Vous êtes sur la page 1sur 44

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Nilai APGAR Bayi Baru Lahir

2.1.1. Pengertian Bayi Baru Lahir

Bayi yang lahir presentasi belakang kepala melalui vagina tanpa memakai

alat, pada usia kehamilan genap 37 minggu sampai dengan 42 minggu, dengan berat

badan 2500 - 4000 gram, nilai APGAR > 7 dan tanpa cacat bawaan (Saifuddin,

2006). Masa Bayi baru lahir adalah masa 28 hari pertama kehidupan manusia, pada

masa ini terjadi proses penyesuaian sistem tubuh bayi dari kehidupan dalam rahim ke

kehidupan di luar rahim. Masa ini adalah masa yang perlu mendapatkan perhatian dan

perawatan yang ekstra karena pada masa ini terdapat mortalitas yang tinggi (Rukiah,

2010).

Menurut Askin (2002) yang dikutip oleh Kosim dkk (2010), neonatus bayi

yang baru mengalami proses kelahiran dan harus menyesuaikan diri dari kehidupan

intra uterin ke kehidupan ekstra uterin. Beralih dari ketergantungan mutlak pada ibu

menuju kemandirian fisiologi. Dengan terpisahnya bayi dari ibu, maka terjadilah awal

dari proses fisiologi sebagai berikut :

1. Pertukaran gas melalui plasenta digantikan oleh aktifnya fungsi paru untuk

bernafas.

2. Saluran cerna berfungsi untuk menyerap makanan.


3. Ginjal berfungsi untuk mengeluarkan bahan yang tidak terpakai lagi oleh tubuh

untuk mempertahankan haesmostasis kimia darah.

4. Hati berfungsi untuk menetralisir dan mengsekresi bahan racun yang tidak

diperlukan badan.

5. Sistem imunologi berfungsi untuk mencegah infeksi.

6. Sistem kardio vaskuler serta endokrin bayi menyesuaikan diri dengan perubahan

fungsi organ tersebut diatas. Selain itu pengaruh kehamilan dan proses persalinan

mempunyai peranan penting dalam morbiditas dan mortalitas.

Menurut Prawirohardjo (2010) setelah persalinan, setelah bayi lahir harus

dilakukan penilaian sebagai berikut : apakah kehamilannya cukup bulan, apakah air

ketuban cukup jernih dan tidak terkontaminasi mekonium, apakah bayi bernafas

adekuat atau menangis, apakah tonus otot bayi baik. Apabila semua pertanyaan di

atas dijawab dengan “ya” lakukan perawatan rutin yaitu : memberikan kehangatan,

membuka/membersihkan jalan nafas, mengeringkan dan menilai warna.

2.1.2. Pengertian Nilai APGAR

Nilai APGAR pertama kali diperkenalkan oleh dokter anastesi yaitu dr.

Virginia APGAR pada tahun 1952 yang mendesain sebuah metode penilaian cepat

untuk menilai keadaan klinis bayi baru lahir pada usia 1 menit, yang dinilai terdiri

atas 5 komponen, yaitu frekwensi jantung (pulse), usaha nafas (respiration), tonus

otot (activity), refleks pada ransangan (grimace) dan warna kulit (appearance)

(American Academy of Pediatrics (2006) dalam Kosim, 2010).


Menurut Prawirohardjo (2010) nilai APGAR adalah suatu metode sederhana

yang digunakan untuk menilai keadaan umum bayi sesaat setelah kelahiran. Penilaian

ini perlu untuk mengetahui apakah bayi menderita asfiksia atau tidak, yang dinilai

adalah frekuensi jantung (Heart rate), usaha nafas (respiratory effort), tonus otot

(muscle tone), warna kulit (colour) dan reaksi terhadap rangsang (respon to stimuli)

yaitu dengan memasukkan kateter ke lubang hidung setelah jalan nafas dibersihkan.

Tabel 2.1. Kriteria APGAR

Nilai 0 Nilai 1 Nilai 2 Akronim


Warna Seluruh badan warna kulit tubuh warna kulit tubuh, Appearance
Kulit biru atau normal merah tangan, dan kaki
pucat muda, tetapi normal merah
tangan dan kaki muda, tidak ada
kebiruan sianosis
Denyut tidak ada <100 kali atau >100 kali atau Pulse
Jantung menit menit
Respon tidak ada meringis atau meringis atau Grimace
Reflek respons menangis lemah bersin atau batuk
terhadap ketika distimulasi saat stimulasi
stimulasi saluran napas
Tonus lemah atau sedikit gerakan bergerak aktif Activity
Otot tidak ada
Pernafas tidak ada lemah atau tidak menangis kuat, Respiration
an teratur pernapasan baik
dan teratur
Sumber : American Academy of Pedatrics, 2006 dalam Kosim (2010)

Nilai APGAR diukur pada menit pertama dan kelima setelah kelahiran.

Pengukuran pada menit pertama digunakan untuk menilai bagaimana ketahanan bayi

melewati proses persalinan. Pengukuran pada menit kelima menggambarkan sebaik

apa bayi dapat bertahan setelah keluar dari rahim ibu. Pengukuran nilai APGAR
dilakukan untuk menilai apakah bayi membutuhkan bantuan nafas atau mengalami

kelainan jantung (Prawirohardjo, 2010).

Menurut Novita (2011) nilai APGAR pada umumnya dilaksanakan pada 1

menit dan 5 menit sesudah bayi lahir. Akan tetapi, penilaian bayi harus segera

dimulai sesudah bayi lahir. Apabila memerlukan intervensi berdasarkan penilaian

pernafasan, denyut jantung atau warna bayi, maka penilaian ini harus segera

dilakukan. Nilai APGAR dapat menolong dalam upaya penilaian keadaan bayi dan

penilaian efektivitas upaya resusitasi.

Apabila nilai APGAR kurang dari 7 maka penilaian tambahan masih

diperlukan yaitu 5 menit sampai 20 menit atau sampai dua kali penilaian menunjukan

nilai 8 atau lebih. Penilaian untuk melakukan resusitasi semata-mata ditentukan oleh

tiga tanda penting yaitu pernafasan, denyut jantung, dan warna. Resusitasi yang

efektif bertujuan memberikan ventilasi yang adekuat, pemberian oksigen, dan curah

jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen ke otak, jantung dan alat vital

lainnya (Novita, 2011).

2.1.3. Klasifikasi Nilai APGAR

Berdasarkan penilaian APGAR dapat diketahui derajat vitalis bayi adalah :

kemampuan sejumlah fungsi tubuh yang bersifat esensial dan kompleks untuk

kelangsungan hidup bayi seperti pernafasan, denyut jantung, sirkulasi darah dan

reflek-reflek primitif seperti mengisap dan mencari puting susu, salah satu

menetapkan derajat vitalis dengan nilai APGAR (IDAI, 1998)


Tabel 2.2. Derajat Vitalis Bayi Lahir Menurut Nilai APGAR

Klasifikasi Nilai Derajat Vitalis


APGAR
A 7 – 10 - Tangisan kuat disertai gerakan aktif
Asfiksia ringan/tanpa
asfiksia
B 4–6 - Pernafasan tidak teratur, atau tidak ada
Asfiksia Sedang pernafasan
- Denyut jantung lebih dari 100 x/menit
C 0–3 - Tidak ada pernafasan
Asfiksia Berat - Denyut jantung 100 x/menit atau
kurang
D 0 - Tidak ada pernafasan
FresStilBirth - Tidak ada denyut jantung
(bayi lahir mati)
Sumber : IDAI (1998)

Bayi baru lahir dievaluasi dengan nilai APGAR, tabel tersebut dapat untuk

menentukan tingkat atau derajat asfiksia, apakah ringan, sedang, atau asfiksia berat.

Menurut (Prawirohardjo, 2010) klasifikasi klinik nilai APGAR adalah sebagai

berikut:

1. Asfiksia berat (nilai APGAR 0-3)

Memerlukan resusitasi segera secara aktif, dan pemberian oksigen terkendali.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung 100 x/menit, tonus otot

buruk, sianosis berat, dan terkadang pucat, refleks iritabilitas tidak ada.

2. Asfiksia sedang (nilai APGAR 4-6)

Memerlukan resusitasi dan pemberian oksigen sampai bayi dapat bernapas

kembali. Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung lebih dari 100

x/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, refleks iritabilitas tidak ada.
3. Bayi normal atau sedikit asfiksia (nilai APGAR 7-10).

