Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
KABINET DJUANDA
DI
S
U
S
U
N
Oleh :
Kelompok VII
Kelas XII SOS 3
Anggota :
1. Ainul Nurul Humaerah
2. Sri Hajriani Mappa
3. Ahmad Bacuk Syahrul Dewantara
4. Aditiya Paradipta Suherman
5. Akbar Efendy
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kabinet Djuanda adalah salah satu Kabinet yang ada pada masa Pemerintahan
Parlementer. Kabinet ini merupakan kabinet yang dipilih juga oleh Ir. Soekarno.
Terbentuknya kabinet ini dalam keadaan yanag tidak menggembirakan karena pada saat itu
Presiden menyatakan negara dalam keadaan bahaya. Bahaya karena partai politik melakukan
“dagang sapi” untuk merebut kekuasaan.
Sejak terjadinya perebutan kekuasan itu maka Soekarno membentuk kabinet ini dengan
menggunakan “Zaken Kabinet”. Zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang
ahli dalam bidangnya masing-masing. Zaken kabinet juga dibentuk dengan alasan lain yaitu
karena Kegagalan konstituante dalam menyusun Undang-undang Dasar pengganti UUDS 1950.
Berdasarkan uraian di atas maka penyusun mencoba untuk menggali lebih jauh tentang
apa saja yang ada pada Kabinet Djuanda.
H. Djuanda.
Selain keempat peristiwa besar dan penting pada masa kerja Kabinet Karya tersebut,
dalam melaksanakan program pembangunan Indonesia, Kabinet Karya memang mengalami
banyak kesukaran terutama dalam hal pembiayaan. Kesulitan ini disebabkan oleh beberapa
faktor, antara lain:
1. Biaya menumpas pemberontakan PRRI-PERMESTA begitu besar (sampai pertengahan
1958 mencapai lebih dari Rp 5.000.000,00);
2. Kekurangan penerimaan karena sistem ekonomi barter dan merebaknya penyelundupan;
3. Defisit penerimaan yang begitu besar. Pada tahun 1958 kurang lebih Rp 9.500.000,00 ;
tahun 1958 Rp 7.911.000,00 ; sehingga berakibat inflasi karena pemerintah hanya mampu
menutupinya dengan uang muka (pinjaman) dari Bank Indonesia.
4. Disiplin ekonomi masyarakat memang masih kurang.
Kabinet Karya juga mengadakan pembangunan di berbagai bidang, misalnya pembukaan
tanah pertanian di Sumatera Selatan dan penyelidikan berbagai daerah untuk transmigrasi. Untuk
memajukan pertanian, berbagai waduk pun dibangun misalnya waduk Cacaban di dekat Tegal,
dan waduk Tabalong dan Balangan di Kalimantan Selatan. (Moedjanto, 1992:111). Selain itu,
dalam usaha melindungi pengusaha-pengusaha kecil bangsa Indonesia, petani, koperasi dan
konsumen, Menteri Perdagangan Rachmat Mulyomiseno mengeluarkan Surat Keputusan
tertanggal 14 Mei 1959, yang isinya melarang orang asing berdagang eceran di kota-kota kecil
atau pedesaan. Dalam bulan November 1959 Keputusan Menteri Perdagangan tesebut
ditingkatkan menjadi Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 1959 yang kemudian diikuti oleh
peraturan Kodam VI Siliwangi yang mengharuskan orang-orang asing pindah ke kota demi
keamanan. (Moedjanto, 1992:111).
Deklarasi Djuanda
Deklarasi Djuanda yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana
Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja, adalah deklarasi yang menyatakan
kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam
kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.
Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada
Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaituTeritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie
1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah
Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di
sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut
yang memisahkan pulau-pulau tersebut.
Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara
kepulauan (Archipelagic State) yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa
negara, sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan
kawasan bebas. Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang
Perairan Indonesia. Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari
2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km² dengan pengecualian Irian Jaya yang walaupun wilayah
Indonesia tapi waktu itu belum diakui secara internasional.
Berdasarkan perhitungan 196 garis batas lurus (straight baselines) dari titik pulau terluar
( kecuali Irian Jaya ), terciptalah garis maya batas mengelilingi RI sepanjang 8.069,8 mil laut[1].
