Vous êtes sur la page 1sur 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam sebuah keluarga dikatakan suatu keluarga yang sakinah, mawadah, dan warohmah
yang diharapkan. Apabila didalam keluarga terdapat akhlak dalam keluarga,dan diantaranya
adalah birrul walidain, hak kewajiban dan kasih sayang suami istri, kasih sayang dan tanggung
jawab orang tua terhadap anak,dan silaturrahmi dengan karibkerabat yang juga berkaitan tentang
akhlak dalam keluarga.

Istilah birrul walidain berasal langsung dari Nabi Muhammad SAW.Dalam sebuah riwayat
disebutkan bahwa amalan apa yang paling disukai oleh Allah swt, Beliau menyebutkan :
pertama,solat tepat waktunya;kedua,birrul walidain dan ketiga,jihad fi sabilillah. Pentingnya birrul
walidain bagi anak kepada orang tua agar seorang anak dapat mendapat ridho Allah, karena
ridhonya Allah ada di orang tua.
Dalam makalah ini kelompok kami memaparkan tentang akhlak dalam keluarga yang
didalamnya termasuk birrul walidain.beberapa diantaranya kedudukan birrul walidain,bentuk-
bentuk birrul walidain,serta uququl walidain.sekaligus memaparkan tentang hak kewajiban dan
kasih sayang suami istri, kasih sayang dan tanggung jawab orang tua terhadap anak,dan
silaturrahmi dengan karibkerabat yang juga berkaitan tentang akhlak dalam keluarga.
B. Tujuan Penulisan Masalah
1. Memahami tentang birrul walidain,kedudukan birrul walidain, bentuk-bentuk birrul walidain
serta uququl walidain.
2. Mengetahui tentang hak, kwajiban dan kasih sayang suami istri.
3. Mengetahui kasih sayang dan tanggung jawab orang tua terhadap anak.
4. Mengetahui tentang silaturahmi dengan karib kerabat.
BAB II
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaiman cara agar keluarga terdapat akhlak dalam keluarga ?
2. Bagaimana penerapan akhlak dalam keluarga pada kehidupan sehari-hari ?

BAB III
PEMBAHASAN MASALAH
A. Birrul Walidain
Birul walidain adalah berbuat baik kepada kedua orang tua. Birrul walidain menempati
kedudukan yang istimewa dalam ajaran islam. Demikianlah Allah dan RasulNya menempatkan
orang tua pada posisi yang sangat istemewa sehingga berbuat baik kepada keduanya
menempati posisi yang mulia, dan sebaliknya durhaka pada keduanya juga menempati posisi yang
sangat hina.
Cara anak untuk dapat mewujudkan birrul walidain dengan mengikuti keinginan dan saran
dalam berbagai aspek kahidupan, menghormati dan memuliakan kedua orang tua dengan penuh
rasa terima kasih dan kasih sayang dan mendo’akan ibu bapak semoga diberi oleh Allah SWT
keampunan dan rahmat.
1. Kedudukan Birrul Walidain
Birul Walidain menempati kedudukan yang istimewa dalam ajaran Islam. Ada beberapa
alasan yang membuktikan hal tersebut, diantaranya yaitu:
a. Perintah ihsan kepada ibu bapak diletakkan oleh Allah swt di dalam Al-Qur’an langsung sesudah
perintah beribadah hanya kepada-Nya semata-mata atau sesudah larangan mempersekutukan-Nya.
Allah berfirman (QS. Al-Baqarah 2:83)
b. Allah swt mewasiatkan kepada umat manusia untuk berbuat ihsan kepada ibu bapak (QS. Al-
Ankabut 46:15).
c. Allah SWT meletakan perintah berterimakasih kepada Ibu Bapak langsung sesudah perintah
berterimakasih kepada Allah SWT. Allah berfirman:
artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu
bapaknya: ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang tibu bapakmu,
hanya kepada-Kulah Kembalimu.”(Q.S.Luqman:31:14).
d. Rasulullah saw. Meletakan birrul walidain sebagai amalan nomor dua terbaik sesudah Sholat tepat
pada waktunya. “Diriwayatkan dari Abu Abdirrahman Abdullah ibnu Mas’ud Ra dia berkata:
“Aku bertanya kepada Nabi saw. ; apa amalan yang paling disukai oleh Allah swt? Beliau
menjawab: Sholat tepat pada waktunya”. Aku bertanya lagi; kemudian apa lagi? Beliau
menjawab “Birul Walidain”. Kemudian aku bertanya lagi; seterusnya apa? Beliau menjawab.