2.1.4. Faktor yang Memengaruhi Nilai APGAR

Menurut Wijanksastro, H (2009) faktor-faktor yang dapat menyebabkan

asfiksia neonatorum adalah sebagai berikut :

1. Faktor ibu

a. Hipoksia ibu

Menurut Graccia, AJ (2004) hipoksia adalah keadaan rendahnya

konsentrasi oksigen di dalam sel atau jaringan yang dapat mengancam

kelangsungan hidup sel. Hipoksia ibu dapat terjadi karena hipoventilasi akibat

pemberian obat analgetik atau anastesi dalam, dan kondisi ini akan

menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya. Angka normal denyut

jantung janin berkisar 120 – 160 denyut/menit. Hipoksia janin terjadi apabila

janin mengalami takikardia (jantung janin > 160 denyut/menit) dan bradikardia

(jantung janin < 120 denyut/menit) (Arvin, BK., 2000).

b. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun

Umur ibu tidak secara langsung berpengaruh terhadap kejadian asphixia

neonatorum, namun demikian telah lama diketahui bahwa umur berpengaruh

terhadap proses reproduksi. Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia

aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20 – 30 tahun (Prawirohardjo,

2010). Pada usia dibawah 20 tahun fungsi reproduksi seorang wanita belum

berkembang dengan sempurna, sedangkan pada usia >35 tahun sudah

mengalami penurunan (Saifuddin, AB., 2006).


Dalam penelitian Zakaria di RSUP M. Jamil Padang tahun 1999 (dikutip

oleh Ahmad) menemukan kejadian asphyxia neonatorum sebesar 36,4% pada

ibu yang melahirkan dengan usia kurang dari 20 tahun dan 26,3% pada ibu

dengan usia lebih dari 34 tahun, dan hasil penelitian dari Ahmad di RSUD Dr.

Adjidarmo Rangkasbitung tahun 2000, menemukan bayi yang lahir dengan

asphyxia neonatorum 1,309 kali pada ibu umur kurang dari 20 tahun dan lebih

dari 35 tahun.

c. Paritas

Paritas adalah jumlah kehamilan yang memperoleh janin yang dilahirkan.

Paritas yang tinggi memungkinkan terjadinya penyulit kehamilan dan

persalinan yang dapat menyebabkan terganggunya transport O2 dari ibu ke

janin yang akan menyebabkan asfiksia yang dapat dinilai dari APGAR score

menit pertama setelah lahir (Manuaba I., 2007)

d. Penyakit pembuluh darah ibu

Penyakit pembuluh darah ibu yang mengganggu pertukaran gas janin :

hipertensi, hipotensi, gangguan kontraksi uterus dan lain-lain (Winkjosastro,H.,

2009). Hipertensi adalah tekanan darah sistolik dan diastolik ≥ 140/90 mmHg.

Pengukuran tekanan darah sekurang – kurangnya dilakukan 2 kali selang 4 jam.

Kenaikan tekanan darah sistolik ≥ 30 mmHg dan kenaikan tekanan darah

diastolik ≥ 15 mmHg. Hipotensi dapat memberikan efek langsung terhadap

bayi merupakan kondisi tekanan darah yang terlalu rendah, yaitu apabila
tekanan darah sistolik < 90 mmHg dan tekanan darah diastolik < 60 mmHg

(Prawirohardjo, 2010)

Tabel 2.3 Penggolongan Tekanan Darah Berdasarkan Tekanan


Sistolik – Diastolik

Tekanan Darah Sistolik Diastolik MAP


Hipotensi Di bawah 90 Di bawah 60 <70
Normal 90–119 60–79 70-92
Pre-hipertensi 120–139 80–89 93-106
Darah tinggi atauhipertensi (stadium 1) 140–159 90–99 107-119
Darah tinggi atauhipertensi (stadium 2) 160-179 100-109 120-132
Sumber : Susalit, dkk (2001)

e. Sosial ekonomi

Menurut Lubis (2003) bila ibu mengalami kekurangan gizi selama hamil

akan menimbulkan masalah, baik pada ibu maupun janin. Masalah pada ibu

antara lain : anemia, perdarahan, terkena penyakit infeksi dan komplikasi pada

persalinan, sedangkan masalah pada bayi antara lain : mempengaruhi

pertumbuhan janin, abortus, kematian neonatal, bayi lahir mati, cacat bawaan,

anemia pada bayi, asfiksia intra partum, dan BBLR.

Adapun ciri – ciri KEK adalah : ibu yang ukuran LILA nya < 23,5 cm dan

dengan salah satu atau beberapa kriteria sebagai berikut : berat badan ibu

sebelum hamil < 42 kg, tinggi badan ibu < 145 cm, berat badan ibu pada

kehamilan trimester III < 45 kg, indeks masa tubuh (IMT) sebelum hamil

< 17,00 dan ibu menderita anemia (Hb < 11 gr%) (Weni, 2010).
f. Gangguan kontraksi ibu

Disfungsi uterus didefinisikan sebagai ketidak efisiennya atau tidak

terkoordinasinya kontraksi uterus, ketidakmampuan untuk dilatasi servik dan

juga melahirkan yang lama. Disfungsi uterus ditandai oleh kontraksi intensitas

rendah dan jarang serta lambatnya kemajuan persalinan (Leveno et al., 2009).

Partograf adalah alat bantu yang digunakan selama kala I persalinan.

Tujuan pengisian partograf adalah adalah untuk memantau dan mengobservasi

kemajuan persalinan dengan menilai pembukaan servik, penurunan kepala

janin, serta kontraksi uterus. Dalam partograf terdapat kolom-kolom untuk

menilai kemajuan persalinan. Pada kolom dan lajur kedua partograf merupakan

tempat pencatatan kemajuan pembukaan servik 0 sampai dengan 10 cm.

Sedangkan di bawah lajur waktu partograf terdapat kotak-kotak yang

merupakan tempat penilaian kontraksi uterus meliputi lama kontraksi, yang

dihitung dengan satuan detik, frekwensi kontraksi yang dihitung dalam 10 menit

dan intensitas kontraksi (JNPK KR. DepKes RI, 2008).

2. Faktor Plasenta

a. Plasenta tipis, kecil, dan tidak menempel sempurna

Dalam kehamilan, fungsi utama plasenta adalah sebagai organ penyalur

bahan-bahan makanan dan oksigen yang diperlukan oleh jani dari darah ibu ke

dalam darah janin dan juga mengadakan mekanisme pengeluaran produk-

produk ekskretoris dari janin kembali ke ibu (Guyton AC., 2008).


Plasenta yang normal akan mampu melaksanakan fungsi tersebut dalam

menunjang pertumbuhan janin. Plasenta normal pada saat aterm berbentuk

seperti cakram, berwarna merah tua, dengan berat 500-600 gr, diameter 15-25

cm, lebih kurang 7 inci tebal sekitar 3 cm. Panjang tali pusat 40-50 cm dengan

diameter 1-2 cm (Cunningham, 2006 dan Sloane E., 2004). Gangguan

pertukaran gas di plasenta yang akan menyebabkan asfiksia janin. Pertukaran

gas antara ibu dan janin di pengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta, asfiksia

janin dapat terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta, misalnya :

plasenta previa dan solusio plasenta. (Manuaba I., 2007 ).

Gambar 2.1. Plasenta Normal

b. Solusio plasenta

Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta dari tempat implantasi

normalnya sebelum janin lahir, dan definisi ini hanya berlaku pada kehamilan

di atas 22 minggu atau berat janin > 500 gr ( Prawirohardjo, 2010). Gambaran
klinisnya adalah solusio plasenta ringan : terdapat pelepasan sebahagian kecil

plasenta, solusio plasenta sedang : plasenta terlepas ¼ bagian, solusio plasenta

berat : plasenta telah terlepas dari 2/3 permukaannya.

Pada pemeriksaan plasenta biasanya tampak tipis dan cekung di bagian

plasenta yang terlepas (kreater) dan terdapat koagulum atau darah beku yang

biasanya menempel di belakang plasenta yang disebut hematoma

retroplacenter. (Brudenell & Michael, 1996).

Gambar 2.2. Solusio Plasenta

c. Plasenta previa

Adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim, sehingga

menutupi seluruh atau sebahagian dari ostium uteri internum. Insidensi plasenta

previa adalah 0,4%-0,6%, perdarahan dari plasenta previa menyebabkan kira-

kira 20% dari semua kasus perdarahan ante partum. 70% pasien dengan

plasenta previa mengalami perdarahan pervaginam yang tidak nyeri dalam


trimester ke tiga, 20% mengalami kontraksi yang disertai dengan perdarahan,

dan 10% memiliki diagnosa plasenta previa yang dilakukan tidak sengaja

dengan pemeriksaan ultrasonografi atau pemeriksaan saat janin telah cukup

bulan. Penyulit pada ibu dapat menimbulkan anemia sampai syok sedangkan

pada janin dapat menimbulkan asphyxia neonatorum sampai kematian janin

dalam rahim ( Manuaba I., 2007).

Gambar 2.3. Plasenta Previa

3. Faktor Janin

a. Prematur

Bayi prematur adaah bayi lahir dari kehamilan antara 28 – 36 minggu.

Bayi lahir kurang bulan mempunyai organ-organ dan alat tubuh belum

berfungsi normal untuk bertahan hidup di luar rahim. Makin muda umur

kehamilan, fungsi organ tubuh bayi makin kurang sempurna, prognosis juga

semakin buruk. Karena masih belum berfungsinya organ-organ tubuh secara

sempurna seperti sistem pernafasan maka terjadilah asfiksia (DepKes RI, 2002).
b. BBLR dan IUGR

Berat badan lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang

dari 2500 gram. Menurut WHO (2003), BBLR dibagi tiga group yaitu

prematuritas, Intra Uterine Growth Restriction (IUGR) dan karena keduanya.

