Vous êtes sur la page 1sur 4

Kasus Angeline yang fenomenal telah membuat kita melihat kembali bagaimana sejatinya

praktek adopsi anak yang selama ini terjadi di Indonesia. Angeline barangkali merupakan satu dari
sekian anak yang diadopsi secara ilegal dengan latar belakang keluarga biologis yang kurang mampu.
Dari berita yang beredar di media massa, diindikasikan Angeline mengalami perlakuan yang tidak
menyenangkan dari keluarganya setelah ayah angkatnya meninggal dunia, berdasarkan penuturan
tetangga korban yang kerap mendengar Angeline menangis di malam hari. Di luar kekerasan yang
dapat menimbulkan dampak fisik maupun psikologis pada Angeline, ternyata menjadi seorang anak
angkat sudah memiliki beban dan masalah tersendiri. Masalah-masalah psikis kerap menghantui
anak-anak yang diadopsi menurut Child Welfare Information Gateway (2013), yaitu:

a. Rasa kehilangan dan kesedihan


Rasa kehilangan yang dialami dapat muncul sebagai kehilangan yang ambigu atau perasaan
kehilangan terhadap orang yang masih hidup atau mungkin masih hidup. Kehilangan seperti
ini akan memunculkan pertanyaan “Apakah saya mirip dengan orang tua biologis saya?”
Orang yang diadopsi dalam lingkungan keluarga adopsi yang terbuka akan lebih mampu
mengelola rasa sedihnya. Rasa sedih dan rasa kehilangan dan juga kemarahan terutama
dapat muncul pada peristiwa-peristiwa tertentu seperti pernikahan, kelahiran anak atau
kematian orang tua.Orang yang diadopsi juga dapat mengalami rasa kehilangan sekunder, di
mana mereka akan merasakan kehilangan saudara, kakek dan nenek kandung. Terputusnya
koneksi budaya atau bahasa juga dapat terjadi. Pada orang yang diadposi pada usia lebih tua
maka dapat merasakan kehilangan teman, hewan peliharaan dan sebagainya.
b. Perkembangan identitas
Perkembangan identitas pada orang yang diadopsi dapat menjadi lebih rumit, di mana orang
tersebut kerap memiliki pertanyaan mengapa ia yang harus diadopsi, bagaimana orag tua
biologisnya, apakah ia memiliki saudara, apakah ia memiliki kemiripan secara fisik. Terdapat
lima tahap perkembangan identitas yang dilalui seorang anak, (1) mulai dari si anak tidak
mengetahui bahwa ia diadopsi, (2) mulai mengetahui ia diadopsi namun belum siap
menelusuri lebih lanjut tentang adopsinya, (3) orang yang diadopsi mulai merasa kehilangan,
marah, dan sedih atas adopsinya,(4) orang yang diadopsi mulai melihat aspek-aspek positif
dari adopsinya dan mulai menerimanya, (5) orang yang diadopsi menemukan kedamaian, di
mana ia sudah melewati masalah-masalah terkait adopsi dan sudah menerima statusnya
sebagai anak.
c. Sef esteem/harga diri
Self esteem/harga diri adalah sebuah persepsi atas dirinya sendiri. Orang yang diadopsi jika
dibandingkan dengan yang tidak diadopsi maka akan didapatkan skor yang rendah untuk self
esteem dan kepercayaan diri. Hal ini dapat terliht di mana beberapa orang yang diadopsi
akan merasa tertolak, kehadirannya tidak diharapkan, dan berada pada tempat yang salah.
Perasaan tersebut dapat berasal dari absennya keluarga biologis dari orang tersebut.
Banyaknya hal yang dianggap masih menjadi misteri oleh orang yang diadopsi berkontribusi
terhadap rendahnya self esteem orang tersebut.
d. Berpikir tentang adopsinya
Pikiran mengenai adopsi oleh orang yang diadopsi dapat berubah seiring waktu. Orang
tersebut dapat berpikir bahwa saat kelahiran adalah di mana ia dapat bersama-sama dengan
keluarga biologisnya, bahkan berpikir kenapa tidak orang lain saja yang menggantikannya
untuk diadopsi. Apabila orang yang diadopsi tersebut sampai pada fase di mana mereka
menjadi orang tua, mereka dapat mulai mengerti alasan dan juga kesulitan-kesulitan yang
dialami oleh orang tua biologisnya. Penelitian yang dilakukan Kohler et al pada 2002
menyebutkan 13% dari orang yang diadopsi tidak memikirkan adopsinya, 54% memikirkan
adopsinya setiap sebulan sekali, 27% memikirkan adopsinya setiap seminggu sekali atau
lebih.
e. Informasi genetik
Orang yang diadopsi sering tidak memiliki riwayat genetik dan juga riwayat kesehatan
keuarga biologisnya. Informasi genetik dapat memberikan informasi yang sangat penting
untuk kepentingan diagnosis dan juga terapi. Misdiagnosis atau pun kekeliruan medis lain
dapat terjadi apabila pihak medis salah berasumsi bahwa anak tersebut merupakan anak
biologis dari orang tua angkatnya.

