Vous êtes sur la page 1sur 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Spina bifida adalah defek pada penutupan kolumna vertebralis dengan atau

tanpa tingkatan protusi jaringan melalui celah tulang (Donna L. Wong, 2003).

Penyakit spina bifida atau sering dikenal sebagai sumbing tulang belakang adalah

salah satu penyakit yang banyak terjadi pada bayi. Penyakit ini menyerang medula

spinalis dimana ada suatu celah pada tulang belakang (vertebra). Hal ini terjadi

karena satu atau beberapa bagian dari vertebra gagal menutup atau gagal terbentuk

secara utuh dan dapat menyebabkan cacat berat pada bayi, ditambah lagi

penyebab utama dari penyakit ini masih belum jelas. Hal ini jelas mengakibatkan

gangguan pada sistem saraf karena medula spinalis termasuk sistem saraf pusat

yang tentunya memiliki peranan yang sangat penting dalam sistem saraf manusia.

Jika medula spinalis mengalami gangguan, sistem-sistem lain yang diatur oleh

medula spinalis pasti juga akan terpengaruh dan akan mengalami ganggusn pula.

Hal ini akan semakin memperburuk kerja organ dalam tubuh manusia, apalagi

pada bayi yang sistem tubuhnya belum berfungsi secara maksimal.

Fakta mengatakan dari 3 kasus yang sering terjadi pada bayi yang baru lahir

di Indonesia yaitu ensefalus, anensefali, dan spina bifida, sebanyak 65% bayi yang

baru lahir terkena spina bifida.Sementara itu fakta lain mengatakan 4,5% dari

10.000 bayi yang lahir di Belanda menderita penyakit ini atau sekitar 100 bayi

1
setiap tahunnya. Bayi-bayi tersebut butuh perawatan medis intensif sepanjang

hidup mereka. Biasanya mereka menderita lumpuh kaki, dan dimasa kanak-kanak

harus dioperasi berulang kali.

Dalam hal ini perawat dituntut untuk dapat profesional dalam menangani

hal-hal yang terkait dengan spina bifida misalnya saja dalam memberikan asuhan

keperawatan harus tepat dan cermat agar dapat meminimalkan komplikasi yang

terjadi akibat spina bifida.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah definisi dari spina bifida?

2. Bagaimana etilogi dari spina bifida?

3. Apakah manifestasi klinis dari spina bifida?

4. Bagaimana patofisiologi pada spina bifida?

5. Bagaimana penatalaksaan serta pencegahan pada spina bifida?

6. Bagaimana pengkajian pada klien dengan spina bifida?

7. Bagaimana diagnosa pada klien dengan spina bifida?

8. Bagaimana intervensi pada klien dengan spina bifida?

1.3 Tujuan Umum

Menjelaskan tentang konsep penyakit spina bifida serta pendekatan asuhan

keperawatannya.

2
1.4 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi definisi dari spina bifida.

2. Mengidentifikasi etilogi spina bifida.

3. Mengidentifikasi manifestasi klinis spina bifida.

4. Menguraikan patofisiologi spina bifida

5. Mengidentifikasi penatalaksaan serta pencegahan pada spina bifida

6. Mengidentifikasi pengkajian pada klien dengan spina bifida.

7. Mengidentifikasi diagnosa pada klien dengan spina bifida.

8. Mengidentifikasi intervensi pada klien dengan spina bifida.

1.5 Manfaat

Mahasiswa mampu memahami tentang penyakit neurologis spina bifida

serta mampu menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan spina bifida

dengan pendekatan Student Centre Learning.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Spina Bifida

Spina bifida merupakan suatu kelainan bawaan berupa defek pada arkus

pascaerior tulang belakang akibat kegagalan penutupan elemen saraf dari kanalis

spinalis pada perkembangan awal embrio (Chairuddin Rasjad, 1998). Keadaan ini

biasanya terjadi pada minggu ke empat masa embrio. Derajat dan lokalisasi defek

bervariasi, pada keadaan yang ringan mungkin hanya ditemukan kegagalan fungsi

satu atau lebih dari satu arkus pascaerior vertebra pada daerah lumosakral. Belum

ada penyebab yang pasti tentang kasus spina bifida. Spina bifida juga bias

disebabkan oleh gagal menutupnya columna vertebralis pada masa perkembangan

fetus. Defek ini berhubugan dengan herniasi jaringan dan gangguan fusi tuba

neural.Gangguan fusi tuba neural terjadi beberapa minggu (21 minggu sampai

dengan 28 minggu) setelah konsepsi, sedangkan penyebabnya belum diketahui

dengan jelas.

