Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
AKUT
Presentasi Kasus
Oleh:
Pembimbing:
2016
I. IDENTITAS
1. Nama : Ny. N
2. Jenis Kelamin : Perempuan
3. Tempat, Tanggal Lahir : 11 November 1977
4. Usia : 38 tahun
5. Alamat : Desa Sukamaju Kongbeng, Kutim
6. Status Menikah : Menikah
7. Agama : Kristen
8. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
9. Tgl. Masuk RS : 10 Mei 2016
10. No. Rekam Medis : 212128
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di bangsal Nilam RSUD Kudungga pada
tanggal 10 Mei 2016.
1. Keluhan Utama
Sesak nafas sejak ±16 jam SMRS
2. Keluhan Tambahan
Batuk sejak 2 hari lalu
Nyeri ulu hati sejak 1 hari lalu
Kemudian pasien kembali nebul dgn ventolin. Setelah membaik, ±2 jam kemudian
pasien kembali merasa sesak memberat (serangan ketiga) dan kemudian pasien nebul
lagi. Saat itu, pasien sudah menghabiskan 5-6 ampul ventolin sehingga stok obat di
rumah sudah habis. ±4 jam kemudian pasien kembali merasa sesak dan akhirnya
pergi ke Puskesmas Kongbeng untuk ditangani lebih lanjut.
b. Paru
i. Inspeksi : Statis & dinamis: Pernafasan simetris +/+ , retraksi -/-
ii. Palpasi :vokal fremitus normal dan seimbang pada kedua sisi,
pengembangan dada simetris
iv. Auskultasi :suara nafas vesikuler (+)/(+),ronkhi (+/+), irama nafas teratur
Ronki: basah kasar Wheezing:
7. Abdomen :
a. Inspeksi : bekas luka(-), datar
b. Auskultasi: Bising usus positif 12 x per menit
c. Perkusi :Shifting dullness (-), timpani
d. Palpasi : Supel, nyeri tekan epigstrium (+), hepar lien dalam batas normal.
8. Ekstremitas :
a. Akral hangat, piting edema pretibial (-/-) , sianosis (-)pergerakan aktif dan
pasif normal/tidak terganggu, CRT < 2 S
b. Kekuatan motorik 5 5 5 5 | 5 5 5 5
5555|5555
c. Reflek fisiologis : positif, normal. Hipo/Hiper reflex (-)
d. Reflek patologis : Babinski (-)
e. Sensorik : normal
DIAGNOSIS
Diagnosis Kerja Asma Bronkiale Eksaserbasi Akut Derajat Serangan Ringan-Sedang
+ Bronkitis + Gastritis
Di IGD:
RL:D5 20tpm
Drip aminofilin 2x1 dalam RLD5
Inj. Metilprednisolone 1x12.5 mg, lanjut 2x6.25/12 jam
Inj. Ranitidine 2x1
Nebu Combivent + NaCl 3cc
Bromhexine 3x1
Antasida syr 3xII C
Foto Ro thorax
FOLLOW UP
Tanggal & Waktu Follow up
Tho:
Thorax:
Ronki Wheezing
A:
- Asma Bronkiale eksaserbasi akut derajat ringan-sedang
- Bronkitis
- Gastritis
P: - IVFD RL 20tpm
- ceftriaxone 2x1 gr
- metilprednisolone 2x6.25mg
- Ranitidine 2x1
- salbu/aminofilin ½ tab+ Bromhexine 1tab+ cetirizine ½ tab
– 3x1
- Antasida syr 3x 2cth
- Nebu k/p
13/5/2016 S: batuk dahak berkurang, sesak (-)
Tho:
Ronki Wheezing
VII. PROGNOSIS
1. Quo ad vitam :dubia ad bonam
2. Quo ad functionam :dubia ad bonam
3. Quo ad sanactionam :dubia ad malam
C. Patofisiologi
Patofisiologi asma bersifat kompleks, melibatkan berbagai mekanisme yaitu inflamasi
jalan nafas, obstruksi aliran udara intermiten, dan hiperresponsif bronkial. Reaksi alergi
berperan penting dalam patofisiologi asma. Onset asma kebanyakan dimulai sejak usia muda.
a. Inflamasi jalan nafas
Melibatkan berbagai derajat infiltrasi sel mononuklear, eosinofil, hipersekresi mukus,
deskuamasi epitel, hiperplasia otot polos, remodeling jalan nafas.
