Vous êtes sur la page 1sur 20

BAB I

PENDAHULUAN

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn Asep
Umur : 53 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Status perkawinan : Kawin
Pendidikan : SMA
Agama : Islam
Alamat : Desa Padamulya
Tanggal masuk : 28 Januari 2014

II. ANAMNESA

Keluhan Utama

Nyeri perut kanan bawah.

Riwayat Penyakit Sekarang

Os datang ke IGD RSUD 45 Kuningan tanggal 28 Januari 2014, pukul


19.45 wib dengan keluhan nyeri perut kanan bawah. Nyeri Os rasakan sejak 4
hari SMRS. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk. Nyeri hilang timbul. Nyeri
timbul tiba-tiba saat Os sedang beraktivitas. Os hanya berbaring dan menekuk
tubuhnya untuk mengurangi rasa nyeri yang Os rasakan. Os mengaku nyeri
awalnya dirasakan di ulu hati dan kemudian berpindah ke perut kanan bawah.

1
Os mengeluh adanya mual tanpa disertai muntah sejak 2 hari SMRS.
Nafsu makan Os berkurang sejak keluhan timbul. Os mengeluh adanya demam
sejak 2 hari yang lalu. Demam dirasakan Os terus-menerus.

Selain itu Os juga mengeluh BAB tidak lancar sejak 4 hari SMRS. BAB
tidak teratur, kadang-kadang 2 hari sekali, BAB seperti kotoran kambing (-), BAB
bercampur darah (-). BAK dirasakan Os normal, tidak terasa nyeri, tidak
tersendat-sendat, tidak keluar pasir atau batu, tidak keluar darah. Tidak ada
riwayat trauma.

Riwayat Penyakit Sebelumnya

Sebelumnya Os tidak pernah mengalami keluhan yang sama.

Riwayat Pengobatan
Os menceritakan bahwa keluhan yang dialami Os sekarang ini belum pernah
diobati sebelumnya.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Kesadaran umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

A. Tanda Vital
 Tekanan darah : 130/80 mmHg
 HR : 90 x/menit
 RR : 24 x/menit
 Suhu : 38,6 °C

2
B. Pemeriksaan Fisik Umum

a. Kepala-leher
Kepala : Normochepali
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : Pembesaran KGB (-), peningkatan JVP (-)

b. Thorax
Inspeksi : Bentuk dada simetris, jejas (-)
Palpasi : Gerakan dinding dada simetris, vocal fremitus +/+
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler, suara tambahan (-)

c. Abdomen
Inspeksi : Distensi (-), jejas (-), hiperemis (-),
Auskultasi : BU (+) normal
Palpasi : Defans muskular (-), nyeri tekan (+) perut kanan bawah,
hepar dan lien tidak teraba

d. Extremitas
Atas : deformitas -/-, edema -/-, akral hangat
Bawah : deformitas -/-, edema -/-, akral hangat

Status Lokalis

Abdomen

Inspeksi : Distensi (-), simetris

Auskultasi : BU (+) normal

Palpasi : Nyeri tekan titik Mc. Burney (+), rovsing sign (+), psoas
sign (-), abturator sign (-).

3
IV. USULAN PEMERIKSAAN

- Laboratorium darah lengkap


- Foto thorax
- Foto polos abdomen

Hasil pemeriksaan darah rutin :

 Hb : 11,4 g/dl (13-17 g/dl)


 Leukosit : 6.900/mm3 (4000/10000/mm3)
 Ht : 32,6/mm3 (40-48/mm3)
 Trombosit : 152000/mm3 (150000-450000/mm3)

