Vous êtes sur la page 1sur 10

MAKALAH SEJARAH PEMINATAN

KABINET DJUANDA
DI

S
U
S
U
N
Oleh :
Kelompok VII
Kelas XII SOS 3
Anggota :
1. Ainul Nurul Humaerah
2. Sri Hajriani Mappa
3. Ahmad Bacuk Syahrul Dewantara
4. Aditiya Paradipta Suherman
5. Akbar Efendy

TAHUN AJARAN 2017/2018


SMA NEGERI 3 BONE
KABINET JUANDA

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kabinet Djuanda adalah salah satu Kabinet yang ada pada masa Pemerintahan
Parlementer. Kabinet ini merupakan kabinet yang dipilih juga oleh Ir. Soekarno.
Terbentuknya kabinet ini dalam keadaan yanag tidak menggembirakan karena pada saat itu
Presiden menyatakan negara dalam keadaan bahaya. Bahaya karena partai politik melakukan
“dagang sapi” untuk merebut kekuasaan.
Sejak terjadinya perebutan kekuasan itu maka Soekarno membentuk kabinet ini dengan
menggunakan “Zaken Kabinet”. Zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang
ahli dalam bidangnya masing-masing. Zaken kabinet juga dibentuk dengan alasan lain yaitu
karena Kegagalan konstituante dalam menyusun Undang-undang Dasar pengganti UUDS 1950.
Berdasarkan uraian di atas maka penyusun mencoba untuk menggali lebih jauh tentang
apa saja yang ada pada Kabinet Djuanda.

B. Tujuan Pembuatan Makalah


1. Untuk mengetahui Proses Terbentuknya Kabinet Djuanda
2. Untuk mengetahui Peristiwa-peristiwa penting Kabinet Djuanda
3. Untuk mengetahui Faktor Runtuhnya Kabinet Djuanda
4. Untuk mengetahui Partai politik dan motifnya dalam Kabinet Djuanda

C. Manfaat Pembuatan Makalah


1. Bagi penyusun :
a. Menambah wawasan tentang Kabinet Djuanda
b. Mendapatkan pencapaian nilai tugas Sejarah dengan baik.
c. Dapat berbagi pengetahuan atau wawasan.
2. Bagi masyarakat umum:
a. Mengetahui salah satu Kabinet yang ada di Indonesia ini.
b. Mempelajari kesalahan yang ada dalam Kabinet Djuanda agar tidak terjadi kesalahan
yang sama dalam Kabinet masa reformasi sekarang ini
BAB II
PEMBAHASAN

