Vous êtes sur la page 1sur 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tubuh manusia terdiri dari berbagai sistem, diantaranya adalah
sistem rangka, sistem pencernaan, sistem peredaran darah, sistem
pernafasan, sistem syaraf, sistem penginderaan, sistem otot, dan sebagainya.
Sistem tersebut saling terkait antara satu dengan yang lainnya dan berperan
dalam menyokong kehidupan manusia. Akan tetapi dalam ergonomi, sistem
yang paling berpengaruh adalah sistem otot, sistem rangka dan sistem
syaraf. Ketiga sistem ini sangat berpengaruh dalam ergonomi karena
manusia yang memegang peran sebagai pusat dalam ilmu ergonomi. Fungsi
utama dari sistem muskuloskeletal adalah untuk mendukung dan melindungi
tubuh dan organ-organnya serta untuk melakukan gerak (Kantana, 2010).

Keluhan pada sistem muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian-


bagian otot rangka yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan pada
bagian-bagian dari otot rangka yang dirasakan oleh seseorang mulai dari
keluhan sangat ringan sampai sangat sakit. Apabila otot menerima beban
statis secara berulang dan dalam waktu yang lama, akan dapat menyebabkan
keluhan berupa kerusakan pada sendi , ligamen atau tendon. Keluhan hingga
kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan keluhan
muskuloskeletal disorders (MSDs) atau cedera pada sistem muskuloskeletal
(Suratun, 2008).

Menurut Suhardjono (2001), penyakit ginjal kronik adalah suatu


proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan
penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan
penyakit ginjal. Pasien-pasien dengan kasus penyakit ginjal kronik
memerlukan terapi pengganti ginjal (Renal Replacement Therapy) antara
lain dengan hemodialisis, peritoneal dialisis, dan transplantasi ginjal.
Hemodialisis adalah salah satu modalitas utama untuk terapi pengganti
ginjal pada pasien dengan penyakit ginjal kronik. Keberhasilan hemodialisis
tergantung dari akses vaskular yang baik. Hal ini dapat dicapai melalui
akses vena perifer besar atau Tunneled Hemodialysis Catheter (double
lumen)/ Kateter Perkutan atau Internal A-V Shunt. Setiap pilihan tindakan
memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga pasien dapat menentukan
pemilihan prosedurnya. Kateter perkutan digunakan sebagai akses
hemodialisis sementara, sedangkan Internal A-V Shunt dan graft dipakai
sebagai akses permanen. Pada saat ini internal AV shunt merupakan
prosedur pilihan bagi pasien yang harus menjalani hemodialisis kronik
(Suhail, 2007).

Masalah dan komplikasi yang mungkin terjadi pada A-V Shunt adalah
(1) insufisiensi pada vena yang mengalami dilatasi, (2) Perdarahan pada
tahap awal pemasangan, (3) Trombosis, pada fase awal maupun lanjut, (4)
Aneurisma pada vena yang di-“shunt” sehingga bisa mempersulit
hemostasis jika berdarah, (5) Iskemia pada tangan dan “steal syndrome”, (6)
cardiac failure karena karena peningkatan preload jantung, (7) hipertensi
vena, yang bisa menyebabkan oedema (Davidson, 2007).

