan produksi mukus di paru, masuknya sel-sel inflamasi ke saluran respiratori,
dan kerusakan sel epitel. Inflamasi kronik dapat menyebabkan terjadinya remodeling
saluran respiratori, akibat proliferasi protein matriks ekstraseluler dan hyperplasia vascular
yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur yang irreversibel dan penurunan
fungsi paru yang progresif.3

Epidemiologi

Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada
anak). Prevalensi pada anak menderita asma meningkat 8-10 kali di negara berkembang
dibanding negara maju. Prevalensi tersebut sangat bervariasi. Di Indonesia, prevalensi asma
pada anak berusia 6-7 tahun sebesar 3% dan untuk usia 13-14 tahun sebesar 5,2%.
Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics (NCHS), prevalensi serangan asma
pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa >
18 tahun adalah 38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta).Sebelum masa pubertas, prevalensi
asma pada laki-laki 3 kali lebih banyak dibanding perempuan, selama masa remaja
prevalensinya hampir sama dan pada dewasa laki-laki lebih banyak menderita asma
dibanding wanita.3,4

Indeks Klinis untuk Memperkirakan Risiko Asma pada Anak

Tabel 1. Indeks Klinis untuk Memperkirakan Risiko Asma

Kriteria Mayor Kriteria Minor


1. Asma pada orang tua (didiagnosis 1.Rhinitis alergi yang didiagnosis oleh
oleh dokter) dokter
2. Eksema pada anak (didiagnosis oleh 2.Mengi diluar selesma (common
dokter) cold)
3. Eosinofilia (> 4% dari jumlah
leukosit)
Sumber: Buku Ajar Respirologi Anak, IDAI,tahun 2013
Patogenesis

Pada sekitar tahun 1970, asma diartikan sebagai sumbatan jalan nafas yang timbul
mendadak, dan akan membaik secara spontan atau dengan pengobatan. Mekanisme utama
timbulnya gejala asma diakibatkan hiperreaktivitas bronkus, sehingga pengobatan utama
asma adalah untuk mengatasi bronkospasme.

Konsep terkini yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang khas,
melibatkan dinding saluran respiratorik, menyebabkan terbatasnya aliran udara dan
peningkatan reaktivitas saluran napas. Gambaran khas adanya inflamasi saluran
respiratorik adalah aktivasi eosinophil, sel mast, makrofag dan sel limfosit T pada mukosa
dan lumen saluran respiratorik. Proses inflamasi ini terjadi meskipun asmanya ringan atau
tidak bergejala.

Pada banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma dihubungkan
dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-dependent. Pada populasi diperkirakan
faktor atopi memberikan kontribusi pada 40% penderita asma anak dan dewasa.

Reaksi imunologik timbul akibat paparan dengan alergen pada awalnya


menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk IgE spesifik oleh sel plasma. IgE
melekat pada reseptor Fc pada membran sel mast dan basofil. Bila ada rangsangan
berikutnya dari alergen serupa, akan timbul reaksi asma cepat (immediate asthma
reaction). Terjadi degranulasi sel mast dan dilepaskan mediator-mediator seperti histamin,

leukotrien C4 (LTC4), prostaglandin D2 (PGD2), tromboksan A2 dan tryptase. Mediator-


mediator tersebut menimbulkan spasme otot bronkus, hipersekresi kelenjar, edema,
peningkatan permeabilitas kapiler, disusul dengan akumulasi sel eosinofil. Gambaran
klinis yang timbul adalah serangan asma akut. Keadaan ini akan segera pulih kembali
serangan asma hilang dengan pengobatan.

Mediator inflamasi yang berperan merupakan mediator inflamasi yang


meningkatkan proses keradangan, mempertahankan proses inflamasi. Mediator inflamasi
tersebut akan membuat kepekaan bronkus berlebihan, sehingga bronkus mudah konstriksi,
kerusakan epitel, penebalan membrana basalis dan terjadi peningkatan permeabilitas bila
ada rangsangan spesifik maupun non spesifik. Secara klinis, gejala asma menjadi menetap,
penderita akan lebih peka terhadap rangsangan. Kerusakan jaringan akan menjadi
irreversibel bila paparan berlangsung terus dan penatalaksanaan kurang adekuat.
Sejalan dengan proses inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus merangsang
proses reparasi saluran respiratorik yang menghasilkan perubahan struktural dan
fungsional yang menyimpang pada saluran respiratorik yang dikenal dengan istilah
remodeling atau repair. Pada proses remodeling yang berperan adalah sitokin IL4, TGF
beta dan Eosinophil Growth Factor (EGF). TGF beta merangsang sel fibroblast
berproliferasi, epitel mengalami hiperplasia, pembentukan kolagen bertambah. Akibat
proses remodeling tersebut terjadi pelepasan epitel yang rusak, jaringan membrana basalis
mukosa menebal (pseudothickening), hiperplasia kelenjar, edema submukosa, infiltrasi sel
radang dan hiperplasia otot. Perubahan semacam ini tidak memberikan perbaikan klinis,
tetapi mengakibatkan penyempitan lumen bronkus yang persisten dan memberikan
gambaran klinis asma kronis.

Gambar 1. Inflamasi dan Remodelling pada Asma


Sumber: GINA. Global Strategy for Asthma management and prevention. National Institute of Health.
National Heart, lung and blood Institute. NIH publ. No.02-3659,2002.
Menurut paradigma yang lampau, proses remodeling terjadi akibat kerusakan epitel
bronkus yang disebabkan oleh proses inflamasi kronis. Sehingga apabila obat antiinflamasi
tidak diberikan sedini mungkin sebagai profilaksis, maka inflamasi berlangsung terus dan
obstruksi saluran napas menjadi irreversibel dan proses remodeling bertambah hebat. Pada
penelitian terhadap anak dengan riwayat keluarga atopi yang belum bermanifestasi sebagai
asma ternyata ditemukan infiltrasi eosinofil dan penebalan lamina retikularis. Hal ini
mencurigakan bahwa proses remodeling telah terjadi sebelum atau bersamaan dengan
proses inflamasi. Apabila intervensi dini diberikan segera setelah gejala asma timbul, bisa
jadi tindakan kita telah terlambat untuk mencegah terjadinya proses remodeling.5
6
Patofisiologi

Inflamasi saluran napas yang ditemukan pada pasien asma diyakini merupakan hal
yang mendasari gangguan fungsi. Respon terhadap inflamasi pada mukosa saluran napas
pasien asma ini menyebabkan hiperreaktifitas bronkus yang merupakan tanda utama asma.
Pada saat terjadi hiperreaktivitas saluran napas sejumlah pemicu dapat memulai gejala
asma. Pemicu ini meliputi respon hipersensitivitas tipe 1 (dimedisi 1gE) terhadap alergen
debu rumah dan serbuk sari yang tersensitisasi, iritan seperti udara dingin, polutan atau
asap rokok, infeksi virus, dan aktivitas fisik/olahraga. Hiperreaktivitas saluran napas akan
menyebabkan obstruksi saluran napas menyebabkan hambatan aliran udara yang dapat
kembali secara spontan atau setelah pengobatan. Proses patologis utama yang mendukung
obstruksi saluran napas adalah edema mukosa, kontraksi otot polos dan produksi mukus.
Obstruksi terjadi selama ekspirasi ketika saluran napas mengalami volume penutupan dan
menyebabkan gas di saluran napas terperangkap. Bahkan, pada asma yang berat dapat
mengurangi aliran udara selama inspirasi. Sejumlah karakteristik anatomi dan fisiologi
memberi kecenderungan bayi dan anak kecil terhadap peningkatan risiko obstruksi saluran
napas antara lain ukuran saluran napas yang lebih kecil, recoil elastic paru yang lebih
lemah, kurangnya bantuan otot polos saluran napas kecil, hiperplasia kelenjar mukosa
relatif dan kurangnya saluran ventilasi kolateral (pori cohn) antar alveolus.