A. Proses Terbentuknya Kabinet Djuanda


Kabinet Djuanda disebut juga Kabinet Karya karna dibentuk bukan berdasarkan
pertimbangan politis kepartaian. Kabinet ini juga disebut Kabinet Kerja Darurat Ekstra
Parlementer. Istilah “darurat” dilekatkan mengingat kabinet ini dibentuk oleh presiden Soekarno
berlandaskan pemberlakuan “keadaan perang dan darurat perang” (SOB) pada waktu itu.
Pada awal tahun 1957, tepatnya pada bulan Januari 1957, ketegangan politik bangsa kian
memuncak ketika terjadi pengunduran diri beberapa menteri dari kabinet Ali II. Peristiwa ini
berlangsung antara tanggal 9 hingga 15 Januari 1957. Ide untuk melakukan reshuffle memang
sempat mengemuka, akan tetapi presiden tidak mengaktualisasikannya karena dipandang tidak
dapat menjamin stabilitas pemerintahan dan keselamatan negara. Hingga pada akhirnya, kabinet
menyerahkan mandatnya kepada presiden tertanggal 14 Maret 1957. (Sandra, 2007:114).
Sebelum kabinet menyerahkan mandatnya kepada presiden, sebenarnya telah beredar isu
di kalangan masyarakat yakni konsep “Konsepsi Presiden”, yang menyatakan suatu gagasan
mengenai rencana pembentukan kabinet gotong royong. Pada akhirnya gagasan tersebut
terrealisasi pada tanggal 9 April 1957 dengan nama Kabinet Karya dan dipimpin oleh Perdana
Menteri Djuanda. (Sandra, 2007:114). Kabinet ini banyak berisikan para ahli, yang meskipun
sebagian anggota partai tetapi pengangkatannya tidak terikat oleh atau melalui partai. Sebagian
besar masyarakat menganggap bahwa tindakan Presiden inkonstitusional (tidak menurut UUD).
Bahkan Masyumi menentang tindakan tersebut dengan memecat salah seorang anggotanya yang
mau diangkat menjadi menteri dalam Kabinet Karya. Sementara tokoh-tokoh PNI maupun NU
menyatakan bahwa keadaannya tengah gawat (darurat). Bung Hatta sendiri juga menganggap
bahwa tindakan Presiden inkonstitusional. Presiden memang berwenang menunjuk formatur,
tetapi dengan pengertian, yang menjadi formatur tidak boleh sama dengan orang yang menjabat
Presiden. (Moedjanto, 1992:103).
Bagaimanapun penilaian orang, Kabinet Karya harus tetap menjalankan fungsinya
sebagaimana yang telah ditetapkan presiden pada saat pembentukannya. Dapat dipahami bahwa
kabinet yang baru ini bukan kepalang berat tanggungan yang harus dipikul. Usaha-usaha berat
pun harus dilakukan guna mengatasi segala kesulitan yang berkecamuk di tengah-tengah
masyarakat. Adapun program kabinet yang disusun Presiden, antara lain sebagai berikut :
1. Membentuk Dewan Nasional (sesuai dengan konsepsi Presiden) dan sejak Juni 1957
membentuk Depernas (Departemen Penerangan Nasional);
2. Normalisasi keadaan RI;
3. Melanjutkan pelaksanaan pembatalan KMB;
4. Perjuangan Irian Barat;
5. Mempercepat pembangunan. (Moedjanto, 1992:104).
Semasa pemerintahan Djuanda dengan perekonomian yang bersifat terpimpin ini,
instrumen ekspor berupa sertifikat pendorong ekspor (SPE) diganti/disederhanakan menjadi
bukti ekspor (BE). Dalam bulan Desember 1957, dilakukan pengambilalihan (nasionalisasi)
perusahaan-perusahaan Belanda.
Kedudukan Kabinet Karya saat itu memegang andil yang cukup besar bagi
perkembangan kenegaraan di Indonesia, meskipun hanya bertahan selama 2 tahun saja. Pada
masanya, banyak peristiwa yang turut menentukan kedudukan negara dan masyarakat Indonesia
di kemudian hari, baik yang menyangkut sistem pemerintahan dan demokrasi maupun
perjuangan menghaapi Belanda. Akan tetapi, kedudukan Kabinet Karya sendiri sebetulnya
berada di persimpangan jalan. Artinya, sebagai suatu kabinet extra parlementer, kedudukannya
memang kuat karena paelrmene tidak bisa menjatuhkannya. Namun, kedudukan tersebut tidak
lantas membuatnya berada dalam posisi “aman” karena adanya peranan Presiden yang besar dan
menentukan. Presiden dapat mengubah susunan kabinet jika dipandangnya perlu. Bahkan
Presiden dengan kedudukannya yang baru sebagai Ketua Dewan Nasional -dibentuk pada bulan
Mei 1957- memperoleh saluran resmi untuk memaksa kabinet menyetujui kehendaknya. Terlebih
Kabinet Karya sendiri dibentuk atas dasar Undang-Undang Keadaan Darurat. (Moedjanto,
1992:104).
Kendati telah diwarisi rumusan rencana lima tahun oleh kabinet Ali II, bahkan disusun
dengan pelaksanaan Musyawarah Nasioan l Perencanaan (Munap) pada bulan November 1957,
namun kabinet ini tak dapat berbuat banyak bagi pembangunan ekonomi. Penyebabnya adalah
karena situasi itu lebih menuntut perhatian pada upaya pembalian wilayah Irian Barat.
Demikianlah situasi politik di tanah air sampai dengan menjelang tahun 1960. sesudah
1959 sampai dengan 1965, keputusan – keputusan politik tetap mendominasi warna kebijakan –
kebijakan ekonomi.
Dalam usahanya untuk menormalisasi keadaan sosial politik Indonesia, Kabinet karya
menyelenggarakan Musyawarah Nasional di Jakarta pada bulan September 1957. Munas ini
dihadiri oleh wakil-wakil pusat dan daerah-darah, serta Presiden Soekarno dan mantan Wakil
Presiden Hatta. Dalam Munas tersebut dibahas mengenai hubungan antara pusat dan daerah yang
berangsur-angsur dapat dipulihkan dan menuju satu titik keserasian. (Moedjanto, 1992:105).