Setelah melalui perjuangan yang penjang, deklarasi ini pada tahun 1982 akhirnya dapat
diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations
Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya delarasi ini dipertegas kembali
dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah
negara kepulauan.
Pada tahun 1999, Presiden Abdurrahman Wahid mencanangkan tanggal 13 Desember
sebagai Hari Nusantara.[2] Penetapan hari ini dipertegas oleh Presiden Megawati dengan
menerbitkan Keputusan Presiden RI Nomor 126 Tahun 2001 tentang Hari Nusantara, sehingga
tanggal 13 Desember resmi menjadi hari perayaan nasional tidak libur.
Isi dari Deklarasi Juanda yang ditulis pada 13 Desember 1957, menyatakan:
1. Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri
2. Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan
3. Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah
Indonesia dari deklarasi tersebut mengandung suatu tujuan :
a. Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat
b. Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan azas negara Kepulauan
c. Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan
keselamatan NKRI
C. Berakhirnya Kabinet Djuanda (Versi 1)
Berakhirnya masa kerja Kabinet Karya berawal dari diterimanya gagasan “kembali ke
UUD 1945” pada tanggal 19 Februari 1959 yang digelontorkan Nasution dalam konferensi
Komando Daerah Militer pada bulan yang sama. Menurut putusan sidang Kabinet Karya pada
tanggal 19 Februari 1959, Presiden akan menyampaikan amanat kepada Konstituante berisi
permintaan agar UUD 1945 diundangkan kembali. Merujuk pada UUDS 1950, untuk mengambil
keputusan dalam suatu kasus, minimal dua pertiga anggota Konstituante harus menghadiri
sidang, dan dua pertiga dari mereka itu memberikan suara setuju. Akan tetapi sampai tiga kali
Konstituante mengadakan pemungutan suara, ternyata mayoritas yang diperlukan tidak pernah
tercapai, sehingga banyak anggota yang tidak mau lagi menghadiri sidang-sidang Konstituante.
Pihak yang pro bersama pihak militer kemudian mendesak Presiden Soekarno untuk
mengundangkan kembali UUD 1945 dengan dekrit. Dekrit Presiden yang disampaikan tanggal 5
Juli 1959 berisi :
1. Pembubaran Konstituante.
2. Berlakunya kembali UUD 1945.
3. Pemakluman bahwa pembentukan MPRS dan DPAS akan dilakukan dalam waktu
sesingkat-singkatnya. (Moedjanto, 1992:114).
Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka sistem demokrasi liberal
Indonesia berganti dengan demokrasi terpimpin. Kabinet Karya pun dibubarkan dan digantikan
oleh Kabinet Kerja.
D. Berakhirnya Kabinet Djuanda (Versi 2)
Sesudah pemimpin pusat terlepas dari krisis perpecahan negara dan bangsa, rakyat
Indonesia mengalami lagi masa-masa yang menentukan mati hidupnya negara kesatuan Republik
Indonesia. Sekali lagi PM Juanda dan Kabinetnya menghadapi pertentangan politik dan ideologi.
Kali ini dalam konstituante. Pertentangan ini merambat masuk kedalam masyarakat dan
menambah ketegangan-ketegangan.
Wakil-wakil rakyat yang telah bersidang sejak 10 November 1956 sampai Januari 1959,
mengalami masalah yang sulit yaitu terutama dalam hal yang sangat prinsip yaitu ideologi
negara. Dua setengah tahun lamanya perdebatan sengit berlangsung dalam konstituante, pers,
dan mayarakat tentang hal ini. Kemudian Presiden Soekarno muncul dengan konsepsinya disusul
dengan gagasan Demokrasi Terpimpin. Tapi masih timbul masalah cara apa yang akan ditempuh
untuk melaksanakan Demokrasi Terpimpin. Kontituantepun menghadapi jalan buntu karena soal
dasar negara tidak dapat dipecahkan. Dan sesuai pasal 134 UUD sementara tugas pembentukan
UUD baru dibebankan pada Konstituante bersama-sama Pemerintah.Karena Kontituante tidak
berhasil membuat UUD1945, hal ini disetujui berbagai kalangan. Bahkan, Angkatan
bersenjatapun menyetujuinya (Poeponegoro 1984:281-283).
