Vous êtes sur la page 1sur 16

KANDAI

Volume 13 No. .., … No. 2, November 2017 Halaman 281-296n

PANDANGAN EMPAT TOKOH PEREMPUAN TERHADAP VIRGINITAS


DALAM NOVEL GARIS PEREMPUAN
KARYA SANIE B. KUNCORO: PERSPEKTIF FEMINIS RADIKAL
(The Virginity Perspective of The Four Women Characters in Novel
Garis Perempuan by Sanie Kuncoro: The Perspective of Radical Feminism)

Ery Agus Kurnianto


Balai Bahasa Jawa Tengah
Jalan Elang Raya No. 1, Mangunhardjo, Tembalang, Semarang, Indonesia
Pos-el: eryagus75@gmail.com
(Diterima 18 April 2017; Direvisi 20 November 2017; Disetujui 21 November 2017)

Abstract
In a patriarchal society, virginity is a symbol of personality for a woman. If a woman is
able to keep herself virgin and serve it later to her husband after marriage, then she is valued
as a “good” woman. On the other side, if a woman lost her virginity before marriage she
will be labeled as “bad” woman. Furthermore how the opinions about virginity be seen
through the four female characters glasses contained in the novel by Sanie B. Kuncoro? This
article will discuss women’s point of view interpreted from four female characters in Garis
Perempuan novel by Sanie B. Kuncoro. This research is a descriptive research. Therefore,
this article is aimed to describe the different views of four female characters regarding
virginity issue. Radical feminist theory is being applied to interpret the views of four female
characters as identifying the character as the first step. The result shows that the virginity is
a negotiable commodity to pull out women from the issue of life. Virginity is also seen as a
dignity which is priceless. Virginity is a born treasure. Therefore, a woman has a right to
give her virginity to whoever she wants without any interferences from patriarchal society.
Keywords: virginity, feminist critic, perspective
Abstrak
Dalam konstruksi budaya patriarki, keperawanan adalah simbol dari kepribadian
seorang perempuan. Jika perempuan mampu menjaga dan mempersembahkannya kepada
suami setelah acara perkawinan, perempuan tersebut akan mendapatkan predikat sebagai
perempuan yang “baik”. Sebaliknya, jika perempuan kehilangan keperawanannya sebelum
perkawinan, perempuan tersebut akan menyandang predikat sebagai perempuan yang
“tidak baik”. Lalu bagaimanakah pandangan keperawanan empat tokoh perempuan yang
terdapat dalam novel Sanie B. Kuncoro? Makalah ini akan membahas pandangan
perempuan yang terepresentasi pada empat tokoh perempuan dalam novel Garis Perempuan
karya Sanie B. Kuncoro. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Oleh karena itu, tujuan
makalah ini adalah mendeskripsikan pandangan empat tokoh perempuan terhadap
permasalahan keperawanan. Teori feminis radikal digunakan untuk mengungkapkan
pandangan empat tokoh perempuan dengan langkah awal mengidentifikasi dan
mengintepretasikan watak atau karakter empat tokoh perempuan. Hasil intepretasi
menunjukkan bahwa keperawanan merupakan komoditas yang dapat dinegosiasikan untuk
mengeluarkan perempuan dari persoalan hidup. Keperawanan juga dianggap sebagai harga
diri perempuan yang tidak dapat dinilai secara materi berapa pun jumlahnya. Keperawanan
adalah harta perempuan yang dibawanya sejak lahir. Oleh karena itu, seorang perempuan
berhak untuk memberikannya kepada siapa pun yang ia pilih tanpa adanya interferensi dari
konstruksi budaya patriarki.
Kata kunci: keperawanan, kritik feminis, pandangan

©2017 Kandai, ISSN 2527-5968 (online), 1907-204X (print) 281


http://ojs.badanbahasa.kemdikbud.go.id/jurnal/index.php/kandai
This is an open access article distributed under the CC BY-NC-SA 4.0 license
Kandai: Vol. 13, No. 2, November 2017; 281-296

DOI: 10.26499/jk.v13i2.194
How to cite: Kurnianto, E., A. (2017). Pandangan empat tokoh perempuan terhadap virginitas dalam novel Garis
Perempuan karya Sanie B. Kuncoro: Perspektif feminis radikal. Kandai, 13(2), 281-296 (DOI:
10.26499/jk.v13i2.194)

PENDAHULUAN privat seseorang, pada umumnya


menyangkut seksualitas) dan
Najid (dalam Kurnianto, 2015) pengasuhan anak. Hal itu memunculkan
menyatakan bahwa sastra merupakan adanya perbedaan gender. Perbedaan
sebuah bentuk karya seni yang cara gender sesungguhnya tidak menjadi
pengungkapannya menggunakan pikiran masalah sepanjang tidak mengakibatkan
dan perasaan manusia dengan ketidakadilan gender. Namun, pada
mengutamakan keindahan bahasa, praktiknya perbedaan gender telah
keaslian gagasan, dan kedalaman pesan melahirkan ketidakadilan gender
yang ingin disampaikan. Akan tetapi, terutama bagi kaum perempuan (Fakih,
karya sastra yang dibuat oleh pengarang 2013).
tidak hanya sebuah rekaan imajinasi Perempuan tidak pernah memiliki
belaka. Namun, karya sastra tersebut dirinya secara utuh. Interferensi
bisa berupa pengalaman hidup si konstruksi sosial terhadap perempuan
pengarang itu sendiri (Inda, 2015). mengakibatkan perempuan menjadi
Persoalan-persoalan sosial merupakan liyan. Hal tersebut merupakan salah satu
bahan mentah lahirnya suatu karya bentuk penindasan kaum laki-laki yang
sastra. Salah satu persoalan sosial yang dilakukan terhadap perempuan.
menarik untuk dijadikan sebagai Feminisme radikal berpendapat bahwa
gagasan munculnya suatu karya adalah penyebab penindasan terhadap kaum
persoalan gender. perempuan berakar pada jenis kelamin
Gender merupakan suatu sifat laki-laki itu sendiri dan ideologi
yang melekat pada kaum laki-laki dan patriarkinya. Menurut feminisme radikal
perempuan yang dikonstruksi secara penguasaan fisik perempuan oleh laki-
sosial maupun kultural (Fakih, 2013). laki, seperti hubungan seksual, adalah
Konsep gender kemudian menghasilkan dasar penindasan terhadap kaum
dua kategori yang dikotomis, yaitu perempuan (Fakih, 2013). Hal tersebut
feminitas yang melekat pada kaum sesuai dengan yang diungkapkan Tong
perempuan dan maskulinitas yang (2006) bahwa feminisme radikal
identik pada kaum laki-laki (Ashaf, merupakan gerakan feminisme yang
2009). Berkaitan dengan hal tersebut, bergerak melalui pemahaman bahwa
Millet berpendapat bahwa hegemoni sistem seks atau gender yang dibentuk
maskulinitas dan subordinasi femininitas melalui ideologi patriarki adalah
tergambarkan lewat ketidaksetaraan penyebab fundamental dari penindasan
pembagian watak, peran, dan status terhadap perempuan.
antara feminin dan maskulin (1970). Konstruksi budaya yang dibangun
Lebih lanjut, Millet (1970) juga oleh patriarki mengakibatkan perempuan
menyatakan bahwa dalam masyarakat menjadi tersubordinasi. Mitos-mitos
patriarkal, peran yang diteguhkan pada tentang perempuan yang berhasil
laki-laki adalah ambisiusitas, dibentuk, dibumikan, dan diwariskan
penghargaan, dan kepentingan, secara turun-temurun dari satu generasi
sedangkan perempuan kerap ke generasi berikutnya oleh konstruksi
diidentikkan dengan pelayanan patriarki. Misalnya, perempuan dalam
“domestik” (berhubungan dengan ranah konteks budaya Jawa sering disebut