B. Beberapa peristiwa penting pada masa kerja Kabinet Karya antara


lain :
1. Perjuangan Irian Barat yang dipimpin oleh pemerinth dan digiatkan dalam aksi
pembebasan Irian Barat. Aksi ini didukung oleh pihak militer dan alat-alat negara lainnya
bersama-sama dengan berbagai organisasi massa, pemuda, wanita, veteran, ulama, petani, buruh,
dan lain-lain. Pada pertengahan Oktober 1957 dibentuklah suatu panitia dengan nama Panitia
Aksi Pembebasan Irian Barat, yang mempunyai cabang-cabangnya hingga daerah-daerah.
Menteri Penerangan, Soedibjo, yang menjabat sebagai ketua Panitia Pembebasan Irian Barat
pada tanggal 1 Desember 1957, dengan pengesahan Kabinet Karya, menginstruksikan kepada
segenap kaum buruh yang tergabung dalam organisasi-organisasi buruh pada perusahaan-
perusahaan Belanda untuk mengadakan aksi mogok total pada tanggal 2 Desember 1957 selama
1 hari penuh. Imbas dari mogok kerja tersebut adalah serangkaian aksi pengambilalihan
perusahaan-perusahaan Belanda yang berlangsung antara tanggal 3 hingga 13 Desember 1957.
(Sandra, 2007:115).
2. Pendirian “Gerakan Perjuangan Menyelamatkan Negara Republik Indonesia” pada
tanggal 10 Februari 1958 dengan Husein sebagai ketuanya. Tujuan gerakan ini adalah “menuju
Indonesia yang adil dan makmur”. Gerakan tersebut mengirimkan ultimatum kepada Kabinet
Karya yang berisi :
a. Pembubaran Kabinet Karya dan pembentukan Kabinet Kerja bercorak nasional di bawah
pimpinan Hatta-Hamengku Buwana.
b. Presiden supaya kembali ke kedudukannya yang konstitusional.
c. Tuntutan supaya dipenuhi dalam waktu 5x24 jam, bila ditolak akan mengambil gerakan sendiri.
Kabinet Karya dengan tegas menolak ultimatum tersebut dan menjawabnya dengan
memecat perwira-perwira AD yang terlibat langsung seperti Husein, Simbolon, Jambek, dan
Lubis. (Moedjanto, 1992:106).
3. Pendirian “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” (PRRI) tepat setelah berakhirnya masa
berlaku ultimatum “Gerakan Perjuangan Menyelamatkan Negara Republik Indonesia”. PRRI
dipimpin oleh Syafrudin Prawiranegara -mantan Presiden PDRI- dan berkedudukan di
Bukittinggi. Sepak terjang PRRI makin mengIndonesia ketika Permesta pada hari berikutnya
mendukung dan bergabung dengan PRRI, sehingga gerakan mereka disebut dengan PRRI-
Permesta. Permesta berpusat di Manado, bermarkas di Markas Dewan Manguni yang didirikan
pada tanggal 17 Februari 1958 di bawah pimpinan Mayor Somba. (Moedjanto, 1992:106).
4. Perjuangan pembebasan Irian Jaya dan penyatuannya ke dalam wilayah NKRI sebenarnya telah
memberi kesadaran akan perjuangan pembentukan keutuhan wilayah negara. Kesadaran ini
nampaknya turut mendorong Kabinet Karya untuk menentukan batas wilayah perairan atau laut
teritorial Indonesia dari 3 mil menjadi 12 mil, dihitung dari garis pantai pada waktu air laut surut.
Berikut kutipan Pengumuman Pemerintah Mengenai Wilayah Perairan Negara Republik
Indonesia yang ditandatangani pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Djuanda,
Dengan menteri, dalam sidangnya pada hari Jum’at tanggal 13 Desember 1957 membicarakan
soal wilayah perairan Negara Republik Indonesia.
Bentuk geografi Indonesia sebagai suatu Negara kepulauan yang terdiri dari (berribu-ribu)
pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri.
Bagi keutuhan teritorial dan untuk melindungi kekayaan Negara Republik Indonesia semua
kepulauan serta laut terletak di antaranya harus dianggap sebagai kesatuan yang bulat.
Penentuan batas lautan teritorial seperti termaktub dalam “Territoriale Zee en Maritieme
Kringen Ordonnantie 1939” Staatblaad 1939 No. 442) artikel 1 ayat (1) tidak lagi sesuai dngan
pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, karena membagi wilayah daratan Indonesia dalam
bagian-bagian terpisah dengan teritorialnya sendiri-sendiri.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itu maka pemerintah menyatakan bahwa segala
perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk Negara
Indonesia dengan tidak memandang daratan Negara Indonesia dan dengan demikian bagian
daripada wilayah pedalaman atau Nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Indonesia.
Lalu lintas yang damai di perairan pedalam ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan
sekedar tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia.
Penentuan batas lautan territorial (yang lebarnya 12 mil) diukur dari garis yang
menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau Negara Indonesia.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas akan selekas-lekasnya dengan undang-undang.
Pendirian pemerintah tersebut akan diperhatikan dalam konferensi internasional mengenai hak-
hak atas lauan yang akan diadakan dalam bulan Februari 1958 di Jenewa.
Jakarta, 13 Desember 1957.
Perdana Menteri
ttd.

