Vous êtes sur la page 1sur 35

BAB II

PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA

A. Sejarah Persaingan Usaha di Indonesia Sebelum Lahirnya Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat

Dalam alinea IV pembukaan UUD 1945 jelas termaktub bahwa

tujuan pembangunan nasional adalah untuk melindungi segenap bangsa

dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia

yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

A. Effendy Choirie menyatakan bahwa dalam bidang perekonomian,

sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 yang menghendaki

kemakmuran masyarakat secara merata, bukan kemakmuran secara

individu. Secara yuridis melalui norma hukum dasar (state gerund gezet),

sistem perekonomian yang diinginkan adalah sistem yang menggunakan

prinsip keseimbangan, keselarasan, serta memberi kesempatan usaha

bersama bagi setiap warga negara. Secara tegas, pasal 33 UUD 1945

merupakan konsep dasar dari perekonomian nasional yang menurut

Mohammad Hatta berdasarkan sosialis kooperatif.1

1
A. Effendi Choirie, 2003, Privatisasi Versus Neo Sosialisme Indonesia, (Pustaka LP3ES,
Jakarta, hal. 100), dalam Mustafa Kamal Rokan, Op-Cit, hal. 12.

90
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 33 di atas, Mohammad Hatta

berpendapat bahwa demokrasi ekonomi bertujuan untuk mewujudkan

kemakmuran masyarakat, bukan kemakmuran individu yang dibolehkan

dalam sistem kapitalis. Dengan demikian, Hatta mengidentikkan

demokrasi ekonomi dengan kemakmuran masyarakat dan bukan

kemakmuran individu. Dengan kata lain, demokrasi ekonomi sama dengan

tidak adanya kesenjangan ekonomi atas terwujudnya keadilan ekonomi

dalam masyarakat. 2

Pembangunan ekonomi Indonesia haruslah bertitik tolak dan

berorientasi pada pencapaian tujuan kemakmuran dan kesejahteraan

rakyat.yang diwujudkan melalui demokrasi ekonomi sebagaimana

dikehendaki berjalan seiring dengan kehendak untuk menciptakan

demokrasi plitik, dimana rakyat Indonesia berdaulat di tanah dan

negerinya sendiri, yakni Indonesia.3

Berkaitan dengan peranan negara dalam kehidupan ekonomi, maka

Didik J. Rachbini menyatakan bahwa hal tersbut sebagai sesuatu yang

tidak bisa dielakkan, hal ini dikarenakan semakin tingginya keterkaitan

sektor ekonomi dengan sektor-sektor kehidupan yang lain, sehingga tidak

satu pun sistem ideologi yang ada yang mampu menjelaskannya, bahkan

sistem yang paling liberal sekali pun. Di samping itu, peranan pemerintah

dalam kehidupan ekonomi untuk mengurangi pengaruh negatif dari

2
Hatta dalam Zulfikri Suleman, 2010, Demokrasi untuk Indonesia: Pemikiran Politik
Bung Hatta, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, hal. 216.
3
Mustafa Kamal Rokan, Op-Cit, hal. 13.

91
kegagalan pasar (market failure) dan kekakuan harga serta untuk

mengatasi kerusakan lingkungan alam dan sosial, sehingga campur tangan

negara dalam kehidupan ekonomi khususnya yang menyangkut hajat hidup

orang banyak, merupakan suatu hal yang sangat diperlukan.4

Secara sosio ekonomi, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

adalah dalam rangka untuk menciptakan landasan ekonomi yang kuat

untuk menciptakan perekonomian yang efisien dan bebas dari pasar.

Dalam kajian ekonomi dipahami bahwa strategi ekonomi pembangunan

pada saat tersebut lebih berorientasi pada pertumbuhan yang antara lain

menggunakan strategi substitusi impor. Dalam hal pendistribusian barang,

hanya dikuasai oleh orang-orang tertentu. 5

Didik J. Rahbini menyatakan bahwa pada masa orde baru, sistem

ekonomi dilindungi dengan sentralisasi yang kuat, kebijakan bersifat

monopoli, perburuan rente ekonomi pemberian lisensi khusus untuk

golongan tertentu saja. Politik dan kebijakan ekonomi seperti itu

menghasilkan kesenjangan antar golongan kecil yang mendapat

kesempatan khusus dari kekuasaan dengan masyarakat luas yang

kehilangan akses terhadap sumber-sumber ekonomi.6 Pada masa itu,

berbagai kasus monpoli terjadi, misalnya kasus monopoli perdagangan

4
Didik j. Rachbini, 1992, Peranan Ekonomi Negara: Tinjauan Teoritis dan Praktis,
Prisma Nomor 2, Tahun XXI, hal. 4-5, dalam Zulfikri Suleman, Ibid., hal. 217-218.
5
Mustafa Kamal Rokan, Op-Cit, hal. 15.
6
Didik J. Rahbini, Ekonomi Informal di Tengah Kegagalan Negara, (Kompas, 15 April
2006), dalam Mustafa Kamal Rokan, Loc-Cit.

92
tepung terigu,7 maupun kasus monopoli pemasaran baja,8 yang puncaknya

terjadi krisis ekonomi di tahun 1998.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengenai Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat merupakan salah

satu produk undang-undang yang dilahirkan atas desakan dari International

Monetary Fund (IMF) sebagai salah satu syarat agar pemerintah Indonesia

dapat memperoleh bantuan dari IMF guna mengatasi krisis ekonomi yang

melanda Indonesia.9

A.1. Tujuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan anti

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Dalam penjelasan Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999 diuraikan

bahwa peluang-peluang usaha yang tercipta selama tiga dasawarsa yang

lalu yang dalam kenyataannya belum membuat seluruh masyarakat mampu

dan dapat berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sekot ekonomi.