282
Ery Agus Kurnianto: Pandangan Empat Tokoh Perempuan ...

sebagai kanca wingking (teman di dapur) usaha kaum perempuan untuk


oleh suaminya yang nasibnya mengakhiri opresi yang dilakukan oleh
sepenuhnya tergantung pada suaminya. laki-laki. Pradopo (1995) menyatakan
Swarga nunut, neraka katut (ke surga perempuan mungkin akan lebih mampu
ikut, ke neraka pun terbawa), kata salah menyampaikan pengalaman khususnya
satu pepatah Jawa (Handayani & bagi yang tidak terbagi pada laki-laki,
Novianto, 2008). yang olehnya secara sangat sederhana
Kondisi tersebut mengakibatkan direduksi menjadi, “cara berhias, alat-
perempuan menempati posisi di bawah alat hias, datang bulannya, kesakitan,
posisi laki-laki. Faktor penyebab dan cara mengatasinya, tetek bengek
munculnya fenomena perempuan keseharian, dan kegiatan masaknya, cara
tersubordinasi karena perempuan tidak belanja yang njelimet, ... tawar
dipandang sebagai sosok makhluk sosial menawarnya”.
ataupun individu secara utuh. Salah satu karya yang
Perempuan hanya dipandang dari segi merepresentasikan hal terebut adalah
seksualitasnya dengan mengabaikan novel Garis Perempuan. Novel karya
kemampuan yang dimiliki secara seorang perempuan, Sanie B. Kuncoro,
keseluruhan, kesempatan, dan aspek- tersebut memiliki peran dan muatan
aspek manusiawi secara universal, yaitu untuk melakukan pendekonstruksian
sebagai manusia yang berakal, bernalar, terhadap feminitas dengan
dan berperasaan. memunculkan karakter tokoh perempuan
Pergerakkan feminis dilakukan yang menyalahi nilai-nilai feminitas
dengan berbagai cara. Salah satu media (selama ini dianggap sebagai suatu hal
yang digunakan adalah karya sastra. yang alamiah dan disebut sebagai
Berkaitan dengan hal tersebut, Al-Ali kodrat). Keempat tokoh perempuan yang
mengatakan, terdapat dalam novel itu menunjukkan
otonominya sebagai sosok perempuan
“Banyak karya sastra yang bebas lewat berbagai tindakan yang
merefleksikan dan melanggar ketabuan sekaligus
memisrefleksikan kehidupan; karya provokatif tentang kepemilikan tubuh
sastra mengacu pada kehidupan. secara otonomi tanpa adanya interferensi
Karya sastra menyajikan dari pihak lain, termasuk di dalamnya
misrefleksi yang memperbesar atau masalah keperawanan.
menghilangkan beberapa aspek dari Penelitian terhadap masalah
kenyataan, memelintir aspek virginitas belum begitu banyak
tertentu atau meninggalkannya dilakukan oleh peneliti terdahulu. Akan
sama sekali” (1994, hlm. 10). tetapi, penulis berhasil menemukan
tulisan yang mengkaji persoalan
Feminisme dalam penelitian sastra tersebut. Anggi Kartika Putri dalam
dianggap sebagai gerakan kesadaran skripsinya yang berjudul “Representasi
terhadap pengabaian dan eksploitasi Feminisme Radikal dalam Karya Sastra
perempuan dalam masyarakat seperti (Analisis Semiotik pada Novel
tercermin dalam karya sastra Pengakuan Eks Parasit Lajang)”
(Sugihastuti, 2009). Banyak karya yang membahas sedikit tentang virginitas.
muncul mengusung isu pergerakan Hasil penelitian tersebut menunjukkan
perlawanan perempuan terhadap bahwa tokoh perempuan yang terdapat
konstruksi budaya patriarki yang ada. dalam novel tersebut menolak konsep
Hal tersebut dilakukan sebagai salah satu keperawanan dalam masyarakat.

283
Kandai: Vol. 13, No. 2, November 2017; 281-296

Virginitas menjadi mitos yang posisi tersebut adalah adanya stereotip


sangat sakral, seolah-olah jika yang menyatakan bahwa perempuan
perempuan tidak perawan habislah dianggap memiliki watak penuh kasih
seluruh harapan hidupnya (Sitorus & El- sayang (affective), empati (emphatic),
Guyanie, 2009). Mitos seperti itulah dan perawat atau pengurus (nurturant).
yang merepresi kaum perempuan. Stereotip yang dilekatkan dalam diri
Perempuan belum menikah yang ada di perempuan bukanlah kodrat, melainkan
Indonesia dinilai berdasarkan pada konstruksi yang dibentuk oleh kaum
asumsi atau realitas keperawanan. Tidak patriarki.
perawan bagi perempuan yang belum Ratna (dalam Zulfardi, 2014)
menikah akan mendapatkan label mengatakan bahwa pekerjaan wanita
sebagai “perempuan tidak baik” dari selalu dikaitkan dengan hal-hal yang
masyarakat konstruksi patriarki. memiliki sifat memelihara. Laki-laki
Sebaliknya perempuan yang masih tetap selalu dikaitkan dengan hal-hal yang
menjaga keperawanannya dan sifatnya produktif. Oleh karena itu, pria
dipersembahkan kepada suami setelah memiliki kekuatan untuk menaklukkan,
acara pernikahan akan mendapatkan mengadakan ekspansi, dan bersifat
label sebagai perempuan yang baik. Hal agresif. Perbedaan fisik yang diterima
tersebut menunjukkan bahwa perempuan sejak lahir kemudian diperkuat dengan
tidak pernah memiliki secara utuh apa hegemoni struktur kebudayaan, adat-
pun yang ada dalam dirinya. Semua istiadat, tradisi, pendidikan, dan
terefleksikan sebagaimana mata sebagainya memunculkan feminisme
masyarakat patriakal memandangnya. yang menuntut kesetaraan gender antara
Berdasarkan pada hal tersebut, laki-laki dan perempuan.
permasalahan yang akan dibahas dalam Dalam sejarah perkembangannya,
tulisan ini adalah bagaimanakah empat teori feminis terdiri atas tiga gelombang.
tokoh perempuan memandang Tong (dalam Arivia, 2003) menyatakan
keperawanan yang ada dalam dirinya? bahwa gelombang pertama gerakan
Tujuan kajian ini adalah feminis terjadi sekitar tahun 1800-an.
mendeskripsikan pandangan empat Gerakan awal masih berfokus pada
tokoh perempuan tentang keperawanan. peranan perempuan sebagai aktivis
gerakan perempuan. Gelombang ini
LANDASAN TEORI dapat dikatakan sebagai tonggak
dimulainya gerakan-gerakan perlawanan
Teori yang digunakan untuk yang dilakukan oleh kaum perempuan
menjawab masalah dalam tulisan ini untuk menyetarakan haknya dengan
adalah teori feminis radikal. Awal laki-laki di ranah sosial. Gelombang
munculnya gerakan feminis adalah kedua dimulai sekitar tahun 1960-an.
munculnya penindasan kelas yang Berbeda dengan gelombang pertama,
terjadi dalam kehidupan masyarakat. gelombang kedua ditandai dengan
Tan (1996) menyatakan bahwa muncul pencarian representasi citra perempuan
beberapa hambatan yang menyebabkan dan kedudukan perempuan oleh kaum
perempuan menempati posisi the second feminis. Pada masa inilah teori mengenai
class. Hambatan itu adalah hambatan kesetaraan perempuan mulai tumbuh.
fisik, teologis, sosial budaya, sikap Gelombang ketiga ditandai dengan
pandang, dan historis. Selain hambatan- penggabungan antara teori feminis
hambatan tersebut, hal yang dengan pemikiran-pemikiran
menyebabkan perempuan menempati kontemporer yang muncul di era itu.

