Vous êtes sur la page 1sur 8

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Taufik dan
Hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun
isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan,
petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki
sangat kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Sei rampah, 15 maret 2017

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah

BAB II PEMBAHASAN
A. Mengenal Lebih Dekat Al Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i Rahimahullahu
a. Silsilah dan Kelahiran Imam Syafi’i
b. Sewaktu Imam Syafi’i dalam Kandungan
c. Pada hari Imam Syafi’i Lahir
d. Perjalanan Imam Syafi’i Dalam Menuntut Ilmu
e. Guru Imam Syafi’I
f. Kitab-Kitab Karangan Imam Syafi’i
g. Wafatnya Imam Syafi’i

B. Sejarah Munculnya Madzhab Syafi’i

C. Periode Fiqih Imam Syafi’i


a. Periode Pertama
b. Periode Kedua
c. Periode Ketiga
D. Cara-Cara Ijtihad Imam Syafi’i
E. Qaul Qadim dan Qaul Jadid

BAB II PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tarikh Tasyri’ merupakan salah satu kajian penting yang membahas sejarah legislasi
pembentukan hukum syari’at Islam, asas tasyri’ dalam al Qur'an, penetapan dan sumber hukum
pada Nabi, para sahabat dan fuqaha dalam generasi pertama. Tumbuhnya embrio golongan
politik dan pengaruhnya atas perkembangan hukum Islam masa berikutnya. Sehingga munculah
istilah-istilah fiqh dan tokoh-tokoh mujtahid, serta pembaruan pemikiran hukum pada masa
pasca kejumudan dan reaktualisasi hukum Islam di dunia Islam.
Oleh karena itu, untuk membuka jalan menuju destinasi serta mengetahui urgensinya,
maka perlu sebuah kajian dan pembahasan dalam memahami fiqih Islam dengan bentuk kajian
ilmiah sesuai dengan metodologi penyelidikan tentang definisi syari’at, fiqih, periodisasi
perkembangan hukum Islam, sumber-sumber hukum Islam serta madzhab-madzhab fiqih.
Namun dalam makalah ini akan lebih difokuskan terhadap pembahasan perkembangan tarikh
tasyri’ pada masa Imam Syafi’i.

B. Rumusan Masalah
Untuk mempermudah pembaca dalam memahami makalah ini, kami mencoba
merumuskan bebarapa topik atau masalah seputar perkembangan tarikh tasyri’ pada masa Imam
Syafi’i, yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Biografi Imam Syafi’i Rahimahullahu?
2. Bagaimanakah Sejarah Munculnya Madzhab Syafi’i?
3. Kapan Saja Periode Fiqih Imam Syafi’i?
4. Bagaimana Cara Ijtihad Imam Syafi’i?
5. Apa Saja Pendapat Imam Syafi’i Mengenai Qaul Qadim dan Qaul Jadid?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Mengenal Lebih Dekat Al Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i Rahimahullahu
Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “sesungguhnya Allah telah mentakdirkan pada setiap
seratus tahun ada seseorang yang akan mengajarkan sunnah dan akan menyingkirkan pendusta
terhadap Nabi Muhammad SAW. Kami berpendapat pada seratus tahun yang pertama Allah
mentakdirkan Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun berikutnya Allah mentakdirkan
Imam Syafi’i.”

a. Silsilah dan Kelahiran Imam Syafi’i


Beliau bernama Muhammad bin Idris. Gelar beliau abu abdillah. Orang Arab dalam
menuliskan nama biasanya mendahulukan gelar dari nama sehingga nama beliau adalah Abu
Abdillah Muhammad bin Idris. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah SAW pada diri
Abdu Manaf (suku Quraisy). Nasab beliau dari ayahandanya ialah bin Idris bin Abbas bin
Ustman bin Syafi’i bin Saib bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthalib bin Abdu Manaf.
Sedangkan dari ibunya ialah binti Fathimah binti Abdullah bin al Hasan bin Husain bin Ali bin
Abi Thalib. Dari silsilah tersebut, jelaslah bahwa Imam Syafi’i masih keturunan dari Nabi
Muhammad SAW.
Beliau dilahirkan di Gaza pada tahun 150 H dan wafat di Mesir pada tahun 204 H. Ibunya
keturunan Yaman dari kabilah Azdi dan memiliki jasa yang besar dalam mendidik beliau.
Sedangkan ayahnya meninggal dunia ketika beliau masih dalam buaian. Kemudian ibunya
membawa beliau ke Makkah agar dapat hidup bersama orang-orang Quraisy, bertemu dengan
nasabnya yang tinggi.
Sejarah telah mencatat bahwa ada dua kejadian penting sekitar kelahiran Imam Syafi’i, yaitu:

b. Sewaktu Imam Syafi’i dalam Kandungan


Ibunya bermimpi bahwa sebuah bintang telah keluar dari perutnys dan terus naik
membumbung tinggi, kemudian bintang itu pecah dan berserakan menerangi daerah-daerah
sekelilingnya. Ahli mimpi menta’birkan bahwa ia akan melahirkan seorang putera yang ilmunya
akan meliputi seluruh jagad.

c. Pada hari Imam Syafi’i Lahir


Ada dua orang ulama’ besar yang meninggal dunia, seorang di Baghdad yaitu Imam Abu
Hanifah dan di Mekkah yaitu Imam Ibnu Juraij al Makky. Dengan peristiwa tersebut, orang-
orang yang ahli dalam ilmu firasat meramalkan bahwa ini suatu pertanda bahwa anak yang lahir
ini akan menggantikan yang meninggal dalam kemahiran dalam urusan pengetahuan.

d. Perjalanan Imam Syafi’i Dalam Menuntut Ilmu


Pusat ilmu pengetahuan pada masa itu adalah di Makkah, Madinah, Irak (Kuffah), Syam
dan Mesir. Selama beliau di Makkah, beliau berkecimpung dalam menuntut ilmu pengetahuan
khususnya yang bertalian dengan agama Islam sesuai dengan kebiasaan anak-anak kaum
Muslimin ketika itu. Imam Syafi’i belajar membaca al Qur’an kepada Ismail bin Qusthanthein
dan dalam usia 9 tahun beliau telah dapat menghafal al Qu’an 30 juz.
Imam Syafi’i juga tertarik dengan syair-syair bahasa Arab klasik, sehingga sewaktu-
waktu beliau datang ke kabilah-kabilah Badui di Padang Pasir, kabilah Hudzail, dan lain-lain.
Terkadang beliau tinggal lama di kabilah tersebut untuk mempelajari sastra Arab, sehingga
akhirnya Imam Syafi’i mahir dalam kesusastraan Arab kuno dan beliau juga hafal syair dari
Imrun al Qais, syair Zuheir dan Syair Djarir.
Beliau di kota Makkah belajar ilmu fiqih kepada Imam Muslim bin Khalid az Zanniy,
seorang guru besar dan mufti di makkah pada masa itu. Dan dalam usia 10 tahun beliau mampu
menghafal kitab fiqih karangan Imam Maliki yaitu kitab al Muwatha’. Karena kepandaiannya,
dalam usia 15 tahun beliau diberi izin oleh gurunya tersebut untuk mengajar di Masjidil Haram
tentang hukum-hukum yang bersangkutan dengan agama. Beliau juga belajar ilmu hadits kepada
Imam Sufyan bin Uyainah.
Setelah beliau menghafal kitab al Muwatha’, beliau pergi ke Madinah untuk belajar
kepada Imam Malik. Sambil belajar dengan Imam Malik, beliau juga menyempatkan diri untuk
pergi ke perkampungan untuk bertemu dengan penduduk dan juga pergi ke Makkah untuk
bertemu dengan ibunya untuk meminta nasihat. Dengan belajar ilmu pengetahuan kepada Imam
Malik, beliau mendapat banyak kenalan dari ulama’-ulama’ yang datang ke Madinah untuk
belajar kepada Imam Malik.
Setalah 2 tahun di Madinah, Imam Syafi’i berangkat ke Irak (Kuffah dan Baghdad),
dimana beliau bermaksud untuk menemui ulama-’ulama’ ahli fiqih dan ahli hadits yang berada
di Irak.
Sampai di Kuffah beliau menemui ulama’-ulama’ sahabat almarhum Imam Abu Hanifah,
yaitu guru besar Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan dimana Imam Syafi’i sering bertukar
fikiran dan diberi pengetahuan tentang agama oleh beliau berdua. Dalam kesempatan ini, Imam
Syafi’i dapat mengetahui cara-cara atau aliran fiqih dalam madzhab Hanafi yang agak jauh
bedanya dengan cara-cara atau aliran fiqih dalam madzhab Maliki. Imam Syafi’i ketika itu dapat
mendalami dan menganalisa cara-cara yang dipakai oleh kedua Imam itu.
Beliau tidak lama di Irak ketika itu dan terus mengembara ke Persi, Anadholi (Turki), dan
ke Ramlah (Palestina) dimana diperjalanan beliau banyak menjumpai ulama’ baik Tabi’in
maupun Tabi’-tabi’in. Pada kesempatan ini beliau mengetahui adat bangsa-bangsa selain bangsa
Arab, hal ini nantinya membantu beliau dalam membangun fatwanya dalam madzhab Syafi’i.
Sesudah 2 tahun mengembara, Imam Syafi’i kembali ke Madinah dan kembali kepada
guru besarnya yaitu Imam Maliki. Imam Maliki bertambah kagum dengan ilmu Imam Syafi’i
dan bahkan sudah ada pertanda dari Imam Maliki bahwa ilmu Imam Syafi’i sudah melebihi
ilmunya. Imam Maliki memberi izin kepada Imam Syafi’i untuk memberi fatwa sendiri dalam
ilmu fiqh, artinya tidak berfatwa atas dasar aliran Imam Maliki dan juga tidak atas dasar aliran
Imam Hanafi, tetapi berfatwa atas dasar madzhab sendiri.