Manifestasi klinis dan Diagnosis

Batuk kering berulang dan mengi adalah gejala utama asma pada anak. Pada anak
yang lebih besar dan dewasa, gejala juga dapat berupa sesak napas dada terasa berat gejala
biasanya akan memburuk pada malam hari yang dipicu dengan infeksi pernapasan dan
inhalasi alergen. Gejala lainnya dapat tersembunyi dan tidak spesifik seperti keterbatasan
aktivitas dan cepat lelah. Riwayat penggunaan bronkodilator dan atopi pada pasien atau
keluaeganya dapat menunjang penegakan diagnosis.

GINA, konsensus Internasional dan PNAA menekankan diagnosis asma didahului


batuk dan atau mengi. Gejala awal tersebut ditelusuri dengan algoritme kemungkinan
diagnosis asma. Pada algoritme tampak bahwa batuk dan/atau mengi yang berulang
(episodik), nokturnal, musiman, setelah melakukan aktivitas, dan adanya riwayat atopi
pada penderita maupun keluarganya merupakan gejala atau tanda yang patut diduga suatu
asma.
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil., khususnya
anak di bawah 3 tahun, respons yang baik terhadap obat bronkodilator dan steroid sistemik
(5 hari) dan dengan penyingkiran penyakit lain diagnosis asma menjadi lebih definitif.
Untuk anak yang sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan. Uji
fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap dengan
spirometer. Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, latihan (exercise), udara
kering dan dingin atau dengan NaCl hipertonis, sangat menunjang diagnosis.
Batuk dan Mengi

Riwayat penyakit
Pemeriksaan fisik
Uji tuberkulin

Patut diduga asma: Tidak jelas asma:


Episodic Timbul masa neonatus
Nocturnal Gagal tumbuh
Musiman Infeksi kronik
Pasca aktivitas fisik Muntah/tersedak
Riwayat atopi Kelainan fokal paru
penderita/keluarga Kelainan sistem
kardiovaskular

Jika memungkinkan, periksa Pertimbngkan pemeriksaan:


peak flow meter atu Foto roentgen toraks dn sinus
spirometer ntuk menilai Uji faal paru
reversibilitas (> 15%), Respons terhadap bonkodilator
variabilitas(> 15%) Uji provokasi bronkus
Uji keringat
Uji imunologis
Pemeriksaan motilitas silia
Berikan bronkodilator Tak berhasil
Pemeriksaan refluks GE

Berhasil
Tidak mendukung Mendukung diagnosis lain
diagnosis lain
Mungkin asma

Tentukan derajat&pencetusnya Diagnosis&pengobatan alternatif

Berikan obat anti asma: Pertimbangkan asma Bukan asma


Tidak berhasil, nilai ulang sebagai penyakit penyerta
pengobatan dan ketaatan berobat

Gambar 2. Alur Diagnosis Asma Pada Anak

Pada anak dengan gejal dan tanda asma yang jelas, serta respon terhadap pemberian obat
bronkodilator baik sekali, maka tidak perlu pemeriksaan diagnostik lebih lanjut.
Bila respons terhadap obat asma tidak baik, sebelum memikirkan diagnosis lain,
maka perlu dinilai dahulu beberapa hal. Hal yang perlu dievaluasi adalah apakah
penghindaran terhadap pencetus sudah dilakukan, apakah dosis obat sudah adekuat, cara
dan waktu pemberiannya sudah benar, serta ketaatan pasien baik. Bila semua aspek
tersebut sudah dilakukan dengan baik dan benar. Maka perlu dipikirkan kemungkinan
4
diagnosis bukan asma.
Pada pasien dengan batuk produktif, infeksi respiratorik berulang, gejala
respiratorik sejak masa neonatus, muntah dan tersedak, gagal tumbuh, atau kelainan fokal
paru dan diperlukan pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah
foto Rontgen paru, uji fungsi paru, dan uji provokasi. Selain itu mungkin juga perlu
diperiksa foto Rontgen sinus paranasalis, uji keringat, uji imunologis, uji defisiensi imun,
pemeriksaan refluks, uji mukosilier, bahkan tindakan bronkoskopi.

Klasifikasi
Klasifkasi asma sangat diperlukan karena berhubungan dengan tatalaksana lanjutan
(jangka panjang). GINA membagi asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi
paru, dan pemeriksaan laboratorium.menjadi 4 klasifikasi yaitu asma intermiten, asma
persisten, ringan, asma persisten sedang, dan asma persisten berat.
Tabel 2. Klasifikasi asma berdasarkan GINA

PEF atau FEV1


Gejala/hari Gejala/malan
PEF variability
Derajat 1 < 1 kali perminggu < 2 kali sebulan > 80%
Intermiten Asimtomatik dan < 20%
nilai PEF normal
diantara serangan
Derajat 2 > 1 kali perminggu > 2 kali sebulan 80%
Persisten tapi < 1 kali perhari 20-30%
Ringan Serangan dapat
mengganggu aktifitas
14
Derajat 3 Sehari sekali > 1 kali seminggu 60%-80%
Persisten Serangan > 30%
Sedang mengganggu aktivitas
Derajat 4 Terus menerus Sering < 60%
Persisten berat sepanjang hari > 30%
Aktifitas fisik terbatas

Selain pembagian berdasarkan GINA, PNAA membagi asma menjadi 3 yaitu asma
episodik jarang, asma episodik sering dan asma persisten. Berikut ini tabel klasifikasi asma
berdasarkan PNAA:
Table 3. Klasifikasi Asma Berdasarkan PNAA6
Komplikasi

Pada serangan asma, kerja pernapasan sangat meningkat. Apabila kerja pernapasan
meningkat, kebutuhan oksigen juga meningkat. Karena individu yang mengalami serangan asma
tidak dapat memenuhi kebutuhan oksigen normalnya,individu semakin tidak sanggup memenuhi
kebutuhan oksigen yang sangat tinggi yang dibutuhkan untuk berinspirasi dan berekspirasi
melawan spasme bronkiolus, pembengkakan bronkiolus, dan mukus yang kental. Situasi ini
dapat menyebabkan pneumotoraks akibat besarnya tekanan untuk melakukan ventilasi. Apabila
individu kelelahan, dapat terjadi asidosis respiratorik,gagal nafas,dan kematian.

Diagnosis Banding
Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis yang
bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di
paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer.1,2
Cara Penularan5
Sumber penularan adalah pasien TB dengan BTA positif.
Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan
dahak.
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu
yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari
langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam
keadaan yang gelap dan lembab.
Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari
parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien
tersebut.
Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi
percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

Faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun timbulnnya
penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko infeksi dan faktor
risiko progresi infeksi menjadi penyakit (risiko penyakit).3
Risiko infeksi TB
Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan dengan
orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis, kemiskinan,
lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi tidak baik), dan tempat penampungan
umum (panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain), yang banyak terdapat pasien TB
dewasa aktif. Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting adalah pajanan terhadap
orang dewasa yang infeksius, terutama dengan BTA positif. Berarti bayi dari seorang ibu
dengan BTA sputum positif memiliki risiko tinggi terinfeksi TB. Semakin erat bayi
tersebut dengan ibunya, semakin besar pula kemungkinan bayi tersebut terpajan percik
renik (droplet nuclei) yang infeksius.
Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa di
sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan di dalam secret
endobronkial pasien anak. Pertama, karena jumlah kuman pada TB anak biasanya sedikit
(paucibacillary), tetapi karena imunitas anak masih lemah, jumlah yang sedikit tersebut
mampu untuk menyebabkan sakit. Kedua, karena lokasi infeksi primer yang kemudian
berkembang menjadi sakit TB primer biasanya terjadi di daerah parenkim yang jauh dari
bronkus, sehingga tidak terjadi produksi sputum. Ketiga, tidak ada/sedikitnya produksi
sputum, dan tidak terdapatnya reseptor batuk di daerah parenkim menyebabkan jarangnya
terdapat gejala batuk pada TB anak.

