Vous êtes sur la page 1sur 39

REFERAT

AMENORE PRIMER

Oleh:
dr. Adelia Merdiana Dewi

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DEMANG SEPULAU RAYA


PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA
LAMPUNG TENGAH
2017
BAB I

PENDAHULUAN

Secara berkala, fungsi seksual wanita berada di bawah kendali hormon. Tanda yang khas

untuk suatu siklus haid adalah timbulnya perdarahan melalui vagina setiap bulan pada

seorang wanita. Perdarahan ini terjadi akibat rangsangan hormonal secara siklik terhadap

endometrium.

Amenore berarti tidak adanya menstruasi atau haid. Amenore dapat dibagi dalam dua bentuk,

yaitu : 1). Amenorea fisiologik : Amenorea yang terdapat pada masa sebelum pubertas, masa

kehamilan, masa laktasi dan sesudah menopause. 2). Amenorea patologik : Lazimnya

diadakan pembagian antara amenorea primer dan amenorea sekunder. Amenorea primer

adalah tidak adanya menarche pada seorang gadis berusia 16 tahun atau lebih.; sedang pada

amenore sekunder adalah tidak adanya menstruasi selama 6 bulan pada wanita dengan siklus

yang tidak teratur sebelumnya atau 3 bulan pada wanita dengan siklus yang teratur (21-35

hari). Menarche adalah periode menstruasi pertama dan dimulai setelah pengembangan

karakteristik seksual sekunder: rambut pubis dan aksila dan perkembangan payudara (Tahap

Tanner). Rata-rata usia menarche adalah 13,5 tahun, namun terdapat perbedaan besar di

antara dan di dalam negara. Umumnya, gadis dari daerah pedesaan di negara negara dengan

sumber daya yang rendah lebih tua saat menarche dibandingkan dengan anak perempuan dari

daerah perkotaan. Kondisi hidup secara umum, status gizi, aktivitas fisik dan faktor genetik

semuanya mempengaruhi maturasi seksual dan usia saat menarche.

Amenorea primer merupakan suatu keadaan dimana tidak terjadi menstruasi pada wanita

yang berusia 16 tahun ke atas dengan karaktersitik seksual sekunder normal, atau umur 14

tahun ke atas tanpa adanya perkembangan karakteristik seksual sekunder. Penyebab tidak

terjadinya haid dapat berupa gangguan di hipotalamus, hipofisis, ovarium (folikel), uterus
(endometrium), dan vagina. Amenorea primer umumnya mempunyai sebab-sebab yang lebih

berat dan lebih sulit untuk diketahui, seperti kelainan-kelainan kongenital dan kelainan-

kelainan genetik.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 FISIOLOGI MENSTRUASI

Haid adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan

(deskuamasi) endometrium. Sekarang diketahui bahwa dalam proses ovulasi, yang

memegang peranan penting adalah hubungan hipotalamus, hipofisis, dan ovarium

(hypothalamic-pituitary-ovarium axis). Menurut teori neurohumoral yang dianut

sekarang, hipotalamus mengawasi sekresi hormon gonadotropin oleh adenohipofisis

melalui sekresi neurohormon yang disalurkan ke sel-sel adenohipofisis lewat sirkulasi

portal yang khusus. Hipotalamus menghasilkan faktor yang telah dapat diisolasi dan

disebut Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) karena dapat merangsang pelepasan

Lutenizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dari hipofisis.

Siklus haid normal dapat dipahami dengan baik dengan membaginya atas dua fase dan

satu saat, yaitu fase folikuler, saat ovulasi, dan fase luteal. Perubahan-perubahan kadar

hormon sepanjang siklus haid disebabkan oleh mekanisme umpan balik (feedback) antara

hormon steroid dan hormon gonadotropin. Estrogen menyebabkan umpan balik negatif

terhadap FSH, sedangkan terhadap LH, estrogen menyebabkan umpan balik negatif jika

kadarnya rendah, dan umpan balik positif jika kadarnya tinggi. Tempat utama umpan

balik terhadap hormon gonadotropin ini mungkin pada hipotalamus.

Tidak lama setelah haid mulai, pada fase folikular dini, beberapa folikel berkembang

oleh pengaruh FSH yang meningkat. Meningkatnya FSH ini disebabkan oleh regresi

korpus luteum, sehingga hormon steroid berkurang. Dengan berkembangnya folikel,

produksi estrogen meningkat, dan ini menekan produksi FSH; folikel yang akan
berovulasi melindungi dirinya sendiri terhadap atresia, sedangkan folikel-folikel lain

mengalami atresia. Pada waktu ini LH juga meningkat, namun peranannya pada tingkat

ini hanya membantu pembuatan estrogen dalam folikel. Perkembangan folikel yang

cepat pada fase folikel akhir ketika FSH mulai menurun, menunjukkan bahwa folikel

yang telah masak itu bertambah peka terhadap FSH. Perkembangan folikel berakhir

setelah kadar estrogen dalam plasma jelas meninggi. Estrogen pada mulanya meninggi

secara berangsur-angsur, kemudian dengan cepat mencapai puncaknya. Ini memberikan

umpan balik positif terhadap pusat siklik, dan dengan lonjakan LH (LH-surge) pada

pertengahan siklus, mengakibatkan terjadinya ovulasi. LH yang meninggi itu menetap

kira-kira 24 jam dan menurun pada fase luteal. Mekanisme turunnya LH tersebut belum

jelas. Dalam beberapa jam setelah LH meningkat, estrogen menurun dan mungkin inilah

yang menyebabkan LH itu menurun. Menurunnya estrogen mungkin disebabkan oleh

perubahan morfologik pada folikel. Mungkin pula menurunnya LH itu disebabkan oleh

umpan balik negatif yang pendek dari LH terhadap hipotalamus. Lonjakan LH yang

cukup saja tidak menjamin terjadinya ovulasi; folikel hendaknya pada tingkat yang

matang, agar ia dapat dirangsang untuk berovulasi. Pecahnya folikel terjadi 16 – 24 jam

setelah lonjakan LH. Pada manusia biasanya hanya satu folikel yang matang. Mekanisme

terjadinya ovulasi agaknya bukan oleh karena meningkatnya tekanan dalam folikel,

tetapi oleh perubahan-perubahan degeneratif kolagen pada dinding folikel, sehingga ia

menjadi tipis. Mungkin juga prostaglandin F2 memegang peranan dalam peristiwa itu.

Pada fase luteal, setelah ovulasi, sel-sel granulose membesar, membentuk vakuola dan

bertumpuk pigmen kuning (lutein); folikel menjadi korpus luteum. Vaskularisasi dalam

lapisan granulosa juga bertambah dan mencapai puncaknya pada 8–9 hari setelah

ovulasi. Luteinized granulose cell dalam korpus luteum itu membuat progesteron

banyak, dan luteinized theca cell membuat pula estrogen yang banyak, sehingga kedua
hormon itu meningkat tinggi pada fase luteal. Mulai 10–12 hari setelah ovulasi, korpus

luteum mengalami regresi berangsur-angsur disertai dengan berkurangnya kapiler-

kapiler dan diikuti oleh menurunnya sekresi progesteron dan estrogen. Masa hidup

korpus luteum pada manusia tidak bergantung pada hormon gonadotropin, dan sekali

terbentuk ia berfungsi sendiri (autonom). Namun, akhir-akhir ini diketahui untuk

berfungsinya korpus luteum, diperlukan sedikit LH terus-menerus. Steroidegenesis pada

ovarium tidak mungkin tanpa LH. Mekanisme degenerasi korpus luteum jika tidak

terjadi kehamilan belum diketahui. Empat belas hari sesudah ovulasi, terjadi haid. Pada

siklus haid normal umumnya terjadi variasi dalam panjangnya siklus disebabkan oleh

variasi dalam fase folikular.

Gambar 1 : Siklus Menstruasi


Pada kehamilan, hidupnya korpus luteum diperpanjang oleh adanya rangsangan dari

Human Chorionic Gonadothropin (HCG), yang dibuat oleh sinsisiotrofoblas.

Rangsangan ini dimulai pada puncak perkembangan korpus luteum (8 hari pasca

ovulasi), waktu yang tepat untuk mencegah terjadinya regresi luteal. HCG memelihara

steroidogenesis pada korpus luteum hingga 9–10 minggu kehamilan. Kemudian, fungsi

itu diambil alih oleh plasenta.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa kunci siklus haid tergantung dari perubahan-perubahan

kadar estrogen, pada permulaan siklus haid meningkatnya FSH disebabkan oleh

menurunnya estrogen pada fase luteal sebelumnya. Berhasilnya perkembangan folikel

tanpa terjadinya atresia tergantung pada cukupnya produksi estrogen oleh folikel yang

berkembang. Ovulasi terjadi oleh cepatnya estrogen meningkat pada pertengahan siklus

yang menyebabkan lonjakan LH. Hidupnya korpus luteum tergantung pula pada kadar

minimum LH yang terus-menerus. Jadi, hubungan antara folikel dan hipotalamus

bergantung pada fungsi estrogen, yang menyampaikan pesan-pesan berupa umpan balik

positif atau negatif. Segala keadaan yang menghambat produksi estrogen dengan

sendirinya akan mempengaruhi siklus reproduksi yang normal.