Perkembangan usaha swasta selama periode tersebut, di satu sisi diwarnai

7
Kasus monopoli perdagangan terigu dalam hal ini dimulai dari penunjukan Badan Urusan
Logistik (BULOG) kepada PT. Bogasari Flour Mills untuk mengolah biji gandum. Kebijakan ini
bertujuan untuk mecegah Bogasari menyalahgunakan kekuatan monopolinya untuk menentukan
harga yang tinggi. Nsmun, Bulog sendiri menetapkan harga gandum yang tergantung dar
Bogasari. Bogasari informasi. Bogasari dalam hal ini cenderung membuat harga tinggi.
Dikarenakan tidak mendapatkan keuntungan yang maksimal, maka PT. Bogasari Flour Mills
melakukan diversifikasi usaha ke hilir, sehingga akhirnya memonopoli industri tepung terigu dari
hulu ke hilir, dimana akhirnya pasar tepung terigu tertutup bagi pelaku usaha lain.
8
Kasus monopoli perdagangan baja dalam hal ini dilakukan oleh PT. Krakatau Steel
Cilegon. Perusahaan dalam hal ini mendirikan PT. CRMI (Cold Rolling Mill Indonesia) yang
menguasai pengadaan baja lembaran Canai. Monopoli ini membuat pengusaha otomotif menjerit,
hal ini disebabkan harga yang sangat mahal dan tidak mempunyai alternatif biaya murah, termasuk
jika harus impor ke luar negeri, hal ini disebabkan izin impor juga tidak diberikan.
9
Destivano Wibowo dan Harjon Sinaga, 2005, Hukum Acara Persaingan Usaha, PT.
RadjaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 1.

93
oleh berbagai bentuk kebijakan pemerintah yang kurang tepat, sehingga

pasar menjadi terdistorsi. Di sisi lain, perkembangan usaha swasta dalam

kenyataannya sebagian besar merupakan perwujudan dari kondisi

persaingan usaha yang tidak sehat.

Fenomena tersebut telah berkembang dan didukung oleh adanya

hubungan yang terkait antar pengambil keputusan dengan para pelaku

usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga telah

memperburuk keadaan. Penyelenggaraan ekonomi nasional kurang

mengacu pada amanat ketentuan Pasal 33 UUD 1945, serta cenderung

menunjukkan corak yang sangat monopolistik.

Tujuan adanya undang-undang nomor 5 Tahun 1999 ini adalah

untuk memangkas praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak

sehat yang terjadi di Indonesia pada zaman pemerintahan orde baru,

dimana praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat tersebut

banyak terjadi akibat kebijakan pemerintah yang kerap kali

menguntungkan pelaku usaha tertentu saja. Sebenarnya Indonesia telah

memiliki rancangan undang-undang anti monopoli yang disusun oleh

pelaku usaha dengan para ekonom Indonesia pada akhir tahun 80-an, yang

apabila disahkan, dapat digunakan sebagai landasan hukum penghapusan

praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat waktu itu.

Namun, karena adanya tekanan dari penguasa, maka rancangan undang-

94
undang anti monopoli tersebut tidak pernah dibahas oleh pemerintah

dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menjadi undang-undang.10

A.2. Pengaturan Persaingan Usaha Sebelum Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999.

Masalah larangan anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat,

selama ini (sebelum diaturnya dalam undang-undang nomor 5 tahun 1999),

secara eksplisit maupun implisit terdapat dalam berbagai peraturan yang

ada di Indonesia, yaitu:

a. Pasal 382 bis WVS. (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), yang

berbunyi:

“Barang siapa mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil


perdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan
perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seseorang
tertentu, diancam karena persaingan curang dengan pidana paling
lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak Rp. 13.500,00
jika hal tersebut dapat menimbulkan kerugian bagi saingannya sendiri
atau saingan ornag lain:”.
Dari ketentuan di atas, untuk dapat dikatagorikan persaingan tidak

sehat (yang dalam hal ini disebut sebagai persaingan curang), jika:

1) Terjadinya suatu tindakan tertentu yang dapat dikatagorikan sebagai

persaingan curang.

2) Perbuatan persaingan curang dilakukan dalam rangka untuk

mendapatkan hasil perdagangan atau perusahaan, melangsungkan

10
Destivano Wibowo dan Harjon Sinaga, Ibid.

95
hasil perdagangan atau perusahaan, maupun memperluas hasil

perdagangan atau perusahaan.

b. Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

“Setiap perbuatan yang melanggar hukum dan membuat kerugian

kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan suatu

kerugian tersebut karena kesalahannya untuk mengganti kerugian

tersebut”.

c. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

(Ketetapan MPR RI)

1) Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1973 tentang GBHN

mengenai pembangunan ekonomi.

2) Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1978 tentang GBHN pada

bidang pembangunan ekonomi pada sub bidang Usaha Swasta

dan Usaha Golongan Ekonomi Lemah.

3) Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/1983 tentang GBHN pada

Bidang Pembanguan Ekonomi Sub Bidang Dunia Usaha Swasta

Nasional dan Usaha Golongan Ekonomi Lemah.

4) Ketetapan MPR RI nomor II/MPR/1988 tentang GBHN pada

Bidang Pembangunan Ekonomi Sub Bidang Dunia Usaha

Nasional.

96
5) Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/1993 tentang GBHN pada

Bidang Pembangunan Ekonomi Sub Bidang Usaha Nasional.

6) Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN pada

Kondisi Umum.

d. Pasal 13 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Pokok Agraria.

“Pemerintah harus mencegah usaha-usaha organisasi-organisasi dan

perseorangan yang bersifat monopoli swasta”. Dalam Pasal 13 Ayat

(3) juga disebutkan bahwa ”monopoli pemerintah dalam lapangan

agraria dapat diselenggarakan, asal dilakukan berdasarkan undang-

undang”.

e. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian.

“Kewenangan pemerintah untuk melakukan pengaturan, pembinaan


dan pengembangan terhadap industri untuk mewujudkan
pengembangan industri yang lebih baik, secara sehat dan berhasil
guna, mengembangkan persaingan yang baik dan sehat serta
mencegah persaingan tidak jujur, mencegah pemutusan atau
penguasaan industri oleh satu kelompok atau perorangan dalam
bentuk monopoli yang merugikan masyarakat”.

f. Pasal 81 dan 82 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang

Merek yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 14 Tahun

1997.

97
Pasal ini pada intinya melarang setiap orang yang dengan sengaja

dan tanpa hak menggunakan merek yang sama dengan merek

terdaftar milik orang lain atau milik badan hukum untuk barang dan

jasa yang sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan.

g. Pasal 15 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1992

tentang Bank Umum.

Pasal ini menyebutkan bahwa merger dan konsolidasi hanya dapat

dilakukan setelah ada izin dari menteri keuangan.

h. Pasal 104 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang

Perseroan Terbatas.

“Bahwa penggabungan, peleburan dan pengambilalihan perseroan

harus memperhatikan: (a) kepentingan perseroan, pemegang saham

monoritas dan karyawan perusahaan, (b) kepentingan masyarakat

dan persaingan sehat dalam melakukan usaha. Ketentuan ini

mengaskan bahwa penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi)

dan pengambilalihan (akuisisi) tidak dapat dilakukan jika merugikan

kepentingan pihak-pihak tertentu dan harus dicegah agar tidak terjadi

berbagai bentuk monopoli dan monopsomi.”

i. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.

Undang-undang ini menyatakan bahwa pemerintah harus menjaga

iklim usaha dalam kaitannya dengan persaingan dengan membuat

98
peraturan-peraturan yang diperlukan. Untuk melindungi usaha kecil,

pemerintah juga harus mencegah pembentukan struktur pasar yang

mengarah pada pembentukan monopoli, oligopoli dan monopsoni.

j. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.

Pasal ini melarang adanya ketentuan yang menghambat adanya

persaingan sehat dalam pasar modal.

k. Pasal 4 huruf (b) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998

tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan

Terbatas.

Dalam pasal 4 huruf (b) Peraturan Pemerintah ini disebutkan bahwa

penggabungan, peleburan dan pengambilalihan perusahaan, hanya

dapat dilakukan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan

persaingan usaha.

. B. Pengaturan Hukum Persaingan Usaha dalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999

B.1. Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

B .1.1. Larangan Praktek Monopoli.

Persaingan dalam pasar dan mekanisme pasar dapat

membentuk beberapa jenis pasar. Ada yang disebut dengan pasar

99
persaingan sempurna (perfect competition market), pasar monopoli

maupun pasar oligopoli.

Persaingan sempurna adalah struktur pasar yang paling ideal

karena sistem pasar ini adalah struktur pasar yang akan menjamin

terwujudnya kegiatan memproduksi barang dan jasa yang sangat

tinggi efisiensinya.

Empat asumsi yang melandasi agar terjadinya persaingan

sempurna pada suatu pasar tertentu, yaitu:

a. Pelaku usaha tidak dapat menentukan secara sepihak harga atas

produk atau jasa. Adapun yang menentukan harga adalah pasar

berdasarkan ekuilibrium permintaan dan penawaran (supply and

demand). Dengan demikian, pelaku pasar dalam pasar persaingan

sempurna tidak bertindak sebagai price maker melainkan hanya

bertindak sebagai price taker.

b. Barang dan atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha adalah

betul-betul sama (product homogeneity).

c. Pelaku usaha mempunyai kebebasan untuk masuk atau keluar

pasar (perfect mobility of resources).

d. Konsumen dan pelaku usaha memiliki informasi yang sempurna

(perfect information) tentang berbagai hal, diantaranya kesukaan,

tingkat pendapatan, biaya dan teknologi yang digunakan untuk

100
menghasilkan barang dan jasa.11 Selain empat asumsi di atas,

Soeharno menambahkan bahwa ciri pasar persaingan sempurna

adalah penjual dan pembeli secara individu tidak dapat

mempengaruhi harga (price taker).12

Tati Suhartati Joesron dan M. Fathorrazi berpendapat

bahwa suatu pasar dapat dikatakan sebagai pasar persaingan

sempurna atau perfect competition jika memenuhi syarat sebagai

berikut:

a. Terdiri dari banyak penjual dan banyak pembeli.

Hal ini menyebabkan perilaku penjual atau pembeli tidak dapat

mempengaruhi keadaan pasar, karena ia merupakan bagian

kecil dari keseluruhan yang ada di pasar. Seorang penjual atau

pembeli dikatakan sebagai pengikut harga (price taker)

sehingga harga di pasar bersifat datum, artinya berapapun

jumlah barang yang dijual di pasar, harganya akan tetap. Harga

pasar ditentukan oleh bekerjanya mekanisme pasar yaitu oleh

interaksi antara seluruh penjual dan pembeli yang ada di pasar.

b. Adanya kebebasan untuk membuka dan menutup perusahaan

(free entry and free exit).

