Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
2.1.2. Etiologi
Rangsangan yang berinteraksi dengan respons jalan nafas dan membangkitkan episode akut
asma dapat dikelompokkan menjadi tujuh kelompok utama : alergenik, farmakologik, lingkungan,
pekerjaan, infeksi, exercise dan emosi.
Alergen
Asma akibat alergi bergantung pada respon IgE yang dikendalikan oleh limfosit T dan B dan
diaktifkan oleh interaksi antara antigen dengan molekul IgE yang berikatan dengan sel mast.
Sebagian besar alergen yang mencetuskan asma bersifat airborne dan supaya dapat dapat
mencetuskan asma alergen tersebut harus tersedia banyak dalam waktu tertentu.
Rangsangan Farmakologik
Obat yang paling sering berhubungan dengan induksi episode akut asma adalah aspirin, bahan
pewarna seperti tartazin, antagonis β-adrenergik dan bahan sulfat. Lingkungan dan Polusi Udara
Lingkungan yang menyebabkan asma biasanya berhubungan dengan keadaan iklim yang
menyebabkan konsentrasi polutan atmosfer dan antigen, cenderung ditemukan pada daerah padat
industri dan daerah kumuh. Beberapa polutan yang diketahui dapat menyebabkan keadaan ini
diantaranya, ozon, nitrogen dioksida dan sulfur dioksida
Faktor Pekerjaan
Asma yang berkaitan dengan pekerjaan merupakan masalah kesehatan yang bermakna dan obstruksi
jalan nafas akut dan kronik dilaporkan terjadi setelah pajanan terhadap sejumlah besar senyawa
yang dapat dihasilkan dari pekerjaan, seperti garam logam, debu kayu, sayuran, bahan farmasi,
bahan kimia industri.
Infeksi
Infeksi jalan nafas merupakan rangsangan yang paling umum membangkitkan eksaserbasi akut
asma. Mekanismenya belum diketahui dengan pasti, tapi mungkin hasil perubahan akibat radang
mukosa jalan nafas mengubah pertahanan penjamu dan menyebabkan saluran trakheo-bronkhial
lebih rentan terhadap rangsangan eksogen.
Excercise
Mekanisme bagaimana exercise akan menghasilkan obstruksi mungkin berhubungan dengan
hiperemia yang disebabkan oleh suhu dan pengisian darah mikrovaskuler dinding bronkhus dan
kelihatannya tidak mengikutsertakan kontraksi otot polos. Timbulnya bronkhospasme akibat latihan
fisis mungkin berpengaruh pada beberapa pasien asma dan pada beberapa pasien, hal ini menjadi
pencetus tunggal.
Stres Emosional
Perubahan ukuran jalan nafas kelihatannya dicetuskan melalui pengubahan aktivitas syaraf efferen,
3
tetapi endorfin juga dapat berperan.
2.1.3. Patofisiologi
Tanda patofisiologik asma adalah pengurangan diameter jalan nafas yang disebabkan
kontraksi otot polos, pembuluh darah, edema dinding bronkhus, dan sekret kental yang lengket.
Hasil akhir adalah peningkatan resistensi jalan nafas, penurunan volume ekspirasi paksa ( forced
volume expiration ) dan kecepatan aliran, hiperinflasi paru dan thoraks, peningkatan kerja
bernafas, pengubahan fungsi otot pernafasan, perubahan recoil elastic, penyebaran abnormal aliran
darah ventilasi dan pulmonal dengan rasio yang tidak sesuai dengan perubahan gas darah arteri.
Jadi, walaupun asma pada dasarnya diperkirakan sebagai penyakit saluran nafas, sesungguhnya
semua aspek fungsi paru mengalami kerusakan selama serangan akut. Lagipula, pada pasien yang
sangat simptomatik, seringkali pada elektrokardiografi ditemukan hipertrofi ventrikel kanan dan
3
hipertensi paru.
Bila seorang pasien dirawat, kapasitas vital paksa ( forced vital capacity ) cenderung ≤ 50%
dari nilai normal. Volume ekspirasi paksa satu detik ( 1-s forced expiratory volume, FEV1 ) rata –
rata 30% atau kurang dari yang diperkirakan, sementara rata – rata aliran midekspiratory maksimum
dan minimum ( maximum and minimum midexpiratory flow rates ) berkurang sampai 20% atau
kurang dari yang diharapkan. Untuk mengimbangi perubahan mekanik, udara yang
terperangkap ( trapping air ) ditemukan berjumlah besar. Pada pasien yang sakit berat,
volume residual ( residual volume, RV ) sering mendekati 400% nilai normal, sementara kapasitas
residual fungsional menjadi berlipat ganda. Pasien cenderung melaporkan bahwa serangannya
berakhir secara klinis bila RV turun sampai 200% dari nilai yang diperkirakan dan bila FEV 1 naik
3
sampai 50%.