Spina bifida adalah defek pada penutupan kolumna vertebralis dengan atau

tanpa tingkatan protusi jaringan melalui celah tulang (Donna L. Wong, 2003).

Spina bifida (Sumbing Tulang Belakang) adalah suatu celah pada tulang belakang

(vertebra), yang terjadi karena bagian dari satu atau beberapa vertebra gagal

menutup atau gagal terbentuk secara utuh.

4
2.2 Klasifikasi

Kelainan pada spina bifida bervariasi, sehingga dikelompokkan menjadi beberapa

jenis yaitu :

1. Spina Bifida Okulta

Merupakan spina bifida yang paling ringan. Satu atau beberapa vertebra

tidak terbentuk secara normal, tetapi korda spinalis dan selaputnya (meningens)

tidak menonjol. Spina bifida okulta merupakan cacat arkus vertebra dengan

kegagalan fusi pascaerior lamina vertebralis dan seringkali tanpa prosesus

spinosus, anomali ini paling sering pada daerah antara L5-S1, tetapi dapat

melibatkan bagian kolumna vertebralis, dapat juga terjadi anomali korpus vertebra

misalnya hemi vertebra. Kulit dan jaringan subkutan diatasnya bisa normal atau

dengan seberkas rambut abnormal, telangietaksia atau lipoma subkutan. Spina

bifida olkuta merupakan temuan terpisah dan tidak bermakna pada sekitar 20%

pemerikasaan radiografis tulang belakang. Sejumlah kecil penderita bayi

mengalami cacat perkembangan medula dan radiks spinalis fungsional yang

bermakna. Secara patologis kelainan hanya berupa defek yang kecil pada arkus

pascaerior.

2. Meningokel

Meningokel melibatkan meningen, yaitu selaput yang bertanggung jawab

untuk menutup dan melindungi otak dan sumsum tulang belakang. Jika Meningen

mendorong melalui lubang di tulang belakang (kecil, cincin-seperti tulang yang

5
membentuk tulang belakang), kantung disebut Meningokel. Meningokel memiliki

gejala lebih ringan daripada myelomeningokel karena korda spinalis tidak keluar

dari tulang pelindung, Meningocele adalah meningens yang menonjol melalui

vertebra yang tidak utuh dan teraba sebagai suatu benjolan berisi cairan di bawah

kulit dan ditandai dengan menonjolnya meningen, sumsum tulang belakang dan

cairan serebrospinal. Meningokel seperti kantung di pinggang, tapi disini tidak

terdaoat tonjolan saraf corda spinal. Seseorang dengan meningocele biasanya

mempunyai kemampuan fisik lebih baik dan dapat mengontrol saluran kencing

ataupun kolon.

3. Myelomeningokel

Myelomeningokel ialah jenis spina bifida yang kompleks dan paling berat,

dimana korda spinalis menonjol dan keluar dari tubuh, kulit diatasnya tampak

kasar dan merah. Penaganan secepatnya sangat di perlukan untuk mengurangi

kerusakan syaraf dan infeksi pada tempat tonjolan tesebut. Jika pada tonjolan

terdapat syaraf yamg mempersyarafi otot atau extremitas, maka fungsinya dapat

terganggu, kolon dan ginjal bisa juga terpengaruh. Jenis myelomeningocale ialah

jenis yang paling sering dtemukan pada kasus spina bifida. Kebanyakan bayi

yang lahir dengan jenis spina bifida juga memiliki hidrosefalus, akumulasi cairan

di dalam dan di sekitar otak.