“Jihad fisabilillah.” (HR. Muttafaqun Alaih).
2. Bentuk-Bentuk Birrul Walidain
Banyak cara bagi seorang anak untuk dapat mewujudkan Birrul Walidain tersebut, antara
lain sebagai berikut:
a. Mengikuti keinginan dan saran orang tua dalam berbagai aspek kehidupan, baik masalah
pendidikan, pekerjaan, jodoh maupun masalah lainya.Selama keinginan dan saran-saran dengan
ajaran Islam. Apabila bertentangan atau tidak sejalan dengan ajaran Islam, anak tidaklah punya
kewajiban untuk mematuhinya. Hal demikian sesuai dengan ayat Al-Qur’an Q.S.Luqman: 15 yang
berbunyi:
Artinya
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah
keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian
hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan”.(Q.S.Luqman: 15).
b. Menghormati dan memuliakan kedua orang tua dengan penuh rasa terimakasih dan kasih sayang
atas jasa-jasa keduanya yang tidak mungkin bias dinilai dengan apapun. Ibu yang mengandung
dengan susah payah dan penuh penderitaan. Ibu yang melahirkan, menyusui, mengasuh, merawat
dan membesarkan. Bapak yang membanting tulang mencari nafkah untuk ibu dan anak-anaknya.
Bapak yang menjadi pelindung untuk mendapatkan rasa aman.
c. Membantu ibu bapak secara fisik dan material. Misalnya sebelum berkeluarga dan mampu berdiri
sendiri, anak-anak membantu orang tua (terutama Ibu) mengerjakan pekerjaan rumah, dan setelah
berkeluarga atau berdiri sendiri membantu orang tua secara financial, baik untuk membeli pakaian,
makanan, minuman, apalagi untuk berobat. Rosulullah saw. Menjelaskan bahwa betapapun
banyak engkau mengeluarkan uang untuk membantu orang tuamu tidak sebanding dengan jasanya
kepadamu. “Tidak dapat seorang anak membalas budi kebaikan ayahnya, kecuali jika
mendapatkan ayahnya tertawa menjadi hamba sahaya, kemudian ditebus dan
dimerdekakannya. (HR. Muslim).
3. Uququl Walidain
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, bahwa Allah swt menempatkan perintah untuk Birul
Walidain langsung sesudah perintah untuk beibadah kepada-Nya, maka sebaliknya Allah swt pun
menempatkan Uququl Walidain sebagai dosa besar yang menempati ranking kedua sesudah Syirik.
Uququl walidain artinya mendurhakai kedua orang tua. Istilah inipun berasal langsung dari
Rasulullah saw sebagaimana disebutkan dalam salah satu hadits.
Contoh dosa-dosa besar adalah mempersekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua,
membunuh orang dan sumpah palsu” (HR. Bukhari). Durhaka kepada kedua orang tua adalah dosa
besar yang sangat dibenci oleh Allah swt, sehingga azabnya disegerakan Allah di dunia ini. Hal
itu dinyatakan oleh Rasulullah saw:
“Semua dosa-dosa diundurkan oleh Allah (azabnya) sampai waktu yang dikehendaki-Nya
kecuali durhaka kepada kedua orang tua, maka sesungguhnya Allah menyegerakan (azabnya)
untuk pelakunya di waktu hidup di dunia ini sebelum dia meninggal” (HR. Hakim).
Dalam hadis lain Rasulullah saw menjelaskan bahwa Allah swt tidak akan meridhai
seseorang sebelum dia mendapatkan keridhan dari kedua orang tuanya:
Keridhaan Allah ada pada keridhaan orang tua, dan kemarahan rabb (Allah) ada pada
kemarahan orang tua (HR. Tirmidzi)
B. Hak, Kewajiban Dan Kasih Sayang Suami Isteri
Salah satu tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk mencari ketentraman atau sakinah.
Allah swt berfirman Q.S. Ar-Ruum: 21:
Artinya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Q.S. Ar-Ruum: 21).
1. Empat Kriteria Pasangan Hidup
Salah satu tujuan perkawinan dalam islam adalah untuk mencari ketenteraman atau sakinah.
Mencari dan memilih pasangan hidup haruslah berhati-hati harus sesuai dengan bimbingan yang
diberikan oleh Rasulullah SAW. Rasulullah SAW menyebutkan tiga kriteria yang mengikuti
kecendurungan atau naluri setiap orang yaitu tentang kekayaan, kecantikan dan keturunan
kemudian diakhiri dengan satu kriteria poikok yang tidak boleh ditawar-tawar yaitu agama.