1.2 Tujuan
1.2.1 Mahasiswa mampu memahami aplikasi teknik penatalaksanaan di
bidang muskulskeletal
1.2.2 Mahasiswa mampu mengamati praktik dokter terhadap pasien
dengan gangguan muskuloskeletal
1.2.3 Mahasiswa mampu menjelaskan kronologi gangguan
muskuloskeletal dengann tatalaksana yang sesuai
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Luka
a. Definisi
Luka adalah keadaan hilang atau terputusnya kontinuitas jaringan
yang disebabkan banyak hal atau berbagai faktor. Luka adalah kerusakan
kontinuitas jaringan atau kuit, mukosa mambran dan tulang atau organ
tubuh lain (Kozier, 1995).
Luka adalah gangguan dari kondisi normal pada kulit (Taylor,
1997).
b. Jenis-jenis luka
Luka sering digambarkan berdasarkan bagaimana cara
mendapatkan luka itu dan menunjukan derajat luka (Taylor,1997).
(1) Berdasarkan derajat kontaminasi
(a) Luka bersih
Luka bersih adalah luka yang tidak terdapat inflamasi dan
infeksi, yang merupakan luka sayat elektif dan steril dimana luka
tersebut berpotensi untuk terinfeksi. Luka tidak ada kontak dengan
orofaring,traktus respiratorius maupun traktus
genitourinarius.dengan demikian kondisi luka tetap dalam keadaan
bersih. Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1%-5%.
(b) Luka bersih terkontaminasi
Luka bersih terkontaminasi adalah luka pembedahan dimana
saluran pernafasan, saluran pencernaan dan saluran perkemihan
dalam kondisi terkontrol. Proses penyembuhan luka akan lebih
lama namun luka tidak menunjukkan tanda infeksi. Kemungkinan
timbulnya infeksi luka sekitar 3% - 11%.
(c) Luka terkontaminasi
Luka terkontaminasi adalah luka yang berpotensi terinfeksi
spillage saluran pernafasan, saluran pencernaan dan saluran kemih.
Luka menunjukan tanda infeksi. Luka ini dapat ditemukan pada
luka terbuka karena trauma atau kecelakaan (luka laserasi), fraktur
terbuka maupun luka penetrasi. Kemungkinan infeksi luka 10% -
17%.
(d) Luka kotor
Luka kotor adalah luka lama, luka kecelakaan yang
mengandung jaringan mati dan luka dengan tanda infeksi seperti
cairan purulen. Luka ini bisa sebagai akibat pembedahan yang
sangat terkontaminasi. Bentuk luka seperti perforasi visera, abses
dan trauma lama.
(2) Berdasarkan penyebab
(a) Vulnus ekskoriasi atau luka lecet/gores adalah cedera pada
permukaan epidermis akibat bersentuhan dengan benda
berpermukaan kasar atau runcing. Luka ini banyak dijumpai pada
kejadian traumatik seperti kecelakaan lalu lintas, terjatuh maupun
benturan benda tajam ataupun tumpul.
(b) Vulnus scissum adalah luka sayat atau iris yang di tandai dengan
tepi luka berupa garis lurus dan beraturan. Vulnus scissum
biasanya dijumpai pada aktifitas sehari-hari seperti terkena pisau
dapur, sayatan benda tajam ( seng, kaca ), dimana bentuk luka
teratur.
(c) Vulnus laseratum atau luka robek adalah luka dengan tepi yang
tidak beraturan atau compang camping biasanya karena tarikan
atau goresan benda tumpul. Luka ini dapat kita jumpai pada
kejadian kecelakaan lalu lintas dimana bentuk luka tidak beraturan
dan kotor, kedalaman luka bisa menembus lapisan mukosa hingga
lapisan otot.
(d) Vulnus punctum atau luka tusuk adalah luka akibat tusukan benda
runcing yang biasanya kedalaman luka lebih dari pada lebarnya.
Misalnya tusukan pisau yang menembus lapisan otot, tusukan paku
dan benda-benda tajam lainnya. Kesemuanya menimbulkan efek
tusukan yang dalam dengan permukaan luka tidak begitu lebar.
(e) Vulnus morsum adalah luka karena gigitan binatang. Luka gigitan
hewan memiliki bentuk permukaan luka yang mengikuti gigi
hewan yang menggigit. Dengan kedalaman luka juga
menyesuaikan gigitan hewan tersebut.
(f) Vulnus combutio adalah luka karena terbakar oleh api atau cairan
panas maupun sengatan arus listrik. Vulnus combutio memiliki
bentuk luka yang tidak beraturan dengan permukaan luka yang
