Vous êtes sur la page 1sur 29

PRESENTASI KASUS PUSKESMAS

TINEA PEDIS

Pembimbing:
dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp. KK

oleh :
Dzicky Rifqi Fuady
G4A015100

SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RSUD PROF DR MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2017

1
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus yang berjudul :


“TINEA PEDIS”

Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat kegiatan Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun oleh:
Dzicky Rifqi Fuady G4A015100

Disetujui dan disahkan:


Tanggal November 2017

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK


NIP. 19790622 201012 2 001

DAFTAR ISI

Halaman
I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 4
II. LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien............................................................................................... 4
B. Anamnesis...................................................................................................... 4
C. Pemeriksaan Fisik........................................................................................... 7
D. Pemeriksaan Penunjang.................................................................................. 8
........................................................................................................................

2
E. Resume........................................................................................................... 8
F. Diagnosis Banding......................................................................................... 9
G. Diagnosis Kerja.............................................................................................. 9
H. Usulan Pemeriksaan penunjang..................................................................... 9
I. Terapi.............................................................................................................. 9
J. Prognosis........................................................................................................ 10
III. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi........................................................................................................... 11
B. Epidemiologi.................................................................................................. 11
C. Etiologi dan predisposisi................................................................................ 12
D. Patogenesis..................................................................................................... 13
E. Gejala klinis.................................................................................................... 14
F. Pemeriksaan Penunjang.................................................................................. 16
G. Diagnosis banding ......................................................................................... 17
H. Terapi.............................................................................................................. 18
I. Prognosis.......................................................................................................... 23
........................................................................................................................
J. Komplikasi...................................................................................................... 24
IV. PEMBAHASAN............................................................................................. 25

V. KESIMPULAN................................................................................................ 28

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 29

3
I. PENDAHULUAN

Penyakit kulit yang menyerang manusia paling banyak disebabkan oleh


jamur. Penyakit jamur kulit yang sering menyerang manusia merupakan tipe
infeksi superfisial dan kutan seperti ptiriasis versikolor, dermatofitosis dan
kandidiosis kulit.2 Dermatofitosis adalah golongan penyakit jamur superfisial yang
disebabkan oleh jamur dermotofita yakni Trichophyton spp, Microsporum spp dan
Epidermophyton spp. Dermatofita adalah golongan jamur yang mempunyai enzim
keratinase yang dapat melisiskan keratin kulit. Penyakit ini menyerang jaringan
yang mengandung zat tanduk yakni epidermis (tinea korporis, tinea kruris, tinea
manus dan pedis), rambut (tinea kapitis), kuku (tinea unguinum). Dermatofitosis
terjadi karena terjadi inokulasi jamur pada tempat yang diserang, biasanya di
tempat yang lembab dengan maserasi atau ada trauma sebelumnya.2
Ciri khas pada infeksi jamur adanya rasa gatal yang lebih hebat bila
berkeringat, serta gambaran lesi kulit dengan central healing yaitu bagian tengah
tampak kurang aktif, sedangkan bagian pinggirnya tampak aktif. Faktor-faktor
yang mempengaruhi diantaranya udara lembab, lingkungan yang padat, sosial
ekonomi yang rendah, adanya sumber penularan disekitarnya, obesitas, penyakit
sistemik penggunaan antibiotika dan obat steroid. Higiene juga berperan untuk
timbulnya penyakit ini. Tinea Korporis merupakan salah satu penyakit kulit
golongan dermatofitosis terjadi pada kaki, terutama pada sela-sela jari dan telapak
kaki.2 Tinea pedis cukup sering ditemui di dalam praktik klinis sehari-sehari
sehingga perlu pengetahuan lebih mendalam tentang penyakit ini dari tenaga
medis Indonesia.

4
II. LAPORAN KASUS

A. Identitas
Nama : Sdr. R
Usia : 20 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Baturraden, Banyumas
Tanggal Periksa : 25 Oktober 2017

B. Anamnesis
Keluhan Utama : Gatal di kedua kaki
Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Onset : Satu minggu yang lalu
Lokasi : Telapak kaki dan sela-sela jari kanan dan kaki kiri
Kronologis : Pasien mengeluhkan gatal-gatal di daerah telapak kaki
dan sela-sela jari kaki kanan dan kaki kiri yang
memberat sejak 1 minggu yang lalu, terutama saat
kaki terkena air.
Kualitas : Pasien merasa gatal di kedua kaki mengganggu
aktivitas pasien, terutama saat berjalan
Kuantitas : Keluhan gatal dirasakan hilang timbul
Faktor memperberat : Gatal terasa memberat apabila kaki terkena air
Faktor memperingan : Minum obat antijamur yang sebelumnya pernah
diberikan oleh dokter di RSUD Margono Soekarjo
(RSMS)
Gejala penyerta : Kedua telapak kaki pedih

Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)


Keluhan gatal yang sama sebelumnya : diakui, sejak 5 tahun yang lalu
Penyakit kulit sebelumnya : diakui, pernah didiagnosis infeksi
kulit akibat deterjen di Puskesmas
dan infeksi jamur di RSMS
Kencing manis (DM) : disangkal
Alergi : disangkal
Asma : disangkal
Penyakit kronis (TB dll.) : disangkal
Pengobatan : diakui, pengobatan infeksi kulit akibat
deterjen dengan salep di Puskesmas,
tapi tidak meredakan gejala, dan
pengobatan infeksi jamur di RSMS
dengan hasil gejala lebih baik

