Vous êtes sur la page 1sur 32

ASMA BRONKIALE INTERMITEN SERANGAN

AKUT

Presentasi Kasus

Oleh:

dr. Yenny Theofila

Pembimbing:

dr. Didit Tri Setyo Budi, Sp.P

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KUDUNGGA, SANGATTA

2016
I. IDENTITAS
1. Nama : Ny. N
2. Jenis Kelamin : Perempuan
3. Tempat, Tanggal Lahir : 11 November 1977
4. Usia : 38 tahun
5. Alamat : Desa Sukamaju Kongbeng, Kutim
6. Status Menikah : Menikah
7. Agama : Kristen
8. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
9. Tgl. Masuk RS : 10 Mei 2016
10. No. Rekam Medis : 212128

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di bangsal Nilam RSUD Kudungga pada
tanggal 10 Mei 2016.

1. Keluhan Utama
Sesak nafas sejak ±16 jam SMRS
2. Keluhan Tambahan
Batuk sejak 2 hari lalu
Nyeri ulu hati sejak 1 hari lalu

3. Riwayat Penyakit Sekarang


 Pasien mengeluh sesak nafas sejak ±16 jam SMRS yaitu tengah malam disaat akan
tidur. Nyeri dada disangkal. Nyeri yang menjalar ke bahu dan lengan kiri disangkal.
Nyeri ulu hati dirasakan sejak 1 hari lalu. Mulut terasa pahit, riwayat telat makan 1
hari lalu (+), mual disangkal. Riwayat sering konsumsi obat-obatan utk badan pegal
disangkal.
 Pasien batuk berdahak warna jernih sejak 2 hari lalu. Demam sumeng-sumeng (+)
namun tidak diukur. Adanya tertelan benda asing disangkal.
 Saat sesak, gerakan dada tertarik ke dalam saat bernafas disangkal. Posisi pasien
cenderung lebih nyaman membungkuk duduk dibandingkan berbaring. Saat serangan,
pasien mampu mengucapkan kata-kata namun sulit dalam bentuk kalimat. Tangan
dan kaki biru saat serangan disangkal. Durasi sesak ±10menit lalu pasien nebu sendiri
di rumah (punya alat nebul sejak 1 tahun lalu) dengan ventolin 2.5 cc + aquades 2 cc.
Keluhan sesak membaik setelah istirahat dan setelah di nebu namun ±3 jam kemudian
(subuh) pasien kembali merasa sesak.

 Kemudian pasien kembali nebul dgn ventolin. Setelah membaik, ±2 jam kemudian
pasien kembali merasa sesak memberat (serangan ketiga) dan kemudian pasien nebul
lagi. Saat itu, pasien sudah menghabiskan 5-6 ampul ventolin sehingga stok obat di
rumah sudah habis. ±4 jam kemudian pasien kembali merasa sesak dan akhirnya
pergi ke Puskesmas Kongbeng untuk ditangani lebih lanjut.

 Di Puskesmas Kongbeng pasien mendapatkan pengobatan:


- Inj. Dexametasone 3x1amp
- O2 2-4lpm
- Nebu ventolin 2.5mg
- Drip aminofilin 1 amp dlm D5%
- Ranitidine 2x1tab
- Ambroxol syr 3x II cth
Kondisi pasien sudah membaik namun stok O2 dan obat-obatan nebu habis sehingga
pasien dirujuk ke RSUD Kudungga karena ditakutkan pasien kembali mengalami
serangan lagi. Saat sampai RSUD Kudungga, pasien sudah berkurang sesaknya. Terapi
dilanjutkan sambil observasi pasien.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat serangan asma pertama kali dialami pada 6 tahun lalu. Serangan asma terakhir
sebelumnya yaitu sekitar 3 minggu lalu.
Pemicu serangan: terutama udara dingin, riwayat infeksi saluran nafas,
psikologis stres, aktivitas berat. Riwayat konsumsi obat controller disangkal
- Riw. alergi debu dan udara dingin, pasien menjadi bersin-bersin, keluar cairan dari
hidung. Keluhan mata berair di pagi hari disangkal. Keluhan kulit gatal-gatal di bagian
lipatan disangkal.

5. Riwayat Penyakit Keluarga


- Asma disangkal
- Alergi disangkal
- Penyakit sistemik (DM, HT, autoimun, kanker) disangkal

6. Riwayat Kebiasaan dan Sosial


Merokok disangkal, minum beralkohol disangkal, pola makan sering makan makanan
berminyak
Pekerjaan ibu rumah tangga. Lingkungan rumah tinggal banyak debu

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 10 Mei 2016.

1. Keadaan Umum :Tampak sakit sedang


2. Kesadaran :Komposmentis, GCS 15 (E4 V5 M6)
3. Kesan gizi : Overweight
4. Tanda-tanda Vital :
a. Tekanan darah :130/70 mmHg
b. Nadi :88 x/m (reguler, isi cukup)
c. Pernapasan :26 x/m
d. Suhu :37oC
e. SpO2 : 99%
5. Kepala :normosefali, penyebaran rambut merata
a. Mata :pupil bulat reaktif isokor, reflek cahaya langsung +/+, reflek
cahaya tidak langsung +/+, konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, edem
palpebra -/-, allergic shiner -/-
b. Hidung : nafas cuping hidung -/-, allergic crease -/-, deformitas -,
epistaksis –
c. Telinga : meatus acusticus externus dbn, pendengaran baik
d. Mulut : oral mukosa basah, bau mulut (-)
e. Bibir : mukosa kering, simetris, tidak pucat
f. Uvula : intak di tengah
g. Tonsil : T1T1, Hiperemis (-), detritus (-)
h. Faring : faring tenang
i. Leher : tidak ada pembesaran KGB dan tiroid,
6. Thorax:
 Kulit: bekas luka(-) perubahan warna (-)
 Bentuk : tidak ada deformitas, bentuk dada simetris
 Gerak : tidak ada gerak napas tertinggal, retraksi interkostal(-)
a. Jantung
i. Inspeksi :iktus kordis tidak terlihat
ii. Palpasi :iktus kordis teraba pada interkostal 5 midclavicula kiri
iii. Perkusi :
– batas jantung kana linea parasternalis kanan
– batas jantung kiri ICS 5 midclavicularis kiri
– batas jantung atas ICS 2 parasternal sinistra
iv. Auskultasi :bunyi jantung S1S2 reguler, gallop (-), murmur (-)

