Vous êtes sur la page 1sur 25

LAPORAN KASUS

EPIDURAL HEMATOM

disusun untuk menyelesaikan tugas sebagai Dokter Internsip


di RS Perkebunan Jember Klinik Jember

Oleh
Dian Hadi Purnamasari

Pembimbing:
dr. Anita Fadhilah
dr. Ricky Septafianty

2015
Data Pasien
Nama : An. RAP
Tgl lahir : 26/6/2007 (8 tahun)
RM : 175119
Jenis Kel : Laki-laki
Alamat : Jl. Kini Balu 13 Banyuwangi
Agama : Islam
Tinggi badan : estimasi 120 cm
Berat badan : estimasi 20 kg

PRIMARY SURVEY
Mode of injury: pasien pejalan kaki ditabrak sepeda motor. Penurunan kesadaran +,
riw kejang + 1x, muntah -
Jam kejadian 14.00
Jam datang 22.16

A: patent (sudah terpasang mayo+simple mask)


B: spontan RR 22/menit, simetris
C: N 100/menit, reguler, kuat. TD 110/78 mmHg
D: AVPU GCS 215 pupil anisokor 4/3 RP +/+
E: R. temporoparietal D cephal hematom

Assesment sementara: COB


Planning:
Pertahankan mayo
O2 NRM 12 lpm
IVFD PD ½ 10 tpm
Pro CT scan kepala

SECONDARY SURVEY
Anamnesis
RPS/Kronologis:
- Pasien pejalan kaki ditabrak sepeda motor pk 14.00 (26/6/2015), pingsan < 5
menit di lokasi kejadian, lalu sadar dan dibawa pulang
- Di rumah pasien mengeluh sakit kepala, mual +, muntah -
- Pasien dibawa ke RS Fatimah Bwi pk 15.00 dalam kondisi masih sadar penuh
(GCS 456)
- Di RS pasien mulai mengalami penurunan kesadaran
- Pk 15.30 pasien kejang, seluruh tubuh, <5 menit, segera diberikan Diazepam ½ A
(IV)
- Pk 16.00 pasien GCS 112, diberikan obat tambahan Kutoin 3 A dalam 100 cc PZ
dan Piracetam 1 gram (IV)
- Persiapan pasien untuk dirujuk
- Pasien tiba di UGD RS Jember Klinik pk 22.16 dgn GCS 215 muntah -, kejang -
- Tidak keluar cairan/darah lewat hidung maupun telinga

RPD/RPK
• Asma disangkal, alergi obat disangkal
RPO
• Pk 15.00: IVFD PZ 15 tpm, Ranitidin ½ A, Antrai ½ A IV
• Pk 15.30: Diazepam ½ A IV
• Pk 16.00: Kutoin 3 A dlm 100cc PZ, Piracetam 1 gr IV

Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : lemah
Kesadaran : GCS 215
TTV : TD 110/70 RR 22/menit
N 60/menit Tax 37,4
Kepala : hematom r. temporoparietal D ر5cm
bloody otore -, bloody rinore -, battle sign -
Mata : konjungtiva anemis +, raccoon eyes -
Leher/spine : dbn
Thorax : simetris, suara jantung S1S2 tunggal regular
suara paru vesikular normal, rh-/- wh-/-
Abdomen : datar, jejas -, BU normal, timpani, nyeri sde
Ekstremitas : hangat. Edem -
Status Neurologis :
• Kesadaran : GCS 2-1-5
• Meningeal sign : kaku kuduk -, laseq -, kernig -, brudz 1 -, brudz 2 -
• N.cranialis III : anisokor, d 4/3 RP +/+
• Sensorik : sulit dievaluasi
• Motorik :
KO sde sde TO +N +↓ RF B sde RP H - -
sde sde +N +↓ T sde T - -
K+ + B - +
A+ + C - -
O - -
• Autonom : sulit dievaluasi

Penunjang: Foto Skull AP/lat dari RS Fatimah Bwi


Tak tampak garis fraktur pada cranium

Penunjang: CT scan
Kesimpulan: EDH pada temporo parietal D, tebal 2,53 cm pada 8 irisan, estimasi
volume 60cc, menyebabkan midline shift ke S sebesar 1,1cm, tampak edema serebri,
tak tampak fraktur basis cranii
Penunjang: Hasil laboratorium