2.2 AMINORE PRIMER

Amenore berarti tidak adanya menstruasi. Amenore primer adalah tidak adanya

menarche pada seorang gadis berusia 16 tahun atau lebih. Amenore sekunder adalah

tidak adanya menstruasi selama 6 bulan pada wanita dengan siklus yang tidak teratur

sebelumnya atau 3 bulan pada wanita dengan siklus yang teratur (21-35 hari). Menarche

adalah periode menstruasi pertama dan dimulai setelah pengembangan karakteristik

seksual sekunder: rambut pubis dan aksila dan perkembangan payudara (Tahap Tanner).
Rata-rata usia menarche adalah 13,5 tahun, namun terdapat perbedaan besar di antara dan

di dalam negara.

2.2.1 PATOFISIOLOGI AMENOREA PRIMER

1. Gangguan Pada Kompartemen I

a. Anomali duktus Mulleri

Pada keadaan amenorea primer, diskontinuitas oleh gangguan/kelainan

segmental dari tubulus Mulleri harus disingkirkan. Observasi langsung dapat

menentukan ada tidaknya himen imperforata, obliterasi orifisium vaginae dan

adanya diskontinuitas kanalis vaginalis. Keadaan lain yang jarang ditemukan,

yaitu terdapat uterus tetapi tanpa terbentuknya kavum uteri, atau terdapat kavum

uteri tetapi endometriumnya kurang secara kongenital. Kecuali pada kelainan

kongenital yang disebutkan terakhir, problem klinik amenorea yang didasarkan

pada adanya obstruksi menimbulkan adanya keluhan nyeri yang disertai distensi

dari hematokolpos, hematometra, atau hematoperitoneum. Penanganan yang

dapat dilakukan dengan insisi dan drainage. Bahkan pada keadaan yang disertai

komplikasi, perbaikan kontinuitas duktus Mulleri biasanya dapat dicapai dengan

pembedahan. Sayangnya dapat terjadi konsekuensi dari tindakan ekstirpasi

operatif terhadap massa yang nyeri di atas berupa kerusakan/trauma pada

kandung kencing, ureter, dan rektum.

Merupakan suatu keuntungan bila mengetahui jenis kelainan sebelum koreksi

bedah dilakukan. Magnetic resonance imaging (MRI) dapat dilakukan untuk

mengetahui abnormalitas anatomik yang akurat. Diagnosis preoperatif akan

memudahkan rencana dan pelaksanaan terapi bedah.


b. Agenesis duktus Mulleri

Terhambatnya perkembangan duktus Mulleri (Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser

syndrome) merupakan diagnosis pada individu dengan keluhan amenorea primer

dan tidak terbentuknya vagina. Kelainan ini relatif sering sebagai penyebab

amenorea primer, lebih sering dari pada insensitifitas androgen kongenital dan

lebih jarang dibandingkan disgenesis gonad. Pada penderita sindroma ini tidak

ada vagina atau adanya vagina yang hipoplasi. Uterus dapat saja normal, tetapi

tidak mempunyai saluran penghubung dengan introitus, atau dapat juga uterusnya

rudimenter, bikornu. Jika terdapat partial endometrial cavity, penderita dapat

mengeluh adanya nyeri abdomen yang siklik. Karena adanya kemiripan dengan

beberapa tipe pseudohermafroditism pria, diperlukan pemeriksaan untuk

menunjukkan kariotipe yang normal perempuan. Fungsi ovarium normal dan

dapat dilihat dari suhu basal tubuh atau kadar progesteron perifer. Pertumbuhan

dan perkembangan penderita normal.

Bila dari pemeriksaan didapatkan adanya struktur uterus, pemeriksaan

ultrasonografi dapat dilakukan menentukan ukuran dan simetris tidaknya struktur

uterus tersebut. Bila gambaran anatomis sebagai hasil USG tidak jelas,

merupakan indikasi untuk dilakukan pemeriksaan MRI. Pemeriksaan laparoskopi

pelvis tidak diperlukan. Pemeriksaan MRI lebih akurat dibandingkan

pemeriksaan USG dan lebih murah serta tidak invasif bila dibandingkan

laparoskopi. Ekstirpasi sisa duktus Mulleri tidak diperlukan kecuali kalau

menimbulkan masalah seperti berkembangnya uterine fibroid, hematometra,

endometriosis, atau herniasi simptomatis ke dalam kanalis inguinalis. Karena

berbagai kesulitan dan komplikasi yang terjadi pada pembedahan, maka bila

memungkinkan Speroff dkk lebih memilih alternatif untuk melakukan konstruksi


bedah dengan membuat vagina artifisial. Sebaliknya, Speroff menganjurkan

penggunaan dilatasi yang progresif seperti yang mula-mula diperkenalkan oleh

Frank dan kemudian oleh Wabrek dkk. Mula-mula ke arah posterior vagina, dan

kemudian setelah 2 minggu diubah ke arah atas dari aksis vagina, tekanan dengan

dilator vagina dilakukan selama 20 menit setiap hari.

Dengan menggunakan dilator yang ditingkatkan makin besar, vagina yang

fungsional dapat terbentuk kurang lebih dalam 6-12 minggu. Terapi operatif

ditujukan bagi penderita yang tidak dapat dilakukan penanganan dengan metode

Frank, atau gagal, atau bila terdapat uterus yang terbentuk baik dan fertilitas

masih mungkin untuk dipertahankan. Penderita seperti ini dapat diidentifikasi

dengan adanya simptom retained menstruation. Ada juga yang

merekomendasikan untuk melakukan laparotomi inisial yang gunanya untuk

mengevaluasi kanalis servikalis; jika serviks atresia, uterus harus diangkat.

Penderita dengan septum vagina transversalis, dimana terjadi kegagalan

kanalisasi sepertiga distal vagina, biasanya disertai gejala obstruksi dan frekuensi

urin. Septum transversalis dapat dibedakan dari himen imperforata dengan

kurang-nya distensi introitus pada manuver Valsava.

Pada kategori kelainan ini, obstruksi traktus genitalis bagian distal merupakan

satu-satunya kondisi yang dapat dipandang sebagai keadaan emergensi.

Keterlambatan dalam terapi bedah dapat menyebabkan terjadi infertilitas sebagai

akibat perubahan peradangan dan endometriosis. Pembedahan definitif harus

dilakukan sesegera mungkin. Diagnostik dengan aspirasi menggunakan jarum

tidak boleh dilakukan karena dapat menyebabkan hematokolpos berubah menjadi

pyokolpos.
c. Insensitifitas androgen (Feminisasi testikuler)

Insensitifitas androgen komplit (sindroma feminisasi testikuler) merupakan

diagnosis yang paling mungkin bilamana terjadi kanalis vaginalis yang buntu dan

uterus tidak ada. Kelainan ini merupakan penyebab amenorea primer yang ketiga

setelah disgenesis gonad dan agenesis mullerian. Penderita dengan feminisasi

testikuler merupakan pseudohermafrodit pria. Kata pria disini, didasarkan pada

gonad yang dimiliki penderita; jadi individu ini memiliki testes dan kariotipe XY.

Pseudohermafrodit artinya bahwa alat genitalnya berlawanan dengan jenis

gonadnya; jadi, individu tersebut secara fenotif wanita tetapi dengan tidak ada

atau sangat kurangnya rambut kemaluan dan ketiak Pseudohermafrodit pria

adalah genetik dan gonad yang dimilikinya pria dengan kegagalan virilisasi.

Kegagalan dalam perkembangan pria dapat meliputi suatu spektrum dengan

bentuk insensitifitas androgen yang inkomplit. Transmisi kelainan ini melalui X-

linked recessive gene yang bertanggung-jawab terhadap reseptor androgen

intraseluler.

Diagnosis klinik harus dipertimbangkan pada keadaan berikut:

 anak perempuan dengan hernia inguinal karena testes seringkali mengalami

parsial descensus

 penderita dengan amenorea primer dan tidak ada uterus

 penderita tanpa bulu-bulu di tubuh.

Penderita kelihatan normal pada saat lahir kecuali mungkin adanya hernia

inguinal, dan penderita tidak dibawa ke dokter sampai usia pubertas.

Pertumbuhan dan perkembangan normal. Payudara abnormal dimana didapatkan

jaringan kelenjar tidak cukup, puting susu kecil, dan areola mammae pucat. Lebih
dari 50% dengan hernia inguinalis, labia minora biasanya kurang berkembang,

dan blind vagina kurang dalam daripada normal. Tuba fallopi yang rudimenter

terdiri dari jaringan fibromuskuler kadang kala dengan hanya selapis epitel.