H. Djuanda.

Selain keempat peristiwa besar dan penting pada masa kerja Kabinet Karya tersebut,
dalam melaksanakan program pembangunan Indonesia, Kabinet Karya memang mengalami
banyak kesukaran terutama dalam hal pembiayaan. Kesulitan ini disebabkan oleh beberapa
faktor, antara lain:
1. Biaya menumpas pemberontakan PRRI-PERMESTA begitu besar (sampai pertengahan
1958 mencapai lebih dari Rp 5.000.000,00);
2. Kekurangan penerimaan karena sistem ekonomi barter dan merebaknya penyelundupan;
3. Defisit penerimaan yang begitu besar. Pada tahun 1958 kurang lebih Rp 9.500.000,00 ;
tahun 1958 Rp 7.911.000,00 ; sehingga berakibat inflasi karena pemerintah hanya mampu
menutupinya dengan uang muka (pinjaman) dari Bank Indonesia.
4. Disiplin ekonomi masyarakat memang masih kurang.
Kabinet Karya juga mengadakan pembangunan di berbagai bidang, misalnya pembukaan
tanah pertanian di Sumatera Selatan dan penyelidikan berbagai daerah untuk transmigrasi. Untuk
memajukan pertanian, berbagai waduk pun dibangun misalnya waduk Cacaban di dekat Tegal,
dan waduk Tabalong dan Balangan di Kalimantan Selatan. (Moedjanto, 1992:111). Selain itu,
dalam usaha melindungi pengusaha-pengusaha kecil bangsa Indonesia, petani, koperasi dan
konsumen, Menteri Perdagangan Rachmat Mulyomiseno mengeluarkan Surat Keputusan
tertanggal 14 Mei 1959, yang isinya melarang orang asing berdagang eceran di kota-kota kecil
atau pedesaan. Dalam bulan November 1959 Keputusan Menteri Perdagangan tesebut
ditingkatkan menjadi Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 1959 yang kemudian diikuti oleh
peraturan Kodam VI Siliwangi yang mengharuskan orang-orang asing pindah ke kota demi
keamanan. (Moedjanto, 1992:111).