5
daripada pengobatan sebelumnya di
puskesmas

Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)


Keluhan gatal yang sama : disangkal
Kencing manis / DM : disangkal
Alergi : disangkal
Asma : disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien belum bekerja, saat ini masih menganggur. Saat ini pasien tinggal
berdua bersama kedua orang tuanya. Menurut keterangan pasien, rumah
pasien adalah rumah bersih, lantai ubin, tidak lembab. Pasien mengaku
memang kaki pasien sering terkena deterjen, dan setelah diobati di Puskesmas
karena infeksi kulit akibat deterjen, pasien mengaku kaki pasien sering kontak
dengan air bebas, tidak langsung dikeringkan dan merasa gatal disertai perih.
Saat pasien datang, pasien tidak kontak dengan deterjen atau bahan iritan dan
alergen lain.

6
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Vital sign
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 82 x/menit, regular, isi tegangan cukup
Respiratory Rate : 16 x/menit, kedalaman cukup, reguler
Suhu : 36,2 oC peraksila
BB : 60 kg
TB : 165 cm
Status generalis
Kepala : Mesochepal, rambut hitam, dengan distribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
kelopak mata edema (-/-)
Hidung : Simetris, deviasi septum nasi (-), Sekret (-)
Telinga : Bentuk daun telinga normal, sekret (-)
Mulut : Mukosa bibir dan mulut lembab, sianosis (-)
Thorax : Simetris, Retraksi (-), Ketertinggalan Gerak (-)
Paru {Vesikuler (+/+), Rbk (-/-), Rbh (-/-), Wh (-/-)}
Jantung {BJ I dan II reguler, Gallop (-), Murmur (-)}
Abdomen : Datar, BU (+) normal, timpani, supel, nyeri tekan (-)
Extremitas : Akral hangat, sianosis (-), kelemahan (-), edema (-),
capillary refill time < 2 detik

Status dermatologis

7
Gambar 2.1 Efloresensi yang terdapat pada kaki kanan (gambar atas) dan kaki
kiri (gambar bawah) pasien.

1. Regio plantar dan interdigitalis pedis dextra


Efloresensi: plak hiperkeratotik dengan skuama halus, fissura dan
ekskoriasi
2. Regio plantar dan interdigitalis pedis sinistra
Efloresensi: plak hiperkeratotik dengan skuama halus

D. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang

E. Resume
Pasien seorang laki-laki berusia 20 tahun datang ke poli umum Puskesmas 2
Baturraden dengan keluhan gatal di kedua kaki sejak 1 minggu yang lalu.
Pasien mengaku gatal dirasakan hilang timbul dan menggangu aktivitasnya
terutama saat berjalan. Gatal muncul dan bertambah berat, bahkan terasa
perih saat kulit terkena air. Gatal berkurang apabila menggunakan obat
antijamur dari RSMS. Pada pemeriksaan status dermatologis, didapatkan plak
hiperkeratotik dengan skuama halus, fissura dan ekskoriasi di telapak kaki
kanan, dan plak hiperkeratotik dengan skuama halus di kaki kiri.
F. Diagnosis Banding
1. Dermatitis Kontak Iritan
2. Kandidiasis
3. Acrodermatitis

8
B. Diagnosis Kerja
Tinea pedis

C. Usulan Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan KOH 10% dari kerokan kulit
2. Pemeriksaan lampu Wood
3. Biakan agar Saboraud

D. Penatalaksanaan
1. Non farmakologis
a. Edukasi tentang tinea pedis, penyebab, dan cara pengobatannya.
b. Anjuran untuk tidak menggaruk untuk mencegah infeksi sekunder.
c. Higienitas pribadi: menjaga kebersihan kaki dengan mengeringkan
kaki dengan baik setiap habis mandi, kaus kaki harus selalu bersih dan
bentuk dan ukuran sepatu yang cocok
d. Pemantauan efek samping obat.
2. Farmakologis
a. Sistemik:
1) Griseofulvin 1x500 mg selama 1-2 bulan
b. Topikal:
1) Miconazol 2% cream 2x1 oles
2) Fusidat 2% cream 2x1 oles di bagian yang lecet, berdarah dan
meradang

E. Prognosis
1. Quo Ad vitam : Ad bonam
2. Quo Ad fungsionam : Ad bonam
3. Quo Ad sanationam : dubia ad bonam
4. Quo Ad cosmeticam : dubia ad bonam