284
Ery Agus Kurnianto: Pandangan Empat Tokoh Perempuan ...

Akibat penggabungan inilah muncul tubuh mereka sendiri sehingga


berbagai aliran teori feminisme, salah perempuan memiliki kebebasan penuh
satunya adalah teori feminis radikal. untuk memutuskan segala sesuatu yang
Ketiga gelombang teori feminisme yang berkaitan dengan tubuh mereka,
terjadi menunjukkan bahwa terjadi termasuk dalam hal keperawanan.
progres yang positif atas pemikiran
kaum perempuan untuk METODE PENELITIAN
memperjuangkan hak-hak mereka.
Teori feminis radikal menyatakan Metode yang digunakan dalam
bahwa penindasan terhadap wanita dapat penelitian ini adalah metode deskriptif.
terjadi karena sistem patriarki. Tubuh Data penelitian ini bersumber dari (1)
perempuan merupakan objek utama sumber data primer berupa karya sastra
penindasan oleh kekuasaan laki-laki. novel Garis Perempuan karya Sanie B.
Oleh karena itu, feminisme Kuncoro yang diterbitkan oleh penerbit
mempermasalahkan antara lain tubuh Pustaka Populer; (2) sumber data
serta hak-hak reproduksi, seksualitas, sekunder berupa dokumen tertulis yang
seksisme, relasi kuasa perempuan dan terdiri atas sejumlah teks, baik yang
laki-laki, dan dikotomi privat-publik membahas novel Garis Perempuan
(Misiyah, 2006). Arivia (2003) maupun tulisan lain yang dianggap
menyatakan bahwa inti gerakan feminis berkaitan dengan penelitian ini.
radikal adalah melakukan perlawanan Pengumpulan data dan klasifikasi data
terhadap penindasan perempuan yang dilakukan dengan teknik pembacaan
dilakukan oleh laki-laki. Penindasan aktif. Hasil pembacaan aktif tersebut
terjadi karena adanya pemisahan antara kemudian dicatat dan dideskripsikan.
ranah privat dan ranah publik.
Pernyataan terebut menunjukan bahwa PEMBAHASAN
kaum feminis menolak adanya
pemisahan antara ranah privat dan sosial. Empat tokoh perempuan yang
Menurut mereka kedua ranah terebut terdapat dalam novel Garis Perempuan
memiliki hubungan yang saling karya Sani B. Kuncoro memiliki
memengaruhi. Ranah privat berpengaruh pandangan yang berbeda mengenai
terhadap ranah publik, begitu juga keperawanan yang dimilikinya. Berikut
sebaliknya. Selain itu, feminis radikal ini pandangan mengenai keperawanan
memiliki asumi bahwa dengan adanya yang dimiliki oleh empat tokoh
pemisahan antara ranah privat dan perempuan.
publik, ranah privat memiliki posisi yang
lebih rendah jika dibandingkan dengan Keperawanan Dipandang sebagai
ranah sosial. Hal tersebutlah yang Komoditas Solusi Pemecah Persoalan
memicu munculnya slogan gerakan Hidup
feminis radikal, yaitu the personal is
political (yang pribadi adalah politis). Ini Selain tubuh dan kecantikan, salah
berarti bahwa berbagai penindasan yang satu faktor penting yang dijadikan
terjadi di ruang pribadi (ranah privat) sebagai bahan pertimbangan seorang
merupakan juga penindasan yang laki-laki menjatuhkan pilihan terhadap
berlangsung di ranah publik. Feminis seorang perempuan dijadikan sebagai
radikal memberikan prioritas pada upaya pendamping hidup adalah keperawanan.
untuk menyadarkan perempuan bahwa Oleh karena itu, perempuan harus tetap
perempuan memiliki hak penuh atas menjaga keperawanannya sampai tiba