e. Guru Imam Syafi’i


Imam Syafi’i dari sejak kecil memang mempunyai sifat “pecinta ilmu”. Maka sebab itu
bagaimana pun keadaannya, beliau tidak segan menuntut ilmu pengetahuan kepada orang-orang
yang dipandangnya mempunyai keahlian tentang ilmu yang sedang dituntutnya.
Di antara guru-guru beliau yang terkenal ketika beliau di Makkah, yaitu Imam Muslim
bin Khalid, Imam Ibrahim bin Sa’id, dan Imam Sufyan bin Uyainah; dan ketika di Madinah,
yaitu Imam Malik bin Anas. Beliau tidak hanya berguru kepada para ulama’ di kota Makkah dan
Madinah, tetapi juga berguru kepada ulama di negeri lainnya.
Demikian banyaknya guru dari Imam Syafi’i yang tidak mungkin disebutkan satu-
persatu, bagi pembaca yang ingin mengetahui lebih lanjut nama-nama ulama’ yang pernah
menjadi guru beliau, cukuplah membaca kitab “Musnad Imam Asy Syafi’i”.

f. Kitab-Kitab Karangan Imam Syafi’i


Imam Syafi’i selain seorang yang ahli dalam ilmu pengetahuan, beliau adalah seorang
pengarang kitab-kitab yang sangat berguna bagi dunia Islam. Adapun kitab-kitab karangan beliau
yang paling masyhur menurut riwayat yang hingga kini masih tercatat adalah sebagai berikut:
a) Kitab Ar Risalah
Kitab ini khusus berisi ilmu Ushul Fiqh. Dalam kitab ini, Imam Syafi’i mengarang
dengan jelas tentang cara-cara beristimbath, mengambil hukum-hukum dari al Qur’an dan
Sunnah dan cara-cara orang beristidlal dari Ijma’ dan Qiyas. Kitab ini diriwayatkan oleh Imam ar
Rabi’ bin Sulaiman al Murady.
b) Kitab Al Umm
Kitab ini merupakan karya terbesar Imam Syafi’i. Isi kitab ini menunjukkan kealiman
dan kepandaian beliau tentang ilmu fiqh, karena susunan kalimatnya yang tinggi dan indah,
ibaratnya halus serta tahan uji kalau dipergunakan untuk bertukar fikiran bagi para ahli fikir yang
ahli fiqih. Tepatlah kalau kitab ini dinamakan al Umm yaitu “ibu” bagi anak-anak yang
sebenarnya.