V. DIAGNOSA BANDING

 Appendisitis akut
 Divertikulitis meckel
VI. DIAGNOSA KERJA
 Appendisitis Akut

VII. PENATALAKSANAAN

Appendiktomy

4
VIII. PROGNOSIS

 Quo ad vitam : ad bonam


 Quo ad fungsionam : ad bonam

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI

Secara embriologis, apendiks pertama kali terlihat pada umur 8 bulan


embrio sebagai tonjolan dari ujung terminal caecum. Dasar dari apendiks adalah
pada ujung terminal dari caecum sedangkan ujungnya dapat bervariasi letaknya.
Letak ujung apendiks dapat ditemukan pada retrocecal, pelvis, subcecal, preileal,
atau pericolic kanan. Posisi yang bervariasi ini harus menjadi perhatian khusus
dari ahli bedah karena dapat menyebabkan variasi dari gejala klinisnya.

Apendiks dapat diidentifikasi dasarnya dari pertemuan 3 taenia coli pada


caecum. Apendiks atau umbai cacing berukuran rata-rata 5-8 cm atau dapat
bervariasi antara 1 – 30 cm. Perdarahan apendiks disuplai oleh arteri iliocolica,
cabang dari arteri mesenterica superior. Appendiks dipersyarafi oleh segmen T10
dari medula spinalis yang juga mempersyarafi kulit daerah umbilicus.

6
B. FISIOLOGI

Sampai saat ini, tidak diketahui apa fungsi dari apendiks. Hanya diketahui
bahwa apendiks adalah organ imunologis yang belakangan diketahui bahwa
apendiks mensekresikan imunoglobulin, terutama IgA. Namun demikian,
walaupun apendiks adalah organ Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT)
sistem, namun fungsinya dalam sistem imun tidak esensial sehingga apendektomi
tidak mempengaruhi sistem imun.

C. SEJARAH

Operasi apendektomi pertama di dunia dilakukan oleh Claudius Amyand,


saat mengoperasi seorang anak 11 tahun dengan hernia dan fistula. Dia
menemukan apendiks yang meradang pada kantung hernia dan berhasil
mengangkatnya dan melakukan repair pada hernia tersebut. Orang yang pertama
kali mempublikasikan pengobatan bedah apendektomi pada apendisitis adalah
Kronlein (1886) walaupun pasien meninggal pada hari kedua.

Kontributor terbesar pada apendisitis adalah Charles McBurney. Karya


ilmiahnya di new york medical journal menyebutkan titik mcburney sebagai
punctum maksimum nyeri yang dapat ditunjuk dengan jari pada jarak 1/3 garis
imajiner yang ditarik dari Spina Iliaca Anterior Superior dan umbilicus. Lima
tahun kemudian dia memperkenalkan muscle-splitting incision yang sampai
sekarang masih dipakai.

D. INSIDENSI

Apendicitis adalah kasus bedah akut yang banyak ditemui. Insidensinya


sesuai dengan perkembangan jaringan limfoid tersebut dengan insiden puncak
pada dewasa muda. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan dari 2000 orang
adalah 1,3:1. 84% dari apendektomi adalah operasi akut. Sedangkan apendektomi

7
elektif sebesar 16% dengan perempuan 68% dari pasien apendektomi yang
mempunyai apendiks normal.

E. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Sumbatan atau obstruksi dari lumen apendiks adalah factor penyebab


paling utama dari suatu apendisitis akut. Etiologi yang paling sering adalah
sumbatan karena fecalith (sumbatan feses). Sebab lain adalah hipertrofi dari
jaringan limfoid, barium yang tertinggal setelah pemeriksaan radiologis, tumor,
serat sayuran dan buah-buahan dan parasit intestinal terutama ascariasis.

Fecalith ditemukan pada 40% kasus apendisitis simple, 65 % pada kasus


apendisitis gangrenosa tanpa perforasi dan hampir 90% pada kasus apendisitis
gangrenosa dengan perforasi.

Patogenesis dari obstruksi pada apendisitis akut adalah sebagai berikut.


