Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Puji syukur Kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT, yang telah memberikan dan
hidayah-NYA sehingga Kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dosen pengajar. Dalam
makalah ini penulis membahas tentang ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN PERTUSIS
dengan pertimbangan materi atas merupakan bahan pembelajaran sehingga dapat
membantu lebih memahami ASKEP DAN KONSEP PERTUSIS.
Dalam pembuatan makalah ini, penulis menyadari adanya berbagai kekurangan, baik
isi materi atau penyusunan kalimat. Namun demikian, perbaikan merupakan hal yang
berlanjut sehingga kritik dan saran untuk penyempurnaan makalah ini sangat penulis
harapkan.
Akhirnya penulis menyampaikan terima kasih kepada dosen pengajar serta teman-
teman sekalian yang telah membaca makalah ini.
A. LATAR BELAKANG
Pertusis (batuk rejan) adalah penyakit saluran pernapasan akut.Penyakit ini biasa
ditemukan pada anak-anak di bawah umur 5 tahun. Seperti halnya penyakit infeksi
saluran pernapas-an akut lainnya,pertusis sangat mudah dan cepat penularannya.
Penyakit tersebut dapat merupakan salah satu penyebab tinggi-nya angka kesakitan
terutama di daerah padat penduduk.Sirkulasi bakteripertusis di daerah padat penduduk
di Indonesia belum di-ketahui secara pasti.Penyakit inidapat dicegah dengan imunisasi
DPT. Vaksinasi pertusis lebih efektif dalam melindungi terhadap penyakit daripada
melindungi infeksi.Perlindungan yang tidak lengkap terhadap penyakit pada anak yang
telah divaksinasi dapat menurunkan keganasan penyakit.Infeksi alam memberi
kekebalan mutlak terhadap pertusis selama masa kanak-kanak, sedangkan perlindungan
akibat imunisasi kurang lengkap karena masih ditemukan pertusis pada anak yang telah
mendapatimunisasi lengkap walaupun dengan gejala ringan. Proporsi populasi yang
rentan terhadappertusis ditentukan oleh: tingkatkelahiran bayi, cakupan imunisasi,
efektivitas vaksinyangdigunakan, insiden penyakit dan derajat penurunan kekebalan
setelah imunisasi atau sakit.
Diseluruh dunia ada 60 juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari setenah juta
meniggal.selama masa prafaksin tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab utama
kematian dari penyakit menular pada anak dibawah usia 14 tahun di America serikat.
Penggunaan vaksin pertusis yang meluas menyebabkan penurunan kasus yang dramatis
insiden penyakit yang tinggi di Negara-negara sedang berkembang dan maju. Di America
penerapan kebijakan yang lemah sebagia n menyebabkan naiknya insiden pertusis
pertahun sampai 1,2 kasus/100000 populasi dari tahun 1980-1989 dan pertusis dibanyak
Negara bagian.
Pada tahun 1989-1990 dan 1993.Lebih dari 4500 kasus yang dilaporkan pada pusat
pengendalian dan pencegahan penyakit pada tahun 1993 merupakan insiden tertinggi
sejak tahun 1967. Masa pravaksinasi dan dinegara-negara seperti jerman, swedia dan
Italy dengan imunisasi terbatas,insiden puncak pertusis adalah pada anak umur 1-5
tahun, bayi sebelum umur 1 tahun meliputi kurang dari 15% kasus. Sebaliknya hamper
5000 kasus pertusis dilaporkan di America serikat selama tahun 1993, 44% berumur
sebelum 1 tahun, 21% berumur antara 1-4 tahun, 11% berumur 5-9 tahun, dan 24%
berumur 12 tahun atau lebih. Untuk mereka yang berumur sebelum 1 tahun,79%
sebelum umur 6 bulan dan manfaat sedikit dari imunisasi. Anak dengan pertusis antara 7
bulan dan 4 tahun kurang terimunisasi. Proporsi anak belasan tahun dan orang dewasa
dengan pertusis naik secara bersama, kurang dari pada 20% pada masa pravaksinasi
sampai 27 % pada tahun 1992-1993. Pengendalian sebagian dengan vaksinasi telah
menimbulkan epideniologi pertusis sekarang di America serikat dan menyebabkan
kerentanan kelompok umur yang belum pernah terkena sebelumnya. Tanpa terinfeksi
alamiah dengan B.pertusis atau vaksinasi booster berulang, anak yang lebih tua dan
orang dewasa rentan terhadap penyakit klinis yang terpajan, dan ibu hanya memberikan
sedikit proteksi pasif pada bayi muda.pengamatan yang terakhir memberi koreksi pada
pendapat lama bahwa ada sedikit proteksi transplasenta terhadap pertusis.
