Vous êtes sur la page 1sur 14

1.

Tectonic Setting VS Magma


1.1Asal Mula Magma

Kebanyakan kemunculan magma dihasilkan di batas lempeng, kecuali pada

sesar transform yang mana apabila adapun akan dihasilkan magma dalam jumlah

sedikit. Lingkungan dimana magma dihasilkan dapat dikelompokkan ke dalam

lingkungan tepi lempeng (plate margin) dan bagian tengah lempeng (intraplate) yang

di dalamnya dapat dibagi lagi menjadi tujuh tataan tektonik lempeng (Tabel 1.1).
Wilson (1989) menjelaskan bahwa lingkungan tataan tektonik pembentukan

magma meliputi tepi lempeng konstruktif, tepi lempeng destruktif, tataan bagian

tengah lempeng samudera dan tataan bagian tengah benua (Tabel 1.2). Wilson (2007),

magma seri tholeiitic dapat terbentuk pada berbagai tatanan tektonik, sedangkan

magma seri calc-alkaline hanya terbentuk pada tatanan tektonik subduksi. Selain itu

McBirney (1984) memberikan perkiraan angka kecepatan pembentukan magma

(km3/tahun) di dalam lingkungan – lingkungan tektonik yang berbeda tersebut (Tabel

1.3). Tampak bahwa kecepatan pembentukan magma pada batuan plutonik jauh lebih

cepat (29,5 km3/tahun) dibandingkan pada batuan gunung api (4,1 km3/tahun) untuk

masing – masing lokasi tataan tektoniknya.


Tabel 1.1 Klasifikasi magma yang berhubungan dengan lingkungan tektonik
lempeng (Condie, 1982).
Tabel 1.2 Ciri – ciri seri magma yang berasosiasi dengan tataan tektonik khusus
(Wilson,1989).
Tabel 1.3 Kecepatan global magmatisme pada Masa Kenozoikum (McBirney, 1984)

Distribusi magma tampak berhubungan dengan tegasan tektonik di dalam

kerak maupun di dalam mantel bagian atas (Gambar 1.1). Lingkungan tegasan

ekstensif seperti punggungan samudera, cekungan tepi – lautan dan regangan benua

dicirikan oleh seri magma tholeit dan seri magma alkali. Jalur subduksi / penekukan

diasosiasikan dengan dominasi tegasan kompresif yang menghasilkan seri magma

kapur alkali. Daerah dengan tegasan minor (kompresif atau ekstensif) seperti

cekungan samudera dan daerah kraton / inti benua dicirikan oleh seri magma tholeit

atau seri magma alkali.


Gambar 1.1 Penampang yang memperlihatkan hubungan pembentukan magma
dengan tektonik lempeng (Ringwood, 1969).

Sebagian besar pembentukan magma berlangsung pada batas lempeng litosfer

yang sering dijumpai di punggungan tengah samudera, busur kepulauan dan bagian

tepi benua aktif yang merupakan batas – batas persentuhan lempeng. Namun

demikian pembentukan magma juga berlangsung secara terpisah – pisah menempati

bagian tengah lempeng yaitu pusat – pusat magmatisme yang bersumber dari hot

spot. Lokasi hot spot terletak dekat punggungan samudera, bagian tengah lempeng

samudera dan berada pada lempeng – lempeng benua. Diperkirakan magma yang

membentuk kerak samudera di punggungan tengah samudera berasal dari peleburan


bagian paling atas astenosfir, sedangkan yang membangun pulau – pulau samudera

(Hawaii) berasal dari peleburan bahan di bagian dalam mantel Bumi. Perhitungan

kedalaman zona penunjaman asal magma dapat dihitung dengan metode Hutchinson

(1975), berdasarkan data kandungan SiO2 dan K2O dengan rumus (h = [320-(3.65 x

%SiO2)] + (25.52 x %K2O). Sedangkan asal magma dapat diketahui dari lempeng

benua atau samudra dengan menggunakan diagram Pearce (1997) yang didasarkan

pada kandungan TiO2, K2O dan P2O5 (Gambar 1.2).

Gambar 1.2 Asal magma berdasarkan Diagram Pearce (1977).

1.2 Definisi Magma

Secara sederhana magma didefinisikan sebagai bahan cair di dalam bumi,

berasal dari bagian atas selubung bumi atau bagian bawah kerak bumi bersuhu tinggi

(900-1300)° C serta mempunyai kekentalan tinggi, bersifat mudah bergerak dan


cenderung menuju ke permukaan bumi (Alzwar, dkk 1988).. Magma dicirikan oleh

komposisi didominasi silika (SiO2), bersuhu tinggi dan mempunyai kemampuan

untuk mengalir.