Obstruksi local pada segmen apendiks adalah akibat penyumbatan proksimalnya.
Sementara itu fungsi sekresi mukosa apendiks terus berjalan seperti normal yang
mengakibatkan distensi. Kapasitas lumen apendiks adalah 0,1 mL. Sekresi dari
cairan sebesar 0,5 mL akan meningkatkan tekanan intralumen sebesar 60
cmH2O. Distensi ini berlangsung terus menerus yang akan merangsang ujung
syaraf aferen visceral menghasilkan nyeri yang tumpul, difus pada abdomen
bagian tengah atau umbilikalis. Peristaltik juga dirangsang oleh distensi yang
mendadak ini dan menghasilkan gejala tidak enak diperut yang berbarengan
dengan nyeri visceral. Kemudian distensi berlanjut, ditambah dengan
perkembangbiakan bakteri usus yang cepat. Distensi makin berat,venous pressure
meningkat berlebihan sehingga kapiler dan vena menutup tapi darah arteri tetap
mengalir, menghasilkan peradangan dan pelebaran pembuluh darah. Distensi yang
berat ini menimbulkan refleks mual dan muntah. Nyeri visceral yang difus di
apendiks semakin berat, dan proses peradangan mengenai tunika serosa apendiks
dan merangsang peritoneum parietalis menghasilkan nyeri apendisitis di kuadran
kanan bawah abdomen.

8
Mukosa saluran gastrointestinal termasuk apendiks, sangat rentan dengan
gangguan peredaran darah. Dengan adanya gangguan aliran darah pada apendisitis
akut, daerah yang paling miskin aliran darah akan mudah terjadi infark, yaitu
perbatasan antimesenterik. Distensi, invasi bakteri, suplai darah yang berkurang,
pembentukan infark, bila semua hal ini terus terjadi, maka akan terjadi perforasi.
Daerah yang paling sering terkena perforasi adalah daerah perbatasan
antimesenterik sesuai dengan perdarahannya yang relatif lebih sedikit dari yang
lain, terutama daerah diatas segmen yang tersumbat.

Bakteriologi
Bakteriologis pada apendiks normal mirip dengan colon normal.
Mikroorganisme yang banyak ditemukan pada apendisitis akut ,dan pada
apendisitis dengan perforasi adalah Escherichia coli dan Bacteroides fragilis.
Namun demikian, apendisitis adalah infeksi polimikrobial. Kultur intraperitoneal
pada pasien dengan apendisitis masih dipertanyakan kegunaannya, karena begitu
hasil kultur keluar, biasanya pasien telah sembuh dari penyakitnya. Kultur harus
dilakukan pada pasien-pasien dengan imunosupressed, dan pasien yang mendapat
abses dari penyakitnya. Pemberian antibiotik pada apendisitis tanpa perforasi
dibatasi hanya 24 s.d 48 jam. Pada apendisitis dengan perforasi, pemberian

9
antibiotika direkomendasikan untuk diberikan selama 7 s.d 10 hari. Antibiotik i.v
diberikan sampai leukosit normal dan pasien bebas panas selama 1 hari.

F. MANIFESTASI KLINIK

Nyeri perut adalah gejala utama dari apendisitis akut. Gejala klasiknya
adalah nyeri yang awalnya terpusat di lower epigastrium atau area umbilicalis
yang agak berat dan terus menerus. Kadang ditambah dengan gejala seperti kram
perut. Setelah 1 – 12 jam (biasanya 4-6 jam), nyeri terlokalisir di perut kanan
bawah. Pada beberapa pasien, nyerinya berawal di perut kanan bawah dan tidak
berpindah lagi. Variasi dari lokasi anatomi apendiks dapat memberikan variasi
gejalanya. Contoh, apendiks panjang dengan radang di ujungnya yang terletak di
perut kiri bawah akan menyebabkan nyeri di daerah tersebut; apendiks dengan
letak retrocaecal dapat menyebabkan nyeri pinggang atau back pain; Apendiks
yang terletak di pelvis menyebabkan nyeri suprapubic; apendiks dengan letak
retroileal dapat menyebabkan nyeri testis, yang mungkin disebabkan dari iritasi
arteri spermatica dan ureter. Kelainan malrotasi dari usus juga dapat menyebabkan
variasi dalam pola nyeri.