b. Paru
i. Inspeksi : Statis & dinamis: Pernafasan simetris +/+ , retraksi -/-
ii. Palpasi :vokal fremitus normal dan seimbang pada kedua sisi,
pengembangan dada simetris

iii. Perkusi :Sonor

iv. Auskultasi :suara nafas vesikuler (+)/(+),ronkhi (+/+), irama nafas teratur
Ronki: basah kasar Wheezing:

7. Abdomen :
a. Inspeksi : bekas luka(-), datar
b. Auskultasi: Bising usus positif 12 x per menit
c. Perkusi :Shifting dullness (-), timpani
d. Palpasi : Supel, nyeri tekan epigstrium (+), hepar lien dalam batas normal.
8. Ekstremitas :
a. Akral hangat, piting edema pretibial (-/-) , sianosis (-)pergerakan aktif dan
pasif normal/tidak terganggu, CRT < 2 S
b. Kekuatan motorik 5 5 5 5 | 5 5 5 5
5555|5555
c. Reflek fisiologis : positif, normal. Hipo/Hiper reflex (-)
d. Reflek patologis : Babinski (-)
e. Sensorik : normal

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Pemeriksaan Laboratorium
Nilai normal
Pemeriksaan 10/5/16
13-17gr/dl
Hemoglobin 13.9 gr/dl
37-54%
Hematokrit 38.9 %
5-10rb/ul
Leukosit 15.9 rb/ul
150-400 rb/ul
Trombosit 381 rb/ul

Hitung Jenis Leukosit


2-6
Basofil 4.8
50-70
N.Stab & N.Segmen 88.4
20-40
Limfosit 6.8
60-150
GDS 101
10-50
Ureum 13
0.5-0.9
Kreatinin 0.59

Hasil Rontgen Thoraks


V. RESUME
Pasien masuk rumah sakit pada tanggal 10 Mei 2016 pukul 16.00 WIB. Pasien
merasakan sesak napas tiba-tiba pada malam hari yaitu sejak ±16 jam SMRS. 2 hari
sebelumnya, pasien batuk berdahak dan nyeri ulu hati. Pasien memiliki riwayat asma sejak
±6 tahun lalu. Pasien lalu nebu sendiri di rumah namun serangan asma tetap berulang
beberapa kali. Karena kehabisan stok obat nebu, pasien pergi berobat ke Puskesmas dan
mendapat penanganan awal. Keadaan pasien sudah cukup membaik di Puskesmas, namun
stok obat di Puskesmas terbatas dan ditakutkan pasien akan mengalami serangan asma
kembali, sehingga pasien dirujuk ke RSUD.
Riwayat alergi debu dan udara dingin (+), riwayat asma dalam keluarga (-). Riwayat
konsumsi obat controller asma (-). Kebiasaan merokok (-), minum alkohol (-), pekerjaan
sebagai ibu rumah tangga, lingkungan rumah tinggal banyak debu.
Pemeriksaan fisik di bangsal: kompos mentis. RR 24x/m. SpO2 99%. Mata, hidung,
tenggorokan, mulut dalam batas normal. Pemeriksaan thoraks paru: gerakan nafas simetris
dalam keadaan statis dan dinamis, stem fremitus kanan=kiri, perkusi simetris, auskultasi
terdapat ronki basah kasar dan juga wheezing. PF jantung normal. Abdomen: nyeri tekan
epigastrium (+). Ekstremitas dbn.
Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin didapatkan leukosit 15900. Hasil
pemeriksaan Gula Darah Sewaktu (GDS) dan ureum kreatinin dalam batas normal. Rontgen
toraks pasien didapatkan hasil normal.

DIAGNOSIS
Diagnosis Kerja Asma Bronkiale Eksaserbasi Akut Derajat Serangan Ringan-Sedang
+ Bronkitis + Gastritis

VI. PENATALAKSANAAN & FOLLOW-UP


Penatalaksanaan terapeutik yang telah dilakukan.

Di IGD:
 RL:D5 20tpm
 Drip aminofilin 2x1 dalam RLD5
 Inj. Metilprednisolone 1x12.5 mg, lanjut 2x6.25/12 jam
 Inj. Ranitidine 2x1
 Nebu Combivent + NaCl 3cc
 Bromhexine 3x1
 Antasida syr 3xII C
 Foto Ro thorax

Advis dr. Didit, Sp.P (10 Mei 2016):


- O2 2lpm k/p
- IVFD RL:D5 20tpm + drip aminofilin 2x1mg
- Ceftriaxone 2x1gr
- Metilprednisolone 2x62.5 mg
- Ranitidine 2x1
- Nebu Combivent 3x1 + NS 3cc
- Salbutamol 3x2mg
- Bromhexine 3x1
- Antasida syr 3x 2 cth

FOLLOW UP
Tanggal & Waktu Follow up

11/5/2016 S: batuk dahak (+), sesak berkurang

O: RR: 24x/m TD: 120/80 mmHg

Tho:

Ronki minimal Wheezing

A: - Asma Bronkiale eksaserbasi akut derajat ringan-sedang


- Bronkitis
- Gastritis
P: Terapi lanjut
12/5/2016 S: batuk dahak (+), sesak berkurang