11
Robert S. Pindyck and Daniel L. Rubinfel, Microeconomics, 4 ed, (USA:Prentice Hall
International Inc 1998), hlm. 283-284, dalam Hikmahanto Juwana, Hukum Ekonomi dan Hukum
Internasional, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 51, dalam Mustafa Kamal Rokan, Op-Cit, hlm.
3-4.
12
Soeharno, 2007, Ekonomi Manajerial, CV. Andi Offset, Jakarta, hal. 172.

101
Dalam hal ini tidak ada hambatan yang menghalangi suatu

perusahaan untuk memulai usaha baru jika dianggap

menguntungkan dan menutup usahanya jika dianggap

merugikan, baik secara legal maupun bentuk hambatan

lainnya.

c. Barang yang diperjual belikan bersifat homogen.

Dalam hal ini barang yang dihasilkan merupakan pengganti

yang sempurna terhadap barang yang dihasilkan oleh produsen

lain dalam semua segi. Homogenitas barang yang dihasilkan

ini ditentukan oleh konsumen dan bukan dilihat dari spesifikasi

tekhnis saja.

d. Penjual dan pembeli mempunyai pengetahuan yang sempurna

tentang keadaan pasar.

Dalam hal ini penjual dan pembeli mempunyai pengetahuan

yang sempurna tentang keadaan pasar, yaitu mengetahui

tingkat harga yang berlaku di pasar dan perubahan-

perubahannya. Adanya inforrmasi yang lengkap tentang pasar

(perfect knowledge) ini mengakibatkan:

1) Tidak ada penjual yang menjual dengan harga yang lebih

rendah dari harga pasar.

102
2) Tidak ada pembeli yang membeli dengan harga yang lebih

dari harga pasar.

3) Tidak ada sumber daya yang digunakan untuk berproduksi

yang kurang menguntungkan daripada yang lain.

e. Mobilitas sumber ekonomi yang cukup sempurna.

Dalam hal ini faktor produksi dapat dipindahkan dari satu ke

lain tempat tanpa adanya hambatan apapun13.

Monopoli14 tidak hanya diartikan mencakup struktur pasar


dengan hanya ada satu pemasok atau pembeli di pasar bersangkutan,
hal mana dikarenakan struktur pasar (yang hanya satu pemasok)
jarang sekali terjadi. Menurut Pasal 17 ayat 2 Undang-undang nomor
5 Tahun 1999, bahwa pelaku usaha patut diduga atau dianggap
melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan
atau jasa, jika barang dan atau jasa yang dimaksud belum ada
substitusinya, mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke
dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama, atau saru
pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai pangsa
pasar lebih dari 50 persen terhadap satu jenis barang atau jasa
tertentu.
13
Tati Suhartati Joesron dan M.Fathorrazi, 2012, Teori Ekonomi Mikro: Dilengkapi
Beberapa Bentuk Fungsi Produksi, Graha Ilmu, Yogyakarta, hlm. 153-154.
14
Black Law Dictionary mengartikan : “monopoly is a privilege or peculiar advantage
vested in one or more persons or companies consisting in the exclusive right (or power) to carry
on a particular business on trade, manufacture a particular article, or control the sale of the
whole supply of a particular commodity. A form of market structure in which one or only a few
dominate the total sales of product or service”. Pasal 1 angka (1) Undang-undang nomor 5 Tahun
1999, mengartikan bahwa monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang
dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
Sedangkan pengertian praktik monopoli yang terdapat dalam Pasal 1 angka (2) adalah pemusatan
kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi
dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha
tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.

103
Monopoli dapat terjadi dengan dua cara, yaitu:

a. Monopoli alamiah (natural monopoly)

Monopoli alamiah terjadi akibat kemampuan seseorang atau

sekelompok pelaku usaha yang mempunyai satu kelebihan

tertentu, sehingga membuat pelaku usaha lain kalah bersaing.

b. Monopoli berdasarkan hukum (monopoly by law)

Monopoly by law, yakni monopoli yang berasal dari pemberian

negara seperti yang termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945, yang

selanjuutnya dilindungi oleh peraturan perundang-undangan,

misalnya pada Perusahaan Listrik Negara, Pertamina, dan lain

sebagainya.15

Pasar monopoli adalah suatu bentuk pasar dimana hanya

terdapat satu perusahaan saja yang menghasilkan barang yang tidak

dipunyai barang pengganti perusahaan, tidak mempunyai barang

pengganti yang mirip, tidak terdapat kemungkinan untuk masuk ke

dalam industri, dapat menguasai penentuan harga serta promosi iklan

kurang diperlukan. Pasar monopli dapar diartikan sebagai suatu

model pasar yang mempunyai ciri hanya terdapat satu penjual di

pasar, output yang dihasilkan oleh produsen bersifat lain, tidak

mempunyai barang pengganti yang sangat dekat, di pasar ada

15
Mustafa Kamal Rokan, Ibid., hal. 9-10.

104
rintangan bagi produsen lain untuk memasukinya (barries to entry).16

Pasar monopoli merupakan kebalikan dari pasar persaingan

sempurna, sedangkan pasar-pasar lainnya berada di antaranya,

seperti tergambar berikut:

PASAR PERSAINGAN SEMPURNA PASAR MONOPOLI

PASAR LAINNYA

Faktor-faktor yang memungkinkan untuk dapat terjadi

monopoli, adalah:

a. Produsen mempunyai hak paten untuk output yang dihasilkan,

seperti hak pengarang, merek dagang, nama dagang.

b. Produsen memiliki salah satu sumber daya yang penting dan

merahasiakannya atau produsen memiliki pengetahuan yang lain

daripada yang lain tentang teknis produksi.

c. Pemberian izin khusus oleh pemerintah pada produsen tententu

untuk mengelola suatu usaha tertentu. Contoh konkrit adalah hak

pengusahaan hutan, perusahaan kereta api, bis, listrik dan PLN.

