Vous êtes sur la page 1sur 13

 Widget

 Hubungkan
 Cari

DARAH SEORANG FILSUF


Aku mencintai nabi muhammad lebih dari segalanya, tapi aku tak setuju dengan ucapan beliau buah lebih

penting dari pohon…sebab bukankah karakter seseorang yang membentuk kebesaran suatu pemikiran…?

SKIP TO CONTENT
 BIOGRAFI ANE

 FILSAFAT PENDIDIKAN

 FILSAFAT UMUM

 ETIKA LINGKUNGAN (EKOLOGI)

 ZOON POLITIKON

 DIAN SASTRO DAN BIDADARI-BIDADARI LAINNYA

 SOCCER FEVER

 SASTRA DAN CERPEN

 MY DIARY

 KARYAKU DAN LITERATUR LAINNYA

Tag Archives: aristokrasi


F I L SA FAT UMUM , ZOON P OL I T IKON
Negeri Impian
Indonesia: Titik
temu konsepsi
negeri impian
Kant, Rousseau,
Plato, Muhammad
dan Sukarno
SEPTEMBER 10, 2013MISTER YESANARKISME, ARISTOKRASI, MARHAEN, NEGARA
MADANI, NOBLE SAVAGETINGGALKAN KOMENTAR

Makalah ini sejatinya disusun untuk keperluan Diskusi


Sriwijaya, dan telah dipresentasikan sebagai pengantar
dalam diskusi yang berlangsung sekitar 3 jam tersebut
pada tanggal 31 Agustus 2013 yang lalu. Presentasi
tersebut sejatinya diberikan dalam bentuk power
point, dan atas dasar itu maka penulisan makalah ini
juga dibuat sesetia-mungkin pada format awalnya.
Acara Diskusi Sriwijaya sendiri telah diselenggarakan
secara rutin setiap bulan oleh GSP (Guruh Sukarno
Putera) Institute di kediaman Guruh di jalan
Sriwijaya Jakarta Selatan dan terbuka untuk umum
serta bersifat sukarela, selama partisipan memiliki
kepedulian terhadap persoalan-persoalan kebangsaan.

suasana diskusi sriwijaya

A. Pendahuluan: Urgensi pertanyaan Negeri Impian


Indonesia
Seharusnya, judul presentasi kali ini adalah “Indonesia,
Negeri Impian” sebagaimana telah diajukan oleh mas
Yasin selaku ketua diskusi. Tapi setelah meng-googling
judul tersebut di atas, penulis justru menemukan
judul yang membikin miris hati “Indonesia, Negeri
Impian para Bandar.” Maka demi menghindari
kesalahpahaman yang mungkin terjadi, penulis
memutuskan untuk sedikit mengubah judul artikel ini
menjadi “Negeri Impian Indonesia” sedang embel-
embel sub judul “konsepsi negeri impian Kant,
Rousseau, Plato, Muhammad dan Sukarno” semata
terkait latar belakang penulis sebagai filsuf.

Lalu apa urgensi pertanyaan negeri impian indonesia ?


Penulis sampai pada satu kesimpulan bahwa
pertanyaan ini bukanlah pertanyaan yang penting
apalagi urgen untuk dijawab dan didiskusikan, tapi
pertanyaan yang menarik sebab berkaitan dengan
mimpi–siapa yang tidak tertarik pada mimpi suatu
negeri yang sempurna dimana wanitanya cantik-cantik
bak bidadari, pemudanya tampan-tampan, dan tak ada
bencana kelaparan dan penderitaan, serta keadilan
ditegakkan untuk semua…?

Tema ini juga bukan bahan diskusi orang-orang “tua”


yang pikirannya sudah diracuni oleh kemapanan
peradaban, tapi anak-anak muda yang masih punya
idealisme dan berani bermimpi. Sebagaimana pernah
dikatakan Bung Karno, berikan padaku 10 anak muda
(bukan orang tua) dan akan kuguncang dunia…!
Dalam paradoksitas seperti inilah, menurut hemat
penulis, letak urgensi dan kepentingan pertanyaan
Negeri Impian Indonesia.

B. Elaborasi: Titik temu konsepsi negeri impian


Ada lima tokoh yang hendak diangkat pemikirannya
dalam kesempatan ini. Pemilihan kelimanya bukan
tanpa alasan, mengingat tokoh-tokoh tersebut
merupakan sosok filsuf yang mumpuni dan cenderung
melawan arus dalam pandangannya mengenai bentuk
negeri yang ideal dan karenanya pantas disebut para
“pemimpi”

Kelima tokoh tersebut adalah Immanuel Kant dengan


anarkisme nya, Rousseau (konsep noble savage), Plato
(negara filsuf aristokrasi), Muhammad SAW (negara
madani), dan marhaenisme Sukarno. Dan akhirnya di
bagian penutup penulis akan mencoba merumuskan
lima karakter masyarakat negeri impian berdasarkan
pandangan-pandangan kelima tokoh di atas.