Hipoksia merupakan temuan umum sewaktu eksasaserbasi akut, tetapi gagal ventilasi yang
jelas relatif tidak biasa ditemukan, hal ini diobservasi pada 10 – 15% pasien yang dirawat. Sebagian
besar asma mengalami hipokapnia dan alkalosis respiratori. Pada pasien yang sakit parah, temuan
tekanan karbondioksida arteri normal cenderung berhubungan dengan tingkat obstruksi yang cukup
berat. Akibatnya, bila ditemukan pada pasien yang simtomatik, keadaan ini harus dipandang
sebagai gagal respirasi dan harus dipandang sebagai gagal gagal respirasi yang membakat dan harus
diterapi dengan keadaan tersebut. Demikian pula bila ditemukan asidosis metabolik pada asma
akut, hal tersebut merupakan petunjuk obstruksi berat. Biasanya, tidak ada gejala klinis yang
menyertai perubahan gas darah. Sianosis merupakan tanda akhir. Oleh sebab itu tingkat hipoksia
yang berbahaya tidak dapat ditentukan. Demikian juga, tanda yang berhubungan dengan retensi
karbondioksida, seperti berkeringat, takikardia, dan tekanan nadi yang lebar, atau terhadap
asidosis, seperti takipnea, bukan merupakan hal yang berrti besar dalam memperkirakan terjadinya
hiperkapnea atau kelebihan ion hidrogen pada pasien karena tanda tersebut terlalu sering
ditemukan pada pasien yang cemas dengan penyakit yang lebih berat. Jadi mencoba menilai
keadaan status ventilasi seorang pasien yang sakit berat berdasarkan gejala klinis saja dapat sangat
membahayakan dan tidak boleh didasarkan pada bukti yang ada. Oleh karena itu tekanan gas darah
3
arteri harus diukur.
2.1.4. Gambaran Klinis
Gejala asma terdiri atas trias dispnea, batuk dan mengi ; gejala yang disebutkan terakhir
ini kerap kali dianggap sebagai gejala yang harus ada ( sine qua non ). Pada bentuk yang paling
khas, asma merupakan penyakit episodik dan keseluruhan tiga gejala tersebut terdapat bersama –
sama. 3
Pada awal awitan, pasien akan mengalami rasa tertekan di daerah dada yang sering disertai
batuk non produktif. Respirasi terdengar kasar dan suara mengi pada kedua fase respirasi semakin
menonjol, ekspirasi memanjang, dan pasien sering memperlihatkan gejala takipnea, takikardia,
3
serta hipertensi sistolik yang ringan
Tanda dan gejala lain pada penyakit asma merupakan cerminan yang kurang sempurna
untuk pelbagai perubahan fisiologik yang terdapat sehingga jika kita hanya bergantung pada tidak
adanya gejala subjektif atau bahkan pada hilangnya tanda mengisebagai titik akhir dalam
3
menghentikan terapi untuk serangan yang akut, sejumlah besar penyakit residual akan terabaikan.
Berhentinya episode asma kerapkali ditandai dengan batuk yang menghasilkan lendir atau
mukus yang lengket seperti benang yang liat dan kerapkali berbentuk silinder dari saluran nafas
bagian distal ( spiral cruschmann ) yang jika diperiksa dengan mikroskop, kerapkali memperlihatkan
sel eosinofil serta kristal Charcot – Leyden.3
2.1.5. Diagnosis
Diagnosis asma pada seorang pasien yang kita curigai menderita asma dapat ditegakkan
berdasarkan 2:
a. Anamnesis
Riwayat perjalanan penyakit, faktor – faktor yang berpengaruh terhadap asma, riwayat keluarga,
riwayat adanya alergi, serta gejala klinis.
b. Pemeriksaan Fisik
Asma Persisten Gejala muncul setiap hari Lebih dari FEV1 atau PEF ≥ 60% - < 80%
Sedang Ditanda dengan 1 kali Variabilitas PEF > 30%
penggunaan short dalam 1
acting β2 – agonist minggu
Serangan asma
mempengaruhi aktifitas
Serangan asma terjadi
lebih dari atau sama
dengan 2 kali dalam 1
minggu
Asma Persisten Gejala muncul lebih dari Lebih dari FEV1 atau PEF ≥ 80%
Ringan 2 kali dalam 1 minggu, 2 kali dala Variabilitas PEF 20 – 30 %
tapi tidak setiap hari 1 bulan
Serangan asma dapat
mengganggu aktifitas
Asma Gejala muncul kurang Kurang FEV1 atau PEF ≥ 80%
Intermitten dari 2 kali dalam 1 dari atau Variabilitas PEF > 20%
Ringan minggu sama
Serangan berlangsung dengan 2
singkat. kali dalam
1 bulan
2. Menjauhkan pasien dari faktor – faktor yang yang dapat memperberat keadaan asma
Mengenali dan menghindari faktor – faktor yang dapat menjadi pencetus serangan asma ternyata
dapat memperbaiki keadaan wanita hamil yang menderita asma, karena dengan mengenali dan
menjauhi faktor – faktor tersebut, akan meminimalisir penggunaan obat – obatan.
