Vous êtes sur la page 1sur 7

Sekolah inklusi kini menjadi salah satu alternatif pendidikan yang dipilih oleh banyak orangtua

dengan anak berkebutuhan khusus, termasuk orangtua siswa penyandang Autism Spectrum
Disorder
(ASD). ASD sendiri didefinisikan sebagai gangguan perkembangan, dimana penyandangnya
memiliki abnormalitas dalam fungsi sosial, bahasa dan komunikasi, serta adanya perilaku dan
minat yang tidak biasa (Mash & Wolf, 2010). Seluruh penyandang gangguan tersebut memiliki
hambatan dalam aspek sosialisasi dan komunikasi dengan orang lain, sehingga seringkali mereka
harus menjalani pendidikan dalam sekolah khusus. Hal ini tidak jarang membuat siswa
kemudian terkucil dan mendapat stigma negatif dari masyarakat. Selain itu, sekolah khusus juga
seringkali tidak menyediakan kesempatan bagi siswa ASD untuk berinteraksi dengan anak
normal, sehingga siswa semakin tidak terbiasa untuk menghadapi situasi lingkungan di luar
rumah dan sekolah yang justru didominasi oleh orang normal. Berdasarkan kekurangan sekolah
khusus di atas, banyak orangtua yang kemudian tergerak untuk mendapatkan alternatif
pendidikan lain bagi anaknya, yaitu sekolah inklusi. Orangtua beralasan bahwa pendidikan
inklusi dapat memberikan suasana belajar yang senormal mungkin bagi anaknya (Monchy, et al,
2004). Menurut Pasal 1 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70 Tahun 2009
pendidikan inklusi didefinisikan sebagai, “ sistem penyelenggaraan pendidikan yang
memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran
dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya”.
Dalam pasal selanjutnya juga dijelaskan bahwa peserta didik yang dimaksud melingkupi siswa
dengan kelainan fisik, emosional, mental dan sosial, sehingga terwujud sebuah pendidikan yang
menghargai perbedaan dan tidak diskriminatif bagi seluruh siswa (Sunaryo, 2009).

Menurut Emawati (2008), sekolah inklusi memberikan manfaat bagi siswa berkebutuhan
khusus, dimana siswa memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi terbaiknya bersama
dengan siswa normal. Selain itu, pelaksanaan aktivitas belajar mengajar bersama siswa normal
lainnya juga dapat menghilangkan stigma negatif masyarakat akan siswa berkebutuhan khusus
yang selama ini seringkali dikucilkan karena keterbatasannya. Adapun siswa normal yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah siswa yang tidak memiliki gangguan perkembangan
pervasif atau tidak menyandang gangguan autism. Akan tetapi, walaupun sekolah inklusi dapat
memberikan banyak manfaat bagi siswa, tidak sedikit ahli pendidikan yang mengkritisi
pelaksanaan model pendidikan ini. Guralnick et al (1995, dalam Monchy et al , 2004)
menyatakan bahwa menjadi siswa di sekolah inklusi tidak serta merta membuat siswa ASD
dapat menjalin kontak sosial dan hubungan pertemanan dengan siswa normal yang lain.
Kemudian menurut Sunaryo (2009), dalam pelaksanaan pendidikan inklusi di Indonesia, guru
cenderung belum mampu bersikap aktif dan ramah pada semua siswa. Hal ini lalu menciptakan
kekecewaan dari orangtua dan siswa pun seringkali menjadi bahan olok- olokan oleh siswa
normal. Hal ini akhirnya membuat siswa ASD rentan mengalami bullying oleh siswa normal di
sekolah.

Bullying
didefinisikan sebagai serangkaian perilaku negatif dan seringkali agresif atau manipulatif yang
dilakukan oleh satu orang atau lebih kepada orang lain yang terjadi dalam rentang waktu
tertentu (Sullivan, Clearly, dan Sullivan, 2004). Menurut Dauntehahn & Woods
(no date), pelaku bullying dapat memanipulasi siswa lain karena mereka tahu bahwa korban
bukanlah bagian dari kelompok pertemanannya, sehingga tidak perlu dikasihani. Dengan
demikian siswa tidak akan berempati dan tetap mempertahankan perilaku Bullying terhadap
korban. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa menjadi bagian dari kelompok
pertemanan bisa jadi menurunkan resiko siswa untuk menjadi korban bullying . Dalam hal ini,
penerimaan teman sebaya ( peer acceptance ) dapat memberikan situasi yang kondusif terhadap
hubungan sosial siswa.

