Vous êtes sur la page 1sur 10

Lainnya Blog Berikut» farifin@gmail.

com Dasbor Logout

Halaman Utama Posting

Selasa, 15 Februari 2011 Arsip Blog

2011 (5)
Aspek Hukum Keselamatan Pasien (Patient Safety) Juni (1)

ASPEK HUKUM April (2)


MANAJEMEN KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT Februari (2)
Dr. Yendi Ambulatory Anesthesia
Aspek Hukum
Keselamatan Pasien
PENDAHULUAN (Patient Safety)
Rumah sakit sebagai tempat pelayanan kesehatan modern adalah suatu organisasi yang
sangat komplek karena padat modal, padat tehnologi, padat karya, padat profesi, padat sistem,
dan padat mutu serta padat resiko sehingga tidak mengejutkan bila kejadian tidak Mengenai Saya
diinginkan/KTD akan sering terjadi dan akan berakibat pada terjadinya injuri atau kematian
pada pasien.
Dalam proses pemberian layanan kesehatan dapat terjadi kesalahan berupa kesalahan
diagnosis, pengobatan, pencegahan, serta kesalahan sistem lainnya. Berbagai kesalahan
tersebut pada akhirnya berpotensi mengakibatkan cedera pada pasien. Hal ini berarti bahwa
kesalahan dapat mengakibatkan cedera dan dapat pula tidak mengakibatkan cedera terhadap
dr.
pasien.
Yendi,SpAn,MH.Kes,M.K
Keamanan adalah prinsip yang paling fundamental dalam pemberian pelayanan kesehatan dan
es.
sekaligus aspek yang paling kritis dari manajemen kualitas. Keselamatan pasien (patient
ilmu akan menuntun
safety) adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman,
kemampuan, hukum akan
mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu
menuntun tindakan
tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil. Sistem tersebut meliputi
pengenalan resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien, Lihat profil lengkapku
pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden, tindak lanjut dan implementasi
solusi untuk meminimalkan resiko. Statistik
Menurut laporan dari Institute of Medicine (IOM) tahun 1999; To err is human, building a safer
health system; di Amerika Serikat diproyeksikan terjadi 44.000 sampai dengan 98.000 kematian
setiap tahun akibat dari medical error yang sebenarnya dapat dicegah, angka ini hampir empat
kali lipat dari kematian akibat kecelakaan lalulintas. Laporan dari IOM tersebut mengejutkan
banyak kalangan dunia kesehatan, bagaimana itu bisa terjadi?. Padahal sejak masa sebelum Gadget
masehi, Hippocrates (bapak kedokteran modern) pernah mengemukakan ungkapan ”Primum Konten ini belum tersedia
non nocere” atau ”First, do no harm” (melayani tanpa harus membahayakan). melalui sambungan
Karena itu, sejak ada laporan IOM tersebut berbagai negara mulai mengembangkan suatu terenkripsi.
gerakan yang disebut sebagai Patient Safety (Keselamatan Pasien). Lembaga kesehatan dunia
(WHO) sendiri mendirikan lembaga World Alliance for Patient Safety baru pada tahun 2004 dan
Indonesia mulai gerakan keselamatan pasien ini pada tahun 2005 yaitu dengan didirikannya
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) oleh Persatuan Rumah Sakit Seluruh
Indonesia (PERSI).

GAMBARAN UMUM PATIENT SAFETY


Saat ini isu global yang sangat penting dalam pelayanan kesehatan adalah keselamatan pasien
(patient safety). Isu ini praktis mulai dibicarakan kembali pada tahun 2000an, sejak laporan dari
Institute of Medicine (IOM) yang menerbitkan laporan: To err is human, building a safer health
system, yang memuat data menarik tentang Kejadian Tidak Diharapkan/ KTD (Adverse Event).
Organisasi kesehatan dunia (WHO) juga telah menegaskan pentingnya keselamatan dalam
pelayanan kepada pasien sehubungan dengan data KTD di Rumah Sakit di berbagai negara
menunjukan angka yang tidak kecil berkisar 3 - 16%. Gerakan keselamatan pasien dalam
konteks pelayanan kesehatan saat ini diterima secara luas di seluruh dunia. WHO kemudian
meluncurkan program World Alliance for Patient Safety pada tahun 2004. Di dalam program itu
dikatakan bahwa keselamatan pasien adalah prinsip fundamental pelayanan pasien sekaligus
komponen kritis dalam manajemen mutu.
Di Indonesia sendiri, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) telah membentuk
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS) pada tanggal 1 Juni 2005, dan telah
menerbitkan Panduan Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien. Panduan ini dibuat sebagai
dasar implementasi keselamatan pasien di rumah sakit. Dalam perkembangannya, Komite
Akreditasi Rumah Sakit (KARS) Departemen Kesehatan telah pula menyusun Standar
Keselamatan Pasien Rumah Sakit dalam instrumen Standar Akreditasi Rumah Sakit. Akreditasi
rumah sakit saat ini adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi setiap rumah sakit sebagai
amanat Undang-undang no. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Sejak berlakunya UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No. 29/2004 tentang
Praktik Kedokteran, muncul berbagai tuntutan hukum kepada dokter dan rumah sakit. Salah
satu cara mengatasi masalah ini adalah dengan penerapan sistem keselamatan pasien di
rumah sakit. Keselamatan pasien sebagai suatu sistem di dalam rumah sakit sebagaimana
dituangkan dalam instrumen standar akreditasi rumah sakit ini diharapkan memberikan asuhan
kepada pasien dengan lebih aman dan mencegah cedera akibat melakukan atau tidak
melakukan tindakan. Dalam pelaksanaannya keselamatan pasien akan banyak menggunakan
prinsip dan metode manajemen risiko mulai dan identifikasi, asesmen dan pengolahan risiko.
Pelaporan dan analisis insiden keselamatan pasien akan meningkatkan kemampuan belajar
dari insiden yang terjadi untuk mencegah terulangnya kejadian yang sama dikemudian hari.