6
2.3 Etiologi

1. Resiko melahirkan anak dengan spina bifida berhubungan erat dengan

kekurangan asam folat, terutama yang terjadi pada awal kehamilan.

2. Penonjolan dari korda spinalis dan meningens menyebabkan kerusakan

pada korda spinalis dan akar saraf, sehingga terjadi penurunan atau

gangguan fungsi pada bagian tubuh yang dipersarafi oleh saraf tersebut

atau di bagian bawahnya.

3. Gejalanya tergantung kepada letak anatomis dari spina bifida. Kebanyakan

terjadi di punggung bagian bawah, yaitu daerah lumbal atau sakral, karena

penutupan vertebra di bagian ini terjadi paling akhir.

4. Faktor genetik dan lingkungan (nutrisi atau terpapar bahan berbahaya)

dapat menyebabkan resiko melahirkan anak dengan spina bifida.

Pada 95 % kasus spina bifida tidak ditemukan riwayat keluarga dengan

defek neural tube. Resiko akan melahirkan anak dengan spina bifida 8 kali

lebih besar bila sebelumnya pernah melahirkan anak spina bifida.

Kelainan yang umumnya menyertai penderita spina bifida antara lain:

1. Hidrosefalus

2. Siringomielia

3. Dislokasi pinggul.

7
2.4 Manifestasi Klinis

Gejalanya bervariasi, tergantung kepada beratnya kerusakan pada korda

spinalis dan akar saraf yang terkena. Beberapa anak memiliki gejala ringan atau

tanpa gejala; sedangkan yang lainnya mengalami kelumpuhan pada daerah yang

dipersarafi oleh korda spinalis maupun akar saraf yang terkena.

Gejalanya berupa:

1. Penonjolan seperti kantung di punggung tengah sampai bawah pada bayi

baru lahir jika disinari, kantung tersebut tidak tembus cahaya

2. Kelumpuhan/kelemahan pada pinggul, tungkai atau kaki

3. Penurunan sensasi.

4. Inkontinensia urin (beser) maupun inkontinensia tinja

5. Korda spinalis yang terkena rentan terhadap infeksi (meningitis).

6. Seberkas rambut pada daerah sakral (panggul bagian belakang).

7. Lekukan pada daerah sakrum.

8. Abnormalitas pada lower spine selalu bersamaan dengan abnormalitas

upper spine (arnold chiari malformation) yang menyebabkan masalah

koordinasi

9. Deformitas pada spine, hip, foot dan leg sering oleh karena imbalans

kekuatan otot dan fungsi

10. Masalah bladder dan bowel berupa ketidakmampuan untuk merelakskan

secara volunter otot (sphincter) sehingga menahan urine pada bladder dan

feses pada rectum.

8
11. Hidrosefalus mengenai 90% penderita spina bifida. Inteligen dapat normal

bila hirosefalus di terapi dengan cepat.

12. Anak-anak dengan meningomyelocele banyak yang mengalami tethered

spinal cord. Spinal cord melekat pada jaringan sekitarnya dan tidak dapat

bergerak naik atau turun secara normal. Keadaan ini menyebabkan

deformitas kaki, dislokasi hip atau skoliosis. Masalah ini akan bertambah

buruk seiring pertumbuhan anak dan tethered cord akan terus teregang.

13. Obesitas oleh karena inaktivitas

14. Fraktur patologis pada 25% penderita spina bifida, disebabkan karena

kelemahan atau penyakit pada tulang.

15. Defisiensi growth hormon menyebabkan short statue

16. Learning disorder

17. Masalah psikologis, sosial dan seksual

18. Alergi karet alami (latex)

2.5 Pemeriksaan Diagnostik

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.

Pemeriksaan dapat dilakukan pada ibu hamil dan bayi yang baru dilahirkan, pada

ibu hamil, dapat dilakukan pemeriksaan :

1. Pada trimester pertama, wanita hamil menjalani pemeriksaan darah yang

disebut triple screen yang terdiri dari pemeriksaan AFP, ultrasound dan

cairan amnion.