Peer acceptance sendiri didefinisikan sebagai sejauh mana seorang anak atau remaja secara
sosial diterima oleh kelompok teman sebaya (Berk, 2007). Ketika siswa memiliki teman yang
dapat dimintai tolong, maka bullying yang dialaminya dapat berakhir dengan cepat. Akan
tetapi, Chamberlin, Kasari dan Rotheram-Fuller (2007, dalam Dudas, 2012) menyatakan bahwa
siswa ASD cenderung kurang terlibat dalam struktur sosial di ruang kelas, dan mendapatkan
penerimaan kelompok ( peer acceptance ) yang lebih rendah dibandingkan siswa normal yang
lain. Situasi bullying akan memburuk ketika anak memasuki usia remaja. Menurut Berk (2007),
ketika remaja siswa dituntut untuk lebih memahami kebutuhan dan keinginan teman sebayanya.
Mereka diharapkan dapat bertukar pikiran dan keinginan dengan siswa yang lain untuk
membina hubungan pertemanan yang dekat, penuh rasa percaya dan pengertian satu sama lain.
Sementara itu, sulit bagi siswa ASD untuk dapat memenuhi tuntutan di atas. Akan tetapi,
menurut Mash dan Wolf (2010), siswa ASD memiliki hambatan dalam memahami emosi yang
kompleks dan jarang berbagi mengenai pengalaman dan perasaannya kepada orang lain. Mereka
memiliki kesulitan untuk memahami situasi sosial saat berhubungan dengan teman sebaya.
Padahal dalam lingkungan sekolah inklusi, siswa ASD dapat bertemu dengan siswa yang agresif,
impulsif, dan memiliki empati rendah, dimana siswa tersebut sulit untuk memahami perbedaan
perilaku yang ditampilkan oleh siswa ASD (Huebner & Morgan, 2009).
Berdasarkan uraian studi di atas, dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan dampak sekolah
inklusi bagi siswa ASD. Di satu sisi, sekolah inklusi dianggap bermanfaat karena memberikan
kesempatan bagi siswa ASD untuk bersosialisasi dengan siswa normal. Namun di sisi lain,
banyak ahli juga menyatakan, bahwa sebenarnya tidak mudah bagi siswa ASD untuk diterima
dengan baik oleh peer group di sekolah, terutama ketika remaja.

ASD adalah gangguan perkembangan, dimana penyandangnya memiliki abnormalitas dalam


fungsi sosial, bahasa dan komunikasi, serta adanya perilaku dan minat yang tidak biasa (Mash &
Wolf, 2010). Istilah ini melingkupi beberapa gangguan perkembangan pervasive, yaitu
gangguan autistic, gangguan asperger, dan gangguan perkembangan perfasif yang tidak spesifik
(PDD-NOS). Terdapat tiga gangguan utama yang ada pada setiap bentuk, yaitu hambatan dalam
sosialisasi, komunikasi, dan imajinasi. Mash dan Wolf (2010) menjelaskan bahwa, siswa ASD
memiliki keterbatasan dalam menampilkan ekspresi sosial dan kepekaan pada informasi sosial
disekitarnya. Selain itu mereka juga memiliki hambatan dalam memahami emosi yang kompleks
dan jarang berbagi mengenai pengalaman atau perasaannya kepada orang lain. Hal tersebut yang
akhirnya membuat siswa ASD memiliki kesulitan dalam mengintegrasikan perilaku sosial,
komunikasi, dan emosi yang sesuai saat berhubungan dengan orang lain.

Teori Bullying
Bullying didefinisikan sebagai serangkaian perilaku negatif dan seringkali agresif atau
manipulatif yang dilakukan oleh satu orang atau lebih kepada orang lain yang terjadi dalam
rentang waktu tertentu (Sullivan, Clearly, dan Sullivan, 2004). Lebih jauh lagi dijelaskan bahwa
perilaku bullying bersifat menyakiti dan berdasar pada ketidakseimbangan kekuatan antara dua
pihak. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Duffy (2004), ditemukan tiga tipe bullying yang
diidentifikasikan oleh siswa, yaitu:
1.Physical bullying, seperti mendorong, memukul, atau menendang.
2.Verbal bullying, seperti membuat panggilan ejekan, menghina, mengatakan hal yang jahat di
belakang orang lain.
3.Relational bullying, seperti mengeluarkan orang dari sebuah permainan, atau tidak
mengikutsertakan orang dalam kegiatan tertentu.

Menurut Huebner dan Morgan (2009), siswa yang dilaporkan sebagai pelaku bullying seringkali
sulit untuk menerima kritik, berpikir terlalu tinggi mengenai dirinya, butuh untuk menjadi pusat
perhatian, dan tidak jarang juga merupakan korban bullying. Kemudian menurut Olweus (2001),
pelaku bullyingjuga seringkali impulsif, mudah marah, senang mendominasi siswa lain, dan juga
menunjukkan empati yang rendah terhadap korban. Sementara itu, menurut Santrock (2006)
siswa yang dilaporkan sebagai korban bullyingdigambarkan sebagai anak yang kesepian dan
memiliki kesulitan dalam berteman. Ketika anak tidak atau hanya memiliki sedikit teman, tidak
ada orang yang akan membelanya saat mendapatkan perlakuan yang tidak
menyenangkan dari orang lain.