ASPEK HUKUM KESELAMATAN PASIEN (PATIENT SAFETY)


Menurut penjelasan Pasal 43 UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 yang dimaksud dengan
keselamatan pasien (patient safety) adalah proses dalam suatu rumah sakit yang memberikan
pelayanan pasien yang lebih aman. Termasuk didalamnya asesmen resiko, identifikasi, dan
manajemen resiko terhadap pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan untuk belajar
dan menindaklanjuti insiden, dan menerapkan solusi untuk mengurangi serta meminimalisir
timbulnya risiko. Yang dimaksud dengan insiden keselamatan pasien adalah keselamatan
medis (medical errors), kejadian yang tidak diharapkan (adverse event), dan nyaris terjadi (near
miss).
Menurut Institute of Medicine (IOM), Keselamatan Pasien (Patient Safety) didefinisikan sebagai
freedom from accidental injury. Accidental injury disebabkan karena error yang meliputi
kegagalan suatu perencanaan atau memakai rencana yang salah dalam mencapai tujuan.
Accidental injury juga akibat dari melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission). Accidental injury dalam prakteknya
akan berupa kejadian tidak diinginkan/KTD (adverse event) atau hampir terjadi kejadian tidak
diinginkan (near miss). Near miss ini dapat disebabkan karena:
1. keberuntungan (misal : pasien terima suatu obat kontra indikasi tetapi tidak timbul reaksi
obat)
2. pencegahan (suatu obat dengan overdosis lethal akan diberikan, tetapi staf lain mengetahui
dan membatalkannya sebelum obat diberikan)
3. peringanan (suatu obat dengan over dosis lethal diberikan, diketahui secara dini lalu
diberikan antidotenya)
Tujuan yang ingin dicapai oleh masyarakat global terhadap penerapan keselamatan pasien
adalah:
1. Identify patients correctly
2. Improve effective communication
3. Improve the safety of high-alert medications
4. Eliminate wrong-site, wrong-patient, wrong procedure surgery
5. Reduce the risk of health care-associated infections
6. Reduce the risk of patient harm from falls
Gerakan keselamatan pasien adalah suatu program yang belum lama diimplementasikan
diseluruh dunia, karena itu masih dimungkinkan pengembangan dalam implementasinya. Di
Indonesia, PERSI telah mensosialisasikan langkah-langkah yang dipakai untuk implementasi di
rumah sakit seluruh Indonesia.
Langkah-langkah implementasi keselamatan pasien tersebut adalah:
1. Membangun budaya keselamatan pasien (Create a culture that is open and fair).
2. Memimpin dan mendukung staf (Establish a clear and strong focus on Patient Safety
throughout your organization)
3. Mengintegrasikan kegiatan-kegiatan manajemen risiko (Develop systems and processes to
manage your risks and identify and assess things that could go wrong)
4. Meningkatkan kegiatan pelaporan (Ensure your staff can easily report incidents locally and
nationally)
5. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien (Develop ways to communicate openly with
and listen to patients)
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien (Encourage staff to use root
cause analysis to learn how and why incidents happen)
7. Menerapkan solusi-solusi untuk mencegah cidera (Embed lessons through changes to
practice, processes or systems).
Bisnis utama rumah sakit adalah merawat pasien yang sakit dengan tujuan agar pasien segera
sembuh dari sakitnya dan sehat kembali, sehingga tidak dapat ditoleransi bila dalam perawatan
di rumah sakit pasien menjadi lebih menderita akibat dari terjadinya resiko yang sebenarnya
dapat dicegah, dengan kata lain pasien harus dijaga keselamatannya dari akibat yang timbul
karena error. Bila program keselamatan pasien tidak dilakukan akan berdampak pada
terjadinya tuntutan sehingga meningkatkan biaya urusan hukum, menurunkan efisisiensi, serta
kerugian lainnya.

Element keselamatan pasien terdiri dari:


• Adverse drug events (ADE)/ medication errors (ME)
• Restraint use
• Nosocomial infections
• Surgical mishaps
• Pressure ulcers
• Blood product safety/administration
• Antimicrobial resistance
• Immunization program
• Falls
• Blood stream – vascular catheter care
• Systematic review, follow-up, and reporting of patient/visitor incident reports

Pendekatan Penanganan KTD atau Error


Menurut James Reason dalam Human error management : models and management dikatakan
ada dua pendekatan dalam penanganan error atau KTD.
1. pendekatan personal.
Pendekatan ini memfokuskan pada tindakan yang tidak aman, melakukan pelanggaran
prosedur, dari orang-orang yang menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan (dokter, perawat,
ahli bedah, ahli anestesi, farmasis dll). Tindakan tidak aman ini dianggap berasal dari proses
mental yang menyimpang seperti mudah lupa, kurang perhatian, motivasi yang buruk, tidak
hati-hati, dan sembrono. Sehingga bila terjadi suatu KTD akan dicari siapa yang berbuat salah.

2. Pendekatan sistem
Pemikiran dasar dari pendekatan ini yaitu bahwa manusia dapat berbuat salah dan karenanya
dapat terjadi kesalahan. Disini kesalahan dianggap lebih sebagai konsekwensi daripada
sebagai penyebab. Dalam pendekatan ini diasumsikan bahwa kita tidak akan dapat mengubah
sifat alamiah manusia ini, tetapi kita harus mengubah kondisi dimana manusia itu bekerja.
Pemikiran utama dari pendekatan ini adalah pada pertahanan sistem yang digambarkan
sebagai model keju Swiss. Dimana berbagai pengembangan pada kebijakan, prosedur,
profesionalisme, tim, individu, lingkungan dan peralatan akan mencegah atau meminimalkan
terjadinya KTD.