9
10
III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Dermatofitosis adalah golongan penyakit jamur superficial yang
disebabkan oleh jamur dermotofita yakni Trichophyton spp, Microsporum spp,
dan epidermophyton spp. Dermatofitosis mempunyai arti umum, yaitu semua
penyakit jamur yang menyerang kulit. Penyakit ini menyerang jaringan yang
mengandung zat tanduk yakni epidermis (tinea corporis, tinea kruris, tinea
manus et pedis), rambut (tinea kapitis), kuku (tinea unguinum). Dermatofitosis
terjadi karena terjadi inokulasi jamur pada tempat yang diserang, biasanya di
tempat yang lembab dengan maserasi atau ada trauma sebelumnya.2
Ciri khas pada infeksi jamur adanya central healing yaitu bagian tengah
tampak kurang akti, sedangkan bagian pinggirnya tampak aktif. Faktor-faktor
yang mempengaruhi diantaranya udara lembab, lingkungan yang padat, sosial
ekonomi yang rendah, adanya sumber penularan disekitarnya, obesitas,
penyakit sistemik penggunaan antibiotika dan obat steroid, Higiene juga
berperan untuk timbulnya penyakit ini.2
Tinea pedis adalah infeksi kulit dari jamur superfisial pada kaki. 1 Tinea
pedis merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela jari dan
telapak kaki.2 Tinea pedis merupakan golongan dermatofitosis pada kaki.3
Istilah dermatofitosis harus dibedakan dengan dermatomikosis.
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk
atau stratum korneum pada lapisan epidermis di kulit, rambut dan kuku yang
disebabkan oleh golongan jamur dermatofita. Dermatomikosis merupakan arti
umum, yaitu semua penyakit jamur yang menyerang kulit.2
B. Epidemiologi
Hampir semua orang dalam populasi umumnya terkena jamur yang
menyebabkan Tinea pedis. Sistem kekebalan tubuh masing-masing orang
menentukan apakah hasil infeksi dari eksposur tersebut. Sebagai orang usia
dewasa, retak kecil berkembang di kulit kaki, meningkatkan kerentanan
terhadap infeksi tinea.5 Prevalensi Tinea pedis sekitar 10%, terutama
disebabkan oleh oklusif alas kaki.3
Indonesia termasuk wilayah yang baik untuk pertumbuhan jamur,
sehingga dapat ditemukan hampir di semua tempat. Menurut Adiguna MS,

11
insidensi penyakit jamur yang terjadi di berbagai rumah sakit pendidikan di
Indonesia bervariasi antara 2,93%-27,6%. Meskipun angka ini tidak
menggambarkan populasi umum.
Dermatomikosis atau mikosis superfisialis cukup banyak diderita
penduduk negara tropis. Di Indonesia angka yang tepat, berapa sesungguhnya
insiden dermatomikosis belum ada. Di Denpasar, golongan penyakit ini
menempati urutan kedua setelah dermatitis. Angka insiden tersebut
diperkirakan kurang lebih sama dengan di kota-kota besar Indonesia lainnya.
Di daerah pedalaman angka ini mungkin akan meningkat dengan variasi
penyakit yang berbeda. Sebuah penelitian retrospektif yang dilakukan pada
penderita dermatomikosis yang dirawat di IRNA Penyakit Kulit Dan Kelamin
RSU Dr. Soetomo Surabaya dalam kurun waktu antara 2 Januari 1998 sampai
dengan 31 Desember 2002. Dari pengamatan selama 5 tahun didapatkan 19
penderita dermatomikosis. Kasus terbanyak terjadi pada usia antara 15-24
tahun (26,3%), penderita wanita hampir sebanding dengan laki-laki(10:9).
Dermatomikosis terbanyak ialah Tinea kapitis, Aktinomisetoma, Tinea kruris et
korporis, Kandidiasis oral, dan Kandidiasis vulvovaginalis.6
C. Etiologi
Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis.
Golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin. Dermatofita termasuk
kelas fungi imperfecti yang terbagi menjadi tiga genus, yaitu Trichophyton spp,
Microsporum spp, dan Epidermophyton spp. Walaupun semua dermatofita bisa
menyebabkan tinea corporis, penyebab yang paling umum adalah Trichophyton
rubrum dan Trichophyton mentagrophytes.2
D. Patogenesis
1. Adherence/pengikatan. Fungi selalu mempunyai hambatan dalam proses
infeksinya, fungi harus resisten terhadap sinar UV, tahan terhadap berbagai
temperatur dan kelembaban, kompetisi dengan flora normal kulit,
spingosine yang di hasilkan oleh keratinosit. Asam lemak yg diproduksi
oleh glandula sebasea bersifat fungistatik (menghambat pertumbuhan
jamur). Mulainya diproduksi asam lemak pada anak anak post-pubertas
mungkin menerangkan menurunnya kejadian Tinea kapitis secara drastis.7
2. Penetrasi setelah fase adherence, spora akan tumbuh dan memasuki stratum
korneum dengan kecepatan yang lebih cepat dari waktu deskuamasi

12
epidermis. Penetrasi juga di dukung dengan keluarnya enzim proteinase,
lipase dan musinolitik yang juga membantu dalam pembuatan nutrisi fungi.
Trauma dan maserasi merupakan faktor penting dalam memudahkan
penetrasi fungi terutama pada kasus Tinea pedis. Fungal mannans yang ada
di dinding sel dermatofita juga dapat menurunkan poliferasi sel keratinosit.
Pertahanan terbaru pada lapisan epidermis yang lebih dapat tercapai
diantaranya berkompetisi dengan besi dan juga penghambatan pertumbuhan
jamur oleh progesteron.7
3. Development a host response/respon host. Proses inflamasi yang terjadi
sangat tergantung dari sistem imun host dan juga oleh jenis organisme.
Beberapa fungi dapat menghasilkan faktor kemotaktik dengan berat melekul
rendah seperti yang dihasilkan bakteri. Antibodi tidak terlihat pada infeksi
dermatofita, tetapi hanya menggunakan jalur reaksi hipersensitivitas tipe IV.
Infeksi yang sangat ringan sering hanya menimbulkan inflamasi yang ringan
juga, pertama muncul berupa eritema dan scale / skuama yang menandakan
terjadinya peningkatan pergantian keratinosit (keratinocyte turnover).
Antigen dermatofit diproses oleh sel langerhans epidermis dan
dipresentasikan di nodus limpa lokal menuju ke limfosit T. Kemudian
limfosit T mengalami poliferasi dan bermigrasi ke lokasi untuk membunuh
jamur dan pada waktu ini lesi menjadi mendadak inflamasi. Oleh sebab ini
barier epidermal menjadi permeable terhadap transferin dan migrasi sel.7