Anorexia hampir selalu terdapat dalam kasus apendisitis. Karena itu bila
gejala ini tidak ditemukan maka diagnosis apendisitis patut dipertanyakan. Gejala
muntah terdapat dalam 75 % pasien, kebanyakan hanya muntah 1 – 2 kali
saja.Muntah disebabkan oleh stimulasi syaraf dan terjadinya ileus.

Kebanyakan pasien mempunyai gangguan dalam defekasi. Obstipasi


terdapat pada kebanyakan pasien pada awal nyeri abdominal, dan banyak yang
mengatakan bahwa defekasi menghilangkan nyeri perut mereka. Diare juga dapat
terjadi terutama pada anak-anak.

10
G. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan yang didapat dari pemeriksaan fisik tergantung pada posisi


anatomis dan keadaan apendiks apakah radang atau sudah terjadi ruptur. Pada
apendisitis yang uncomplicated, peningkatan suhu sangat jarang lebih dari 10C
dan nadi dalam batas normal atau sedikit meningkat. Bila terjadi peningkatan suhu
atau nadi yang lebih besar, maka kemungkinan besar telah terjadi komplikasi atau
diagnosis apendisitis harus dipertanyakan.
Pasien apendisitis biasanya lebih menyukai berbaring dengan kaki kanan
ditekuk, bila diperintahkan untuk bergerak, biasanya pasien akan bergerak dengan
sangat berhati-hati karena nyerinya.
Nyeri tekan di titik mcburney biasanya ada bila apendiks terletak di
anterior. Nyeri lepas juga biasanya terdapat. Mungkin juga didapatkan Rovsing
sign—nyeri di perut kanan bawah bila tekanan palpasi diberikan di perut kiri
bawah—yang mengindikasikan adanya peritonitis. Dapat juga ditemui adanya
hiperestesia pada daerah yang dipersyarafi oleh nervus spinalis T10, T11, dan
T12.
Defanse musculer mungkin didapatkan pada palpasi bila telah terjadi
radang yang hebat. Pada awalnya defanse musculer terjadi karena kontraksi otot
yang disadari penderita, tetapi bila proses radang semakin lanjut, maka kontraksi
otot tersebut tidak lagi disadari oleh penderita.
Variasi anatomis dari apendiks mempengaruhi penemuan pada
pemeriksaan fisik. Dengan apendiks yang terletak retrocaecal, nyeri tekan
terutama dirasakan di daerah pinggan daripada di perut depan. Pada apendiks
dengan letak di pelvis, nyeri tekan tidak didapatkan di perut, karena itu diperlukan
rectal touchee. Saat jari pemeriksa menekan cul-de-sac dari Douglas, maka nyeri
akan terasa pada area suprapubis dan juga pada rectum. Pemeriksaan iritasi otot
lokal dengan Psoas Sign mungkin didapatkan. Psoas sign mengindikasikan adanya
iritasi di proksimal dari otot tersebut. Caranya adalah dengan memerintahkan
pasien untuk berbaring pada sisi kirinya, lalu pemeriksa dengan perlahan
mengekstensikan tungkai kanan penderita yang akan mengkontraksikan
m.iliopsoas. Tes ini positif bila terdapat nyeri. Demikian pula dengan obturator

11
sign, yang dilakukan dengan meregangkan m.obturator internus yang
mengindikasikan adanya peradangan di daerah pelvis. Caranya adalah dengan
melakukan internal rotasi pasif pada tungkai kanan penderita yang berbaring.