Penyebab utama terjadinya errors, antara lain:


1. Communication problems
2. Inadequate information flow
3. Human problems
4. Patient-related issues
5. Organizational transfer of knowledge
6. Staffing patterns/work flow
7. Technical failures
8. Inadequate policies and procedures
(AHRQ Publication No. 04-RG005, December 2003) Agency for Healthcare Research and
Quality

PENDEKATAN KOMPREHENSIF PENGKAJIAN KESELAMATAN PASIEN


Pengkajian pada keselamatan pasien secara garis besar dibagi kepada struktur, lingkungan,
peralatan dan teknologi, proses, orang dan budaya.
1. Struktur
• Kebijakan dan prosedur organisasi : periksa apakah telah terdapat kebijakan dan prosedur
tetap yang telah dibuat dengan mempertimbangkan keselamatan pasien.
• Fasilitas : Apakah fasilitas dibangun untuk meningkatkan keamanan ?
• Persediaan : Apakah hal – hal yang dibutuhkan sudah tersedia seperti persediaan di ruang
emergency, ruang ICU.
2. Lingkungan
• Pencahayaan dan permukaan : berkontribusi terhadap pasien jatuh atau cedera
• Temperature : pengkondisian temperature dibutuhkan dibeberapa ruangan seperti ruang
operasi, hal ini diperlukan misalnya pada saat operasi bedah tulang suhu ruangan akan
berpengaruh terhadap cepatnya pengerasan dari semen
• Kebisingan : lingkungan yang bising dapat menjadi distraksi saat tenaga kesehatan sedang
memberikan pengobatan dan tidak terdengarnya sinyal alarm dari perubahan kondisi pasien.
• Ergonomik dan fungsional : ergonomik berpengaruh terhadap penampilan seperti teknik
memindahkan pasien, jika terjadi kesalahan dapat menimbulkan pasien jatuh atau cedera.
Selain itu penempatan material di ruangan apakah sudah disesuaikan dengan fungsinya seperti
pengaturan tempat tidur, jenis, penempatan alat sudah mencerminkan keselamatan pasien.
3. Peralatan dan teknologi
• Fungsional : tenaga kesehatan harus mengidentifikasi penggunaan alat dan desain dari alat.
Perkembangan kecanggihan alat sangat cepat sehingga diperlukan pelatihan untuk
mengoperasikan alat secara tepat dan benar.
• Keamanan : Alat–alat yang digunakan juga harus didesain penggunaannya dapat
meningkatkan keselamatan pasien.
4. Proses
• Desain kerja : Desain proses yang tidak dilandasi riset yang adekuat dan kurangnya
penjelasan dapat berdampak terhadap tidak konsisten perlakuan pada setiap orang hal ini akan
berdampak terhadap kesalahan. Untuk mencegah hal tersebut harus dilakukan research based
practice yang diimplementasikan.
• Karakteristik risiko tinggi : melakukan tindakan yang terus–menerus saat praktek akan
menimbulkan kelemahan, dan penurunan daya ingat hal ini dapat menjadi risiko tinggi
terjadinya kesalahan atau lupa oleh karena itu perlu dibuat suatu sistem pengingat untuk
mengurangi kesalahan.
• Waktu : waktu sangat berdampak pada keselamatan pasien hal ini lebih mudah tergambar
saat ada pasien yang memerlukan resusitasi, yang dilanjutkan oleh beberapa tindakan seperti
pemberian obat dan cairan, intubasi dan defibrilasi dan pada pasien – pasien emergensi, oleh
karena itu pada saat–saat tertentu waktu dapat menentukan apakah pasien selamat atau tidak.
• Perubahan jadual dinas tenaga kesehatan juga berdampak terhadap keselamatan pasien
karena tenaga kesehatan sering tidak siap untuk melakukan aktivitas secara baik dan
menyeluruh.
• Waktu juga sangat berpengaruh pada saat pasien harus dilakukan tindakan diagnostik atau
ketepatan pengaturan pemberian obat seperti pada pemberian antibiotic atau trombolitik,
keterlambatan akan mempengaruhi terhadap diagnosis dan pengobatan.
• Efisiensi : keterlambatan diagnosis atau pengobatan akan memperpanjang waktu perawatan
tentunya akan meningkatkan pembiayaan yang harus di tanggung oleh pasien.
5. Orang
• Sikap dan motivasi ; sikap dan motivasi sangat berdampak kepada kinerja seseorang. Sikap
dan motivasi yang negatif akan menimbulkan kesalahan-kesalahan.
• Kesehatan fisik : kelelahan, sakit dan kurang tidur akan berdampak kepada kinerja dengan
menurunnya kewaspadaan dan waktu bereaksi seseorang.
• Kesehatan mental dan emosional : hal ini berpengaruh terhadap perhatian akan kebutuhan
dan masalah pasien. Tanpa perhatian yang penuh akan terjadi kesalahan–kesalahan dalam
bertindak.
• Faktor interaksi manusia dengan teknologi dan lingkungan : tenaga kesehatan memerlukan
pendidikan atau pelatihan saat dihadapkan kepada penggunaan alat–alat kesehatan dengan
teknologi baru dan perawatan penyakit–penyakit yang sebelumnya belum tren seperti
perawatan flu babi (swine flu).
• Faktor kognitif, komunikasi dan interpretasi ; kognitif sangat berpengaruh terhadap
pemahaman kenapa terjadinya kesalahan (error). Kognitif seseorang sangat berpengaruh
terhadap bagaimana cara membuat keputusan, pemecahan masalah, dan mengkomunikasikan
hal–hal yang baru.
6. Budaya
• Faktor budaya sangat bepengaruh besar terhadap pemahaman kesalahan dan keselamatan
pasien.
• Pilosofi tentang keamanan ; keselamatan pasien tergantung kepada pilosofi dan nilai yang
dibuat oleh para pimpinanan pelayanan kesehatan.
• Jalur komunikasi : jalur komunikasi perlu dibuat sehingga ketika terjadi kesalahan dapat
segera terlaporkan kepada pimpinan (siapa yang berhak melapor dan siapa yang menerima
laporan).
• Budaya melaporkan, terkadang untuk melaporkan suatu kesalahan mendapat hambatan
karena terbentuknya budaya blaming. Budaya menyalahkan (Blaming) merupakan phenomena
yang universal. Budaya tersebut harus dikikis dengan membuat protap jalur komunikasi yang
jelas.
• Staff : kelebihan beban kerja, jam dan kebijakan personal. Faktor lainnya yang penting adalah
sistem kepemimpinan dan budaya dalam merencanakan staf, membuat kebijakan dan
mengantur personal termasuk jam kerja, beban kerja, manajemen kelelahan, stress dan sakit.