Diagnosis klinis
COB - Epidural hematom temporoparietal D

Clinical Pathway COB


Planning
• Konsul dr. Dwi, Sp.BS
pro cito trepanasi
profilaksis Broadced 1 gram
• Konsul dr. Fauzana, Sp.An
acc operasi, siap darah 2 kolf (1 titip 1 bawa)
• Persiapan operasi
KIE dan PTM keluarga pasien
hubungi tim OK

Laporan Operasi
Follow up pasien selama perawatan
Identifikasi Resiko Post-op dan Pencegahannya
- Perdarahan
Sudah dilakukan pemasangan drain untuk mengevaluasi perdarahan post op
- Infeksi
Sudah diberikan antibiotik spektrum luas pada pasien untuk profilaksis infeksi
- Resiko mortalitas
Dilakukan follow up, observasi, dan perawatan khusus pada pasien di ruang post-
op / ICU
- Sequele
Memberi penjelasan pada keluarga tentang sequele yang bisa terjadi pada pasien
sehingga tidak menimbulkan perdebatan di kemudian hari

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia
Ad sanationam : dubia
TINJAUAN PUSTAKA

I. Pendahuluan
Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang paling
sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi oleh tulang tengkorak
yang kaku dan keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna sebagai
pembungkus yang disebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak, menutupi sinus-
sinus vena, dan membentuk periosteum tabula interna. Ketika seorang mendapat
benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk suatu lubang, pergerakan
dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau robekan dari pembuluh darah
yang mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh darah mengalami robekan maka
darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura dan tulang tengkorak, keadaan
inilah yang dikenal dengan sebutan epidural hematom (EDH).
EDH sebagai keadaan neurologis yang bersifat emergency dan biasanya
berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih besar,
sehingga menimbulkan perdarahan. Venous epidural hematom berhubungan dengan
robekan pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan. Arterial hematom terjadi
pada middle meningeal artery yang terletak di bawah tulang temporal. Perdarahan
masuk ke dalam ruang epidural, bila terjadi perdarahan arteri maka hematom akan
cepat terjadi.

II. Insiden dan Epidemiologi


Di Amerika Serikat, 2% dari kasus trauma kepala mengakibatkan EDH dan
sekitar 10% mengakibatkan koma. Secara Internasional frekuensi kejadian
hematoma epidural hampir sama dengan angka kejadian di Amerika Serikat. Orang
yang beresiko mengalami EDH adalah orang tua yang memiliki masalah berjalan dan
sering jatuh. 60 % penderita EDH adalah berusia dibawah 20 tahun, dan jarang terjadi
pada umur kurang dari 2 tahun dan di atas 60 tahun. Angka kematian meningkat pada
pasien yang berusia kurang dari 5 tahun dan lebih dari 55 tahun. Lebih banyak terjadi
pada laki-laki dibanding perempuan dengan perbandingan 4:1.
III. Etiologi
Hematoma Epidural dapat terjadi pada siapa saja dan umur berapa saja,
beberapa keadaan yang bisa menyebabkan EDH adalah misalnya benturan pada
kepala pada kecelakaan motor. Hematoma epidural terjadi akibat trauma kepala, yang
biasanya berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak dan laserasi pembuluh darah.