285
Kandai: Vol. 13, No. 2, November 2017; 281-296

saatnya keperawanan itu untuk menukarkan kupon dengan


dipersembahkan untuk suaminya. sembako. Hal tersebut dapat dilihat
Konstruksi budaya yang dibentuk oleh dalam kutipan berikut ini.
kaum patriraki tentang keperawanan
adalah keperawanan sebagai mahkota Namun, bahwa kemudian
perempuan yang akan dipersembahkan Basudewo melibatkan kondisi
kepada suami sebagai sebuah bentuk lahiriahnya dalam konteks syarat
pengabdian. Seorang perempuan yang itu, yang lebih ditafsirkan Ranting
mampu menjaga keperawanannya akan sebagai pembayaran atas biaya
mendapatkan stereotip bahwa dia adalah operasi si mbok, maka penafsiran
perempuan baik. Sebaliknya, perempuan itu telah mengiring Ranting pada
yang sudah tidak perawan sebelum suatu hal; bahwa dirinyalah media
menikah akan mendapatkan predikat pembayaran itu. Dirinya secara
sebagai perempuan jalang atau fisik seperti yang diterjemahkan
perempuan tidak baik. Konstruksi oleh Basudewo saat melihatnya,
tersebut terus dibangun dan ditanamkan bahwa bagi Basudewo dia telah
dari generasi ke generasi sehingga menjelma menjadi seorang
menjadi suatu nilai yang tidak perawan.
tertawarkan lagi. Hal tersebut ...
menunjukkan bahwa hasrat atau birahi, Ranting meradang. Bergetar
penderitaan tubuh, serta seksualitas seluruh sendi tubuhnya, nyaris
perempuan secara umum yang tidak meledakkan amarah dan
mendapatkan suara dalam budaya keterhinaan yang sejak awal
patriarki kemudian dikontruksi menjadi tertahan.
mitos. Meski begitu, Ranting tidak
Tokoh Ranting pada awalnya terjebak dalam kemarahan.
memandang tubuh, kecantikan, dan Kesadaran tetap menguasainya
virginitas adalah mutlak miliknya. bahwa dia tetaplah si jelata yang tak
Dengan sangat baik, Ranting menjaga memiliki cukup daya untuk
keperawanan yang dimilikinya. Ketika ia mengumbar kemarahannya. Maka,
beranjak dewasa, Ranting masih tetap dengan ketegasan penuh, dengan
menjadi gadis yang masih perawan. keteguhan hati yang tak
Ranting akan mempersembahkan tergoyahkan, diletakkannya dengan
keperawanannya kepada laki-laki yang santun kupon yang sedari awal
menjadi pilihan untuk dijadikan suami. digenggamnya pada meja di
Diri, tubuh, kecantikan dan hadapan Baudewo.
keperawanannya adalah harga diri yang “Matur nuwun, kulo pamit
tidak dapat dipermainkan oleh siapa pun. (terima kasih, saya pamit),”
Oleh karena itu, Ranting sangat marah katanya dengan dingin. Datar,
tatkala Basudewo memujinya dan nyaris tanpa perasaan. (Kuncoro,
memiliki keinginan untuk 2009, hlm. 50-52)
menjadikannya sebagai istri ketiga.
Kemarahan Ranting tampak pada saat ia Amarah yang muncul dalam diri Ranting
mengurungkan niatnya mengambil menunjukkan bahwa dia sangat terhina
sembako yang dibagikan oleh Basudewo dengan keinginan Basudewo. Keinginan
pada saat ia bertandang ke rumah Basudewo membutuhkan Ranting
Basudewo. Ia meninggalkan begitu saja sebagai media timbal balik atas
Basudewo dan mengurungkan niatnya bantuannya sangat membuat Ranting

286
Ery Agus Kurnianto: Pandangan Empat Tokoh Perempuan ...

marah. Ranting merasa “ditawar” oleh mengerti bahwa tidak semua


Basudewo tanpa memikirkan posisi dan perempuan harus menjadi istri
status Ranting sebagai manusia beradab pertama. Bahwa di zaman dahulu
yang tidak akan pernah dapat dinilai atau sekarang, lumrah terjadi
secara materi. Tindakan Basudewo yang seorang laki-laki memiliki istri
menawar keperawanan Ranting dengan lebih dari satu, selama dia sanggup
biaya pengobatan ibunya di rumah sakit memenuhi kaidah hukum dan
ini jelas merendahkan derajat kaum agama yang berlaku. Bahwa bagi
perempuan. perempuan menjadi istri pertama,
Pandangan Ranting terhadap kedua, atau ketiga, cenderung sama
keperawanan dirinya mulai goyah ketika saja, tak terlalu jauh
sakit ibunya semakin parah dan harus perbedaannya,” kata Basudewo
segera dioperasi untuk menyelamatkan dengan tenang (Kuncoro, 2009,
nyawa ibunya. Ketika dihadapkan pada hlm. 62).
situasi tersebut dan dia teringat dengan
penawaran Basudewo, tokoh Ranting Kutipan tersebut menunjukkan bahwa
melihat keperawanan bukanlah sesuatu kontruksi budaya patriarki yang
yang harus tetap dijaga dan dibentuk oleh kaum laki-laki, dalam hal
dipersembahkan kelak untuk orang yang ini dapat menikahi lebih dari satu
dicintainya sebagai bahan persembahan perempuan, jelas menempatkan
atas cinta terhadap sang suami. Tokoh perempuan sebagai sosok pelengkap
Ranting memandang keperawanan dalam menjalani hidup. Perempuan tidak
sebagai sesuatu yang dapat dijadikan dipandang sebagai sosok yang layak
komoditas untuk membantunya keluar untuk dihormati. Secara tidak langsung
dari persoalan hidup yang melilitnya. perempuan hanyalah sebagai objek yang
Ketika kondisi ibunya semakin parah secara alamiah dapat dieksploitasi
dan harus segera dioperasi, uang yang kualitas feminimnya secara seksual
dimiliki oleh Ranting tidak cukup untuk untuk dijadikan pemuas nafsu batiniah
biaya operasi ibunya. Oleh karena itu, laki-laki.
Ranting teringat dengan tawaran Ranting tidak lagi menganggap
Basudewo untuk membantu dirinya keperawanan yang dimilikinya
dengan persyaratan dia bersedia merupakan suatu hal yang sangat
dijadikan sebagai istri ketiga. Bahkan, istimewa dan akan diberikan kepada
Basudewo sudah mengutarakan hal sosok laki-laki pilihannya. Ranting
tersebut kepada orang tua Ranting. Hal memandang keperawanan sebagai nilai
tersebut dapat dilihat dalam kutipan tawar yang dapat digunakan untuk
berikut ini menghasilkan uang guna biaya
perawatan orang tuanya di rumah sakit.
“Akan saya lunasi biaya operasi Hanya dengan cara seperti itulah ia akan
Mbok War hingga sembuh total. mendapatkan uang dan kehidupan yang
Saya carikan dokter dan rumah lebih layak untuk ibunya. Keperawanan
sakit yang terbaik. Lalu, nanti saya baginya hanyalah sebuah solusi yang
bangunkan rumah yang memadai dapat mengeluarkan dirinya dari
untuk kalian. Rumah ini tidak layak kesulitan himpitan perekonomian. Hal
untuk dihuni. tersebut dapat dilihat dalam kutipan
... berikut ini.
“Maksudku, Mbok War
mungkin bisa membuatnya

