Vous êtes sur la page 1sur 11

BAGIAN ILMU ANAK Makassar, 25 Oktober 2017

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

REFARAT
ASCARIASIS

DISUSUN OLEH:
Atrian Anansyah Hidayatullah
111 2016 2155

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS SGL

BAGIAN ILMU ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2017

ASKARIASIS

PENDAHULUAN

Askariasis merupakan infeksi cacing yang paling sering ditemui.


Diperikan prevalensinya di dunia sekitar25 % atau 1,25 miliar penduduk di
dunia. Biasanya bersifat asimtomatis. Prevalensi paling besar pada daerah
tropis dan di negara berkembang di mana sering terjadi kontaminasi tanah
oleh tinja sebagai pupuk. Gejala penyakitnya sering berupa pertumbuhan
yang terhanbat, pneumonitis, obstruksi intestinal atau hepatobiliar dan
pancreatic injury.(soegeng soegijanto,2005)

ETIOLOGI

Askariasis disebabkan oleh Ascariasis lumbricoides. Cacing Ascariasis


lumbricoides dewasa tinggal di dalam lumen usus kecil dan memiliki umur
10-2 bulan. Cacing betina dapat menghasilkan 200.000 telur setiap hari.
Telur fertil berbentuk oval dengan panjang 45-70 µm. Setelah keluar bersama
tinja, embrio dalam telur akan berkembang menjadi infektif dalam 5-10hari
pada kondisi lingkungan yang mendukung

Gambar 1. Cacing Askariasis lumbricides

EPIDEMOLOGI

Askariasis merupakan infeksi cacing pada manusia yang angka


kejadian sakitnya tinggi terutama di daerah tropis dimana tanahnya memiliki
kondisi yang sesuai untuk kematangan telur di dalam tanah. Diperkirakan
hampir 1 miliar penduduk yang terinfeksi dengan 4 juta kasus di Amerika
Serikat. Prevalensi pada komunitas-komunitas tertentu lebih besar dari 80%.
Prevalensi dilapokan terjadi di lembah sungai Yangtze di Cina. Masyarakat
dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah memiliki prevalensi infeksi yang
tinggi, demikian juga pada masyarakat yang menggunakan tinja sebagai
pupuk dan dengan kondisi geografis yang mendukung. Walaupun infeksi
dapat menyerang semua usia, infeksi tertinggi terjadi pada anak-anak pada
usia sebelum sekolah dan usia sekolah. Penyebarannya terutama melalui
tangan ke mulut (hand to mouth) dapat juga melalui sayuran atau buah yang
terkontaminasi. Telur askaris dapat bertahan selama 2 tahun pada suhu 5-10
ºC. Empat dari 10 orang di Afrika, Asia, dan Amerika Serikat terinfeksi oleh
cacing ini.

Prevalensi dan intensitas gejala simtomatis yang paling tinggi terjadi


pada anak-anak. Pada anak-anak obstruksi intestinal merupakan manifestasi
penyakit yang paling sering ditemui. Diantara anak-anak usia 1-12 tahun yang
berada di rumah sakit Cape Town dengan keluhan abdominal antara 1958-
1962, 12.8 % dari infeksinya disebabkan oleh Ascariasis lumbricoides. Anak-
anak dengan askariasis kronis dapat menyebabkan pertumbuhan lambat
berkaitan dengan penurunan jumlah makanan yang dimakan.

Menurut World Health Organization (WHO), intestinal obstruction


pada anak-anak menyebabkan komplikasi fatal, menyebabkan 8000 sampai
100,000 kematian per tahun.

PATOFISIOLOGI

Ascariasis lumbricoides adalah nematoda terbesar yang umumnya


menginfeksi manusia. Cacing dewasa berwarna putih atau kuning sepanjang
15-35 cm dan hidup selama 10-24 bulan di jejunum dan bagian tengah ileum.
Gambar 2. Daur kehidupan Cacing Ascaris lumbricoides

1. Cacing betina menghasilkan 240.000 telur setiap hari yang akan terbawa
bersama tinja.
2.Telur fertil jika jatuh pada kondisi tanah yang sesuai, dalam waktu 5-10 hari
telur tersebut dapat menginfeksi manusia.
3.Telur dapat bertahan hidup di dalam tanah selama 17 bulan. Infeksi
umumnya terjadi melalui kontaminasi tanah pada tangan atau
makanan.
4.Kemudian masuk pada usus dan akan menetas pada usus kecil (deudenum).
5. Pada tahap kedua larva akan melewati dinding usus dan akan berpindah
melalui sistem portal menuju hepar (4d) dan kemudian paru.
6.Infeksi yang berat dapat di ikuti pneumonia dan eosinifilia. Larva kemudian
dibatukkan dan tertelan kembali menuju jejunum.
7. Diperlukan waktu 65 hari untuk menjadi cacing dewasa.
MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis tergantung pada intensitas infeksi dan organ yang


terlibat. Pada sebagian besar penderita dengan infeksi rendah sampai sedang
gejalanya asimtomatis atau simtomatis. Gejala klinis paling sering ditemui
berkaitan dengan penyakit paru atau sumbatan pada usus atau saluran
empedu. Gejala klinis yang nyata biasanya berupa nyeri perut, berupa kolik di
daerah pusat atau epigastrum, perut buncit (pot belly), rasa mual dan kadang-
kadang muntah, cengeng, anoreksia, susah tidur dan diare.