Adapun yang ditekankan dalam agama Islam kalau mencari pasangan hidup atau isteri itu bukan
dari kekayaan, kecantikan ,keturunan, tetapi mencari pasangan hidup atau isteri itu yaitu dilihat
dari agamanya baik apa tidaknya insya allah akan langgeng. Tetapi jika melihat dari kecantikan,
keturunan dan kekayaan itu belum tentu akan bahagia dalam rumah tangganya.
2. Hak-hak Bersama Suami Isteri
Dalam hubungan suami isteri di samping hak masing-masing ada juga hak bersama
yaitu:Suami istri, hendaknya saling menumbuhkan suasana mawaddah dan rahmah.
a. Suami istri, hendaknya saling menumbuhkan suasana mawaddah dan warohmah.
b. Hendaknya saling mempercayai dan memahami sifat masing-masing pasangannya.
c. Hendaknya menghiasi dengan pergaulan yang harmonis.
d. Hendaknya saling menasehati dalam kebaikan.
3. Kewajiban Suami Kepada Isteri
Hak isteri atau kewajiban suami kepada isteri ada 4 yaitu;
a. Mahar
Mahar adalah pemberian wajib dari suami untuk isteri. Suami tidak boleh memanfaatkannya
kecuali seizing dan serela isteri. Jumlah minmal dan maksimal mahar tidak ditentukan oleh syara’.
Tergantung kemampuan sumi dan kerelaan isteri. Yang penting ada nislainya. Bahkan boleh
dengan sepasang sandal, atau mengajarkan beberapa ayat Al-Qur’an, atau masuk Islam, seperti
yang penah terjadi di zaman Rasulullah saw.
Diriwayatkan dari Amir Ibnu Rabiah bahwa seorang wanita dari Bani Fazarah kawin dengan
mahar sepasang sandal. Lalu Rasulullah Saw bertanya” Apakah engkau rela dari diri dan
hartamu dengan sepasang sandal? Perempuan itu menjadwab “Ya”. Lalu Rasulullah SAW
membolehkannya. (HR. Ahmad, Ibnu Majjah dan Tirmidzi).

b. Nafkah
Nafkah adalah menyediakan segala keperluan isteri berupa makanan, minuman, pakaian,
rumah, pembantu, obat-obatan dan lain-lain. Hukumnya wajib berdasarkan Al-Qur’an, sunnah,
dan ijma Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
c. Ihsan al-Asyarah
Ihsan al-Asyarah artinya bergaul dengan isteri dengan cara yang sebaik-baiknya. Teknisnya
terserah kepada kita masing-masing suami. Misalnya: membuat isteri gembira, tidak mencurigai
isteri, menjaga rasa malu isteri, tidak membuka rahasia isteri kepada orang lain, mengizinkannya
mengunjungi orang tua dan familinya, membantu isteri apabila ia memerlukan bantuan sekalipun
dalam tugas-tugas rumah tangga, menghormati harta miliknya pribadi dan lain-lain. Ihsan al-
Asyarah adalah suatu kewajiban berdasarkan firman Allah:
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.” (Q.S.An-Nisa: 29).
Rasulullah saw sudah memberikan contoh teladan bagaimana bergaul dengan isteri dengan
sebaik-baiknya. Oleh karena itu beliau menegaskan:
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah orang yang paling baik akhlaknya. Dan
yang paling baik di antara mereka ialah yang paling baik terhadap isterinya (HR. Ahmad).

d. Membimbing dan mendidik keagamaan isteri


Seorang suami bertanggung jawab dihadapan Allah terhadap isterinya karena dia adalah
pemimpinya. Setiap pemimpin harus mempertanggung jawabkan. Oleh karena itu, menjadi
kewajiban suami mengajar dan mendidik isterinya supaya menjadi seorang imraah shalihah. Dia
harus mengajarkan hal-hal yang harus diketahui oleh seorang wanita tentang masalah agamanya
terutama syariah, seperti masalah thaharah, wudhu, haidh, nifas, shalat, puasa, dzikir, membaca
Al-Qur’an, kewajiban wanita terhadap suami, anak-anak, orang tua, tetangga dan karib kerabat.