E. Gejala Klinis
1. Interdigitalis. Di antara jari IV dan jari V terlihat fisura yang dilingkari sisik
halus dan tipis, dapat meluas ke bawah jari (subdigital) dan telapak kaki.
Kelainan kulit berupa kelompok vesikel. Sering terjadi maserasi pada sela
jari terutama sisi lateral berupa kulit putih dan rapuh, berfisura dan sering
disertai bau. Bila kulit yang mati dibersihkan, akan terlihat kulit baru yang
pada umumnya telah diserang jamur. Bentuk klinis ini dapat berlangsung
bertahun-tahun dengan menimbulkan sedikit keluhan atau tanpa keluhan.
Pada suatu ketika dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri sehingga
terjadi selulitis, limfangitis, limfadenitis dan erisipelas, dengan gejala-gejala
konstitusi.8

13
Gambar 3.1 Tinea pedis, Interdigitalis.9
2. Moccasin foot, tipe papuloskuamosa hiperkeratotik yang menahun. Pada
seluruh kaki, dari telapak, tepi sampai punggung kaki terlihat kulit menebal
dan bersisik; eritema biasanya ringan dan terutama terlihat pada bagian tepi
lesi. Di bagian tepi lesi dapat pula dilihat papul dan kadang-kadang vesikel.
Sering terdapat di daerah tumit, telapak kaki, dan kaki bagian lateral, dan
biasanya bilateral.8

Gambar 3.2 Tinea pedis pada telapak kaki.9

3. Pada bentuk subakut terlihat vesikel, vesiko-pustul dan kadang-kadang bula.


Kelainan ini mula-mula terdapat di pada daerah sela jari, kemudian meluas
ke punggung kaki atau telapak kaki, dan jarang pada tumit. Lesi-lesi ini
mungkin berasal dari perluasan lesi daerah interdigital. Isi vesikel berupa
cairan jernih yang kental. Setelah pecah, vesikel tersebut meninggalkan sisik
berbentuk lingkaran yang disebut kolaret. Infeksi sekunder dapat terjadi,
sehingga dapat menyebabkan selulitis, limfangitis, dan kadang-kadang
menyerupai erisipelas. Jamur terdapat pada bagian atap vesikel. Untuk
menemukannya, sebaiknya diambil atap vesikel atau bula untuk diperiksa
untuk diperiksa secara sediaan langsung atau untuk dibiak.8

14
Gambar 3.3 Tinea pedis; Vesiko Bulosa, dengan hiperpigmentasi dari lesi
yang inflamasi.10
4. Bentuk yang terakhir adalah bentuk akut ulseratif pada telapak dengan
maserasi, madidans, dan bau. Diagnosis Tinea pedis lebih sulit karena
pemeriksaan kerokan kulit dan kultur sering tidak ditemukan jamur.8

Gambar 3.4 Tinea pedis tipe Ulseratif.9


F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan langsung menggunakan
mikroskop, mula-mula dengan pembesaran 10x10, kemudian dengan
pembesaran 10x45. Pemeriksaan dengan pembesaran 10x100 biasanya tidak
diperlukan. Sediaan basah dilakukan dengan meletakkan bahan diatas gelas
alas, kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KoH. Konsentrasi larutan untuk
sediaan rambut adalah 10% dan untuk kulit dan kuku 20%. Setelah sediaan
dicampur dengan larutan KoH, ditunggu 15-20 menit hal ini diperlukan untuk
melarutkan jaringan. Untuk mempercepat proses pelarutan dapat dilakukan
pemanasan sediaan basah diatas api kecil. Pada saat mulai keluar uap pada
sediaan tersebut, pemanasan sudah cukup. Bila terjadi penguapan, maka akan
terbentuk kristal KoH, sehingga tujuan yang diinginkan tidak tercapai. Untuk
melihat elemen jamur lebih nyata dapat ditambahkan zat warna pada sediaan

15
KoH, misalnya tinta Parker superchoom blue black. Pada sediaan kulit dan
kuku yang terlihat adalah hifa, sebagai 2 garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan
bercabang maupun spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit lama
dan/atau sudah diobati. 2
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong
pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media
buatan. Yang dianggap paling baik pada waktu ini adalah medium agar
dextrosa Sabouraud. Pada agar Sabouraud dapat ditambahkan antibiotik saja
(kloramfenikol) atau ditambah pula klorheksimit. Kedua zat tersebut
diperlukan untuk menghindarkan kontaminasi bakterial maupun jamur
kontaminan.2

Gambar 3.5 Pemeriksaan KOH: Tampak hifa dan spora (mikrokonidia)

Gambar 3.6 Gambaran histopatologi dari Tinea pedis; hifa pada lapisan
superfisial dari epidermis