O: RR: 24 x/m TD: 120/80mmHg

Thorax:

Ronki Wheezing

A:
- Asma Bronkiale eksaserbasi akut derajat ringan-sedang
- Bronkitis
- Gastritis
P: - IVFD RL 20tpm
- ceftriaxone 2x1 gr
- metilprednisolone 2x6.25mg
- Ranitidine 2x1
- salbu/aminofilin ½ tab+ Bromhexine 1tab+ cetirizine ½ tab
– 3x1
- Antasida syr 3x 2cth
- Nebu k/p
13/5/2016 S: batuk dahak berkurang, sesak (-)

O: RR: 22 x/m TD: 120/80 mmHg

Tho:

Ronki Wheezing

A: - Asma Bronkiale eksaserbasi akut derajat ringan-sedang


- Bronkitis
- Gastritis
P: - Pasien BLPL dgn obat pulang :
- Cefixime 2x200 mg
- Metilprednisolone 2x8 mg
- Antasida syr 3x2cth
- Racikan salbutamol 2mg,+ aminofilin ½ tab+ bromhexine 1 tab+
cetirizne ½ tab

Hasil Laboratorium 13/5/2016


Nilai normal
Pemeriksaan 13/5/16
13-17gr/dl
Hemoglobin 12 gr/dl
37-54%
Hematokrit 35.6 %
5-10rb/ul
Leukosit 10.5 rb/ul
150-400 rb/ul
Trombosit 318 rb/ul

VII. PROGNOSIS
1. Quo ad vitam :dubia ad bonam
2. Quo ad functionam :dubia ad bonam
3. Quo ad sanactionam :dubia ad malam

VIII. ANALISIS KASUS


Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, dapat disimpulkan
bahwa pasien mengalami asma bronkiale eksaserbasi akut derajat serangan sedang-berat,
bronkitis dan gastritis.
Dari anamnesis, didapatkan gejala sesak nafas tiba-tiba pada pasien yang diduga
pemicunya adalah udara dingin malam hari, juga stress psikologis yang juga menimbulkan
nyeri ulu hati. Selain itu, 2 hari sebelum serangan pasien batuk berdahak yang sehingga juga
berperan sebagai faktor pemicu serangan asma. Pasien memiliki riwayat asma sejak 6 tahun
lalu, riwayat alergi (+) pasien sering bersin-bersin di pagi hari, namun tidak ada riwayat
penyakit serupa dalam keluarga. Pasien tidak mengalami nyeri dada yang menjalar ke lengan
kiri, ekstremitas tidak bengkak, dan gejala-gejala lain yang mengarah ke penyakit jantung.
Dari pemeriksaan fisik di bangsal, didapatkan status kesadaran pasien penuh, tampak
sesak ringan. Mata, hidung, kulit tidak tampak tanda-tanda alergi pada umumnya seperti
allergic shiner, allergic crease, dermatitis. Pada pemeriksaan toraks paru didapatkan ronki
dan wheezing. Ronki pada pasien diduga akibat bronkitis akut. Wheezing sebagai tanda
terjadinya obstruksi aliran udara ekspirasi. Pemeriksaan fisik jantung dalam batas normal.
Pada pemeriksaan abdomen didapat nyeri tekan epigastrium, pasien mengatakan bahwa ia
mengalami stress psikologis beberapa hari ini dan punya kebiasaan sering telat makan. Oleh
karena hal ini, pasien diduga mengalami gastritis. Ekstremitas pasien dalam batas normal.
Pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan jumlah leukosit 15.900. Hal ini
menunjukan adanya infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Dari gejala klinis pasien, diduga
bahwa terjadi infeksi di paru. Pemeriksaan rontgen toraks pasien dalam batas normal.
Untuk keluhan batuk berdahak pasien, diduga bahwa pasien mengalami bronkitisakut.
Tidak adanya gejala demam tinggi, dan sesak berat yang mengarah ke penyakit paru yang
spesifik. Pada pemeriksaan fisik didapatkan ronki basah kasar, gerakan nafas simetris, stem
fremitus simetris. Pada pemeriksaan laboratorium, didapat leukosit 15.900 /uL. Hasil
pemeriksaan rontgen toraks pasien dalam batas normal.
Derajat serangan asma pasien dikategorikan ringan-sedang karena saat serangan,
pasien masih mampu mengucapkan kata-kata meski agak sulit mengucapkan kalimat, tidak
ada penggunaan otot nafas tambahan, laju nafas tidak meningkat secara signifikan. Riwayat
kebiasaan konsumsi obat controller asma disangkal. Pasien dikatakan mengalami eksaserbasi
akut karena adanya kondisi memburuknya gejala dan fungsi paru-paru secara akut atau
subakut dibandingkan kondisi pasien yang biasanya.
Penanganan asma jangka panjang memiliki dua tujuan yaitu mengontrol episode asma
akut dan mengontrol gejala kronis. Tatalaksana awal serangan asma ringan-sedang meliputi
pemberian inhalasi beta 2 agonis short-acting, pertimbangkan ipraptoprium bromide,
pemberian O2 untuk menjaga level saturasi oksigen, kortikosteroid oral. Pada pasien
diberikan nebu combivent (kombinasi albuterol dan ipratropium), injeksi metiprednisolone,
O2, aminofilin drip, salbutamol. Untuk tatalaksana bronkitis diberikan obat batuk
Bromhexine, dan antibiotik Ceftriaxone. Untuk terapi jangka panjang pasien, tidak diberikan
obat controller. Dikarenakan klasifikasi asma pasien tergolong asma intermiten, yaitu
serangan timbul <1x/minggu, asimtomatik di luar gejala, gejala malam <2x/bulan. Ada
baiknya dilakukan pemeriksaan spirometri dan juga challenge testing pada pasien.
ASMA BRONKIALE