lebar dan warna kulit yang menghitam. Biasanya juga disertai bula
karena kerusakan epitel kulit dan mukosa.
c. Penyembuhan Luka
Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi
dan mamulihkan dirinya. Peningkatan aliran darah kedaerah yang rusak,
membersihkan sel dan benda asing serta perkembangan awal seluluer
bagian dari proses penyembuhan luka. Proses penyembuhan terjadi secara
normal tanpa bantuan, walaupun beberapa bahan perawatan dapat
membantu untuk mendukung proses penyembuhan. Sebagai contoh,
melindungi area luka yang bebas dari kotoran dengan menjaga
kebersihan,dapat membantu untuk meningkatkan penyembuhan jaringan
(Taylor,1997).
Penyembuhan luka didefinisikan oleh Wound Healing Society
(WHS) sebagai suatu yang kompleks dan dinamis sebagai akibat dari
pengembalian kontinitas dan fungsi anatomi. Berdasarkan WHS suatu
penyembuhan luka yang ideal adalah kembali normalnya struktur , fungsi
dan anatomi kulit. Batas waktu penyembuhan luka ditentukan oleh tipe
luka dan lingkungan instrinsik maupun ekstrinsik. Penyembuhan luka bisa
berlangsung cepat. Pada luka bedah dapat diketahui adanya sintesis
kolagen dengan melihat adanya jembatan penyembuhan dibawah jahitan
yang mulai menyatu. Jembatan penyembuhan ini muncul pada hari kelima
sampai ketujuh post operasi (Black & Jacobs, 1997).
Jahitan biasanya diangkat pada saat sudah terlihat adanya tensil
strengt yang mendekatkan tepi luka. Pengangkatan jahitan ini tergantung
usia, status nutrisi dan lokasi luka. Jahitan biasanya diangkat pada hari ke
enam sampai ketujuh post operasi untuk menghindari terbentuknya bekas
jahitan (suture marks) walaupun pembentukan kolagen sampai jahitan
menyatu berakhir hari ke-21 (Taylor,C,1997).
Kolagen sebagai jembatan penyembuhan ini muncul pada hari ke-5
sampai ke-7 post operasi. Bila lebih dari 7 hari berarti terjadi perlambatan
sintesis kolagen yang berarti penyembuhan luka lambat (Black & Jacobs,
1997).
Suatu luka bersih akan tetap bersih bila dilakukan persiapan
operasi yang baik dan tehnik pembedahan yang baik serta perawatan luka
post operasi yang baik pula. Pemberian antibiotik peroral yang adekuat
mampu mencegah terjadinya infeksi sehingga meski tanpa cairan
antiseptik proses penyembuhan luka dapat tetap terjadi (Kartono, dikutip
oleh Oetomo, 1994).
2.2 Perawatan Luka
a. Gunakan dua pasang sarung tangan tidak steril, kasa steril ukuran 4×4 ,
normal salin (Nacl 0,9%) steril.
b. Sarung tangan pertama digunakan untuk membuka bantuan luka yang
kotor, kemudian lepaskan dan cuci tangan.
c. Buka peralatan steril menggunakan tehnik steril.
d. Kenakan sarung tangan kedua, tuang normal saline di atas luka dengan
menampung waskom dibawah luka.
e. Pegang kasa steril pada sisanya/pinggir luka, bagian depan (yang
menyentuh luka) jangan samapai tersentuh oleh tangan yang mengenakan
sarung tanga tidak steril.
f. Bersihkan luka dengan gerakan sirkuler/ melingkar diawali dari bagian
dalam luka kearah luar. Untuk tiap putaran kasa diganti dengan yang baru.
g. Bersihkan dan keringkan juga disekeliling luka.
h. Tutup kembali luka dengan meletakkan balutan di atasnya, pegang
sisi/sudut balutan penutup dan letakkan bagian yang tidak tersentuh di atas
permukaan luka.
i. Tutup dengan balutan transparan, tulis tunggal, jam dan initial balutan.
Gunakan Sodium Clorida 0,9% untuk irigasi dan bersihkan luka.
Minimalkan trauma dengan gosokan luka secra hati-hati. Ganti balutan
baru setiap kali membersihkan luka
2.3 Nekrotomi
Nekrotomi adalah sebuah tindakan pembedahan lokal yang
dilakukan pada penderita ulkus diabetik dengan cara pengangkatan jaringan
mati dari suatu luka, jaringan mati tersebut dapat dilihat, warna lebih terlihat
pucat, cokelat muda bahkan berwarna hitam basah atau kering. (Price, 2009)
BAB III
METODE KERJA