16
Tati Suhartati Joesron dan M. Fathorrazi, Op.Cit., hal. 173.

105
d. Ukuran pasar begiitu kecil untuk dilayani lebih dari satu

perusahaan yang mengoperasikan skala perusahaan optimum.

Dalam kenyataannya seringkali didapatkan pasar yang hanya

mungkin untuk dilayani oleh suatu perusahaan saja yang

mengoperasikan skala produksi optimum, contohnya dalam

bidang transportasi, listrik dan komunikasi. Pasar monopoli yang

muncul sering disebut dengan monopoli alami.

e. Produsen menerapkan kebijaksanaan pembatasan harga (limit

pricing policy). Kebijaksanaan pembatasan harga (penetapan

harga sampai pada satu tingkat yang serendah mungkin)

dimaksudkan agar suapaya perusahaan baru tidak ikut memasuki

pasar. Kebijaksanaan harga biasanya bersamaan dengan

kebijaksanaan promosi penjualan secara besar-besaran dan juga

kebijaksanaan diferensisasi output.17

Sedangkan monopoli , akan berakibat antara lain:

a. Menjadikan harga jual lebih tinggi, sedangkan barang yang dijual

lebih sedikit, sehingga konsumen dalam hal ini akan dirugikan.

b. Menjadikan produksi tidak efisien.

c. Kapasitas produksi dan sumber daya tidak digunakan secara

penuh dan ekonomis.

17
Ibid., hal. 174.

106
d. Biasanya akan berakibat terjadinya pasar “baru” seperti pasar yang

bersifat kolusif, boikot, refuse pesaing dan konsumen dalam

rangka mempertahankan kekuatan ekonomi.18

Adanya monopoli dpat merusak sifat-sifat efisiensi dari

sistem harga persaingan. Hal ini dikarenakan monopoli dapat

mempengaruhi harga pasar, perusahaan tersebut mungkin

berkepentingan untuk membatasi keluaran dengan tujuan untuk

mendapatkan harga yang lebih tinggi daripada yang tersedia dalam

harga persaingan.19

Efisiensi dalam hal ini dapat dibagi dalam dua macam, yakni

productive efficiency dan allocative efficiency. Productive efficiency

adalah efisiensi bagi pelaku usaha dalam memproduksi barang dan

jasa. Sedangkan allocative efficiency berarti efisiensi bagi konsumen

dalam membeli barang dan jasa pelaku usaha.20

Monopoli memiliki pengaruh yang tidak diinginkan terhadap

distribusi,. Monopolisasi sebuah pasar menciptakan kemungkinan

untuk pengalihan yang berarti surplus konsumen ke dalam laba

monopoli, Namun, ada sisi positifnya terhadap monopoli, yaitu:

18
Mustafa Kamal Rokan, Op.Cit., hal. 4-5.
19
Walter Nicholson, 1999, Teori Mikro Ekonomi: Prinsip Dasar dan Perluasan, edisi
kelima, Binarupa Aksara, Jakarta, hal. 204-205.
20
Robert Cooter dan Thomas Ullen, Law and Economic, Massachussett:Addison
Wesley Educational Inc., 1977, hal. 17-18, dalam buku Mustafa Kamal Rokan, Op.Cit, hal. 6.

107
a. Tingkat masukan yang paling menguntungkan bagi sebuah

perusahaan monopoli adalah tingkat dimana pendapatan marginal

sama dengan biaya marginl. Di tingkat keluaran ini, harga akan

lebih tinggi dari biaya marginal. Profitabilitas dari perusahaan

monopoli tersebut akan bergantung pada hubungan antara harga

dan biaya rata-rata.

b. Sebuah monopoli dapat menaikkan labanya lebih lanjut melalui

diskriminasi harga, yaitu menetapkan harga yang berbeda di pasar

yang berbeda, dan perbedaan harga tersebut tidak berkaitan dengan

perbedaan biaya. Perusahaan monopoli yang melakukan

diskriminasi harga akan menetapkan harga yang lebih tinggi di

pasar dimana permintaannya relatif kurang elastik. Kemampuan

perusahaan dalam hal monopoli ini adalah untuk melakukan

diskriminasi harga yang bergantung pada kemampuan untuk

menjaga agar pasar-pasar yang dimaksud agar tidak terpisah.

c. Dalam kasus tertentu, sebuah monopoli dapat mempraktekkan

diskriminasi harga sempurna dengan menetapkan harga yang

berbeda kepada setiap pembeli. Dengan diskriminasi harga yang

sempurna, maka monopoli yang dimaksud dapat melayani setiap

pembeli yang bersedia membayar setidaknya biaya marginal dri

memproduksi sebuah barang.