A. Definisi & Epidemiologi


Merupakan penyakit kronis yang mengganggu aliran udara ekspirasi pernafasan dan
terjadi mengi, biasanya bersifat rekuren yang bervariasi intensitas dan frekuensinya pada
setiap penderitanya. Kondisi ini disebabkan terjadinya inflamasi saluran nafas pada paru dan
mempengaruhi sensitivitas ujung saraf saluran nafas sehingga mudah mengalami iritasi.
Asma merupakan penyakit kronis paling sering yang dialami anak-anak. Asma tidak
hanya menjadi masalah kesehatan di negara maju, namun juga banyak terjadi di negara
berkembang. Episode asma biasanya pertama kali terjadi sejak usia muda. Dari hasil analisa
menurut Global Burden of Disease Study (GBD) tahun 2008-2010, jumlah kasus penderita
asma mencapai 334 juta orang dari seluruh dunia. Menurut ISAAC (International Study of
Asthma and Allergies in Childhood), kasus asma juga meningkat pada populasi anak-anak
dari tahun 1993 hingga 2003 pada negara-negara berkembang maupun negara maju. Angka
kecacatan dan kematian dini karena asma, paling banyak terjadi pada populasi anak-anak
usia 10-14 tahun dan lansia 75-79 tahun dengan jumlah penderita wanita dan pria kurang
lebih setara.

B. Etiologi & Klasifikasi

Tabel 1.Klasifikasi Derajat Berat Asma (GINA 2004)


Faktor yang berkontribusi terhadap asma atau hiperreaktivitas jalan nafas antara lain
alergen lingkungan (debu, kutu binatang), infeksi virus di saluran nafas, olahraga, penyakit
refluks asam lambung, sinusitis kronis atau rinitis, obat-obatan (aspirin, NSAID, beta bloker),
obesitas, asap rokok, paparan zat kimia di tempat kerja, faktor psikologis, faktor perinatal
(prematuritas, riwayat ibu merokok saat kehamilan).

C. Patofisiologi
Patofisiologi asma bersifat kompleks, melibatkan berbagai mekanisme yaitu inflamasi
jalan nafas, obstruksi aliran udara intermiten, dan hiperresponsif bronkial. Reaksi alergi
berperan penting dalam patofisiologi asma. Onset asma kebanyakan dimulai sejak usia muda.
a. Inflamasi jalan nafas
Melibatkan berbagai derajat infiltrasi sel mononuklear, eosinofil, hipersekresi mukus,
deskuamasi epitel, hiperplasia otot polos, remodeling jalan nafas.

Gambar 1. Patogenesis Asma I


Gambar 2. Patogenesis Asma II

Dapat terlihat beberapa sel yang berperan penting pada inflamasi jalan nafas antara lain
sel mast, eosinofil, sel epitel, makrofag, dan limfosit T aktif. Limfosit T berperan penting dalam
regulasi inflamasi jalan nafas melalui pelepasan sejumlah sitokin. Sel-sel lainnya seperti
fibroblas, sel endotel, sel epitel, mempengaruhi tingkat kronisitas penyakit. Faktor lain seperti
molekul adhesi (selektin, integrin) penting untuk secara langsung mempengaruhi proses
inflamasi jalan nafas.
Presentasi antigen oleh sel dendritik terhadap limfosit menyebabkan inflamasi jalan nafas
dan gejala asma melalui peran sitokin. Hiperreaktivitas jalan nafas atau hiperreaktivitas bronkial
pada asma merupakan respon berlebihan terhadap sejumlah stimulus endogen maupun eksogen.
Mekanismenya melibatkan stimulasi langsung terhadap otot polos jalan nafas dan stimulasi tidak
langsung oleh substansi aktif dari sel-sel yang mensekresi mediator seperti sel mast atau saraf
sensorik yang tidak bermielin. Derajat hiperresponsifitas jalan nafas berhubungan dengan tingkat
keparahan asma.
Inflamasi jalan nafas pada asma dapat diakibatkan oleh hilangnya keseimbangan antara
dua kelompok limfosit Th yang berlawanan yaitu Th1 dan Th2. Th1 memperoduksi interleukin
(IL-2 dan IFN-α), yang penting dalam mekanisme pertahanan seluler terhadap respon infeksi.
Th2 membentuk sitokin (IL-4, IL-5, IL-6, IL-9, dan IL-13) yang dapat memediasi reaksi
inflamasi alergi, terutama IL-13.

b. Obstruksi aliran udara


Terhambatnya aliran udara dapat disebabkan berbagai hal, seperti bronkokonstriksi akut,
edema jalan nafas, sumbatan mukus kronis, remodeling jalan nafas. Bronkokonstriksi akut
yang terjadi akibat pelepasan mediator yang dihasilkan Imunoglobulin E (IgE) merupakan
komponen primer pada respon asma awal. Edema jalan nafas merupakan respon yang lebih
lambat terjadi yaitu 6 hingga 24 jam setelah paparan alergen.
Obstruksi aliran udara menyebabkan peningkatan resistensi aliran udara dan menurunkan
laju ekspirasi. Perubahan ini menyebabkan penurunan kemampuan untuk mengeluarkan
udara sehingga terjadi hiperinflasi. Overdistensi yang terjadi membantu menjaga patensi
jalan nafas, yaitu dengan meningkatkan aliran ekspirasi, namun hal tersebut juga merubah
cara kerja mekanis paru serta meningkatkan usaha nafas.