3.1 Alat dan Bahan


a. Ballpoint
b. Kertas folio
c. Papan jalan
d. Rekam medis

3.2 Prosedur Kerja


Prosedur kerja yang dilakukan dalam field lab kali ini, yakni :
1. Mahasiswa berkumpul di Gedung Q Universitas Muhammadiyah
Purwokerto sembari mempersiapkan segala keperluan untuk pelaksanaan
field lab di Rumah Sakit Islam Purwokerto (RSIP), sekitar pukul 10.30
WIB.
2. Mahasiswa kemudian berangkat ke RSIP menggunakan kendaraan
operasional FK UMP.
3. Mahasiswa disambut oleh preseptor lapangan dan diberi arahan untuk
prosedural selama field lab yang dibagi ke dalam 2 kelompok yakni
kelompok di poli bedah dan di Instalasi Bedah Sentral.
4. Mahasiswa secara bergantian masuk ke poli bedah dan mengamati
pemaparan kondisi pasien, komunikasi dokter-pasien, dan tindakan yang
dilakukan dokter terhadap kondisi pasien.
5. Mahasiswa menulis hasil pengamatan dalam bentuk catatatn kecil untuk
dibuat laporan sementara berdasarkan info yang terkandung didalam
rekam medis pasien (setelah mendapat izin dari ahli hukum kedokteran
dan petugas yang mengurusi rekam medis di Poli Bedah).
6. Mahasiswa melakukan dokumentasi berupa foto kegiatan bersama
preseptor fakultas sebelum kepulangan ke Gedung Q Universitas
Muhammadiyah Purwokerto
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Identitas pasien
Nama : Tn. K
Tanggal lahir / umur : 18 Februari 1968 / 49 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Nomor rekam medis : 096510
Keluhan utama : Nyeri pada 1/3 proximal lengan kiri bawah
Riwayat penyakit : Penyakit ginjal kronik, telah dilakukan tindakan
AV Shunt
Tindakan dokter : Dilakukan anamnesis singkat, lalu mengamati
kondisi lokasi tindakan AV Shunt dan
memberikan instruksi kepada perawat untuk
melakukan tindakan nekrotomi. Dianjurkan
kepada keluarga yang mengantar untuk dilakukan
rawat inap terhadap pasien.

4.2 Pembahasan

Tn. S (49 th) datang ke Rumah Sakit Islam Purwokerto dengan


keluhan nyeri pada 1/3 proximal lengan kiri bawah setelah sebelumnya
dilakukan tindakan AV Shunt oleh dokter bedah. Dari hasil aloanamnesis
terhadap anak pasien, diperoleh info bahwa pasien mengeluh nyeri setelah
sebelumnya salah dalam posisi tidur. Hal ini dapat menyebabkan tekanan
yang berlebihan terhadap daerah yang telah dilakukan tindakan AV Shunt
tersebut sehingga kestabilan daerah tersebut terganggu yang berakibat pada
reseptor nyeri yang tertekan dan menimbulkan nyeri. Menurut dokter yang
melakukan pemeriksaan, perlu adanya pengawasan yang yang berkelanjutan
terhadap gaya hidup pasien terutama aktivitas yang melibatkan otot dan
tulang. Selain itu tindakan AV Shunt dilakukan denagn indikasiadanya
ruptur pada pembuluh darah di 1/3 proximal lengan kiri. Tindakan
nekrotomi yang dilakukan oleh perawat bertujuan untuk membersihkan
jaringan nekrotik yang berada pada daerah perlukaan akibat tindakan AV
Shunt. Hal ini selain untuk melindungi dari invasi bakteri lebih lanjut juga
untuk mempercepat perbaikan daerah perlukaan setelah dilakukan tindakan
AV Shunt. Selain itu, dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan edema pada
lengan bawah. Edema yang terjadi diakibatkan oleh timbulnya gangguan
sirkulasi darah ke area lengan bawah yang dapat diakibatkan oleh ruptur
pembuluh darah dan tindakan AV Shunt itu sendiri. Penggunaan bebat
dilakukan untuk kondisi edema yang terjadi. Pengguan bebat terhadap
pasien cukup baik. Tindakan nekrotomi terhadap pasien kurang begitu baik.
Hal ini setelah perawat tidak menggunakan handscoon dalam prosedur
nekrotomi tersebut. Tindakan pemeriksaan kondisi daerah perlukaan oleh
dokter sudah baik dan memperhatikan kesterilan tindakan, namun tidak
melakukan tindakan hand washing.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Tindakan tatalaksana di bidang muskuloskeletal tidak hanya