108
d. Secara relatif terhadap persaingan sempurna, monopoli melibatkan

kehilangan surplus konsumen bagi mereka yang mengajukan

permintaan. Beberapa surplus konsumen ini dialihkan ke dalam

laba monopoli, sementara beberapa kehilangan dalam penawaran

konsumen mewakili kehilangan tetap dari kesejahteraan ekonomi

secara keseluruhan.

e. Perusahaan monopoli cenderung lebih menyukai berbagai tingkat

mutu daripada perusahaan yang bersaing sempurna. Perusahaan

monopoli untuk barang-barang yang tahan lama dapat dibatasi oleh

pasar untuk barang bekas. 21

Pasar oligopoli adalah pasar yang terdiri dari hanya beberapa

produsen saja. Adakalanya pasar oligopoli terdiri dari dua perusahaan

saja. Pasar seperti ini dinamakan dupoli. Untuk mengetahui pasar

oligopoli dapat dilihat dari beberapa indikasi, yakni menghasilkan

barang dengan standar atau barang berbeda corak. Kekuasaan

menentukan harga adakalanya lemah dan adakalanya sangat tangguh.

Perusahaan oligopoli umumnya perlu melakukan promosi berupa

iklan.22

Pada pasar oligopoli hanya ada beberapa perusahaan yang

menguasai pasar baik secara diam-diam maupun bersama-sama.

Faktor utama yang menyebabkan terjadinya oligopoli ini adalah

21
Walter Nicholson, Op.Cit., hal. 218-219.
22
Mustafa Kamal rokan, Op.cit., hal. 5.

109
keberhasilan mengelola perusahaan sedemikian rupa sehingga

mempunyai skala ekonomi yang menyebabkan efisiensi dan

keberhasilan dalam promosi penjualan. Oleh karena itu, biaya

produksi yang rendah dan promosi penjualan yang tepat akan

menyebabkan pangsa pasar perusahaan tersebut bertambah dalam

jangka panjang.

Ciri-ciri dari pasar oligopoli, yaitu:

a. Menghasilkan barang standar atau barang berbeda corak.

Barang yang standard biasanya dihasilkan oleh perusahaan yang

menghasilkan bahan mentah, sedangkan barang-barang berbeda

corak pada umumnya merupakan barang jadi.

b. Kekuasaan menentukan harga bisa kuat dan juga bisa lemah.

Kesepakatan menentukan harga sangat penting bagi oligopoli.

Apabila mereka tidak melakukan kesepakatan harga, maka

kekuasaan menentukan harga bagi perusahaan yang ada dalam

industri menjadi sangat lemah karena aksi suatu perusahaan akan

menimbulkan reaksi bagi perusahaan lainnya. Berbeda apabila

mereka telah sepakat tentang harga yang harus ditetapkan, maka

kekuatannya menjadi lebih kuat.

110
c. Perusahaan oligopoli perlu melakukan promosi berupa iklan.

Iklan terutama sangat dibutuhkan untuk oligopoli yang

menghasilkan barang yang berbeda corak, dalam rangka untuk

mempertahankan pangsa pasar yang telah dikuasainya dan

merebut pasar baru.23

B.1. 2. Larangan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Menurut ketentuan Pasal 1 angka (6) Undang-undang Nomor 5

Tahun 1999, dinyatakan bahwa persaingan usaha tidak sehat adalah:

“persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan

atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak

jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha”.

Dengan demikian, menurut ketentuan di atas, terdapat tiga

indikator untuk terkatagori telah terjadi persaingan usaha tidak sehat,

yaitu:

a. Persaingan usaha yang dilakukan secara tidak jujur

b. Persaingan usaha yang dilakukan dengan cara melawan hukum

c. Persaingabn usaha yang dilakukan dengan cara menghambat terjadinya

persaingan di atanra pelaku usaha.

23
Tati Suhartati Joesron dan M. Fathorrazi, Op.Cit., hal. 207-208.

111
Persaingan usaha yang dilakukan dengan cara tidak jujur dapat

dilihat dari cara pelaku usaha dalam bersaing dngan pelaku usaha lain.

Misalnya: dalam persaingan tender, para pelaku usaha telah melakukan

konspiraasi usaha dengan panitia lelang untuk dapat memenangkan sebuah

tender, sehingga pelaku usaha lainnya tidak mendapat kesempatan untuk

memenangkan tender tersebut.

Persaingan usaha yang dilakukan dengan cara melawan hukum dapat

dilihat dari cara pelaku usaha dalam bersaing dengan pelaku usaha lain

dengan melanggar ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku

atau peraturan yang telah disepakati. Kondisi seperti ini dapat kita lihat

seperti pelaku usaha yang mendapatkan fasilitas-fasilitas khusus. Praktik

seperti ini telah lazim diketemukan pada praktik persaingan usaha pada

masa orde baru hingga sekarang. Contoh yang selalu ditemukan adalah

terdapat pelaku usaha yang bebas pajak atau bea cukai dan sebagainya.

Demikian juga dengan pelaku usaha yang dapat mengikuti persaingan

dengan pelaku usaha lain dengan melanggar aturan-aturan , seperti pelaku

usaha yang boleh ikut bersaing dalam usaha tender, padahal ia tidak

memenuhi persyaratan kualifikasi yang telah ditetapkan panitia tender.

Persaingan usaha yang dilakukan dengan cara menghambat

terjadinya persaingan di antara pelaku usaha melihat kondisi pasar yang

tidak sehat. Dalam pasar yang dimaksud, mungkin tidak terdapat kerugian

pada pesaing lain, dan para pelaku usaha juga tidak mengalami kesulitan.

112
Namun, perjanjian yang dilakukan pelaku usaha menjadikan pasar bersaing

secara tidak kompetritif.

B.2. Larangan Perjanjian Penetapan Harga.