Diagnosis1,7
Diagnosis pasti TB ditegakkan dengan ditemukannya M. tuberculosis pada pemeriksaan
sputum atau bilasan lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura, atau pada biopsi jaringan. Pada
anak, kesulitan menegakkan diagnosis pasti disebabkan oleh dua hal, yaitu sedikitnya jumlah
kuman (paucibacillary) dan sulitnya pengambilan spesimen (sputum). Jumlah kuman TB di
sekret bronkus pasien anak lebih sedikit daripada dewasa karena lokasi kerusakan jaringan TB
paru primer terletak di kelenjar limfe hilus dan parenkim paru bagian perifer. Selain itu, tingkat
kerusakan parenkim paru tidak seberat pada dewasa. Kuman BTA baru dapat dilihat dengan
mikroskop bila jumlahnya paling sedikit 5000 kuman dalam 1 ml dahak. Kesulitan kedua,
pengambilan spesimen/sputum sulit dilakukan. Pada anak, walaupun batuknya berdahak,
biasanya akan akan ditelan sehingga diperlukan bilasan lambung yang diambil melalui
nasogatrik tube (NGT) dan harus dilakukan oleh petugas berpengalaman. Cara ini tidak
menyenangkan bagi pasien. Dahak yang representatif untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis
adalah dahak yang kental dan purulent, berwarna hijau kekuningan dengan volume 3-5 ml.
Karena berbagai alasan di atas, diagnosis TB anak bergantung pada penemuan klinis dan
radiologis, yang keduanya seringkali tidak spesifik. Kadang-kadang, TB anak ditemukan karena
ditemukannya TB dewasa disekitarnya. Diagnosis TB anak ditentukan berdasarkan gambaran
klinis dan pemeriksaan penunjang seperti uji tuberkulin, pemeriksaan laboratorium, dan foto
rontgen dada. Adanya riwayat kontak dengan pasien TB dewasa BTA positif, uji tuberkulin
positif, dan foto paru yang mengarah pada TB (sugestif TB) merupakan bukti kuat yang
menyatakan anak telah sakit TB. Meskipun demikian, sumber penularan atau kontak tidak selalu
dapat teridentifikasi, sehingga analisis yang seksama terhadap semua data klinis sangat
diperlukan. Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB pada apusan
langsung (direct smear), dan atau biakan yang merupakan pemeriksaan baku emas (gold
standard), atau gambaran PA TB. Kesulitan menegakkan diagnosis TB pada anak menyebabkan
banyak usaha membuat pedoman diagnosis dengan sistem skoring dan alur diagnostik, misalnya
pedoman yang dibuat WHO, Stegen dan Jones, dan UKK Respirologi PP IDAI. WHO membuat
kriteria untuk membuat diagnosis TB pada anak.

Dicurigai TB 1. Anak sakit dengan riwayat kontak pasien tuberculosis dengan


diagnosis pasti
2. Anak dengan :
Keadaan klinis tidak membaik setelah menderita campak
atau batuk rejan
Berat badan menurun, batuk dan mengi yang tidak
membaik dengan pengobatan antibiotika untuk penyakit
pernapasan
Pembesaran kelenjar superfisialis yang tidak sakit
Mungkin TB Anak yang dicurigai tuberculosis ditambah :

Uji tuberculin positif (10 mm atau lebih)


Foto rontgen paru sugestif tuberculosis
Pemeriksaan histologis biopsy sugestif tuberculosis
Respons yang baik pada pengobatan dengan OAT
Pasti TB (confirmed TB) Ditemukan basil tuberculosis pada pemeriksaan sputum atau biakan

Identifikasi Mycobacterium tuberculosis pada karakteristik biakan


Tabel 5. Panduan WHO u ntuk Diagnosis TB Anak8

Kriteria WHO ini telah di evaluasi secara prospektif oleh Houwart dkk, dengan hasil
baik. Penilaian pada 258 anak dengan mungkin TB sesuai kriteria WHO, maka setelah diikuti
lebih lanjut 109 (42%) menjadi pasti TB dengan biakan positif, 86 (33%) diagnosis tetap
mungkin TB, sedangkan 63 (24%) bukan TB. Diantara 109 anak dengan biakan positif, 11
anak foto rontgen parunya normal. Unit kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI sudah pernah
membuat alur diagnosis TB anak yang dimuat dalam buku Pedoman Nasional Penanggulangan
TB yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan RI (Depkes RI). Dalam alur diagnosis tersebut,
terdapat 10 butir kriteria diagnosis TB anak. Bila terpenuhi tiga atau lebih, anak sudah dapat
didiagnosis TB. Setelah dievaluasi pelaksanaan nya di lapangan, alur diagnosis tersebut sangat
berpotensi menyebabkan terjadinya overdiagnosis TB pada anak.

Gambar
3. Alur Deteksi Dini
dan Rujukan TB Anak8

Berdasarkan keterangan sebelumnya bahwa mendiagnosis TB anak sulit dilakukan karena


gejalanya tidak khas, dibuatlah suatu kesepakatan penanggulangan TB anak oleh beberapa pakar.
Kesepakatan ini dibuat untuk memudahkan penanganan TB anak secara luas, terutama di daerah
perifer atau pada fasilitas kesehatan yang kurang memadai. Unit Kerja Koordinasi Respirologi
PP IDAI telah membuat Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak (PNTA) yang telah tersebar luas
dan telah diadopsi oleh Departemen Kesehatan menjadi Program Pemberantasan TB Nasional.
Namun, dalam pelaksanaannya terdapat beberapa revisi yang diajukan menggunakan sistem skor
(scoring system), yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai.

Tabel 6. Sistem Skoring Diagnosis Tuberkulosis Anak1,7,8

Catatan :

- Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.


- Jika dijumpai skrofuloderma**, pasien dapat langsung didiagnosis tuberkulosis.
- Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).
- Demam dan batuk tidak memiliki respons terhadap terapi baku.
- Foto toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak.
- Gambaran sugestif TB, berupa: pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa
infiltrat; konsolidasi segmental/lobular; kalsifikasi dengan infiltrat; atelektasis;
tuberkuloma. Gambaran milier tidak dihitung dalam skor karena diperlakukan secara
khusus.
- Mengingat pentingnya peran uji tuberkulin dalam mendiagnosis TB anak, maka
sebaiknya disediakan tuberkulin di tempat pelayanan kesehatan.
- Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG (7 hari) harus
dievaluasi dengan sistem skoring TB anak, BCG bukan merupakan alat diagnostik.
- Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
- Diagnosis kerja TB anak ditegakkan bila jumlah skor 6 (skor maksimal 13).