BBLR sering digunakan sebagai indikator dari IUGR di negara berkembang

karena tidak tersedianya penilaian usia kehamilan yang valid. BBLR ini

berbeda dengan prematur karena BBLR diukur dari berat atau massa,

sedangkan prematur juga belum tentu BBLR kalau berat lahirnya di atas 2500

gram. Namun dibanyak kasus kedua kondisi ini muncul bersamaan karena

penyebabnya saling berhubungan.

IUGR biasanya dinilai secara klinis ketika janin lahir dengan mengkaitkan

ukuran bayi yang baru lahir kedurasi kehamilan. Ukuran kecil untuk usia

kehamilan atau ketidakmampuan janin janin untuk mencapai potensi

pertumbuhan menunjukkan IUGR. Bayi dengan IUGR didiagnosis mungkin

BBLR usia kehamilan aterm (> 37 minggu kehamilan dan <2500 gram)

(ACC/SCN, 2000).

c. Gemeli

Kehamilan ganda adalah kehamilan dengan dua janin atau lebih.

Kehamilan ganda dapat memberikan resiko yang lebih tinggi terhadap ibu dan

bayi. Pertumbuhan janin kehamilan ganda tergantung dari faktor plasenta

apakah menjadi satu atau bagaimana lokalisasi implementasi plasentanya.

Memperhatikan kedua faktor tersebut, mungkin terdapat jantung salah satu


janin lebih kuat dari yang lainnya, sehingga janin mempunyai jantung yang

lemah mendapat nutrisi O2 yang kurang menyebabkan pertumbuhan terhambat,

terjadilah asfiksia neonatorum sampai kematian janin dalam rahim (Manuaba I,

2007).

Gambar 2.4. Gemeli

d. Gangguan tali pusat

Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam

pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan

janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan tali pusat

menumbung, melilit leher, kompresi tali pusat antara jalan lahir dan janin

(Wijangsastro, H., 2009)

e. Kelainan Congenital

Kelainan congenital adalah suatu keainan pada struktur, fungsi maupun

metabolisme tubuh yang ditemukan pada bayi ketika dia dilahirkan.


4. Faktor Persalinan

faktor-faktor persalinan yang dapat menimbulkan asfiksia adalah :

a. Partus lama

Partus lama yaitu persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam pada

primi, dan lebih 18 jam pada multi. Partus lama masih merupakan masalah di

Indonesia. Bila persalinan berlangsung lama, dapat menimbulkan komplikasi

baik terhadap ibu maupun pada bayi, dan dapat meningkatkan angka kematian

ibu dan bayi (Mochtar, 2004).

b. Partus dengan tindakan

Persalinan dengan tindakan dapat menimbulkan asfiksia neonatorum yang

disebabkan oleh tekanan langsung pada kepala : menekan pusat-pusat vital pada

medula oblongata, aspirasi air ketuban, mekonium, cairan lambung dan

perdarahan atau oedema jaringan pusat saraf pusat (Manuaba, I., 2007).

Menurut Aminullah (2005) faktor-faktor pencetus rendahnya nilai APGAR

(asphyxia neonatorum)

a. Hipoksia janin penyebab terjadinya asphyxia neonatorum adalah adanya

gangguan pertukaran gas serta transport O2 dari ibu ke janin sehingga berdampak

persediaan O2 menurun, mengakibatkan tingginya CO2. Gangguan ini dapat

berlangsung secara kronis akibat kondisi atau kelainan pada ibu selama kehamilan

atau secara akut karena adanya komplikasi dalam persalinan.

b. Gangguan kronis pada ibu hamil tersebut, bisa akibat dari gizi ibu yang buruk,

penyakit menahun seperti anemia, hipertensi, penyakit jantung dan lain-lain. Pada
akhir-akhir ini, asphyxia neonatorum disebabkan oleh adanya gangguan

oksigenisasi serta kekurangan zat-zat makanan yang diperoleh akibat

terganggunya fungsi plasenta. Faktor-faktor yang timbul dalam persalinan yang

bersifat akut dan hampir selalu mengakibatkan anoksia atau hipoksia janin akan

berakhir dengan asphyxia neonatorum pada bayi baru lahir. Sedangkan faktor dari

pihak ibu adanya gangguan his seperti hipertonia dan tetani, hipotensi mendadak

pada ibu karena perdarahan, hipertensi pada eklamsia, gangguan mendadak pada

plasenta seperti solusio plasenta.

c. Faktor janin berupa gangguan aliran darah dalam tali pusat akibat tekanan tali

pusat, depresi pernafasan karena obat-obatan anastesi/analgetika yang diberikan

ke ibu, perdarahan intrakranial, kelainan bawaan seperti hernia diafragmatika,

atresia saluran pernafasan, hipoplasia paru-paru dll.

Menurut Novita (2011) seorang bayi mengalami kekurangan oksigen, maka

akan terjadi napas cepat. Apabila asfiksia berlanjut, gerakan napas akan berhenti,

denyut jantung mulai menurun dan tonus otot berkurang secara berangsur, dan bayi

memasuki periode apneu primer. Apneu primer yaitu bayi mengalami kekurangan

oksigen dan terjadi pernapasan yang cepat dalam periode singkat, dimana terjadi

penurunan frekuensi jantung. Pemberian rangsangan dan oksigen selama periode ini

dapat merangsang terjadinya pernapasan. Selanjutnya, bayi akan memperlihatkan

usaha nafas (gasping) yang kemudian diikuti oleh pernafasan. Apabila asfiksia

berlanjut, bayi akan menunjukan pernapasan gasping (megap-megap), denyut jantung

menurun, tekanan darah menurun, dan bayi tampak lemas (flaksid). Pernapasan
semakin lemah sampai akhirnya berhenti, dan bayi memasuki periode apneu

sekunder. Apneu sekunder yakni pada penderita asfiksia berat, yang mana usaha

bernapasnya tidak tampak dan selanjutnya bayi berada pada periode apneu kedua.

Pada keadaan tersebut akan ditemukan bradikardi dan penurunan tekanan darah serta

penurunan kadar oksigen dalam darah. Bayi tidak bereaksi terhadap rangsangan dan

tidak menunjukan upaya bernapas secara spontan. Kematian akan terjadi kecuali bila

resusitasi dengan napas buatan dan pemberian oksigen segera dimulai. Sulit sekali

membedakan antara apneu primer dan sekunder, oleh karenanya bila menghadapi

bayi bayi lahir dengan apneu, anggaplah sebagai apneu sekunder dan bersegera

melakukan tindakan resusitasi (Novita, 2011).

2.2. Persalinan

2.2.1. Pengertian Persalinan

Persalinan atau partus adalah proses hasil pengeluaran hasil konsepsi yang

dapat hidup dari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar (Winkjasastro, H., 2009).

Persalinan adalah akhir kehamilan yang terdiri dari serangkaian proses dimana terjadi

kontraksi uterus dan tekanan abdominal untuk mengeluarkan fetus/janin dan plasenta

dari dan uterus melalui jalan lahir dari tubuh wanita (Pillatteri, 2003; Bobak,

Lawdermilk, Jensen, 2004).

Persalinan dan kelahiran merupakan kejadian fisiologis yang normal.

Persalinan merupakan proses pergerakan keluarnya janin, plasenta, dan membran dari

dalam rahim melalui jalan lahir. Proses ini berawal dari pembukaan dan dilatasi
serviks sebagai akibat kontraksi uterus dengan frekuensi, durasi, dan kekuatan yang

teratur. Mula-mula kekuatan yang muncul kecil, kemudian terus meningkat sampai

pada puncaknya pembukaan serviks lengkap sehingga siap untuk pengeluaran janin

dari rahim ibu. Persalinan normal adalah proses lahirnya bayi pada letak belakang

kepala dengan tenaga ibu sendiri tanpa bantuan alat-alat serta tidak melukai ibu dan

bayi, umumnya berlangsung kurang dari 24 jam. Persalinan normal dianggap normal

jika prosesnya terjadi pada usia kehamilan cukup bulan (setelah 37 minggu) tanpa

disertai adanya penyulit (Rohani,et al, 2011).

Persalinan merupakan suatu proses normal dan peristiwa penting yang sangat

di tunggu oleh setiap pasangan suami istri. Menyambut kelahiran sang buah hati

merupakan saat yang akan sangat membahagiakan setiap keluarga. Namun mendekati

proses persalinan berbagai perasaan timbul dalam hati para ibu hamil. Bayangan rasa

nyeri pada saat melahirkan seringkali menghantui ibu hamil menjelang persalinan.

Bagi ibu hamil, persalinan mungkin menjadi saat yang mendebarkan. Ada rasa

gembira karena bakal melahirkan bayi, namun dibalik itu ada rasa takut bila

mengingat rasa sakit, mulas dan nyeri yang bakal menyertainya (Maryunani, 2010).

