Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Islam Indonesia
Dalam tulisannya itu, Cak Nur mengkritik pola pikir tokoh Islam yang
cenderung ingin membawa semua aspirasi umat Islam dalam politik
dan mereka juga dengan seenaknya menyamakan Islam dengan politik
Islam. Oleh karena itu, beliau mengeluarkan jargon "Islam Yes, Partai
Islam, No?" yang terkenal hingga sekarang ini. Cak Nur juga
menganjurkan tentang perlunya liberalisasi pandangan terhadap
ajaran-ajaran Islam. Untuk melakukan itu, ilmu-ilmu pengetahuan dari
Barat bisa dijadikan alat bantu analisis. Pendirian negara Islam,
menurut Cak Nur juga sebagai bentuk apologia politik yang cenderung
oportunis guna menutupi kekurangan dan kelemahan umat Islam.
Untuk mengatasi hal itu harus ditekankan semangat dan praktik untuk
mengembangkan kebebasan berpikir dan ide-ide yang bersifat terbuka
dan maju. Selain itu, kelompok pembaru yang "liberal" juga mesti
segera difasilitasi kelahirannya dan dikembangkan di semua tempat.
Oleh karena itu, yang wajib digalakkan oleh umat Islam adalah nilai-
nilai Islam yang bersifat substansial, jadi bukan sekadar simbolisme
keagamaan. Masalah jilbab, partai Islam, negara Islam, pendidikan
Islam yang banyak menekankan simbolisme, menurut Cak Nur mesti
segera diakhiri. Cak Nur juga menyatakan bahwa kebenaran tidak
hanya tunggal milik Islam, tetapi juga milik agama-agama lain. Sebab
pada dasarnya, semua agama mengajarkan jalan kebenaran untuk
meraih keselamatan. Cak Nur juga menafsirkan secara liberal makna
dari "Islam", "agama", "titik temu antaragama", serta "Allah". Hingga
sekarang, Cak Nur tampak konsisten dengan teologi inklusif serta ide
sekularisasinya.
Pembaruan Islam ala Cak Nur dan Harun Nasution, secara historis
muncul bersamaan dengan menguatnya modernisasi atau
pembangunan. Oleh karena itu, banyak kritik yang menganggap bahwa
gerakan itu sebagai bentuk rasionalisasi dan legitimasi teologis
terhadap pembangunan tersebut. Menurut mereka yang kebanyakan
menjadi aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ini, pembaruan
tahun 70-an juga sangat elitis dan tidak menyentuh problem utama
umat Islam. Yang dipikirkan hanyalah bagaimana mengubah paradigam
keagamaan, jadi seakan-akan yang menyebabkan masyarakat miskin
dan terbelakang hanyalah persoalan ini. Kalangan pembaru seperti
Moeslim Abdurrahman, Masdar F. Mas'udi, Kuntowijoyo, Adi Sasono,
Mansour Faqih, serta M. Dawam Rahardjo mencoba memberikan
alternatif terhadap pembaruan Islam di Indonesia.
Kemunculan Jaringan Islam Liberal (JIL) pada tahun 2001 adalah angin
segar bagi pembaharuan pemikiran Islam Indonesia. Mereka umumnya
berasal dari kalangan NU, IAIN, serta HMI. Gagasan yang mereka
usung sepertinya terinspirasi dari buku Charles Kurzman tentang
wacana Islam Liberal. Mereka menekankan tentang perlunya
penafsiran ulang terhadap ajaran Islam sehingga Islam bisa lebih
mencerahkan dan membebaskan. Secara garis besar, ide mereka
adalah tentang penentangan terhadap teokrasi; perlunya demokrasi;
penghormatan dan pengakuan hak-hak perempuan; hak-hak non-
Muslim; penekanan kebebasan berpikir; serta disemarakannya gagasan
tentang kemajuan. Mereka mendeklarasikan diri sebagai lawan dari
gerakan Islam fundamental Jika dirunut ke belakang, mereka pada
dasarnya adalah metamorfosis dari gerakan neomodernisme Cak Nur
sebab isu-isu yang mereka ambil dari bentuk pengulangan dari yang
lama serta mereka masih berputar pada bentuk wacana semata.