H. LABORATORIUM

Leukositosis ringan, mulai 10.000 s.d 18.000/mm3 biasanya ditemukan


pada pasien dengan apendisitis akut tanpa komplikasi. Bila leukositosis menjadi
lebih besar dari 18.000/mm3 maka kemungkinan besar sudah terjadi perforasi
dengan atau tanpa abses. Urinalisa sangat berguna untuk menghilangkan
kecurigaan terhadap infeksi saluran kemih.

12
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan foto polos abdomen tidak banyak membantu untuk proses


diagnosis dari penyakit ini. Tetapi pemeriksaan ini dapat menghilangkan
kecurigaan kelainan lain. Foto Thorax dapat juga menghilangkan kecurigaan
adanya pneumonia pada lobus bawah kanan. Pemeriksaan dengan barium enema
tidak dianjurkan karena dapat mengisi apendiks dan menyebabkan sumbatan bagi
apendiks.
Pemeriksaan yang sangat adianjurkan adalah USG dengan kompresi
bertahap. Dengan kompresi maksimal, apendiks diukur secara anteroposterior.
Hasil disebut positif bila diameter apendiks tanpa kompresi >5 mm. Penemuan
fecalit sangat mendukung diagnosis. Adanya penebalan dinding apendiks dan
adanya cairan peri apendiks sangat mendukung diagnosis apendisitis.
Pemeriksaan ini non-invasif, dapat diperiksa dengan cepat, tidak memerlukan
kontras, dan dapat dilakukan pada penderita dengan kehamilan. Tetapi tehnik ini
sangat operator dependen. False positif dapat terjadi, misalnya tuba falopii yang
melebar dapat disangka apedisitis. Feses yang sedang dicerna dapat diidentifikasi
sebagai fecalit. Dan tehnik ini sangat sulit dilaksanakan pada orang gemuk.
Penelitian membuktikan bahwa USG dengan kompresi bertingkat ini dapat
menurunkan persentase eksplorasi negatif untuk apendektomi dari 37% menjadi
13%. Tapi ada penelitian lain yang menyebutkan bahwa pemeriksaan USG tidak
memberikan kontribusi apapun untuk diagnosis apendisitis.
CT scan juga telah dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis
apendisitis. Dengan CT, apendiks yang meradang (dengan ukuran lukmen >5cm),
penebalan dinding apendiks dapat tervisualisasi. Hal yang paling penting adalah
adanya arrowhead sign. Hal ini disebabkan penebalan caecum. Diantara kebaikan-
kebaikannya, CT-Scan adalah pemeriksaan yang mehal, mengekspose pasien
dengan radiasi sehingga tidak dapat digunakan pada pasien hamil. Alergi terhadap
penyuntikan kontras iv juga harus menjadi perhatian khusus.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dibanding dengan USG , CT-
Scan mempunyai nilai diagnostik yang lebih baik.

13
Alvorado Scale untuk diagnosis apendisitis
Manifestasi Nilai
Gejala klinis Nyeri berpindah 1
Anorexia 1
Nausea/muntah 1
Pemeriksaan fisik Nyeri tekan RLQ 2
Rovsing sign 1
Peninggian suhu 1
Laboratorium Leukositosis 2
Shift to the left 1
Total poin = 10

J. DIAGNOSA BANDING

Apendisitis akut adalah salah satu penyebab akut abdomen, sehingga


apendisitis harus dibedakan dari penyebab akut abdomen lainnya seperti :
- Adenitis mesenterik akut
- Gastroenteritis akut
- Penyakit Urogenital laki-laki
- Divertikulitis meckel
- Intususepsi
- Crohn’s enteritis
- Ulkus pepticum perforasi
- Colonic lesion
- Epiploic appendagitis
- UTI (urinary tract Infection)
- Batu ureter
- Peritonitis primer
- Henoch-Schonlein purpura
- Yersiniosis
- Kelainan ginekologis seperti : PID (pelvic inflammatory disease), Ruptur
folikel graaf, KET(kehamilan ektopik terganggu), twist ovarion cyst.