Telur cacing askariasis akan menetas didalam usus. Larva kemudian


menembus dinding usus dan bermigrasi ke paru melalui sirkulasi dalam vena.
Parasit dapat menyebabkan Pulmonari ascariasis ketika memasuki alveoli
dan bermigrasi melalui bronki dan trakea. Manifestasi infeksi pada paru mirip
dengan sindrom Loffler dengan gejala seperti batuk, sesak, adanya infiltrat
pada paru dan eosinofilia. Cacing dewasa akan memakan sari makanan hasil
pencernaan host. Anak-anak yang terinfeksi dan memiliki pola makanan yang
tidak baik dapat mengalami kekurangan protein, kalori, atau vitamin A, yang
akhirnya dapat mengalami pertumbuhan terlambat. Obstruksi usus, saluran
empedu dan pankreas dapat terjadi akibat sumbatan oleh cacing yang besar.
Cacing ini tidak berkembang biak pada host. Infeksi dapat bertahan selama
umur cacing maksimal (2 tahun), serta mudah terjadi infeksi berulang.
Gambar 3. Cacing Ascariasis dewasa pada usus

KOMPLIKASI

1. Spoilative action. Anak yang menderita askariasis umumnya dalam


keadaan distrofi. Pada penyelidikan ternyata askariasis hanya
mengambil sedikit karbohidrat ”hospes”, sedangkan protein dan lemak
tidak diambilnya. Juga askariasis tidak mengambil darah hospes.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa distrofi pada penderita askariasis
disebabkan oleh diare dan anoreksia.
2.Toksin. Chimura dan Fuji berhasil menbuat ekstrak askaris yang disebut
askaron yang kemudian ketika disuntikkan pada binatang percobaan
(kuda) menyebabkan renjatan dan kematian, tetapi kemudian pada
penyelidikan berikutnya tidak ditemukan toksin yang spesifik dari
askaris. Mungkin renjatan yang terjadi tersebut disebabkan oleh
protein asing.
3.Alergi. Terutama disebabkan larva yang dalam siklusnya masuk kedalam
darah, sehingga sesudah siklus pertama timbul alergi terhadap protein
askaris. Karenanya pada siklus berikut dapat timbul manifestasi alergi
berupa asma bronkiale, ultikaria, hipereosinofilia, dan sindrom Loffler.
Simdrom Loffler merupakan kelainan dimana terdapat infiltrat
(eosinofil) dalam paru yang menyerupai bronkopneumonia atipik.
Infiltrat cepat menghilang sendiri dan cepat timbul lagi dibagian paru
lain. Gambaran radiologisnya menyerupai tuberkulosis
miliaris.Disamping itu terdapat hiperesinofilia (40-70%). Sindrom ini
diduga disebabkan oleh larva yang masuk ke dalam lumen alveolus,
diikuti oleh sel eosinofil. Tetapi masih diragukan, karena misalnya di
indonesia dengan infeksi askaris yang sangat banyak, sindrom ini
sangat jarang terdapat, sedangkan di daerah denagn jumlah penderita
askariasis yang rendah, kadang-kadang juga ditemukan sindrom ini.
4.Traumatik action. Askaris dapat menyebabkan abses di dinding usus,
perforasi dan kemudian peritonitis. Yang lebih sering terjadi cacing-
cacing askaris ini berkumpul dalam usus, menyebabkan obstuksi usus
dengan segala akibatnya. Anak dengan gejala demikian segera dikirim
ke bagian radiologi untuk dilakukan pemeriksaan dengan barium
enema guna mengetahui letak obstruksi. Biasanya dengan tindakan ini
cacing-cacing juga dapat terlepas dari gumpalannya sehingga obstruksi
dapat dihilangkan. Jika cara ini tidak menolong, maka dilakukan
tindakan operatif. Pada foto rontgen akan tampak gambaran garis-
garis panjang dan gelap (filling defect).
5. Errantic action. Askaris dapat berada dalam lambung sehingga
menimbulkan gejala mual, muntah, nyeri perut terutama di daerah
epigastrium, kolik. Gejala hilang bila cacing dapat keluar bersama
muntah. Dari nasofaring cacing dapat ke tuba Eustachii sehingga dapat
timbul otitis media akut (OMA) kemudian bila terjadi perforasi, cacing
akan keluar. Selain melalui jalan tersebut cacing dari nasofaring dapat
menuju laring, kemudian trakea dan bronkus sehingga terjadi afiksia.
Askaris dapat menetap di dalam duktus koledopus dan bila
menyumbat saluran tersebut, dapat terjadi ikterus obstruktif. Cacing
dapat juga menyebabkan iritasi dan infeksi sekunder hati jika terdapat
dalam jumlah banyak dalam kolon maka dapat merangsang dan
menyebabkan diare yang berat sehingga dapat timbul apendisitis akut.
6.Irritative Action. Terutama terjadi jika terdapat banyak cacing dalam usus
halus maupun kolon. Akibat hal ini dapat terjadi diare dan muntah
sehingga dapat terjadi dehidrasi dan asidosis dan bila berlangsung
menahun dapat terjadi malnutrisi.
7. Komplikasi lain. Dalam siklusnya larva dapat masuk ke otak sehingga
timbul abses-abses kecil; ke ginjal menyebabkan nefritis; ke hati
menyebabkan abses-abses kecil dan hepatitis. Di indonesia komplikasi
ini jarang terjadi tetapi di srilangka dan Filipina banyak menyebabkan
kematian.
DIAGNOSIS