mencakup tatalaksana terhadap gangguan yang timbul di bidang itu sendiri.
Semua penyakit yang menimbulkan manifestasi gangguan pada sistem
muskuloskeletal perlu dilakukan tindakan tatalaksana muskuloskeletal.
Dalam field lab kali ini, mahasiswa mendapat kasus pasien dengan riwayat
penyakit ginjal kronik yang telah dilakukan tindakan AV Shunt. Dari hasil
pengamatan yang mahasiswa lakukan, komunikasi antara dokter-pasien
terjalin dengan cukup baik sehingga pesan yang disampaikan oleh dokter
dapat diterima dengan baik oleh pasien dan tindakan terhadap pasien pun
dapat mendapat persetujuan dari pasie tersebut. Tindakan muskuloskeletal
yang dilakukan untuk pasien tersebut adalah pemasangan bebat (sebelum
pasien datang pada tanggal 25 juli 2017) dan penutupan luka setelah
tindakan AV Shunt dilakukan akibat ruptur pembuluh darah. Tindakan
nyata yang dilakukan saat field lab berlangsung adalah nekrotomi oleh
perawat yang bertujuan untuk mebersihkan jaringan nekrotik yang berada
pada daerah yang mengalami perlukaan setelah tindakan AV Shunt.

5.2 Saran

Setelah mengamati tindakan yang dilakukan oleh dokter dalam


anamnesis dan pemeriksaan fisik, mahasiswa menyadari untuk lebih
memperdalam kualitas kelimuan dalam kaitan gangguan di sistem
muskuloskeletal maupun penyakit yang dapat menimbulkan komplikasi ke
sistem muskuloskeletal. Selain itu perlu untuk memantakan kembali
professional behaviour sebelum, selama, dan setelah tindakan terutama
dalam masalah kesterilan tindakan mengingat rentan terjadi infeksi
nosokomial.
DAFTAR PUSTAKA
Brenner BM, Lazarus JM. 2000. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3
Edisi13. Jakarta : EGC.
Mansjoer A, et al. 2002. Penyakit Ginjal Kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid
II Edisi 3. Jakarta : Media Aesculapius FKUI.
Suhardjono, Lydia. A, Kapojos E.J., Sidabutar R.P. 2001. Penyakit ginjal Kronik.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta : FKUI.
Suwitra, K. 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI.
Tierney, L.M., et al. 2003. Penyakit Ginjal Kronik. Diagnosis dan Terapi
Kedokteran Penyakit Dalam Buku 1. Jakarta : Salemba Medika.
Adamson JW (ed). 2005. Iron Deficiency and Another Hipoproliferative Anemias
in Harrison’s Principles of Internal Medicine 16 th edition vol 1. McGraw-
Hill Companies.
Davidson, I., Gallieni, M., Saxena, R., Dolmatch, B. 2007. A patient centered
decision making dialysis access algorithm. J Vasc Access.
Khwaja, K.O. 2009. Dialysis Access Procedure in Atlas of Organ Transplantation
2nd ed. Editor: Humar A, Matas AJ, Payne WD. London : Springer.
Sidawy AN. 2005. Arteriovenous Haemodialysis Access in Rutherford: Vascular
Surgery, 6th ed. Editor: Rutherford RB. New York : Elsevier.
Suhail, A., Madhukar, M., Hoenich, N. and John, T. D. 2007. Hemodialysis
Apparatus, Daugirdas John T., Blake peter G., and Ing Todd S., Handbook
of dialysis 4th edition. USA : Lippincott Williams & Wilkins.

Vous aimerez peut-être aussi