14
K. PENATALAKSANAAN

Intervensi bedah harus dilakukan segera setelah diagnosis ditegakkan.


Hidrasi pasien harus adekuat, abnormalitas elektrolit harus segera dikoreksi.
Penilaian kardio pulmonal harus segera dilakukan. Banyak penelitian
membuktikan bahwa pemberian antibiotik pre-op sangat berguna untuk
menurunkan komplikasi apendisitis. Pada pasien dengan simple apendisitis , tidak
ada gunanya memberikan antibiotik lebih dari 24 jam. Jika terdapat apendisitis
gangrenosa atau dengan perforasi, maka antibiotik dibarikan sampai pasien bebas
panas dan leukosit normal. The Surgical Infection Society merekomendasikan
terapi dengan cefoxitin, cefotetan, atau ticarcillin-clavulonic acid. Untuk infeksi
yang lebih berat, terapi dengan carbapenem atau kombinasi cefalosporin generasi
ketiga, monobactam atau aminoglikosid dengan antibiotik anaerob seperti
clindamisin atau metronidazole.

Tehnik operasi :
Karena apendiks adalah organ yang mobile, dan mempunyai variasi anatomis
yang cukup banyak, maka tidak ada teknik incisi yang mutlak. Tetapi incisi yang
paling banyak digunakan adalah incisi pada perut kanan bawah dengan teknik
muscle-splitting dari Mcburney. Bila pasien perempuan dan tidak ada
laparascopic evaluasi, maka kebanyakan ahli bedah memilih untuk melakukan
incisi tengah agar dapat melakukan eksposur ke daerah pelvis.
Teknik no 1-21 untuk apendiks dengan letak a-i pada gambar 3.
Untuk apendiks dengan letak paracaecal dimana apendiks menempel pada dinding
lateral caecum maka lebih aman untuk mengikat dan membebaskan dasar
apendiks sebelum memotong apendiks (gambar 22-28)
Untuk apendiks dengan letak retrocaecal maka diperlukan untuk melakukan incisi
parietal peritoneum sehingga apendiks dapat dibebaskan dari posisinya di
belakang caecum dan m.iliopsoas.

15
16
\

17
L. PROGNOSIS

Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortalitas dan


morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas dan bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat
terjadi bila appendiks tidak diangkat dan memperburuk prognosis.

18
BAB III

KESIMPULAN

A. KESIMPULAN

Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada appendiks vermiformis,dan


merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering.

Patogenesis utamanya diduga disebabkan oleh fekalit (feses keras yang


terutama disebabkan oleh serat), tetapi masih banyak penyebab lainya.

Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortalitas dan


morbiditas penyakit ini sangat kecil.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Way. L. W., 1998, Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis &


Treatment, 7th Ed., Maruzen, USA.
2. Wilson. L. M., Lester. L. B., 1995, Usus kecil dalam Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed. 4, alih bahasa dr. Peter Anugrah, EGC,
Jakarta.
3. Price, Sylvia Anderson. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit =
Pathophysiology. clinical concepts of disease processes/Sylvia Anderson
Price, Lorraine McCarty Wilson; alih bahasa, Peter Anugerah; editor, Caroline
Wijaya. Ed 4. Jakarta : EGC, 1994.
4. Genuit, Thomas,. [et al], 2004. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Emedicine
Instant Access to The Minds of Medicine
5. Bernard M. Jafee, The Appendix, In : Schwartz’s Principles of Surgery 8th
Ed.,
6. Sabiston, editors. McGraw Hill ; 2005, p.1119-1135.
7. Robert M. Zollinger, Zolinger’s Atlas of Surgical Operation 8th Ed
;International edition; 2000, p. 116-119.
8. Haile T. Debas, Gastrointestinal Surgery: Pathophysiology and Management;
9. Springer-Verlag, New York,Inc; 2004,p. 311-317.

20

Vous aimerez peut-être aussi