Pada lampu wood (black light), meskipun berguna dalam mendiagnosis


infeksi jamur pada kulit kepala (Tinea kapitis), biasanya tidak membantu dalam
mendiagnosis Athlet’s foot, karena dermatofit umum yang menyebabkan
penyakit ini tidak berfluoresensi dibawah sinar ultraviolet.12
G. Diagnosis Banding
Berdasar Budimulya (2006) dan Perdoski (2001) Tinea pedis harus
dibedakan dari beberapa penyakit lain dikaki sebagai diagnosis banding
diantaranya adalah : 11
1. Dermatitis Kontak Alergi

16
Dermatitis dengan gejala gatal disertai eritema, vesikel, skuamasi
terutama pada jari-jari, punggung, dan kaki. Diakibatkan oleh kontak
dengan zat yang menyebabkan alergi.11
2. Psoriasis Pustulosa
Kelainan kulit berupa plak bersisik putih yang terdapat pada daerah lutut,
siku, dan kulit kepala. Selain itu juga, terdapat pada jari-jari tangan dan jari-
jari kaki dengan penampakan plak-plak yang licin dan merah dan
permukaan yang mengalami maserasi.11
3. Skabies pada kaki
Gejala gatal pada badan, sela jari tangan, lipat paha, dan lipatan siku
yang disebabkan oleh tungau (kutu) skabies.11
H. Terapi
Penatalaksanaan tinea corporis dibedakan menjadi 2, yaitu :
1. Penatalaksaan NonFarmakologis
a. Gunakan handuk tersendiri untuk mengeringkan bagian yang terkena
infeksi atau bagian yang terinfeksi dikeringkan terakhir untuk mencegah
penyebaran infeksi ke bagian tubuh lainnya., jangan biarkan kulit kaki
basah
b. Jangan mengunakan handuk, baju, atau benda lainnya secara bergantian
dengan orang yang terinfeksi.
c. Cuci handuk dan baju yang terkontaminasi jamur dengan air panas untuk
mencegah penyebaran jamur tersebut.
d. Bersihkan kulit kaki setiap hari menggunakan sabun dan air untuk
menghilangkan sisa-sisa kotoran agar jamur tidak mudah tumbuh.
e. Jika memungkinkan hindari penggunaan baju dan sepatu yang dapat
menyebabkan kulit selalu basah seperti bahan wool dan bahan sintetis
yang dapat menghambat sirkulasi udara.
f. Sebelum menggunakan sepatu, sebaiknya dilap terlebih dahulu dan
bersihkan debu-debu yang menempel pada sepatu.
g. Hindari kontak langsung dengan orang yang mengalami infeksi jamur.
Gunakan sandal yang terbuat dari bahan kayu dan karet

2. Penatalaksanaan Farmakologis

17
Secara umum penatalaksanaan Tinea pedis didasarkan atas klasifikasi
dan tipenya.13
Tabel 3.1. Klasifikasi jenis Tinea pedis dan pengobatannya
Tipe Organisme Gejala Klinis Pengobatan
Penyebab
Moccasin Trichophyton Hiperkeratosis yang Antifungal topikal
rubrum difus, eritema dan disertai dengan
retakan pada obat-obatan
Epidermophyton permukaan telapak keratolitik asam
floccosum kaki; pada umumnya salisilat, urea dan
Scytalidium sifatnya kronik dan asam laktat untuk
sulit disembuhkan; mengurangi
hyalinum
berhubungan dengan hiperkeratosis;
S. dimidiatum defisiensi Cell dapat juga
Mediated Immunity ditambahkan
(CMI) dengan obat-obatan
oral
Interdigital T. mentagrophytes Tipe yang paling Obat-obatan
sering; eritema, topikal; bisa juga
(var. interdigitale) krusta dan maserasi menggunakan obat-
T. rubrum yang terjadi pada obatan oral dan
sela-sela jari kaki, pemberian
E. floccosum antibiotik jika
S. hyalinum terdapat infeksi
bakteri; kronik :
S. dimidiatum ammonium klorida
Candida spp. hexahidrate 20 %
Inflamasi / T. mentagrophytes Vesikel dan bula pada Obat-obatan
Vesikobulosa pertengahan kaki; topikal biasanya
(var. berhubungan dengan cukup pada fase
mentagrophytes) reaksi dermatofit akut, namun
apabila dalam
keadaan berat
maka indikasi
pemberian
glukokortikoid
Ulseratif T. rubrum Eksaserbasi pada Obat-obatan
daerah interdigital; topikal; antibiotik
T. Ulserasi dan erosi; digunakan apabila
mentagrophytes biasanya terdapat terdapat infeksi
E. floccosum infeksi sekunder oleh sekunder
bakteri; biasanya
terdapat pada pasien
imunokompromais
dan pasien diabetes