B. TUJUAN
1. Memahami definisi pertusis.
2. Mengetahui anatomi dan fisiologi tentang penyakit pertusis
3. Mengetahui etiologi terjadinya pertusis.
4. Mengetahui patofisiologi terjadinya pertusis.
5. Mengidentifikasi manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada klien pertusis.
6. Mengidentifikasi komplikasi klien dengan pertusis.
7. Mengidentifikasi tes diagnostik klien dengan pertusis.
8. Mengidentifikasi penatalaksanaan klien dengan pertusis.
9. Merumuskan asuhan keperawatan pada klien dengan pertusis meliputi WOC,
analisis data, pengkajian, diagnosis, intervensi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Defenisi
Pertusis adalah penyakit saluran nafas yang disebabkan oleh bakteri Bordetella
pertusis. Nama lain penyakit ini adalah tussis quinta, whooping cough, batuk rejan,
batuk 100 hari. (Arif Mansjoer, 2000)
Pertusis adalah penyakit infeksi yang ditandai dengan radang saluran nafas yang
menimbulkan serangan batuk panjang yang bertubi-tubi, berakhir dengan inspirasi
berbising. (Ramali, 2003)
Pertusis adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan yang sangat menular
dengan ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat spasmodik dan
paroksismal disertai nada yang meninggi. (Rampengan, 1993)
Pertusis adalah suatu infeksi akut saluran nafas yang mengenai setiap pejamu yang
rentan, tetapi paling sering dan serius pada anak-anak. (Behrman, 1992)
B. Anatomi Fisiologi
1. Anatomi Pernafasan
Adapun saluran pernafasan dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1) Anatomi saluran pernafasan atas
a. Hidung
Hidung merupakan saluran pernafasan pertama.
Rongga hidung terbagi atas :
Vestibulum yang dilapisi oleh sel mukosa sebagai proteksi
Dalam rongga hidung terdapat rambut (silia) yang berperan sebagai
penapisan udara.
Struktur konka yang berfungsi sebagai proteksi terhadap udara luar
karena strukturnya berlapis.
Sel silia yang berperan untuk melemparkan benda asing keluar dalam
usaha untuk membersihkan jalan nafas.
b. Faring
Merupakan bagian belakang dari rongga hidung dan rongga mulut.
Terdiri dari nasofaring (bagian yang berbatasan dengan rongga hidung),
orofaring (yang berbatasan dengan rongga mulut), hipofaring (bagian dimana
terjadi pemisahan antara udara dan makanan).
c. Laring
Walaupun fungsi utamanya adalah sebagai alat suara, akan terjadi di
dalam saluran pernafasan fungsi sebagai jalan udara. Laring merupakan
bagian yang menghubungkan faring dengan trakea. Pada lamina propria
laring terdapat tulang rawan hialin dan elastinyang berfungsi sebagai katup
yang mencegah masuknya makanan dan sebagai alat penghasil suara pada
fungsi fonasi. Epiglotis merupakan juluran dari tepian laring, meluas ke faring
dan memiliki permukaan lingual dan laringeal. Bagian lingual dan apikal
epiglotis ditutupi oleh epitel gepeng berlapis, sedangkan permukaan laringeal
ditutupi oleh epitel respirasi bertingkat bersilindris bersilia. Di bawah epitel
terdapat kelenjar campuran mukosa dan serosa.
Di bawah epiglotis, mukosanya membentuk dua lipatan yang meluas
ke dalam lumen laring: pasangan lipatan atas membentuk pita suara palsu
(plika vestibularis) yang terdiri dari epitel respirasi dan kelenjar serosa, serta
di lipatan bawah membentuk pita suara sejati yang terdiri dari epitel berlapis
gepeng, ligamentum vokalis (serat elastin) dan muskulus vokalis (otot
rangka). Otot muskulus vokalis akan membantu terbentuknya suara dengan
frekuensi yang berbeda-beda.
2) Anatomi saluran pernafasan bawah
a. Trakea
Merupakan lanjutan dari yang dibentuk oleh 16-20cincin tulang rawan
yang berbentuk seperti kuku kuda. Trakea bercabang ke kanan dan ke kiri
sebagai bronkus pada karina.
b. Bronkus
Merupakan suatu struktur yang terdapat dalam mediastinum.
Bronkus merupakan percabangan dari trakea yang merupakan bronkus
utama kiri dan bronkus utama kanan. Panjangnya 5 cm. Diameternya 11-19
cm dan luas penampang hanya 3,2 cm2. Percabangan dari trakea sebelum
masuk ke mediastinum, dan sudut yang tajam yang dibentuk oleh
percabangan ini disebut percabangan karina. Bronkus kanan lebih panjang
dan sempit dan merupakan kelanjutan dari trakea dengan sudut yang tajam.