287
Kandai: Vol. 13, No. 2, November 2017; 281-296

“Akhirnya datang juga kau bahan komoditas yang menjadi nilai


kepadaku,” gumam Basudewo tawar dalam sebuah transaksi seksual
dengan tatap mata seakan-akan antara laki-laki dengan perempuan.
memerangkap Ranting. Tanpa Keperawanan dapat mengeluarkan
menyisakan celah untuk berkelit. Gendhing dari persoalan hidup yang
Begitu luas seakan-akan daya menghimpitnya.
tangkap mata itu, menebar jerat Gendhing putus asa pada saat ia
pada segala sudut yang tak menghadapi persoalan hidup yang
terhindarkan. menghimpit keluarganya. Kemiskinan
“Ibuku di rumah sakit,” kata mengakibatkan orang tuanya terhimpit
Ranting... hutang dengan seorang rentenir.
... Ketidakmampuan orang tuanya
“Sudah dioperasi sepuluh hari membuat Gendhing menjadi alat
lalu. Sekarang sudah sembuh.” pembayaran hutang. Untuk mengatasi
“Begitu?” persoalan tersebut, Gendhing teringat
“Tapi aku tidak bisa dengan Indragiri, sosok pengusaha kaya
menebusnya.” yang menaruh minat dan jatuh cinta
... dengannya. Baginya Indragiri adalah
“Penawaranku masih berlaku,” jembatan yang akan membuat dirinya
kata Basudewo menghentikan keluar dari kemiskinan serta mengangkat
cengkraman hening. “Kau datang derajat keluarganya karena status
untuk itu?” sosialnya meningkat ketika ia dan
Ranting telah sampai pada sebuah keluarganya menjadi kaya. Hal tersebut
ujung, yang sungguh tidak dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.
diinginkannya. Seperti berada pada
sebuah tubir jurang dan tidak ada Sungguhkah benar apa yang
jalan lain yang terbuka. Maka, dikatakan Laura bahwa Indragiri
Ranting harus memilih yang satu adalah jembatan baginya?
itu. Gendhing merenungi kalimat itu.
“Ya,” angguk Ranting kemudian Inikah jembatan yang bisa
(Kuncoro, 2009, hlm.79). membantunya mengatasi kemelut
yang memerangkap keluarganya?
Dengan “menjual” keperawanannya Dengan jembatan itu, akankah
demi keselamatan orang yang dirinya terlepas dari segala tuntutan
disayanginya, Ibu, Ranting dapat keluar penghinaan seorang bandar
dari himpitan kemiskinan. Kesehatan sekaligus sebagai pelepas jerat
ibunya terjamin, kehidupannya dan yang mengikat dan menempatkan
kehidupan ibunya menjadi lebih baik dan mereka pada sebuah tempat yang
tidak pernah kekurangan satu apa pun. pada kehidupan sosial dinamakan
Ranting juga tidak perlu lagi berjualan sebagai berada di bawah garis
karak. Dalam hal ini, keperawanan yang kemiskinan (Kuncoro, 2009, hlm.
dimiliki oleh Ranting dapat mengatasi 185).
dan mengeluarkannya dari kesulitan
hidup yang selama ini dihadapinya. “Darinya akan kuperoleh sebuah
Tokoh Gending juga memiliki kesempatan.”
padangan yang sama dengan Ranting “Kesempatan apa?”
tentang persoalan keperawanan. “Kesempatan untuk tidak hanya
Keperawanan dapat dijadikan sebagai melunasi hutang, tapi sekaligus

288
Ery Agus Kurnianto: Pandangan Empat Tokoh Perempuan ...

memberikan perubahan yang lakon kehidupan yang harus dijalaninya,


radikal dalam hidupku, melainkan dia mengikuti arah kehidupan
melepaskanku dari garis takdir membawa dia pergi. Dalam diri
kemiskinan, memberikan Gendhing muncul suatu sifat pasrahan
kehidupan yang secara ekonomi terhadap keadaan di atas keyakinannya
lebih baik kepada orang tuaku yang tidak tertandingi untuk melakukan
(Kuncoro, 2009, hlm. 195). pengorbanan dan pengabdian kepada
orang tuanya. Bahwa kehormatan akan
Dari kutipan tersebut jelas bagaimana selalu bernilai dan dibeli oleh orang
pandangan Gendhing tentang terhormat pula dengan cara-cara
keperawanan. Gendhing tidak menjual terhormat. Pengorbanan untuk orang tua
cinta, tidak juga menjual adalah sebuah kewajiban yang harus
penderitaannya. Gendhing menjadi dilakukannya. Stigma “gadis tidak
sosok petarung yang siap untuk perawan” bukanlah menjadi sebuah
menghadapi semua risiko yang akan dia ancaman bagi Gending, meskipun bagi
terima tatkala dia sudah tidak perawan masyarakat Rural dan di etnis tertentu,
lagi. Salah satunya adalah dicap sebagai gadis tidak perawan selalu akan
seorang pelacur meskipun ia hanya satu membawa masalah dan persoalan paling
kali melakukannya. riil yang ditemui, bahkan hal tersebut
akan membawa bencana sosial bagi
“Apakah aku akan dianggap nama baik keluarga yang pada akhirnya
sebagai pelacur meski hanya satu berujung dengan pengusiran perempuan
kali melakukannya?” dari komunitas tertentu. Keputusan
“Ya, mereka akan memberikan Gendhing untuk menjual
stigma itu kepadamu. Persis seperti keperawanannya dapat dilihat dalam
logam membara yang diterakan kutipan berikut ini
pada pantat kuda untuk
menandakan hak kepemilikan atas “Waktuku hanya sebulan,”
kuda itu... wajah Gending mengeras.
... “Tak bisa kuatasi janji itu hanya
“Maka, aku tak akan peduli.” dengan kerja keras dan keyakinan
... karena keterbatasan pendidikan dan
Anggap saja ini politik keahlianku. Tapi, ketidaberdayaan
keperawanan, mengeksplorasi semacam ini justru menuntutku
darah perawan demi sebuah timbal untuk membuktikan kemampuanku
balik yang berdaya guna untuk pada kehidupan, melawan takdir
kehidupan yang lebih baik, secara kemiskinan. Itu memerlukan lebih
ekonomi. Hanya satu kali dari sekadar komitmen pribadi,
kulakukan, katakanlah aku menjadi yaitu pengorbanan, dan aku siap
pelacur satu malam, lalu sesudah melakukan itu semua.”
itu selesai.” (Kuncoro, 2009, hlm. Ketiga sahabat itu tercenggang.
197-198) Raut wajah Gending yang
mengeras, menandakan
Apa yang dilakukan oleh Gendhing kesungguhan yang tak tertawar.
adalah melebihi dari kehormatan sebuah “Dengan cara bagaimana?”
perawan bagi wanita. Yaitu, keteguhan tanyanya Zang Mey hati-hati.
untuk sebuah pengorbanan tanpa ada Gending menggigit bibir sesaat.
rasa sesal. Gendhing tidak melawan