Persalinan dari segi fisik dapat digambarkan sebagai proses ketika janin,

plasenta, dan membran dikeluarkan melalui jalan lahir, tetapi tentu saja peralinan

bukan sekedar peristiwa fisik murni. Apa yang terjadi selama persalinan dapat

memengaruhi hubungan antara ibu dan bayi, serta persalinan yang akan datang.

World Health Organization (WHO, 1997) mendefinisikan persalinan normal sebagai


persalinan beresiko rendah, dengan awitan spontan dan presentasi fetus verteks, dan

dengan hasil akhir ibu dan bayinya berada dalam kondisi yang setelah melahirkan.

2.2.2. Teori Proses Persalinan

Menurut Asrinah,et al, (2010) sebab yang mendasari terjadinya partus secara

teoritis masih merupakan kumpulan teoritis yang kompleks teori yang turut

memberikan andil dalam proses terjadinya persalinan antara lain :

1. Teori kerenggangan : otot rahim mempunyai kemampuan meregang dalam batas

tertentu. Setelah melewati batas tersebut terjadi kontraksi sehingga persalinan

dimulai.

2. Teori penurunan progesteron : progesteron menurun menjadikan otot rahim

sensitif sehingga menimbulkan his atau kontraksi.

3. Teori oksitosin : pada akhir kehamilan kadar oksitosin bertambah sehingga dapat

mengakibatkan his.

4. Teori pengaruh prostaglandin : pemberian prostaglandin saat hamil dapat

menimbulkan kontraksi otot rahim sehingga hasil konsepsi dikeluarkan.

5. Teori plasenta menjadi tua : dengan bertambahnya usia kehamilan, plasenta

menjadi tua dan menyebabkan villi corialis mengalami perubahan sehingga kadar

esterogen dan progesteron turun. Hal ini menimbulkan kekejangan pembuluh

darah dan menyebabkan kontraksi rahim.

6. Teori distensi rahim : keadaan uterus yang terus membesar dan menjadi tegang

mengakibatkan iskemia otot-otot uterus sehingga mengganggu sirkulasi utero

plasenter.
7. Teori berkurangnya nutrisi : bila nutrisi pada janin berkurang, maka hasil

konsepsi akan segera dikeluarkan.

2.2.3. Faktor yang Memengaruhi Persalinan

Menurut Asrinah,et al, (2010) ada beberapa faktor yang mempengaruhi

persalinan bagi seorang ibu yang akan bersalin. Adapun faktor-faktor yang

mempengaruhi persalinan adalah diantaranya sebagai berikut :

1. Faktor Power, power adalah : tenaga atau kekuatan yang mendorong janin keluar.

Kekuatan tersebut meliputi his, kontraksi otot-otot perut, kontraksi diafragma dan

aksi dari ligamen, dengan kerjasama yang baik, sempurna dan tenaga mengejan.

2. Faktor Passager yaitu : faktor janin, yang meliputi sikap janin, letak, presentasi,

bagian terbawah, dan posisi janin.

3. Faktor Passage (jalan lahir), dibagi menjadi : (a) Bagian keras : tulang-tulang

panggul (rangka panggul), (b) Bagian lunak : otot-otot, jaringan-jaringan dan

ligamen-ligamen.

4. Faktor psikologi ibu : keadaan psikologi ibu memengaruhi proses persalinan.

Dukungan mental berdampak positif bagi keadaan psikis ibu, yang berpengaruh

pada kelancaran proses persalinan.

5. Faktor penolong : dengan pengetahuan dan kompetensi yang baik yang dimiliki

penolong, diharapkan kesalahan atau malpraktik dalam memberikan asuhan tidak

terjadi sehingga memperlancar proses persalinan (Asrinah,et al, 2010).


2.3. Nyeri

2.3.1. Pengertian Nyeri

Menurut Assosiasi Internasional yang khusus mempelajari tentang nyeri (The

International Associational for the Study of Pain /IASP, 2007) mendefinisikan nyeri

sebagai suatu yang tidak menyenangkan bersifat subjektif dan berhubungan dengan

panca indra, serta suatu pengalaman emosional yang dikaitkan dengan kerusakan

jaringan baik aktual maupun potensial yang di gambarkan sebagai suatu yang dapat

menyebabkan nyeri secara psikologis.

Menurut Uliyah & Hidayat (2008) nyeri merupakan kondisi berupa perasaan

yang tidak menyenangkan. Sifatnya sangat subjektif karena perasaan nyeri berbeda

pada setiap orang dalam hal skala atau tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah

yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya. Berikut ini

merupakan pendapat beberapa ahli mengenai rasa nyeri :

1. Mc.Coffery (1979), mendefinisikan nyeri sebagai suatu keadaan yang

memengaruhi seseorang, yang keberadaan nyeri dapat diketahui hanya jika orang

tersebut pernah mengalaminya.

2. Wolf Weisel Feurst (1974) mengatakan nyeri merupakan suatu perasaan

menderita secara fisik dan mental atau perasaan yaang bisa menimbulkan

ketegangan.

3. Artur C. Curton (1983) mengatakan bahwa nyeri merupakan suatu mekanisme

bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang dirusak sehingga individu tersebut

bereaksi untuk menghilangkan ransangan nyeri.


4. Secara umum, nyeri diartikan sebagai suatu keadaan tidak menyenangkan akibat

terjadinya ransangan fisik maupun dari serabut saraf dalam tubuh keotak dan

diikuti oleh reaksi fisik, fisiologis maupun emosional.

2.3.2. Teori Nyeri

Menurut Maryunani (2010) terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang

nyeri yaitu :

1. Specificity theory teori ini menyatakan bahwa reseptor nyeri tertentu distimulasi

oleh tipe stimulus sensori spesifik yang mengirimkan impuls ke otak. Teori ini

menguraikan dasar fisiologis adanya nyeri tetapi tidak menjelaskan komponen-

komponen fisiologis dari nyeri maupun derajat toleransi nyeri

2. Pattern Theory : teori ini berusaha untuk memasukkan faktor-faktor yang tidak

dapat dijelaskan oleh specificity theory. Teori ini berasal dari tanduk dorsal spinal

cord . Pola impuls saraf tertentu diproduksi dan menghasilkan stimulasi reseptor

kuat yang dikodekan dalam sistem saraf pusat (SSP) dan memandakan nyeri.

3. Gate Kontrol Theory : salah satu teori nyeri yang paling dapat diterima dan

dipercaya, teori nyeri ini diajukan oleh Melzak dan Wall pada tahun 1965. Dasar

pemikiran pertama Gate Kontrol Theory adalah bahwa keberadaan dan intensitas

pengalaman nyeri tergantung pada transmisi tertentu pada impuls-impuls syaraf.

Kedua mekanisme gate/pintu sepanjang sistem syaraf mengontrol/mengendalikan

transmisi nyeri. Akhirnya, jika gate terbuka, impuls yang menyebabkan sensasi

nyeri dapat mencapai tingkat kesadaran. Jika gate tertutup, impuls tidak mencapai

tingkat kesadaran dan sensari nyeri tidak akan dialami.


4. Endogenous Opiate Theory adalah suatu teori pereda nyeri relatif baru

dikembangkan oleh Avron Goldstein, dimana ia menemukan bahwa terdapat

suatu substansi seperti opiate yang terjadi secara alami di dalam tubuh manusia.

Substansi ini disebut endhorpine, yang berasal dari kata endogeneus dan

morphine. Endorphine mempengaruhi transmisi impuls yang di interprestasikan

sebagai nyeri. menghambat transmisi dari pesan nyeri. Jadi, adanya endorphine

memungkinkan nyeri dapat terjadi. Opiete, morphine dan endorphine (kadang-

kadang disebut enkephalin), kemungkinan menghambat transmisi pesan nyeri

dengan mengaitkan tempat reseptor opiete pada saraf-saraf otak dan tulang

belakang manusia.

2.3.3. Nyeri Persalinan

Cuningham, dkk. (2005) mendeskripsikan nyeri persalinan sebagai kontraksi

miometrium. Nyeri persalinan merupakan proses fisiologis dengan intensitas yang

berbeda pada masing-masing individu. Rasa nyeri yang dialami selama persalinan

bersifat unik pada setiap ibu dan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-

faktor yang mempengaruhi antara lain budaya, takut dan cemas, pengalaman

melahirkan sebelumnya, persiapan persalinan dan dukungan (Lawdermilk, Perry &

Bobak, 2004)

Nyeri dalam persalinan merupakan stimulus yang dirasakan ibu selama proses

persalinan. Respon nyeri dapat dilihat dari perubahan sikap, cemas, merintih,

menangis bahkan sampai meraung. Nyeri adalah bagian integral dari persalinan dan

melahirkan menurut Melzack (1984) dikutip oleh mander (2004). Menurut Judha dkk
(2012) yang mengutip pendapat Cunningham (2004) mengatakan bahwa nyeri

persalinan sebagai kontraksi miometrium, merupakan proses fisiologis dengan

intensitas yang berbeda pada masing-masing individu.