Bronkiolus Merupakan cabang terkecil dari bronkus yaitu saluran
udara terkecil yang tidak mengandung alveoli (kantung udara). Bronkiolus
terminalis memiliki garis tengah 1 mm. Bronkiolus tidak diperkuat oleh
cincin tulang rawan tetapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya
dapat berubah. Seluruh saluran udara ke bawah sampai tingkat bronkiolus
terminalis disebut pengantar udara karena fungsi utamanya adalah sebagai
pengantar udara ke tempat pertukaran gas paru-paru.
c. Paru-Paru
Merupakan saluran penafasan utama. Paru-paru mengisi rongga dada
terletak sebelah kanan, kiri dan tengah dipisahkan oleh jantung beserta
pembuluh darah besarnya dan struktur lainnya yang terletatak di dalam
mediastinum.
Paru-paru adalah organ yang berbentuk kerucut dengan apex
(puncak) dan basis. Munculnya sedikit lebih tinggi dari klavikula di dalam
dasar leher. Pangkal duduk di atas rongga, thorax di atas diafragma.
Paru-paru dibagi menjadi dua bagian yaitu : paru-paru kanan yang
terdiri dari 3 lobos dan paru-paru kiri 2 lobus, lobus-lobus tersebut dibagi
menjadi dua segmen. Paru-paru kanan dibagi lagi menjadi 10 segmen,
sedangkan paru-paru kiri dibagi menjadi 9 segmen.
Paru-paru mempunyai lapisan tipis yang continue mengandung
kolagen dan jaringan elastis dikenal sebagai pleura melapisi rongga dada
(pleura parietalis) dan menyelubungi setiap paru-paru (pleura viseralis).
Diantara pleura parietalis dan pleura viseralis terdapat cairan pleura yang
memudahkan kedua permukaan itu bergerak selama pernafasan dan untuk
mencegah pemisah thorax dan paru-paru.
Paru-paru terbentuk oleh sekitar 300 juta alveoli. Terdapat tiga jenis
sel alveolar, sel alveolar tipe 1 adalah sel epitel yang membentuk dinding
alveolar. Sel alveolar tipe II adalah sel-sel yang aktif secara metabolik,
mensekresi surfactan suatu fosfolipid yang melapisi permukaan dalam dan
mencegah alveolar yang tidak kolaps. Sel alveolar tipe III adalah makrofag
yang merupakan sel-sel fagositosis yang besar yang memakan benda asing
dan bekerja sebagai mekanisme pertahanan penting.
2. Fisiologi Pernafasan
Proses fisiologi pernafasan dimana oksigen dipindahkan dari udara ke dalam
jaringan dan karbondioksida dikeluarkan ke udara, dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
a. Ventilasi
Merupakan proses inspirasi dan ekspirasi yang merupakan proses aktif dan
pasif yang mana otot-otot interkosta interna berkontraksi dan mendorong
dinding pada sedikit ke arah luar, akibatnya diafragma turun dan otot diafragma
berkontraksi. Pada ekspirasi diafragma dan otot interkosta eksterna relaksasi
dengan demikian rongga menjadi kecil kembali, maka udara terdorong keluar.
b. Difusi Gas
Merupakan gerakan gas CO2 dan CO3 atau partikel lain dari area yang
bertekanan tinggi ke arah yang bertekanan rendah. Difusi gas melalui membran
pernafasan yang dipengaruhi oleh faktor ketebalan membran. Luas permukaan
membran, komposisi membran, koefisien difusi O2 dan CO2 serta perbedaan
tekanan gas O2 dan CO2. Dalam difusi gas ini pernafasan yang berperan penting
yaitu alveoli dan darah.
c. Transportasi Gas
Perpindahan gas dari paru ke jaringan dan dari jaringan ke paru degan
bantuan darah (aliran darah). Masuknya O2 ke dalam sel darah yang bergabung
dengan hemoglobin yang kemudian membentuk oksihemoglobin sebanyak 97%
dan sisa 3% yang ditransformasikan ke dalam cairan plasma dan sel.
C. Etiologi
Pertusis pertama kali dapat diisolasi pada tahun 1900 oleh Bordet dan Gengou,
kemudian pada tahun 1906 kuman pertusis baru dapat dikembangkan dalam media
buatan. Genus Bordetella mempunyai 4 spesies yaitu Bordetella pertusis, Bordetella
Parapertusis, Boredetella Bronkiseptika, dan Bordetella Avium.