a. Antifungal topikal

18
Obat topikal digunakan untuk mengobati penyakit jamur yang
terlokalisir. Efek samping dari obat-obatan ini sangat minimal, biasanya
terjadi dermatitis kontak alergi, yang biasanya terbuat dari alkohol atau
komponen yang lain.13
Imidazol Topikal. Efektif untuk semua jenis Tinea pedis tetapi lebih
cocok pada pengobatan Tinea pedis interdigitalis karena efektif pada
dermatofit dan kandida.13
1) Klotrimazole 1 %. Antifungal yang berspektrum luas dengan
menghambat pertumbuhan bentuk yeast jamur. Obat dioleskan dua
kali sehari dan diberikan sampai waktu 2-4 minggu. Efek samping
obat ini dapat terjadi rasa terbakar, eritema, edema dan gatal.13
2) Ketokonazole 2 % krim merupakan antifungal berspektrum luas
golongan Imidazol; menghambat sintesis ergosterol, menyebabkan
komponen sel yang mengecil hingga menyebabkan kematian sel
jamur. Obat diberikan selama 2-4 minggu.13
3) Mikonazol krim, bekerja merusak membran sel jamur dengan
menghambat biosintesis ergosterol sehingga permeabilitas sel
meningkat yang menyebabkan keluarnya zat nutrisi jamur hingga
berakibat pada kematian sel jamur. Lotion 2 % bekerja pada
daerah-daerah intertriginosa. Pengobatan umumnya dalam jangka
waktu 2-6 minggu.13
Tolnaftat 1% merupakan suatu tiokarbamat yang efektif untuk
sebagian besar dermatofitosis tapi tidak efektif terhadap kandida.
Digunakan secara lokal 2-3 kali sehari. Rasa gatal akan hilang dalam
24-72 jam. Lesi interdigital oleh jamur yang rentan dapat sembuh antara
7-21 hari. Pada lesi dengan hiperkeratosis, tolnaftat sebaiknya diberikan
bergantian dengan salep asam salisilat 10 %.13
Piridones Topikal merupakan antifungal yang bersifat spektrum
luas dengan antidermatofit, antibakteri dan antijamur sehingga dapat
digunakan dalam berbagai jenis jamur.13
Sikolopiroksolamin. Pengunaan kliniknya untuk dermatofitosis,
kandidiasis dan tinea versikolor. Sikolopiroksolamin tersedia dalam
bentuk krim 1 % yang dioleskan pada lesi 2 kali sehari. Reaksi iritatif
dapat terjadi walaupun jarang terjadi.13

19
Alilamin Topikal. Efektif terhadap berbagai jenis jamur. Obat ini
juga berguna pada Tinea pedis yang sifatnya berulang (seperi
hiperkeratotik kronik).13
1) Terbinafine (Lamisil®), menurunkan sintesis ergosterol, yang
mengakibatkan kematian sel jamur. Jangka waktu pengobatan 1
sampai 4 minggu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan bahwa
terbinafine 1% memiliki keefektifan yang sama dengan terbinafine
10% dalam mengobati tine pedis namun dalam dosis yang lebih
kecil dan lebih aman.13
Antijamur Topikal Lainnya.13
1) Asam benzoat dan asam salisilat. Kombinasi asam benzoat dan
asam salisilat dalam perbandingan 2 : 1 (biasanya 6 % dan 3 %) ini
dikenal sebagai salep Whitfield. Asam benzoat memberikan efek
fungistatik sedangkan asam salisilat memberikan efek keratolitik.
Asam benzoat hanya bersifat fungistatik maka penyembuhan baru
tercapai setelah lapisan tanduk yang menderita infeksi terkelupas
seluruhnya. Dapat terjadi iritasi ringan pada tempat pemakaian,
juga ada keluhan yang kurang menyenangkan dari para pemakainya
karena salep ini berlemak.13
2) Asam Undesilenat. Dosis dari asam ini hanya menimbulkan efek
fungistatik tetapi dalam dosis tinggi dan pemakaian yang lama
dapat memberikan efek fungisidal. Obat ini tersedia dalam bentuk
salep campuran yang mengandung 5 % undesilenat dan 20% seng
undesilenat.13
3) Haloprogin. Haloprogin merupakan suatu antijamur sintetik,
berbentuk kristal kekuningan, sukar larut dalam air tetapi larut
dalam alkohol. Haloprogin tersedia dalam bentuk krim dan larutan
dengan kadar 1 %.13
b. Antifungal sistemik
Pemberian antifungal oral dilakukan setelah pengobatan topikal
gagal dilakukan. Secara umum, dermatofitosis pada umumnya dapat
diatasi dengan pemberian beberapa obat antifungal di bawah ini antara
lain 13