Menurut Rahmawati (2003) dalam Maryunani (2010) rasa tidak nyaman dan

nyeri dalam persalinan adalah unik dan mempunyai perbedaan dengan nyeri yang

lainnya karena : nyeri persalinan merupakan bagian dari proses yang normal

sedangkan nyeri yang lainnya biasanya mengikuti kondisi patologisnya, pada nyeri

persalinan ada waktu untuk mempersiapkannya karena datangnya udah dapat

diperkirakan yaitu apabila sudah masuk proses persalinan, nyeri persalinan

mempunyai batas dan dapat hilang dengan sendirinya (self-limiting), nyeri persalinan

tidak konstan tetapi bersifat intermiten yaitu pada kala 1 merupakan akibat penipisan

dan pembukaan servik dan pada kala II nyeri timbul disebabkan oleh penurunan

kepala janin yang menekan dan menarik bagian-bagian di daerah panggul, kelahiran

bayi dan kondisi janin akan mempengaruhi kondisi emosional ibu sehingga dapat

berpengaruh pada rasa nyeri.

Menurut Judha dkk (2012) nyeri persalinan yang dialami oleh ibu yang akan

bersalin disebabkan oleh :

1. Kontraksi otot rahim : kontraksi rahim menyebabkan dilatasi dan penipisan

serviks serta iskemia rahim akibat kontraksi arteri miometrium, karena rahim

merupakan organ internal maka nyeri yang timbul disebut nyeri visceral. Pada

persalinan nyeri dapat dirasakan ibu pada punggung bagian bawah dan sacrum,
biasanya ibu mengalami nyeri ini selama kontraksi dan bebas dari rasa nyeri pada

interval antar kontraksi.

2. Regangan otot dasar Panggul : jenis nyeri ini timbul pada saat mendekati kala II,

tidak seperti nyeri visceral, nyeri ini terlokalisir di daerah vagina, rektum dan

perineum sekitar anus. Nyeri ini disebut dengan nyeri somatik dan disebabkan

oleh peregangan struktur jalan lahir bagian bawah akibat penurunan bagian

terbawah janin.

3. Kondisi psikologis : nyeri dan rasa sakit yang berlebihan akan menimbulkan rasa

cemas. Takut, dan tegang yang memicu produksi hormon prostaglandin sehingga

timbul hormon. Kondisi hormon dapat memengaruhi kemampuan tubuh menahan

rasa nyeri.

Adapun faktor-faktor yang memengaruhi respon terhadap nyeri persalinan

menurut Judha dkk (2012) adalah :

1. Budaya : persepsi dan ekspresi terhadap nyeri persalinan dipengaruhi oleh budaya

individu. Budaya memengaruhi ekspresi nyeri intranatal pada ibu primigravida,

sehingga penting untuk mengetahui bagaimana kepercayaan, nilai, praktik budaya

memengaruhi seorang ibu dalam mempersepsikan dan mengekspresikan nyeri

persalinan.

2. Kecemasan : stres atau rasa takut ternyata secara fisiologis dapat menyebabkan

kontraksi uterus menjadi terasa semakin nyeri dan sakit dirasakan. Karena saat

wanita dalam kondisi inpartu tersebut mengalami stress maka secara otomatis

tubuh akan melakukan reaksi defenisif sehingga secara otomatis dari hormon
tersebut merangsang tubuh mengeluarkan hormon stressor yaitu hormon

kotekolamin dan hormon adrenalin, kotekolamin ini akan dilepaskan dalam

konsentrasi tinggi saat persalinan jika calon ibu tidak bisa menghilangkan rasa

takutnya sebelum melahirkan, sehingga uterus menjadi semakin tegang, aliran

darah dan oksigen ke dalam otot – otot uterus berkurang karena arteri mengecil

dan menyempit akibatnya adalah rasa nyeri yang tidak terelakkan. Stimulus nyeri

mengaktifkan sistem limbik yang diyakini dapat mengendalikan emosi seseorang

khususnya ansietas. Kecemasan sering meningkatkan persepsi nyeri dan nyeri

juga dapat menimbulkan suatu perasaan cemas sehingga sulit memisahkan antara

kecemasan dan persepsi nyeri, hubungan keduanya bersifat kompleks.

3. Pengalaman persalinan : pengalaman persalinan sebelumnya dapat memengaruhi

respon ibu terhadap nyeri, bagi ibu yang mempunyai pengalaman yang

menyakitkan dan sulit pada persalinan sebelumnya, perasaan cemas dan takut

pada pengalaman lalu akan memengaruhi sensitifitas rasa nyeri. Pengalaman

nyeri yang lalu mengubah sensitifitas ibu terhadap nyeri, selain itu keberhasilan

atau kurang berhasilnya tindakan pengurangan nyeri memengaruhi harapan ibu

terhadap penyembuhan nyeri.

4. Dukungan keluarga (Support System) : dukungan dari pasangan, keluarga maupun

pendamping persalinan dapat membantu memenuhi kebutuhan ibu bersalin, juga

membantu mengatasi rasa nyeri. Kehadiran pendamping selama proses

persalinan, sentuhan penghiburan dan dorongan orang yang mendukung sangat

besar artinya karena dapat membantu ibu saat proses persalinan. Pendamping ibu
saat proses persalinan sebaiknya adalah orang yang paling peduli pada ibu dan

yang paling penting adalah orang yang diinginkan ibu untuk mendampingi ibu

selama proses persalinan.

5. Persiapan persalinan : persiapan persalinan tidak menjamin persalinan akan

berlangsung tanpa nyeri. Namun, persiapan persalinan diperlukan untuk

mengurangi perasaan cemas dan takut akan nyeri persalinan sehingga ibu dapat

memilih berbagai tehnik atau metode latihan agar ibu dapat mengatasi

ketakutannya.

Faktor lain dapat memengaruhi persepsi tentang nyeri persalinan. Usia,

dengan berbagai variabel sosialnya, dapat meningkatkan insiden dan beratnya nyeri.

Anak yang sangat muda dan ibu yang tua mengeluh tingkat nyeri persalinan yang

lebih tinggi. Paritas dapat memengaruhi persepsi, primipara mengalami nyeri yang

lebih besar pada awal persalinan, sedangkan multipara mengalami peningkatan

tingkat nyeri setelah proses persalinan dengan penurunan cepat pada persalinan kala

dua. Telah diketahui bahwa wanita yang mempunyai pelvis kecil, berat badan lebih

tinggi dari tinggi badannya, bayi besar, atau bayi dalam presentasi abnormal

mengeluh tingkat nyeri yang lebih tinggi. Juga terbukti bahwa wanita yang

mempunyai riwayat dismenorhoe dapat mengalami peningkatan persepsi nyeri,

kemungkinan karena produksi kelebihan prostaglandin. Waktu melahirkan juga telah

ditemukan berkaitan dengan beratnya nyeri persalinan, terutama peringkat nyeri lebih

rendah terlihat pada masa persalinan kala kedua yang terjadi malam hari (Harkness

dan Gijsbers, 1989 dalam Walsh, 2007).


2.3.5. Penatalaksanaan Nyeri Persalinan

Menurut Mander (2004) bahwa penatalaksanaan nyeri ada dua yaitu secara

farmakologis dan non farmakologis :

1. Metode Farmakologis

Metode farmakologis pada nyeri persalinan meliputi analgesia yang dapat

menurunkan dan mengurangi rasa nyeri dan anastesi yang menghilangkan sensasi

bagian tubuh baik parsial maupun total menurut Pilliteri (2003) dalam Budiarti

(2011). Penatalaksanaan nyeri secara farmakologis pada ibu ini diupayakan dapat

menimbulkan efek yang seminimal mungkin bagi ibu, kontraksi uterus, kekuatan ibu

mendorong dan juga pada janinnya dapat mengurangi nyeri persalinan secara efektif

dengan memberikan sensasi rasa nyeri yang minimal, rasa nyaman dan rileks.

Menurut Judha, dkk (2012) untuk mengurangi rasa nyeri persalinan dengan

menggunakan metode farmakologis dapat memilih jenis obat yang digunakan antara

lain:

a. Analgesia narkotik (mereperidine, nalbuphine, butorphanol, morfin sulfate

fentanyln)

b. Analgesia regional (epidural, spinal dan kombinasinya)

c. ILA (Intrathecal Labor Analgesia)

2. Metode non farmakologis

Metode hipnosis dimasukkan kedalam metode non farmakologis. Hipnosis

termasuk kedalam katagori Complementary Alternative Therapies (CAT) kognitif

yang bekerja terutama pada kortek serebral otak, bagian berfikir pada otak, dan sistim
limbik bagian emosional otak yang bertugas untuk melakukan komunikasi dengan

bagian tubuh lain seperti hipotalamus dan sistem saraf simpatis dan para simpatis.