Bordetella pertusis adalah satu-satunya penyebab pertusis yaitu bakteri gram
negatif, tidak bergerak, dan ditemukan dengan melakukan swab pada daerah
nasofaring dan ditanamkan pada media agar Bordet-Gengou. (Arif Mansjoer, 2000).
Adapun ciri-ciri organisme ini antara lain :
a. Berbentuk batang (coccobacilus).
b. Tidak dapat bergerak.
c. Bersifat gram negatif.
d. Ukuran panjang 0,5-1 um dan diameter 0,2-0,3 um.
e. Tidak berspora, mempunyai kapsul.
f. Mati pada suhu 55C selama jam, dan tahan pada suhu rendah (0- 10C).
g. Dengan pewarnaan Toluidin blue, dapat terlihat granula bipolar metakromatik.
h. Tidak sensitif terhadap tetrasiklin, ampicillin, eritomisisn, tetapi resisten terhdap
penicillin.
i. Menghasilkan 2 macam toksin, antara lain :
1) Toksin tidak tahan panas (Heat Labile Toxin).
2) Endotoksin (lipopolisakarida).
j. Melekat ke epitel pernafasan melalui hemaglutinasi filamentosa dan adhesin
yang dinamakan pertaktin.
k. Menghasilkan beberapa antigen , antara lain :
1) Toksin Pertusis (PT).
2) Filamentous hemagglutinin (FHA).
3) Pertactine 69-kDa OMP
4) Aglutinogen fimbriae
5) Adenylcyclase
6) Endotoksin (pertusis lipopolysaccharide)
7) Tracheal cytotoxin
l. Dapat dibiakkan de media pembenihan yang disebut berdet gengou (potato-
blood-glycerol) yang diberi penisilin G 0,5 mikrogram/ml untuk menghambat
pertumbuhan organisme lain.
Faktor-faktor kevirulenan Bordetella pertusis :
Toksin pertussis: histamine sensitizing factor (HSF), lymphocytosis promoting
factor,Islet activating protein (IAP).
Adenilat siklase luarsel.
Hemaglutinin (HA): F-HA (filamentous-HA) , PT-HA (pertussis toxin- HA).
Toksin tak stabil panas (heat labile toxin).
Secara morfologis terdapat beberapa kuman yang menyerupai Bordetella Pertusis
seperti Bordete
D. Patofisiologi
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernafasan kemudian
melekat pada silia epitel saluran pernafasan. Mekanisme pathogenesis infeksi oleh
Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan
terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan local dan akhirnya timbul penyakit
sistemik. Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella
pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertusis, kemudian
bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran nafas. Proses ini
tidak invasif oleh karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan
Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit
yang kita kenal dengan whooping cough.
Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena pertusis
toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya
berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan sub unit A yang aktif pada
daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan
makrofag ke daerah infeksi.
Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur sintesis
protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari
sel target termasuk lifosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran
histamine dan serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan meningkatkan aktifitas
insulin, sehingga akan menurunkn konsentrasi gula darah.
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid
peribronkial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan silia, maka fungsi silia
sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh
Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus ). Penumpukan
mucus akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru.
Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigenasi pada saat
ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat
mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung toksin
ataukah sekunder sebagai akibat anoksia.
Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel
mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotic
terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan
infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis.
Cara penularan pertusis, melalui:
Droplet infection
Kontak tidak langsung dari alat-alat yang terkontaminasi
Penyakit ini dapat ditularkan penderita kepada orang lain melalui percikan-
percikan ludah penderita pada saat batuk dan bersin.
Dapat pula melalui sapu tangan, handuk dan alat-alat makan yang dicemari
kuman-kuman penyakit tersebut.
Batuk yang timbul mula-mula pada malam hari, lalu siang hari, dan menjadi
semakin hebat. Sekret banyak, menjadi kental dan lengket. Pada bayi, lendir mukoid
sehingga menyebabkan obstruksi jalan nafas, dimana bayi terlihat sakit berat dan
iritabel.
2. Stadium 2
Stadium ini berlangsung 2-4 minggu atau lebih. Stadium ini disebut juga
paroxysmalphase, stadium akut paroksismal, stadium paroksismal, stadium
spasmodik. Penderita pada stadium ini disertai batuk berat yang tiba-tiba dan tak
terkontrol (paroxysms of intense coughing) yang berlangsung selama beberapa
menit. Bayi yang berusia kurang dari 6 bulan tidak disertai whoop yang khas namun
dapat disertai episode apnea (henti nafas sementara) dan berisiko kelelahan
(exhaustion).