9
2. Pada evaluasi anak dengan spina bifida, dilakukan analisis melalui riwayat

medik, riwayat medik keluarga dan riwayat kehamilan dan saat

melahirkan. Tes ini merupakan tes penyaringan untuk spina bifida,

sindroma Down dan kelainan bawaan lainnya. Pemeriksaan fisik

dipusatkan pada defisit neurologi, deformitas muskuloskeletal dan evaluasi

psikologis. Pada anak yang lebih besar dilakukan asesmen tumbuh

kembang, sosial dan gangguan belajar.

3. Pemeriksaan x-ray digunakan untuk mendeteksi kelainan tulang belakang,

skoliosis, deformitas hip, fraktur pathologis dan abnormalitas tulang

lainnya.

4. USG tulang belakang bisa menunjukkan adanya kelainan pada korda

spinalis maupun vertebra dan lokasi fraktur patologis.

5. CT scan kepala untuk mengevaluasi hidrosepalus dan MRI tulang

belakang untuk memberikan informasi pada kelainan spinal cord dan akar

saraf.

6. 85% wanita yang mengandung bayi dengan spina bifida atau defek neural

tube, akan memiliki kadar serum alfa fetoprotein (MSAP atau AFP) yang

tinggi. Tes ini memiliki angka positif palsu yang tinggi, karena itu jika

hasilnya positif, perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk memperkuat

diagnosis. Dilakukan USG yang biasanya dapat menemukan adanya spina

bifida. Kadang dilakukan amniosentesis (analisa cairan ketuban).

10
Setelah bayi lahir, dilakukan pemeriksaan berikut:

1. Rontgen tulang belakang untuk menentukan luas dan lokasi kelainan.

2. USG tulang belakang bisa menunjukkan adanya kelainan pda korda

spinalis maupun vertebra

3. CT scan atau MRI tulang belakang kadang dilakukan untuk menentukan

lokasi dan luasnya kelainan.

2.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada penderita spina bifida memerlukan koordinasi tim

yang terdiri dari spesialis anak, saraf, bedah saraf, rehabilitasi medik, ortopedi,

endokrin, urologi dan tim terapi fisik, ortotik, okupasi, psikologis perawat, ahli

gizi sosial worker dan lain-lain.

1. Urologi

Dalam bidang urologi, terapi pada disfungsi bladder dimulai saat periode

neonatal sampai sepanjang hidup. Tujuan utamanya adalah :

1. Mengontrol inkotinensia

2. Mencegah dan mengontrol infeksi

3. Mempertahankan fungsi ginjal

Intermiten kateterisasi dapat dimulai pada residual urin > 20 cc dan

kebanyakan anak umur 5 - 6 tahun dapat melakukan clean intermittent

catheterization (CIC) dengan mandiri. Bila terapi konservatif gagal mengontrol

11
inkontinensia, prosedur bedah dapat dipertimbangkan. Untuk mencegah refluk

dapat dilakukan ureteral reimplantasi, bladder augmentation, atau suprapubic

vesicostomy.

2. Orthopedi

Tujuan terapi ortopedi adalah memelihara stabilitas spine dengan koreksi

yang terbaik dan mencapai anatomi alignment yang baik pada sendi ekstremitas

bawah. Dislokasi hip dan pelvic obliquity sering bersama-sama dengan skoliosis

paralitik. Terapi skoliosis dapat dengan pemberian ortesa body jacket atau

Milwaukee brace. Fusi spinal dan fiksasi internal juga dapat dilakukan untuk

memperbaiki deformitas tulang belakang. Imbalans gaya mekanik antara hip

fleksi dan adduksi dengan kelemahan abduktor dan fungsi ekstensor

menghasilkan fetal coxa valga dan acetabulum yang displastik, dangkal dan

parsial. Hip abduction splint atau Pavlik harness digunakan 2 tahun pertama untuk

counter gaya mekaniknya.