Pertusis
Masa inkubasi pertusis adalah 7-14 hari. Ada tiga stadium yang diketahui: periode
kataralis, paroksismal, dan penyembuhan. Periode kataralis berlangsung beberapa hari sampai
seminggu. Periode ini tidak dapat dibedakan dengan salesma, yang disertai dengan rinore, bersin,
batuk ringan, dan kadang-kadang infeksi konjungtiva ringan. Batuk berangsur-angsur menjadi
nyata dan berat. Periode kataralis adalah fase yang paling menular. Periode paroksimal ditandai
batuk yang berangsur-angsur semakin keras karena anak mencoba mengeluarkan secret kental,
banyak, dan lengket dari saluran napas. Periode ini umumnya berlangsung 1-4 minggu. Pada
periode paroksimal batuk terjadi cepat dan berturut-turut sehingga anak tidak sempat mengambil
napas antara batuk. Akhirnya saluran napas bebas dan anak kemudian bisa bernapas.
Karakteristik rejan disebabkan oleh aliran masuk udara lewat laring yangtertutup sebagian. Bayi
mungkin tidak mengalami rejan ini di akhir serangan batuk. Selain itu, bayi sangat muda dapat
menderita apnea tanpa riwayat batuk.risiko hipoksemia berat dapat terjadi dalam periode
paroksismal berat.3

Pertusis merupakan salah satu penyakit menular yang menyerang saluran pernapasan
bagian atas, disebabkan terutama oleh Bordetella pertussis. Pertusis ditandai dengan batuk lama
dan kadang-kadang terdengar seperti menggonggong (whooping cough) dan episode diakhir
dengan ekspulsi dari sekret trakea,silia lepas dan epitel nekrotik.Pertusis sering menyerang bayi
dan anak-anak kurang dari 5 tahun, terutama yang belum diimunisasi lebih rentan, demikian juga
dengan anak lebih dari 12 tahun dan orang dewasa. Stadium penyakit pertusis meliputi 3 stadium
yaitu kataralis, paroksismal, dan penyembuhan. Masing-masing berlangsung selama 2 minggu.
Pada bayi, gejala menjadi lebih jelas justru pada stadium konvalesen. Sedangkan pada orang
dewasa mencapai puncaknya pada stadium paroxsismal. Diagnosa pertusis dengan gejala klinis
memuncak pada stadium paroksismal, riwayat kontak dengan penderita pertusis, kultur apus
nasofaring, DFA, foto thorax. Terapi yang dapat diberikan antibiotic eritromisin 50mg/kgB/hari
dibagi 4 dosis selama 14 hari, dan suportif. Prognosis baik dengan penatalaksanaan yang tepat
dan cepat. Kematian biasanya terjadi karena ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi
penyakit paru yang lainnya.3,7

Hubungan Antara Rhinitis Alergi dan Asma pada Anak

Kaitan anatomi dan patofisiologi


Saluran napas manusia secara fungsional terbagi menjadi dua bagian, sebagai penghantar
dan pertukaran udara. Meskipun dari hidung sampai ke alveoli anatomisnya berbeda, tetapi
fungsinya merupakan suatu kesatuan. Sebagai saluran napas terdepan, hidung berfungsi
menghangatkan, melembabkan dan menyaring udara sebagai organ penciuman dan konservasi
uap air dan panas terhadap udara lingkungan. Fungsi menghangatkan, melembabkan dan
menyaring udara ini pada dasarnya untuk melindungi saluran napas bagian bawah terhadap
pengaruh udara dingin, kering maupun udara kotor karena polusi. Bila hidung tidak berfungsi
karena sesuatu hal, maka saluran napas bagian bawah akan terkena dampaknya.

Rongga hidung dapat digambarkan sebagai ruangan kaku yang tepinya dibatasi oleh
tulang-tulang wajah dan perubahan saluran napasnya disebabkan oleh perubahan ketebalan
jaringan mukosa; hal ini karena jaringan mukosa hidung banyak mengandung pembuluh darah
yang membentuk sinusoid-sinusoid.

Pembuluh darah ini dipengaruhi oleh sistem saraf di sekitar rongga hidung sehingga
mudah melebar dan menyempit. Sebaliknya bronkus dan cabang-cabangnya mempunyai cincin
kartilago yang tidak lengkap, yang kemudian dilengkapi oleh otot polos. Makin ke distal
kartilago ini makin kecil, akhirnya hilang pada bronkiolus. Kontraksi otot polos akan mempeng-
aruhi diameter saluran napas. Obstruksi saluran napas dapat terjadi karena vasodilatasi, edema
jaringan, sumbat mukus dan kontraksi otot polos. Pada rinitis peranan vasodilatasi sangat
menonjol. Hal ini terbukti bila diberi obat golongan alfa adrenergik, obstruksi hidung akan
segera berkurang atau hilang dan hal ini tidak terjadi pada asma. Sebaliknya pada asma, yang
bronkusnya mengandung otot polos berespons sangat baik terhadap agonis beta 2. Meskipun
obstruksi hidung sangat mengganggu, tetapi tidak mengancam jiwa penderita, karena ia masih
dapat bernapas melalui mulut. Sebaliknya obstruksi total bronkus akan menyebabkan kolaps
paru dan shunting aliran darah dari jantung kanan ke kiri. Rongga hidung mempunyai pengaruh
sekitar 50% pada resistensi saluran napas dan hal ini berarti penting pada fungsi alveoli.
Bernapas melalui mulut atau trakeostomi dapat menyebabkan kolaps alveoli dan shunting aliran
darah dari jantung kanan ke kiri. Hilangnya peranan humidifikasi akan menimbulkan masalah,
terutama bila udara yang dihirup dingin dan kering, karena akan mengeringkan sekret dan
menyebabkan spasme bronkus di saluran napas bagian bawah. Untuk mengatasi hal tersebut,
produksi sekret akan bertambah, yang selanjutnya akan meningkatkan gejala penyakit paru.
Terdapat persamaan dan perbedaan antara hidung dan bronkus. Perbedaan yang menonjol
adalah hidung mengandung sinusoid-sinusoid yang sangat berperan pada obstruksi hidung,
sementara vasodilatasi kurang berperan pada asma. Disamping itu sekret hidung mudah
dikeluarkan sedangkan pada asma dapat menyumbat. Perbedaan lainnya adalah otot-otot polos
dijumpai pada bronkus, tidak pada saluran hidung.7

Rinitis dan asma memiliki struktur yang sama tapi berbeda dalam hal anatomi. Gejalanya
adalah blokade atau blocking hidup, gejala bersin dan gejala gatal. Pada saluran nafas bawah,
bronkus dapat memunculkan reaksi kembang kempis sehingga di hidung tidak bisa terjadi
kontriksi, hanya bloking karena kontraksi pada saluran nafas bawah.

Secara anatomi saluran nafas atas dan saluran nafas bawah dihubungkan dengan ciliated
columnar epithelium berisi mukus yang disekresikan oleh sel goblet . Penelitian terbaru pada
manusia menunjukkan bahwa alergen yang ditemukan pada hidung pasien alergi rinitis, dapat
dengan cepat menimbulkan inflamasi yang berarti di paru-paru. Hal ini bisa terjadi meski tidak
ada riwayat sakit asma atau hiperakivitas saluran nafas bronkial.8,9

Hal ini membuktikan bahwa penebalan mukosa hidung pada rinitis yang kronis ternyata
gejalanya mirip dengan gejala saluran nafas pada asma yang telah mengalami aero modeling.
Telah diketahui bahwa saluran nafas atas mempunyai fungsi sebagai filter, sebagai penghangat
dan juga humidifier udara yang kita hirup. Mekanisme ini ternyata juga ada hubungannya dengan
fungsi homostatik di saluran nafas bawah.