PATIENT SAFETY DI INDONESIA


Indonesia memulai gerakan keselamatan pasien pada tahun 2005 yaitu dengan didirikannya
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) oleh Persatuan Rumah Sakit Seluruh
Indonesia (PERSI), dan telah menerbitkan Panduan Tujuh Langkah Menuju Keselamatan
Pasien. Panduan ini dibuat sebagai dasar implementasi keselamatan pasien di rumah sakit.
Dalam perkembangannya, Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) Departemen Kesehatan
telah pula menyusun Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit dalam instrumen Standar
Akreditasi Rumah Sakit. Tujuan dilakukannya kegiatan Patient Safety di rumah sakit adalah
untuk menciptakan budaya keselamatan pasien di rumah sakit, meningkatkan akuntabilitas
rumah sakit, menurunkan KTD di rumah sakit, terlaksananya program-program pencegahan
sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian tidak diharapkan.
Tujuan Sistem Keselamatan Pasien Rumah Sakit adalah :
1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit
2. Meningkatnya akuntabilitas Rumah Sakit terhadap pasien dan masyarakat
3. Menurunnya KTD di Rumah Sakit.
4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan KTD
Mengingat masalah keselamatan pasien merupakan masalah yang penting dalam sebuah
rumah sakit, maka diperlukan standar keselamatan pasien rumah sakit yang dapat digunakan
sebagai acuan bagi rumah sakit di Indonesia. Standar keselamatan pasien rumah sakit yang
saat ini digunakan mengacu pada “Hospital Patient Safety Standards” yang dikeluarkan oleh
Joint Commision on Accreditation of Health Organization di Illinois pada tahun 2002 yang
kemudian disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia. Penilaian keselamatan yang
dipakai Indonesia saat ini dilakukan dengan menggunakan instrumen Akreditasi Rumah Sakit
yang dikeluarkan oleh KARS.
Departemen Kesehatan RI telah menerbitkan Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah
Sakit (Patient Safety) edisi kedua pada tahun 2008 yang terdiri dari dari 7 standar, yakni:
1. Hak pasien
2. Mendididik pasien dan keluarga
3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
4. Penggunaan metoda metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program
peningkatan keselamatan pasien
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien
Untuk mencapai ke tujuh standar di atas Panduan Nasional tersebut Departemen Kesehatan RI
menganjurkan “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit” yang terdiri dari:
1. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien
2. Pimpin dan dukung staf
3. Integrasikan aktivitas pengelolaan risiko
4. Kembangkan sistem pelaporan
5. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien
7. Cegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien
WHO Collaborating Centre for Patient Safety pada tanggal 2 Mei 2007 resmi menerbitkan “Nine
Life Saving Patient Safety Solutions” (“Sembilan Solusi Life-Saving Keselamatan Pasien
Rumah Sakit”). Panduan ini mulai disusun sejak tahun 2005 oleh pakar keselamatan pasien
dan lebih 100 negara, dengan mengidentifikasi dan mempelajari berbagai masalah
keselamatan pasien.
Solusi keselamatan pasien adalah sistem atau intervensi yang dibuat, mampu mencegah atau
mengurangi cedera pasien yang berasal dari proses pelayanan kesehatan. Sembilan Solusi ini
merupakan panduan yang sangat bermanfaat membantu RS, memperbaiki proses asuhan
pasien, guna menghindari cedera maupun kematian yang dapat dicegah.
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) mendorong RS-RS di Indonesia untuk
menerapkan Sembilan Solusi “Life-Saving” Keselamatan Pasien Rumah Sakit, atau 9 Solusi,
langsung atau bertahap, sesuai dengan kemampuan dan kondisi RS masing-masing.
1. Perhatikan Nama Obat, Rupa dan Ucapan Mirip (Look-Alike, Sound-Alike Medication
Names).
Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip (NORUM), yang membingungkan staf pelaksana adalah
salah satu penyebab yang paling sering dalam kesalahan obat (medication error) dan ini
merupakan suatu keprihatinan di seluruh dunia. Dengan puluhan ribu obat yang ada saat ini di
pasar, maka sangat signifikan potensi terjadinya kesalahan akibat bingung terhadap nama
merek atau generik serta kemasan.
Solusi NORUM ditekankan pada penggunaan protokol untuk pengurangan risiko dan
memastikan terbacanya resep, label, atau penggunaan perintah yang dicetak lebih dulu,
maupun pembuatan resep secara elektronik.
2. Pastikan Identifikasi Pasien.
Kegagalan yang meluas dan terus menerus untuk mengidentifikasi pasien secara benar sering
mengarah kepada kesalahan pengobatan, transfusi maupun pemeriksaan; pelaksanaan
prosedur yang keliru orang; penyerahan bayi kepada bukan keluarganya, dan sebagainya.
Rekomendasi ditekankan pada metode untuk verifikasi terhadap identitas pasien, termasuk