Juga cara berpakaian dan tata pergaulan yang isteri serta hal-hal lainnya. Disamping
mengajar, seorang suami mempunyai kewajiban untuk membimbing isterinya mengamalkan
ajaran islam. Jika seorang suami tidak mampu mengajarkannya sendiri, dia harus memberikan izin
kepada isterinya untuk belajar di luar atau mendatangkan guru ke rumah atau minimalkan buku
bacaan.
4. Kewajiban Isteri Kepada Suami
Hak suami atau kewajiban isteri kepada suami hanya dua; (1) patuh pada suami dan (2)
bergaul dengan suami dengan sebaik-baiknya (ihsan al-asyarah)
a. Patuh pada suami
Seorang isteri wajib mematuhi suaminya selama tidak dibawah ke lembah kemaksiatan.
Aisyah ra pernah bertanya kepada Rasulullah tentang orang yang paling berhak dipatuhi oleh
seorang isteri. Rasulullah menjawab “suaminya” (HR. Hakim).
Dalam kesempatan lain lebih ditekankan lagi oleh Rasulullah saw:
“Kalau aku boleh memerintahkan seseorang sujud kepada seseorang, tentu akan aku perintahkan
seseorang isteri untuk sujud pada suaminya (HR. Tirmidzi).
b. Ihsan al-Asyarah (Bergaul sama Istrinya)
Ihsan al-Asyarah istri terhadap suaminya antara lain dalam bentuk: menerima pemberian
suami, lahir dan batin dengan rasa puas dan terimakasih, serta tidak menuntut hal-hal yang tidak
mungkin, meladeni suami dengan sebaik-baiknya (makan, minum, pakaian dan sebagainya),
memberikan perhatiain pada suami sampai hal-hal yang kecil-kecil (misalnya kalau suami pergi
kerja antaralah sampai kepintu, kalau pulang jemputlah ke pintu, sehingga hati suami terpaut untuk
selalu dirumah apabila tidak bertugas), menjaga penampilan supaya selalu rapid an menarik, dan
lain-lain sebagainya.

C. Kasih Sayang dan Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak


Anak adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan orang tua kepada Allah SWT.
Anak adalah tempat orang tua mencurahkan kasih sayangnya. Anak juga investasi masa depan
untuk kepentingan orang tua di akhirat kelak. Oleh sebab itu orang tua harus memelihara,
membesarkan, merawat, menyantuni dan mendidik anak-anaknya denga penuh tanggung jawab
dan kasih sayang.
Dengan pengertian seperti itu hubungan orang tua dengan anak dapat dilihat dari tiga segi:
1. Hubungan tanggung jawab
Anak adalah amanah yang dititipkan oleh Allah SWT kepada orang tua untuk dapat
dibesarkan, dipelihara, dirawat, dan dididikdengan sebaik-baiknya. Orang tua adalah pemimpin
yang bertugas memimpin anak-anaknya dalam kehidupan di dunia ini. Kepemimpinan itu harus
dipertanggung jawabkannya nanti di hadapan Allah SWT.
2. Hubungan kasih sayang
Anak adalah tempat orang tua mencurahkan kasih sayang. Setiap manusia yang normal pasti
mendambakan kehadiran anak-anak dirumahnya. Kehidupan rumah tangga, sekalipun
bergelimangan harta benda, itu belum terasa lengkap kalau belum mendapatkan anak.
3. Hubungan masa depan
Anak adalah investasi masa depan di akhirat bagi orang tua. Karena anak yang saleh akan
selalu mengalirkan pahala kepada kedua orang tuanya.
Dengan tiga alasan di ataslah seorang muslim didorong untuk dapat berfungsi sebagai orang
tua dengan sebaik-baiknya.
 EMPAT TIPOLOGI ANAK
1. Anak sebagai perhiasan hidup dunia
Al Qur’an menyatakan anak adalah perhiasan hidup dunia (Zinatul al hayah ad dunya)
Artinya:
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi
saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”. (Qs.
Al Kahfi: 46)
Sepasang suami istri merasa rumah tangganya belum lengkap kalau belum mendapatkan
anak. Ibarat perhiasan, anak-anak berfungsi memperindah rumah tangga. Tetapi orang tua yang
hanya memfungsikan anak sebagai perhiasan dan melupakan pembinaan dan pendidikannya
akhirnya menjadikan anak tidak lebih dari sebuah “pajangan” yang secara fisik dapat dibanggakan
tetapi kualitas sama sekali mengecewakan baik kualitas iman,ilmu,maupun amalnya.