g. Wafatnya Imam Syafi’i


Imam Syafi’i wafat pada tahun 204 H dalam usia 54 tahun. Rabi’in bin Sulaiman (murid
Imam Syafi’i) berkata, “Imam Syafi’i Rahimahullahu berpulang kerahmatullah sesudah
menunaikan ibadah shalat maghrib, petang Kamis malam Jumat, akhir bulan Rajab dan kami
makamkan beliau pada hari Jumat. Sorenya kami lihat hilal bulan Sya’ban 204”.

B. Sejarah Munculnya Madzhab Syafi’i


Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy Syafi’i setelah ilmunya tinggi dan fahamnya
begitu dalam dan tajam serta mendapatkan izin dari gurunya yaitu Imam Maliki untuk memberi
fatwa dalam fiqih sesuai dengan dasar madzhabnya sendiri, beliau mulai berijtihad dalam
menentukan hukum Islam terlepas dari fatwa-fatwa gurunya baik Imam Maliki maupun Imam
Hambali.
Perlu diketahui bahwa Imam Syafi’i sebelum melawat ke Irak adalah termasuk salah
seorang ulama’ pengikut madzhab Maliki karena beliau banyak mendapatkan ilmu pengetahuan
dari Imam Maliki. Beliau mengajarkan kitab al Muwatha’ karangan Imam Maliki kepada para
ulama’ yang datang berkunjung dari luar Madinah. Dan setelah beliau melawat ke Irak, beliau
mengajarkan kitab al Ausath karangan Imam Hanafi serta mempelajari aliran madzhabnya.
Setelah beliau melawat ke Irak, beliau menemui beberapa peristiwa yang baru. Kemudian
beliau menyesuaikan pendapat-pendapatnya mengenai hukum dengan beberapa peristiwa baru
tersebut. Setelah sekitar 2 tahun di Irak, beliau melawat ke Mesir dan menetap disana, lalu timbul
pula daripadanya beberapa perubahan dari pendapat-pendapatnya yang lama ketika di Irak.
Kemudiian beliau menyesuaikan pendapatnya dengan beberapa peristiwa yang baru yang ada di
Mesir.
Pada umumnya ketika Imam Syafi’i datang ke Mesir, para penduduk di kala itu
merupakan pengikut madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Kemudian setelah beliau
mengajarkan pendapatnya yang baru di masjid Amr bin Ash, maka mulai berkembanglah aliran
madzhab beliau di Mesir.
Jadi pada mulanya berkembangnya madzhab Syafi’i ialah di Mesir. Kemudian
berkembang pula di Irak dan mendapat kemajuan di Baghdad.

