Vous êtes sur la page 1sur 7

Abstrak

Latar Belakang: Health care-associated MRSA (HA-MRSA) adalah resisten terhadap


beberapa antibiotik, dan merupakan infeksi yang sulit untuk diobati dan mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Meskipun sebagian besar kegiatan penelitian dan
inisiatif kesehatan masyarakat terfokus pada HA-MRSA, terdapat juga suatu patogen yang
baru yaitu, community-associated methicillin-resistant Staphylococcus aureus (CA-MRSA)
yang memperlihatkan angka morbiditas pasien yang signifikan. Kurangnya data yang
signifikan mengenai CA-MRSA di negara yang berkembang di dunia. Tujuan: Untuk
mengetahui proporsi HA-MRSA dan infeksi CA-MRSA pada pasien dengan hasil kultur
positif terinfeksi S. aureus dan untuk mengetahui berapa banyak dari pasien tersebut
menunjukkan adanya MRSA pada hasil kultur swab hidung. Bahan dan Metode: Data
klinis dari 227 pasien yang dicatat dalam penelitian ini meliputi durasi, kekambuhan,
riwayat minum antibiotik, dan adanya penyakit medis lainnya. Swab pus diambil dari
masing-masing lesi dan dilakukan pemeriksaan kultur dan sensitivitas. Jika hasil kultur
menunjukkan adanya S. aureus, maka akan di skrining untuk resistensi terhadap methicillin.
Pengambilan swab dari nares anterior dilakukan pada setiap pasien, dikumpulkan dan
dilakukan pemeriksaan untuk MRSA. Hasil: Furunkulosis merupakan infeksi paling umum
di antara piodermas primer (53/134; 39. 5%). Dari 239 pasien diperoleh 227 sampel kultur
pus, 192 (84,58%) tumbuh S. aureus; terdapat 150 (78,12%) positif methicillin-sensitif S.
aureus (MSSA), sedangkan 42 (21,98%) adalah MRSA. Dari 42 MRSA terisolasi, 33
diantaranya adalah CA-MRSA (78%) dan 9 (22%) adalah HA-MRSA. Pada 34 pasien MRSA
dilakukan swab kultur hidung, dua diantaranya tumbuh MRSA dalam kultur. Kesimpulan:
hasil kultur dalam penelitian ini banyak ditemukan S. aureus. Selain itu, pada penelitian ini,
meskipun berrberbasis rumah sakit, namun dapat menggambarkan besarnya masalah CA-
MRSA pada masyarakat.

Kata kunci: CA-MRSA, furunkulosis, HA-MRSA, pioderma, Staphylococcus

PENDAHULUAN

Pioderma primer memiliki gambaran klinis tertentu dan disebabkan oleh satu macam
organisme, dan timbul pada kulit normal. Paling sering disebabkan oleh stafilokokus
koagulase-positif atau streptokokus β-hemolitik. Pioderma sekunder terjadi pada kulit yang
telah ada penyakit kulit lain, dapat akut atau kronik sesuai penyakit kulit yang mendasarinya.
Pioderma sekunder memiliki gambaran klinik yang tidak khas sehingga sulit untuk
didiagnosis. [1]

Staphylococcus aureus merupakan salah satu penyebab paling penting dari infeksi kulit dan
juga kadang menyebabkan penyakit sistemik yang fatal. S. aureus menunjukkan angka karier
tinggi pada masyarakat (nasal anterior 35%, perineum 20%, aksila 5% -10%, dan sela jari 5%
-10%) [2]. Perubahan permukaan reseptor bakteri merupakan faktor yang bertanggung jawab
atas resistensi staphylococcal terhadap penisilin resisten beta-laktamase seperti methicillin
dan cloxacillin. [3]

Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) merupakan masalah global pada


layanan kesehatan dan masyarakat. [4] MRSA awalnya diakui sebagai patogen murni terkait
perawatan kesehatan. Namun, epidemiologi sekarang berubah,dimana dapat ditemukan pada
orang sehat tanpa faktor risiko konvensional untuk menderita MRSA. [5]

Health care-associated MRSA (HA-MRSA) adalah resisten terhadap beberapa antibiotik, dan
merupakan infeksi yang sulit untuk diobati dan mengakibatkan morbiditas dan mortalitas
yang tinggi. Meskipun sebagian besar kegiatan penelitian dan inisiatif kesehatan masyarakat
terfokus pada HA-MRSA, terdapat juga suatu patogen yang baru yaitu, community-
associated methicillin-resistant Staphylococcus aureus (CA-MRSA) yang memperlihatkan
angka morbiditas pasien yang signifikan. Sebagian besar laporan yang dipublikasikan dari
CA-MRSA adalah dari negara-negara maju, dan ada kekurangan data dari negara
berkembang di dunia. [6] Oleh karena itu dibutuhkan penelitian mengenai prevalensi CA-
MRSA dan hubungannya terhapat kejadian pioderma selain HA-MRSA di dunia.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional yang dilakukan dari tanggal 1 November
2009, sampai tanggal 30 Mei 2011, setelah mendapat persetujuan dari komite etika
kelembagaan, sesuai Deklarasi Helsinki. Pada pasien pioderma di bagian rawat jalan dan
rawat inap yang merupakan pasien rujukan dari departemen lain untuk departemen
dermatologi yang telah dijelaskan mengenai penelitian ini dan bersedia menjadi sampel
penelitian. Dua ratus dua puluh tujuh pasien dari semua kelompok usia yang memiliki
pioderma, baik primer atau sekunder dan healthy contacts, mereka yang telah diberi informed
consent untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Pasien yang meminum antibiotik sistemik
dalam dua minggu terakhir dieksklusi dari penelitian. Data klinis pasien meliputi
kekambuhan dan adanya penyakit medis lainnya seperti diabetes, penyakit ginjal, penyakit
hati, dan infeksi HIV. Swab dari pasien dan healthy contacts dikirim untuk dilakukan kultur
dan sensitivitas. Spesimen segera dikirm ke laboratorium mikrobiologi.

Di laboratorium mikrobiologi dilakukan hapusan langsung pada spesimen yang dibuat di


tempat yang bersih, objek gelas besar yang telah ditetesi Gram. Spesimen ini juga
diinokulasi pada agar darah dan agar MacConkey dan diinkubasi pada suhu 37 °C. Setelah
inkubasi satu malam, wadah kultur diperiksa untuk pertumbuhan apapun. Isolat diidentifikasi
berdasarkan morfologi koloni dan tes biokimia. Pengujian resistensi antibiotik dilakukan
dengan metode difusi cakram Kirby- Bauer. Jika kultur tumbuh S. aureus ini diskrining untuk
resistensi methicillin oleh cefoxitin (30 ug). Sebuah S. aureus isolat menunjukkan zona
inhibisi kurang dari 20 mm untuk cefoxitin dianggap sebagai MRSA.

S. aureus isolat juga diperiksa untuk resistensi methicillin pada agar oksasilin. Pada media
terkandung 6 mg /mL oksasilin. Tes isolat tempat diinokulasi pada agar oksasilin dan
diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam. Apabila terdapat selaput pertumbuhan telah
dianggap sebagai MRSA. ATCC S. aureus (25.923) digunakan sebagai kontrol negatif dan
ATCC MRSA (43300) digunakan sebagai kontrol positif. Orang dengan infeksi MRSA yang
memenuhi semua kriteria berikut dianggap sebagai infeksi CA-MRSA: [7]
 Diagnosis MRSA diambil dari pasien rawat jalan atau pasien yang memiliki kultur
positif untuk MRSA dalam 48 jam setelah masuk ke rumah sakit.
 Tidak ada riwayat medis infeksi MRSA atau kolonisasi
 Tidak ada riwayat:
 Rawat Inap
 Home care, klinik perawatan, atau rumah sakit
 Dialisis
 Operasi
 Tidak ada penggunaan kateter permanen atau perangkat medis yang melewati kulit ke
dalam tubuh .
Sebuah swab dari nares anterior dari satu healthy contacts setiap pasien MRSA, bila tersedia,
dikumpulkan dan diskrining untuk MRSA.
HASIL