keterlibatan pasien dalam proses ini; standardisasi dalam metode identifikasi di semua rumah
sakit dalam suatu sistem layanan kesehatan; dan partisipasi pasien dalam konfirmasi ini; serta
penggunaan protokol untuk membedakan identifikasi pasien dengan nama yang sama.
3. Komunikasi Secara Benar saat Serah Terima / Pengoperan Pasien.
Kesenjangan dalam komunikasi saat serah terima/ pengoperan pasien antara unit-unit
pelayanan, dan didalam serta antar tim pelayanan, bisa mengakibatkan terputusnya
kesinambungan layanan, pengobatan yang tidak tepat, dan potensial dapat mengakibatkan
cedera terhadap pasien.
Rekomendasi ditujukan untuk memperbaiki pola serah terima pasien termasuk penggunaan
protokol untuk mengkomunikasikan informasi yang bersifat kritis; memberikan kesempatan bagi
para praktisi untuk bertanya dan menyampaikan pertanyaan-pertanyaan pada saat serah
terima,dan melibatkan para pasien serta keluarga dalam proses serah terima.
4. Pastikan Tindakan yang benar pada Sisi Tubuh yang benar.
Penyimpangan pada hal ini seharusnya sepenuhnya dapat dicegah. Kasus-kasus dengan
pelaksanaan prosedur yang keliru atau pembedahan sisi tubuh yang salah sebagian besar
adalah akibat dan miskomunikasi dan tidak adanya informasi atau informasinya tidak benar.
Faktor yang paling banyak kontribusinya terhadap kesalahan-kesalahan macam ini adalah tidak
ada atau kurangnya proses pra-bedah yang distandardisasi.
Rekomendasinya adalah untuk mencegah jenis-jenis kekeliruan yang tergantung pada
pelaksanaan proses verifikasi prapembedahan; pemberian tanda pada sisi yang akan dibedah
oleh petugas yang akan melaksanakan prosedur; dan adanya tim yang terlibat dalam prosedur
’Time out” sesaat sebelum memulai prosedur untuk mengkonfirmasikan identitas pasien,
prosedur dan sisi yang akan dibedah.
5. Kendalikan Cairan Elektrolit Pekat (concentrated).
Sementara semua obat-obatan, biologics, vaksin dan media kontras memiliki profil risiko, cairan
elektrolit pekat yang digunakan untuk injeksi khususnya adalah berbahaya. Rekomendasinya
adalah membuat standardisasi dari dosis, unit ukuran dan istilah; dan pencegahan atas campur
aduk / bingung tentang cairan elektrolit pekat yang spesifik.
6. Pastikan Akurasi Pemberian Obat pada Pengalihan Pelayanan.
Kesalahan medikasi terjadi paling sering pada saat transisi/pengalihan. Rekonsiliasi
(penuntasan perbedaan) medikasi adalah suatu proses yang didesain untuk mencegah salah
obat (medication errors) pada titik-titik transisi pasien. Rekomendasinya adalah menciptakan
suatu daftar yang paling lengkap dan akurat dan seluruh medikasi yang sedang diterima pasien
juga disebut sebagai “home medication list”, sebagai perbandingan dengan daftar saat admisi,
penyerahan dan/atau perintah pemulangan bilamana menuliskan perintah medikasi; dan
komunikasikan daftar tsb kepada petugas layanan yang berikut dimana pasien akan ditransfer
atau dilepaskan.
7. Hindari Salah Kateter dan Salah Sambung Slang (Tube).
Slang, kateter, dan spuit (syringe) yang digunakan harus didesain sedemikian rupa agar
mencegah kemungkinan terjadinya KTD (Kejadian Tidak Diharapkan) yang bisa menyebabkan
cedera atas pasien melalui penyambungan spuit dan slang yang salah, serta memberikan
medikasi atau cairan melalui jalur yang keliru. Rekomendasinya adalah menganjurkan perlunya
perhatian atas medikasi secara detail/rinci bila sedang mengerjakan pemberian medikasi serta
pemberian makan (misalnya slang yang benar), dan bilamana menyambung alat-alat kepada
pasien (misalnya menggunakan sambungan dan slang yang benar).
8. Gunakan Alat Injeksi Sekali Pakai.
Salah satu keprihatinan global terbesar adalah penyebaran dan HIV, HBV, dan HCV yang
diakibatkan oleh pakai ulang (reuse) dari jarum suntik. Rekomendasinya adalah penlunya
melarang pakai ulang jarum di fasilitas layanan kesehatan; pelatihan periodik para petugas di
lembaga-lembaga layanan kesehatan khususnya tentang prinsip-pninsip pengendalian
infeksi,edukasi terhadap pasien dan keluarga mereka mengenai penularan infeksi melalui
darah;dan praktek jarum sekali pakai yang aman.
9. Tingkatkan Kebersihan Tangan (Hand hygiene) untuk Pencegahan lnfeksi Nosokomial.
Diperkirakan bahwa pada setiap saat lebih dari 1,4 juta orang di seluruh dunia menderita infeksi
yang diperoleh di rumah-rumah sakit. Kebersihan Tangan yang efektif adalah ukuran preventif
yang pimer untuk menghindarkan masalah ini. Rekomendasinya adalah mendorong
implementasi penggunaan cairan “alcohol-based hand-rubs” tersedia pada titik-titik pelayan
tersedianya sumber air pada semua kran, pendidikan staf mengenai teknik kebarsihan taangan
yang benar mengingatkan penggunaan tangan bersih ditempat kerja; dan pengukuran
kepatuhan penerapan kebersihan tangan melalui pemantauan / observasi dan tehnik-tehnik
yang lain.