Pemanjangan tendon Achilles untuk deformitas equinus, flexor tenodesis

atau transfer dan plantar fasciotomi untuk deformitas claw toe dan pes cavus yang

berat. Subtalar fusion, epiphysiodesis, triple arthrodesis atau talectomi dilakukan

bila operasi pada jaringan lunak tidak memberikan hasil yang memuaskan.

3. Rehabilitasi Medik

4. Sistem Muskuloskeletal

12
Latihan luas gerak sendi pasif pada semua sendi sejak bayi baru lahir

dilakukan seterusnya untuk mencegah deformitas muskuloskeletal. Latihan

penguatan dilakukan pada otot yang lemah, otot partial inervation atau setelah

prosedur tendon transfer.

5. Perkembangan Motorik

Stimulasi motorik sedini mungkin dilakukan dengan memperhatikan tingkat

dari defisit neurologis.

6. Ambulasi

Alat bantu untuk berdiri dapat dimulai diberikan pada umur 12 – 18 bulan.

Spinal brace diberikan pada kasus-kasus dengan skoliosis. Reciprocal gait orthosis

(RGO) atau Isocentric Reciprocal gait orthosis (IRGO) sangat efektif digunakan

bila hip dapat fleksi dengan aktif. HKAFO digunakan untuk mengkompensasi

instabilitas hip disertai gangguan aligment lutut. KAFO untuk mengoreksi fleksi

lutut agar mampu ke posisi berdiri tegak. Penggunaan kursi roda dapat dimulai

saat tahun kedua terutama pada anak yang tidak dapat diharapkan melakukan

ambulasi.

7. Bowel training

Diet tinggi serat dan cairan yang cukup membantu feses lebih lunak dan

berbentuk sehingga mudah dikeluarkan. Pengeluaran feses dilakukan 30 menit

setelah makan dengan menggunakan reflek gastrokolik. Crede manuver dilakukan

13
saat anak duduk di toilet untuk menambah kekuatan mengeluarkan dan

mengosongkan feses Stimulasi digital atau supositoria rektal digunakan untuk

merangsang kontraksi rektal sigmoid. Fekal softener digunakan bila stimulasi

digital tidak berhasil.

8. Pembedahan

Pembedahan dilakukan secepatnya pada spina bifida yang tidak tertutup

kulit, sebaiknya dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang-kadang sebagai

akibat eksisi meningokel terjadi hidrosefalus sementara atau menetap, karena

permukaan absorpsi CSS yang berkurang. Kegagalan tabung neural untuk

menutup pada hari ke-28 gestasi, atau kerusakan pada strukturnya setelah

penutupan dapat dideteksi in utero dengan pemeriksaan ultrasonogrfi. Pada 90%

kasus, kadar alfa-fetoprotein dalam serum ibu dan cairan amnion ditemukan

meningkat; penemuan ini sering digunakan sebagai prosedur skrining.

Keterlibatan baik kranial maupun spinal dapat terjadi; terminology spina bifida

digunakan pada keterlibatan spinal, apabila malformasi SSP disertai rachischisis

maka terjadi kegagalan lamina vertebrata.

Posisi tengkurap mempengaruhi aspek lain dari perawatan bayi. Misalnya,

posisi bayi ini, bayi lebih sulit dibersihkan, area-area ancaman merupakan

ancaman yang pasti, dan pemberian makanan menjadi masalah.

Bayi biasanya diletakkan di dalam incubator atau pemanas sehingga

temperaturnya dapat dipertahankan tanpa pakaian atau penutup yang dapat

mengiritasi lesi yang rapuh. Apabila digunakan penghangat overhead, balutan di

14
atas defek perlu sering dilembabkan karena efek pengering dari panas yang

dipancarkan. Sebelum pembedahan, kantung dipertahankan tetap lembap dengan

meletakkan balutan steril, lembab, dan tidak lengket di atas defek tersebut.