Dapat terlihat beberapa sel yang berperan penting pada inflamasi jalan nafas antara lain
sel mast, eosinofil, sel epitel, makrofag, dan limfosit T aktif. Limfosit T berperan penting dalam
regulasi inflamasi jalan nafas melalui pelepasan sejumlah sitokin. Sel-sel lainnya seperti
fibroblas, sel endotel, sel epitel, mempengaruhi tingkat kronisitas penyakit. Faktor lain seperti
molekul adhesi (selektin, integrin) penting untuk secara langsung mempengaruhi proses
inflamasi jalan nafas.
Presentasi antigen oleh sel dendritik terhadap limfosit menyebabkan inflamasi jalan nafas
dan gejala asma melalui peran sitokin. Hiperreaktivitas jalan nafas atau hiperreaktivitas bronkial
pada asma merupakan respon berlebihan terhadap sejumlah stimulus endogen maupun eksogen.
Mekanismenya melibatkan stimulasi langsung terhadap otot polos jalan nafas dan stimulasi tidak
langsung oleh substansi aktif dari sel-sel yang mensekresi mediator seperti sel mast atau saraf
sensorik yang tidak bermielin. Derajat hiperresponsifitas jalan nafas berhubungan dengan tingkat
keparahan asma.
Inflamasi jalan nafas pada asma dapat diakibatkan oleh hilangnya keseimbangan antara
dua kelompok limfosit Th yang berlawanan yaitu Th1 dan Th2. Th1 memperoduksi interleukin
(IL-2 dan IFN-α), yang penting dalam mekanisme pertahanan seluler terhadap respon infeksi.
Th2 membentuk sitokin (IL-4, IL-5, IL-6, IL-9, dan IL-13) yang dapat memediasi reaksi
inflamasi alergi, terutama IL-13.
c. Hiperresponsif Bronkial
Hiperinflasi mengkompensasi obstruksi jalan nafas, namun kompensasi ini terbatas ketika
volume tidal sudah mendekati volume dead space paru sehingga menyebabkan hipoventilasi
alveolar. Perubahan yang tidak merata dalam resistensi aliran udara, distribusi aliran udara
tidak merata, dan perubahan sirkulasi dari peningkatan tekanan intraalveolar akibat
hiperinflasi semuanya menyebabkan mismatch ventilasi-perfusi. Vasokonstriksi akibat
hipoksia alveolar juga berkontribusi menyebabkan mismatch ini.
Pada tahap awal, ketika mismatch terjadi pada hipoksia, hiperkarbia dicegah dengan
difusi CO2 melewati membran kapiler alveolar. Pasien asma episode akut tahap awal terjadi
hipoksemia tanpa terjadi retensi CO2. Hiperventilasi yang dipicu oleh kondisi hipoksik
menyebabkan penurunan PaCO2. Peningkatan ventilasi alveolar di tahap awal eksaseerbasi
akut mencegah hiperkarbia. Seiring semakin memburuknya obstruksi dan peningkatan
mismatch V/P, terjadilah retensi CO2. Pada tahap awal episode akut, alkalosis respiratorik
terjadi akibat hiperventilasi. Kemudian, peningkatan usaha nafas, peningkatan konsumsi
oksigen, peningkatan cardiac output menyebabkan asidosis metabolik. Gagal nafas
menyebabkan asidosis respiratorik akibat retensi CO2 akibat penurunan ventilasi alveolar.
Gambar 3. Spasme bronkial, Hiperproduksi mukus, dan Edema Mukus
D. Gejala
Mengi, batuk, sesak nafas, rasa tidak nyaman pada dada, suara menjadi lebih high-
pitched, suara seperti siulan akibat turbulensi aliran udara merupakan gejala yang biasanya
ditemukan pada pasien asma. Pada kasus asma ringan, mengi hanya terjadi pada akhir
ekspirasi. Pada episode asma berat, mengi terdengar selama proses ekspirasi bahkan juga saat
inspirasi. Pada kasus paling berat, wheezing tidak ada karena penyempitan total dari saluran
nafas dan lelahnya otot respiratori. Wheezing sendiri tidak khas merupakan gejala asma, bisa
terjadi juga pada kondisi obstruksi jalan nafas seperti kistik fibrosis dan juga kondisi gagal
jantung.