2. Anak sebagai ujian
Selain sebagai perhiasan hidup dunia anak juga menjadi ujian (fitnah) bagi kedua orang
tuanya.allah berfirman
Artinya:
“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan
sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar”.(Qs.Al-Anfal 8;28)
Orang tua diujii dengan kehadiran anaknya.apakah anak-anak dapat melalaikan dari
beribadahkepada allah swt atau apakah dia mampu melaksanakan tugasnya sebagai orang tua yan
baik;mendidik dan membina anaknya menjadi anak yang saleh.fitnah juga dalam arti anak bisa
menyengsarakan dan mencemarkan nama baik orang tuanya.biasanya orang akan mengaitkan
langsung kebaikan atau keburukan seorang anak dengan orang tuanya.
3. Anak sebagai musuh
Anak juga bisa menjadi musuh bagi kedua orang tuanya. Allah berfirman:
Artinya:
“Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang
menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan
dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”.(At Taghabun: 14).
Sungguh sangat mengecewakan kalau sampai anak menjadi musuh orang tua. Musuh bisa
berarti secara fisk dan bisa juga dari segi ide, pikiran, cita-cita, dan aktivitas
4. Anak sebagai cahaya mata
Istilah yang keempat ini oleh Al Qur’an diistilahkan dengan Qurratu A’yun (cahaya mata).
Allah berfirman:

Artinya:
“Dan orang orang yang berkata: Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami
dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang
yang bertakwa”. (Al Furqon: 74)
Qurrata ‘Ayun berarti cahaya mata, permata hati, sangat menyenangkan.
 ANAK SALEH TIDAK DILAHIRKAN
Anak saleh tidak dilahirkan, tapi dibentuk dan dibina lewat pendidikan. Rasululloh saw
mengajarkan bahwa setiap anak dilahirkandalam keadaan fitrah. Setiap orang tua mempunyai
kewajiban memelihara dan mengembangkan potensi dasar keislaman anak sehingga anak tersebut
tumbuh dan berkembang menjadi muslim yang benar-benar menyerahkan diri secara total kepda
Allah SWT.
 PENDIDIKAN YANG SEIMBANG
Pembinaan atau pendidikan yang akan melhirkan anak saleh adalah pendidikan yang
seimbang, yaitu pendidikan yang memperhatikan seluruh aspek yang ada pada diri manusia; hati;
akal dan fisik. Seorang pendidik harus menyantuni ketiga-tiganya. Masing-masing unsur tersebut
tidak bisa berdiri sendiri. Ketiganya harus harmonis dan seimbang. Pendidika yang seimbang,
harmonis dan utuh diistilahkan oleh para ahli dengan tarbiyah mutakamilah.
Pendidikan iman harus dimmulai sejak dini. Secara tidak langsung Rosululloh saw
mengajarkan beberapa hal sehubungan dengan pendidikan iman, antara lain: memperdengarkan
azan dan iqomah masing-masin ditelinga kanan dan kiri bayi yang baru lahi, mengucapkan
kalimat thayyibah la ilaha ilallah kepada anak kecil, menyuruh anak sholat tatkala berumur 7
tahun dan memberikan sanksi kalau meninggalkan sholat pada umur 10 tahun, mendidik anak
mencintai Rosulullah saw dan keluarga beliau, mengajari anak membaca Al Qur’an dan lain
sebagainya.
Di samping itu Rosulullah menganjurkan kepada orang tua untuk memberi nama anaknya
dengan nama yang baik, yang mengandung harapan atau do’a. Dan juga mencicipkan korma atau
madu kedalam mulut bayi, dan sebaiknya dilakukan oleh seseorang yang saleh dengan harapan
semoga anak juga menjadi hamba Allah yang saleh kelak kemudian hari. Pada hari ketjuh orang
tua menyelenggarakan upacara aqiqah anaknya dengan memotong da ekor kambing untuk anak
laki-laki dan satu ekor untuk anak perempuan. Pada hari itulah nama ank diresmikan.
D. Silaturahmi Dengan Karib Kerabat
Istilah silahturrahim (shillatu ar-rahimi) terdiri dari dua kata: Shillah (hubungan,
sambungan) dan rahim (peranakan). Istilah ini adalah sebuah simbol dari hubungan baik penuh
kasih sayang antara sesama karib kerabat yang asal usulnya berasal dari satu rahim. Dikatakan
simbol karena rahim (peranakan) secara materi tidak bisa disambung atau dihubungkan dengan
rahim lain. Rahim yang dimaksud disini adalah qarabah atau nasab yang disatukan oleh rahim
ibu. Hubungan antara satu sama lain diikat dengan hubungan rahim.