20
1) Griseofulvin merupakan obat yang bersifat fungistatik. Griseofulvin
dalam bentuk partikel utuh dapat diberikan dengan dosis 0,5 – 1 g
untuk orang dewasa dan 0,25 - 0,5 g untuk anak-anak sehari atau 10-
25 mg/kg BB. Lama pengobatan bergantung pada lokasi penyakit,
penyebab penyakit, dan imunitas penderita. Setelah sembuh klinis
dilanjutkan 2 minggu agar tidak residif. Dosis harian yang
dianjurkan dibagi menjadi 4 kali sehari. Di dalam klinik cara
pemberian dengan dosis tunggal harian memberi hasil yang cukup
baik pada sebagian besar penderita. Griseofulvin diteruskan selama 2
minggu setelah penyembuhan klinis. Efek samping dari griseofulvin
jarang dijumpai, yang merupakan keluhan utama ialah sefalgia yang
didapati pada 15 % penderita. Efek samping yang lain dapat berupa
gangguan traktus digestivus yaitu nausea, vomitus dan diare. Obat
tersebut juga dapat bersifat fotosensitif dan dapat mengganggu
fungsi hepar.13
2) Ketokonazole. Obat per oral, yang juga efektif untuk dermatofitosis
yaitu ketokonazole yang bersifat fungistatik. Kasus-kasus yang
resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan obat tersebut sebanyak
200 mg per hari selama 10 hari – 2 minggu pada pagi hari setelah
makan. Ketokonazole merupakan kontraindikasi untuk penderita
kelainan hepar.13
3) Itrakonazole. Itrakonazole merupakan suatu antifungal yangdapat
digunakan sebagai pengganti ketokonazole yang bersifat
hepatotoksik terutama bila diberikan lebih dari sepuluh hari.
Itrakonazole berfungsi dalam menghambat pertumbuhan jamur
dengan mengahambat sitokorm P-45 yang dibutuhkan dalam sintesis
ergosterol yang merupakan komponen penting dalam sela membran
jamur. Pemberian obat tersebut untuk penyakit kulit dan selaput
lendir oleh penyakit jamur biasanya cukup 2 x 100-200 mg sehari
dalam selaput kapsul selama 3 hari. Interaksi dengan obat lain seperti
antasida (dapat memperlambat reabsorpsi di usus), amilodipin,
nifedipin (dapat menimbulkan terjadinya edema), sulfonilurea (dapat

21
meningkatkan resiko hipoglikemia). Itrakonazole diindikasikan pada
Tinea pedis tipe moccasion.13
4) Terbinafin. Terbinafin berfungsi sebagai fungisidal juga dapat
diberikan sebagai pengganti griseofulvin selama 2-3 minggu,
dosisnya 62,5 mg – 250 mg sehari bergantung berat badan.
Mekanisme sebagai antifungal yaitu menghambat epoksidase
sehingga sintesis ergosterol menurun. Efek samping terbinafin
ditemukan pada kira-kira 10 % penderita, yang tersering gangguan
gastrointestinal di antaranya nausea, vomitus, nyeri lambung, diare
dan konstipasi yang umumnya ringan. Efek samping lainnya dapat
berupa gangguan pengecapan dengan presentasinya yang kecil. Rasa
pengecapan hilang sebagian atau seluruhnya setelah beberapa
minggu makan obat dan bersifat sementara. Sefalgia ringan dapat
pula terjadi. Gangguan fungsi hepar dilaporkan pada 3,3 % - 7 %
kasus. Terbinafin baik digunakan pada pasien Tinea pedis tipe
moccasion yang sifatnya kronik. Pada suatu penelitian ternyata
ditemukan bahwa pengobatan Tinea pedis dengan terbinafine lebih
efektif dibandingkan dengan pengobatan griseofulvin.13

I. Prognosis
Pengobatan yang diterapkan dalam beberapa minggu pada kaki biasanya
dapat menyembuhkan Tinea pedis (Athlete’s Foot) pada penderita dengan
gejala yang baru. Kasus yang lebih parah memerlukan obat oral. Bahkan
setelah pengobatan berhasil, penderita tetap berisiko terhadap infeksi ulang jika
mereka tidak mengikuti pedoman pencegahan.14 Sebagian besar kasus Athlete’s
foot sembuh dalam waktu dua minggu. Kasus yang lebih parah dapat mencapai
waktu satu bulan atau lebih.15
J. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah infeksi berulang, apabila
pengobatan tidak berhasil menghilangkan organisme secara menyeluruh,
seperti misalnya pada pasien yang menghentikan penggunaan obat topikal
terlalu cepat ataupun jamur tersebut resisten terhadap pengobatan anti jamur
yang diberikan

22
23
IV. PEMBAHASAN

A. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis penyakit kulit pada pasien dalam kasus ini adalah tinea pedis.
Penegakan diagnosis tersebut berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan
fisik status dermatologis yang mendukung ke arah diagnosis kerja tinea
corporis adalah sebagai berikut:
Berdasarkan auto-anamnesis:
1. Keluhan utama gatal (pruritus) di kedua kaki.
2. Keluhan gatal diperberat saat kaki kontak dengan air.
3. Keluhan membaik saat diberikan obat antijamur yang diberikan oleh dokter
kulit di RSMS
4. Higiene pasien kurang baik yaitu kaki pasien sering terpapar air dan tidak
langsung dikeringkan
Hasil pemeriksaan fisik status dermatologis :
1. Lokasi: Regio plantar dan interdigitalis pedis dextra et sinistra
2. Efloresensi: plak hiperkeratotik dengan skuama halus, fissura dan ekskoriasi

B. Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada kasus ini yaitu:
1. Dermatitis
Pada tinea, biasanya bagian tepi lesi lebih aktif daripada bagian tengah.
Pada pasien ini pun saat terjadi keluhan gatal dan perih tidak sedang dalam
kontak dengan deterjen atau bahan iritan lain, dan tidak ada riwayat alergi
pada pasien.2
2. Akrodermatitis
Penyakit ini sulit dibedakan dengan tinea pedis bila didasarkan dari
pemeriksaan klinis saja, dibutuhkan pemeriksaan penunjang.2
3. Kandidiasis
Perbedaan kandidiasis dengan tinea pedis terletak pada pemeriksaan
penunjang tambahan.2

C. Pemeriksaan Penunjang
Jika dilakukan pemeriksaan penunjang dengan memeriksa sediaan
langsung kerokan kulit yang ditetesi larutan KOH 10% maka untuk tinea pedis
yang merupakan infeksi oleh dermatosis akan tampak hifa, sebagai gambaran
dua garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet

24
(artrospora) pada kelainan kulit yang lama dan/atau sudah diobati. Pemeriksaan
dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan langsung
sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksan ini dilakukan
dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan yaitu medium agar
dekstrosa sabouraud.
Pemeriksaan lampu wood adalah pemeriksaan yang menggunakan sinar
ultraviolet. Bila sinar ini diarahkan ke kulit yang mengalami infeksi oleh
jamur dermatofita tertentu, sinar ini akan berubah menjadi dapat dilihat
dengan memberi warna kuning kehijauan.