1. Anarkisme Kant
Menurut Kant ada empat bentuk negara: anarkisme,
despotisme, barbarisme, dan republik. Pembagian ini
berdasarkan tiga unsur negara, yaitu hukum,
kebebasan (freedom bagi segenap rakyatnya) dan
kekerasan (force dari pemerintah).
Kant menyimpulkan betapa anarkisme merupakan
bentuk negara yang ideal dan lebih baik dari republik.
Namun perlu ditekankan disini perbedaan mendasar
anarkisme sebagaimana dipahami Kant dengan
anggapan yang berkembang luas di masyarakat tentang
gerakan-gerakan anarkis yang melawan hukum.

Menurut Kant, anarkisme adalah bentuk negara


hukum dan kebebasan tanpa kekerasan (peran
pemerintah tak mutlak diperlukan lagi), sedang
republik adalah negara hukum dan kebebasan namun
masih memerlukan kekerasan (paksaan dari
pemerintah). Sedang negara despotis adalah negara
hukum dan kekerasan tanpa kebebasan, dan paling
bawah negarabar-bar yang menggunakan kekerasan
tanpa hukum (pemimpin tiran) dan kebebasan.

2. Noble Savage Rousseau


Berbeda dengan Kant yang menempatkan masyarakat
bar-bar di level paling bawah, Rousseau sang filsuf
romantisme justru menempatkan masyarakat bar-bar
sebagai masyarakat yang ideal. Namun bukan
masyarakat bar-bar sebagaimana umumnya dipahami
(negara atau kerajaan yang dipimpin raja yang lalim
dan menjajah bangsa lainnya) tapi masyarakat bar-bar
terhormat (noble savage) sebelum lahirnya peradaban.
Kenapa sebelum peradaban? sebab baginya peradaban
adalah racun yang menghalangi kebebasan manusia dan
menggantinya dengan kemunafikan.

Rousseau mengkritik asas meeum dan tuum (milikmu


dan milikku) sebagai dasar kapitalisme dan privatisme
yang melahirkan despotisme dan perang
memperebutkan tanah dan kekayaan alam. Dalam
masyarakat bar-bar yang masih alami (belum diracuni
oleh peradaban), bumi adalah milik bersama dan
berdasarkan insting nya (bukan rasio) manusia seperti
binatang-binatang alami lainnya mengambil sesuai
dengan kebutuhan (dan bukan atas dasar keserakahan
peradaban ala rasio).

Pemikiran politik Rousseau di atas menjadi dasar


filsafat pendidikannya yang berkarakter alamiah
(pendidikan bukan sebagai sarana melestarikan
peradaban, tapi membentuk jati diri) dan adaptif-
kreatif (pendidikan bukan sekadar mempersiapkan
untuk tuntutan dunia kerja, tapi passion dan
kemampuan dalam beradaptasi dengan lingkungan yang
terus berubah).

3. Aristokrasi Kant
Akan halnya Kant, Plato juga menguraikan lima
bentuk negara secara bertahap, mulai dari yang paling
ideal, aristokrasi, timokrasi, oligarki, demokrasi dan
tirani.

Negara aristokrasi adalah negara ideal yang dipimpin


oleh sekelompok filsuf, dengan raja filsuf di puncak.
Timokrasi sama seperti aristokrasi tapi oleh kalangan
militer. Oligarki juga sama dengan timokrasi tapi oleh
kalangan orang kaya. Sedang di level bawahnya adalah
negara demokrasi yang terwujud karena
pemberontakan rakyat miskin yang mayoritas, dan
memilih pemimpin dari kalangannya sendiri (yang
ironisnya justru kerap menjadi orang kaya baru dan
lupa pada akarnya). Ketidakstabilan politik yang kerap
di alami negara demokrasi terkadang dapat
menjerumuskan pada negara tirani yang dikuasai secara
mutlak oleh figur tertentu yang berada di atas
hukum.

Pertanyaan muncul terkait bagaimana cara kita


memilih pemimpin yang terbaik dari kalangan filsuf?
Disinilah letak pentingnya pendidikan bagi
terbentuknya negara yang ideal menurut Plato, akan
halnya Rousseau, menurutnya sejak kecil setiap anak
tidak mengenal latar belakang keluarganya berhak
mendapatkan pendidikan terbaik yang difasilitasi
sepenuhnya oleh negara. Dari sini akan terlihat bibit-
bibit unggul setiap generasi yang dipersiapkan menjadi
pemimpin di masa depan. Hal ini tentu berkebalikan
dengan suasana pendidikan di negeri kita dimana hanya
orang kaya yang bisa mendapatkan fasilitas pendidikan
terbaik dan program beasiswa sarat nepotisme.