Karena penderita ini sudah merasakan dirinya sebagai seorang wanita, maka

kadang-kadang tidak perlu dilakukan tindakan apa-apa. Testis yang berada

intraabdominal perlu dilakukan tindakan pengangkatan karena 10% dari kasus

dengan testis intraabdominal dapat menjadi ganas. Bila telah diputuskan untuk

mengangkat testis, maka perlu diberikan pengobatan substitusi hormon.

2. Gangguan Pada Kompartemen II

a. Sindroma Turner

Pada tahun 1938 Turner mengemukakan 7 kasus yang dijumpai dengan sindroma

yang terdiri atas trias yang klasik, yaitu infantilisme, webbed neck, dan kubitus

valgus. Penderita-penderita ini memiliki genitalia eksterna wanita dengan klitoris

agak membesar pada beberapa kasus, sehingga mereka dibesarkan sebagai wanita.

Fenotipe pada umumnya ialah sebagai wanita, sedang kromatin seks negatif. Pola

kromosom pada kebanyakan mereka adalah 45-XO; pada sebagian dalam bentuk

mosaik 45-XO/46-XX. Angka kejadian adalah satu di antara 10.000 kelahiran bayi

wanita. Kelenjar kelamin tidak ada, atau hanya berupa jaringan parut mesenkhim

(streak gonads), dan saluran Muller berkembang dengan adanya uterus, tuba, dan

vagina, akan tetapi lebih kecil dari biasa, berhubung tidak adanya pengaruh dari

estrogen.

Selain tanda-tanda trias yang tersebut diatas, pada sindroma Turner dapat dijumpai

tubuh yang pendek tidak lebih dari 150 cm, dada berbentuk perisai dengan puting

susu jauh ke lateral, payudara tidak berkembang, rambut ketiak dan pubis sedikit
atau tidak ada, amenorea, koarktasi atau stenosis aortae, batas rambut belakang yang

rendah, ruas tulang tangan dan kaki pendek, osteoporosis, gangguan penglihatan,

gangguan pendengaran, anomali ginjal (hanya satu ginjal), dan sebagainya. Pada

pemeriksaan hormonal ditemukan kadar hormon gonadotropin (FSH) meninggi,

estrogen hampir tidak ada, sedang 17- kortikosteroid terdapat dalam batas-batas

normal atau rendah. Diagnosis dapat dengan mudah ditegakkan pada kasus-kasus

yang klasik berhubung dengan gejala-gejala klinik dan tidak adanya kromatin seks.

Pada kasus-kasus yang meragukan, perlu diperhatikan dua tanda klinik yang penting

yang dapat dipakai sebagai pegangan untuk menduga sindrom Turner, yaitu tubuh

yang pendek yang disertai dengan pertumbuhan tanda-tanda seks sekunder yang

sangat minimal atau tidak ada sama sekali.

Pengobatan terhadap penderita sindroma Turner adalah pengobatan substitusi yang

bertujuan untuk :

1. Merangsang pertumbuhan ciri-ciri seks sekunder, terutama pertumbuhan

payudara

2. Menimbulkan perdarahan siklis yang menyerupai haid jika uterus sudah

berkembang

3. Mencapai kehidupan yang normal sebagai istri walaupun tidak mungkin untuk

mendapat keturunan

4. Alasan psikologis, untuk tidak merasa rendah diri sebagai wanita.

Hormon yang diberikan adalah estrogen dalam kombinasi dengan progestagen

secara siklis sampai masa menopause atau pascamenopause. Berhubung dengan

kemungkinan bahwa pemberian estrogen mengakibatkan penutupan garis epifisis


secara prematur sehingga menghalangi pertumbuhan tubuh, terapi ditunda sampai

penutupan garis epifisis sudah terjadi.

b. Disgenesis gonad XY

Penderita berfenotip wanita dengan kariotipe XY dengan sistem Mulleri yang teraba,

kadar testoteron wanita normal dan kurangnya perkembangan seksual dikenal

sebagai sindroma Swyer. Terdapat vagina, uterus, dan tuba falopii, tetapi pada usia

pubertas gagal terjadi perkembangan mammae dan amenorea primer. Gonad hampir

seluruhnya berupa berkas-berkas tak berdiferensiasi kendati pun terdapat kromosom

Y yang secara sitogenetik normal. Pada kasus ini, gonad primitif gagal

berdiferensiasi dan tak dapat melaksanakan fungsi-fungsi testis, termasuk supremasi

duktus Mulleri. Sel-sel hillus dalam gonad mungkin mampu memproduksi sejumlah

androgen; maka dapat terjadi sedikit virilisasi, seperti pembesaran klitoris pada usia

pubertas. Pertumbuhan normal; tidak terdapat cacat penyerta. Transformasi tumor

pada gonadal ridge dapat terjadi pada berbagai usia, ekstirpasi gonadal streaks harus

dilakukan segera setelah diagnosis dibuat, tanpa memandang usia.

c. Agenesis gonadal

Tidak terjadi komplikasi klinis yang terjadi bersama kegagalan gonad pada keadaan

agenesis ini. Keadaan ini disebut juga sindroma agenesis gonad XY atau sindroma

regresi testis embrionik. Pada sindroma yang langka ini, genitalis eksterna sedikit

meragukan, namun hampir menyerupai bentuk wanita. Ditemukan hipoplasia labia,

derajat tertentu fusi labioskrotum, penis kecil mirip klitoris, dan muara uretra pada

perineum. Uterus, jaringan gonad, dan vagina tidak ditemukan. Pada usia pubertas

tidak terjadi perkembangan seksual, dan kadar gonadotropin meningkat. Umumnya

penderita diasuh sebagai wanita. Dalam kondisi ini, jaringan testis dianggap telah
aktif selama kehidupan janin sehingga mampu menghambat perkembangan duktus

mulleri, tetapi fungsi sel leydig minimal. Tanpa informasi yang tepat, hanya dapat

diperkirakan saja apa yang menjadi penyebab tidak terjadinya perkembangan gonad

tersebut. Jadi harus diduga bahwa virus dan metabolik yang berpengaruh pada awal

kehamilan. Meskipun demikian hasil akhirnya berupa hipergonadotropik

hipogonadism yang tidak dapat diperbaiki kembali. Bila fungsi gonad tidak ada,

perkembangan adalah wanita. Pengangkatan gonadal streaks dengan pembedahan

diperlukan untuk menghindari kemungkinan terjadi neoplasia.

d. Sindroma ovarium resisten

Salah satu keadaan yang menarik dari faktor ovarium yang menimbulkan gangguan

haid ialah sindroma ovarium resisten gonadotropin, yang dikenal pula dengan istilah

sindroma ovarium insensitive atau ovarium hiposensitif gonadotropin. Penyebab

yang pasti dari kelainan ini belum seluruhnya terungkap. Kini yang banyak

diperbincangkan adalah adanya gangguan pembentukan reseptor-reseptor

gonadotropin di ovarium akibat proses autoimun.

Dugaan ke arah diagnosis dari sindroma ovarium resisten gonadotropin ditegakkan

baik secara klinis mau pun secara laboratoris dan histopatologis. Secara klinis

kelainan ini ditandai dengan sindroma yang terdiri dari gangguan haid berupa

oligomenorea sampai amenorea, sedangkan secara laboratoris dijumpai

hipergonadotropin dan hipoestrogen. Secara histologis pada kelainan ini masih

dijumpai struktur jaringan ovarium yang normal dengan folikel primordial yang

masih utuh.

Jarang terjadi penderita amenorea disertai peningkatan kadar gonadotropin walaupun

terdapat folikel-folikel ovarium normal dan tidak ada bukti penyakit autoimun.
Laparotomi diperlukan untuk sampai pada diagnosis yang benar dengan

menghasilkan evaluasi histologis ovarium yang adequat. Pemeriksaan ini dapat

memperlihatkan adanya folikel-folikel tetapi tidak adanya infiltrasi limfositik

dengan penyakit autoimun. Karena kelainan ini jarang dan kesempatannya sangat

kecil untuk dapat hamil bahkan dengan pemberian gonadotropik eksogen dosis

tinggi, Speroff berpendapat bahwa tidak ada manfaat untuk melakukan laparotomi

untuk biopsi ovarium pada setiap penderita amenorea, gonadotropin tinggi, dan

normal kariotipe. Karena penyebab yang pasti dari penyakit ini belum diketahui,

maka pengobatannya lebih bersifat simptomatis. Banyak peneliti menganjurkan

pemberian substitusi siklik estrogen dan progesteron.

e. Premature ovarian failure

Keadaan ini seringkali terjadi, yaitu berupa habisnya folikel ovarium yang terjadi

lebih awal dari semestinya. Sekitar 1% wanita akan mengalami kegagalan ovarium

sebelum usia 40 tahun, dan pada wanita dengan amenorea primer, frekuensi berkisar

antara 10%-28%. Etiologi POF tidak diketahui pada kebanyakan kasus.