289
Kandai: Vol. 13, No. 2, November 2017; 281-296

“Akan kujual keperawananku,” Kutipan tersebut jelas merepresentasikan


desisnya lirih (Kuncoro, 2009, hlm. bagaimana kekuasaan laki-laki atas
193). tubuh perempuan. Bahkan untuk sesuatu
... yang dimiliki oleh perempuan sejak lahir
“Aku tidak akan menjadikan pun tidak terlepas dari kekuasaan laki-
diriku sebagai perempuan lain bagi laki. Selaput dara tipis di vagina yang
seorang laki-laki, dengan atau tidak dianugerahkan oleh Tuhan kepada kaum
berdasarkan perkawinan yang sah. perempuan, selalu jadi bulan-bulanan
Yang kulakukan ini adalah kaum laki-laki. Selaput dara
transaksi. Cukup satu kali diperlakukan sebagai bukti kepemilikan
kulakukan, dia ambil perawanku, abadi laki-laki terhadap perempuan,
kuterima uangnya, lalu selesai.” bagaimana pun caranya laki-laki
“Berapa rupiah dia akan mendapatkannya. Selaput dara
membayarmu?” mendadak menjadi status sosial baru
“Sedang kuhitung, yang pasti dalam stratifikasi seksualitas. Tidaklah
bukan jumlah yang sedikit.” mengherankan, keperawanan dapat
“Sungguh dia mampu dipolitisasi laki-laki saat dalam keadaan
membayarnya?” seperti apa pun. Perempuan dituntut
“Pasti, dia pengusaha” untuk melepaskan keperawanannya di
(Kuncoro, 2009, hlm. 196). malam pertama setelah hubungannya
dengan laki-laki disahkan oleh sebuah
“Justru karena itu aku parade adat budaya yang bernama
menginginkanmu.” pernikahan. Sedangkan hal tersebut tidak
“Tapi, padamu yang kuperlukan berlaku bagi laki-laki. Tidak ada tuntutan
adalah uangmu. Maka, akan bahwa laki-laki harus tetap perjaka di
kuberikan apa yang kau mau. saat menjalankan ritual malam pertama.
Perawanku. Dan, itu bukan sesuatu Inilah sebuah bentuk moralitas sosial
yang gratis, bahkan tidak murah.” tatanan masyarakat patriarki yang
“Berapa?” phallosentris yang mendikotomi bahwa
“Seratus juta, bayar di muka dan perempuan baik-baik adalah perempuan
kau harus yang mampu menjaga keperawanannya
menggunakan pengaman karena dan perempuan yang tidak baik adalah
aku tidak mau menerima perempuan yang kehilangan
cairanmu!” Indragiri tercengang. keperawanannya sebelum prosesi malam
Bukan karena angka yang pertama dengan sang suami. Perempuan
diucapkan Gending. Berapa pun tidak pernah memiliki tubuhnya,
angka itu, bukanlah sesuatu yang kecantikannya, dan keperawanannya
sangat berarti baginya. secara penuh, terlepas dari interferensi
Kemampuan finansial telah laki-laki.
menempatkannya pada suatu posisi
bahwa harga bukanlah masalah. Keperawanan Dianggap sebagai
Dia telah sampai pada suatu posisi Harga Diri Perempuan yang Tidak
yang disebutnya sebagai financial Dapat Dinilai Secara Materi.
freedom. Merdeka dalam hal
keuangan, tidak terhambat oleh Perempuan dengan segala macam
batasan harga ketika menginginkan atribut yang dimilikinya sudah
sesuatu (Kuncoro, 2009, hlm. 204). seharusnya menjadi diri sendiri tanpa
ada interferensi kekuasaan dari kaum

290
Ery Agus Kurnianto: Pandangan Empat Tokoh Perempuan ...

laki-laki. Keperawanan dianggap “Yakin?”


sebagai lambang harga diri seorang “Ya, menyerah padamu artinya
perempuan yang tidak akan dapat dinilai menyerah pada nasib, tidak akan
dengan materi berapa pun jumlahnya. kulakukan. Aku akan melawan
Hal itulah yang menjadi pandangan ...
tokoh Gendhing mengenai keperawanan. Aku hanya tergoda imajinasi
Kesadaran tersebut membuat Gending palsu yang kau tawarkan. Tapi, aku
membatalkan kontrak seksual yang telah belum kalah, tetap kumiliki diriku
disepakati dengan Indragiri. Bagi dengan utuh. Tak akan aku
Gending, 100 juta, bahkan 200 juta menyerah pada jamahanmu atau
tidaklah cukup untuk nilai keperawanan takdir. Kalaupun aku harus tetap
yang dimilikinya. Menurut Gending, miskin, akan tetap kujaga nilai
keperawanan merupakan hal yang sangat diriku sebagai yang utama
penting bagi perempuan karena di situlah (Kuncoro, 2009, hlm. 209-210).
letak kesucian akhlak dan kesempurnaan
iman. Kutipan tersebut
merepresentasikan bahwa perempuan
Gendhing meradang, sesuatu memiliki kekuasaan penuh atas tubuh
yang tajam seakan-akan menggurus dan dirinya. Kepemilikan tersebut tidak
ulu hati, memunculkan luka dengan akan dapat diinterferensi oleh kekuasaan
kepedihan yang tak terjabarkan. laki-laki bila perempuan mengeluarkan
“Dua ratus juta?” sifat-sifat maskulin yang menunjang dan
Seluruh tubuh Gendhing membuang sifat-sifat kewanitaan yang
bergetar. Angka yang ditawarkan melemahkan dan memosisikan
Indragiri, lengkap dengan tatapan perempuan di ranah objek seperti yang
yang menyertainya membawanya distereotifkan oleh konstruksi patriarki.
pada suatu kesadaran, betapa murah Keputusan Gendhing untuk
orang lain menekankan harga membatalkan kontrak seksualnya dan
padanya. Juga dirinya yang pernah pendiriannya untuk tetap menolak
menetapkan harga itu untuk dirinya bujukan Indragiri dengan menaikkan
sendiri. Satu hal yang terabaikan harga keperawanannya menjadi 200 juta
olehnya selama ini. rupiah, sejalan dengan gerakan dan
“Tidak berapa pun,” kata tujuan feminisme bahwa perempuan
Gendhing dingin, mengendalikan harus menjadi dirinya sendiri dan
kemarahan diri. “Tidak akan pernah memiliki harganya sendiri yang tidak
ada angka untuk hargaku. Segala dapat disamakan dengan materi, berapa
angka tidak akan pernah cukup pun jumlahnya. Dengan seperti itu,
untuk menjadikan nilai tukar yang perempuan tidak akan pernah menjadi
layak bagi seseorang, aku atau liyan yang menempati posisi menjadi
siapa pun.” objek. Bagi Gendhing, keperawanan
“Dengan uang sejumlah itu bisa adalah sebuah status tanpa batas nilai
kuperoleh lebih dari sepuluh karena keperawanan adalah sebuah
perawan.” harga diri.
“Tapi bukan aku,” Gendhing Pandangan tentang keperawanan
bertahan. yang dimiliki oleh Gendhing juga
“Atau kau perlu waktu untuk dimiliki oleh Ranting. Hal inilah yang
mempertimbangkannya?” menyebabkan Ranting ingin keluar dari
“Tidak,” jawab Gendhing kuat. cengkeraman Basudewo. Uang yang

