Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Pendahuluan
Pemberian vaksin untuk penyakit infeksi sebagai pencegahan sangat berpengaruh terhadap
morbiditas dan mortalitas maternal, neonatal dan bayi-bayi muda. Perubahan respon imun pada
ibu hamil dapat bercampur dengan perkembangan imun spesifik terhadap pathogen. Perubahan
imun ini dapat mengubah kerentanan ibu hamil dan fetus terhadap penyakit infeksi tertentu dan
meningkatkan risiko terhadap efek yang serius. Sistem imun yang masih imatur pada neonatus
dan bayi premature menjadikan mereka rentan terhadap morbiditas dan mortalitas karena
infeksi. Imunisasi terhadap wanita hamil dapat melindungi diri mereka sendiri terhadap
penyakit dan juga melindungi janinnya. Pemberian imunisasi ini dapat juga secara langsung
melindungi janin melalui antibody spesifik yang ditransfer dari ibu selama hamil.1,2
Imunisasi pada kehamilan memiliki manfaat proteksi terhadap ibu, janin dan bayi yang akan
vaksin. IgG tersebut ditrasnfer melalui plasenta. IgG maternal ini memberikan imunitas pasif
selama 6 bulan pertama kehidupan bayi.2 Imunisasi pada kehamilan juga dapat mencegah
penyakit pada ibu hamil dan janin selama periode dengan risiko paling tinggi dalam kehidupan
mereka.1
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi transfer IgG maternal selama kehamilan, diantaranya
integritas plasenta, konsentrasi IgG maternal total, subtype IgG, dan waktu saat dilakukannya
vaksinasi.2 Ibu hamil yang terinfeksi HIV atau malaria dapat menurunkan kemapuan plasenta
dalam menyalurkan IgG karena fungsi reseptor Fc yang menurun. Total konsetrasi maternal
IgG yang lebih tinggi juga dapat mengurangi transfer IgG antigen spesifik karena competitive
binding pada reseptor Fc pada plasenta. Transfer IgG juga dipengaruhi oleh subtipenya. IgG1,
yang terbentuk primer oleh antigen protein seperti toksoid tetanus, lebih efisien ditransferkan
daripada IgG2, yang terbentuk oleh antigen polisakarida seperti pneumococcus. Trasnport aktif
IgG maternal terjadi diatas minggu ke 32 kehamilan; bayi yang dilahirkan premature memiliki
konsentrasi antibody maternal yang lebih rendah. Saat mendekati persalinan bayi yang sudah
cukup bulan, konsentrasi IgG mungkin lebih tinggi pada bayinya dibandingkan ibu karena
transport aktif yang terjadi. Titer antibodi bayi meningkat sekitar 2 minggu setelah vaksin yang
diberikan pada ibu hamil.2 Pemberian vaksin antara 28 dan 32 minggu merupakan waktu yang
paling optimal karena konsentrasi IgG yang tersedia cukup jumlahnya untuk memberikan
Berdasarkan isi agennya, vaksin dapat dibagi mejadi vaksin hidup yang dilemahkan, vaksin
inaktif/dimatikan, dan toksoid. Vaksin hidup yang dilemahkan terdapat organisme hidup yang
sudah dilemahkan sehingga tidak akan menyebabkan infeksi namun tetap dapat menstimulasi
respon imun sehingga terbentuk antibody spesifik terhadap pathogen. Vaksin hidup yang
dilemhakan ini merupakan kontraindikasi pemberiannya untuk ibu hamil karena berdasarkan
teori yag ada terdapat risiko infeksi perinatal yang akan menyebabkan kecatatan kongenital
seperti rubella atau varisela walaupun kejadian kongenital akibat pemberian vaksin belum
pernah dilaporkan.3,4
Vaksin inaktif/dimatikan dibuat dengan mematikan pathogen dengan panas atau bahan kimia
seperti formalin atau formaldehid. Proses mematikan pathogen ini akan merusak kemampuan
pathogen untuk bereplikasi. Vaksin ini tidak mengandung partikel hidup atau infeksius
sehingga tidak akan menyebabkan infeksi secara klinis. Bakteri tertentu menyebabkan penyakit
dengan memproduksi toksin seperti pada Clostridium tetani. Vaksin yang diberikannya disebut
vaksin toksoid, dibuat dengan mematikan toksin dengan panas atau bahan kimia. Konsentrasi
antibody menurun seiring bertambahnya waktu sehingga dibutuhkan booster pemberian vaksin
Influenza
Ibu hamil berada pada risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya komplikasi dari influenza
dibandingkan populasi umum, khususnya saat trimester 3.2 Imunisasi influenza diberikan pada
ibu hamil selama musim flu (flu season). Vaksin influenza yang diberikan merupakan vaksin
pada ibu hamil.3 Vaksin influenza yang diberikan saat kehamilan memberikan antibodi
pertahanan terhadap virus flu dan menurunkan gejala klinis yang terjadi pada ibu hamil dan
bayinya.2
Hepatitis A