Kemungkinan merupakan akibat kelainan genetik dengan peningkatan laju

hilangnya folikel. Seringkali, kelainan kromosom seks yang spesifik dapat

diidentifikasi. Kelainan yang paling sering adalah 45-X dan 47- XXY diikuti oleh

mosaicism dan kelainan struktur kromosom seks yang spesifik. Akselerasi atresia

paling sering karena 46-X (sindroma Turner). POF dapat disebabkan suatu proses

autoimun, atau mungkin destruksi folikel oleh infeksi seperti oofritis mumps, atau

irradiasi maupun kemoterapi.

Masalah yang timbul dapat terjadi pada berbagai usia tergantung pada jumlah folikel

yang tersisa. Jika hilangnya folikel berlangsung cepat, akan terjadi amenorea primer
dan terhambatnya perkembangan seksual. Jika hilangnya folikel terjadi selama atau

setelah pubertas, kemudian berlanjut sampai dewasa, perkembangan fenotipe dan

onset terjadinya amenorea sekunder akan sesuai.

Mengingat meningkatnya jumlah kasus yang dilaporkan dimana terjadi mulai

laginya fungsi yang normal, tidak dapat dipastikan bahwa penderita-penderita ini

akan steril selamanya. Di sisi lain, laparotomi dan biopsi ovarium “full thickness”

tidak diperlukan pada semua pasien ini. Sperrof berpendapat bahwa pendekatan

yang minimal, dengan “survey” untuk penyakit autoimun (meskipun diakui bahwa

tidak ada metode klinik yang dapat mendiagnosis secara akurat autoimmune ovarium

failure) dan penilaian aktivitas ovarium-pituitary sudah mencukupi.

3 Gangguan Pada Kompartemen III

a. Gangguan hipofisis anterior

Adanya gangguan pada aksis hipotalamus-hipofisis pertama kali fokus kita harus

tertuju pada adanya masalah tumor hipofisis. Dengan munculnya amenorea,

penderita dengan perkembangan tumor hipofisis yang perlahan dapat muncul

beberapa tahun sebelum tumor menjadi besar dan dapat dideteksi secara radiologis.

Untungnya, tumor maligna tidak terlalu banyak dijumpai. Sampai dengan tahun

1989 tidak lebih dari 40 kasus yang dilaporkan di literatur internasional. Tetapi

tumor jinak dapat menimbulkan problem sebab dapat berkembang dan terjadi

pendesakan ruangan maupun jaringan lain, tumor akan tumbuh ke atas, akan

menekan chiasma nervi optici yang menyebabkan hemianopsia bitemporalis.

Dengan ukuran tumor yang kecil, kelainan visual kadang sulit dideteksi.

Tidak semua massa intrasellar adalah neoplasma. Gumma, tuberkuloma, dan deposit

lemak telah dilaporkan dan menyebabkan penekanan dan menyebabkan amenorea


hipogonadotropin. Lesi pada daerah sekitar sella tursika seperti aneurisma arteri

karotis, obstruksi aquaeduktus Sylvii dapat juga menyebabkan amenorea.

b. Amenorea galaktorea

Wanita dengan hiperprolaktinemia secara khas muncul dengan galaktorea dan

berbagai keadaan gangguan menstruasi mulai dari menstruasi yang normal sampai

amenorea yang diikuti dengan infertilitas. Gangguan yang terlihat mungkin

berkaitan dengan hiperprolaktinemia ketika adenoma hipofisis yang menekan nervus

optikus, traktus nervus optikus, chiasma nervi optici atau nervus kranialis yang lain.

Pada pengamatan secara radiografi terhadap kelenjar hipofisis pada wanita dengan

hiperprolaktinemia mungkin didapatkan makroadenoma, mikroadenoma, atau tidak

didapatkan adenoma. Meskipun untuk memiliki kadar prolaktin yang tingggi, ukuran

dari adenoma tidak berhubungan secara linier dengan kadar prolaktin.

Akhir-akhir ini dapat dipastikan, bahwa dari hipofisis bagian depan terdapat hormon

pelepas tirotropin (TRH) yang mengeluarkan tidak hanya tirotropin, melainkan juga

hormon pertumbuhan (GH) dan prolaktin. Karena arti fisiologik hubungan

fungsional antara kedua sistem tersebut sangat kecil, maka dapat disimpulkan bahwa

tripeptida TRH sesungguhnya bukanlah PRF (prolactine releasing factor). Yang

mempunyai arti lebih besar dari TRH atau PRF dalam pengaturan prolaktin adalah

faktor penghambat prolaktin (prolactine inhibiting factor, PIF), yang susunan

kimianya juga belum dapat dibuktikan sampai sekarang. Dibawah pengaruh

meningkatnya steroid seks dalam serum, maka pengeluaran PIF dari hipotalamus

akan ditekan. Peristiwa ini akan mengakibatkan meningkatnya sekresi

prolaktin.Peningkatan kadar prolaktin serum yang ringan mungkin disebabkan oleh

beberapa faktor, termasuk diantaranya pemberian estrogen dan fenotiazin, respon


dari stress, makanan (khususnya makanan yang banyak mengandung asam amino),

hipotiroid primer, tumor-tumor hipotalamushipofisis. Adenoma hipofisis yang

memproduksi prolaktin umumnya muncul yang tandai dengan peningkatan kadar

prolaktin (sering > 100 ng/mL). Tumor-tumor hipotalamus dan makroadenoma dapat

menekan batang hipofisis, menghambat transport dari dopamin dan faktor-faktor

hipotalamus-hipofisis, dengan hasil hiperprolaktinemia dan berbagai tingkat

hipopituitarism. Penderita dengan hiperprolaktinemia ringan harus dilakukan

eksplorasi tentang riwayat dan dilakukan pemeriksaan untuk menentukan keadaan

hipofisis, hipersekresi hipofisis, atau efek dari penekanan massa. Suatu program

istirahat yang berulang, kadar prolaktin puasa, yang tetap pada peningkatan yang

ringan. Khususnya bila dikombinasikan dengan pembesaran hipofisis, perlu

dilakukan pemeriksaan radiologis pada sella tursika.

Deteksi secara radiologis dari adenoma hipofisis membutuhkan investigasi untuk

menentukan apakah benar keadaan tersebut merupakan hipersekresi hormon

hipofisis, atau bukan sekresi hormon-hormon hipofisis. Pada keadaan

makroadenoma, harus dipikirkan tentang kemungkinan adanya hipopituitarisme

sekunder parsial atau komplit yang menekan kelenjar jaringan hipofisis atau batang

hipofisis. Adenoma nonsekresi mencakup 25%-30% dari adenoma hipofisis. Dari

hasil pengukuran gonadotropin terlihat bahwa 80%-90% adenoma hipofisis

nonsekresi adalah adenoma gonadotrofin. Adenoma-adenoma ini sering sulit untuk

mendiagnosisnya sebab kekurangan tanda fenotip dari keadaan klinik, yang biasa

digunakan untuk membedakan adenoma-adenoma hipofisis sekretoris. Adenoma

hipofisis non sekresi biasanya muncul dengan manifestasi klinis yang berhubungan

dengan efek adanya massa seperti nyeri kepala, gangguan visus, dan

hipopituitarisma.
Diagnosis banding dari lesi yang luas pada area sella tursika termasuk diantaranya

adalah makroadenoma hipofisis, kraniofaringioma, meningioma, dan proses

inflamasi seperti sarkoid, kista arakhnoid, dan penyakit metastase. Peningkatan

kadar FSH, LH, α subunit, subunit β LH dalam sirkulasi menunjukkan adanya suatu

adenoma gonadotropin. Peningkatan basal FSH, LH, subunit α, dan β LH telah

terdeteksi pada lebih dari 40% penderita dengan nonsekresi, adenoma hipofisis yang

memproduksi gonadotropin. Pengobatan dari makroadenoma gonadotropin

utamanya adalah pembedahan, secara primer dengan melalui transfenoid.

Pengobatan secara radiasi mungkin merupakan suatu hal penting pada penderita

dengan residu penyakit yang signifikan atau pertumbuhan tumor yang rekuren.

Pengobatan dengan medikamentosa dengan bromokriptin saat ini merupakan teknik

pengobatan yang penting meskipun mekanisme kerjanya masih belum terinvestigasi

secara lengkap dan mengkin di masa yang akan datang lebih bisa dijelaskan.

Pada wanita dan laki-laki, 50% - 60% dari adenoma gonadotropin nonsekresi akan

menghasilkan FSH, LH, subunit α, atau subunit β LH dalam respon pada test

terhadap thyrotropin-releasing hormon. Hal ini menunjukkan bahwa sel-sel pada

adenoma gonadotropin memiliki sejumlah reseptor TRH, meskipun pada sel

gonadotropin normal tidak dijumpai adanya reseptor tersebut.