Presiden telah mengemukakan konsepsinya diikuti oleh demokrasi terpimpin. Konsepsi
Pemerintah terdapat dalam Keterangan Pemerintah tentang program Kabinet Karya yang
dikemukakan PM Djuanda di depan DPR pada tangal 17 Mei 1957 berjudul Rintisan
Normalisasi Keadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua konsepsi ini berjiwa dan
bersemangat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dengan mempelajari bahan-bahan ini
secara mendalam, PM Djuanda tiba pada konklusi bahwa pelaksanaan Demokrasi Terpimpin
harus dilaksanakan dalam rangka kembali ke UUD 1945. Ide ini disetujui oleh presiden dan
diajukan kepada Dewan Menteri pada tanggal 19 Februari 1959 (Rauf 2001: 123).
Untuk merealisasi gagasan tersebut pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden. Dengan diumumkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka
bangsa Indonsia kembali ke UUD 1945, sedangkan UUDS tidak berlaku lagi. Perubahan dalam
hal UUD dan adanya penerapan sistem Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD
1945 memberikan pengaruh dan perubahan yang besar terhadap sistem ketatanegaraan
Indonesia. Sistem parlementer yang selama ini dipakai oleh bangsa Indonesia diganti dengan
sistem presidensil. Secara otomatis dengan adanya perubahan sistem ini maka presiden akan
berperan sebagai kepala Pemerintahan disamping sebagai kepala negara, sehingga Perdana
Menteri tidak perlu ada lagi. Maka, Senin tanggal 6 Juli 1959 sehari setelah dikeluarkannya
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Juanda dan Kabinet Karya mengembalikan mandat kepada Presiden.
Dengan begitu maka berakhirlah masa Kabinet Djuanda (Rauf 2001:124-126).
Suatu periode yang berat telah dilewatinya. Sekalipun program kerjanya belum seratus
persen berhasil tetapi Kabinet ini telah cukup berjasa dalam membangun bangsa ini. Hasil
kerjanya contohnya: telah diselesaikan UU Keadaan Bahaya menggantikan SOB, UU wajib
militer, Veteran Pejuang Republik Indonesia (VPRI), UU Perjanjian Perdamaian dan Persetujuan
Pampasan Perang dengan Jepang, UU Penanaman Modal Asing, UU Pembatalan Hak
Penambangan, UU Dewan Perancang Nasional, UU Pembangunan Lima Tahun, UU
Perkumpulan Koperasi, UU Bank Tani dan Nelayan, dsb-nya (Kansil 1994:190).
B. Saran
Dalam Kabinet Djuanda banyak keberhasilan yang dicapai karena Ir. Djuanda bisa
mengatur posisi dalam mengambil keputusan. Kabinet Djuanda dalam menganbil keputusan
melalui musyawarah yang pada saat itu dinamakan MuNas (Musyawarah Nasional) dan telah
berganti nama menjadi MuNaP (Musyawarah Nasional Pembangunan).
Jadi sebaiknya dalam mengambil keputusan apapun yang melibatkan masyarakat luas
harus melewati musyawarah agar tidak ada kesalahpahaman antar masyarakat dengan
pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
http://imronamrullah.net63.net/djuanda.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabinet_Djuanda
https://www.google.com/search?q=tentang+kabinet+djuanda&tbm=isch&tbo=u&source=univ
&sa=X&ei=4GoUs2XIcTWrQeDw4GYDg&ved=0CDgQsAQ&biw=1366&bih=563&dpr=1
http://karw21anto.wordpress.com/tugas-2/semester-1/penyebab-jatuhnya-7-kabinet-di-
indonesia/
http://onespiritz.wordpress.com/2010/12/11/masa-demokrasi-parlementer-1950-1959/
http://contoh-makalah-mahasiswa.blogspot.com/2012/09/contoh-makalah-bahasa-
indonesia.html#.Uj5jg6KQaUM