Kelenjar hipofisis yang melekat pada hipotalamus mengeluarkan hormon yang

mampu mengontrol fungsi vital. Kelenjar hipofisis menghasilkan hormon yang dapat

digunakan untuk beradaptasi terhadap stres (Potter & Perry, 2010)

Metode non farmakologis untuk menurunkan nyeri persalinan yang dapat

dilakukan oleh perawat antara lain dengan relaksasi, tehnik pernafasan, fokus

perhatian, latihan fisik, musik, dukungan dan informasi, stimulasi cutaneus, message,

accupresure, acupuntur dan TENS (transcutaneous electrical nerve stimulation)

(Yerbi, 2000). Beberapa metoda lain yang bisa dilakukan antara lain metode Dick-

Read, metoda Lamaze, metoda Bredley, effleurage, dan tekanan sakrum, hidroterapi

jet, kompres hangat atau dingin, hypnosis, yoga, biofeedback, imagery, visualisasi

dan aromaterapi (Bobak, Lawdermilk & Jensen, 2004).

Metode Dick-Read, metoda Lamaze, metoda Bredley merupakan beberapa

metoda yang biasanya diajarkan dalam keas persiapan persalinan. Metode Dick-Read

mengajarkan tehnik mengganti rasa takut tentang hal yang tidak diketahui melalui

pemahaman dan keyakinan dengan pemberian informasi tentang persalinan,

disamping nutrisi, hiegene dan latihan fisik. Latihan-latihan dalam Metode Dick-Read

mengajarkan tiga tehnik yaitu latihan fisik persiapan persalinan, latihan relaksasi dan

latihan pola nafas (Bobak, Lawdermilk & Jensen, 2004).

Metoda Lamaze yang dikenal dengan metode profilaksis mengajarkan ibu

yang bersalin untuk berespon terhadaap kontraksi rahim buatan dengan pengendalian
relaksasi otot dan pernafasan sebagai ganti berteriak dan kehilangan kendali. Metoda

Bradley menekankan pada faktor lingkungan yang nyaman pada ibu bersalin juga

diajarkan tehnik kontrol pernafasan, pernafasan perut dan relaksasi seluruh tubuh

didalam ruangan yang gelap, sendiri dan suasana tenang (Bobak, Lawdermilk &

Jensen, 2004).

Metode non farmakologis dapat diberikan oleh ibu bersalin oleh sebahagian

besar pemberi asuhan kesehatan baik dokter, bidan dan perawat, metode non

farmakologis lebih efektif dibandingkan dengan metode farmakologis, metode

farmakologis lebih mahal dan berpotensi mempunyai efek yang kurang baik, baik itu

bagi ibu maupun pada janin. Sementara metode non farmakologis bersifat murah,

simpel, efektif tanpa efek yang merugikan dan dapat meningkatkan kepuasan selama

persalinan karena ibu dapat mengontrol perasaannya dan kekuatannya

(Maryunani, 2010).

Menurut Reeder (2011) menyatakan bahwa ada tiga sistem pereda nyeri non

farmakologis yaitu :

1. Sistem motivasional afektif : sistem motivasional afektif menyebabkan respons

menjadi fight-or-flight (melawan dan menghindar) terhadap nyeri, sistem pereda

nyeri yang lain tidak akan efektif jika respons fight-or-flight ini tidak ditangani

namun jika ditangani akan muncul respons relaksasi fisiologis yang merupakan

tujuan utama penatalaksanaan nyeri dalam persalinan.

2. Sistem sensori diskriminatif : menurut Hilbers dkk (1986) dalam Reeder (2011)

bahwa untuk mengurangi nyeri dapat menggunakan sistem sensori diskriminatif,


tiga reseptor perifer dapat digunakan yaitu mekano reseptor, termore septor, dan

kemo reseptor. Ketiga reseptor disuplai oleh serabut saraf yang memiliki

kecepatan berbeda dalam konduksi/penghantaran ke korteks. Persepsi nyeri

menurun karena informasi sensori mencapai otak sebelum informasi nyeri. Sistem

sensori diskriminatif yang dapat dilakukan pada ibu bersalin meliputi : pengaturan

posisi pada ibu, stimulasi kutaneus, panas dan dingin, masase, effleurage, TENS

(Transcutaneous Electric Nerve Stimulation), acupressure, sentuhan terapeutik.

3. Sistem kognitif evaluative : menurut Turner dkk (1990) dalam Reeder (2011)

bahwa penggunaan strategi kognitif evaluatif merupakan pembelajaran respons

perilaku yang baru terhadap nyeri dan stress dapat memberi wanita rasa memiliki

kemampuan untuk mengendalikan nyeri dan menurunkan emosi, pikiran dan

penilaian negatif terhadap nyeri, pada akhirnya rasa ini dapat mengurangi nyeri,

penderitaan dan perilaku nyeri. sistem kognitif evaluatif ini dapat dilakukan

dengan tehnik pernafasan, memusatkan perhatian, imajinasi, pergerakan fisik

yang berpola, bimbingan verbal, distraksi, hypnosis.

2.4. Hypnobirthing

2.4.1. Pengertian Hypnobirthing

Menurut Maryunani (2010) hipnosis adalah suatu proses sederhana agar diri

kita berada pada kondisi rileks, tenang, dan berfokus guna mencapai suatu hasil dan

tujuan, dimana subjek melakukan apa saja yang diperintahkan oleh penghipnosis.

Hipnoterapi telah didefinisikan sebagai penggunaan tehnik hipnosis yang


menyebabkan keadaan seperti tidak sadar yang tunduk dan dapat dipengaruhi dalam

terapi kondisi dengan menggunakan komponen psikologis yang besar.

Hypnobirthing sering disebut juga dengan hipnosis persalinan, yaitu upaya

penggunaan hipnosis dalam persalinan untuk memperoleh persalinan yang lancar,

aman dan nyaman. Hypnobirthing merupakan metode relaksasi yang mendasarkan

pada keyakinan bahwa ibu hamil bisa mengalami persalinan dan memberikan sugesti

bahwa persalinan itu nikmat dan tanpa rasa sakit (Maryunani, 2010).

Menurut Kuswandi (2011) hypnobirthing berasal dari kata ”hypnosis” dan

“birthing”. Hypnosis yang berasal dari kata hypnos (bahasa Yunani) adalah nama

dewa tidur. Arti tidur disini adalah pikiran yang tenang, sedangkan“birthing”(bahasa

Inggris) yang berarti proses kehamilan sampai melahirkan. Hypnobirthing merupakan

salah satu tehnik otohipnosis (self hypnosis), upaya alami menanamkan niat

positif/sugesti ke jiwa atau pikiran bawah sadar dan menjalani masa kehamilan dan

persiapan persalinan. Dengan demikian ibu hamil dapat menikmati indahnya masa

kehamilan dan lancarnya proses persalinan. Hypnobirthing merupakan sugesti yang

dilakukan pada ibu hamil dengan cara mengusap bagian bawah payudaranya hingga

perut, terlebih saat bayinya bergerak-gerak sambil mengucapkan kalimat-kalimat

positif yang dapat membangun kecerdasan otak pada anak.

Proses persalinan hypnobirthing adalah sebuah cara persalinan normal dengan

cara menghipnotis ibu agar tetap rileks dan nyaman. Seseorang dalam kondisi

dihipnotis tentu akan tampak seperti orang yang sedang tidur, tetapi tetap mendengar,

sehingga seluruh otot tubuhnya menjadi rileks dan pembukaan mulut rahimnya
menjadi lancar. Pada saat pembukaan lengkap, ibu dianjurkan untuk membuka

matanya dan mengejan (Kuswandi, 2011).

Hipnobirthing merupakan termasuk kedalam metoda hypnoterapi yaitu

menggunakan metoda hypnosis untuk tujuan terapi. Hypnoterapi didalamnya

termasuk dalam metode hypnosis diri (self hypnosis) karena menggunakan diri sendiri

sebagai subjek dan objek dalam melakukan hypnosis. Hypnosis diri adalah suatu

proses sederhana agar kita berada dalam kondisi rileks, tenang dan berfokus guna

mencapai suatu hasil atau tujuan tertentu (Kahija, 2007).

Hypnobirthing adalah suatu metoda melahirkan yang bisa digunakan untuk

mengurangi rasa sakit dan nyeri pada waktu mau melahirkan. Beberapa rumah sakit

ternama sudah melengkapi dengan melahirkan metode hypnobirthing ini.

Hypnobirthing merupakan tehnik melahirkan yang alami dengan cara relaksasi secara

mendalam, mengatur pola nafas dengan pelan seta cara untuk melepaskan endhorfin

dari dalam tubuh (Kuswandi, 2011)

Metode hypnobirthing didasarkan pada keyakinan bahwa setiap perempuan

memiliki potensi untuk menjalani proses melahirkan secara alami, tenang, dan

nyaman (tanpa rasa sakit). Program ini mengajarkan ibu hamil untuk menyatu dengan

gerak dan ritme tubuh yang alami saat menjalani proses melahirkan, membiarkan

tubuh dan pikiran untuk bekerja, serta meyakini bahwa tubuh mampu berfungsi

sebagaimana seharusnya hingga rasa sakit menghilang (Kuswandi, 2011).