D. Penatalaksanaan
1. Non farmakologis
a. Edukasi tentang tinea pedis, penyebab, dan cara pengobatannya.
b. Anjuran untuk tidak menggaruk untuk mencegah infeksi sekunder.
c. Higienitas pribadi: menjaga kebersihan kaki dengan mengeringkan kaki
dengan baik setiap habis mandi, kaus kaki harus selalu bersih dan
bentuk dan ukuran sepatu yang cocok
d. Pemantauan efek samping obat.
2. Farmakologis
a. Sistemik:
1) Griseofulvin 1x500 mg selama 1-2 bulan
b. Topikal:
1) Miconazol 2% cream 2x1 oles. Obat topikal dala sediaan krim
diberikan pada pasien untuk dioleskan tipis pada area yang gatal
secara teratur sebanyak 2 kali sehari. Mikonazol merupakan obat
antifungal bekerja dengan mengubah permebilitas membran sel fungi
sehingga merusak sistem barier selektif yang berdampak pada
ketidaksimbangan komponen sel.
2) Fusidat 2% cream 2x1 oles di bagian yang lecet, berdarah dan
meradang

E. Prognosis

25
Tinea pedis mempunyai prognosa baik dengan pengobatan yang adekuat
dan kelembaban dan kebersihan kulit yang selalu dijaga.

26
V. KESIMPULAN

1. Pasien seorang laki-laki berusia 20 tahun datang ke poli umum Puskesmas 2


Baturraden dengan keluhan gatal di kedua kaki sejak 1 minggu yang lalu
2. Pemeriksaan status dermatologis, terdapat plak hiperkeratotik dengan skuama
halus, fissura dan ekskoriasi
3. Diagnosis pasien adalah tinea pedis
4. Penatalaksanaan medikamentosa pada tinea corporis adalah dengan
menggunakan antifungal sistemik dan topikal, serta antibiotik topikal
5. Penatalaksanaan non medikamentosa pada tinea pedis adalah edukasi tentang
penyakit, higienitas pribadi, dan efek samping obat.
6. Prognosis pada tinea corporis secara umum baik

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Kumar V, Tilak R, Prakash P, Nigam C, Gupta R. Tinea pedis: An


Update. Asian Journal of Medical Sciences. 2. 2011
2. Unandar B. Mikosis. In. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu penyakit kulit
dan kelamin. 6th ed. Jakarta: Balai penerbitan FKUI; 2010.

3. Wolf K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatrick’s dermatology in


general medicine. 6th ed. New york: McGraw-Hill; 2003.

4. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi.Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit.


Edisi Empat. Jakarta: EGC.1995

5. Claire J. Carlo, MD. Patricia MB, RN, MS. Tinea Pedis (Athlete’s Foot). The
New York: Health Care of Homeless Persons. 2005.

6. Al Hasan M; Fitzgerald SM; Saoudian M; Krishnaswamy G. Dermatology for


the practicing allergist: Tinea pedis and its complications. Clinical and
Molecular Allergy. 2 (1): 2004.

7. Hawkins, DM; Smidt, AC. Superficial fungal infections in children. Pediatric


clinics of North America. 61 (2): 443–55. 2014.

8. Moriarty, B; Hay, R; Morris-Jones, R. The diagnosis and management of


tinea. BMJ. 345 (7): e4380. 2012.

9. Dawber R, Bristow I, Turner W. Text atlas of podiatric dermatology. UK:


Oxford; 2005.

10. Hainer BL. Dermatothyte infections. American Family Physician. 2003

11. Crawford F; Hollis S, Crawford, Fay. Topical treatments for fungal


infections of the skin and nails of the foot. Cochrane Database of
Systematic Reviews (3): CD001434. 2007.

28
12. Rotta, I; Sanchez, A; Gonçalves, PR; Otuki, MF; Correr, CJ (May 2012).
Efficacy and safety of topical antifungals in the treatment of dermatomycosis:
a systematic review. British Journal of Dermatology. 166 (5): 927–933.2012.

13. Ilkit, M; Durdu, M; Karakaş, M. Cutaneous id reactions: a comprehensive


review of clinical manifestations, epidemiology, etiology, and management.
Critical Reviews in Microbiology. 38 (3): 191–202.2012.

14. Flint, WW; Cain, JD. Nail and skin disorders of the foot. The Medical clinics
of North America. 98 (2): 213–25.2014.

15. Likness, LP. Common dermatologic infections in athletes and return-to-play


guidelines. The Journal of the American Osteopathic Association. 111 (6):
373–379. 2011.

29

Vous aimerez peut-être aussi