IV. Anatomi Otak


Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang
membungkusnya, tanpa perlindungan ini, otak yang lembut yang membuat kita
seperti adanya, akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain
itu, sekali neuron rusak, tidak dapat diperbaiki lagi. Cedera kepala dapat
mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang. Sebagian masalah merupakan
akibat langsung dari cedera kepala. Efek-efek ini harus dihindari dan ditemukan
secepatnya dari tim medis untuk menghindari rangkaian kejadian yang menimbulkan
gangguan mental dan fisik dan bahkan kematian.
Tepat di atas tengkorak terletak galea aponeurotika, suatu jaringan fibrosa,
padat dapat digerakkan dengan bebas, yang memebantu menyerap kekuatan trauma
eksternal. Di antar kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan membrane
dalam yang mngandung pembuluh-pembuluh besar. Bila robek pembuluh ini sukar
mengadakan vasokontriksi dan dapat menyebabkan kehilangan darah yang berarti
pada penderita dengan laserasi pada kulit kepala. Tepat di bawah galea terdapat ruang
subaponeurotik yang mengandung vena emisaria dan diploika. Pembuluh-pembuluh
ini dapat membawa infeksi dari kulit kepala sampai jauh ke dalam tengkorak, yang
jelas memperlihatkan betapa pentingnya pembersihan dan debridement kulit kepala
yang seksama bila galea terkoyak.
Pada orang dewasa, tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak
memungkinkan perluasan intrakranial. Tulang sebenarnya terdiri dari dua dinding
atau tabula yang dipisahkan oleh tulang berongga. Dinding luar disebut tabula
eksterna, dan dinding bagian dalam disebut tabula interna. Struktur demikian
memungkinkan suatu kekuatan dan isolasi yang lebih besar, dengan bobot yang lebih
ringan. Tabula interna mengandung alur-alur yang berisikan arteria meningea
anterior, media, dan posterior. Apabila fraktur tulang tengkorak menyebabkan
tekoyaknya salah satu dari arteri-arteri ini, perdarahan arterial yang di akibatkannya,
yang tertimbun dalam ruang epidural, dapat manimbulkan akibat yang fatal
kecuali bila ditemukan dan diobati dengan segera.
Pelindung lain yang melapisi otak adalah meninges. Ketiga lapisan meninges
adalah duramater, arachnoid, dan piamater. Duramater cranialis merupakan lapisan
luar yang tebal dan kuat. Arachnoidea mater merupakan lapisan antara yang
menyerupai sarang laba-laba. Piamater merupakan lapis terdalam yang halus yang
mengandung banyak pembuluh darah.

V. Patofisiologi
Pada EDH, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan durameter.
Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang arteria
meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang tengkorak di
daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipital.
Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen
spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os temporale.
Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan oleh hematoma
akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom
bertambah besar.
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada
lobus temporalis otak ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian
medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini
menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis.
Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus formation
retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini
terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini
mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan
kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan respon
motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda babinski positif.
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong ke
arah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Timbul tanda-
tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan deserebrasi dan
gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus
keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur
mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu
beberapa jam , penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif memberat,
kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran ini
selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan disebut interval lucid. Fenomena
lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada Epidural hematom.
Kalau pada subdural hematoma cedera primernya hampir selalu berat atau epidural
hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien
langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar.
Sumber perdarahan :
 Artery meningea ( lucid interval : 2 – 3 jam )
 Sinus duramatis
 Diploe (lubang yang mengisi kalvaria kranii) yang berisi arteri diploica dan
vena diploica

VI. Gambaran klinis


Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif.
Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di
belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau
telinga. Pasien seperti ini harus diobservasi dengan teliti. Gejala yang sering tampak:
 Penurunan kesadaran, bisa sampai koma
 Bingung
 Penglihatan kabur
 Susah bicara
 Nyeri kepala yang hebat
 Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
 Nampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala.
 Mual
 Pusing
 Berkeringat
 Pucat
 Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.
Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese atau
serangan epilepsi fokal. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal
dan reaksi cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah
terjadi herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada
tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil kontralateral juga
mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya
lagi yang merupakan tanda kematian.

VII. Gambaran radiologi


Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala lebih
mudah dikenali.
Computed Tomography (CT-Scan)
Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi cedera
intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja (single) tetapi dapat
pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonveks, paling sering di daerah
temporoparietal. Densitas darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline
terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural
hematoma,
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser posisi
duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat
menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis
pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.

VIII. Diagnosis banding


1. Hematoma subdural
Hematoma subdural terjadi akibat pengumpulan darah diantara duramater dan
arachnoid. Bisa disebabkan oleh trauma hebat pada kepala yang menyebabkan
bergesernya seluruh parenkim otak mengenai tulang. Biasanya disertai dengan
perdarahan jaringan otak. Gambaran CT-Scan hematoma subdural, tampak
penumpukan cairan ekstraaksial yang hiperdens berbentuk bulan sabit.
2. Hematoma Subarachnoid
Perdarahan subarakhnoid terjadi karena robeknya pembuluh-pembuluh darah
di bawah lapisan arachnoid. Gambaran CT scan bentukan hiperdens yang mengikuti
lekuk sulcus dan girus.