Pada pasien dengan disfungsi pita suara, atau disebut Inducible Laryngeal Obstruction
(ILO) memilki ciri mengi inspirasi monofonik dan terdengar jelas di area laring di leher,
berbeda dengan mengi polifonik pada asma. Pasien dengan Execessive Dynamic Airway
Collapse (EDAC), bronkomalasia, atau trakeomalasia juga memiliki ciri mengi ekspirasi
monofonik di area saluran nafas besar. Pada kasus bronkokonstriksi yang diinduksi latihan,
mengi terjadi setelah latihan. Batuk dapat merupakan satu-satunya gejala pada asma,
biasanya non-produktif dan nonparoksismal. Gejala juga dapat berupa rasa penuh di dada.
Gejala lain yang tidak spesifik pada bayi maupun anak-anak dapat berupa infeksi rekuren
seperti bronkitis, bronkiolitis, pneumonia.
E. Diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis asma, diperlukan asesmen lengkap riwayat penyakit meliputi:
- Gejala-gejala yang menunjukkan ke arah asma
- Data pendukung lain yang membantu mengarahkan ke gejala asma seperti riwayat
keluarga apakah memiliki riwayat penyakit asma, alergi, infeksi sinusitis, rinitis; riwayat
sosial meliputi keadaan rumah dan lingkungannya, kebiasaan merokok, tempat
kerja/sekolah, tingkat pendidikan, riwayat penggunaan obat-obatan tertentu.
- Derajat beratnya asma
- Faktor presipitasi. Perlu ditanyakan juga keadaan sosial pasien seperti keadaan
lingkungan rumah/sekolah/tempat kerja, kebiasaan merokok, tingkat pendidikan,
penggunaan obat-obatan rutin.
Pada orang tua, lebih sulit untuk menegakkan diagnosis asma karena sulitnya mengeksklusi
penyakit lain seperti COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease).
Pemeriksaan fisik
Reaksi alergi sangat berperan penting dalam terjadinya asma. Oleh karena itu, biasanya
dapat ditemukan tanda-tanda atopi pada pasien dengan riwayat alergi yaitu allergic shiner
bila mata sering berair, allergic crease yang menunjukkan pasien sering menggosok
hidungnya karena gatal dan berair, adanya lesi binti-bintik merah pada pasien karena
dermatitis atopik.
Episode imminens
Pasien menjadi pusing, penurunan kesadaran. Pada status asmatikus dengan ancaman gagal
nafas, dapat terjadi gerakan torakoabdominal paradoksikal. Mengi tidak ada akibat obstruksi
saluran nafas total, dan hipoksemia berat sehingga terjadi bradikardia. Pulsus paradoksus
mungin tidak ada, terjadi kelelahan otot nafas. Pasien menjadi berkeringat berlebih,
- Pemeriksaan penunjang
Dibutuhkan beberapa pemeriksaan penunjang dalam menegakkan diagnosis asma yaitu
antara lain:
Spirometri
Spirometri latihan merupakan metode standar dalam melakukan asesmen pasien dengan
bronkospasme yang diinduksi latihan (exercise-induced bronchospasm)
Spirometri merupakan alat ukur objektif untuk memeriksa kondisi obstruksi jalan nafas
apakah reversibel atau tidak. Perlu dilihat apakah terjadi peningkatan fungsi paru setelah
diberikan inhalasi bronkodilator rapid-acting. Tes ini disarankan untuk pasien usia 6 tahun
keatas yang kooperatif. Selama spirometri, pasien diinstruksikan untuk menarik nafas
terdalam sebisa mungkin lalu menghembuskan nafas sekencang dan sebisa mungkin ke
mouthpiece di spirometer.
Spirometri mengukur Forced Vital Capacity (FVC) yaitu volume udara maksimum yang
dapat dihembuskan dan Forced Expiratory Volume 1 (FEV1). Diukur perbandingan pada
FEV1 terhadap FVC untuk melihat kondisi obstruksi jalan nafas. Diagnosis asma dapat
dikonfirmasi bila:
1. Terjadi peningkatan FEV1 sebanyak minimal 12% dan setidaknya 200mL, 15-20
menit setelah diberikan inhalasi bronkodilator rapid-acting, atau
2. Peningkatan FEV1 minimal 20% dan minimal 200mL setelah 2 minggu mendapatkan
perawatan dengan obat anti-inflamasi.