Larutan pelembab yang dilakukan adalah salin normal steril. Balutan diganti

dengan sering (setiap 2 sampai 4 jam). Dan sakus tersebut diamati dengan cermat

terhadap kebocoran, abrasi, iritasi, atau tanda-tanda infeksi. Sakus tersebut harus

dibersihkan dengan sangat hati-hati jika kotor atau terkontaminasi. Kadang-

kadang sakus pecah selama pemindahan dan lubang pada sakus meningkatkan

resiko infeksi pada system saram pusat.

Latihan rentang gerak ringan kadang-kadang dilakukan untuk mencegah

kontraktur, dan meregangkan kontraktur dilakukan, bila diindikasikan. Akan

tetapi latihan ini dibatasi hanya pada kaki, pergelangan kaki dan sendi lutut. Bila

sendi panggul tidak stabil, peregangan terhadap fleksor pinggul yang kaku atau

otot-otot adductor, mempererat kecenderungan subluksasi.

Penurunan harga diri menjadi ciri khas pada anak dan remaja yang

menderita keadaan ini. Remaja merasa khawatir akan kemampuan seksualnya,

penguasaan social, hubungan kelompok remaja sebaya, dan kematangan serta

daya tariknya. Beratnya ketidakmampuan tersebut lebih berhubungan dengan

persepsi diri terhadap kemampuannya dari pada ketidakmampuan yang

sebenarnya ada pada remaja itu.

15
2.7 Komplikasi

Komplikasi yang lain dari spina bifida yang berkaitan dengan kelahiran antara

lain adalah:

1. Paralisis cerebri

2. Retardasi mental

3. Atrofi optic

4. Epilepsi

5. Osteo porosis

6. Fraktur (akibat penurunan massa otot)

7. Ulserasi, cidera, dikubitus yang tidak sakit.

Infeksi urinarius sangat lazim pada pasien inkontinen. Meningitis dengan

organisme campuran lazim ditemukan bila kulit terinfeksi atau terdapat sinus.

Pada beberapa kasus, filum terminale medulla spinalis tertambat atau terbelah

oleh spur tulang (diastematomielia), yang dapat menimbulkan kelemahan tungkai

progresif pada pertumbuhan. Sendi charcot dapat terjadi dengan disorganisasi

pergelangan kaki, lutut atau coxae yang tak nyeri. Hidrosefalus karena malformasi

Arnold-chiari sering ditemukan.

16
2.8 Prognosis

Prognosis spina bifida tergantung pada berat ringannya abnormalitas.

Prognosis terburuk bila terdapat paralisis komplet, hidrosefalus dan defek

kongenital lainnya. Dengan penanganan yang baik, sebagian besar anak-anak

dengan spina bifida dapat hidup sampai usia dewasa.

17
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian

 Anammesa

1. Identitas pasien

Nama, jenis kelamin, umur, alamat, nama ayah, nama ibu, pekerjaan ayah,

pekerjaan ibu.

2. Keluhan utama

Terjadi abnormalitas keadaan medula spinalis pada bayi yang baru dilahirkan.

3. Riwayat penyakit sekarang

4. Riwayat penyakit terdahulu

5. Riwayat keluarga

Saat hamil ibu jarang atau tidak mengkonsumsi makanan yang mengandung

asam folat misalnya sayuran, buah-buahan (jeruk,alpukat), susu, daging, dan

hati.Ada anggota keluarga yang terkena spina bifida.

18
 Pemeriksaan Fisik

B1 (Breathing) : normal

B2 (Blood) : takikardi/bradikardi, letargi, fatigue

B3 (Brain) :

1. Peningkatan lingkar kepala

2. Adanya myelomeningocele sejak lahir

3. Pusing

B4 (Bladder) : Inkontinensia urin

B5 (Bowel) : Inkontinensia feses

B6 (Bone) : Kontraktur/ dislokasi sendi, hipoplasi ekstremitas bagian bawah

3.2 Diagnosa

1. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan

kebutuhan positioning, defisit stimulasi dan perpisahan

2. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan spinal malformation dan luka

operasi

3. Risiko tinggi trauma berhubungan dengan lesi spinal

4. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan peningkatan intra kranial (TIK)

5. Risiko tinggi kerusakan integritas kulit dan eleminasi urin berhubungan

dengan paralisis, penetesan urin yang kontinu dan feses.