Deklarasi Djuanda
Deklarasi Djuanda yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana
Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja, adalah deklarasi yang menyatakan
kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam
kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.
Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada
Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaituTeritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie
1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah
Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di
sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut
yang memisahkan pulau-pulau tersebut.
Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara
kepulauan (Archipelagic State) yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa
negara, sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan
kawasan bebas. Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang
Perairan Indonesia. Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari
2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km² dengan pengecualian Irian Jaya yang walaupun wilayah
Indonesia tapi waktu itu belum diakui secara internasional.
Berdasarkan perhitungan 196 garis batas lurus (straight baselines) dari titik pulau terluar
( kecuali Irian Jaya ), terciptalah garis maya batas mengelilingi RI sepanjang 8.069,8 mil laut[1].
Setelah melalui perjuangan yang penjang, deklarasi ini pada tahun 1982 akhirnya dapat
diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations
Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya delarasi ini dipertegas kembali
dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah
negara kepulauan.
Pada tahun 1999, Presiden Abdurrahman Wahid mencanangkan tanggal 13 Desember
sebagai Hari Nusantara.[2] Penetapan hari ini dipertegas oleh Presiden Megawati dengan
menerbitkan Keputusan Presiden RI Nomor 126 Tahun 2001 tentang Hari Nusantara, sehingga
tanggal 13 Desember resmi menjadi hari perayaan nasional tidak libur.
Isi dari Deklarasi Juanda yang ditulis pada 13 Desember 1957, menyatakan:
1. Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri
2. Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan
3. Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah
Indonesia dari deklarasi tersebut mengandung suatu tujuan :
a. Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat
b. Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan azas negara Kepulauan
c. Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan
keselamatan NKRI
C. Berakhirnya Kabinet Djuanda (Versi 1)
Berakhirnya masa kerja Kabinet Karya berawal dari diterimanya gagasan “kembali ke
UUD 1945” pada tanggal 19 Februari 1959 yang digelontorkan Nasution dalam konferensi
Komando Daerah Militer pada bulan yang sama. Menurut putusan sidang Kabinet Karya pada
tanggal 19 Februari 1959, Presiden akan menyampaikan amanat kepada Konstituante berisi
permintaan agar UUD 1945 diundangkan kembali. Merujuk pada UUDS 1950, untuk mengambil
keputusan dalam suatu kasus, minimal dua pertiga anggota Konstituante harus menghadiri
sidang, dan dua pertiga dari mereka itu memberikan suara setuju. Akan tetapi sampai tiga kali
Konstituante mengadakan pemungutan suara, ternyata mayoritas yang diperlukan tidak pernah
tercapai, sehingga banyak anggota yang tidak mau lagi menghadiri sidang-sidang Konstituante.
Pihak yang pro bersama pihak militer kemudian mendesak Presiden Soekarno untuk
mengundangkan kembali UUD 1945 dengan dekrit. Dekrit Presiden yang disampaikan tanggal 5
Juli 1959 berisi :
1. Pembubaran Konstituante.
2. Berlakunya kembali UUD 1945.
3. Pemakluman bahwa pembentukan MPRS dan DPAS akan dilakukan dalam waktu
sesingkat-singkatnya. (Moedjanto, 1992:114).
Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka sistem demokrasi liberal
Indonesia berganti dengan demokrasi terpimpin. Kabinet Karya pun dibubarkan dan digantikan
oleh Kabinet Kerja.
D. Berakhirnya Kabinet Djuanda (Versi 2)
Sesudah pemimpin pusat terlepas dari krisis perpecahan negara dan bangsa, rakyat
Indonesia mengalami lagi masa-masa yang menentukan mati hidupnya negara kesatuan Republik
Indonesia. Sekali lagi PM Juanda dan Kabinetnya menghadapi pertentangan politik dan ideologi.
Kali ini dalam konstituante. Pertentangan ini merambat masuk kedalam masyarakat dan
menambah ketegangan-ketegangan.
Wakil-wakil rakyat yang telah bersidang sejak 10 November 1956 sampai Januari 1959,
mengalami masalah yang sulit yaitu terutama dalam hal yang sangat prinsip yaitu ideologi
negara. Dua setengah tahun lamanya perdebatan sengit berlangsung dalam konstituante, pers,
dan mayarakat tentang hal ini. Kemudian Presiden Soekarno muncul dengan konsepsinya disusul
dengan gagasan Demokrasi Terpimpin. Tapi masih timbul masalah cara apa yang akan ditempuh
untuk melaksanakan Demokrasi Terpimpin. Kontituantepun menghadapi jalan buntu karena soal
dasar negara tidak dapat dipecahkan. Dan sesuai pasal 134 UUD sementara tugas pembentukan
UUD baru dibebankan pada Konstituante bersama-sama Pemerintah.Karena Kontituante tidak
berhasil membuat UUD1945, hal ini disetujui berbagai kalangan. Bahkan, Angkatan
bersenjatapun menyetujuinya (Poeponegoro 1984:281-283).
Presiden telah mengemukakan konsepsinya diikuti oleh demokrasi terpimpin. Konsepsi
Pemerintah terdapat dalam Keterangan Pemerintah tentang program Kabinet Karya yang
dikemukakan PM Djuanda di depan DPR pada tangal 17 Mei 1957 berjudul Rintisan
Normalisasi Keadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua konsepsi ini berjiwa dan
bersemangat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dengan mempelajari bahan-bahan ini
secara mendalam, PM Djuanda tiba pada konklusi bahwa pelaksanaan Demokrasi Terpimpin
harus dilaksanakan dalam rangka kembali ke UUD 1945. Ide ini disetujui oleh presiden dan
diajukan kepada Dewan Menteri pada tanggal 19 Februari 1959 (Rauf 2001: 123).
Untuk merealisasi gagasan tersebut pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden. Dengan diumumkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka
bangsa Indonsia kembali ke UUD 1945, sedangkan UUDS tidak berlaku lagi. Perubahan dalam
hal UUD dan adanya penerapan sistem Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD
1945 memberikan pengaruh dan perubahan yang besar terhadap sistem ketatanegaraan
Indonesia. Sistem parlementer yang selama ini dipakai oleh bangsa Indonesia diganti dengan
sistem presidensil. Secara otomatis dengan adanya perubahan sistem ini maka presiden akan
berperan sebagai kepala Pemerintahan disamping sebagai kepala negara, sehingga Perdana
Menteri tidak perlu ada lagi. Maka, Senin tanggal 6 Juli 1959 sehari setelah dikeluarkannya
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Juanda dan Kabinet Karya mengembalikan mandat kepada Presiden.
Dengan begitu maka berakhirlah masa Kabinet Djuanda (Rauf 2001:124-126).
Suatu periode yang berat telah dilewatinya. Sekalipun program kerjanya belum seratus
persen berhasil tetapi Kabinet ini telah cukup berjasa dalam membangun bangsa ini. Hasil
kerjanya contohnya: telah diselesaikan UU Keadaan Bahaya menggantikan SOB, UU wajib
militer, Veteran Pejuang Republik Indonesia (VPRI), UU Perjanjian Perdamaian dan Persetujuan
Pampasan Perang dengan Jepang, UU Penanaman Modal Asing, UU Pembatalan Hak
Penambangan, UU Dewan Perancang Nasional, UU Pembangunan Lima Tahun, UU
Perkumpulan Koperasi, UU Bank Tani dan Nelayan, dsb-nya (Kansil 1994:190).