Pada populasi biasa, rasio FEV1/FVC biasanya lebih besar dari 0.8, bahkan lebih besar
dari 0.9 pada anak-anak. Bila nilai rasio lebih rendah dari angka tersebut, dicurigai
adanya limitasi aliran jalan nafas dan juga mendukung diagnosis asma.
Peakflowmeter
Memantau Peak Expriratory Flow (PEF) merupakan cara alternatif yang dapat
dilakukan ketika tidak dapat dilakukan spirometri, dan juga dapat berguna untuk
diagnosis asma okupasi dan atau memantau respon pengobatan asma. PEF biasanya
diukur saat pagi dan sore. Variasi diurnal PEF lebih dari 20% atau terdapat peningkatan
minimal 60 L/min atau minimal 20% setelah inhalasi bronkodilator rapid-acting dapat
menunjukkan adanya asma. Meskipun lebih sederhana dibandingkan spirometri, PEF
kurang dapat dipercaya hasilnya.
Gambar 6. Alur Diagnosis Asma
Challenge testing
Ketika tes fungsi paru hasilnya normal, namun gejala mengarah ke asma, pengukuran
respon jalan nafas dengan tes jalan nafas direk yaitu dengan stimuli bronkokonstriktor
inhalasi (contohnya metakolin atau histamin) atau tes indirek dengan manitol atau
latihan dapat membantu diagnosis asma. Challenge test hanya boleh dilakukan sesuai
protokol ketat di laboratorium atau fasilitas yang dapat menangani kondisi
bronkospasme akut.
Pada tes ini, pasien menginhalasi stimulus dengan dosis atau konsentrasi yang
ditingkatkan terus hingga tercapai tingkat bronkokonstriksi, yaitu turunnya 20% FEV1.
Lalu inhalasi bronkodilator rapid acting diberikan untuk mengatasi obstruksi. Hasil tes
biasanya digambarkan dengan jumlah dosis atau konsentrasi agen provokasi yang
menyebabkan FEV1 turun 20% (PD20 atau PC20). Untuk metakolin, nilai PC20 kurang
dari 8 mg/ml dipertimbangkan sebagai hasil positif menunjukkan hiperreaktifitas jalan
nafas.
F. Tatalaksana
Pengobatan asma diperlukan untuk mencegah kambuhnya gejala, meminimalisasi
morbiditas dari episode akut, dan mencegah morbiditas fungsional dan psikologikal
untuk mencapai pola hidup sehat. Penanganan asma jangka panjang memiliki dua tujuan
yaitu mengontrol episode asma akut dan mengontrol gejala kronis.
Terapi farmakologis untuk kontrol gejala asma yaitu kortikoseroid inhalasi
(ICS/Inhaled Corticosteroid), bronkodilator long-acting seperti beta agonis dan
antikolinergik, teofilin, leukotriene modifiers, dan pengobatan terbaru dengan antibodi
anti-immunoglbulin E (IgE) yaitu omalizumab, lalu antibodi anti-IL-5 pada beberapa
pasien. Obat-obatan pereda gejala akut yaitu bronkodilator short-acting, kortikosteroid
sistemik (KS) dan ipratropium. Intensitas pemberian obat-obatan tergantung pada derajat
keparahan gejala.
Tatalaksana gejala asma bersifat stepwise. Bila beta-agonis rapid acting
digunakan lebih dari 2 kali /minggu sebagai pereda gejala (tidak termasuk ketika obat
digunakan untuk mencegah gejala yang diinduksi latihan), perlu dipertimbangkan untuk
step-up terapi.
Eksaserbasi asma
Yaitu adanya kondisi memburuknya gejala dan fungsi paru-paru secara akut atau subakut
dibandingkan kondisi pasien yang biasanya. Berikut dicantumkan alur penanganan
eksaserbasi asma.