Menurut Rampengan (2008), manifestasi klinis pada stadium ini adalah:
a. Whoop (batuk yang berbunyi nyaring), sering terdengar pada saat penderita
menarik nafas di akhir serangan batuk.
b. Batuk 5-10 kali, selama batuk anak tidak dapat bernafas, dan di akhir serangan
batuk anak menarik nafas dengan cepat dan dalam sehingga terdengar bunyi
melengking (whoop) dan diakhiri dengan muntah.
c. Selama serangan (batuk), muka penderita menjadi merah atau sianosis, mata
tampak menonjol, lidah menjulur keluar, dan gelisah. Juga tampak pelebaran
pembuluh darah yang jelas di kepala dan leher, petekie di wajah, perdarahan
subkonjungtiva dan sclera, bahkan ulserasi frenulum lidah.
d. Di akhir serangan, penderita sering memuntahkan lendir kental.
e. Setelah 1 atau 2 minggu, serangan batuk makin menghebat
3. Stadium 3
Stadium ini berlangsung 1-2 minggu. Stadium ini disebut juga stadium
konvalesens.
Menurut Guinto-Ocampo H. (2006) dan Garna H., et.al. (2005), pada stadium
konvalesens, batuk dan muntah menurun. Namun batuk yang terjadi merupakan
batuk kronis yang dapat berlangsung selama berminggu-minggu.
Dapat terjadi petekie pada kepala/leher, perdarahan konjungtiva, dapat terjadi ronki
difus.
Menurut Rampengan (2008), manifestasi klinis pada stadium ini adalah:
a. Whoop dan muntah berhenti.
b. Batuk biasanya masih menetap dan segera menghilang setelah 2-3 minggu.
c. Beberapa penderita akan timbul serangan batuk paroksismal kembali dengan
whoop dan muntah-muntah. Episode ini terjadi berulang dalam beberapa bulan
bahkan hingga satu atau dua tahun, dan sering dihubungkan dengan infeksi
saluran nafas bagian atas yang berulang.
F. Komplikasi
Komplikasi dari pertusis adalah sebagai berikut:
1. Sistem pernafasan
Dapat terjadi otitis media, bronkhitis, bronchopneumonia, atelektasis yang
disebabkan sumbatan mukus, emfisema, bronkietaksis, dan tuberculosis yang
sudah ada menjadi bertambah berat.
2. Sistem pencernaan
Muntah-muntah yang berat dapat menimbulkan emasiasis (anak menjadi
kurus sekali), prolapsus rectum atau hernia yang mungkin timbul karena tingginya
tekanan intra abdominal, ulkus pada ujung lidah karena tergosok pada gigi atau
tergigit pada waktu serangan batuk, juga stomatitis.
3. Susunan saraf
Kejang dapat timbul karena gangguan keseimbangan elektrolit akibat
muntah-muntah, kadang-kadang terdapat kongesti dan edema pada otak, mungkin
pula terjadi perdarahan otak.
4. Lain-lain
Dapat pula terjadi perdarahan lain seperti epistaksis, hemoptisis dan
perdarahan subkonjungtiva.
G. Tes Diagnostik
1. Pemeriksaan sputum
2. Pemeriksaan serologis untuk Bordetella pertussis
3. ELISA
Elisa dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA serum terhadap
filamentous hemoaglutinin (FHA) dan toksin pertussis (TP). nilai IgM-FHA dan IgM-
TP serum tidak bernilai dalam penentuan seropositif oleh karena menggambarkan
respon imun primer dan dapat disebabkan oleh penyakit atau vaksinasi. IgG langsung
terhadap toksin pertussis merupakan test yang paling sensitif dan spesifik untuk
infeksi akut. IgA-FHA dan IgA-TP kurang sensitif daripada IgG-TP tetapi sangat
spesifik untuk infeksi natural dan tidak terlihat sesudah imunisasi pertussis.
4. Leukositosis (15.000-100.000/mm3) dengan limfositosis absolut selama stadium 1
(catarrhal) dan stadium 2 (paroxysmal).
5. Didapatkan antibodi (IgG terhadap toksin pertusis)
6. Diagnosis pasti dengan ditemukannya organisme Bordetella pertussis pada apus
nasofaring posterior (bahan media Bordet-Gengou).
7. Polymerase chain reaction (PCR) assay memiliki keuntungan sensitivitasnya lebih
tinggi daripada kultur pertusis konvensional.