Parameter yang diteliti adalah kultur pus dan sensitivitas, skrining untuk MRSA, dan kultur
pada nares anterior healthy contacts.

Dalam penelitian ini, dari sampel kultur pus 239 yang diperoleh 227 pasien, 134 (56,06%)
adalah pasien pioderma primer dan 105 pioderma sekunder (43,93%). Usia pasien berkisar
antara 7 bulan sampai 70 tahun dengan usia rata-rata 30,7 tahun [Tabel l]. Dalam penelitian
kami, pioderma terdapat pada kelompok usia 0-10 tahun, lebih sering terjadi dalam 5 tahun
pertama kehidupan (18,82%).

Furunkulosis adalah pioderma primer yang paling umum (39,5%), terlihat terutama pada
kelompok usia 21-30 tahun dan 31-40 tahun. Di antara pioderma sekunder, eksim dengan
infeksi sekunder adalah yang paling umum (43,8%), diikuti oleh scabies dengan infeksi
sekunder (15,23%). Laki-laki (64,31%) lebih sedikit dibanding perempuan (35,69%). Tidak
ada perbedaan dalam jenis pioderma menurut jenis kelamin. Dari 105 lesi pioderma sekunder,
48 (45,71%) memiliki riwayat kekambuhan dalam waktu satu tahun. Dua puluh lima dari 53
pasien dengan furunkulosis, 9 dari 22 pasien dengan folikulitis, 9 dari 22 dengan impetigo
kontagiosum, dan 8 dari 12 impetigo bulosa memiliki riwayat kekambuhan. Selulitis dan
ektima memiliki tingkat kekambuhan yang rendah.

Dari 239 sampel kultur nanah yang diperoleh 227 pasien, 192 (80,33%) tumbuh S. aureus;
150 (78,12%) adalah methicillin sensitif S. aureus (MSSA), sedangkan 42 (21,98%)
merupakan MRSA [Tabel 2]. Antara lain, dua tumbuh spesies Enterococcus dan dua E. coli,
dan lima tumbuh Streptococcus pyogenes. Sebanyak 15 kultur menunjukkan pertumbuhan
flora normal dan 23 menunjukkan tidak ada pertumbuhan. Dari 42 MRSA terisolasi, 33
ternyata CA-MRSA (78,57%) dan 9 (21,4%) adalah HA-MRSA, sesuai kriteria yang
dijelaskan. Dari pasien HA-MRSA yang diisolasi, dua petugas kesehatan. Swab nares
dilakukan pada 124 healthy contacts yang tinggal serumah dengan pasien pioderma. Swab
nares dari kontak kasus MSSA tumbuh satu MRSA dan satu MSSA dalam kultur. Pada 34
kasus MRSA dilakukan swab nares, didapatkan dua tumbuh MRSA dalam kultur. Satu
healthy contacts pada kultur swab nasal positif MRSA dan pada indeks pasien juga memiliki
flora normal pada kultur [Tabel 3].
PEMBAHASAN

Sebagian besar penelitian di India menunjukkan impetigo menjadi pioderma yang paling
umum di antara anak-anak maupun orang dewasa.[8,9] Sebuah penelitian dari Mumbai
menunjukkan dominan folikulitis (58,8%) dan furunkulosis (33,3%). [10] Sedangkan di
Pondicherry, pioderma primer (impetigo kontagiosum ) merupakan pioderma paling banyak.
[11] Penelitian dari India dan Singapura menunjukkan frekuensi pioderma primer dan
sekunder sama sejalan dengan penelitian ini [8,12]