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999 menyatakan

bahwa “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha

pesaingnya untuk menetapkan harga atas mutu suatu barang dan atau jasa

yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggaran pada pasar

bersangkutan yang sama”. Pasal 5 ayat (2) dalam undang-undang ini

menyatakan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud oleh pasal 5 ayat (1)

di atas tidak berlaku bagi suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha

patungan atau suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang

berlaku.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, khususnya

pasal 35 huruf (f), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memiliki

tugas untuk menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan

undang-undang tersebut. Salah satunya adalah penyusunan pedoman

pelaksanaan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

dengan tujuan memberikan pemahaman yang sama kepada stakeholder

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Sebagai bagian dari upaya tersebut, KPPU melakukan penyusunan

pedoman pelaksanaan pasal 5 (lima) yang mengatur tentang perilaku yang

113
dilarang berupa penetapan harga oleh pelaku usaha yang saling bersaing

(price fixing). Pedoman ini, diharapkan mampu memberikan pemahaman

kepada seluruh stakeholder.

Sebagaimana diketahui, penetapan harga adalah sebuah perilaku yang

sangat terlarang dalam perkembangan pengaturan persaingan. Hal ini

disebabkan penetapan harga selalu menghasilkan harga yang senantiasa

berada jauh di atas harga yang bisa dicapai melalaui persaingan usaha yang

sehat. Harga tinggi ini tentu saja menyebabkan terjadinya kerugian bagi

masyarakat baik langsung maupun tidak langsung.

Dalam perkembangan penanganan perkara penetapan harga (price

fixing) di berbagai belahan dunia, berkembang upaya pembuktian

keberadaan perilaku tersebut, tidak hanya melalui bukti-bukti langsung

(hard evidence), tetapi juga dikembangkan pembuktian-pembuktian lain

melalui bukti-bukti tidak langsung (circumstantial evidence). Hal ini terjadi,

karena bukti langsung menjadi semakin sulit ditemukan karena keberadaan

lembaga pengawas persaingan telah menjadi faktor yang diperhitungkan

sehingga hal-hal yang berkaitan dengan bukti langsung telah dihindari oleh

pelaku usaha. Tetapi bagaimanapun, penggunaan bukti-bukti tidak langsung

harus tetap dilakukan dalam bingkai pembuktian sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

114
B.3. Pengecualian terhadap Kegiatan dan Perjanjian yang Bersifat

Monopoli.

Penerapan hukum dan kebijakan persaingan usaha

diharapkan dapat ditegakkan dalam seluruh sektor dan pelaku

usaha, baik dalam perdagangan ataupun jasa. Tidak hanya itu,

seluruh sektor dan seluruh pelaku usaha baik swasta maupun publik

mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum. Penegakan

hukum persaingan usaha mempunyai dasar baik secara hukum

maupun ekonomi.

Alasan hukum bahwa terhadap pelaku usaha yang

melakukan kegiatan yang sama atau yang dapat disamakan akan

mendaptkan perlakuan yang sama menurut prinsip dan standar

hukum persaingan usaha yang berlaku, seperti memberikan

jaminan adanya keadilan (fairness), kesamaan kesempatan

(equality), dan perlakuan yang sama atau non diskriminasi.

Pendekatan berdasarkan alasan hukum diharapkan dapat menjamin

konsistensi dlam penafsiran dan penerapan hukum, serta

meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan kepercayaan

terhadap institusi penegak hukum yang beranggung jawab dalam

mengimplementasikan hukum persaingan usaha.Selain itu,

pendekatan tersebut juga akan mendorong proses penegakan

115
hukum (due process of law) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.24

Pasal 50 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, mengatur

tentang perjanjian-perjanjian dan perbuatan-perbuatan yang

dikecualikan dari undang-undang ini, yaitu:

a. Perbuatan dan/atau perjanjian yang bertujuan untuk

melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual,

seperti: lisiensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk

industri, rangkaian elektronik terpadu dan rahasia dagang.

Meskipun tidak ditegaskan dalam penjelasan undang-undang

ini, perkecualian ini hanya berlaku secara terbatas, sepanjang

tidak menghalangi persaingan dn tidak melanggar undang-

undang anti monopoli.

c. Perjanjian yang berkaitan dengan waralaba. Meskipun undang-

undang tidak memberikan penjelasan, pengecualian ini juga

berlaku secara terbatas. Meskipun pelaku usaha melaksanakan

bisnisnya secara waralaba, tidak dapat begitu saja menjalankan

usahanya, sehingga mengakibatkan monopoli dan/atau

persaingan usaha tidak sehat.

24
Mustafa Kamal Rokan, op.cit., hlm. 229-230.

116
d. Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan/atau

jasa yang tidak mengekang dn/atau menghalangi persaingan.

e. Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat

ketentuan untuk memasok kembali barang dan/atau jasa

dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang yang

telah diperjanjikan.

f. Perjanjian kerja sama penelitian untuk peringkatan atau

perbaikan standar hidup masyarakat luas.

g. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah

Republik Indonesia.

h. Perbuatan dan/atau perjanjian yang bertujuan untuk ekspor

yang tidak mengganggu kebutuhan dan/atau pasokan pasar

dalam negeri.

i. Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk

melayani anggotanya.

j. Perbuatan pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil.

Meskipun undang-undang tidak memberikan penjelasan,

perkecualian ini pun harus ditafsirkan terbatas, karena

117
pengusaha kecil pun tidak dapat melanggar peraturan

monopoli atau persaingan yang tidak sehat.25

Bertolak dari ketentuan pengecualian yang terdapat

dalam pasal 50 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 di atas,

maka dapat disimpulkan bahwa pemerintah tetap

memperhatikan hak serta kepentingan warga selaku pelaku

usaha perseorangan maupun dalam kelompok untuk tetap

mengembangkan kreatifitasnya, dengan ketentuan bahwa

perjanjian dan/atau perbuatan yang dilakukan tidak

menimbulkan monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat.