Sifat mudah mengalirnya magma berkaitan dengan viskositas / kekentalan

magma artinya magma yang mempunyai viskositas tinggi tidak mudah mengalir dan

relatif cepat membeku, sedangkan magma yang mempunyai viskositas rendah akan

mudah mengalir dan relatif lambat membeku. Viskositas lava tergantung pada

komposisi (terutama SiO2 dan kandungan gas yang terlarut di dalamnya) dan

tergantung pada temperatur. Magma berkomposisi basal (kurang dari 50 % SiO 2)

adalah cepat mengalir / mudah mengalir, sedangkan magma yang mempunyai

komposisi riolit (mengandung 70 % atau lebih SiO2) adalah sangat pekat (viskositas

tinggi) sehingga mengalir sangat lambat dan pergerakannya sukar dideteksi. Sifat

kekentalannya yang tinggi tersebut membuat gelembung gas sulit untuk keluar. Hal

yang terakhir ini berkaitan dengan letusan kuat yang menghasilkan abu gunung api.

Sifat fisik magma berhubungan dengan magma sebagai bahan cair kental

pijar, mengandung gas dan bersuhu tinggi. Oleh karena itu, magma mudah bergerak

dan arah pergerakannya mempunyai kecenderungan menuju ke permukaan Bumi

membentuk gunung api. Bilamana magma membeku jauh di dalam Bumi (deep

seated intrusions) membentuk batuan beku dalam atau batuan plutonik, sedangkan

magma membeku dekat permukaan (sub volcanic intrusions; shallow magma

intrusions dan hypabyssal intrusions) atau di dalam tubuh gunung api sampai

membeku di permukaan Bumi membentuk batuan beku intrusi dangkal dan batuan

gunung api.
Sifat magma yang mempunyai suhu tinggi sehingga mencapai 1400oC

(Macdonald, 1972) berhubungan dengan komposisi magma. Magma berkomposisi

basal mempunyai suhu paling tinggi (1000oC – 1400oC) dibandingkan magma

berkomposisi lebih asam (missal magma riolit = 850oC).

1.3 Komposisi Magma

Secara umum batuan beku disusun oleh enam kelompok mineral seperti

olivin, piroksin, ampibol, mika, feldspar, dan kuarsa. Unsur – unsur yang terkandung

di dalam mineral – mineral penyusun batuan beku adalah Si (silikon), Al

(aluminium), Ca (kalsium), Na (sodium), K (potasium), Fe (besi), Mg (magnesium),

H (hidrogen) dan O (oksigen), unsur – unsur ini selalu diekspresikan dalam ion

oksida sebagai SiO2, Al2O3, dan seterusnya. Unsur Si (SiO2) merupakan unsur

terbanyak dan terpenting untuk mengendalikan sifat magma sehingga unsur ini sering

dipakai para ahli sebagai komponen pembanding untuk klasifikasi batuan magma.
Batuan magma disaring terlebih dulu melalui dapur magma sebelum

perpindahannya ke permukaan atau dekat permukaan Bumi. Proses – proses di dalam

dapur magma sering merubah komposisi magma primer produk peleburan sebagian

sumber melalui fraksinasi kristal, percampuran magma, kontaminasi atau

percampuran dinamis beberapa proses – proses tersebut. Selanjutnya kemungkinan

batuan beku secara kimiawi berubah karena pelepasan gas atau karena interaksinya

dengan cairan yang dapat mempengaruhi kimia isotop stabil.


Flint (1977) menjelaskan bahwa komposisi magma hasil analisis kimia

menunjukkan kisaran 45 % berat sampai 75 % berat SiO2. Hanya sedikit lava yang

komposisi SiO2 mencapai terendah 30 % berat dan setinggi 80 % berat, tetapi variasi

ini terbentuk bila magma terasimilasi oleh fragmen batuan sedimen dan batuan
malihan atau ketika diferensiasi magma, sehingga menyebabkan komposisi magma

berubah. Berdasarkan analisa kimia tersebut terdapat tiga jenis magma (Gambar 1.3),

yaitu :
1. Magma mengandung sekitar 50 % SiO 2 membentuk batuan beku basal,

diabas dan gabro;


2. Magma mengandung sekitar 60 % SiO2 membentuk batuan beku andesit dan

diorit;
3. Magma mengandung sekitar 70 % SiO2 membentuk batuan beku riolit dan

granit.

Selain komposisi senyawa SiO2, pada gambar juga memperlihatkan bahwa

batuan beku basal / gabro didominasi oleh mineral yang berkomposisi Al2O3, FeO,

MgO, CaO, sedangkan batuan riolit / granit didominasi oleh mineral yang

mempunyai komposisi Al2O3, Na2O3 dan K2O

Gambar 1.3 Kisaran komposisi (persen berat) jenis batuan beku dan dibedakan
menjadi tiga kelompok utama jenis magma yang ada di Bumi (Flint, 1977).
Di pihak lain Peccerillo dan Taylor (1976) membagi magma berdasarkan

kandungan SiO2 (Tabel 1.4) dan kombinasi antara SiO2 dengan K2O (Gambar 1.4).