IX. Penatalaksanaan
Penanganan darurat :
 Dekompresi dengan trepanasi sederhana
 Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom

Terapi medikamentosa
1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital
Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan darah yang dapat
menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang pipa naso/orofaringeal dan
pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk membuka jalur intravena : guna-
kan cairan NaC10,9% atau Dextrose in saline.
2. Mengurangi edema otak
a. Hiperventilasi
Bertujuan untuk menurunkan paCO2 darah sehingga mencegah vasodilatasi
pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu menekan
metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat
diperiksa, paO2 dipertahankan > 100 mmHg dan paCO2 diantara 25-30 mmHg.
b. Cairan hiperosmoler
Umumnya digunakan cairan Manitol 10-20% per infus untuk “menarik” air dari
ruang intersel ke dalam ruang intra-vaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui
diuresis. Untuk memperoleh efek yang dikehendaki, manitol harus diberikan dalam
dosis yang cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan : 0,5-1 gram/kgBB dalam
10-30 menit. Cara ini berguna pada kasus-kasus yang menunggu tindakan bedah.
Pada kasus biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek rebound; mungkin dapat dicoba
diberikan kembali (diulang) setelah beberapa jam atau keesokan harinya.
c. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa waktu
yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid
tidak/kurang ber-manfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan
pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak. Dosis parenteral yang
pernah dicoba juga bervariasi: Dexametason pernah dicoba dengan dosis sampai 100
mg bolus yang diikuti dengan 4 dd 4 mg. Selain itu juga Metilprednisolon pernah
digunakan dengan dosis 6 dd 15 mg dan Triamsinolon dengan dosis 6 dd 10 mg.
d. Barbiturat
Digunakan untuk mem”bius” pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan
serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena
kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kemsakan
akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan
dengan pengawasan yang ketat.
e. Cara lain
Pala 24-48 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai 1500-2000 ml/24 jam agar
tidak memperberat edema jaringan. Ada laporan yang menyatakan bahwa posisi tidur
dengan kepala (dan leher) yang diangkat 30° akan menurunkan tekanan intrakranial.
Posisi tidur yang dianjurkan, terutama pada pasien yang berbaring lama, ialah kepala
dan leher diangkat 30°. sendi lutut diganjal, membentuk sudut 150°. telapak kaki
diganjal, membentuk sudut 90° dengan tungkai bawah.

3. Obat-obat Neurotropik
Dewasa ini banyak obat yang dikatakan dapat membantu mengatasi kesulitan/
gangguan metabolisme otak, termasuk pada keadaan koma.
a. Piritinol: senyawa mirip piridoksin (vitamin B6) yang dikatakan mengaktivasi
metabolisme otak dan memperbaiki struktur serta fungsi membran sel. Pada fase
akut diberikan dalam dosis 800-4000 mg/hari lewat infus. Tidak dianjurkan
pemberian intravena karena sifat-nya asam sehingga mengiritasi vena.
b. Piracetam: senyawa mirip GABA – suatu neurotransmitter penting di otak.
Diberikan dalam dosis 4-12 gram/ hari intravena.
c. Citicholine: koenzim pembentukan lecithin di otak. Lecithin sendiri diperlukan
untuk sintesis membran sel dan neurotransmitter di dalam otak. Diberikan dalam
dosis 10Q-500 mg/hari intravena.

Terapi Operatif
Operasi di lakukan bila terdapat :
 Volume hamatom > 30 ml
 Keadaan pasien memburuk
 Pendorongan garis tengah > 5 mm
 Fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur depressed dengan kedalaman >1 cm
 EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah dengan
GCS 8 atau kurang
 Tanda-tanda lokal dan peningkatan TIK > 25 mmHg
Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk fungsional
saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi operasi
emergenci. Biasanya keadaan emergenci ini di sebabkan oleh lesi desak ruang.
Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
 > 25 cc à desak ruang supra tentorial
 > 10 cc à desak ruang infratentorial
 > 5 cc à desak ruang thalamus
Sedangkan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan :
 Penurunan klinis
 Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif.
 Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif.