Pada rinitis alergi, belum nampak gejala asma. Namun, bila dilakukan pemeriksaan pada
pasien rinitis alergi ternyata menunjukkan adanya peningkatan dari reaktivitas bronkus. Ada
beberapa penelitian pada pasien rinitis alergi di luar musim pollen. Penelitian ini membuktikan
dengan pemaparan metapolin, terjadi penurunan fungsi atau gangguan nafas bawah walaupun di
luar musim polen. Jadi asma sering mengalami persistensi di musim bunga pada pasien-pasien
yang mengalami alergi intermitten yang disebabkan oleh polen. Penggunaan provokasi ekstrak
rumput timoti yang dimasukkan atau diserakkan ke hidung ternyata menginduksi respon alergi
pada hidung. Dan didapatkan bukti adanya reaktifitas bronkus, yang akhirnya membuktikan
bahwa walaupun gejala-gejala pada hidung tidak menyebabkan gangguan fungsi paru bawah
tetapi menyebabkan reaktifitas bronkus pada asma.9

Hidung merupakan protektor bagi saluran nafas bawah. Hilangnya fungsi hidung akan
menyebabkan udara yang kita hirup akan lanagsung masuk melalui mulut. Hal ini membuat
fungsi pemanasan dan pelembaban udara oleh hidung, dan fungsi penyaring akan hilang. Pajanan
saluran nafas bawah terhadap bahan-bahan iritan yang kita hirup tanpa melewati hidung menjadi
salah satu mekanisme terjadinya asma.

Secara fisiologis, asma dan rhinitis dihubungkan tidak hanya oleh refleks nasobronkial,
tetapi juga oleh efek yang kurang baik yang dihasilkan saluran nafas atas. Saat hidung mampat
maka pernapasan dilakukan melalui mulut sehingga kemampuan hidung dalam mengkondisikan
udara dalam fungsi menghangatkan, melembabkan, dan menyaring udara yang masuk menjadi
hilang.

Hipereaktivitas saluran napas erat kaitannya dengan asma bronkial, dan merupakan salah
satu kriteria diagnosis. Manifestasi klinis hipereaktivitas adalah bronkokontriksi setelah terpajan
udara dingin, bau menyengat, debu, asap, atau uap di udara. Di laboratorium hipereaktivitas
dapat diukur melalui uji provokasi bronkus dengan metakolin, histamin atau kegiatan jasmani.
Umumnya terdapat hubungan antara derajat hipereaktivitas dengan derajat beratnya asma.
Banyak penelitian melaporkan bahwa pasien-pasien dengan rinitis alergik tanpa disertai asma
secara klinis sering menunjukkan hipereaktivitas bronkus.

Kaitan Imunopatologis7,10

Proses imunopatologi pada rinitis dan asthma juga hampir serupa. Hal ini melibatkan
tidak hanya hipersensitivas yang segera terhadap alergi, tetapi juga inflamasi alergi yang
menetap. Perangsangan saluran nafas atas, pada hidung akan diteruskan melalui refleks vagus
yang diteruskan melalui serabutsi. Refleks vagus ini akan mempengaruhi pembuluh darah atas
dan bawah, dan mempengaruhi kembali sel mast untuk mengeluarkan mediator-mediator
inflamasi.
Mediator yang dihasilkan oleh sel mast, basofil dan eosinofil ini kemudian merangsang
asetikolin untuk mempengaruhi serabut-serabut pembuluh atas dan bawah yang menimbulkan
gejala-gejala. Masuknya alergen yang menghasilkan dominasi sel mast oleh glandula-glandula
mengakibatkan terjadinya perangsangan serabut saraf-saraf sensoris. Hal ini akan menyebabkan
gejala-gejala dengan pengeluaran mediator-mediator seperti histamin, kinin, kemudian mediator
yang terbentuk akan menyebabkan sumbatan pada hidung. Selanjutnya histamin ini akan
merangsang serabut saraf sensoris, yang menyebabkan gejala gatal di hidung dan kulit
sekitarnya. Histamin juga merangsang refleks bersin. Mediator-mediator ini juga merangsang
ekskresi kelenjar.

Hubungan antara rinitis dengan saluran nafas atas dan bawah, dengan adanya gejala
inflamasi pada hidung, pengeluaran mediator-mediator yang menyebabkan alergen ini
menyebabkan gangguan fungsi pada saluran nafas atas yang akan mempengaruhi saluran nafas
bawah. Beberapa inflamasi yang terjadi pada saluran nafas bawah terjadi juga pada saluran nafas
atas karena struktur fisiologisnya mirip. Ini terjadi pada keadaan normal yaitu bronkusnya
normal berkontak dengan alergen di saluran nafas atas, juga akan mempengaruhi saluran nafas
bawah bila tersensitisasi. Terjadilah suatu fase awal asma yang berlanjut. Dari mediator-mediator
fase awal atau fase lambat akan terbentuk fase intermediet. Bila lebih dari 8 jam akan menjadi
fase lambat dengan gejala lebih hebat dibandingkan fase pertama..

Asma sering disebabkan oleh alergen dalam ruang atau dalam rumah. Berbeda dengan
rinitis disebabkan oleh alergen dari luar. Beberapa peneliti mengobservasi pasien yang
mengalami sensitisasi dengan binatang dalam rumah. Ditemukan adanya peningkatan reaktivitas
bronkus dan didapatkan sputum yang mengandung banyak eusinofila dibandingkan pasien alergi
yang dicetuskan oleh polen atau alergen dalam rumah.10

Banyak pasien tidak secara jelas menderita asma pada waktu yang sama, ini juga
merupakan bukti bahwa ada hubungan antara rinitis dan asma. Dan ini terjadi bisa sebelum dan
setelah adanya rinitis alergi. Banyaknya pasien asma yang juga alergi sekitar sepertiga dari
pasien asma. Asma yang hebat perlu dikatakan sebagi asma hebat untuk menentukan pemilihan
pengobatan. Untuk asma biasa diberikan obat-obat biasa, Untuk asma hebat diberikan obat yang
lebih kuat. Mengenai tata laksana, hal pertama yang harus dilakukan secara umum untuk pasien
penyakit alergi adalah menghindari pencetus dan membersihkan lingkungan.

Asma bronkial dan rinitis alergik, termasuk dalam golongan penyakit atopi. Sebagai
penyakit atopi keduanya sering dijumpai pada seorang penderita. Penjelasan mengapa bisa
terjadi bersama-sama, belum sepenuhnya terungkap. Faktanya kejadian rinitis lebih sering
dijumpai dibanding asma; tetapi bila hal tersebut terjadi pada seorang penderita, pengobatan
lebih sering ditujukan pada keluhan asmanya dan mengabaikan gejala rinitisnya. Hal ini
sebenarnya kurang menguntungkan, karena pengobatan rinitis tidak jarang memperbaiki
asmanya.

Kaitan terapi

Dalam menilai hubungan asma dan rinitis, efek terapi secara tidak langsung memperkuat
dugaan tersebut. Dua macam obat yang sering dipakai pada pengobatan rinitis alergik yaitu
kortikosteroid aerosol intranasal dan antihistamin.

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menilai keefektifan kortikosteroid intranasal pada
penderita rinitis alergik musiman dan perenial. Menurut penelitian perbaikan asma ini mungkin
berhubungan dengan perbaikan fungsi hidung dan bukan efek langsung pada saluran napas
bagian bawah. Penelitian lain mendukung temuan tersebut di atas dengan menunjukkan bahwa
triamsinolon intranasal juga menurunkan reaktivitas saluran napas bagian atas dan bawah
terhadap pemajanan dengan alergen bulu kucing.