8. Foto toraks
Infiltrat perihiler (perihilar infiltrates), edema (atau mild interstitialedema)
dengan berbagai tingkat atelektasis yang bervariasi, mildperibronchial cuffing, atau
empiema.Konsolidasi (consolidation) merupakan indikasi adanya infeksi bakteri
sekunder atau pertussis pneumonia (jarang).Adakalanya pneumothorax,
pneumomediastinum, atau udara di jaringan yang lunak dapat terlihat.
Radiography tidak diindikasikan pada pasien dengan tanda-tanda vital (vital
signs) yang normal. Vital signs ini meliputi: tekanan darah, nadi, heart rate,
respiration rate, dan suhu tubuh.
H. Penatalaksanaan
Menurut Garna, et.al. (2005), terapi pertusis adalah :
a. Suportif
Isolasi (1-2 minggu).
Mencegah faktor yang merangsang batuk (debu, asap rokok).
Mempertahankan status nutrisi dan hidrasi.
Oksigen bila sesak nafas.
Pengisapan lendir.
Obat untuk mengurangi batuk paroksismal dengan kortikosteroid
(betametason) dan salbutamol (albuterol).
b. Eradikasi bakteri
Pilihan obat yang dapat diberikan adalah :
Eritromisin
Dosis: 40-50 mg/Kg berat badan/hari, maksimal 2 gram/hari, p.o., dibagi
dalam 4 dosis selama 14 hari.
Klaritromisin
Dosis: 15-20 mg/Kg berat badan/hari, maksimal 1 gram/hari, p.o., dibagi
dalam 2 dosis selama 7 hari.
Azitromisin
Dosis: 10 mg/Kg berat badan/hari, sehari 1x, p.o., dibagi selama 5 hari.
Kotrimoksasol
Dosis: 50 mg/Kg berat badan/hari, p.o., dibagi dalam 2 dosis, selama 14 hari.
Ampisilin
Dosis: 100 mg/Kg berat badan/hari, p.o., dibagi dalam 4 dosis selama 14 hari.
a. Antibiotik
1) Erythromycin
Nama Dagang di Amerika: EES, E-Mycin, Eryc, Ery-Tab, Erythrocin.
Mekanisme kerja:
Menghambat pertumbuhan bakteri, dengan menghalangi disosiasi
peptidyl tRNA dari ribosom menyebabkan RNA-dependent protein
synthesis berhenti.
Dosis dewasa:
250 mg (erythromycin stearate/base) atau 400 mg (ethylsuccinate) PO
q6h 1 h ac, atau 500 mg (stearate/base) q12h.
Alternatif lainnya, 333 mg (stearate/base) q8h, dapat ditingkatkan hingga
4 g/hari tergantung dari beratnya infeksi.
Dosis anak-anak
40-50 mg/kg/hari (stearate/base) PO dibagi qid; tidak melebihi 2 g/hari.
Garam estolate dapat digunakan pada bayi karena penyerapan yang lebih
efektif.
2) Azithromycin
Nama Dagang di Amerika: Zithromax
Mekanisme kerja:
Menghambat pertumbuhan bakteri, dengan menghalangi disosiasi
peptidyl tRNA dari ribosom menyebabkan RNA-dependent protein
synthesis berhenti.
Dosis dewasa:
500 mg PO pada hari pertama, lalu 250 mg/hari selama 4 hari berikutnya
(total 5 hari)
Dosis anak-anak
10-12mg/kg/hari PO selama 5 hari.
3) Clarithromycin
Nama Dagang di Amerika: Biaxin
Mekanisme kerja
Menghambat pertumbuhan bakteri, dengan menghalangi disosiasi
peptidyl tRNA dari ribosom menyebabkan RNA-dependent protein
synthesis berhenti.
Dosis dewasa: 500 PO bid untuk 7-10 hari.
Dosis anak-anak: 15-20 mg/kg PO dibagi bid selama 5-7 hari; tidak melebihi
g/hari.
4) Trimethoprin-sulfamethoxazole
Nama Dagang di Amerika:Bactrim, Septra, Cotrim
Mekanisme kerja:
Menghambat pertumbuhan bakteri, dengan menghambat sintesis
dihydrofolic acid. Obat alternatif, namun kemanjurannya (efficacy) belum
terbukti untuk pertusis.
Dosis dewasa:
160 mg (trimethoprim component) / 800 mg
(sulfamethoxazolecomponent) PO bid selama 7-10 hari (misalnya: 1 DS
tab bid)
Dosis anak-anak
<2 bulan: kontraindikasi.
>2 bulan: 6-10 mg/kg/hari (berdasarkan komponen trimethoprim) PO
dibagi q12h untuk 7-10 hari.
b. Vaksin
Imunisasi aktif meningkatkan kekuatan melawan (resistance) infeksi. Vaksin
terdiri dari mikroorganisme atau komponen seluler yang bertindak sebagai
antigen. Pemberian vaksin menstimulasi produksi antibodi dengan specific
protective properties.