E. Partai politik pada masa kabinet djuanda (Versi 1)


Presiden Soekarno menunjuk anggota-anggota kabinet Djoeanda yang terutama berasal
dari partai-partai PNI, NU, Parkindo, Partindo dan lain-lain tanpa melobby pimpinan partai-
partai terkait. Selain itu banyak sekali orang-orang non-partai, seperti Djoeanda Kartawidajaja,
Soebandrio, Prijono, Muhammad Yamin dll. yang ditunjuk duduk dalam kabinet. Karena
pembentuk kabinet adalah Soekarno sendiri, jadi secara langsung Soekarno-lah Perdana
Menterinya dan sebenarnya dalam kesehariannya Perdana Menteri adalah Djoeanda maka
Presiden menamakan jabatan tsb. "Menteri Utama". (Catatan ; Pada banyak artikel di web
Djoeanda selalu disebut "Perdana Menteri" yang sebenarnya tidak betul.)
Partai-partai Masyumi, PSI dll. menentang kabinet ini, walaupun ada juga simpatisan /
anggotanya dalam kabinet, seperti Ir. Pangeran Muhammad Noor (Menteri PU) yang
mengatakan bahwa dia di kabinet tidak sebagai orang Masyumi tapi orang Muhammadiyah)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembuatan makalah yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan
bahwa :
1. Kurun waktu berkuasa Kabinet Djuanda tidak terlalu lama
2. Adanya 21 Menteri dalam susunan jabatan Kabinet Djuanda
3. Adanya program kerja yang dilakukan Kabinet Djuanda
4. Terdapat keberhasilan yang dicapai Kabinet Djuanda
5. Penyebab jatuhnya Kabinet Djuanda adalah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959

B. Saran
Dalam Kabinet Djuanda banyak keberhasilan yang dicapai karena Ir. Djuanda bisa
mengatur posisi dalam mengambil keputusan. Kabinet Djuanda dalam menganbil keputusan
melalui musyawarah yang pada saat itu dinamakan MuNas (Musyawarah Nasional) dan telah
berganti nama menjadi MuNaP (Musyawarah Nasional Pembangunan).
Jadi sebaiknya dalam mengambil keputusan apapun yang melibatkan masyarakat luas
harus melewati musyawarah agar tidak ada kesalahpahaman antar masyarakat dengan
pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA
http://imronamrullah.net63.net/djuanda.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabinet_Djuanda
https://www.google.com/search?q=tentang+kabinet+djuanda&tbm=isch&tbo=u&source=univ
&sa=X&ei=4GoUs2XIcTWrQeDw4GYDg&ved=0CDgQsAQ&biw=1366&bih=563&dpr=1
http://karw21anto.wordpress.com/tugas-2/semester-1/penyebab-jatuhnya-7-kabinet-di-
indonesia/
http://onespiritz.wordpress.com/2010/12/11/masa-demokrasi-parlementer-1950-1959/
http://contoh-makalah-mahasiswa.blogspot.com/2012/09/contoh-makalah-bahasa-
indonesia.html#.Uj5jg6KQaUM

Vous aimerez peut-être aussi