Beberapa ahli melakukan penelitian pengaruh beklometason intranasal pada penderita


rinitis alergik musiman yang mempunyai asma. Reaktivitas bronkus meningkat selama musim
tepung sari pada penderita yang mendapat plasebo tetapi tidak meningkat pada penderita yang
men- dapat terapi kortikosteroid. Karena penderita yang diselidiki terlalu sedikit, tidak
didapatkan perbedaan bermakna dalam hal gejala asma, nilai arus puncak ekspirasi maupun
nilai-nilai spirometri. Namun demikian paling tidak dapat disimpulkan bahwa terapi profilaksis
kortikosteroid intranasal dapat mencegah peningkatan reaktivitas bronkus selama musim tepung
sari pada penderita rinitis yang disertai asma.
Histamin merupakan salah satu mediator yang penting pada asma alergik. Sebagai
antagonis reseptor H1, antihistamin mempunyai pengaruh pada fungsi paru. Penelitian
menunjuk- kan bahwa obat ini dapat memperbaiki gejala dan fungsi paru pada asma. Oleh
karena itu, tidak seperti pada kortikosteroid intranasal, perbaikan yang didapat karena
antihistamin pada asma tidak hanya disebabkan perbaikan saluran napas bagian atas. Penelitian
pada generasi pertama antihistamin menunjukkan sangat sedikit efek perbaikannya pada
asmadan efek sampingnya sangat mengganggu; oleh karena itu antihistaminhistamin yang
dikatakan lebih aman dan bekerja lebih spesifik terhadap reseptor H1, menjadi menarik untuk
dipelajari kembali.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa terfenadin dapat mengurangi gejala asma serta
kebutuhan bronkodilator dan sedikit memperbaiki fungsi paru, tetapi memerlukan dosis sangat
besar yaitu 240-540 mg sehari. Sedangkan penelitian lain melaporkan bahwa cetirizin 15-20 mg
sehari dapat mengurangi gejala rinitis dan asma, namun perbaikan fungsi paru tidak berbeda
bermakna dibanding plasebo. Perlu dikemukakan bahwa pemakaian anti- histamin perlu
mempertimbangkan selain kefektifannya juga keamanan. Jika mungkin untuk pengobatan alergi
dipakai antihistamin generasi kedua yang selain efektif, aman dan dapat dikatakan hampir bebas
efek samping. Sejauh ini obat-obat yang memenuhi kriteria tadi adalah loratadin, setirizin dan
feksofenadin. Ketiga obat tersebut selain mempunyai efek antihistamin juga anti-inflamasi
alergik, artinya dapat menghambat migrasi eosinofil. Seperti diketahui eosinofil berperan penting
pada inflamasi alergi yang terjadi pada rinitis alergik maupun asma.

Penelitian menunjukkan bahwa ketiga antihistamin tadi mampu menekan produksi atau
penampilan ICAM-1 (inter-cellular adhesion molecule-1) pada sel endotel kapiler, yang
diperlukan untuk migrasi eosinofil dari kapiler ke jaringan. Konsekuensi pemakaian obat yang
mempunyai aksi antihistamin maupun anti-inflamasi adalah berkurangnya gejala dan
menurunnya reaktivitas jaringan terhadap zat-zat yang memprovokasinya. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa antihistamin khususnya generasi kedua ber- manfaat pada rinitis yang
disertai asma.

Laporan terakhir tersebut menyatakan bahwa pemberian cetirizin jangka panjang tidak
saja mengurangi gejala alergi saluran napas bagian atas dan bawah tetapi juga biaya pemakaian
obat tambahan seperti pemakaian obat anti asma steroid topikal dan antibiotik dibandingkan
pemakaian obat bila perlu.

Refleks naso-bronkial, terungkap dari beberapa penelitian yang membuktikan pemberian


silikat di mukosa hidung manusia bukan penderita asma menyebabkan peningkatan resistensi
saluran napas bagian bawah. Spasme bronkus yang terjadi pada pemberian silikat di hidung
ternyata dapat dihambat dengan atropine dan reseksi saraf trigeminus kejadian tersebut
mendukung peranan refleks kolinergik. Meskipun masih terdapat silang pendapat, Pada
penelitian lain telah dlakukan uji provokasi histamin pada hidung penderita rinitis alergi dan
asma yang stabil, ternyata didapatkan penurunan volume ekspirasi paksa detik pertama (FEV1)
lebih dari 10% pada 8 dari 12 penderita.

Cepatnya respons saluran napas bagian bawah menunjukkan adanya kemungkinan


peranan refleks naso-bronkial. Tetapi penelitian Little dkk tidak menyokong peranan refleks
naso-bronkial, karena dengan pemberian fenilefrin yang bukan anti-kolinergik, refleks naso-
bronkial dapat dihambat.

Pernapasan mulut terjadi akibat hidung tersumbat oleh edem jaringan dan sekret.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa bernapas melalui mulut meningkatkan kemungkinan
ter- jadinya serangan asma karena kegiatan jasmani

Perbaikan fungsi hidung diduga dapat memperbaiki gejala asma. Hal ini karena udara
yang dihirup akan disaring, dihangatkan dan dilembabkan dulu sebelum mencapai bronkus.
Alergen dan polutan akan tersaring di hidung. Drainase bahan-bahan inflamasi dari saluran
napas bagian atas ke saluran napas bagian bawah mungkin terjadi post-nasal drip. Meskipun
pada kelinci percobaan rinosinusitis dapat meningkatkan reaktivitas saluran napas.

Penatalaksanaan pada Anak Asma

Asma Episodik Jarang


Asma episodik jarang cukup diobati dengan obat pereda (reliever) seperti 2-agonis dan
teofilin. Penggunaan 2-agonis untuk meredakan serangan asma biasanya digunakan dalam
bentuk inhalasi. Namun, pemakaian obat inhalasi/hirupan (Metered Dose Inhaler atau Dry
Powder Inhaler) cukup sulit untuk anak usia kurang dari 5 tahun dan biasanya hanya diberikan
pada anak yang sudah mulai besar (usia <5 tahun) dan inipun memerlukan teknik penggunaan
yang benar yang juga tidak selalu ada dan mahal harganya. Bila obat hirupan tidak ada/tidak
dapat digunakan, maka -agonis diberikan per oral. Penggunaan teofilin sebagai bronkodilator
semakin kurang berperan dalam tatalaksana asma karena batas keamanannya sempit. Namun
mengingat di Indonesia obat -agonis oralpun tidak selalu ada maka dapat digunakan teofilin
dengan memperhatikan kemungkinan timbulnya efek samping. Di samping itu penggunaan -
agonis oral tunggal dengan dosis besar seringkali menimbulkan efek samping berupa palpitasi,
dan hal ini dapat dikurangi dengan mengurangi dosisnya serta dikombinasikan dengan teofilin.7
Konsensus Internasional III dan juga pedoman Nasional Asma Anak tidak menganjurkan
pemberian anti inflamasi sebagai obat pengendali untuk asma episodik ringan. Hal ini juga sesuai
dengan GINA yang belum perlu memberikan obat controller pada Asma Intermiten, dan baru
memberikannya pada Asma Persisten Ringan (derajat 2 dari 4) berupa anti-inflamasi yaitu
steroid hirupan dosis rendah, atau kromoglikat hirupan. Jika dengan pemakaian 2-agonis
hirupan lebih dari 3x/minggu (tanpa menghitung penggunaan pra-aktivitas fisik) atau serangn
sedang/berat muncul >1x/bulan atau pengobatan yang diberikan sudah adekuat dalam waktu 4-6
minggu, namun tidak menunjukkan respon yang baik maka tatalaksananya berpindah ke asma
episodik sering.