MANAJEMEN RISIKO PATIENT SAFETY


Keselamatan pasien harus dilihat dari sudut pandang risiko klinis. Sekalipun staf medis rumah
sakit sesuai kompetensinya memberikan pelayanan berdasarkan standar profesi dan standar
pelayanan, namun potensi risiko tetap ada, sehingga pasien tetap berpotensi mengalami
cedera. UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009 bertujuan memberikan perlindungan kepada
pasien, masyarakat, dan sumber daya manusia, mempertahankan dan meningkatkan mutu
pelayanan rumah sakit, serta memberi kepastian hukum kepada masyarakat dan rumah sakit.
The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations (JCAHO) memberikan
pengertian manajemen risiko sebagai aktivitas klinik dan administratif yang dilakukan oleh
rumah sakit untuk melakukan identifikasi, evaluasi dan pengurangan risiko terjadinya cedera
atau kerugian pada pasien, personil, pengunjung dan rumah sakit itu sendiri. Kegiatan tersebut
meliputi identifikasi risiko hukum (legal risk), memprioritaskan risiko yang teridentifikasi,
menentukan respons rumah sakit terhadap risiko, mengelola suatu kasus risiko dengan tujuan
meminimalkan kerugian (risk control), membangun upaya pencegahan risiko yang efektif, dan
mengelola pembiayaan risiko yang adekuat (risk financing).
Manajemen risiko yang komprehensif meliputi seluruh aktivitas rumah sakit, baik operasional
maupun klinikal, oleh karena risiko dapat muncul dari kedua bidang tersebut. Bahkan akhir-
akhir ini meliputi pula risiko yang berkaitan dengan managed care dan risiko kapitasi, merger
dan akuisisi, risiko kompensasi ketenagakerjaan, corporate compliance dan etik organisasi.
Manajemen risiko klinik merupakan upaya yang cenderung proaktif, meskipun sebagian
besarnya merupakan hasil belajar dari pengalaman dan menerapkannya kembali untuk
mengurangi atau mencegah masalah yang serupa di kemudian hari. Pada dasarnya
manajemen risiko merupakan suatu proses siklik yang terus menerus, yang terdiri dari empat
tahap, yaitu:
1. Risk Awareness.
Pada tahap ini diharapkan seluruh pihak yang terlibat dalam sistem bedah sentral memahami
situasi yang berisiko tinggi di bidangnya masing-masing dan aktivitas yang harus dilakukan
dalam upaya mengidentifikasi risiko. Risiko tersebut tidak hanya yang bersifat medis, melainkan
juga yang non medis, sehingga upaya ini melibatkan manajemen, komite medis, dokter,
perawat bedah, perawat anestesi, pengendali gas sentral, pelaksana pemeliharaan ruang
bedah dan instrument, dan lain-lain. Self-assessment, sistem pelaporan kejadian yang
berpotensi menimbulkan risiko (incidence report) dan audit klinis dalam budaya non-blaming
merupakan sebagian metode yang dapat digunakan untuk mengenali risiko.
2. Risk control (and or Risk Prevention).
Manajemen merencanakan langkah-langkah praktis dalam menghindari dan atau
meminimalkan risiko dan melaksanakannya dengan tepat. Dalam bidang medis, manajemen
harus bekerjasama erat dan saling mendukung dengan komite medis. Langkah-langkah
tersebut ditujukan kepada seluruh komponen sistem, baik perangkat keras, perangkat lunak
maupun sumber daya manusianya. Langkah dimulai dengan penilaian risiko (risk assessment)
tentang derajat dan probabilitas kejadiannya, dilanjutkan dengan upaya mencari jalan untuk
menghilangkan risiko (engineering solution), atau bila tidak mungkin maka dicari upaya
menguranginya (control solution) baik terhadap probabilitasnya maupun terhadap derajat
keparahannya, atau apabila hal itu juga tidak mungkin maka dicari jalan untuk mengurangi
dampaknya.
Tindakan dapat berupa pengadaan, perbaikan dan pemeliharaan bangunan dan instrumen
yang sesuai dengan persyaratan; pengadaan bahan habis pakai sesuai dengan prosedur dan
persyaratan; pembuatan dan pembaruan prosedur, standar dan check-list; pelatihan
penyegaran bagi personil, seminar, pembahasan kasus, poster, stiker, dan lain-lain.
3. Risk containment
Dalam hal telah terjadi suatu insiden, baik akibat suatu tindakan atau kelalaian ataupun akibat
dari suatu kecelakaan yang tidak terprediksikan sebelumnya, maka sikap yang terpenting
adalah mengurangi besarnya risiko dengan melakukan langkah-langkah yang tepat dalam
mengelola pasien dan insidennya. Unsur utamanya biasanya adalah respons yang cepat dan
tepat terhadap setiap kepentingan pasien, dengan didasari oleh komunikasi yang efektif.
4. Risk transfer
Akhirnya apabila risiko itu terjadi juga dan menimbulkan kerugian, maka diperlukan pengalihan
penanganan risiko tersebut kepada pihak yang sesuai, misalnya menyerahkannya kepada
sistem asuransi.
Pemahaman manajemen risiko sangat bergantung kepada sudut pandangnya. Dari segi bisnis
dan industri asuransi, manajemen risiko cenderung untuk diartikan sepihak, yaitu untuk tujuan
meningkatkan keuntungan bisnis dan pemegang sahamnya. Dalam bidang kesehatan dan
keselamatan lebih diartikan sebagai pengendalian risiko salah satu pihak (pasien atau
masyarakat) oleh pihak yang lain (pemberi layanan). Sementara di dalam suatu komunitas
pemberi layanan kesehatan itu sendiri, yaitu pengelola rumah sakit dan para dokternya, harus
diartikan sebagai suatu upaya kerjasama berbagai pihak untuk mengendalikan risiko bersama.
Dari sisi sumber daya manusia, manajemen risiko dimulai dari pembuatan standar (set
standards), patuhi standar tersebut (comply with them), kenali bahaya (identify hazards), dan
cari pemecahannya (resolve them). Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ),
dalam rangka memaksimalkan patient safety, menyatakan bahwa terdapat beberapa elemen
yang harus dilakukan oleh rumah sakit untuk mencegah medical errors. Elemen-elemen
tersebut diterapkan bersama-sama dengan menerapkan manajemen risiko yang bertujuan
mengurangi atau menyingkirkan risiko. Elemen-elemen untuk mencegah medical errors
tersebut, adalah:
1. Mengubah budaya organisasi ke arah budaya yang berorientasi kepada keselamatan pasien.
Perubahan ini terutama ditujukan kepada seluruh sistem sumber daya manusia dari sejak
perekrutan (kredensial), supervisi dan disiplin. Rasa malu dalam melaporkan suatu kesalahan
dan kebiasaan menghukum “pelakunya” harus dikikis habis agar staf rumah sakit dengan
sukarela melaporkan kesalahan kepada manajemen dan atau komite medis, sehingga pada
akhirnya dapat diambil langkah-langkah pencegahan kejadian serupa di kemudian hari.
2. Melibatkan pimpinan kunci di dalam program keselamatan pasien, dalam hal ini manajemen
dan komite medik. Komitmen pimpinan dibutuhkan dalam menjalankan program-program
manajemen risiko, termasuk ronde rutin bersama ke unit-unit klinik.
3. Mendidik para profesional di rumah sakit di bidang pemahamannya tentang keselamatan
pasien dan bagaimana mengidentifikasi errors, serta upaya-upaya meningkatkan keselamatan
pasien.
4. Mendirikan Komisi Keselamatan Pasien di rumah sakit yang beranggotakan staf interdisiplin
dan bertugas mengevaluasi laporan-laporan yang masuk, mengidentifikasi petunjuk adanya
kesalahan, mengidentifikasi dan mengembangkan langkah koreksinya.
5. Mengembangkan dan mengadopsi Protokol dan Prosedur yang aman.
6. Memantau dengan hati-hati penggunaan alat-alat medis agar tidak menimbulkan kesalahan
baru.