291
Kandai: Vol. 13, No. 2, November 2017; 281-296

dikeluarkan oleh Basudewo untuk biaya karak-karakku. Tapi, tidak akan


operasi sang ibu dan fasilitas yang kutempatkan diriku terlalu tinggi
diberikan oleh Basudewo terhadap seperti pelacur kelas tinggi karena
dirinya dan ibunya tidaklah sebanding kusadari asalku,. Tapi, aku bersih,
jika dibandingkan dengan kebebasan aku tidak sekadar perawan, lebih
terhadap kepemilikan tubuh yang telah ia dari itu, aku bahkan tidak terjamah
gadaikan. Untuk itulah Ranting oleh satu laki-laki pun sebelum ini”
menganggap bahwa uang yang (Kuncoro, 2009, hlm. 98-99).
dikeluarkan oleh Basudewo sebagai ...
utang. Jika Ranting ingin terbebas dari “Dia berhak melakukan ‘itu’
Basudewo, ia harus membayar utang itu. kepadaku sebanyak seratus kali.
Dengan demikian, harga dirinya dan Akan kuhitung setiap kali dia
kebebasan dirinya sebagai seorang datang dan melakukannya. Akan
pemilik tubuhnya akan kembali kucatat tanggal kedatangannya,
meskipun hal tersebut tidak akan pernah sebagai bukti dan data pendukung
dapat mengembalikan keperawanannya. pada akhir perhitungan nanti”
Hal tersebut sesuai dengan gerakan (Kuncoro, 2009, hlm. 99).
femininisme, yaitu melakukan resistensi
terhadap penguasaan laki-laki akan Sebuah konsekuensi yang sangat berat
kepemilikan tubuh perempuan. Hal bagi seorang perempuan yang
tersebut sesuai dengan pendapat Janggar menempatkan dirinya sebagai pelacur
(dalam Aravia, 2003, hlm. 100-101) bagi suaminya sendiri. Namun, ini
yang menyatakan bahwa penindasan adalah sebuah bentuk resistensi terhadap
yang dilakukan oleh laki-laki terhadap konstruksi budaya patriarki yang
perempuan semuanya berawal dari dilakukan oleh Ranting. Untuk
dominasi atas seksualitas perempuan mendapatkan harga dirinya kembali
yang ditemui di ranah privat. Oleh secara utuh, Ranting rela menganggap
karena itu, sudah selayaknya perempuan dirinya sebagai seorang pelacur.
melakukan resistensi terhadap kondisi
yang membuatnya terdominasi. Subjektivitas Keperawanan bagi
Hal yang akan dilakukan oleh Perempuan
Ranting adalah dia akan memasang tarif
250 ribu rupiah setiap dia melayani nafsu Pemikiran keperawanan adalah
Basudewo. Setelah seratus kali dia subjektivitas bagi kaum perempuan ada
melayani Basudewo di tempat tidur, dalam diri tokoh Tawangsri dan Zhang
hutangnya akan lunas. Dengan kondisi Meiy. Sebagai wanita yang dianugerahi
seperti itu, tokoh Ranting telah Tuhan dengan selaput hymen yang
memosisikan dirinya menjadi seorang begitu tipis, sudah sewajarnya
pelacur yang sekaligus istri bagi perempuan untuk tetap menjaganya
Basudewo. Hal tersebut dapat dilihat sampai ia dewasa. Akan tetapi, setelah
dalam kutipan berikut ini perempuan menjelma menjadi
perempuan dewasa bukan berarti dia
“Tentu tidak akan kujadikan tidak memiliki kuasa atas selaput hymen
diriku sebagai pelacur ala kaki yang dibawanya sejak ia dilahirkan.
lima,” kata Ranting mulai Perempuan seharusnya memiliki hak
menentukan pilihannya. “Karena penuh atas karunia itu. Namun,
sekali pun melarat, aku tetap bisa konstruksi budaya patriarki merampas
mempertahankan hidup dengan itu semua. Konstruksi budaya patriarki

292
Ery Agus Kurnianto: Pandangan Empat Tokoh Perempuan ...

membuat laki-laki memiliki hak atas dalam diri perempuan. Kalimat “Aku
keperawanan perempuan. Oleh karena bukan pula perempuan moralis yang
itu, keperawanan adalah salah satu yang menjauhkan diri dari hasrat erotisku
dituntut laki-laki pada saat ia demi penjagaan sebuah citra.”
menjatuhkan pilihan untuk menikahi merepresentasikan sosok perempuan
seorang perempuan. Harga diri yang sangat tangguh dan tidak cengeng
perempuan hanya terletak pada selaput atas keputusan yang diambilnya. Bagi
dara. Hal tersebut menempatkan tokoh ini, perawan atau tidak perawan
perempuan pada posisi subordinat dan lagi bukanlah menjadi suatu persoalan
sebagai objek. karena esensi dan potensi perempuan
Dalam konstruksi budaya patriarki tidak hanya terletak pada selaput dara,
keperawanan merupakan sesuatu yang tetapi pada sosok perempuan seutuhnya.
sangat penting. Begitu pentingnya Dengan melakukan sesuatu atas
keperawanan, masyarakat kehendak dan keinginan sendiri,
mengaitkannya dengan persoalan perempuan akan menjadi sosok yang
kerangka normatif dan moralitas. Oleh tidak lagi menjadi objek, tetapi menjadi
karena itu, perempuan yang kehilangan subjek dalam suatu peristiwa.
keperawanan sebelum prosesi Perempuan tidak selamanya harus
pernikahan dianggap sebagai perempuan menunggu, sudah saatnya perempuan
yang amoral, apa pun alasannya. Padahal memulai sesuatu.
masalah keperawanan adalah pilihan Bagi Tawangsri dan Zhang Mey,
bebas perempuan yang memilikinya. keperawanan adalah mutlak milik
Menjadi perawan atau pun tidak perawan perempuan. Oleh karena itu, perempuan
lagi adalah hak perempuan. Hal tersebut memiliki kebebasan untuk memilih
disebabkan hanya perempuanlah yang kepada siapa keperawanan itu akan
mengerti dan memahami kondisi tubuh dipersembahkan tanpa harus ada ikatan
dan kejiwaannya apabila dia memilih perkawinan. Sebuah bentuk resistensi
untuk tetap menjadi perawan atau terhadap konstruksi budaya yang ada
bahkan memilih untuk tidak menjadi selama ini untuk dapat menjadi diri
perawan. Hal tersebut dapat dilihat sendiri sekaligus menjadi subjek, bukan
dalam kutipan berikut ini. menjadi objek. Pandangan Tawangsri
terhadap keperawanan ini sesuai dengan
“Ketahuilah, dengan apa yang gerakan feminis yang menyatakan
telah kita lakukan ini, bagi kau bahwa perempuan adalah pemilik
tidak ada yang harus ditanggung mutlak tubuh dan dirinya sendiri. Selain
dan tidak ada pertanyaan yang itu, salah satu tujuan gerakan feminisme
harus dijawab. Aku tidak sedang adalah melakukan pergeseran terhadap
melakukan barter keperawananku konstruksi yang ada. Jika selama ini
sebagai upaya untuk perempuan hanyalah sebagai objek
mendapatkanmu. Aku bukan pula wisata seksual laki-laki, Tawangsri
perempuan moralis yang memiliki pandangan bahwa perempuan
menjauhkan diri dari hasrat juga mampu untuk menjadi subjek. Hal
erotisku demi penjagaan sebuah tersebut dapat dilihat dalam kutipan
citra” (Kuncoro, 2009, hal 283). berikut ini

Sebuah sudut pandang yang “Akan kupergunakan hak


mencoba untuk mendekonstruksi tentang pilihku untuk menentukan siapa
nilai sebuah keperawanan yang ada laki-laki pertamaku. Sama seperti