Upaya pengobatan yang diberikan untuk menurunkan kadar prolaktin yang tinggi

adalah bromokriptin. Bromokriptin merupakan kelompok ergolin yaitu alkaloid

ergot yang bersifat dopaminergik. Bromokriptin merangsang reseptor dopaminergik.

Obat mempengaruhi susunan syaraf pusat, kardiovaskular, poros hipotalamus-

hipofisis dan saluran cerna. Bromokriptin menekan sekresi prolaktin yang berlebihan

yang terjadi pada tumor hipofisis. Dosis obat sangat tergantung dari kadar prolaktin
yang ditemukan pada saat itu. Kadar prolaktin 25–40 ng/ml, cukup ½ tablet

bromokriptin/hari. Kadar prolaktin mencapai 50 ng/ml, bromokriptin diberikan 2x1

tablet/hari. Efek samping yang paling sering dijumpai adalah gangguan

gastrointestinal (mual) serta hipotensi (pusing).

Setiap pemberian bromokriptin perlu dilakukan pengawasan yang baik. Perlu

dicegah pemberian dosis yang berlebihan. Tanda-tanda terjadinya penekanan sekresi

prolaktin yang berlebihan adalah: kadar prolaktin 2 ng/ml, fase sekresi memendek

akibat insufisiensi korpus luteum, diameter folikel kecil.

Pada setiap hiperprolaktinemia harus terlebih dahulu diketahui apakah peningkatan

tersebut akibat tumor hipofisis atau karena penyebab lain. Untuk membedakan dapat

digunakan uji provokasi. Kadang-kadang adanya mikroadenoma tidak dapat

diketahui secara radiologik, tetapi dengan uji provokasi mikroadenoma ini mudah

diketahui.

Uji dengan TRH, dimana TRH diberikan intravena dengan dosis 100–500 μg.

setelah pemberian ini terjadi peningkatan prolaktin yang mencapai maksimum antara

15–25 menit. Pada wanita yang tidak menderita prolaktinoma terjadi peningkatan 4–

14 kali dari harga normal, sedangkan wanita dengan prolaktinoma pemberian TRH

tidak menunjukkan perubahan kadar PRL.

4. Gangguan Pada Kompartemen IV

a. Kehilangan berat badan, anoreksia, bulimia

Obesitas dapat diasosiasikan dengan amenorea, tetapi amenorea pada penderita

dengan obesitas biasanya berhubungan dengan anovulasi, dan keadaan

hipogonadotropin tidak dapat diketahui meskipun penderita juga didapatkan


gangguan emosional yang berat. Sebaliknya pengurangan berat badan secara

mendadak, dengan berbagai macam cara, dapat menyebabkan terjadinya keadaan

hipogonadotropin. Diagnosis dari keadaan amenorea hipotalamus ini juga

merupakan hasil dari disingkirkannya adanya tumor hipofisis.

Anoreksia nervosa terjadi kebanyakan pada wanita muda terutama wanita dari kelas

menengah ke atas di bawah umur 25 tahun, tetapi sekarang terjadi juga pada

berbagai tingkat sosial ekonomi. Beberapa kondisi yang bisa menegakkan diagnosis

anoreksia nervosa adalah: umur berkisar antara 10-30 tahun, kehilangan berat badan

25% atau 15% di bawah berat normal, adanya episode makan berlebihan (bulimia),

overaktif, baradikardi, amenorea, tidak ditemukan kelainan medis, tidak ditemukan

gangguan psikiatri. Karakteristik lain diantaranya: konstipasi, tekanan darah yang

rendah, hiperkarotenemia, diabetes insipidus

Membuka tabir secara hati-hati adanya hubungan antara amenorea dengan berat

badan yang rendah kadang merupakan rangsangan terhadap penderita untuk kembali

ke berat badan normal dan fungsi menstruasi yang normal. Adakalanya hal ini bila

perlu untuk melihat penderita secara lebih sering dan perlu pemberian program diet

tinggi kalori (minimal 2600 kalori) dengan memberikan kebiasaan makan yang

benar. Bila perbaikannya berlangsung sangat lambat, terapi hormon perlu dipikirkan.

Beberapa penderita memerlukan intervensi dari ahli jiwa.

Kemunculan amenorea ini disebabkan oleh 2 sebab yaitu suatu kadar kritis dari

lemak tubuh dan efek dari stress itu sendiri. Para atlit wanita yang senantiasa ikut

kompetisi/perlombaan memiliki 50% kadar lemak lebih sedikit dibanding dengan

atlit yang bukan kompetitor. Pengurangan lemak tubuh tidak harus mengurangi berat

badan, sebab lemak dikonversi menjadi massa otot. Pengamatan secara kritis
didapatkan bahwa tidak ada hubungan sebab akibat dari lemak tubuh dan gangguan

menstruasi tetapi hanya satu korelasi saja.

b. Latihan dan amenorea (exercise and amenorrhea)

Pada abad ke-20, telah ada suatu kewaspadaan bahwa para atlit wanita, dan wanita

yang memerlukan suatu latihan keras seperti penari balet, tari modern, didapatkan

insidens yang signifikan adanya gangguan menstruasi sampai adanya amenorea,

keadaan ini disebut supresi hipotalamus. Dua pertiga pelari memiliki fase luteal,

yang pendek sehingga terjadi anovulasi. Bila latihan keras tersebut dimulai sebelum

menars, menars mungkin akan terlambat sampai lebih kurang 3 tahun, dan kejadian

menstruasi yang tidak teratur akan menjadi lebih tinggi.

Prognosis dari para atlit wanita mungkin baik. Hanya tingkat reversibilitasnya tidak

diketahui dengan pasti, meskipun beberapa penelitian menunjukkan

mengindikasikan bahwa sebagian besar atlit wanita akan mengalami ovulasi kembali

bila stress dan latihan mulai bisa dibatasi. Namun demikian sebagian atlit tidak

menginginkan untuk menghentikan untuk menghentikan latihan kerasnya.

Pemberian terapi hormonal bisa dipertimbangkan pada wanita dengan hipoestrogen

guna menjaga agar tidak terjadi perubahan pada tulang dan kardiovaskuler.

c. Amenorea dan anosmia, Sindroma Kallmann

Suatu kondisi yang jarang pada wanita, yaitu ditandai oleh adanya sindroma

hipogonadotropik-hipogonadism kongenital yang berhubungan dengan anosmia atau

hiposmia, dikenal sebagai sindroma Kallmann. Untuk mempermudah mengingat

gambaran gejalanya sering disebut juga sebagai sindroma amenorea dan anosmia.

Pada wanita, gejala yang muncul berupa amenorea primer, perkembangan seksual

infantil, kadar gonadotropin rendah, kariotipe wanita normal, dan ketidakmampuan


untuk mempersepsi aroma. Seringkali penderita tidak menyadari adanya gangguan

penciuman tersebut. Gonad mampu untuk memberikan respon terhadap

gonadotropin; dengan demikian induksi ovulasi dengan gonadotropin eksogen bisa

berhasil.

Sindroma Kallmann mempunyai kaitan dengan defek anatomi yang spesifik.

Pemeriksaan MRI (seperti juga pemeriksaan postmortem) memperlihatkan bahwa

terdapat hipoplasia atau tidak ada sulkus olfaktorius di rhinencephalon. Defek ini

mengakibatkan kegagalan olfactory axonal dan GnRH neuronal bermigrasi dari

placode olfaktorius di hidung. Sel-sel yang memproduksi GnRH berasal dari area

olfaktorius dan bermigrasi selama embriogenesis sepanjang nervus kranialis yang

menghubungkan hidung dan forebrain. Terjadinya sindroma ini sebagai akibat

mutasi yang melibatkan gen tunggal pada lengan pendek kromosom X yang berisi

kode pembentukan protein yang mengatur fungsi yang diperlukan untuk migrasi

neuronal.

2.2.3 DIAGNOSIS

Dokter harus melakukan anamnesis pasien secara komprehensif dan pemeriksaan fisik

secara menyeluruh pada pasien dengan amenore. Banyak algoritma yang ada untuk

evaluasi amenore primer. Gambar 2 adalah salah satu contohnya. Uji laboratorium dan

radiografi, jika diindikasikan, harus dilakukan untuk mengevaluasi dugaan penyakit

sistemik. Jika karakteristik seksual sekunder dijumpai, kehamilan harus disingkirkan.

Radiografi rutin tidak dianjurkan.


Gambar 2 : Algoritma Evaluasi Aminore Primer

Dalam semua kasus, kehamilan pertama kali harus disingkirkan. Langkah evaluatif awal

adalah serupa; Namun, perbedaan utamanya adalah kebutuhan untuk menentukan ada atau

tidak adanya uterus pada pasien dengan amenore primer. Penting untuk mempertimbangkan

semua penyebab amenore sekunder dalam evaluasi amenore primer.