1) Ditegakkan dengan :

i. Menemukan telur Ascaris lumbricoides dalam tinja.

ii. Cacing ascaris keluar bersama muntah atau tinja penderita

2) Pemeriksaan Laboratorium

i. Pada pemeriksaan darah detemukan periferal eosinofilia.

ii. Detemukan larva pada lambung atau saluran pernafasan


pada tenyakit paru.

iii. Pemeriksaan mikroskopik pada hapusan tinja dapat


digunakan untuk memeriksa sejumlah besar telur yang di
ekskresikan melalui anus.

3) Pemeriksaan Foto

i. Foto thoraks menunjukkan gambaran otak pada lapang


pandang paru seperti pada sindrom Loeffler
ii. Penyakit pada saluran empedu

a) Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) memiliki


sensitivitas 90% dalam membantu mendiagnosis biliary ascariasis.

b) Ultrasonography memiliki sensitivitas 50% untuk membantu


membuat diagnosis biliary ascariasis.

Gambar 4. Telur Askariasis lumbricoides

PENGOBATAN

1. Obat pilihan: piperazin sitrat (antepar) 150 mg/kg BB/hari, dosis tunggal
dengan dosis maksimum 3 g/hari

2. Heksil resorsinol dengan dosis100 mg/tahun (umur)

3. Oleum kenopodii dengan dosis 1 tetes/tahun (umur)

4. Santonin : tidak membinasakan askaris tetapi hanya melemahkan.


Biasanya dicampur dengan kalomel (HgCl= laksans ringan) dalam jumlah
yang sama diberikan selama 3 hari berturut-turut.

Dosis : 0-1tahun = 3 x 5 mg

1-3 tahun = 3 x 10 mg

3-5 tahun = 3 x 15 mg

Lebih dari 5 tahun =3 x 20 mg

Dewasa = 3 x 25 mg

5. Pirantel pamoat (combantrin) dengan dosis 10 mg/ kg BB/hari dosis


tunggal.

6. Papain yaitu fermen dari batang pepaya yang kerjanya menghancurkan


cacing. Preparatnya : Fellardon.

7. Pengobatan gastrointestinal ascariasis menggunakan albendazole (400


mg P.O. sekali untuk semua usia), mabendazole (10 mg P.O. untuk 3 hari atau
500 mg P.O. sekali untuk segala usia) atau yrantel pamoate (11 mg/kg P.O.
sakali, dosis maksimum 1 g). Piperazinum citrate (pertama : 150 mg/kg P.O.
diikuti 6 kali dosis 6 mg/kg pada interval 12 hari)

Prognosis : baik, terutama jika tidak terdapat komplikasi dan cepat diberikan
pengobatan.

PENCEGAHAN

Program pemberian antihilmitik yang dilakukan dengan cara sebagai


berikut.

1. Memberikan pengobatan pada semua individu pada daerah endemis

2. Memberikan pengobatan pada kelompok tertentu dengan frekuensi


infeksi tinggi seperti anak-anak sekolah dasar.

3. Memberikan pengobatan pada individu berdasarkan intensitas penyakit


atau infeksi yang telah lalu.

4. Peningkatan kondisi sanitasi

5. Menghentikan penggunaan tinja sebagai pupuk.

6. Memberikan pendidikan tentang cara-cara pencegahan ascariasis.

DAFTAR PUSTAKA

Soegijanto, Soegeng.2005.Kumpulan Makalah Penyakit Tropis Dan Infeksi


Di Indonesia Jilid 4. Surabaya: Airlangga University Press

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia.2002. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 2.Jakarta. Percetakan
Info Medika Jakarta

Vous aimerez peut-être aussi