Gambar 8. Alur Tatalaksana Eksaserbasi Asma di Fasilitas Kesehatan Primer
Gambar 9. Tatalaksana Eksaserbasi Asma di Sarana Kesehatan Darurat
Gambar 9. Tatalaksana Eksaserbasi Asma di Sarana Kesehatan Darurat
Dalam mengontrol gejala kronis, pasien asma perlu dinilai kembali keadaannya
setiap 1 hingga 6 bulan sekali untuk kontrol. Pasien perlu diedukasi untuk memahami
tatalaksana asma mandiri baik dari segi farmakologis maupun non-farmakologis.
Pertimbangkan untuk step-up terapi bila gejala tidak dapat dikontrol, eksaserbasi namun
pastikan dahulu diagnosis, teknik penggunaan inhaler dan kepatuhan berobat.
Pertimbangkan untuk step-down bila gejala dapat terkontrol dalam 3 bulan dan
menurunnya risiko terjadi eksaserbasi. Menurunkan dosis kortikosteroid inhalasi tidak
dianjurkan. Namun, pasien perlu dinilai kembali setiap 2 hingga 4 minggu sekali untuk
memastikan kondisi pasien tetap terkontrol dengan pengobatan yang baru dilakukan.
Perlu juga dikendalikan faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan komorbidnya.
Penilaian faktor risiko dengan dilakukan investigasi adanya paparan lingkungan yang
persisten seperti substansi toksik atau alergen.
DAFTAR PUSTAKA
1. Global Initiative for Asthma: Teaching slide set 2016 update. Available from:
www.ginaasthma.org [Accessed 1st July 2016].
2. Morris MJ, Mosenifar J: Asthma. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/296301-overview [Accessed 5th July 2016].
3. Global Asthma Network: The Global Asthma Report 2014. Available from:
http://www.globalasthmareport.org/burden/burden.php [Accessed 19th July 2016].
4. World Health Organization: Chronic Respiratory Diseases: Asthma. Available from:
http://www.who.int/respiratory/asthma/definition/en/ [Accessed 20th July 2016].
5. Kim H, Mazza J. Asthma. Allergy, Asthma & Clinical Immunology, 2011;7:1-9.
BRONKITIS AKUT
C. Gejala
Gejala bronkitis akut sulit dibedakan dengan Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA)
dan pneumonia. Gejala utama bronkitis akut adalah batuk produktif. Warna cairan mukus
tidak secara pasti dapat menentukan penyebab infeksi apakah disebabkan oleh virus atau
bakteri. Pada pasien pneumonia, biasanya pasien terlihat sakit berat serta terdapat temuan
klinis pada dada.
D. Patofisiologi
Selama episode bronkitis akut, sel-sel pertahanan bronkial mengalami iritasi dan
membran mukus menjadi hiperemis dan edema, mengurangi fungsi mukosiliari bronkial.
Oleh karena itu, aliran udara menjadi buntu akibat tumpukan debris dan meningkatlah
iritasi. Sekresi mukus makin meningkat, yang menyebabkan batuk pada bronkitis.
Bronkitis akut biasanya membaik setelah sekitar 10 hari. Bila inflamasi menyebar ke
bawah ke ujung cabang bronkial, dan menuju bronkiolus dan kantung alveolar, terjadi
bronkopneumonia.
Sel inflamasi yang dominan dalam inflamasi ini, umumnya neutrophil dan distribusi
perubahan fibrotik peribronkial terjadi akibat aksi dari interleukin-8, colony-stimulating
factors, dan kemotaktik serta sitokin proinflamasi lainnya. Sel-sel epitel saluran nafas
melepaskan mediator-mediator inflamasi karena berespon terhadap stimuli toksis,
infeksius, juga untuk mengurangi terlepasnya produk regulasi seperti angiotensin-
converting enzyme (ACE) atau endopeptidase netral.
F. Tatalaksana
Tujuan dari pengobatan bronchitis akut adalah meredakan gejala (batuk, demam) dan
mencegah pneumonia.
Untuk intervensi non-farmakologis dapat dilakukan:
- Istirahat cukup
- Cukupi kebutuhan air minum
- Menjaga kelembaban udara lingkungan
- Mencegah iritan saluran nafas (polutan, rokok)
- Edukasi meningkatkan higiene dan daya tahan tubuh pribadi dan keluarga
- Merujuk ke fasilitas kesehatan sekunder bila dicurigai pneumonia