Semua anak berusia kurang dari 7 tahun haruslah menerima vaksin pertusis.
Di Amerika Serikat, vaksin pertusis acellular direkomendasikan dan biasanya
dikombinasikan dengan diphtheriaand tetanus toxoids (DTaP).
Vaksin tidak dapat mencegah pertusis seluruhnya, namun terbukti dapat
memperingan durasi dan tingkat keparahan pertusis.
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas ( Ngastiyah, 1997 ; 32 )
o Mengenai semua golongan umur, terbanyak mengenai anak umur 1-5th
o Lebih banyak anak laki laki dari pada anak perempuan.
2. Keluhan Utama
Batuk disertai muntah.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Batuk makin lama makin bertambah berat dan diikuti dengan muntah terjadi siang
dan malam. Awalnya batuk dengan lendir jernih dan cair disertai panas ringan, lama
kelamaan batuk bertambah hebat (bunyi nyaring) dan sering, maka tampak
benjolan, lidah menjulur dan dapat terjadi pendarahan sub conjungtiva.
4. Riwayat Penyakit Dahulu.
o Adanya gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas.
o Batuk dan panas ringan, batuk mula-mula timbul pada malam hari, kemudian
siang hari dan menjadi hebat.
5. Riwayat Penyakit Keluarga.
Dalam keluarga atau lingkungan sekitarnya, biasanya didapatkan ada yang
menderita penyakit pertusis.
6. Riwayat Imunisasi
JENIS UMUR CARA JUMLAH
BCG 0 2 bulan 1C 1x
DPT 2, 3, 4 bulan 1M 3x
Polio 1-5 bulan Refisi 4x
Capak 9 bulan 5C 4x
Heportits 0, 1, 6 bulan 1M 3x
7. Riwayat Tumbuh Kembang
a. Personal Sosial
Ibu pasien mengatakan kalau dirumah anaknya lincah, tidak mau diam.
b. Motorik Halus
Anak terbiasa melakukan gerakan seperti memasukkan benda kedalam
mulutnya, menangkap objek atau benda benda, memegang kaki dan
memegang kaki dan mendorong kearah mulutnya.
c. Motorik Kasar
Anak dapat tengkurap dan berbalik sendiri, dapat merangkak mendekati benda
atau seseorang.
d. Kognitif
e. Anak berusaha memperluas lapangan pandangan, tertawa dan menjerit karena
gembira bila diajak bermain, mulai berbicara tapi belum jelas bahasanya.
d. Diagnosis serologis dapat dilakukan dengan penentuan antibodi toksin pertussis dari
sepasang serum.
e. ELISA dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA serum terhadap
filamentous hemoaglutinin (FHA) dan toksin pertusis (TP). Nilai IgM-FHA dan IgM-
TP serum tidak bernilai dalam penentuan seropositif oleh karena menggambarkan
respon imun primer dan dapat disebabkan oleh penyakit atau vaksinasi. IgG langsung
terhadap toksin pertussis merupakan test yang paling sensitif dan spesifik untuk
infeksi akut. IgA-FHA dan IgA-TP kurang sensitif daripada IgG-TP tetapi sangat
spesifik untuk infeksi natural dan tidak terlihat sesudah imunisasi pertusis.
f. stadium lanjut penyakit dan untuk menentukan adanya infeksi pada individu Kultur
paling positif pada fase kataral dan awal paroksimal dan seharusnya dilakukan pada
semua kasus yang tersangka. Test serologis berguna pada dengan kultur negatif.
12. Penatalaksanaan
Menurut Garna, et.al. (2005), terapi pertusis adalah :
a. Suportif
Isolasi (1-2 minggu).
Mencegah faktor yang merangsang batuk (debu, asap rokok).
Mempertahankan status nutrisi dan hidrasi.
Oksigen bila sesak nafas.
Pengisapan lendir.
Obat untuk mengurangi batuk paroksismal dengan kortikosteroid
(betametason) dan salbutamol (albuterol).
b. Eradikasi bakteri
Pilihan obat yang dapat diberikan adalah :
Eritromisin
Dosis: 40-50 mg/Kg berat badan/hari, maksimal 2 gram/hari, p.o., dibagi
dalam 4 dosis selama 14 hari.
Klaritromisin
Dosis: 15-20 mg/Kg berat badan/hari, maksimal 1 gram/hari, p.o., dibagi
dalam 2 dosis selama 7 hari.