293
Kandai: Vol. 13, No. 2, November 2017; 281-296

seorang laki-laki memilih dan kepada siapa akan diserahkan


perempuan pertamanya. Tidak ada selaput dara adalah hak preogatif dia.
keharusan bagiku untuk tetap Tubuhnya adalah pilihan subjektifnya.
menjadi perawan demi sebuah Sebagai sebuah bentuk pemberontkan
pernikahan. Menjadi tetap perawan terhadap tradisi keluarganya, Zhang Mey
atau tidak adalah suatu pilihan dan memutuskan untuk menyerahkan
aku hanya akan melakukannya keperawanannya kepada Tenggar tanpa
dengan seseorang yang kuinginkan, harus ada ikatan perkawinan. Apa yang
dengan atau tanpa pernikahan.” dilakukan dan diputuskan oleh Zhang
(Kuncoro, 2009, hlm. 274). Mey sejalan dengan pemikiran feminis.
Zhang Mey bebas menentukan tubuh dan
Dari kutipan tersebut dapat diinterpretasi arah hidupnya tanpa mempedulikan
bahwa Tawangsri berusaha melawan sekat-sekat tradisi yang mengukungnya.
kekuasaan patriarki dengan mematahkan Sebagai perempuan, Zhang Mey berhak
nilai-nilai di masyarakat yang merugikan atas tubuhnya. Ia telah secara sadar
perempuan, misalnya nilai keperawanan. menentukan apa yang dapat membuat
Pandangan tentang keperawanan hidupnya bahagia.
hendaknya juga diberlakukan terhadap
laki-laki supaya lebih adil karena yang PENUTUP
menyebabkan hilangnya keperawanan
seorang perempuan karena hubungan Terdapat tiga pandangan tentang
seks adalah laki-laki. Oleh karena itu, persoalan keperawanan yang dapat
mitos kesakralan keperawanan diidentifikasi melalui tokoh perempuan
didekonstruksi oleh Tawangsri dengan dalam novel Garis Perempuan karya
pemikirannya yang menyatakan bahwa Sanie B. Kuncoro. Pandangan yang
perawan atau tidak perawan itu adalah pertama adalah melalui tokoh Ranting
sebuah opsi pribadi perempuan. dan Gendhing keperawanan dipandang
Zhang Mey adalah sosok sebagai komoditas solusi pemecah
perempuan yang dibesarkan dalam persoalan hidup. Melalui tokoh Gending
lingkungan keluarga yang masih sangat dan Ranting, keperawanan dipandang
memegang aturan adat hasil konstruksi sebagai harga diri perempuan yang tidak
patriarki. Pada awalnya tidak ada dapat dinilai secara materi berapa pun
masalah dalam diri tokoh ini. Dia selalu jumlahnya. Selain itu, melalui tokoh
menuruti apa yang dikatakan oleh Zhang Mey dan Tawangsri keperawanan
keluarga besarnya. Hingga sampai pada dipandang sebagai subjektivitas
suatu peristiwa ketika keluarga besarnya keperawanan bagi perempuan.
tidak menyetujui hubungan kasih Pandangan tentang keperawanan
asmaranya dengan laki-laki pribumi dan yang dimiliki oleh Sanie B. Kuncoro dan
menjodohkannya dengan laki-laki dihadirkan melalui tokoh Ranting,
pilihan keluarganya. Gendhing, Tawangsri, dan Zhang Mey,
Peristiwa tersebut menyentak menunjukkan bahwa keempat tokoh
kesadaran Zhang Mey. Mengapa bukan tersebut direpresentasikan sebagai
dia yang memiliki peran cukup besar perempuan yang memiliki kewenangan
dalam kepemilikan tubuh dan dirinya. penuh atas apa yang ada pada tubuhnya,
Mengapa harus ada tradisi yang dalam hal ini adalah masalah
membuatnya tidak mampu untuk keperawanan. Meskipun hal tersebut
memiliki tubuhnya sendiri secara utuh. sering terabaikan, bahkan diabaikan
Keperawanan adalah miliknya sendiri dalam lingkungan budaya patriarkhi,

294
Ery Agus Kurnianto: Pandangan Empat Tokoh Perempuan ...

keempat tokoh perempuan tersebut Inda, D. N. (2015). Memang jodoh:


memiliki kekuasaan penuh untuk Pemberontakan Marah Rusli
menentukan pilihan hidupnya, melalui terhadap tradisi Minang Kabau.
pandangan mereka terhadap Kandai, 11(2), 217-233.
keperawanan yang ada dalam diri
mereka. Kuncoro, S. B. (2010). Garis
Pandangan keempat tokoh perempuan.Yogyakarta: Bentang
perempuan terhadap permasalahan Pustaka.
keperawanan digunakan oleh
pengarangnya untuk menyuarakan Kurnianto, E. A. (2015). Analisis tiga
keinginan kaum yang terpinggirkan tataran aspek semiotik Tzvetan
dalam ranah publik, yaitu perempuan. Todorov pada cerpen Pemintal
Melalui pandangan keempat tokoh Kegelapan karya Intan
perempuan tentang keperawanan, Paramaditha. Kandai, 11(2), 206-
pengarang ingin menunjukkan 216.
eksistensialisme kaum perempuan dan
membuat pembaca mengerti bahwa Millet, K. (1970). Sexual politics. New
keputusan paling hakiki dalam hidup York: Doubleday.
perempuan adalah perempuan itu
sendiri. Misiyah. (2006). Pengalaman
perempuan: Sumber pengetahuan
DAFTAR PUSTAKA yang membebaskan. Jurnal
Perempuan, 48, 39-53.
Ali-Al, N.S. (1994). Gender
writing/writing gender-the Pradopo, R.D. (1995). Beberapa teori
representation of woman in a sastra, metode kritik, dan
selection of modern egyptian penerapannya. Yogyakarta:
literature. The American Pustaka Pelajar.
University in Cairo Press.
Putri, A. K. (2016). Representasi
Arivia, G. (2003). Filsafat berperspektif feminisme radikal dalam karya
feminis, Yayasan Jurnal sastra pada novel Pengakuan Eks
Perempuan, Jakarta. Parasit Lajang: Analisis Semiotik.
Skripsi. Universitas Lampung.
Ashaf, A.F. (2009). Jurnalis perempuan Bandar Lampung
dan aktivisme media: Perspektif
kritis. Bandung: UNPAD Press. Sitorus, A. R. & Gugun, E. G. (2009).
Mitos keperawanan, perspektif
Fakih, M. (2013). Analisis gender dan agama, dan budaya. Yogyakarta:
transformasi sosial. Yogyakarta: Madina Press.
Pustaka Pelajar.
Sugihastuti. (2009). Rona bahasa dan
Handayani, C.S. & Novianto, A. (2008). sastra Indonesia. Yogyakarta:
Kuasa wanita Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
LkiS.

295
Kandai: Vol. 13, No. 2, November 2017; 281-296

Tan, M.G. (1996). Perempuan Indonesia Zulfardi, D. (2014). Kajian feminisme


pemimpin masa depan. Jakarta: cerpen Pasien karya Djenar
Sinar Harapan. Mahesa Ayu dan implikasinya
terhadap pengajaran sastra
Tong, R. P. (2006). Feminist thought: Indonesia di sekolah. Curricura,
Pengantar paling komprehensif 2(1), 29-37.
kepada aliran utama pemikiran
feminis (Prabasmara, A.P.,
penerjemah). Yogyakarta:
Jalasutra.

296

Vous aimerez peut-être aussi