4. Negara Madani Muhammad SAW


Tak kalah pentingnya adalah konsep negara madani
yang menjadikan kota madinah masa nabi sebagai
model idealnya. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa
masyarakat madani adalah masyarakat perkotaan
(berperadaban tinggi dan plural) yang dibangun atas
dasar keimanan.
Karena Allah maha melihat dan adil, serta keyakinan
bahwa kehidupan dunia hanyalah perantara menuju
kehidupan abadi di akhirat, maka peran pemerintah
sebagai penegak hukum minim sebab masyarakatnya
sendiri telah sadar-hukum. Pemerintah mungkin tidak
melihat tapi Allah maha melihat dan mengetahui
tindak-tanduk hamba Nya.

5. Marhaenisme Sukarno
Sementara itu di Indonesia kita mengenal sosok
pemikir kebangsaan yang tak kalah besarnya, yaitu
Sukarno dengan marhaenisme nya. Marhaenisme
menentang feodalisme dan kapitalisme, tapi tidak
sama dengan sosialisme (marxisme), serta lebih baik
dari demokrasi (yang tak lebih dari ajang atau kontes
popularitas belaka), serta sepenuhnya mencerminkan
karakter dan filosofi hidup masyarakat Indonesia.

Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa Kaum


marhaen bekerja sekeras proletar tapi tidak
bergantung seperti mereka; bermodal seperti pemilik
modal tapi tidak seserakah mereka.

C. Kesimpulan: 5 Karakter masyarakat negeri impian


Berdasarkan pemikiran kelima tokoh di atas maka
penulis mencoba menginterpretasikannya secara agak
bebas ke dalam lima karakter yang mesti dimiliki
suatu masyarakat dalam rangka menuju negeri yang
ideal dan didambakannya. Kelima karakter berikut
walau lahir dari pemikir yang berbeda-beda namun bisa
saling terkait dan bahkan saling menguatkan.

1. Tidak bergantung pada pemerintah (anarkisme


kant). Walau mungkin peran pemerintah tidak
mungkin ditiadakan sepenuhnya sebagaimana negeri
anarki Kant, tapi sudah seharusnya masyarakat
berdikari dan berpartisipasi secara aktif dalam
menyelesaikan berbagai persoalan kehidupannya.
Kebergantungan terhadap pemerintah justru kerap
melahirkan sistem yang korup.
2. Semangat marhaen atau green enterpreneurship
(Sukarno). Masyarakat tidak boleh terjebak dalam
dikotomi kekuatan ekonomi sebagaimana terdapat di
Barat (antara proletar dan kapital). Sejak awal kita
telah memiliki semangat kewirausahaan yang mulia,
dimana kekayaan bukan menjadi ukuran sentralnya tapi
juga faktor harmoni dengan alam, sosial dan tuhan,
serta tentunya semangat gotong-royong.
3. Tidak munafik, jaim, dan jujur apa adanya (noble
savage Rousseau). Pemerintah, apalagi di negara
demokrasi, adalah cerminan mentalitas rakyatnya.
Sosok para pemimpin yang korup dan hipokrit
sejatinya terjadi karena mentalitas korup dan hipokrit
rakyatnya juga yang mudah menerima suap dan janji-
janji palsu, serta cenderung terpesona pada figur atau
sosok alih-alih pada ideologi dan karakternya.
4. Berani bermimpi dan pembelajar (negara filsuf
Plato). Terlepas dari kritik kerasnya terhadap sistem
demokrasi sebagai semata ajang atau kontes
popularitas, Plato juga menekankan bahwa demokrasi
bisa saja melahirkan pemimpin yang terbaik, syaratnya
adalah masyarakat yang pembelajar dan berani
bermimpi. Berani tidak sama dengan nekat, bila nekat
lahir dari semangat keputusasaan, keberanian lahir dari
keyakinan dan langkah-langkah konkrit yang diperlukan
dalam mencapai tujuan terbentuknya negara yang
ideal.
5. Beriman pada tuhan dan hari akhir, dan sadar
hukum (masyarakat madani Muhammad SAW).
Berbagai masalah dalam dunia modern yang kapitalistis
sejatinya lahir karena paradigma materialisme. Disinilah
letak pentingnya spiritualisme yang dapat mengisi
kekosongan makna dalam masyarakat yang
materialistis. Di sisi lain juga spiritualisme memiliki
efek terbentuknya masyarakat yang sadar-hukum
sebab walau pemerintah tidak bisa melihat tapi Allah
maha melihat dan bahwa keadilan pasti ditegakkan bila
bukan di dunia ini maka pada hari akhir kelak.
Wallahu ‘alam bi showab
BERI PERINGKAT:

Rate This
SHARE THIS:

 Berbagi

Standar
Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.
 Ikuti

Vous aimerez peut-être aussi