Sebuah penelitian dari Jodhpur menunjukkan pioderma banyak terjadi dalam dekade pertama
kehidupan, sejalan dengan penelitian ini. [13 ] Sebaliknya, penelitian di Singapura
menunjukkan pioderma terjadi antara usia 10-30 tahun, mungkin karena demografi
penduduk yang berbeda dan kondisi ekonomi yang lebih baik yang mengarah ke standar yang
lebih baik pada kebersihan di rumah. [12]

Sebanyak 25 dari 53 pasien furunkulosis, 9 dari 22 pasien folikulitis, 9 dari 22 pasien


impetigo kontangiosum dan 8 dari 12 pasien impetigo bulosa memberikan riwayat keluhan
serupa sebelumnya. Selulitis dan ektima memiliki riwayat kekambuhan yang rendah. Dari 48
pasien, 19 memiliki diabetes. Sangat sedikit penelitian yang sejalan dengan penelitian ini
mengenai kekambuhan pioderma. Angka kekambuhan yang tinggi berhubungan dengan
ekonomi yang rendah.

Sebagian besar penelitian yang dilakukan di luar negeri ditemukan S. aureus menjadi
organisme yang paling umum (46%-83%) diisolasi dengan berbagai proporsi MSSA dan
MRSA, kecuali sebuah penelitian yang dilakukan hanya pada anak-anak sekolah, yang
ditemukan streptokokus β-hemolitik menjadi yang paling umum agen penyebab. [12,14-17]
Di India, S. aureus adalah agen penyebab tersering (45% -81%) untuk pioderma yang
ditemukan baik secara tunggal atau dalam hubungan dengan organisme lain, diikuti oleh
Streptokokus β-hemolitik, bahkan dalam penelitian yang dilakukan pada anak-anak.
[8,10,13,18-21]

Analisis pada pioderma primer, S. aureus juga organisme paling umum ditemukan di
impetigo nonbulosa, [22] impetigo bulosa, [23] folikulitis, furunkulosis dan bisul, sedangkan
erisipelas dan selulitis biasanya disebabkan oleh Streptokokus β-hemolitik. [24] Sebuah
penelitian dari Pondicherry menunjukkan S. aureus menjadi strain umum terisolasi dalam
semua kasus pioderma kecuali dalam dua dari tiga kasus ektima, dimana didapatkan
Streptokokus β-hemolitik. [11]

Aramburu et al. melaporkan 58 kasus CA-MRSA, yang 41 kasus (71%) memiliki infeksi
kulit dan 17 (29%) terdapat koloni. [25] Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Takizawa et
al. dari Jepang pada 54 anak (7 bulan sampai 10 tahun) dengan impetigo contagiosa
menunjukkan 54 strain yang berbeda dari S. aureus, yang 11 strain (20,4%) adalah CA-
MRSA, 43 strain yang tersisa adalah MSSA. Penelitian lain yang dilakukan oleh penulis
yang sama pada tahun 2004 menunjukkan 30 strain S. aureus dari 30 anak-anak dengan
impetigo bulosa. Lima strain (16,7%) adalah CA-MRSA dan 25 strain yang tersisa adalah
MSSA. [26] Katopodis et al. dari Yunani melakukan penelitian antara 2003 dan 2009 di mana
180 CA-MRSA diisolasi dari 309 pasien S. Aureus, sebagian besar dari anak-anak lebih dari
3 bulan. [27] Sebuah penelitian di Kamboja menemukan bahwa 32% dari MRSA terisolasi
CA-MRSA. Penyebab umum pada CA-MRSA yaitu over-the-counter antibiotik, sosial
ekonomi rendah, kurangnya kebersihan, frekuensi tinggi dari sepsis akibat staphylococcal
kulit di masyarakat, sering menggaruk, dan gigitan serangga. [28]