1. Anamnesis

 Adanya karakteristik seksual sekunder. Apakah rambut aksila dan pubis ada dan ada

perkembangan payudara (lihat stadium Tanner). Jika tidak ada karakteristik seksual

sekunder, biasanya ada penundaan dalam pubertas karena malnutrisi (stunting),


penyakit kronis pada masa kanak-kanak, aktivitas fisik yang berlebihan yang

dikombinasikan dengan kurangnya asupan energi.

 Riwayat infeksi, terutama ensefalitis. Ensefalitis dan meningitis mungkin telah

merusak hipotalamus atau hipofisis.

 Riwayat operasi (abdomen). Pengangkatan ovarium karena tumor, kista atau abses

tubo-ovarii.

 Usia ibu dan kakak perempuan saat menarche. Usia yang lebih tua saat menarche

bersifat herediter.

 Penyakit kronis (di masa kecil) dan / atau riwayat penyakit mayor dalam 3 tahun

terakhir. Penyakit kronis yang melemahkan dapat menyebabkan anovulasi melalui

disfungsi hipotalamus.

 Nyeri abdomen siklik. Bersama dengan massa abdominal, gejala ini bisa

mengindikasikan septum vagina atau himen imperforata


 Berat badan. Penurunan berat badan yang berat Misalnya karena penyakit kronis

mempengaruhi fungsi hipotalamus.

 Hirsutisme. Distribusi maskulin dari rambut tubuh (payudara, abdomen, wajah, paha)

dan / atau akne mengindikasikan kelebihan androgen dan gejala sindrom ovarium

polikistik.

 Hubungan seksual (kehamilan). Tanyakan gadis dengan hati-hati tentang seks: apakah

dia terlibat dalam hubungan seksual konsensual atau ia adalah korban kekerasan

seksual? Infeksi menular seksual (IMS), termasuk HIV dan kehamilan harus

disingkirkan.

2. Pemeriksaan

Pemeriksaan Fisik

Selalu jelaskan kepada perempuan atau wanita apa yang akan Anda lakukan dan tanyakan

kepadanya apakah dia ingin seseorang yang dia percaya hadir pada saat pemeriksaan.

 Tinggi dan berat badan. Indeks massa tubuh (IMT): Berat (kg) / panjang × panjang

(m). IMT <18 adalah underweight dan IMT> 30 adalah obesitas. Tanda-tanda

malnutrisi, TBC, HIV / AIDS, penyakit kronis.

 Peningkatan pertumbuhan rambut pada wajah, daerah pubis, abdomen dan / atau paha.

 Karakteristik seksual sekunder (perkembangan payudara dan rambut pubis dan aksila)

 Payudara: keluarnya susu secara spontan atau setelah mengeluarkannya dengan hati-

hati.

 Pemeriksaan abdomen: kehamilan, tumor.

 Genitalia eksternal: klitoris, himen, pertumbuhan rambut. Padaseorang gadis dengan

amenore primer cari himen yang menggembung yang menunjukkan himen

imperforata.
 Pemeriksaan spekulum dan pemeriksaan pelvis (jika seorang gadis / wanita tidak

virgin): atrofi, sekret, kelainan serviks, eksitasi serviks, ukuran uterus, massa pelvis.

 Pemeriksaan USG (abdominal dengan kandung kemih penuh atau vaginal): ada

tidaknya uterus, ukuran uterus, endometrium, ukuran ovarium dan ada atau tidaknya

folikel, massa tubo-ovarium, kista, cairan bebas. Pada seorang gadis dengan amenore

primer yang secara khusus dicoba untuk memvisualisasikan uterus dengan tanpa

uterus menunjukkan kelainan kongenital atau kelainan kromosom.

Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan awal mencakup tes kehamilan dan kadar luteinizing hormone, follicle-

stimulating hormone, prolaktin, dan thyroid-stimulating hormone serum. Jika anamnesis

atau pemeriksaan menunjukkan keadaan hiperandrogenik, konsentrasi testosteron bebas

dan total serum dan dehidroepiandrosteron sulfat dapat berguna. Jika pasien

berperawakan pendek, analisis kariotipe harus dilakukan untuk menyingkirkan sindrom

Turner. Jika adanya sekresi estradiol endogen tidak jelas dari pemeriksaan fisik

(misalnya, perkembangan payudara), estradiol serum dapat diukur. Hitung darah lengkap

dan panel metabolik yang komprehensif mungkin berguna jika anamnesis atau

pemeriksaan sugestif dari penyakit kronis.

Pemeriksaan Diagnostik

Ultrasonografi pelvis dapat membantu mengkonfirmasi ada atau tidaknya uterus, dan

dapat mengidentifikasi kelainan struktural organ saluran reproduksi. Jika tumor hipofisis

dicurigai, magnetic resonance imaging (MRI) dapat diindikasikan. Hormonal challenge

(misalnya, medroxyprogesterone asetat [Provera], 10 mg oral per hari selama tujuh sampai

10 hari) dengan antisipasi withdrawal bleeding untuk mengkonfirmasi anatomi yang

fungsional dan estrogenisasi yang memadai, secara tradisional menjadi pusat evaluasi.
Beberapa ahli menunda pengujian ini karena korelasinya dengan status estrogen relatif

tidak dapat diandalkan. Sebagian besar laboratorium dengan pengaturan sumber daya yang

rendah tidak memiliki fasilitas untuk mengukur FSH, estradiol, thyroid-stimulating

hormone (TSH) dan prolaktin. Pemeriksaan hormonal ini secara rutin digunakan dalam

diagnosis amenorea dalam pengaturan klinis dengan sumber daya yang tinggi.

2.2.3 PENATALAKSANAAN

1. Penatalaksanaan defek anatomi dari traktus genitalia

Setiap defek anatomi dari traktus genitalia memerlukan prosedur bedah yang tepat.

Septum vagina transversal memerlukan eksisi, himen imperforata membutuhkan

pengangkatan jaringan dalam bentuk segitiga dan sinekia intrauterin membutuhkan

pelepasan. Selanjutnya, agenesis serviks mungkin memerlukan histerektomi sementara

disgenesis serviks mungkin memerlukan kanalisasi serviks.

Pada anak perempuan dengan diagnosis sindrom insensitivitas androgen panjang vagina

yang memadai untuk melakukan hubungan seksual dapat dicapai melalui dilatasi non

bedah. Namun, dalam beberapa kasus koreksi bedah pada anomali traktus genitalia

harus dilakukan untuk membuat neovagina. Pada anak perempuan yang terkena

sindrom insensitivitas androgen sangat penting untuk menjamin dukungan psikologis

yang konstan.

2. Penatalaksanaan sindrom MRKH

Penatalaksanaan agenesis vagina pada sindrom Mayer-Rokitanksy-Kuster-Hauser

selalu menjadi topik yang kontroversial. Pilihan prosedur dan usia pasien pada saat

rekonstruksi tergantung pada anatomi individu, potensi kesuburan dan faktor psikologis

dan sosial. Awalnya, argumen berpusat pada apakah akan melakukan operasi atau

mencoba dilatasi pasif serta pada usia berapa intervensi dilakuakn. Karena teknik bedah
baru-baru ini telah diperbaharui, pertanyaannya adalah, jika operasi dipilih, jaringan

apa yang harus digunakan (graft usus vs kulit) dan, jika skin graft, dari daerah mana ia

diambil. Tujuannya adalah memuaskan aktivitas seksual dengan anatomi dan fungsi

vagina yang baik bersama dengan luaran jangka panjang mekanis. Sampai saat ini,

terapi yang direkomendasikan, ketika reseksi kornu rudimenter diindikasikan, adalah

laparotomi. Tujuan yang sama saat ini dapat dicapai dengan laparoskopi Laparoskopi

tidak hanya berguna untuk diagnosis malformasi uterus, tetapi juga berharga untuk

perawatan yang diperlukan untuk jenis malformasi ini bersama dengan penciptaan

vagina buatan (vaginoplasti yang dibantu laparoskopi).

Pada sindrom Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser, pasien dapat mengambil manfaat

dengan bedah pembentukan neovagina; uterus yang tidak berkembang harus diangkat

dengan adanya endometrium fungsional karena dapat bertanggung jawab atas

pembengkakan uterus dan nyeri berulang abdomen bagian bawah. Waktu yang ideal

untuk intervensi adalah pada saat remaja atau setelahnya, ketika seorang wanita telah

mencapai maturitas fisik dan psikologis. Di masa lalu, prosedur rekonstruksi vagina

dilakukan pada bayi dan anak-anak perempuan pra-pubertas dan ini memerlukan revisi

bedah yang tak terelakkan di masa remaja sebelum aktivitas seksual. Penundaan

pengobatan juga memungkinkan wanita untuk terlibat dalam pengambilan keputusan

dan juga meningkatkan kepatuhan dengan terapi dilatasi ajuvan yang mungkin

diperlukan.