Teori Peer Acceptance


Dalam Berk (2007)
peer acceptance didefinisikan sebagai sejauh mana seorang anak atau remaja secara sosial
diterima oleh kelompok teman sebaya. Hal yang menentukan apakah seorang anak disukai dan
dapat dipilih sebagai anggota kelompok adalah pandangan sepihak seluruh anggota kelompok
terhadap anak tersebut. Siswa yang ditolak oleh teman sebaya dilaporkan mengalami gangguan
baik secara akademik, emosional, dan sosial. Selain itu, siswa tersebut juga rentan terlibat dalam
interaksi destruktif yaitu peer victimization, dimana mereka rentan menjadi sasaran serangan
fisik dan verbal atau disakiti dengan berbagai macam bentuk secara berkala. Bagi siswa ASD
peer acceptancemenjadi tantangan yang lebih sulit dibandingkan siswa normal. Hambatan dalam
keterampilan sosial, membuat siswa seringkali terisolasi dari lingkungan sosial di sekolah. Hal
ini menyebabkan kerusakan pada perkembangan sosial dan emosional siswa, serta berakibat pada
meningkatnya potensi siswa untuk menjadi korban bullying (Monchy, Pijl dan Zandberg, 2004).

Dalam Jonas & Frederickson (2010) dijelaskan bahwa,


seringkali siswa ASD ditolak oleh siswa normal lain karena dianggap tidak mampu bekerjasama
dengan baik, memiliki ketergantungan yang tinggi, serta pemalu. Menurut Howlin (1998), hal
yang paling sulit dan seringkali diminta pada siswa ASD adalah cara mereka untuk dapat
berinteraksi secara tepat pada anak-anak seusianya. Dikatakan bahwa siswa ASD lebih mudah
untuk belajar dan mengembangkan keterampilan strategi sosialnya dengan orang dewasa. Hal ini
disebabkan karena orang dewasa lebih dapat memahami dan bertoleransi terhadap masalah yang
dihadapi olehnya. Sementara teman sebaya dianggap tidak dapat bertoleransi terhadap perilaku
yang berbeda dari apa yang biasanya ada dalam kelompok. Aturan-aturan tentang cara untuk
diterima sebagai anggota kelompok, bagaimana mengikuti aktivitas yang ada, bagaimana cara
berbicara pada anggota kelompok yang lain, adalah hal rumit, tidak tertulis dan seringkali sulit
untuk dipahami oleh siswa ASD.

Daftar Pustaka
Berk, Laura.E. 2007. Development Through The Lifespan (4thedition). New York: Pearson
Education, Inc.

Bruyn, Eddy H., Cillessen, Antonius H.N. dan Wissink, Inge B. 2009. Associations of Peer
Acceptance and Perceived Popularity With Bullying an Victimization in Early Adolescence.
Diunduh pada tanggal 9 September 2012, dari: http://cehs15.unl.edu/edps/brnet/uploads/14-
deBruyn,%20et%20al.,%202009.pdf

Cappadocia, M. Catherine, Weiss, Jonathan A. dan Pepler, Debra. 2011. Bullying Experiences
Among Children and Youth with Autism Spectrum Disorder. Diunduh pada tanggal 18 Oktober
2012, dari :
http://download.springer.com/static/pdf/40/art/%253110.1007%252Fs10803-011-1241
x.pdf?auth66=1350571406_d2895b14621264a345f81a6b53f9cb27&ext=.pdf

Dautenhahn, Kerstin dan Woods, Sarah. No date. Possible Connections between Bullying
Behaviour, Empathy and Imitation. Diunduh pada tanggal 28 september 2012, dari:
http://homepages.feis.herts.a.c.uk/~comqkd/dautenhahnwoods.pdf

Dudas, Lynne. 2012. Socially Including Students with Autism Spectrum Disorder in Early
Elementary Classroom : A Children’s Literature Kit. Diunduh pada tanggal 16 September 2012,
dari :
http://csusm-
dspace.calstate.edu/bitstream/handle/10211.8/225/DudasLynne_Summer2012.pdf?sequence=
1

Duffy, Amanda L. 2004. Bullying in School : A Social Identity Perspective. Diunduh pada
tanggal 16 Oktober 2012, dari : https://www120.secure.griffith.edu.au/rch/file/96d19111-
fd64-51ea-62bc-e109701da884/1/02Whole.pdf

Howlin, Patricia.1998. Children With Autism and Asperger Syndrome. London : Wiley

Huebner, Angela, dan Morgan, Erin. 2009. Adolescent Bullying. Diunduh pada tanggal 9
November 2012, dari : http://pubs.ext.vt.edu/350/350-852/350-852_pdf.pdf

Jones, Alice P. Dan Frederickson, Norah. 2010. Multi-Informant Predictors of Social Inclusion
for Student with Autism Spectrum Disorder Attending Mainstream School. Diunduh pada
tanggal
29 September 2012, dari:
http://eprints.gold.ac.uk/2544/1/Jones_et_al_JADD_PostPrint.doc

Mash, Eric J, dan Wolfe, David A. 2010. Abnormal Child Psychology (4thedition). California:
Wadsworth
Monchy, Marleen De ; Pijl, Sip Jan & Zandberg, Tjalling. 2004. Discrepancies in Judging Social
Inclusion and Bullying of Pupils With Behaviour Problems. Diunduh pada tanggal 27 Agustus
2012, dari:
http://teach.newport.ac.uk/sen/SEN_0708/Beh_Resources/Inc_Bullying.pdf

Vous aimerez peut-être aussi