Angeline merupakan anak angkat yang tidak beruntung mengalami kekerasan yang
berujung pada kematiannya. Anak adopsi, terutama yang diadopsi secara ilegal, lebih berpotensi
mengalami kekerasan dibandingkan anak kandung, seperti yang disebutkan Prof Dadang Hawari
kepada republika.co.id pada Juni 2015. Kekerasan pada anak dapat menjadi faktor risiko dari
depresi, gangguan cemas, adiksi, gangguan kepribadian, gangguan makan, gangguan seksual, dan
kecenderungan melakukan bunuh diri di masa depan (Draper et al, 2007). Penelitian yang dilakukan
Palmer et al pada 2001 menyebutkan bahwa 384 survivor kekerasan pada anak cenderung
mengalami depresi, memiliki self esteem yang rendah, dan memiliki masalah dengan institusi
keluarga. Dampak dari kekerasan pada anak tidak berhenti seketika saat kekersan dihentikan,
namun memiliki dampak jangka panjang yang akan mempengaruhi fungsi sehari-hari dari koban.
Efek negatif yang dapat terjadi pada korban:

 Depresi
 Gangguan cemas
 Merasa harga dirinya rendah
 Perilaku agresif
 Percobaan bunuh diri
 Gangguan makan
 Adiksi
 Konsumsi alkohol
 PTSD
 Disosiasi
 Gangguan seksual
 Perilaku menyakiti diri sendiri
 Gangguan perilaku

Berdasarkan keterangan beberapa saksi, yaitu guru dan tetangga sekitar, Angeline
mengalami perubahan perilaku sejak satu tahun terakhir. Perubahan yang dialami antara lain
Angeline menjadi lebih pemurung, tertutup, dan sering menangis. Selain itu, kemampuan rawat
dirinya pun menurun dan terkesan kumuh, berat badannya juga turun secara drastis. Gejala-gejala
ini merupakan beberapa gejala yang menjurus ke arah depresi.
Depresi merupakan suatu gangguan mental yang ditandai dengan mood depresif, kehilangan
minat atau kesenangan, perasaan bersalah atau rendah diri, gangguan tidur atau nafsu makan,
dan hilang konsentrasi. Masalah ini dapat terjadi berulang atau menjadi kronis dan dapat
mengganggu peran seseorang dalam kehidupan sehari-harinya. Episode depresi biasanya
berlangsung selama 6 hingga 9 bulan, namun pada beberapa kasus bisa berlangsung selama 2
tahun atau lebih.

Pada penderita depresi dapat ditemukan berapa tanda dan gejala umum sesuai Diagnostic
Manual Statistic IV (DSM IV):

 Perubahan fisik, berupa penurunan nafsu makan, gangguan tidur, kelelahan atau kurangnya
energi, agitasi, nyeri, sakit kepala, kram otot, dan nyeri tanpa penyebab fisik.
 Perubahan pikiran, berupa perasaan bingung, lambat berpikir, sulit membuat keputusan,
kurang percaya diri, merasa bersalah, tidak mau dikritik, serta adanya pikiran untuk bunuh
diri.
 Perubahan perasaan, berupa penurunan ketertarikan dengan lawan jenis, merasa sedih,
sering menangis tanpa alasan yang jelas, irritabilitas, mudah marah, dan terkadang agresif.
 Perubahan pada kebiasaan sehari-hari , berupa menjauhkan diri dari lingkungan social,
penurunan aktivitas fisik, dan menunda-nunda pekerjaan.

Dasar penyebab depresi belum diketahui secara pasti. Menurut Kaplan, terdapat 3 faktor utama
yang dapat dihubungkan dengan penyebab depresi, yaitu faktor biologi, faktor genetik dan
faktor psikososial. Ketiga faktor tersebut juga dapat saling mempengaruhi satu sama lainnya.