Melakukan latihan hypnobirthing sedari awal kehamilan juga sangat bisa

membantu, bahkan sebelum hamil bisa juga melakukan latihannya. Jika secara medis
sang ibu memang tidak bisa melahirkan normal dan harus dilakukan caesar maka

latihan hypnobirthing yang dilakukan tetap dapat memberi manfaat. Sang ibu

mempunyai kepercayaan diri yang tinggi dan kesiapan diri yang lebih baik dari pada

yang tidak melakukan hypnobirthing. Selain itu hypnobirthing mampu melancarkan

air susu ibu (ASI) bagi ibu setelah melahirkan, menjaga agar tidak mengalami baby

blues, memiliki bayi yang sehat secara fisik dan jiwa, mengontrol emosi agar

terhindar dari stres, serta menjaga diri dari ketakutan dalam kehidupan sehari-hari

agar terhindar dari depresi. Semua itu didasari dengan pengendalian pikiran negatif

yang dapat membuat tubuh menjadi sakit serta lebih mengembangkan pikiran yang

positif akan berdampak positif bagi tubuh (Aprilia, 2010).

Menurut Kuswandi (2011) ada empat cara untuk melakukan metode

hypnobirthing antara lain yaitu :

1. Relaksasi otot : otot adalah bagian yang paling luas di tubuh manusia dan banyak

digunakan untuk beraktifitas. Cara melakukan relaksasi otot adalah : berbaring

santai, lengan disamping kanan dan kiri, telapak kanan menghadap keatas. Lalu

tegangkan telapak kaki hingga merambat ke betis, pinggul, dan dada. Pundak

ditarik ke atas dan kedua telapak kanan dikepal kuat-kuat.

2. Relaksasi wajah : mencapai relaksasi wajah yang dalam sangat penting karena

akan membuat bagian tubuh yang lain lebih mudah mengikuti. Setelah menguasai

seni relaksasi wajah, rahang akan benar-benar rileks dengan mulut sedikit

terbuka. Biarkan kedua kelopak mata pelan-pelan menutup, pusatkan perhatian


pada otot-otot di dalam dan sekitar mata dengan membiarkan rahang bagian

bawah sedikit rileks.

3. Rileksasi pernafasan : perhatikan nafas yang keluar dan masuk lewat hidung.

Nafas yang rileks adalah nafas perut yang lambat dan teratur. Perlahan-lahan

hirup nafas yang dalam lewat hidung. Hitung 10 kali hitungan. Selanjutnya,

hembuskan lewat hidung secara perlahan sambil diniatkan : “Setiap hembusan

nafas membuat diri saya semakin tenang”.

4. Relaksasi pikiran : karena getaran pikiran sangat ringan, pikiran perlu dilatih agar

dapat mencapai ketenangan. Maka langkah ini diwakili oleh indra mata. Setelah

mata terpejam sejenak, buka mata perlahan-lahan sambil memandang satu titik

tepat di atas mata, makin lama, kelopak mata makin rileks, berkedip, dan hitungan

kelima mata akan menutup. Jika ada pikiran yang datang, sementara biarkan saja,

tetap pusatkan perhatian pada satu titik yang diatas.

Pada saat ketiga unsur jiwa (perasaan, kemauan dan pikiran) dan raga

istirahat, masukkan program positif yang akan terekam dalam alam bawah sadar.

contoh program positif, “Saya dan janin di dalam kandungan akan tumbuh sehat dan

saat persalinan akan menghadapinya dengan tenang (Kuswandi, 2011).

2.4.2. Manfaat Hypnobirthing

1. Untuk ibu hamil, adalah : mengurangi rasa sakit, mengurangi kemungkinan

adanya komplikasi kehamilan, persalinan akan relatif lebih cepat, mengurangi

kemungkinan dilakukan episiotomi, ibu akan lebih merasakan ikatan batin dan

emosi terhadap janin, ibu merasakan ketenangan dan kenyamanan proses


melahirkan, ibu akan lebih dapat mengontrol emosi dan perasaannya, mencegah

kelelahan yang berlebih saat melakukan proses persalinan, bayi yang lahir tidak

akan kekurangan oksigen sehingga menjadi lebih sehat (Chandyy, 2011)

2. Untuk janin : ada dua keuntungan yang dapat dirasakan oleh janin ketika ibu

hamil mengikuti proses hypnobirthing, yaitu : getaran tenang dan damai juga akan

dirasakan oleh janin yang merupakan dasar dari perkembangan jiwanya (spiritual

quotient), pertumbuhan janin lebih sehat karena keadaan tenang akan memberikan

hormon-hormon yang seimbang kejanin melalui plasenta.

3. Untuk suami : ada pun manfaat hypnobirthing, bagi suami adalah : menjadi lebih

tenang dalam mendampingi proses persalinan, emosi suami akan menjadi lebih

stabil dalam kehidupan sehari-hari, memperbaiki dan memperkuat hubungan dan

ikatan batin antara istri, suami, serta janin yang dikandung, aura positif dan

tenang yang dimiliki suami/pendamping persalinan akan mempengaruhi aura ibu

yang bersalin dan orang-orang disekitarnya (Aprillia. 2010)

4. Untuk Bidan dan Dokter : Hypnobirthing juga mempunyai keuntungan bagi para

tenaga kesehatan terlebih bidan atau dokter, diantaranya : dapat lebih fokus dan

tenang dalam menghadapi ibu bersalin yang emosinya labil, bidan dan dokter

menjadi lebih tenang dalam membantu pertolongan proses persalinan, aura positif

dan tenang yang dimiliki oleh bidan/dokter sangat mempengaruhi aura ibu

bersalin dan orang-orang disekitarnya, dapat menjadi program unggulan dari

pelayanan BPS/RS/RB, bidan/dokter memiliki kompetensi, serta bidan/dokter


dapat melakukan tindakan medis ringan/sedang kepada klien tanpa mengurangi

rasa nyaman klien (Aprillia. 2010).

2.4.3. Hubungan Hipnobirthing, Nyeri Persalinan dan Nilai APGAR

Nyeri merupakan salah satu fungsi biologis yang memberi tanda akan

datangnya terminasi kehamilan atau persalinan pada ibu hamil. Namun nyeri yang

hebat dapat membahayakan ibu dan janin akibat respon sistem organ tubuh terhadap

nyeri. Hipnobirthing dapat mengubah respon yang sangat membahayakan ibu dan

janin tersebut menjadi bahkan menghasilkan kondisi yang menguntungkan bagi ibu

dan bayi.

Menurut Bobak (2005) nyeri yang menyertai kontraksi uterus akan

mempengaruhi mekanisme sejumlah sistem tubuh yang pada akhirnya akan

menyebabkan respons stress fisiologis yang umum dan menyeluruh. Nyeri persalinan

yang berat dan lama akan mempengaruhi ventilasi, sirkulasi, metabolisme dan

aktivitas uterus. Selain menyebabkan respons stress fisiologis, nyeri juga dapat

menimbulkan respons perilaku yang dapat diamati dan divokalisasi, ekspresi wajah,

gerakan tubuh dan gangguan dalam interaksi sosial. Antara lain respon fisiologi nyeri

persalinan adalah :

1. Ventilasi

Nyeri yang menyertai kontraksi uterus menyebabkan hiperventilasi

dengan frekuensi pernafasan tercatat 60 sampai 70 kali per menit. Disamping itu,

ketidak nyamanan ibu selama proses persalinan yang menyebabkan pola

pernafasan tidak teratur juga berpengaruh terhadap pertukaran serta transpor O2


dari ibu ke janin. Sehingga terdapat gangguan dalam persediaan O2 dalam

menghilangkan CO2, yang menyebabkan deselerasi lambat dan denyut jantung

janin. Ketika wanita bersalin menggunakan pernafasan juga akan meningkatkan

ventilasi. Hal ini akan mempengaruhi keseimbangan asam-basa yang

menghasilkan PH 7,5 dan di atas 7,5. Bahaya nyata alkalosis selama persalinan

adalah transfer oksigen bagi janin. Alkalosis juga menginduksi vasokontriksi

uterus, memperlama persalinan dan alkalosi yang semakin buruk.

2. Fungsi kardiovaskuler

Nyeri persalinan menyebabkan curah jantung menjadi meningkat.

Peningkatan tersebut dapat sebesar 15 sampai 20% diatas curah jantung sebelum

persalinan selama awal kala I dan sebesar 45-50% selama kala II. Diperkirakan

bahwa setiap kontraksi uterus akan meningkatkan curah jantung 20-30% lebih

tinggi daripada saat relaksasi uterus. Peningkatan curah jantung sebagaian

diakibatkan oleh fakta bahwa setiap kontraksi, kurang lebih 250-300 ml darah

dialirkan dari uterus ke dalam sirkulasi maternal. Juga dimungkinkan bahwa

peningkatan aktivitas simpatis akibat nyeri persalinan, kecemasan dan ketakutan

mungkin bertanggung jawab dalam peningkatan curah jantung bersamaan dengan

makin majunya persalinan. Nyeri akibat kontraksi uterus juga menyebabkan

peningkatan tekanan darah, baik sistolik mupun diastolik. Peningkatan curah

jantung dan tekanan darah sistolik yang menyertai persalinan secara umum tidak

menyebabkan bahaya yang besar bagi wanita hamil yang sehat. Namun, hal ini
akan meningkatkan resiko wanita yang menderita penyakit jantung pre-eklamsi

atau hipertensi.