Dalam bahasa Indonesia sehari-hari juga dikenal dengan istilah silaturrahmi (shillatu ar-
rahmi) dengan pengertian yang lebih luas, tidak hanya terbatas pada hubungan kasih sayang antara
sesama karib kerabat, tetapi juga mencakup masyarakat yang lebih luas. Dari segi bahasa, istilah
tersebut tidak salah, karena rahmi juga berarti kasih sayang. Jadi silahturrahmi berarti
menghubungankan tali kasih sayang antara sesama anggota masyarakat. Tetapi silaturrahim yang
kita maksudkan dalam fasal ini adalah hubungan kasih sayang yang terbatas pada hubungan dalam
sebuah keluarga besar atau qarabah.
Keluarga dalam konsep Islam bukanlah keluarga kecil seperti konsep Barat (nuclear
family) yang terdiri dari bapak, ibu dan anak, tetapi keluarga besar; melebar ke atas, ke bawah dan
ke samping. Disamping anggota inti keluarga (bapak, ibu dan anak) juga mencakup kakek, nenek,
cucu, kakak, adik, paman, bibi, keponakan, sepupu dan lain-lain seterusnya. Yang lebih dekat
hubungan dengan keluarga inti disebut keluarga dekat dan yang lebih jauh disebut keluarga jauh.
Keluarga besar itulah yang disebut oleh Al-Qur’an dengan dzawi al-qurba (QS. Al-Baqarah
:83), ulu al-qurba (QS. An-Nisa’ :8) atau ulu al-arham (QS. Al-Anfal :75)
Hubungan kasih sayang harus dijaga dan dibina sebaik-baiknya dengan seluruh anggota
keluarga besar itu. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu
dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah
yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”(Qs.An-nisa :
1)
Memelihara hubungan baik sesama anggota keluarga atau menjaga silaturrahim
dimasukkan oleh Allah SWT menjadi salah satu sifat orang-orang yang mempunyai amal mulia.
Firma-Nya:
Artinya: ”dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya
dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.”(Qs.Ar-
Ra’d : 21)
Dalam tiga fasal sebelumnya sudah dibahas hubungan anak dengan orang tua, hubungan
suami istri, dan hubungan orang tua dengan anak, maka dalam fasal ini kita hanya membahas
hubungan seseorang dengan keluarga yang lain, baik ke atas, ke bawah maupun kesamping.
Secara prinsip seorang Muslim harus bersikap kepada karib kerabatnya yang lain
sebagaimana dia bersikap kepada ibu bapak anak dan saudara-saudaranya. Bibi diperlukan seperti
ibu, paman seperti bapak. Demikian juga hubungan saudara adik kakak. Yang lebih tua bersikap
kepada yang lebih muda seperti orang tua kepada anak, dan yang lebih muda kepada yang lebih
tua seperti anak kepada orang tua. Yang tua menyayangi yang muda, yang muda menghormati
yang tua. Begitu seterusnya secara melebar, dengan cucu, sepupu dan keponakan.
1. Bentuk-Bentuk Silaturrahim
Silaturrahim secara kongkrit dapat diwujudkan dalam bentuk antara lain:
a. Berbuat baik (ihsan) terutama dengan memberikan bantuan materiil untuk memenuhi kebutuhan
hidupanya. Allah SWT meletakkan ihsan kepada dzawi al-qurba nomor dua setelah ihsan kepada
ibu bapak. Firman-Nya:
Artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan
berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh[294], dan teman sejawat, ibnu sabil[295] dan
hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri”(Qs.An-Nisa’ :36)
Dzawi al-qurba harus diprioritaskan untuk dibantu, dibanding dengan pihak-pihak lain
(yatim, miskin, ibnu sabil dan lain-lain), lebih-lebih lagi bila karib kerabat itu juga miskin atau
yatim. Jangan sampai terjadi, seseorang bersikap pemurah kepada orang lain tetapi kikir kepada
karib kerabatnya sendiri. Padahal bersedekalah kepada karib kerabatnya bermakna ganda; sedekah
dan silaturrahim.
b. Membagi sebagian dari harta warisan kepada karib kerabat yang hadir waktu pembagian, tetapi
tidak mendapatkan bagian karena terhalang oleh ahli waris yang lebih berhak (makjub). Allah
SWT berfirman:

Qs.An-Nisa’ : 8
Misalnya, paman tidak mendapatkan warisan karena ada anak laki-laki. Kalau waktu pembagian
warisan paman hadir, maka dianjurkan untuk memberikan sekedarnya dari harta warisan itu. Ini
tentu dimaksudkan untuk menjaga atau mempererat hubungan persaudaraan antara sesama karib
kerabat.
c. Memelihara dan meningkatkan rasa kasih sayang sesama kerabat dengan sikap saling kenal-
mengenal, hormat-menghormati, bertukar salam, kunjung mengunjungi, surat menyurat, bertukar
hadiah, jenguk menjenguk, bantu membantu dan bekerja sama menyelenggarakan walimahan dan
lain-lain yang mungkin dilakukan untuk meningkatkan persaudaraan.