Dalam sebuah penelitian oleh Shenoy et al., Total 83 CA-MRSA diisolasi dari abses dan
infeksi kulit lainnya dari orang tanpa faktor risiko untuk infeksi MRSA. [29] Semua
penelitian ini berbasis rumah sakit dan dilakukan di pusat-pusat perawatan tersier. Pada
perawatan tersier penelitian berbasis pusat menunjukkan frekuensi yang lebih tinggi dari HA-
MRSA dibandingkan dengan CA-MRSA, daripada perawatan primer dan populasi berbasis
penelitian. Sebagian dari penelitian ini menunjukkan MSSA menjadi lebih umum daripada
MRSA dan CA-MRSA menjadi lebih umum daripada HA-MRSA, mirip dengan penelitian
ini. Mungkin sebuah penelitian berbasis masyarakat akan menunjukkan frekuensi yang lebih
tinggi dari CA-MRSA dibanding HA-MRSA.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lamoro-Cordoso et al. dari Brazil yang terdiri
dari 1192 anak-anak, yang dilakukan kultur swab nares didapatkan 371 adalah S. aureus 14
MRSA. [30] Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dudareva et al. antara 232 pencari suaka
di Jerman yang diskrining untuk MRSA dengan swab nares; 5 penyeka hidung menunjukkan
MRSA. [31] Stevens et al. dari Alaska melakukan penelitian pada 316 pasien di antaranya 32
memiliki infeksi kulit aureus S., 90 tidak memiliki riwayat infeksi kulit dan 194 adalah
anggota rumah tangga (Healthy contacts) pasien. Hasil kultur swab nares menunjukkan 13%
memiliki MRSA, 26,9% memiliki MSSA, dan 60,1% tidak ad a koloni S. aureus.
Pengamatan pada pasien infeksi kulit selama tiga tahun berturut-turut menemukan bahwa
pasien dapat menjadi MRSA pada swab nares dan memiliki lebih banyak kesempatan untuk
berkembang menjadi infeksi kulit dari MSSA dan non-S. aureus. [32] Sebuah penelitian
kasus-kontrol dari provinsi Nan di Thailand pada tahun 2008 menunjukkan bahwa neonatus
terpapar pada seorang carier S. aureus memiliki risiko tinggi untuk menjadi sakit. Tiga dari
34 petugas kesehatan memiliki kultur positif S. aureus dari swab nares mereka. [33]
Chatterjee et al. dari Chandigarh menemukan bahwa prevalensi keseluruhan S. aureus
kolonisasi nares adalah 52,3% dan dari MRSA adalah 3,89%, menunjukkan tingginya tingkat
kolonisasi nares S. aureus dan MRSA. [34] Namun, penelitian dari Brazil dan Jerman
menunjukkan tingkat relatif lebih rendah dari MRSA. Pada penelitian ini ditemukan tingkat
yang lebih rendah pada kolonisasi nares MRSA yang jumlahnya tidak signifikan antara
kontak pasien pioderma. Didapatkan satu healthy contacts memiliki MRSA tumbuh dalam
kultur swab nares juga ditemukan flora normal dalam kultur menunjukkan dengan jelas
bahwa sumber MRSA bukan berasal dari pasien.

Sebagai pengetahuan bahwa sangat sedikit penelitian yang meneliti mengenai carrier pada
healthy contacts yang serumah dengan pasien pioderma. Penelitian dengan memasukkan
healthy contacts yang lebih banyak per pasien mungkin lebih baik, dan memiliki nilai
korelasi yang signifikan secara statistik. Selanjutnya, swan nares dari pasien sendiri akan
memiliki nilai tambah untuk penelitian. Bahkan kemudian, penelitian kami, meskipun
berbasis rumah sakit dapat menunjukkan dengan jelas besarnya masalah CA-MRSA dalam
masyarakat.

Vous aimerez peut-être aussi