3. Memberikan edukasi kepada pasien
Pasien hendaknya diberikan informasi dan pemahaman tentang penyakit asma yang diderita dan
pengaruhnya terhadap kehamilan, sehingga dengan informasi tersebut pasien dapat mengerti apa
saja yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya serangan asma akut selama kehamilan dan
juga mengenai cara penggunaan obat – obatan inhaler secara benar jika terjadi serangan.
4. Terapi Farmakologik
Wanita hamil dengan asma akan lebih aman menjalani pengobatan dengan menggunakan obat –
obatan asma untuk mencegah terjadinya serangan asma akut dan memperparah asma yang telah
2
ada. Hal ini bertujuan untuk menyelamatkan ibu maupun janin.
Derajat Asma Berdasarkan Gejala Klinis Yang Ada Sebelum Pengobatan yang diberikan untuk kontr
Pengobatan Atau Kontrol Yang Adekuat 2 jangka panjang
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, perjalanan penyakit asma dalam kehamilan sangat
sukar untuk diprediksi, kadang walaupun telah dilakukan pengobatan untuk mencegah terjadinya
serangan asma , namun ternyata tetap saja serangan asma dapat terjadi. Serangan ini haruslah
ditangani secara benar agar tidak berlanjut menjadi lebih buruk. Berikut ini adalah langkah –
langkah penanganan bila terjadi serangan asma pada wanita hamil :
1. Pada waktu terjadi serangan, penanganan awalnya adalah dengan memberikan
short acting β2 – agonist inhaler.
Respon baik
Lanjutkan pemberian short acting β 2 – agonist inhaler setiap 3 – 4 jam selama 24 – 48 jam. Pada
pasien yang manggunakan Kortikosteroid inhaler, dosis dinaikkan 2 kali lipat selama 7 – 10 hari.
Respon yang tidak sempurna
Lanjutkan terapi dengan menggunakan short acting β 2 – agonist inhaler, dan ditambah dengan
Kortikosteroid oral
Respon jelek
Ulangi pemberian short acting β2 – agonist inhaler secepatnya dan ditambah dengan pemberian
kortikosteroid oral.
Pada keadaan ini, penanganannya sama dengan penanganan pada wanita yang tidak hamil, yaitu
memberikan cairan intrvena, mengencerkan cairan sekresi di paru, oksigenasi ( setelah pengukuran
PO2 , CO2 ) sehingga tercapai PO2 > 60 mmHg dengan kejenuhan 95% oksigen atau normal, setelah
keadaan membaik, periksa kembali fungsi paru serta keadaan janin, kemudian berikan obat
kortikosteroid.
Pada status asmatikus dengan gagal nafas, jika setelah pengobatan intensif selama 30 – 60 menit
tidak terjadi perubahan, secepatnya dilakukan intubasi. Berikan antibiotik bila terdapat dugaan
infeksi.2
1. Asma adalah gangguan inflamasi kronik jalan nafas yang melibatkan berbagai sel inflamasi, dimana
yang mendasari gangguan ini adalah hiperaktivitas bronkhus dalam berbagai tingkat, obstruksi jalan
nafas, dan gejala pernafasan.
2. Gejala asma terdiri atas trias dispnea, batuk dan mengi ; gejala yang disebutkan terakhir ini kerap
kali dianggap sebagai gejala yang harus ada ( sine qua non ). Pada bentuk yang paling khas, asma
merupakan penyakit episodik dan keseluruhan tiga gejala tersebut terdapat bersama – sama.
3. Asma yang tidak terkontrol pada ibu hamil akan meningkatkan resiko kematian perinatal,
preeklampsia, kelahiran preterm, dan Bayi Berat Lahir Rendah ( BBLR ) ; besarnya
resiko ini tidak terlepas dari beratnya penyakit asma yang diderita oleh ibu
4. Tujuan dari manajemen asma selama kehamilan adalah mengontrol seoptimal mungkin gejala
asma, mencapai fungsi paru yang normal, pencegahan serangan asma dan mencegah komplikasi
pada ibu dan janin yang dikandung.
5. Empat komponen kunci dalam manajemen asma dalam kehamilan untuk dapat mengontrol asma
dalam kehamilan ; Pengukuran secara objektif yang bertujuan untuk pemeriksaan dan monitoring,
menjauhkan pasien dari faktor – faktor yang yang dapat memperberat keadaan asma, memberikan
edukasi kepada pasien dan terapi farmakologik.
DAFTAR PUSTAKA