TINJAUAN HUKUM KESELAMATAN PASIEN DI INDONESIA


Perlindungan kepentingan manusia merupakan hakekat hukum yang diwujudkan dalam bentuk
peraturan hukum,baikperundangan-undangan maupun peraturan hukum lainnya. Peraturan
hukum tidak semata dirumuskan dalam bentuk perundang-undangan namun berlaku dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang diperintahkan oleh perundangan-undangan.
Undang-undang sebagai wujud peraturan hukum dan sumber hukum formal merupakan alat
kebijakan pemerintah negara dalam melindungi dan menjamin hak-hak masyarakat sebagai
warga negara.
UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009 menyatakan pelayanan kesehatan yang aman merupakan
hak pasien dan menjadi kewajiban rumah sakit untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan
yang aman (Pasal 29 dan 32). UU Rumah Sakit secara tegas menyatakan bahwa rumah sakit
wajib menerapkan standar keselamatan pasien. Standar dimaksud dilakukan dengan
melakukan pelaporan insiden, menganalisa dan menetapkan pemecahan masalah. Untuk
pelaporan, rumah sakit menyampaikannya kepada komite yang membidangi keselamatan
pasien yang ditetapkan oleh menteri (Pasal 43). UU Rumah Sakit juga memastikan bahwa
tanggung jawab secara hukum atas segala kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan berada
pada rumah sakit bersangkutan (Pasal 46).
Organ untuk melindungi keselamatan pasien di rumah sakit lengkap karena UU Rumah Sakit
menyatakan pemilik rumah sakit dapat membentuk Dewan Pengawas. Dewan yang terdiri dari
unsur pemilik, organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan dan tokoh masyarakat itu bersifat
independen dan non struktural. Salah satu tugas Dewan adalah mengawasi dan menjaga hak
dan kewajiban pasien. Pada level yang lebih tinggi, UU Rumah Sakit juga mengamanatkan
pembentukan Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia. Badan yang bertanggung jawab
kepada Menteri Kesehatan itu berfungsi melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
rumah sakit. Komposisi Badan terdiri dari unsur pemerintah, organisasi profesi, asosiasi
perumahsakitan, dan tokoh masyarakat (Pasal 57).
Ketentuan mengenai keselamatan pasien juga diatur dalam UU Kesehatan No. 36 tahun 2009.
Beberapa pasal yang berkaitan dengan keselamatan pasien dalam UU Kesehatan tersebut
adalah:
1. Pasal 5 ayat (2), menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh
pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau.
2. Pasal 19, menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala
bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau.
3. Pasal 24 ayat (1), menyatakan bahwa tenaga kesehatan harus memenuhi ketentuan kode
etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar
prosedur operasional.
4. Pasal 53 ayat (3), menyatakan pelaksanaan pelayanan kesehatan harus mendahulukan
keselamatan nyawa pasien.
5. Pasal 54 ayat (1), menyatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan
secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan non diskriminatif.
Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) Departemen Kesehatan telah pula menyusun Standar
Keselamatan Pasien Rumah Sakit dalam instrumen Standar Akreditasi Rumah Sakit.
Departemen Kesehatan RI telah menerbitkan Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah
Sakit (Patient Safety) edisi kedua pada tahun 2008 yang terdiri dari dari 7 standar, yakni:
1. Hak pasien
2. Mendididik pasien dan keluarga
3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
4. Penggunaan metoda metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program
peningkatan keselamatan pasien
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien
Akreditasi rumah sakit saat ini adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi setiap rumah sakit
sebagai amanat Undang-undang no. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

Tanggung Jawab Hukum Keselamatan Pasien


Kerugian yang diderita pasien serta tanggung jawab hukum yang ditimbulkannya berpotensi
untuk menjadi sengketa hukum. Pemerintah bertanggung jawab mengeluarkan kebijakan
tentang keselamatan pasien.
Tanggung jawab hukum keselamatan pasien diatur dalam Pasal 58 UU Kesehatan No. 36
tahun 2009:
1. Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau
penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam
pelayanan kesehatan yang diterimanya.
2. Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga
kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan
seseorang dalam keadaan darurat.
Tanggung jawab hukum rumah sakit terkait keselamatan pasien diatur dalam:
Pasal 46 UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009
• Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan
atas kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan di rumah sakit

Pasal 45 UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009


1. Rumah sakit tidak bertanggung jawab secara hukum apabila pasien dan/atau keluarganya
menolak atau menghentikan pengobatan yang dapat berakibat kematian pasien setelah adanya
penjelasan medis yang komprehensif.
2. Rumah sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam rangka menyelamatkan
nyawa manusia.