Data mengenai keamanan mengenai pemberian vaksin hepatitis A selama kehamilan sangat
terbatas, namun kehamilan bukan kontraindikasi untuk dilakukan vaksin hepatitis A. Vaksin
nya terbuat dari virus yang dimatikan; risiko teoritis yang terkait dengan vaksinasi selama
kehamilan diperkirakan akan rendah. Apabila ibu hamil diantisipasi berisiko tinggi tertular
Tengah dan Selatan, Afrika, Timur Tengah, Asia dan Pasifik Barat), vaksin ini biasanya
direkomendasikan.7
Vaksin hepatitis A tersedia baik sebagai vaksin antigen tunggal dan sebagai vaksin kombinasi
yang mengandung virus hepatitis A (HAV) dan antigen virus hepatitis B. Kedua vaksin
tersebut menggunakan HAV yang tidak aktif dan komponen virus hepatitis B adalah antigen
nonviral protein rekombinan. Saat ini ada dua vaksin HAV yang tersedia yang diberikan
dalam dua dosis, baik 6-12 bulan atau terpisah 6-18 bulan. Vaksin kombinasi diberikan dalam
Infeksi Hepatitis B selama kehamilan, baik yang status infeksi nya karier atau infeksi primer
berisiko untuk terjadinya transmisi vertical ke janin. Infeksi hepatitis b yang didapat oleh bayi
berhubungan dengan risiko terjadinya penyakit hati kronis yang akan timbul di kehidupan
mendatangnya. Semua wanita hamil harus dilakukan skrining HBsAg ntuk menentukan status
infeksinya. Vaksin hepatitis b dapat diberikan pada wanita berisiko terkena penyakit hepatitis
b. Risiko tersebut meliputi memiliki lebih dari 1 partner berhubungan seksual dalam 6 bulan
terakhir, riwayat pasangan seksual yang terkena hepatitis B, dan pengguna obat-obatan
Pneumococcus
Selain mencegah infeksi pneumokokus pada kehamilan, imunisasi yang diberikan saat
kehamilan merupakan strategi yang bisa memberi perlindungan bayi dari patogen ini. Vaksin
polisakarida pneumokokus kepada wanita pada trimester ketiga kehamilan aman diberikan dan
dapat ditoleransi dengan baik. Aliran transplasenta dari antibodi pneumokokus yang terbentuk
dari vaksin terkesan efisien, terbukti dengan konsentrasi antibodi pneumokokus pada bayi saat
Peningkatan konsentrasi antibodi IgA ditemukan pula pada ASI bila vaksin pneumokokus
diberikan saat hamil, menunjukkan bahwa kekebalan diberikan kepada bayinya melalui rute
ini juga. Wanita yang berisiko tinggi tertular pneumokokus (misalnya, pada ibu hamil dengan
imunocompromise, riwayat dilakukan splenektomi, atau yang terdapat riwayat penyakit sel
sabit) dan yang sebelumnya tidak menerima vaksin pneumokokus merupaka kandidat untuk
Morbiditas dan mortalitas bayi muda yang berumur 3 bulan kurang terhadap infeksi tetanus
neonatorum dan pertussis sangat tinggi sedangkan vaksin untuk tetanus, difteria, dan pertussis
rutin dilakukan pada bayi saat berumur 2 bulan. Hal ini menyebabkan kurangnya proteksi bayi
muda terhadap infeksi tetanus, difteri dan pertussis. Isi dari vaksin ini berupa toksoid tetanus,
reduced diphtheria toxoid, dan acellular pertussis (Tdap).5 Pemberian vaksin Tdap ini akan
memberikan proteksi terhadap ibu serta bayinya dengan ditransfernya antibodi pasif yang
ditransfer melalui plasenta. Waktu pemberian vaksin diberikan kepada ibu hamil yang paling
optimal memberikan proteksi antibodi untuk neonatus adalah yang diberikan pada trimester
pemberian Tdap adalah saat usia kehamilan 27-36 minggu. Tetapi pemberian vaksin Tdap
aman diberikan pada usia berapapun saat kehamilan jika dibutuhkan seperti untuk manejemen
- Pemberian vaksin Tdap harus diberikan pada semua wanita hamil di masing-masing
- Wanita hamil harus diberikan konseling mengenai pemberian vaksin Tdap ini aman dan
- Pasangan ibu hamil, anggota keluarga, dan pengurus bayi sebaiknya diberikan vaksin
Tdap juga bila mereka belum pernah mendapatkan vaksin sebelumnya. Idealnya,
saat postpartum jika ibu belum pernah mendapatkan vaksin Tdap saat remaja, dewasa
atau kehamilan sebelumnya. Namun jika terdahulunya pernah mendapat vaksin, maka
- Ada beberapa keadaan yang membolehkan pemberian vaksin Tdap selain pada usia 27-
36 minggu kehamilan. Seperti pada kasus untuk manajemen luka, outbreak pertussis,
- Jika ibu hamil diberikan vaksin sebelum usia kehamilan 27-36 minggu, maka tidak
Mengingat isi vaksin MMR merupakan virus aktif yang dilemahkan sehingga menjadi
kontraindikasi pada kehamilan, maka pada wanita yang mendapatkan vaksin ini harus
diberikan konseling untuk menghindari konsepsi selama 4 minggu setelah diberikan vaksin.