C. Periode Fiqih Imam Syafi’i


a. Periode Pertama
Makkah adalah periode pertama Imam Syafi’i berkiprah dalam bidang fiqih. Setelah
meninggalkan kota baghdad, dia tinggal di Makkah selama sembilan tahun. Di kota Makkah ini
dia telah mencurahkan waktunya untuk terjun di dunia ilmu pengetahuan. Di sana ia benar-benar
telah mendapatkan kematangan ilmunya dan mampu menghimpun berbagai hadits yang
sebelumnya tidak pernah ia lakukan. Karena itu, Imam Syafi’i sering menemukan pertentangan
antara hadits yang satu dengan yang lainnya dan dalam tataran praktis dia harus mengunggulkan
satu pendapat di antara pendapat-pendapat lainnya. Pengunggulan pendapat tersebut bisa dilihat
dari segi sanad hadits yang dijadikan sandarannya atau dari segi ketidakberlakuan sebuah dalil
(nasikh mansukh).
Di Makkah Imam Syafi’i juga mendalami dalil-dalil al-Qur’an dan menghimpun berbagai
hadits. upaya tersebut membuatnya tahu sejauh mana kedudukan hadits di sisi al-Qur’an kitab
ar-Risalah adalah buah karya Imam Syafi’i selama periode makkah yang sengaja ia susun atas
permintaan Abdurrahman al-Mahdi.
b. Periode Kedua
Imam Syafi’i datang ke kota Baghdad pada tahun 195 H. Dia tinggal di sana selama
kurang lebih tiga tahun. Pada masa ini Imam Syafi’i mulai mengeksplorasi berbagai pendapat
ahli fiqih yang semasa dengannya, pendapat dari para sahabat dan tabi’in. Di masa ini pula Imam
Syafi’i mulai mengekspresikan pendapat-pendapatnya dengan berpijak pada ushulnya.
Kemudian Imam Syafi’i memilih pendapat yang lebih mendekati ushulnya.
c. Periode Ketiga
Imam Syafi’i menghabiskan periode ketiga ini setelah dia pindah ke Mesir pada tahun
199 H. Di sana dia menetap selama empat tahun, hingga wafat. Di sanalah Imam Syafi’i
mengalami kematangan-kematangannya.
Mengenai sumber fiqihnya, Imam Syafi;i memiliki lima sumber yang kesemuanya
dituturkan dalam kitabnya al-Umm. Dia berkata “Ilmu memiliki bebeerapa ingkatan: pertama, al-
qur’an dan as-sunnah yang dianggap valid. Kedua, ijmak dan ini berlaku apabila yang sedang
digali tidak ditemukan, baik di dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Ketiga, pendapat salah satu
sahabat lain yang menentangnya. Keempat, sesuatu yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi
Saw. Kelima, Qiyas. Ketahuilah tidak ada sesuatu yang bisa dijadikan referensi, selama ada al-
qur’an dan hadits.

D. Cara-Cara Ijtihad Imam Syafi’i


Seperti Imam Madzhab lainnya, Imam Syafi’i menentukan thuruq al-istinbath al-
ahkam tersendiri. Adapun langkah-langkah ijtihadnya adalah sebagai berikut :
a. Dhahir-dhahir Al-Qur’an selama belum ada dalil yang menegaskan, bahwa yang dimaksud
bukan dhahirnya.
b. Sunnatur Rasul
As-Syafi’i mempertahankan hadits ahad selama perawinya kepercayaan, kokoh ingatan dan
bersambung sanadnya kepada Rasul. Beliau tidak mensyaratkan selain daripada itu. Lantaran
itulah beliau dipandang Pembela Hadits. Beliau menyamakan Sunnah yang shahih dengan Al-
Qur’an.
c. Ijma’ menurut pahamnya ialah : ” tidak diketahui ada perselisihan pada hukum yang
dimaksudkan”. Beliau berpendapat, bahwa meyakini telah terjadi persesuaian paham segala
ulama tidak mungkin.
d. Qiyas, beliau menolak dasar istihsan dan dasar istishlah.
Metodologi ijtihad Imam Syafi’i tidak ada yang menggunakan logika kecuali terbatas pada Qiyas
saja.
e. Istdlal.
As-Syafi’i dapat memahamkan dengan baik fiqh ulam Hijaz dan fiqih ulama Iraq dan beliau
terkenal dalam medan munadharah sebagai seorang yang sukar dipatahkan hujjahnya.