KESIMPULAN
1. Keselamatan pasien merupakan upaya untuk melindungi hak setiap orang terutama dalam
pelayanan kesehatan agar memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu dan aman.
2. Indonesia salah satu negara yang menerapkan keselamatan pasien sejak tahun 2005
dengan didirikannya Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) oleh Persatuan
Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI). Dalam perkembangannya Komite Akreditasi Rumah
Sakit (KARS) Departemen Kesehatan menyusun Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit
dalam instrumen Standar Akreditasi Rumah Sakit.
3. Peraturan perundang-undangan memberikan jaminan kepastian perlindungan hukum
terhadap semua komponen yang terlibat dalam keselamatan pasien, yaitu pasien itu sendiri,
sumber daya manusia di rumah sakit, dan masyarakat. Ketentuan mengenai keselamatan
pasien dalam peraturan perundang-undangan memberikan kejelasan atas tanggung jawab
hukum bagi semua komponen tersebut.

Saran
1. Agar pemerintah lebih memperhatikan dan meningkatkan upaya keselamatan pasien dalam
rangka meningkatkan pelayanan kesehatan agar lebih bermutu dan aman dengan
mengeluarkan dan memperbaiki aturan mengenai keselamatan pasien yang mengacu pada
perkembangan keselamatan pasien (patient safety) internasional yang disesuaikan dengan
kondisi yang ada di Indonesia.
2. Agar setiap rumah sakit menerapkan sistem keselamatan pasien dalam rangka
meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan aman serta menjalankan peraturan
perundang-undangan yang mewajibkan untuk itu.
3. Agar seluruh komponen sarana pelayanan kesehatan bekerja sama dalam upaya
mewujudkan patient safety karena upaya keselamatan pasien hanya bisa bisa dicapai dengan
baik dengan kerjasama semua pihak.

KEPUSTAKAAN
1. Balsamo RR and Brown MD. Risk Management. Dalam: Sanbar SS, Gibofsky A, Firestone
MH, LeBlang TR, editor. Legal Medicine. Edisi ke-4. St Louis: Mosby; 1998.
2. Cahyono JBS. Membangun budaya keselamatan pasien dalam praktek kedokteran. Jakarta:
Kanisius; 2008.
3. Departemen Kesehatan RI. Panduan nasional keselamatan pasien rumah sakit (patient
safety). Edisi ke-2. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2008.
4. Firmanda D. Keselamatan pasien (patient safety) di rumah sakit. [document on the internet].
Jakarta: RSUP Fatmawati; 2008 (diunduh 21 Desember 2010). Tersedia dari:
http://www.scribd.com/doc/Dody-Firmanda-2008-Keselamatan-Pasien-Patient-Safety
5. Frankel A, Gandhi TK, Bates DW. Improving patient safety across a large integrated health
care delivery system. International Journal for Quality in Health care. 2003; 15 suppl. I: i31 –
i40.
6. Ghandi TK, Lee TH. Patient safety beyond the hospital. N Engl J Med. 2010; 363 (11):
1001-3.
7. Vincent C. Patient safety. Philadelphia: Elsevier; 2006.
8. Wachter RM, Shanahan J, Edmanson K, editor. Understanding patient safety. New York:
McGraw-Hill Companies; 2008.
9. Weeks WB, Bagian JP. Making the business case for patient safety. Joint Commission on
Quality and Safety. 2003; 29.
10. Wikipedia. Patient safety. [document on the internet]. Wikimedia Foundation: 2008 (diunduh
21 Desember 2010).Tersedia dari: http:// en.wikipedia.org/wiki/ patient_safety

Dasar hukum peraturan perundang-undangan:


1. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
2. Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

Diposting oleh dr. Yendi,SpAn,MH.Kes,M.Kes. di Selasa, Februari 15, 2011


Reaksi:

1 komentar:

safetyshoes online 3 September 2015 09.41

keren artikelnya
www.sepatusafetyonline.com

Balas

Masukkan komentar Anda...

Beri komentar sebagai: Frans (Google) Logout

Publikasikan Pratinjau Beri tahu saya

Link ke posting ini


Buat sebuah Link

Posting Lebih Baru Beranda

Langganan: Posting Komentar (Atom)

Entri Populer

Aspek Hukum Keselamatan Pasien (Patient Safety)


ASPEK HUKUM MANAJEMEN KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT Dr. Yendi PENDAHULUAN Rumah sakit sebagai tempat pelayanan
kesehatan modern adala...

REKAM MEDIS ELEKTRONIK


REKAM MEDIS ELEKTRONIK DALAM SISTEM INFORMASI RUMAH SAKIT Dr. Yendi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era
seperti saat ini, ...

HUKUM TEKNOLOGI REPRODUKSI BUATAN DI INDONESIA


PERKEMBANGAN HUKUM TEKNOLOGI REPRODUKSI BUATAN DI INDONESIA Law development in Assisted Reproductive Technology in
Indonesia dr.Yendi P...

Ambulatory Anesthesia
KONTROVERSI TERKINI DALAM ANESTESI BEDAH RAWAT JALAN DEWASA CURRENT CONTROVERSIES IN ADULT OUTPATIENT
ANESTHESIA dr. Yendi Abstrak ...

Bencana Sirkulasi Setelah Infiltrasi Lokal Epinefrin


Oleh: dr.Yendi Tindakan infiltrasi lokal epinefrin pada daerah pembedahan sering dilakukan pada suatu pembedahan. Tujuannya adalah
untuk...

Tema Sederhana. Diberdayakan oleh Blogger.

Vous aimerez peut-être aussi