Risiko terjadinya efek samping pada janin jika ibu hamil diberikan vaksin dijelaskan secara
teori namun CDC belum pernah melporkan kasus sindroma rubella kongenital yang terjadi
akibat ibu hamil yang tidak segaja diberikan vaksin saat trimester pertama. Sehingga vaksin
MMR yang tidak sengaja diberikan selama kehamilan tidak menjadi indikasi untuk
Varisela
Congenital varicella syndrome terjadi pada 1-2% kasus infeksi varisela pada ibu hamil, dengan
risiko terbesar terjadinya berhubungan dengan infeksi ibu hamil yang terjadi pada 13-20
minggu kehamilan. Vaksin varisela merupakan vaksin aktif yang dilemahkan dan terbukti telah
mengurangi angka kejadian infeksi varisella sejak tahun 1995. Namun, vaksin varisela menjadi
kontraindikasi pemberiaannya kepada ibu hamil karena isi vaksinnya. Sama halnya dengan
vaksin rubella yang diberikan pada awal kehamilan, belum ada kasus sindroma varisela
kongenital yang dilaporkan setelah pemberian vaksin varisela yang tidak sengaja selama
kehamilan. Oleh sebab itu, CDC merekomendasikan pemberian vaksin yang tidak sengaja pada
ACOG telah merekomendasikan pemeriksaan rutin status imunisasi bagi setiap wanita hamil
dan pemberian vaksin untuk imunisasi yang terdapat indikasi. Yang terpenting, penelitian yang
ada telah membuktikan pemberian vaksin pada ibu hamil memberikan proteksi maternal dan
neonatal terhadap patogen-patogen yang dapat menyerang bayi yang baru lahir, sehingga
mengindikasikan saat kehamilan adalah waktu yang paling optimal untuk dilakukan imunisasi
yang bermanfaat mencegah penyakit yang dapat menginfeksi ibu serta bayinya.5,8
Tidak ada bukti efek samping yang dapat ditimbulkan pada janin dari pemberian vaksin
virus/bakteri yang dimatikan atau toksoid sehingga aman untuk diberikan pada ibu hamil.
Selain itu, tidak terdapat pula bukti kejadian autism yang disebabkan karena vaksin yang
ditimbulkan oleh thimerosal yang merupakan salah satu komposisi yang terdapat pada vaksin.8
Beberapa efek samping yang mungkin dapat terjadi, dibagi menjadi empat kategori: efek
1. Efek samping segera meliputi sinkop dan reaksi vasovagal. Hal ini berbeda dengan
syok anafilaktik. Pasien yang diberikan vaksin harus diobservasi selama 5-10 menit di
ruang tunggu.
2. Efek local biasanya ringa dan yang paling sering terjadi. Yang terjadi adalah bengkak
3. Efek sistemik yang dapat terjadi adalah malaise dan demam, hal ini jarang terjadi
4. Reaksi alergi ringan dapat pula terjadi. Reaksi anafilaktik biasanya jarang terjadi. Bila
Paling penting untuk diperhatikan adalah pemberian vaksin hidup yang dilemahkan (seperti
measles, mumps, rubella [MMR], varisela dan vaksin influenza hidup yang dilemahkan)
terdapat teori yang menjelaskan adanya risiko terhadap janin dan harus dihindari selama
kehamilan.5
Daftar Pustaka
2. Chu HY and Englund JA. 2014. Maternal immunization. CID 2014: 59 Vaccines.
3. Swamy GK and Heine RP. 2015. Vaccinations for pregnant women. Obstet Gynecol.
4. Cunningham, et. al. 2014. Immunization. Williams Obstetrics 24th edition Chapter 9:
6. Naidu MA, Muljadi R, Davies-Tuck ML, et al. 2016. The optimal gestation for
Gynecol 2016;215:237.e1-6.