Perawatan Pascabedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan
dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau
kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian. Perawatan luka dan
pencegahan dekubitus pada pasien post operasi harus mulai diperhatikan sejak dini.
CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan untuk
menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.

X. PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada :
 Lokasinya (infratentorial lebih jelek)
 Besarnya
 Kesadaran saat masuk kamar operasi.
Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena
kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar antara 7-
15% dan kecacatan pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk pada pasien yang
mengalami koma sebelum operasi.
PEMBAHASAN

Subyektif
Pasien pejalan kaki ditabrak sepeda motor, kepala terbentur aspal, sempat pingsan
kemudian sadar, lalu mengalami penurunan kesadaran  lucid interval. Ada pula
kejang 1x tipe tonik klonik. Kasus cedera kepala demikian perlu diwaspadai adanya
perdarahan intracranial.

Obyektif
Dari pemeriksaan fisik yang menunjang diagnosis:
- Cushing respon: bradikardi (N 60x/menit) dan gangguan pola napas (RR
22x/menit) namun tidak ditemukan hipertensi
- GCS E2V1M5 (total skor 8) menunjukkan cedera otak berat
- Pupil anisokor 4/3 refeks cahaya +/+
- Di regio temporoparietal D ditemukan cephal hematom
- Penurunan tonus otot di ekstremitas sebelah kiri
- Tidak ditemukan meningeal sign yang positif

Pemeriksaan penunjang yang mendukung:


CT scan kepala: gambaran bikonveks khas EDH pada area temporoparietal D.
Panjang 6 cm, lebar 2,53 cm pada 8 slice  estimasi volume 60 cc. ditemukan
midline shift ke S sejauh 1,1 cm. Tampak edem serebri. Tidak ditemukan fraktur
basis kranii.

Assessment
Kejadian diawali dengan terbenturnya kepala pasien ke aspal. Gaya yang
menghantam dengan mekanisme coup ini disalurkan melalui scalp  tabula ekstena
 diploe  tabula interna. Proses peregangan akibat benturan yang keras tak
terkompensasi sehingga menimbulkan cedera. Walaupun pada foto skull dan CT scan
tak tampak fraktur pada kalvaria, tidak menutup kemungkinan cedera terjadi pada
vasa. Menurut area yang terbentur, kemungkinan paling besar yang robek adalah
arteri meningea media. Pingsan pertama adalah efek dari trauma primer pada kepala.
Lucid interval terjadi karena masih ada periode kompensasi keseimbangan TIK
sehingga pasien sempat sadar penuh setelah pingsan. Dilanjutkan dengan penurunan
kesadaran yang menunjukkan tanda dekompensasi TIK. Tanda lain pada pasien ini
yang menunjukkan peningkatan TIK yaitu respon cushing, yang merupakan trias dari
hipertensi, bradikardi, dan gangguan pola napas. Pasien juga sempat kejang 1x 
tanda kenaikan TIK.
Secara klinis, diagnosa EDH dapat ditegakkan dengan adanya trias EDH:
- Jejas kepala  ada cephal hematom temporoparietal D
- Dilatasi pupil ipsilateral  pupil D diameter 4mm, sementara pupil S 3mm
- Hemiparese kontralateral  tonus otot ekstremitas kiri lebih lemah dibanding
yang kanan. Pemeriksaan sensorik serta motoric aktif sulit dilakukan terkait
kondisi/ GCS pasien

Secara radiologis, pada foto skull AP/lat tidak ditemukan gambaran yang berarti
patologis. Sementara pada CT scan ditemukan gambaran bikonveks  hematom/clot
terkumpul antara pericranium tabula interna dengan duramater, tidak melintasi sutura.
Adanya midline shift menunjukkan bahwa adanya hematom tersebut mendesak ruang
sekitarnya sehingga mendorong massa otak ke arah kiri. Sebagai kompensasi
meningkatnya volume otak akibat hematom, terjadi pembuangan LCS, ditandai
dengan penyempitan ventrikel lateral. Tampak pula edem cerebri yang ditandai
dengan pudarnya lekukan sulcus dan girus, edem cerebri biasanya terjadi mengikuti
trauma primer.