c. Hiperresponsif Bronkial
Hiperinflasi mengkompensasi obstruksi jalan nafas, namun kompensasi ini terbatas ketika
volume tidal sudah mendekati volume dead space paru sehingga menyebabkan hipoventilasi
alveolar. Perubahan yang tidak merata dalam resistensi aliran udara, distribusi aliran udara
tidak merata, dan perubahan sirkulasi dari peningkatan tekanan intraalveolar akibat
hiperinflasi semuanya menyebabkan mismatch ventilasi-perfusi. Vasokonstriksi akibat
hipoksia alveolar juga berkontribusi menyebabkan mismatch ini.
Pada tahap awal, ketika mismatch terjadi pada hipoksia, hiperkarbia dicegah dengan
difusi CO2 melewati membran kapiler alveolar. Pasien asma episode akut tahap awal terjadi
hipoksemia tanpa terjadi retensi CO2. Hiperventilasi yang dipicu oleh kondisi hipoksik
menyebabkan penurunan PaCO2. Peningkatan ventilasi alveolar di tahap awal eksaseerbasi
akut mencegah hiperkarbia. Seiring semakin memburuknya obstruksi dan peningkatan
mismatch V/P, terjadilah retensi CO2. Pada tahap awal episode akut, alkalosis respiratorik
terjadi akibat hiperventilasi. Kemudian, peningkatan usaha nafas, peningkatan konsumsi
oksigen, peningkatan cardiac output menyebabkan asidosis metabolik. Gagal nafas
menyebabkan asidosis respiratorik akibat retensi CO2 akibat penurunan ventilasi alveolar.
Gambar 3. Spasme bronkial, Hiperproduksi mukus, dan Edema Mukus

Gambar 4. Bronkus Normal dan Bronkus yang Spasme


Gambar 5. Komponen Terjadinya Asma

D. Gejala
Mengi, batuk, sesak nafas, rasa tidak nyaman pada dada, suara menjadi lebih high-
pitched, suara seperti siulan akibat turbulensi aliran udara merupakan gejala yang biasanya
ditemukan pada pasien asma. Pada kasus asma ringan, mengi hanya terjadi pada akhir
ekspirasi. Pada episode asma berat, mengi terdengar selama proses ekspirasi bahkan juga saat
inspirasi. Pada kasus paling berat, wheezing tidak ada karena penyempitan total dari saluran
nafas dan lelahnya otot respiratori. Wheezing sendiri tidak khas merupakan gejala asma, bisa
terjadi juga pada kondisi obstruksi jalan nafas seperti kistik fibrosis dan juga kondisi gagal
jantung.
Pada pasien dengan disfungsi pita suara, atau disebut Inducible Laryngeal Obstruction
(ILO) memilki ciri mengi inspirasi monofonik dan terdengar jelas di area laring di leher,
berbeda dengan mengi polifonik pada asma. Pasien dengan Execessive Dynamic Airway
Collapse (EDAC), bronkomalasia, atau trakeomalasia juga memiliki ciri mengi ekspirasi
monofonik di area saluran nafas besar. Pada kasus bronkokonstriksi yang diinduksi latihan,
mengi terjadi setelah latihan. Batuk dapat merupakan satu-satunya gejala pada asma,
biasanya non-produktif dan nonparoksismal. Gejala juga dapat berupa rasa penuh di dada.
Gejala lain yang tidak spesifik pada bayi maupun anak-anak dapat berupa infeksi rekuren
seperti bronkitis, bronkiolitis, pneumonia.

E. Diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis asma, diperlukan asesmen lengkap riwayat penyakit meliputi:
- Gejala-gejala yang menunjukkan ke arah asma
- Data pendukung lain yang membantu mengarahkan ke gejala asma seperti riwayat
keluarga apakah memiliki riwayat penyakit asma, alergi, infeksi sinusitis, rinitis; riwayat
sosial meliputi keadaan rumah dan lingkungannya, kebiasaan merokok, tempat
kerja/sekolah, tingkat pendidikan, riwayat penggunaan obat-obatan tertentu.
- Derajat beratnya asma
- Faktor presipitasi. Perlu ditanyakan juga keadaan sosial pasien seperti keadaan
lingkungan rumah/sekolah/tempat kerja, kebiasaan merokok, tingkat pendidikan,
penggunaan obat-obatan rutin.

Pada orang tua, lebih sulit untuk menegakkan diagnosis asma karena sulitnya mengeksklusi
penyakit lain seperti COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease).

Dalam mengetahui tingkat keparahan eksaserbasi, perlu dketahui:


- Gejala prodromal dan gejala saat serangan
- Kecepatan onset
- Riwayat penyakit yang berhubungan
- Jumlah serangan dalam satu tahun
- Tingkat kebutuhan akan pertolongan dari fasilitas kesehatan
- Jumlah limitasi hari kerja/sekolah akibat asma

Pemeriksaan fisik
Reaksi alergi sangat berperan penting dalam terjadinya asma. Oleh karena itu, biasanya
dapat ditemukan tanda-tanda atopi pada pasien dengan riwayat alergi yaitu allergic shiner
bila mata sering berair, allergic crease yang menunjukkan pasien sering menggosok
hidungnya karena gatal dan berair, adanya lesi binti-bintik merah pada pasien karena
dermatitis atopik.

Episode asma ringan


Pasien sesak setelah aktivitas fisik seperti berjalan jauh, dapat berbicara dalam kalimat dan
berbaring rata, pusing. Laju nafas meningkat, tidak ada penggunaan otot nafas tambahan.
Laju nadi tidak lebih dari 100 kali/menit, dan pulsus paradoksus tidak ada. Auskultasi
terdapat mengi sedang, terutama pada akhir ekspirasi. Saturasi O2 >95%.

Episode asma sedang


Laju nafas meningkat. Kadang terdapat penggunan otot nafas tambahan. Pada anak-anak
perlu diperhatikan retraksi supraklavikular dan interkostal serta nafas cuping hidung, juga
pernafasan abdominal. Laju nadi 100-200kali/menit. Mengi dapat terdengar jelas, dapat
ditemukan adanya pulsus paradoksus. Saturasi O2 91-95%. Pasien lebih sulit dalam
berbicara, pada bayi menjadi sulit menyusui dan menangis lemah. Pasien cenderung berada
dalam posisi duduk.