Asma Episodik Sering


Jika penggunaan 2-agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu (tanpa menghitung
penggunaan praaktivitas fisis) atau serangan sedang/berat terjadi lebih dari sekali dalam sebulan,
maka penggunaan anti-inflamasi sebagai pengendali sudah terindikasi.3 Tahap pertama obat
pengendali pada asma episodik sering adalah pemberian steroid hirupan dosis rendah. Obat
steroid hirupan yang sudah sering digunakan pada anak adalah budesonid, sehingga digunakan
sebagai standar. Dosis rendah steroid hirupan adalah setara dengan 100-200 ug/hari budesonid
(50-100 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan 200-400 ug/hari
budesonid (100-200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun. Dalam penggunaan
beklometason atau budesonid dengan dosis 100-200 ug/hari, atau setara flutikason 50-100 ug
belum pernah dilaporkan adanya efek samping jangka panjang. Sesuai dengan mekanisme dasar
asma yaitu inflamasi kronik, obat pengendali berupa anti-inflamasi membutuhkan waktu untuk
menimbulkan efek terapi. Oleh karena itu penilaian efek terapi dilakukan setelah 6-8 minggu,
yaitu waktu yang diperlukan untuk mengendalikan inflamasinya. Jika setelah pengobatan selama
6-8 minggu dengan steroid hirupan dosis rendah tidak menunjukkan respons (masih terdapat
gejala asma atau atau gangguan tidur atau aktivitas sehari-hari), maka dilanjutkan dengan tahap
kedua yaitu menaikkan dosis steroid hirupan sampai dengan 400 ug/hari yang termasuk dalam
tatalaksana Asma Persisten. Jika tatalaksana dalam suatu derajat penyakit asma sudah adekuat
namun responsnya tetap tidak baik dalam 6-8 minggu, maka derajat tatalaksanya berpindah ke
yang lebih berat (step-up). Sebaliknya jika asmanya terkendali dalam 6-8 minggu, maka
derajatnya beralih ke yang lebih ringan (step-down). Bila memungkinkan steroid hirupan
dihentikan penggunaannya.1,3
Sebelum melakukan step-up, perlu dievaluasi pelaksanaan penghindaran pencetus, cara
penggunaan obat, faktor komorbid yang mempersulit pengendalian asma seperti rintis dan
sinusitis.dan dengan penatalaksanaan rinitis dan sinusitis secara optimal dapat memperbaiki
asma yang terjadi secara bersamaan.

Asma Persisten
Pada penatalaksanaan asma persisten terdapat dua alternative yaitu dengan menggunakan
steroid hirupan dosis medium dengan memberikan budenoside 200-400 ug/hari budesonid (100-
200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, 400-600 ug/hari budesonid
(200-300 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun. Selain itu, dapat digunakan
alternatif pengganti dengan menggunakan steroid hirupan dosis rendah ditambah dengan LABA
(Long Acting -2 Agonist) atau ditambahkan Theophylline Slow Release (TSR) atau
ditambahkan Anti-Leukotriane Receptor (ALTR.)
Apabila dengan pengobatan tersebut selama 6-8 minggu tetap terdapat gejala asma, maka
dapat diberikan alternatif lapis ketiga yaitu dapat meningkatkan dosis kortikosteroid sampai
dengan dosis tinggi pada pemberian >400 ug/hari budesonid (>200 ug/hari flutikason) untuk
anak berusia kurang dari 12 tahun, dan >600 ug/hari budesonid (>300 ug/hari flutikason) untuk
anak berusia di atas 12 tahun.4atau tetap dosis medium ditambahkan dengan LABA, atau TSR,
atau ALTR. Penambahan LABA pada steroid hirupan telah banyak dibuktikan keberhasilannya
yaitu dapat memperbaiki FEVI, menurunkan gejala asmanya, dan memperbaiki kualitas
hidupnya.1,3,4
Apabila dosis steroid hirupan sudah mencapai >800 ug/hari namun tetap tidak
mempunyai respons, maka baru digunakan steroid oral (sistemik). Jadi penggunaan
kortikosteroid oral sebagai controller (pengendali) adalah jalan terakhir setelah penggunaan
steroid hirupan atau alternatif di atas telah dijalankan. Langkah ini diambil hanya bila bahaya
dari asmanya lebih besar daripada bahaya efek samping obat.8 Untuk steroid oral sebagai dosis
awal dapat diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis terkecil yang
diberikan selang hari pada pagi hari. Penggunaan steroid secara sistemik harus berhati-hati
karena mempunyai efek samping yang cukup berat.
Pada pemberian antileukotrien (zafirlukas) pernah dilaporkan adanya peningkatan enzim
hati, oleh sebab itu kelainan hati merupakan kontraindikasi. Mengenai pemantauan uji fungsi hati
pada pemberian antileukotrien belum ada rekomendasi. Mengenai obat antihistamin generasi
baru non-sedatif (misalnya ketotifen dan setirizin), penggunaannya dapat dipertimbangkan pada
anak dengan asma tipe rinitis, hanya untuk menanggulangi rinitisnya. Pada saat ini penggunaan
kototifen sebagai obat pengendali (controller) pada asma anak tidak lagi digunakan karena tidak
mempunyai manfaat yang berarti.3,5,7
Apabila dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang optimal atau
perbaikan klinis yang mantap selama 6-8 minggu, maka dosis steroid dapat dikurangi bertahap
hingga dicapai dosis terkecil yang masih bisa mengendalikan asmanya. Sementara itu
penggunaan -agonis sebagai obat pereda tetap diteruskan.3

Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak karena perbedaan
kemampuan menggunanakan alat inhalasi. Dmeikian juga kemauan anak perlu dipertimbangkan.
Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai alat hirupan biasa (Metered Dose Inhaler). Perlu
dilakukan pelatihan yang benar dan berulang kali. Berikut tabel anjuran pemakaian alat inhalasi
disesuakan dengan usia.
Tabel 6. Anjuran Pemakaian Alat Inhalasi disesuaikan dengan Usia

Usia Alat inhalasi

< 2 tahun Nebuliser, Aerochamber, Babyhaler

2-4 tahun Nebuliser, Aerochamber, Babyhaler Alat hirupan (MDI) dengan


perenggang (spacer)

5-8 tahun Nebuliser MDI dengan spacer Alat hirupan bubuk (Spinhaler,
Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler)

> 8 tahun Nebuliser MDI (metered dose inhaler) Alat hirupan bubuk
Autohaler

Pengobatan Eksaserbasi Akut

Eksaserbasi (serangan asma) adalah episode perburukan gejala-gejala asma secara


progresif. Serangan akut biasanya muncul akibat pajanan terhadap faktor pencetus, sedangkan
serangan berupa perburukan bertahap mencerminkan kegagalan pengobatan jangka panjang.
Menurut buku Pedoman Nasional Asma Anak UKK Pulmonologi IDAI 2002, penyakit asma
dibagai dalam 3 kelompok berdasarkan frekuensi serangan dan kebutuhan obat, yaitu asma
ringan, sedang, dan berat. Selain klasifikasi derajat penyakit asma di atas, asma juga dapat dinilai
berdasarkan derajat serangannya, yaitu serangan ringan, sedang, dan berat. Jadi perlu dibedakan
antara derajat penyakit asma (aspek kronik) dengan derajat serangan asma (aspek akut). Seorang
penderita asma berat (persisten) dapat mengalami serangan ringan saja. Sebaliknya seorang
penderita asma ringan (episodik/jarang) dapat mengalami serngan asma berat, atau bahkan
serangan ancaman henti nafas yang dapat mengakibatkan kematian. Terapi yang diberikan
bergantung pada beratnya derajat serangan asma.

Tatalaksana serangan asma dilakukan dengan tujuan untuk meredakan penyempitan jalan
nafas secepat mungkin, mengurangi hipoksemia, mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal
secepatnya, dan merenacanakan tatalaksana mencegah kekambuhan.

Tatalaksana Serangan

1. Tatalaksana di rumah

Untuk serangan ringan dapat digunakan obat oral golongan beta 2 agonis atau teofilin.
Bila tersedia, lebih baik digunakan obat inhalasi karena onsetnya lebih cepat dan efek
samping sistemiknya minimal. Obat golongan beta 2 agonis inhalasi yang dapat
digunakan yaitu MDI dengan atau tanpa spacer atau nebulizer.