Planning
Planning Diagnosis
Epidural hematom temporoparietal D
Planning Terapi
Terapi operatif dilakukan untuk life saving dan functional saving. Indikasi operasi
pada EDH terpenuhi:
- Volume >30cc  pada pasien ini estimasi 60cc
- Midline shift >5mm  pada pasien ini 11mm
- Keadaan pasien buruk / GCS < 9  pada pasien ini GCS 8
Terapi medikamentosa pre op:
- Diazepam 5mg IV diberikan saat pasien kejang
- Kutoin 300mg dalam 100cc PZ  antikejang untuk profilaksis terjadinya
kejang selanjutnya
- Manitol 20% 50cc  cairan hyperosmolar untuk membantu menurunkan TIK
- Piracetam 1 gram IV  sebagai agent neurotropic mencegah perburukan
sekunder pada otak
- Ranitidin ½ ampul IV  H2bloker membantu menjaga keseimbangan asam
lambung
- Antrain 500mg IV  sebagai analgetik
- Broadced 1 gram IV  sebagai antibiotik profilaksis pre-op
Terapi medikamentosa post op:
- Infus PD ½ 1000cc/24 jam
- Totilac 4x50cc  agen hiperosmolar
- Broadced 1x1 gram  antibiotik profilaksis infeksi post-op
- Mersitropil  agen neurotropic
- Obat simptomatis, antrain, ranitidin, vometraz
- Transfusi PRC sampai Hb > 11
Terapi non medikamentosa:
- Tirah baring head up 30˚
- Oksigen adekuat (ventilator s/d H+1 postop dilanjutkan dengan nasal canul)
- Nutrisi per sonde/NGT
- Perawatan luka post op, hygiene drain, serta perawatan pencegahan decubitus
- Kasih sayang dan perhatian keluarga
Planning Edukasi
Dilakukan kepada keluarga pasien agar mengerti kondisi pasien, serta diharapkan
untuk membantu proses penyembuhan dan pemulihan. Proses recovery post-op
tentunya tidak instan terkait cedera kepala yang dialami pasien. Selain itu resiko
terjadinya sequele seperti gangguan kognitif, psikomotor, maupun afektif juga perlu
diinformasikan sejak awal agar keluarga tidak kecewa di kemudian hari

Planning konsultasi
Dijelaskan secara rasional perlunya kontrol berkala ke spesialis bedah saraf untuk
menilai perkembangan terapi, angkat jahitan post op (idealnya 5-7 hari post op), serta
menentukan kapan dilakukannya kranioplasti (ideanya 6-8 minggu post trepanasi).
Selain itu dianjurkan konsultasi ke bagian rehab medik untuk pengembalian fungsi
motorik, fungsi wicara, fungsi social, terapi okupasi dan lain sebagainya supaya
pasien memperoleh derajat kesembuhan seoptimal mungkin.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Cedera Kepala: Penatalaksanaan Fase Akut.


http://www.kalbefarma.com/files/cdk/files/16PenatalaksanaanFaseAkut077.pd
f/16PenatalaksanaanFaseAkut077.html

Arif, et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Media Aesculapius: Jakarta.

Basuki, Endro, Sp.BS,dr; 2003, Materi Pelatihan GELS (General Emergency Life
Support). Tim Brigade Siaga Bencana (BSB): Jogjakarta.

Gershon, A. 2005. Subarachnoid Hematoma. www.emedicine.com

Harsono, 2000. Kapita Selekta Neurologi. Jogjakarta: Gajah Mada University Press.

McDonald, D.K. 2006. Epidural Hematoma. www.emedicine.com

Morales, D. 2005. Brain Contusion. www.emedicine.com

Sari, et al. 2005. Chirurgica Re-Package+ Edition. Jogjakarta: Tosca Enterprise.

Sjamsuhidajat, R & Wim de Jong. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC:
Jakarta.

Wagner, A.L. 2005. Subdural Hematoma. www.emedicine.com

Vous aimerez peut-être aussi