Azitromisin
Dosis: 10 mg/Kg berat badan/hari, sehari 1x, p.o., dibagi selama 5 hari.
Kotrimoksasol
Dosis: 50 mg/Kg berat badan/hari, p.o., dibagi dalam 2 dosis, selama 14 hari.
Ampisilin
Dosis: 100 mg/Kg berat badan/hari, p.o., dibagi dalam 4 dosis selama 14 hari.
a. Antibiotik
Erythromycin
Nama Dagang di Amerika: EES, E-Mycin, Eryc, Ery-Tab, Erythrocin.
Mekanisme kerja:
Menghambat pertumbuhan bakteri, dengan menghalangi disosiasi
peptidyl tRNA dari ribosom menyebabkan RNA-dependent protein
synthesis berhenti.
Dosis dewasa:
250 mg (erythromycin stearate/base) atau 400 mg (ethylsuccinate) PO
q6h 1 h ac, atau 500 mg (stearate/base) q12h.
Alternatif lainnya, 333 mg (stearate/base) q8h, dapat ditingkatkan hingga
4 g/hari tergantung dari beratnya infeksi.
Dosis anak-anak
40-50 mg/kg/hari (stearate/base) PO dibagi qid; tidak melebihi 2 g/hari.
Garam estolate dapat digunakan pada bayi karena penyerapan yang lebih
efektif.
Azithromycin
Nama Dagang di Amerika: Zithromax
Mekanisme kerja:
Menghambat pertumbuhan bakteri, dengan menghalangi disosiasi
peptidyl tRNA dari ribosom menyebabkan RNA-dependent protein
synthesis berhenti.
Dosis dewasa:
500 mg PO pada hari pertama, lalu 250 mg/hari selama 4 hari berikutnya
(total 5 hari)
Dosis anak-anak
10-12mg/kg/hari PO selama 5 hari.
Clarithromycin
Berkeringat pasien
Mual menyebabkan
Intoleransi disability/ketidakmampuan/kecac
Akumulasi mestinya
aktivitas-aktivitas:
badan pasien
3) Monitor kecenderungan
Perbandingan
Aktivitas-aktivitas:
berat/tinggi
Hidrasi Jika diperlukan lakukan
pemeriksaan diagnostik untuk
Pertumbuhan
mengetahui penyebab penurunan
Glukosa darah
berat badan
Hemoglobin
Timbang pasien pada jam yang
Kapasitas
sama setiap hari
pengikatan zat
Diskusikan kemungkinan
besi total
penyebab berat badan berkurang
Serum albumin
Monitor mual muntah
Intake kalori
Monitor asupan kalori setiap hari
Intake protein
Monitor nilai albumin, limosit,
Intake lemak
Intake dan nilai elektrolit
karbohidrat Dukung peningkatan asupan
Intake vitamin kalori
Intake mineral Sediakan makanan yang tinggi
Intake zat besi kalori dan bernutrisi tinggi
Intake kalsium Lakukan perawatan mulut
Intake sodium sebelum makan
A. Kesimpulan
Pertusis adalah infeksi saluran pernafasan akut yang disebabkan oleh bordetella
pertusis terutama terjadi pada anak-anak usia 4 tahun yang tidak diimunisasi.(american
academy of pediatric,2006) Pertusis sering dikenal dengan sebutan batuk rejan atau
batuk anjing.
Pertusis biasanya disebabkan oleh Bordetella Pertusis (Hemophilus Pertusis).
Bordetella Pertusis adalah suatu kuman tidak bergerak, gram negative, dan didapatkan
dengan cara melakukan pengambilan usapan pada daerah nasofaring pasien pertusis.
B. Saran
Bayi sangat rentan terhadap infeksi pertusis, oleh karena itu dianjurkan pemberian
vaksin DTP pada usia 2, 4, dan 6 bulan sesuai dengan Program Pengembangan Imunisasi
untuk mencegah infeksi yang berat. Vaksin booster dianjurkan pada usia 4 tahun dan 15
tahun karena imunisasi dasar pertusis tidak memberi kekebalan permanen. Selain itu
bila ada kontak erat dengan penderita pertusis perlu diberikan profilaksis eritromisin
dan isolirkan penderita, jika tidak mungkin memutus kontak, maka perlu diberi
eritromisin profilaksis hingga batuk berhenti.
DAFTAR PUSTAKA
Manjoer, Arief. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid II. Jakarta: Media Aesculapius
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1985. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:Info Medika
Suriadi, dan Yuliani Rita. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi 1. Jakarta : PT Fajar
Interpratama.
Rudolph M. Abhraham, dkk. 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph Edisi 20. Volume 1. Jakarta:
EGC