 Faktor Biologi

Norepinefrin dan serotonin merupakan dua neurotransmitter yang paling berperan dalam
patofisiologi gangguan mood. Peran norepinefrin dalam terjadinya depresi dinyatakan dengan
adanya penurunan regulasi reseptor β-adrenergik pada pemberian antidepresan. Serotonin dan
dopamin juga berhubungan dengan patofisiologi depresi. Jumlah serotonin yang dilepaskan
diatur oleh reseptor presipnatik adrenergik yang berlokasi di neuron serotonergik. Pada aktivasi
reseptor presinaptik adrenergik, akan terjadi penurunan jumlah norepinefrin yang
dilepaskan.

 Faktor Genetik

Data genetik menyatakan bahwa genetik merupakan faktor yang dapat memengaruhi
perkembangan mood secara signifikan. Menurut penelitian Hickie et al., depresi terjadi
karena adanya mutasi pada gene late methylene tetrahydrofolate reductase yang merupakan
kofaktor penting dalam biosintesis monoamin.

 Faktor Psikososial

Pengamatan klinik menyatakan bahwa stressor lingkungan sering mendahului episode


gangguan mood. Suatu teori menjelaskan bahwa stres akan menyebabkan perubahan
fungsional dari neurotransmitter sehingga menyebabkan seseorang mempunyai resiko yang
tinggi untuk menderita gangguan mood.
Tidak ada satu kepribadian khusus yang dapat menjadi faktor predisposisi dalam terjadinya
depresi. Setiap orang dengan ciri kepribadian apapun dapat mengalami depresi. Akan tetapi, ada
beberapa tipe kepribadian yang dapat memiliki risiko lebih besar untuk mengalami depresi, yaitu
kepribadian dependen, obsesif kompulsif, dan histironik.

Sementara itu penelitian Bibring menyatakan bahwa depresi merupakan manifestasi agresi
yang diarahkan kedalam dirinya. Pasien depresi menyadari bahwa mereka tidak hidup
sesuai dengan keinginannya sehingga mengakibatkan mereka putus asa. Pada teori kognitif,
Beck menunjukkan adanya gangguan kognitif pada pasien depresi. Terdapat 3 pola kognitif
utama pada pasien depresi yang disebut sebagai triad kognitif, yaitu

 pandangan negatif terhadap masa depan,

 pandangan negatif terhadap diri sendiri, individu menganggap dirinya tak mampu,
bodoh, pemalas, dan tidak berharga

 pandangan negatif terhadap pengalaman hidup

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan telah terjadi perubahan psikis pada Angeline yang
kemungkinan besar disebabkan oleh faktor psikososial. Hal ini terkait dengan sikap ibu angkat
Angeline yang kurang memberi perhatian dan afeksi sehingga dapat menjadi suatu stressor
terhadap kehidupan Angeline sehari-hari. Stressor ini selanjutnya dapat mencetuskan gangguan
mood yang berlanjut menjadi depresi. Namun, barangkali ciri-ciri depresi berupa
ketidakmampuan merawat diri yang ditunjukkan dapat merupakan bentuk langsung dari
penelantaran yang dilakukan oleh orang tua angkat korban. Kekerasan yang terjadi
menimbulkan trauma psikis tersendiri bagi Angeline apabila masih hidup, dan ia juga berpotensi
mengalami PTSD serta gangguan psikis lain di masa depan. Dengan posisinya sebagai anak
angkat yang secara psikis rentan mengalami gangguan, hidup dalam keluarga yang cenderung
melakukan kekerasan baik fisik, emosional, serta penelantaran, akan memperburuk kondisi dari
Angeline apabila masih hidup.

Draper B1, Pfaff JJ, Pirkis J, Snowdon J, Lautenschlager NT, Wilson I, Almeida OP; Depression
and Early Prevention of Suicide in General Practice Study Group.2007, Long-term effects of
childhood abuse on the quality of life and health of older people: results from the
Depression and Early Prevention of Suicide in General Practice Project. J Am Geriatr
Soc. 2008 Feb;56(2):262-71
Survivors of childhood abuse: their reported experiences with professional help. 2001.
Palmer SE1, Brown RA, Rae-Grant NI, Loughlin MJ. Soc Work. 2001 Apr;46(2):136-45.

Vous aimerez peut-être aussi