Tujuan perawatan jangka panjang adalah untuk membuat kanal neo-vagina yang

fungsional dengan diameter dan panjang yang memadai, arah aksial yang tepat, dan

sekresi / lubrikasi yang normal untuk mengakomodasi hubungan seksual dan mengatasi

masalah kesuburan. Ada dua jenis prosedur utama; pertama terdiri dari penciptaan
rongga baru dan dapat dilakukan dengan bedah atau non-bedah. Yang kedua adalah

penggantian vagina dengan kanal yang sudah ada yang dilapisi dengan membran

mukosa (segmen usus). prosedur non-bedah yang paling umum digunakan adalah

metode dilatasi Frank, yang melibatkan aplikasi pertama oleh dokter dan kemudian

oleh pasien dari dilator vagina, dengan panjang dan diameter yang semakin meningkat,

dan juga teknik Ingram dan modifikasi nya. Dilator vagina memiliki sedikit komplikasi

karena tidak ada risiko anestesi atau bedah, tetapi memakan waktu, menyebabkan

ketidaknyamanan pada pasien, dan membutuhkan motivasi pasien yang baik.

Pengobatan bedah dari sindrom MRKH dicapai dengan rekonstruksi vagina, yang

meliputi; vaginoplasti Williams, yang mencakup menjahit labia majora menjadi

kantong perineum, tapi vagina yang dibuat adalah eksternal, pendek, dan tidak

memuaskan untuk hubungan seksual penetratif; prosedur ini tidak lagi dipraktekkan.

Prosedur Vecchietti terdiri dari meningkatkan ukuran vagina dengan secara bertahap

menerapkan traksi pada dinding vagina. Akhirnya, neo-vagina dapat dibuat dalam

ruang rektovesika dan dilapisi oleh jaringan yang berbeda seperti kulit (McIndo-Reed),

peritoneum (Davydov), dan usus.

Merekonstruksi vagina dengan menggunakan segmen usus menciptakan vagina yang

estetis, tidak memerlukan cetakan, dilatasi atau lubrikasi, dan pada anak-anak, neo-

vagina tumbuh dengan pertumbuhan anak dengan risiko stenosis yang kurang. Kolon

sigmoid memiliki kelebihan tertentu, seperti, dinding yang tebal, diameter yang besar,

tidak dapat cedera dengan mudah, memiliki cukup sekresi mukosa, yang meskipun

memadai untuk lubrikasi ia tidak berlebihan atau menjengkelkan, dan tidak

memerlukan dilatasi reguler setelah periode pasca operasi.


Pasien dengan sindrom MRKH dapat menderita distorsi pencitraan tubuh yang berat,

kecemasan, depresi, sensitivitas interpersonal dan menghadapi banyak tekanan

psikologis pada saat diagnosis. Langer dkk mempelajari sekuele psikososial dan cara

mengatasi (coping) malformasi dan terapi dengan wawancara semi terstruktur dan tes

Giessen. Hasil anatomis dan fungsional dari operasi vaginoplasti sangat baik dan

kepuasan seksual berkorelasi dengan coping. 7/11 pasien MRKH mampu dengan baik

untuk beradaptasi dengan malformasi tersebut. Malformasi menyebabkan kerusakan

narsistik pada semua kasus. Masalah perilaku pada pasien remaja dapat dihindari

dengan bimbingan dan penghiburan awal yang tepat.

3. Penatalaksanaan gangguan hipotalamus dan hipofisis

Amenorea hipotalamus harus diterapi sesuai dengan etiologi nya. Pengobatan amenorea

hipotalamus fungsional harus diselesaikan dengan kemunculan atau regulasi siklus

menstruasi dengan memulai terapi estrogen dan progestin. Selanjutnya, terapi ini

harusnya mencegah perkembangan osteoporosis. Sehubungan dengan estrogen oral,

telah ditunjukkan bahwa terapi penggantian hormon transdermal memiliki efek yang

lebih baik pada densitas tulang daripada terapi penggantian hormon oral karena tidak

adanya metabolisme hepatik first-pass. Selain itu, suplementasi kalsium dan vitamin D

sangat disarankan. Secara khusus, pada atlet dengan trias atlet perempuan target terapi

adalah untuk memulihkan menstruasi melalui pengurangan aktivitas fisik, peningkatan

berat badan, suplementasi kalsium dan terapi estrogen.

Sehubungan dengan sindrom Kallmann, target terapi adalah untuk mempromosikan

perkembangan payudara melalui terapi penggantian estrogen dan progestin pada anak

perempuan dan untuk mempromosikan virilisasi melalui terapi penggantian testosteron

pada laki-laki. Selanjutnya, terapi hormonal bisa ditawarkan sebagai metode yang valid
untuk memulihkan kesuburan pada pasien ini. Pemberian gonadotropinreleasing

hormone atau gonadotropin pulsatil telah digunakan untuk menstimulasi ovulasi pada

wanita dan aktivitas spermatogenik pada laki laki. Pada sebagian besar subyek yang

terkena hipogonadisme hipogonadotropik idiopatik, terapi gonadotropin-releasing

hormone pulsatil eksogen jangka panjang telah terbukti efisien karena menginduksi

pertumbuhan testis dan perkembangan sperma saat ejakulasi, yang mendukung

kehidupan seksual dan meningkatkan prognosis reproduksi. Namun, sebagian kecil dari

populasi ini tidak merespon penggantian gonadotropin-releasing hormone, yang

menyarankan defek hipofisis dan testikular pada subyek ini tidak benar-benar

merupakan konsekuensi dari defisiensi gonadotropin-releasing hormone.

Sehubungan dengan prolaktinoma, terapi harus menargetkan untuk memulihkan

menstruasi dan menjamin kesuburan. Agonis dopamin adalah terapi favorit untuk

hiperprolaktinemia karena mereka mampu mengurangi kadar prolaktin, untuk

mengurangi ukuran tumor dan untuk mengembalikan fungsi gonad. Dua agonis

dopamin digunakan untuk mengobati prolaktinoma: bromocriptine dan cabergoline.

Secara khusus, cabergoline telah terbukti lebih berkhasiat dengan kurangnya efek

samping daripada bromocriptine pada wanita dengan mikroadenoma. Oleh karena itu,

cabergoline merupakan pendekatan terapi utama. Perempuan dengan makroadenoma

juga bisa mendapatkan keuntungan dengan agonis dopamin atau, dalam beberapa

kasus, mereka harus menjalani operasi pengangkatan tumor.

4. Penatalaksanaan penyakit terkait insufisiensi ovarium

Sindrom Turner membutuhkan terapi yang mempromosikan pertumbuhan yang

bertujuan untuk memperoleh perkembangan pubertas yang normal dan pencapaian

tinggi dewasa yang normal. Hormon pertumbuhan merupakan fokus dari terapi promosi
pertumbuhan karena terapi ini mampu meningkatkan kecepatan pertumbuhan dan tinggi

akhir.

Sehubungan dengan induksi pubertas, tepat untuk memberikan dosis gonadotropin

sebelum memulai terapi penggantian hormon untuk mengesampingkan pubertas

tertunda. Data terbaru telah menunjukkan bahwa pengobatan dengan estrogen harus

dimulai pada sekitar usia tahun untuk mempromosikan perkembangan pubertas yang

normal tanpa mengganggu terapi hormon pertumbuhan untuk tinggi akhir. Sebenarnya,

estrogen oral serta transdermal dan bentuk injeksi depot dari estradiol telah tersedia.

Terapi estradiol umumnya dimulai dengan dosis rendah (dari 1/10 - 1/8 dari dosis

dewasa) diikuti dengan augmentasi bertahap selama 2-4 tahun, sementara progestin

harus dimulai setelah minimal 2 tahun atau ketika perdarahan uterus terjadi yang

memungkinkan perkembangan uterus dan payudara secara teratur. Selain itu,

suplementasi kalsium sangat disarankan dalam sindrom Turner. Pada sindrom Swyer,

terapi penggantian estrogen harus dimulai setelah gonadektomi pada sekitar usia 11

tahun untuk memungkinkan kecepatan pubertas normal.

Wanita dengan diagnosis kegagalan ovarium prematur harus menjalani terapi

penggantian estrogen sampai usia menopause normal untuk menggantikan defisit

estrogen ovarium dan melawan gejala menopause. Secara khusus, bagi perempuan yang

memiliki uterus yang intak lebih baik untuk memulai terapi hormon kombinasi estrogen

dan progestin untuk menghindari hiperplasia endometrium. Karena defisiensi estrogen,

wanita dengan kegagalan ovarium prematur juga berisiko osteoporosis; karena alasan

ini, aktivitas fisik, makanan yang kaya kalsium dan vitamin D tanpa merokok atau

konsumsi alkohol adalah wajib.


5. Penatalaksanaan oligo atau anovulasi kronis

Wanita dengan kelebihan berat badan atau obesitas dengan sindrom ovarium polikistik

yang menunjukkan oligomenorea atau amenorea harus menjalani intervensi gaya hidup

terstruktur, termasuk peningkatan aktivitas fisik dan penurunan asupan makanan.