Episode asma berat


Pasien sulit bernafas meski saat istirahat, tidak nafsu makan, cenderung duduk tegak,
berbicara dalam kata-kata, pusing. Terdapat penggunaan otot-otot nafas tambahan, retraksi
suprasternal, laju nadi >120 kali/menit. Mengi dapat terdengar sangat jelas, terdapat pulsus
paradoksus. Saturasi O2 <91%. Posisi pasien cenderung membungkuk/ posisi tripod.

Episode imminens
Pasien menjadi pusing, penurunan kesadaran. Pada status asmatikus dengan ancaman gagal
nafas, dapat terjadi gerakan torakoabdominal paradoksikal. Mengi tidak ada akibat obstruksi
saluran nafas total, dan hipoksemia berat sehingga terjadi bradikardia. Pulsus paradoksus
mungin tidak ada, terjadi kelelahan otot nafas. Pasien menjadi berkeringat berlebih,

- Pemeriksaan penunjang
Dibutuhkan beberapa pemeriksaan penunjang dalam menegakkan diagnosis asma yaitu
antara lain:
 Spirometri
Spirometri latihan merupakan metode standar dalam melakukan asesmen pasien dengan
bronkospasme yang diinduksi latihan (exercise-induced bronchospasm)
Spirometri merupakan alat ukur objektif untuk memeriksa kondisi obstruksi jalan nafas
apakah reversibel atau tidak. Perlu dilihat apakah terjadi peningkatan fungsi paru setelah
diberikan inhalasi bronkodilator rapid-acting. Tes ini disarankan untuk pasien usia 6 tahun
keatas yang kooperatif. Selama spirometri, pasien diinstruksikan untuk menarik nafas
terdalam sebisa mungkin lalu menghembuskan nafas sekencang dan sebisa mungkin ke
mouthpiece di spirometer.
Spirometri mengukur Forced Vital Capacity (FVC) yaitu volume udara maksimum yang
dapat dihembuskan dan Forced Expiratory Volume 1 (FEV1). Diukur perbandingan pada
FEV1 terhadap FVC untuk melihat kondisi obstruksi jalan nafas. Diagnosis asma dapat
dikonfirmasi bila:
1. Terjadi peningkatan FEV1 sebanyak minimal 12% dan setidaknya 200mL, 15-20
menit setelah diberikan inhalasi bronkodilator rapid-acting, atau
2. Peningkatan FEV1 minimal 20% dan minimal 200mL setelah 2 minggu mendapatkan
perawatan dengan obat anti-inflamasi.

Pada populasi biasa, rasio FEV1/FVC biasanya lebih besar dari 0.8, bahkan lebih besar
dari 0.9 pada anak-anak. Bila nilai rasio lebih rendah dari angka tersebut, dicurigai
adanya limitasi aliran jalan nafas dan juga mendukung diagnosis asma.

 Peakflowmeter
Memantau Peak Expriratory Flow (PEF) merupakan cara alternatif yang dapat
dilakukan ketika tidak dapat dilakukan spirometri, dan juga dapat berguna untuk
diagnosis asma okupasi dan atau memantau respon pengobatan asma. PEF biasanya
diukur saat pagi dan sore. Variasi diurnal PEF lebih dari 20% atau terdapat peningkatan
minimal 60 L/min atau minimal 20% setelah inhalasi bronkodilator rapid-acting dapat
menunjukkan adanya asma. Meskipun lebih sederhana dibandingkan spirometri, PEF
kurang dapat dipercaya hasilnya.
Gambar 6. Alur Diagnosis Asma

 Challenge testing
Ketika tes fungsi paru hasilnya normal, namun gejala mengarah ke asma, pengukuran
respon jalan nafas dengan tes jalan nafas direk yaitu dengan stimuli bronkokonstriktor
inhalasi (contohnya metakolin atau histamin) atau tes indirek dengan manitol atau
latihan dapat membantu diagnosis asma. Challenge test hanya boleh dilakukan sesuai
protokol ketat di laboratorium atau fasilitas yang dapat menangani kondisi
bronkospasme akut.
Pada tes ini, pasien menginhalasi stimulus dengan dosis atau konsentrasi yang
ditingkatkan terus hingga tercapai tingkat bronkokonstriksi, yaitu turunnya 20% FEV1.
Lalu inhalasi bronkodilator rapid acting diberikan untuk mengatasi obstruksi. Hasil tes
biasanya digambarkan dengan jumlah dosis atau konsentrasi agen provokasi yang
menyebabkan FEV1 turun 20% (PD20 atau PC20). Untuk metakolin, nilai PC20 kurang
dari 8 mg/ml dipertimbangkan sebagai hasil positif menunjukkan hiperreaktifitas jalan
nafas.

 Marker inflamasi jalan nafas non-invasif


Pengukuran marker inflamasi seperti eosinofilia sputum atau kadar ekshalasi nitrit oksida
yaitu molekul gas yang diproduksi sel-sel selama respon inflamasi juga dapat berguna
untuk diagnosis asma, serta memantau respon terapi asma.

 Tes Alergi Kulit


Tes alergi kulit juga disarankan untuk menentukan status alergi pasien dan untuk
mengidentifikasi pemicu asma yang dicurigai. Tes ini menggunakan alergen yang sesuai
dengan area geografis pasien. Ada dua jenis skintest. Yang pertama, selama skintest,
setetes alergen suspek ditusukkan atau digarukkan di permukaan kulit, biasanya di
punggung belakang atau punggung tangan. Bila alergi terhadap suatu bahan, akan terjadi
kemerahan dan bengkak di area tes. Pada tipe kedua, alergen suspek diinjeksikan ke
dalam kulit lengan.