2. Manfaat Silaturrahim
Disamping meningkatkan hubungan persaudaraan antara sesama karib kerabat,
silaturrahim juga memberikan manfaat lain yang besar baik di dunia mapun di akhirat. Antara lain:
a. Mendapatkan rahmat, nikmat dan ihsan dari Allah SWT
Dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah ra, Rasulullah saw menggambarkan secara
metaforis dialog Allah SWT dengan rahim. Sabda beliau:
Qs.Muhammad : 22-23
Menurut para ulama, hakikat dari silaturrahim adalah al-‘athfu wa ar-rahmah (lemah
lebut dan kasih sayang). Dan shillatullah dengan hamba-hamba-Nya berarti ‘athfu dan
rahmah Allah kepada hamba-hamba-Nya. ‘Athfullah berarti ihsan dan nikmat-Nya. Dengan
demikian orang-orang yang melakukan silaturrahim akan mendapatkan rahmat, nikmat dan ihsan
dari Allah SWT.
b. Masuk surga dan jauh dari neraka
Secara khusus disebut oleh Rasulullah saw bahwa sesudah beberapa amalan pokok,
silahturrahim dapat mengantarkan seseorang ke surga dan menjauhkannya dari neraka :
Qs.Ar-Ra’d : 25
c. Lapangan rezeki dan panjang umur
Secara lebih konkret Rasulullah saw menjajikan rezeki yang lapang dan umur yang panjang
bagi orang-orang yang melakukan silaturrahim. Beliau bersabda:
Dilapangan rezeki dapat dipahami secara obyektif. Karena salah satu modal untuk
mendapatkan rezeki adalah hubungan baik dengan sesama manusia. Peluang-peluang bisnis
misalnya akan terbuka dari banyaknya hubungan kita dengan masyarakat luas. Bahkan dalam
zaman sekarang kepercayaan rekanan bisnis lebih diutamakan dari modal besar sekalipun. Banyak
orang berdagang tanpa modal kecuali kepercayaan. Logikanya, seorang yang tidak mampu
membina hubungan baik dengan karib kerabatnya sendiri, bagaimana bisa dipercaya dapat
berhubungan baik dengan masyarakat yang lebih luas. Dari konteks inilah kita dapat memahami
hadits Rasulullah saw di atas.
Sedangkan panjang umur bisa dalam pengertian yang sebenarnya yaitu ditambah umurnya
dari yang sudah ditentukan; atau dalam pengertian simbolis, menunjukan umur yang mendapat
taufiq dari Allah sehingga berkah dan bermanfaat bagi umat manusia sehingga namanya abadi,
dikenang sampai waktu yang lama. Penulis lebih cenderung kepada kemungkinan yang kedua,
walau yang pertama bisa saja terjadi kalau Allah menghendaki, sebab sekalipun Allah telah
menetapkan bahwa ajal tidak bisa dimajumundurkan, tetapi bisa saja ajal itu ditetapkan oleh Allah
tidak secara mutlak, tetapi mengkaitkanya dengan amalan tertentu. Misalkan Allah menetapkan,
Kalau si Fulan melakukan ini umurnya sekian, kalau tidak umurnya sekian. Kalaupun mungkin
demikian, tapi pengertian yang kedua lebih mudah diterima dan dapat dibuktikan dengan jelas.
Apabila seseorang mempunyai hubungan yang baik dengan sanak saudaranya maka sekalipun dia
sudah meninggal, namanya akan selalu dikenang. Apalagi kalau dia meninggal shadaqah
jariah atau hasil karya yang tidak saja bermanfaat bagi sanak familinya tetapi juga bagi umat
manusia secara luas. Imam syafa’i misalnya sudah berapa ratus tahun yang lalu meninggal dunia,
tetapi berkat jasa-jasanya, sampai hari ini namanya masih abadi dalam hati kaum Muslimin
diseluruh dunia. Begitu juga imam-imam dan para ulama yang lainya. Tetapi kalau seseorang tidak
mempunyai hubungan yang baik semasa hidupnya dan tidak pula punya jasa yang patut dikenang,
belum lama meninggal dunia sudah dilupakan. Bahkan ada yang dikira sudah meninggal padahal
masih hidup.