3. Efek metabolik

Peningkatan aktivitas simpatik yang disebabkan nyeri persalinan dan

meningkatkan peningkatan metabolisme dan konsumsi oksigen serta penurunan

mortalitas saluran cerna dan kandung kemih. Nyeri dan kecemasan yang

menyertai persalinan dapat menyebabkan kelambatan pengosongan lambung

(Nimmo dkk, 1975;1977 dalam Mander, 2004). Peningkatan konsumsi oksigen,

kehilangan natrium bikarbonat melalui ginjal untuk mengompensasi alkalosis

respiratorik yang disebabkan nyeri persalinan dan sering penurunan asupan

karbohidrat. (akibat kebijakan restriksi diet selama persalinan) semuanya

berperan dalam status asidosis metabolik yang kemudian juga akan dialami janin.

4. Efek endokrin

Stress yang disebabkan oleh nyeri persalinan telah dikaitkan dengan

peningkatan pelepasan katekolamin maternal yang akan menyebabkan penurunan

aliran darah uterus. Bukti peningkatan kadar adrenalin/noradrenalin selama

persalinan telah dilaporkan oleh Ledermann dkk (1997). Salah satu efek samping

peningkatan kadar adrenalin adalah penurunan aktivitas uterus yang dapat

menyebabkan persalinan membutuhkan waktu lama. Dalam kasus ini, dicatat

adanya pola denyut jantung janin abnormal dan nilai APGAR yang rendah pada

menit 1 dan 5 setelah lahir. Ketika gawat maternal dan nafas juga terjadi secara

bersama sama atau adanya tanda-tanda gawat janin, perubahan endokrin dan
metabolic yang diinduksi oleh nyeri persalinan dapat membahayakan kesehatan

ibu dan janin.

5. Efek hormonal lain

Nyeri dan faktor yang berkaitan dengan stress diketahui mempengaruhi

pelepasan hormon, misalnya beta endorphin, beta liprotropin, dan hormon adeno

kortikotropik (ACTH). Hormon-hormon ini terjadi peningkatan selama persalinan

yang berat.

6. Aktivitas uterus

Nyeri persalinan dapat mempengaruhi kontraksi uterus melalui sekresi

kadar katekolamin dan kortisol yang meningkat dan akibatnya mempengaruhi

durasi persalinan. Noradrenalin, misalnya telah menunjukkan meningkatkan

aktivitas uterus sedangkan adrenalin dan kortisol menyebabkan penurunan

aktivitas yang akan menyebabkan persalinan lama. Nyeri juga mempengaruhi

aktivitas uterus yang tidak terkoordinasi yang akan menyebabkan persalinan

lama. Di bawah ini adalah diagram yang menggambarkan perubahan fisiologis

yang menyertai nyeri bersalin.

Hypnobirthing banyak memberikan manfaat karena melatih ibu hamil untuk

selalu rileks, bersikap tenang dan menstabilkan emosi. Hypnobirthing merupakan

perkembangan dari hipnosis. Jadi ide dasar dari hypnobirthing ini sebenarnya adalah

relaksasi. Melalui relaksasi ibu akan belajar berkonsentrasi, agar hanya memikirkan

hal-hal positif serta proses persalinan yang berjalan lancar tanpa rasa sakit, serta rasa

bahagia ibu menyambut kedatangan buah hati (Indivara, 2009).


Endorfin merupakan substansi seperti morfin yang di produksi oleh tubuh

(termasuk zat kimia endogen) dan mempunyai konsentrasi kuat dalam sistem syaraf.

Endorfin ini berfungsi sebagai inhibitor terhadap transmisi nyeri dengan memblok

transmisi impuls dalam otak dan medulla spinalis. Sel-sel inhibitori dalam karnu

dorsalis medulla spinalis menghasilkan endorphin yang akan menghambat transmisi

nyeri dan efektifitasnya bisa dipengaruhi oleh distraksi (Maryunani, 2010).

2.5. Landasan Teori

Menurut Wijanksastro (2009) faktor-faktor yang dapat menyebabkan nilai

APGAR rendah (asfiksia neonatorum) adalah sebagai berikut : 1) Faktor ibu :

hipoksia ibu, umur ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, gravida lebih

dari 4, sosial ekonomi rendah, penyakit pembuluh darah yang mengganggu

pertukaran dan pengangkutan oksigen antara lain hipertensi, hipotensi, gangguan

kontraksi uterus dan lain-lain. 2) Faktor plasenta : plasenta yang tipis, kecil, tidak

menempel sempurna, solusio plasenta dan plasenta previa. 3) Faktor janin : prematur

(BBLR), IUGR, gemeli, tali pusat menumbung, kelainan congenital dan lain-lain.

4) Faktor persalinan : Faktor persalinan juga turut meningkatkan kejadian asfiksia

seperti partus lama dan partus dengan tindakan. Nilai APGAR yang rendah erat

kaitannya dengan proses persalinan dan pelayanan obstetri.

Persalinan adalah akhir kehamilan yang terdiri dari serangkaian proses dimana

terjadi kontraksi uterus dan tekanan abdominal untuk mengeluarkan fetus/janin dan

plasenta dari dalam uterus melalui jalan lahir dari tubuh wanita. Proses ini berawal
dari pembukaan dan dilatasi serviks sebagai akibat kontraksi uterus dengan frekuensi,

durasi, dan kekuatan yang teratur. Sehingga proses - proses didalam persalinan

tersebut akan menyebabkan nyeri persalinan. Nyeri merupakan salah satu fungsi

biologis yang memberi tanda akan datangnya terminasi kehamilan atau persalinan

pada ibu hamil (Bobak, Lawdermilk, 2004).

Menurut defenisi dari International Association of Pain (2007) nyeri

merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan dan memengaruhi mental

emosional seseorang yang disertai dengan kerusakan jaringan, salah satu sakit yang

paling berat dialami oleh manusia adalah nyeri persalinan. Selama persalinan rasa

sakit yang berlebihan menyebabkan ketakutan dan kecemasan. Ini merangsang sistem

saraf simpatik untuk meningkatkan sekresi katekolamin yang mengarah kepada

meningkatnya tekanan darah. Hal ini akan lebih memperberat rasa sakit, dan

berpotensi memperpanjang proses persalinan. Selain itu, dapat mengakibatkan

terjadinya komplikasi pada janin meliputi posisi janin, gangguan sirkulasi oksigen ke

janin, nilai APGAR rendah dan akhirnya dapat menyebabkan kematian.

Menurut Judha, dkk (2012) metode yang dapat mengatasi nyeri persalinan ada

dua yaitu metode farmakologis dan metode non farmakologis. Salah satu metode non

farmakologis yang dapat mengurangi terjadinya nyeri persalinan adalah

hipnobirthing. Hipnobirthing akan membuat ibu menjadi tenang sehingga dapat

merangsang peningkatan hormon endorphin yang merupakan substansi sejenis morfin

yang disuplai oleh tubuh, sehingga sensasi nyeri menjadi berkurang.


Faktor Ibu

Faktor Plasenta Nilai Apgar

Faktor Janin

Faktor Persalinan

Mengurangi
Nyeri Persalinan

Metode Metode non


Farmakologis farmakologis
- Analgesia - Hipnoterapi
Narkotik
- Kompres
- Analgesia
hangat&dingin
Regional

- ILA - Tekanan
Sakrum dll

Gambar 2.5. Kerangka Teori Penelitian Menurut Wijanksastro (2009),


Judha (2012)

2.6. Kerangka Konsep

Kerangka konsep dibuat untuk memberikan arah atau gambaran alur

penelitian yang dikembangkan berdasarkan kerangka teori dari hubungan variabel

yang diteliti. Pada penelitian ini tidak semua variabel akan diteliti, tetapi peneliti

memilih variabel yang memungkinkan untuk dilakukan penelitian, karena

keterbatasan dalam masalah dana, waktu, dan tenaga.


Variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini meliputi variabel independen,

variabel dependen. Varabel independen dalam penelitian ini adalah ibu inpartu yang

diberikan hipnobirthing dan tanpa hipnobirthing dan variabel dependennya adalah

nilai APGAR1 dan nilai APGAR 2.

Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka di atas, maka dapat diketahui

kerangka konsep penelitian ini adalah :

Variabel Independen Variabel Dependen

Nilai Apgar 1
Ibu hamil inpartu
 Hipnobirthing
 Tidak hipnobirthing Nilai Apgar 2

Gambar 2.6. Kerangka Konsep Penelitian

Vous aimerez peut-être aussi