F. Tatalaksana
Pengobatan asma diperlukan untuk mencegah kambuhnya gejala, meminimalisasi
morbiditas dari episode akut, dan mencegah morbiditas fungsional dan psikologikal
untuk mencapai pola hidup sehat. Penanganan asma jangka panjang memiliki dua tujuan
yaitu mengontrol episode asma akut dan mengontrol gejala kronis.
Terapi farmakologis untuk kontrol gejala asma yaitu kortikoseroid inhalasi
(ICS/Inhaled Corticosteroid), bronkodilator long-acting seperti beta agonis dan
antikolinergik, teofilin, leukotriene modifiers, dan pengobatan terbaru dengan antibodi
anti-immunoglbulin E (IgE) yaitu omalizumab, lalu antibodi anti-IL-5 pada beberapa
pasien. Obat-obatan pereda gejala akut yaitu bronkodilator short-acting, kortikosteroid
sistemik (KS) dan ipratropium. Intensitas pemberian obat-obatan tergantung pada derajat
keparahan gejala.
Tatalaksana gejala asma bersifat stepwise. Bila beta-agonis rapid acting
digunakan lebih dari 2 kali /minggu sebagai pereda gejala (tidak termasuk ketika obat
digunakan untuk mencegah gejala yang diinduksi latihan), perlu dipertimbangkan untuk
step-up terapi.

Gambar 7. Tatalaksana Farmakologis Stepwise pada Asma

 Eksaserbasi asma
Yaitu adanya kondisi memburuknya gejala dan fungsi paru-paru secara akut atau subakut
dibandingkan kondisi pasien yang biasanya. Berikut dicantumkan alur penanganan
eksaserbasi asma.
Gambar 8. Alur Tatalaksana Eksaserbasi Asma di Fasilitas Kesehatan Primer
Gambar 9. Tatalaksana Eksaserbasi Asma di Sarana Kesehatan Darurat
Gambar 9. Tatalaksana Eksaserbasi Asma di Sarana Kesehatan Darurat
Dalam mengontrol gejala kronis, pasien asma perlu dinilai kembali keadaannya
setiap 1 hingga 6 bulan sekali untuk kontrol. Pasien perlu diedukasi untuk memahami
tatalaksana asma mandiri baik dari segi farmakologis maupun non-farmakologis.
Pertimbangkan untuk step-up terapi bila gejala tidak dapat dikontrol, eksaserbasi namun
pastikan dahulu diagnosis, teknik penggunaan inhaler dan kepatuhan berobat.
Pertimbangkan untuk step-down bila gejala dapat terkontrol dalam 3 bulan dan
menurunnya risiko terjadi eksaserbasi. Menurunkan dosis kortikosteroid inhalasi tidak
dianjurkan. Namun, pasien perlu dinilai kembali setiap 2 hingga 4 minggu sekali untuk
memastikan kondisi pasien tetap terkontrol dengan pengobatan yang baru dilakukan.
Perlu juga dikendalikan faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan komorbidnya.
Penilaian faktor risiko dengan dilakukan investigasi adanya paparan lingkungan yang
persisten seperti substansi toksik atau alergen.
DAFTAR PUSTAKA
1. Global Initiative for Asthma: Teaching slide set 2016 update. Available from:
www.ginaasthma.org [Accessed 1st July 2016].
2. Morris MJ, Mosenifar J: Asthma. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/296301-overview [Accessed 5th July 2016].
3. Global Asthma Network: The Global Asthma Report 2014. Available from:
http://www.globalasthmareport.org/burden/burden.php [Accessed 19th July 2016].
4. World Health Organization: Chronic Respiratory Diseases: Asthma. Available from:
http://www.who.int/respiratory/asthma/definition/en/ [Accessed 20th July 2016].
5. Kim H, Mazza J. Asthma. Allergy, Asthma & Clinical Immunology, 2011;7:1-9.
BRONKITIS AKUT

A. Definisi & Epidemiologi


Bronkitis akut adalah infeksi akut pada bagian saluran nafas bawah yaitu pada area
trakeobronkial, yang menyebabkan inflamasi bronkial namun sifatnya reversibel.
Bronkitis akut merupakan salah satu diagnosis umum yang dibuat pada layanan
kesehatan primer.
Hasil penelitian mengenai bronkitis di India, data yang diperoleh untuk usia
penderita ( ≥ 60 tahun) sekitar 7,5%, untuk yang berusia (≥ 30-40 tahun) sekitar 5,7% dan
untuk yang berusia (≥ 15-20 tahun) sekitar 3,6%. Selain itu penderita bronkitis ini juga
cenderung kasusnya lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan, hal ini
dipicu oleh aktivitas merokok yang cenderung lebih tinggi pada laki-laki.
Penduduk di kota sebagian besar sudah terpajan dengan berbagai zat-zat polutan di
udara, seperti asap pabrik, asap kendaraan bermotor, asap pembakaran dan asap rokok,
hal ini dapat memberikan dampak terhadap terjadinya bronkitis. Bronkitis lebih sering
terjadi di musim dingin pada daerah yang beriklim tropis ataupun musim hujan pada
daerah yang memiliki dua musim yaitu daerah tropis.

B. Etiologi & Faktor Risiko


Bronkitis umumnya disebabkan oleh virus yang biasanya menyebabkan flu. Virus
yang menyebabkan bronkitis antara lain rhinovirus, adenovirus, influenza A dan B,
Respiratory Syncytial Virus (RSV), parainfluenza virus. Bakteri komenssal juga bisa
menyebabkan bronchitis, yaitu antara lain Mycoplasma pneumonia, Streptococcus
pneumonia, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis, dan Bordetella pertussis.
Terjadinya bronkitis memiliki beberapa faktor risiko yaitu seperti sinusitis kronik,
penyakit obstruktif paru kronik, asma, imunokompromais, rokok, polutan udara/faktor
lingkungan, alkohol, refluks asam lambung.