Bila dalam waktu 30 menit setelah inhalasi tidak ada perbaikan atau bahkan terjadi
perburukan harus segera dibawa ke rumah sakit.

2. Tatalaksana di ruang emergency

Penderita yang datang dalam keadaan serangan langsung dinilai derajat serangannya.
Tatalaksana awal adalah pemberian beta agonis secara nebulisasi. Garam fisiologis dapat
ditambahkan dalam cairan nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dengan selang 20
menit. Pada pemberian ketiga dapat ditambahkan obat antikolinergik. Tatalaksana awal
ini sekaligus berfungsi sebagai penapis yaitu untuk penentuan derajat serangan, karena
penilaian derajat secara klinis tidak selalu dapat dilakukan dengan cepat dan jelas.
Berikut ini pentalaksanaan serangan asma sesuai derajat serangan:
1. Serangan Asma ringan
Pada serangan asma ringan dengan sekali nebulisasi pasien dapat menunjukkan respon yang
baik. Pasien dengan derajat serangan asma ringan diobservasi 1-2 jam, jika respon tersebut
bertahan pasien dapat dipulangkan dan jika setelah observasi selama 2jam gejala timbul
kembali, pasien diperlakukan sebagai serangan asma derajat sedang.

Sebelum pulang pasien dibekali obat 2-agonis (hirupan atau oral) yang harus diberikan tiap
4-6 jam dan jika pencetus serangannya adalah infeksi virus, dapat ditambahkan steroid oral
jangka pendek selama 3-5 hari. Pasien juga dianjurkan kontrol ulang ke klinik rawat jalan
dalam waktu 24-48 jam untuk evaluasi ulang tatalaksana dan jika sebelum serangan pasien
sudah mendapat obat pengendali, obat tersebut diteruskan hingga evaluasi ulang yang
dilakukan di klinik rawat jalan.

2. Serangan Asma sedang

Pada serangan asma sedang dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga kali pasien hanya
menunjukkan respon parsial (incomplete response) dan pasien perlu diobservasi di ruang
rawat sehari (One day care) dan walaupun belum tentu diperlukan, untuk persiapan keadaan
darurat, pasien yanga akan diobservasi di ruang rawat sehari langsung dipasang jalur
parenteral sejak di unit gawat darurat (UGD).

Pada serangan asma sedang diberikan kortikosteroid sistemik oral metilprednisolon dengan
dosis 0,5-1 mg/kgbb/hari selama 3-5 hari.

3. Serangan Asma berat

Pada serangan asma berat dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak
menunjukkan respon yait gejala dan tanda serangan masih ada. Pada keadaan ini pasien harus
dirawat inap dan jika pasien menunjukkan gejala dan ancaman henti napas pasien harus langsung
dirawat diruang intensif. Pasien diberikan oksigen 2-4 L/menit sejak awal termasuk saat
dilakukan nebulisasi, dipasang jalur parenteral dan dilakukan foto toraks. Jika ada dehidrasi dan
asidosis, diatasi dengan pemberian cairan intravena dan koreksi terhadap asidosis dan pada
pasien dengan serangan berat dan ancaman henti napas, foto toraks harus langsung dibuat untuk
mendeteksi kemungkinan pneumotoraks dan pneumomediastinum. Pada ancaman henti napas

hipoksemia tetp terjadi wlupun sudah diberi oksigen (kadar PaO2<60 mmHg dan atau PaCO2>45
mmHg). Pada ancaman henti napas diperlukan ventilsi mekanik.

Nebulisasi dengan - agonis+antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika
dengan 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis jarak pemberian dapat diperlebar
menjadi 4-6 jam. Pasien juga diberikan kortikosteroid intravena 0,5-1 mg/kg/BB/hari per bolus
setiap 6-8 jam dan aminofilin intravena dengan beberapa ketentuan sebagai berikut:

Jika pasien belum mendapat minofilin sebelumnya, diberikan aminofilin dosis awal sebesr 6-8
mg/kgBB dilarutkan dlam dekstros 5% atau gram fisiologis sebanyak 20 ml diberikan dalm 20-
30 menit.

Jika pasien telah mendapat aminofilin sebelumnya (kurang dari 4 jam), dosis yng
diberikan adalah setengah dari dosis inisial. Sebaiknya kadar aminofilin dalam darah diukur dan
dipertahankan sebesar 10-20/ml. Selanjutnya, aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1
mg/kgBB/jam. Jika terjadi perbaikan klinis nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam dan
pemberian aminofilin dan kortikosteroid diganti oral, jika dalam 24 jam stabil pasien dapat
dipulangkan dengan dibekali 2-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 1-
2 hari. Selain itu, steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 1-2
hari untuk evalasi ulang tatalaksana.

Pencegahan

Menghindari pencetus
Cara menghindari berbagai pencetus serangan pada asma perlu diketahui dan diajarkan
pada keluarganya yang sering menjadi faktor pencetus adalah debu rumah. Untuk menghindari
pencetus karena debu rumah dianjurkan dengan mengusahakan kamar tidur anak: Sprei, tirai,
selimut minimal dicuci 2 minggu sekali. Sprei dan sarung bantal lebih sering. Lebih baik tidak
menggunakan karpet di kamar tidur atau tempat bermain anak. Jangan memelihara binatang.
Untuk menghindari penyebab dari makanan bila belum tau pasti, lebih baik jangan makan coklat,
kacang tanah atau makanan yang mengandung es, dan makanan yang mengandung zat pewarna.
Hindarkan kontak dengan penderita influenza, hindarkan anak berada di tempat yang sedang
terjadi perubahan cuaca, misalnya sedang mendung.2
Kegiatan fisik
Anak yang menderita asma jangan dilarang bermain atau berolah raga. Namun olahraga
perlu diatur karena merupakan kebutuhan untuk tumbuh kembang anak. Pengaturan dilakukan
dengan cara: Menambahkan toleransi secara bertahap, menghindarkan percepatan gerak yang
mendadak, bila mulai batuk-batuk, istirahatlah sebentar, minum air dan setelah tidak batuk-batuk,
kegiatan diteruskan. Adakalanya beberapa anak sebelum melakukan kegiatan perlu minum obat
atau menghirup aerosol terlebih dahulu.

Daftar Pustaka
1. Global Initiative for Asthma (GINA). Pocket guide management and prevention asthma
in children. 2005
2. McPhee S.J, Ganong William F. Patofisiologi penyakit pengantar menuju kedokteran
klinis. Edisi kelima. Jakarta: EGC; 2010.h. 253-7.
3. Behrman RE. Kliegman RM. Nelson esensi pediatri. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 2014. h. 337-53.
4. Djojodibroto D. Respirologi (respiratory medicine). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2009.h. 5-21.
5. Cleary TG. Asthma. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Eds. Nelson
Textbook of Pediatrics. Ed 4. Philadelphia: WB Saunders; 2002.h.842-8.
6. Rahajoe Nastiti, Supriyatno B, Setyanto Darmawan.. Buku ajar respirologi anak. Ed 1.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2013.h.85-105.
7. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran. Ed 4. Jakarta:
Media Aesculapius; 2014.h.172-4.
8. Rahajoe NN, Setyanto DB. Diagnosis tuberKulosis pada anak.Dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012.h.195-211.

9. Supriyatno B. Batuk kronik pada anak. Maj Kedokt Indon. 2010;60(6):285-8.


10. Tosca MA, Cosentino C, Pallestrini E, et al. Improvement of clinical and
immunopathologic parameters in asthmatic children treated for concomitant chronic
rhinosinusitis. Ann Allergy Asthma Immunol 2003; 91: 71-8.

Vous aimerez peut-être aussi