Demikianlah beberapa manfaat silahturrahim yang akan didapatkan baik didunia maupun
di akhirat nanti.
3. Memutuskan Silahturrahim
Disamping mendorong untuk melakukan silaturrahim, Islam juga mengingatkan secara
tegas bahkan mengancam dengan dosa yang besar orang-orang yang memutuskan silaturrahim
(qathi’ah ar-rahim).
Di atas sudah dijelaskan bahwa silahturrahim dilaksanakan antara lain dengan berbuat
ihsan, seperti membagi sebagian dari harta waris kepada karib kerabat yang tidak mendapat bagian
karena haknya terhalang, dan membina hubungan persaudaraan dan kasih sayang dengan saling
kenal mengenal, kunjung mengunjungi, tolong menolong dan lain-lain sebagainya. Maka orang-
orang yang tidak melakukan hal-hal yang demikian bisa diartikan telah memutuskan hubungan
kekeluargaan atau memutuskan silahturrahim. Tentu tingkatan pemutusan itu berbeda-beda, ada
yang masih dalam tingkat yang ringan, ada yang sedang dan ada yang sudah sampai ketingkat
yang lebih berat. Ringan beratnya tingkat pemutusan silahturrahim tergantung kepada tingkat
ketidakpedulian seseorang dengan karib kerabatnya.
Yang lebih parah lagi, kalau qathiah ar-rahim itu sampai ketingkat tidak saling tegur sapa
bahkan permusuhan. Kita kemukakan dua ilustrasi contoh qathiah ar-rahim; yang pertama
disengaja dan yang kedua tidak sengaja (hanya karena niat baik semata). Pertama bila seorang
janda dendam dengan mantan suaminya yang menceraikannya dan meninggalkan anaknya dengan
tidak bertanggung jawab sama sekali, maka setelah anak itu dibesarkan dan didiknya sehingga
menjadi orang yang sukses, dia melarang anaknya membantu bapaknya, bahkan melarangnya
berhubungan sama sekali. Si Janda tadi telah melakukan tindakan yang fatal didorong oleh
dendamnya. Dia harus menyadari antara suami istri boleh berpisah tapi antara anak dan orang tua
tidak ada istilah pisah.Kedua, seorang tua angkat merahasiakan siapa orang tua kandung anak
angkatnya, tidak hanya pada waktu anak-anak saja, tetapi juga dirahasiakan sampai anak itu sudah
dewasa. Tindakan seperti ini menghalangi anak untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya.
Tindakan yang kedua inipun tetap tercela walaupun dengan maksud baik, yaitu tidak ingin
menjadikan anak kecewa setelah dia tahu siapa orang tua kandungnya yang sebenarnya.
Demikianlah bagaimana akhlak seorang Muslim dengan karib kerabatnya yang dapat kita
simpulkan dalam satu kalimat yaitu Silaturrahim.
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keluarga yang sakinah mawadan dan warohmah yang di ridhoi Allah SWT selalu berkaitan
dengan akhlak dalam keluarga baik diantaranya adalah birrul walidain,hak kewajiban dan kasih
sayang suami istri,kasih sayang dan tanggung jawab orang tua terhadap anak,serta silaturrahim
dengan karib kerabat. Oleh karena itu dalam sebuah keluarga di butuhkan akhlak dalam keluarga.
Apabila terjadi suatu kekeliruan yang berakibat kegagalan dalam rumah tangga, pada umumnya di
karenakan kurangnya akhlak dalam keluarga. Semoga apa yang kami sampaikan berguna bagi
kedepannya, dan menjadi tolak ukur bagi kita untuk menuju serta mendapat ridho Allah dan agar
kita semua mendapatkan kebahagia dunia akhirat.
B. Saran
Berkaitan dengan pembahasan makalah ini tentu masih banyak kekurangan atau kesalahan
penyusun dalam menyusun makalh ini.penyusun meminta saran dan kritiknya yang membangun
demi kelancaran bersama. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk penulis dan para
pembaca, dan wasiat Rasulullah ini dapat kita laksanakan dengan ikhlas karena Allah SWT.
Mudah-mudahan shalawat dan salam tetap tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam.Amin.

Vous aimerez peut-être aussi