C. Gejala
Gejala bronkitis akut sulit dibedakan dengan Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA)
dan pneumonia. Gejala utama bronkitis akut adalah batuk produktif. Warna cairan mukus
tidak secara pasti dapat menentukan penyebab infeksi apakah disebabkan oleh virus atau
bakteri. Pada pasien pneumonia, biasanya pasien terlihat sakit berat serta terdapat temuan
klinis pada dada.

D. Patofisiologi
Selama episode bronkitis akut, sel-sel pertahanan bronkial mengalami iritasi dan
membran mukus menjadi hiperemis dan edema, mengurangi fungsi mukosiliari bronkial.
Oleh karena itu, aliran udara menjadi buntu akibat tumpukan debris dan meningkatlah
iritasi. Sekresi mukus makin meningkat, yang menyebabkan batuk pada bronkitis.
Bronkitis akut biasanya membaik setelah sekitar 10 hari. Bila inflamasi menyebar ke
bawah ke ujung cabang bronkial, dan menuju bronkiolus dan kantung alveolar, terjadi
bronkopneumonia.
Sel inflamasi yang dominan dalam inflamasi ini, umumnya neutrophil dan distribusi
perubahan fibrotik peribronkial terjadi akibat aksi dari interleukin-8, colony-stimulating
factors, dan kemotaktik serta sitokin proinflamasi lainnya. Sel-sel epitel saluran nafas
melepaskan mediator-mediator inflamasi karena berespon terhadap stimuli toksis,
infeksius, juga untuk mengurangi terlepasnya produk regulasi seperti angiotensin-
converting enzyme (ACE) atau endopeptidase netral.

E. Diagnosis & Diagnosis Banding


Tidak ada tanda diagnostik maupun pemeriksaan laboratorium yang pasti untuk
menentukan diagnosis bronkitis, maka diagnosis bronkitis akut merupakan salah satu
bentuk klinis saja.
 Anamnesis. Dapat ditanyakan gejala-gejala yang dialami,adanya riwayat infeksi
saluran nafas atas sebelumnya, demam, malaise, batuk kering lalu menjadi
produktif, batuk lebih dari 5 hari namun kurang dari 3 minggu, rasa tidak nyaman
di dada saat batuk, mengi pada beberapa kondisi.
 Pemeriksaan fisik
Suhu meningkat, takikardi saat demam, laju nafas meningkat, sputum purulen,
terdapat sekret hidung, mengi, fase ekspirasi lebih panjang.
 Tes Diagnostik
Elektrokardiogram (EKG), Kultur dan sensitivitas sputum, hapusan tenggorok
untuk mengeksklusi pertusis, Tuberculosis (TBC) skin test.
Dalam mengkonfirmasi diagnosis bronkitis, perlu disingkirkan dahulu kondisi pneumonia
akut. Keduanya memiliki suara nafas tambahan dan demam. Perbedaan dari keduanya
adalah letak infeksinya. Pada bronkitis, infeksi terjadi di saluran nafas besar, sedangkan
pneumonia melibatkan saluran nafas lebih kecil dan kantung alveoli. Flu dan sinusitis
juga dapat menyebabkan batuk produktif. Pasien bronkitis juga dapat menunjukkan
gejala obstruksi, seperti mengi dan sesak, namun tidak seperti asma, inflamasi pada
bronkitis akut bersifat sementara dan biasanya membaik dengan sempurna setelah infeksi
sembuh. Gejala bronkitis akut juga sulit dibedakan dengan infeksi saluran nafas atas.

F. Tatalaksana
Tujuan dari pengobatan bronchitis akut adalah meredakan gejala (batuk, demam) dan
mencegah pneumonia.
Untuk intervensi non-farmakologis dapat dilakukan:
- Istirahat cukup
- Cukupi kebutuhan air minum
- Menjaga kelembaban udara lingkungan
- Mencegah iritan saluran nafas (polutan, rokok)
- Edukasi meningkatkan higiene dan daya tahan tubuh pribadi dan keluarga
- Merujuk ke fasilitas kesehatan sekunder bila dicurigai pneumonia

Untuk terapi farmakologis dapat diberikan:


- Antipiretik atau analgetik seperti paracetamol, ibuprofen 200 mg 1-2 tab per 4-6 jam
sehari untuk mengatasi demam atau nyeri.
- Bronkodilator beta-2-agonis short acting, misal Salbutamol 100mcg Metered-Dose
Inhaler (MDI) 1 atau 2 puff tiap 4 jam bila perlu (bila terjadi bronkospasme, dyspnea
atau mengi yang signifikan).
- Pada beberapa kasus, penggunaan antibiotik tidak berguna secara signifikan pada pasien
bronkitis akut. Pilihan antibiotik lini pertama antara lain amoksisilin, doksisiklin,
eritromisin dan trimethoprim-sulfametoksazole. Bronkodilator tidak memiliki kegunaan
pada kondisi ini. Belum ada terapi spesifik untuk pasien bronkitis, namun umumnya obat
antitusif dapat meredakan gejala batuk jangka pendek.
DAFTAR PUSTAKA

1. Blush III, R. R. (2013). Acute bronchitis. Nurse Practitioner, 38(10), 14-20.


2. WorraLL G. Acute bronchitis. Canadian Family Physician. 2008:54: 238-39.
3. Blondel-Hill, E., & Fryters, S. (2012). Bugs and drugs: An antimicrobial infectious
diseases reference. Edmonton, AB: Alberta Health Services.
4. Albert RH. Diagnosis and Treatment of Acute Bronchitis. American Family
Physician. 2010:82(11):1345-50.

Vous aimerez peut-être aussi