E. Qaul Qadim dan Qaul Jadid


Ahmad Amin (II, t.th:231) menjelaskan bahwa ulama membagi pendapat as-syafi’i
menjadi dua: qaul qadim dan qaul jadid. Qaul qadimadalah pendapat as-syafi’i yang
dikemukakan dan di tulis di Irak. Sedangkanqaul jadid adalah pendapat imam as-syafi’i yang
dikemukakan dan di tulis di Mesir.
Muhammad Sya’ban Ismail mengatakan bahwa pada tahun 195 H, Imam Syafi’i tinggal
di irak pada zaman pemerintahan al-Amin. Di Irak, ia belajar kepada ulama Irak dan banyak
mengambil pendapat Ulama Irak yang termasuk ahlu ra’yi. Di antara ulama irak yang banyak
mengambil pendapat Imam Syafi’i dan berhasil dipengaruhinya adalah Ahmad Ibn Hanbal, al-
Karabisi, al-Za’farani, dan Abu Tsaur.
Setelah tinggal di Irak, as-Syafi’i melakukan perjalanan ke Mesir kemudian tinggal di
sana . di Mesir, ia bertemu dengan (dan berguru kepada ) ulama Mesir yang pada umumnya
sahabat Imam Malik. Imam Malik adalah penurus fikih ulama Madinah yang dikenal sebagai
ahli hadits . karena perjalanan intelektualnya itu, imam as-Syafi’i mengubah beberapa
pendapatnya yang kemudian disebut qaul jadid. Dengan demikian, qaul qadim adalah pendapat
imam as-syafi’i yang bercorak ra’yu. Sedangkan qaul jadid adalah pendapatnya yang bercorak
hadits.
Sebab terbentuknya qaul qadim dan qaul jadid adalah karena imam Syafi’i mendengar
(dan menemukan) hadits dan fiqih yang diriwayatkan ulama mesir yang tergolong ahlu
hadits.ada yang mengatakan bahwa pendapat imam Syafi’i yang didektekan dan ditulis di Irak
disebut qaul qadim.
Para ahli berkesimpulan bahwa munculnya qaul jadid merupakan dampak dari
perkembangan baru yang dialami oleh imam Syafi’i dari penemuan hadits, pandangan, dan
kondisi sosial baru yang tidak ia temui selama ia tinggal di Irak dan di Hijaz . dan diantara
pendapat qaul jadid ini dimuat di Kitab Al-Umm.
Contohnya, dalam masalah tertib wudhu. Qaul qadim mengatakan orang yang wudhunya
tidak tertib karena lupa adalah sah. Sedangkan qaul jadid mengatakan bahwa orang yang
wudhunya tidak tertib, meskipun karena lupa adalah tidak sah. Contoh lain dalam masalah
tayamum. Qaul qadim mengatakan bahwa seseorang dibolehkan tayamum dengan pasir.
Sedangkan qaul jadid mengatakan bahwa seseorang tidak dibolehkan tayamum dengan pasir.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Imam Syafi’i merupakan salah satu dari keempat imam madzhab yang termasyhur.
Beliau adalah imam yang memiliki karakteristik akhlak yang mulia dan memiliki kecerdasan
yang luar biasa sehingga banyak gelar dari para ulama lain untuknya.
Kiprah Imam Syafi’i yang cemerlang berakhir dengan wafatnya tetapi ilmunya takkan
pernah habis dimakan waktu. Cinta manusia terhadanya, ilmu dan karya-karyanya masih tetap
memenuhi bumi sampai sekarang. Tidak satu pun dijumpai ulama besar kecuali berhutang
kepada Imam Syafi’i.

B. Saran
Demikianlah yang dapat penulis paparkan sedikit tentang biografi Imam Asy-Syafi’i.
Setelah mengetahuinya, moga menjadikan ghirrah kepada kita sebagai Thalabul Ilmi untuk
dijadikan contoh dalam hidup kita dalam mensejahterakan seluruh ummat Islam, terkhusus bagi
kesejahteraan Negara Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Siradjuddin, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah,
1972).
Al-Fayyumi, Ibrahim, Muhammad, Imam Syafi’i Pelopor fikih dan Sastra, (Jakarta: Erlangga),
2009.
Khalil, Rasyad Hasan, Tarikh Tasyri’ (Sejarah Legislasi Hukum Islam), ( Jakarta: AMZAH,
2009).
Khalil, Munawar, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1955).
Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam,(Bandung: PT.Remaja Rosdakarya,
2000).
Ash Shiddiqiey, Muhammad Hasbi Teungku, Pengantar Hukum Islam, (Semarang : PT. Pustaka
Rizki Putra, 1997).

Vous aimerez peut-être aussi