Bahkan, telah ditunjukkan bahwa penurunan berat badan 5-10% dikaitkan dengan efek

yang menguntungkan pada sistem reproduksi. Mengenai terapi farmakologis,

sebenarnya tidak ada terapi yang dapat sepenuhnya mengatasi gangguan hormonal pada

sindrom ovarium polikistik.

Selanjutnya, terapi farmakologis tidak seharusnya mengganti intervensi gaya hidup.

Terapi penggantian estrogen dengan dosis rendah yang dikombinasikan dengan

progestin siklik dapat dimulai yang mengarah pada pengurangan hiperandrogenisme.

Selanjutnya, obat sensitisasi insulin merupakan pendekatan yang valid untuk

mengurangi resistensi insulin pada sindrom ovarium polikistik. Secara khusus,

metformin telah terbukti dapat meningkatkan ovulasi dan meregulasi periode

menstruasi.
BAB III

KESIMPULAN

Amenorea primer merupakan suatu keadaan dimana tidak terjadi menstruasi pada wanita

yang berusia 16 tahun ke atas dengan karaktersitik seksual sekunder normal, atau umur 14

tahun ke atas tanpa adanya perkembangan karakteristik seksual sekunder. Gangguan yang ada

bisa terjadi pada kompartemen I (gangguan pada uterus), kompartemen II (gangguan pada

ovarium), kompartemen III (gangguan pada hipofisis anterior) atau pada kompartemen IV

(gangguan pada sistem syaraf pusat).

Penanganan terhadap amenorea primer disesuaikan dengan kelainan yang terjadi. Kelainan

yang diakibatkan oleh kelainan endokrinologik, maka diberikan pengobatan yang berupa

pemberian hormonal. Bila kelainan bersifat psikis, maka pengobatan yang diberikan adalah

mengeliminasi trauma psikis, bila perlu bekerjasama dengan ahli jiwa. Sedangkan kelainan

yang diakibatkan oleh kelainan anatomik bisa diberikan dengan memperbaiki kelainan

anatomis selama hal itu dimungkinkan. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan antara lain 1).

Penatalaksanaan defek anatomi dari traktus genital, 2). Penatalaksanaan sindrom MRKH, 3).

Penatalaksanaan gangguan hipotalamus dan hipofisis, 4). Penatalaksanaan terkait dengan

insufisiensi ovarium, 5). Penatalaksanaan oligo atau anovulasi ovarium.


DAFTAR PUSTAKA

1. The Practice Committee of the American Society of Reproductive Medicine. Current

evaluation of amenorrhea. Fertil Steril 2008;90:S19– 25

2. Deligeoroglou E, Athanasopoulos N, Tsimaris P, et al. Evaluation and management of

adolescent amenorrhea. Ann NY Acad Sci 2010;1205:23–32

3. Lagro M. Amenorea. Gynecology For Less-Resourced Locations. Chapter 8

4. Morcel, K. & Camborieux, L.. Programme de Recherches sur les Aplasies Müllériennes,

Guerrier, D. Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser (MRKH) syndrome. Orphanet Journal of

Rare Diseases 2007,14;2:13

5. Yunus M. Mayer Rokitansky Kuster Hauser (MRKH) syndrome with absent thumbs and

big toes. Department of Radiology, Singh Institute of Urology and Transplantation,

Karach.

6. Jabeen M. Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser Syndrome. World Journal of Laparoscopic

Surgery, May-August 2011;4(2):123-128 123

7. Mungadi IA, et al. Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser Syndrome: Surgical Management of

Two Cases. Journal of Surgical Technique and Case Report 2010; 2(1)

8. Hughes IA, et al. Androgen insensitivity syndrome. Lancet 2012; 380: 1419–28

9. Nair RV, Bhavana S. XY Female with Complete Androgen Insensitivity Syndrome with

Bilateral Inguinal Hernia. Journal of Obstetrics and Gynaecology of India. 2012;62(Suppl

1):65-67. doi:10.1007/s13224- 013-0379-1.

10. Homa L, et al. Primary amenorrhea with transverse vaginal septum and scant

hematocolpos: A case report. Open Journal of Pediatrics, 2012, 2, 87-91

11. Mou JWC, et al. Imperforate hymen: cause of lower abdominal pain in teenage girls.

Singapore Med J 2009; 50(7): e378-e379


12. Golden, N.H. & Carlson, J.L.. The pathophysiology of amenorrhea in the adolescents.

Annals of the New York Academy of Sciences 2008,1135:163-178

13. European Society of Human Reproduction and Embryology Capri Workshop Group.

Nutrition and reproduction in women. Human Reproduction Update 2006,12(3):193-207

14. Welt, C.K., Chan, J.L., Bullen, J., Murphy, R., Smith, P., DePaoli, A.M., Karalis, A. &

Mantzoros, C.S. Recombinant human leptin in women with hypothalamic amenorrhea.

New England Journal of Medicine 2004,35:987-997

15. Dodé, C. & Hardelin, J.P. Kallmann syndrome. European Journal of Human Genetics

2009,17:139-146

16. Dodé, C., Levilliers, J., Dupont, J.M., De Paepe, A., Le Dù, N., Soussi- Yanicostas, N.,

Coimbra, RS., Delmaghani, S., Compain-Nouailles, S., Baverel, F., Pecheux, C., Le

Tessier, D., Cruaud, C., Delpech, M., Speleman, F., Vermeulen, S., Amalfitano, A.,

Bachelot, Y., Bouchard, P., Cabrol, S., Carel, J.C., Delemarre-van de Waal, H., Goulet-

Salmon, B., Kottler, M.L., Richard, O., Sanchez-Franco, F., Saura, R., Young, J., Petit, C.

& Hardelin, J.P. Loss-of-function mutations. in FGFR1 cause autosomal dominant

Kallmann syndrome. Nature Genetics 2003,33:463-465

17. Falardeau, J., Chung, W.C., Beenken, A., Raivio, T., Plummer, L., Sidis, Y., Jacobson-

Dickman, E.E., Eliseenkova, A.V., Ma, J., Dwyer, A., Quinton, R., Na, S., Hall, J.E.,

Huot, C., Alois, N., Pearce, S.H., Cole, L.W., Hughes, V., Mohammadi, M., Tsai, P. &

Pitteloud, N. Decreased FGF8 signaling causes deficiency of gonadotropin-releasing

hormone in humans and mice. Journal of Clinical Investigation 2008,118:2822- 2831

18. Dodé, C., Teixeira, L., Levilliers, J., Fouveaut, C., Bouchard, P., Kottler, M.L.,

Lespinasse, J., Lienhardt-Roussie, A., Mathieu, M., Moerman, A., Morgan, G., Murat, A.,

Toublanc, J.E., Wolczynski, S., Delpech, M., Petit, C., Young, J. & Hardelin, J.P.
Kallmann syndrome: mutations in the genes encoding prokineticin-2 andprokineticin

receptor-2. PloS Genetics 2006,2:1648-1652

19. Bianco, S.D. & Kaiser, U.B. (2009). The genetic and molecular basis of idiopathic

hypogonadotropic hypogonadism. Nature Reviews Endocrinology,5:569-576

20. Brioude, F., Bouligand, J., Trabado, S., Francou, B., Salenave, S., Kamenicky, P.,

Brailly- Tabard, S., Chanson, P., Guiochon-Mantel, A. & Young, J. Non-syndromic

congenital hypogonadotropic hypogonadism: clinical presentation and genotype–

phenotype relationships. European Journal of Endocrinology 2010,162:835-851

21. Layman, L.C., McDonough, P.G., Cohen, D.P., Maddox, M., Tho, S.P. & Reindollar,

R.H. Familial gonadotropin-releasing hormone resistance and hypogonadotropic

hypogonadism in a family with multiple affected individuals. Fertility and Sterility

2001,75:1148-1155

22. Bondy, C.A. for The Turner Syndrome Consensus Study Group. Care of Girls and

Women with Turner Syndrome: A Guideline of the Turner Syndrome Study Group.

Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism 2007,92:10-25

23. Barbaro, M., Oscarson, M., Schoumans, J., Staaf J., Ivarsson S.A. & Wedell, A.

Duplication Containing the DAX1 Gene Isolated 46,XY Gonadal Dysgenesis in Two

Sisters Caused by a Xp21.2 Interstitial. Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism

2007,92:3305-3313

24. Santoro, N. Mechanisms of premature ovarian failure. Annals of Endocrinology

2003,64:87- 92

25. Beck-Peccoz, P. & Persani, L. Premature ovarian failure. Orphanet Journal of Rare

Diseases 2006,1:9 doi:10.1186/1750-1172-1-9

26. Goswami, D. & Conway, G.S. Premature ovarian failure. Hormon Research

2007,68(4):196- 202

Vous aimerez peut-être aussi