19
6. Berduka berhubungan dengan kelahiran anak dengan spinal malformation

3.3 Intervensi

1. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan spinal malformation dan luka

operasi

Tujuan :

1. Anak bebas dari infeksi

2. Anak menunjukan respon neurologik yang normal

Kriteria hasil :

Suhu dan TTV normal, Luka operasi, insisi bersih.

Intervensi Rasional

1. Monitor tanda-tanda vital. Observasi Untuk melihat tanda-tanda terjadinya

tanda infeksi : perubahan suhu, warna resiko infeksi

kulit, malas minum , irritability, perubahan

warna pada myelomeingocele.

2. Ukur lingkar kepala setiap 1 minggu

sekali, observasi fontanel dari cembung

dan palpasi sutura kranial


Untuk melihat dan mencegah terjadinya

3. Ubah posisi kepala setiap 3 jam untuk TIK dan hidrosepalus

20
mencegah dekubitus

4. Observasi tanda-tanda infeksi dan Untuk mencegah terjadinya luka infeksi

obstruksi jika terpasang shunt, lakukan pada kepala (dekubitus)

perawatan luka pada shunt dan upayakan

agar shunt tidak tertekan

Menghindari terjadinya luka infeksi dan

trauma terhadap pemasangan shunt

2. Berduka b.d kelahiran anak dengan spinal malformation

Tujuan :

Orangtua dapat menerima anaknya sebagai bagian dari keluarga

Kriteria hasil :

1. Orangtua mendemonstrasikan menerima anaknya dengan menggendong,

memberi minum, dan ada kontak mata dengan anaknya

2. Orangtua membuat keputusan tentang pengobatan

3. Orangtua dapat beradaptasi dengan perawatan dan pengobatan anaknya

Intervensi Rasional

Dorong orangtua mengekspresikan Untuk meminimalkan rasa bersalah

perasaannya dan perhatiannya

21
terhadap bayinya, diskusikan dan saling menyalahkan

perasaan yang berhubungan dengan

pengobatan anaknya

Memberikan stimulasi terhadap


Bantu orangtua mengidentifikasi
orangtua untuk mendapatkan keadaan
aspek normal dari bayinya terhadap
bayinya yang lebih baik
pengobatan

Memberikan arahan/suport terhadap


Berikan support orangtua untuk
orangtua untuk lebih mengetahui
membuat keputusan tentang
keadaan selanjutnya yang lebih baik
pengobatan pada anaknya
terhadap bayi

3. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan

kebutuhan positioning, defisit stimulasi dan perpisahan

Tujuan :

Anak mendapat stimulasi perkembangan

Kriteria hasil :

1. Bayi / anak berespon terhadap stimulasi yang diberikan

2. Bayi / anak tidak menangis berlebihan

3. Orangtua dapat melakukan stimulasi perkembangan yang tepat untuk bayi

/ anaknya

22
Intervensi Rasional

Ajarkan orangtua cara merawat bayinya Agar orangtua dapat mandiri dan

dengan memberikan terapi pemijatan menerima segala sesuatu yang sudah

bayi terjadi

Posisikan bayi prone atau miring Untuk mencegah terjadinya luka infeksi

kesalahasatu sisi dan tekanan terhadap luka

Lakukan stimulasi taktil/pemijatan saat Untuk mencegah terjadinya luka memar

melakukan perawatan kulit dan infeksi yang melebar disekitar luka

4. Risiko tinggi trauma berhubungan dengan lesi spinal

Tujuan :

Pasien tidak mengalami trauma pada sisi bedah/lesi spinal

Kriteria Hasil:

1. Kantung meningeal tetap utuh

2. Sisi pembedahan sembuh tanpa trauma

Intervensi Rasional

Rawat bayi dengan cermat Untuk mencegah kerusakan pada

kantung meningeal atau sisi pembedahan


Tempatkan bayi pada posisi

23
telungkup atau miring Untuk meminimalkan tegangan pada

kantong meningeal atau sisi pembedahan


Gunakan alat pelindung di sekitar

kantung ( mis : slimut plastik

bedah)
Untuk memberi lapisan pelindung agar

Modifikasi aktifitas keperawatan tidak terjadi iritasi serta infeksi

rutin (mis : memberi makan,

member kenyamanan)

Mencegah terjadinya trauma

5. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan peningkatan intra kranial (TIK)

Tujuan : pasien tidak mengalami peningkatan tekanan intrakranial

Kriteria Hasil : anak tidak menunjukan bukti-bukti peningkatan TIK

Intervensi Rasional

Observasi dengan cermat adanya Untuk mencegah keterlambatan tindakan

tanda-tanda peningkatan TIK


Sebagai pedoman untuk pengkajian

Lakukan pengkajian Neurologis pascaoperasi dan evaluasi fungsi firau

dasar pada praoperasi


Karena tingat kesadaran adalah pirau

24
Hindari sedasi penting dari peningkatan TIK

Ajari keluarga tentang tanda-tanda Praktisi kesehatan untuk mencegah

peningkatan TIK dan kapan harus keterlambatan tindakan

memberitahu

6. Risiko tinggi kerusakan integritas kulit dan eleminasi urin berhubungan

dengan paralisis, penetesan urin yang kontinu dan feses

Tujuan :

pasien tidak mengalami iritasi kulit dan gangguan eleminasi urin

Kriteria hasil :

kulit tetap bersih dan kering tanpa bukti-bukti iritasi dan gangguan eleminasi.

Intervensi Rasional

Jaga agar area perineal tetap bersih Untuk mengrangi tekanan pada lutut dan

dan kering dan tempatkan anak pada pergelangan kaki selama posisi

permukaan pengurang tekanan. telengkup

Masase kulit dengan perlahan selama Untuk meningkatkan sirkulasi.

pembersihan dan pemberian lotion.

25
Berikan terapi stimulant pada bayi Untuk memberikan kelancaran eleminasi

26
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Spina bifida merupakan suatu kelainan bawaan berupa defek pada arkus

pascaerior tulang belakang akibat kegagalan penutupan elemen saraf dari kanalis

spinalis pada perkembangan awal embrio (Chairuddin Rasjad, 1998). Keadaan ini

biasanya terjadi pada minggu ke empat masa embrio.

Kelainan pada spina bifida bervariasi, sehingga dikelompokkan menjadi

beberapa jenis yaitu : spina bifida okulta, meningokel, dan myelomeningokel.

Faktor genetik dan lingkungan (nutrisi atau terpapar bahan berbahaya) dapat

menyebabkan resiko melahirkan anak dengan spina bifida.

Kelainan yang umumnya menyertai penderita spina bifida antara lain:

hidrosefalus, siringomielia,dan dislokasi pinggul.`

Tanda-tanda fisik yang umumnya bisa dilihat adalah penonjolan seperti

kantung di punggung tengah sampai bawah pada bayi baru lahir jika disinari,

kantung tersebut tidak tembus cahaya dan kelumpuhan/kelemahan pada pinggul,

tungkai atau kaki.

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada klien dengan spina bifida

adalah pembedahan, bowel training, ambulasi, rehabilitasi medik, orthopedik,

dan urologi.

27
4.1 SARAN

1. Sebaiknya seorang perawat dapat melaksanakan asuhan keperawatan kepada

klien sfina bipida yang serius sesuai dengan indikasi penyakit

2. Sebaiknya seorang perawat dapat melakukan asuhan keperawatan pada

pasien sfina bifida dengan baik dan benar

28
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J.2009.Buku saku Patofisiologi.Jakarta: EGC.

Donna dan Shannon.1999.Maternal Child Nursing Care.USA: Mosby.

Muttaqin, Arif.2008.Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem

Persyarafan.Jakarta: Salemba Medika.

29

Vous aimerez peut-être aussi