B. 4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

B.4.1. Dasar Hukum dan Status Hukum Pembentukan KPPU.

Dasar hukumk pembentukan KPPU adlah ketentuan

Pasal 30 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang

menyatakan bahwa “untuk mengawasi pelaksanaan undang-

undang ini dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha”.

KPPU mempunyai kedudukan yang kuat sebagai bagian

yang tidak terpisahkan dalam mewujudkan kesejahteraan

rakyat melalui persaingan usaha yang sehat, hal ini

dikarenakan persaingan usaha yang sehat akan berpengaruh

25
Mustafa Kamal Rokan, Loc-cit.

118
besar terhadap struktur ekonomi Indonesia yang semakin kuat.
26
Komisi ini merupakan produk badan independen pasca

reformasi tahun 1998 yang merupakan suatu lembaga yang

tepat untuk menyelesaikan masalah persaingan usaha yang

mempunyai peran multifunction dan keahlian, sehingga

dianggap mampu menyelesaikan dan mempercepat proses

penanganan perkara. Sebagaimana ketentuan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999, KPPU mempunyai kewenangan yang

sangat luas, yang meliputi wilayah eksekutif, yudikatif,

legislatif sera konsultatif. Namun dalam hal menjalankan

fungsinya, lembaga ini mempunyai kewenangan yang tumpang

tindih. Hal mama disebabkan KPPU dapat bertindak sebagai

investigator, penyidik, pemeriksa, penuntut, pemutus dan

berfungsi juga sebagai konsultatif.27

B. 4.2. Tugas dan Wewenang KPPU

B.4.2.1. Tugas KPPU

Berdasarkan ketentaun Pasal 35 Undang-

Undang Noimor 5 Tahun 1999, maka tugas KPPU

adalah:

a. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat

mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan

26
Highlight, Majalah Kompetisi, 2010, Edisi 21, KPPU Republik Indonesia, hlm. 11.
27
Mustafa Kamnal Rokan, Op-cit, hlm. 264-265.

119
atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana

diatur dlam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16.

b. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan

atau tindakan pelaku usaha yang dapat

mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan

atau persaingan usaha yang tidak sehat sebagaimana

diatur dalam pasal 17 sampai pasal 24.

c. Melakukan penilaian terhadapa ada atau tidaknya

penyalahgunaan posisi dominan yang dapat

mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan

atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana

diatur dalam pasal 25 sampai pasal 28.

d. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang

komisi sebagaimana diatur dlam pasal 36.

e. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap

kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan praktek

monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak

sehat.

f. Menyusun pedoman dan atau publikasi yang

berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999.

120
g. Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja

komisi kepadan Presiden dan Dwan Perwakilan

Rakyat.

B.4.2.2. Wewenang KPPU

Wewenang KPPU yang tertuang dalam ketentuan

Pasal 36 Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999, yaitu:

a. Menerima laporan dari masyarakat dan atau dari

perilaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek

monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

b...Melakukan penelitian tentang dugaan adanya

kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang

dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli

dan atau persaingan usaha tidak sehat.

c. Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan

terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau

persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh

masyarakat dan atau oleh pelaku usaha atau yang

ditemukan oleh komisi sebagai hasil dari

penelitiannya.

d. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau

pemeriksaan tentang ada atau tidaknya praktek

monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak

sehat.

121
e. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah

melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-

undang noimor 5 Tahun 1999.

f. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dari

setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran

terhadap ketentuan undang-undang nomor 5 tahun

1999.

g. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan

pelaku usaha, saksi, saksi ahli atau setiap orang

sebagaimana dimaksud huruf (f) yang tidak bersedia

memenuhi panggilan komisi.

h. Meminta keterangan dari instansi pemerintah dalam

kaitannya dengan penyelidikan dan atau

pemeriksaan terhdap pelaku usaha yang melanggar

ketentuan undang-undang nomor 5 tahun 1999.

i. Mendapatkan, meneliti dan atau menilai surat,

dokumen atau alat bukti lain guna penyelidikan dan

atau pemeriksaan.

j. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya

kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat.

k. Memberitahukan putusan komisi kepada pelaku

usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan

persaingan usaha tidak sehat.

122
l. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administrasi

kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan

undang-undang nomor 5 tahun 1999.

Kebijakan persaingan merupakan hal yang cukup baru

diadakan di Indonesia, setelah didera krisis ekonomi yang

menghadang Indonesia. Perubahan tersebut dilakukan

melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,

dengan KPPU sebagai motor nya. Seiring dengan karakter

pengawasan yang unik dari sesuatu yang baru, maka

pengembangan institusi sangat membutuhkan berbagai

pengalaman dari berbagai lembaga persaingan usaha

sejenis. 28

Bertolak dari ketentuan tentang tugas dan wewenang

KPPU dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, maka

KPPU mempunyai tugas yang sangat banyak, yang pada

periode akhir tetap dimintakan bantuan pengadilan untuk

kekuatan eksekutorialnya, hal mana karena tugas KPPU

hanya terbatas pemberian sanksi administrasi saja.

28
Deswin Nur, 2008, edisi 11, KPPU dan Pengembangan Kebijakan Persaingan di
ASEAN, Majalah Jurnal Kompetisi, KPPU Republik Indonesia, hlm. 16.

123
124

Vous aimerez peut-être aussi