Kandungan unsur oksida SiO2 dengan K2O akan menentukan seri magma asal.

Tabel 1.4 Jenis magma dan komposisi magma (Peccerillo dan Taylor, 1976).

Komposisi kombinasi menunjukkan adanya afinitas magma K rendah (low K

series) atau sering disebut tholeiite, K menengah rendah (calc – alkaline series), K

menengah tinggi (high K calc alkaline series) dan K tinggi (shoshonite series). Pada

Gambar 1.4 dapat dijelaskan bahwa terdapat beragam komposisi batuan beku seperti

andesit tholeit, andesit kapur alkali, dan andesit shosonit, begitupun juga untuk

kombinasi batuan beku yang lain.


Gambar 1.4 Komposisi dan afinitas magma menurut Peccerillo dan Taylor (1976).
Untuk penentuan tahap diferensiasi magma, Thornton dan Tuttle (1960) telah

melakukan perhitungan untuk menentukan atau melakukan pendugaan tahap

diferensiasi dari suatu magma pada batuan hasil pembekuannya yang dianalisis secara

kimia. Dimana tahap diferensiasi magma dibedakan menjadi tiga, yaitu “ Early

Stage, Middle Stage, dan Last Stage” (Gambar 1.5). Perhitungan ini dilakukan

berdasarkan kandungan indeks mineral hitam (Mafic Indeks : MI) dan kandungan

indeks mineral terang (Felsic Indeks : FI). Rumus yang digunakan adalah: Mafic

Index : MI = 100 (FeO + Fe2O3) / FeO + Fe2O3 + MgO


Felsic Index : FI = 100 (Na2O + K2O) / Na2O + K2O + CaO
Gambar 1.5 Penentuan tahap diferensiasi magma berdasarkan kandungan MI dan FI
(Thornton dan Tuttle, 1960)
Pendugaan temperatur pembekuan magma menurut Tilley, 1964 berpendapat

bahwa ada hubungan antara indeks mineral hitam (MI) dengan temperatur pada saat

kristal pertama mulai terbentuk pada kondisi setimbang. Hubungan tersebut dibuat

dalam sebuah grafik yang kemudian disebut grafik Tilley. Dengan mengetahui

besarnya nilai indeks mineral hitam (MI), maka besarnya temperature dapat

diperkirakan dari grafik tersebut, (Gambar 1.6). Sementara untuk perhitungan mafik

indeks digunakan rumus:


Mafic Index : MI = 100 (FeO + Fe2O3) / FeO + Fe2O3 + MgO
Gambar 1.6 Pendugaan temperatur magma berdasarkan kandungan mafik indeks
(Tilley, 1964).
Sedangkan untuk klasifikasi batuan dapat menggunakan metode diagram total

alkali silika (TAS) menurut Le Bas (1986) untuk klasifikasi batuan vulkanik.

Diagram ini berdasarkan kandungan total alkali (TA, jumlah dari Na 2O + K2O) dan

kandungan SiO2 (S) sebagai persen berat dari hasil analisis total batuan (Gambar 1.7).
Gambar 1.7 Klasifikasi batuan vulkanik berdasarkan TAS diagram (Le Bas et al.,
1986).
1.4 Magmatisme Busur Kepulauan

Gunungapi yang muncul dibatas lempeng konvergen atau di daerah subduksi

menghasilkan batuan volkanik orogenik. Salah satu cirinya adalah hampir selalu

jenuh silika, kecuali pada beberapa gunungapi yang muncul pada posisi belakang

busur. Klasifikasi lava orogenik berdasarkan kandungan SiO2 dan K2O dapat

mengidentifikasi seri lava orogenik (Paccerillo & Taylor, 1976 dan maury, 1984), seri

tholeitik busur kepulauan, seri kalk-alkali potasik dan seri shosonit.


Batuan volkanik orogenik pada umumnya sangat porfiritik dengan volume

fenokris 20-50 %. Plagioklas umumnya menunjukkan zonasi optik maupun kimiawi


den mengkristal sejak awal bersama olivin pada batuan basaltik dan bersama-sama

dengan piroksen pada batuan andesit basaltik (Maury, 1984 dalam Sutanto, 2000).
Secara geokimia, lava orogenik pada umumnya kaya akan Al2O3 (>16%) dan

miskin titan (TiO2 < 1,2%) (Pearce, 1982 ; Maury, 1984, dalam Sutanto, 2000).

Generasi magma pada busur kepulauan terjadi pada mantle wedge atau baji mantel di

bawah zona subduksi (Wilson, 1989 dalam Sutanto, 2000). Proses tersebut akan

memberikan magma dengan komposisi kimia yang spesifik di dalam kandungan

unsur utama.

Vous aimerez peut-être aussi