Vous êtes sur la page 1sur 83

LAMPIRAN :

Panduan Praktik Klinis


KSM : Anestesiologi dan Terapi Intensif
RSUD Dr.MOEWARDI
2012 -2014

ANESTESI REGIONAL
1. Subtopik Sub Arachnoid Block / Anestesi Spinal

2. Tinjauan Umum Tehnik anestesi dengan memasukkan obat


anestesi lokal ke dalam ruangan subarachnoid
sehingga terjadi blok saraf yang reversibel pada
radix anterior dan posterior, radix ganglion
posterior dan sebagian medula spinalis yang
akan menyebabkan hilangnya aktivitas sensoris,
motoris dan otonom.

3. Indikasi 1. Operasi ekstrimitas bawah, baik operasi


jaringan lunak, tulang atau pembuluh
darah.
2. Operasi di daerah perineal : anal, rectum
bagian bawah, vaginal, dan urologi.
3. Operasi abdomen bagian bawah: hernia,
usus halus bagian distal, appendiks,
rectosigmoid, kandung kencing, ureter
distal, dan ginekologi.
4. Abdomen bagian atas: kolesistektomi,
gaster, kolostomi transversum. Tetapi
spinal anestesi untuk abdomen bagian atas
tidak dapat dilakukan pada semua pasien
sebab dapat menimbulkan perubahan
fisiologis yang hebat.
5. Seksio Sesarea (Caesarean Section).
6. Prosedur diagnostik yang menimbulkan rasa
nyeri, misalnya anoskopi, dan sistoskopi.

4. Kontraindikasi Absolut:
1. Gangguan pembekuan darah.
2. Sepsis.
3. Tekanan intrakranial yang meningkat.
4. Bila pasien menolak.
5. Adanya dermatitis kronis atau infeksi kulit di
daerah yang insersi jarum spinal.
6. Gangguan neurologis.
7. Hipotensi.

1
Relatif:
1. Perdarahan.
2. Kelainan tulang belakang.
3. Anak-anak.
4. Pasien tidak kooperatif atau psikosis.

5. Peralatan 1. Persiapan mesin anestesi, alat, dan obat


anestesi umum.
2. Sediakan obat – obat emergensi (sulfas
atropine, efedrin, epinefrin).
3. Obat anestesi lokal dan obat ajuvan lainnya.
4. Sarung tangan steril.
5. Plester.
6. Kain steril.
7. Spuit 3 ml dan 10 ml.
6. Tehnik 1. Memasang monitor standar pada pasien dan
mengamati tanda vital pasien.
2. Memasang dan memastikan jalur intravena
lancar.
3. Memposisikan pasien dengan cara:
a) Posisi Lateral. Kepala diberi bantal
setebal 7,5 – 10 cm, lutut dan paha
dalam keadaan fleksi mendekati perut.
Kepala fleksi ke arah dada.
b) Posisi duduk. Memerlukan seorang
asisten untuk memegang pasien agar
tidak jatuh. Pasien duduk dalam posisi
tegak dan kepala fleksi ke arah dada.
c) Posisi Prone. Dilakukan hanya bila dokter
bedah menginginkan posisi Jack Knife
atau prone.
3. Menentukan landmark celah antara L2-3,
L3-4, atau L4-5. Celah antara L3-4 atau
prosesus spinosus L4 bersifat tegak lurus
dari spina illiaca anterior superior.
4. Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik
kemudian ditutupi dengan “doek” bolong
steril.
5. Memberikan anestesi lokal pada celah yang
akan dilakukan penusukan jarum spinal.
6. Melakukan penusukan jarum spinal (atau
introduser) pada celah yang telah diberi
anestesi lokal. Penusukan jarum harus
sejajar dengan prosesus spinosus atau
sedikit membentuk sudut kearah cephalad,

2
dengan arah bevel ke lateral atau cephalad.
7. Mendorong jarum hingga melewati resisten-
si ligamentum flavum dan dura, terasa loss
of resistence pada rongga subarahnoid.
8. Mencabut mandrin jarum, dan memastikan
posisi jarum sudah tepat yang ditandai
dengan mengalir keluar cairan cerebrospinal
yang bening. Jarum dapat dirotasikan 90°
untuk memastikan kelancaran liquor yang
keluar. Penusukan harus diulang bila liquor
tidak keluar atau keluar darah.
9. Menyambungkan jarum dengan spuit berisi
obat anestesi lokal yang sudah
dipersiapkan. Aspirasi sedikit liquor, bila
lancar suntikan obat anestesi lokal secara
perlahan. Lakukan aspirasi ulang untuk
memastikan ujung jarum tetap pada posisi
yang tepat dan suntikan kembali obat.
10. Setelah selesai jarum dicabut dan posisi
pasien dikembalikan sesuai dengan yang
diinginkan.
11. Mengawasi airway, breathing, dan
circulation pasien serta ketinggian blok.
12. Mengamati perubahan fisiologis yang terjadi
serta menangani perubahan tersebut.
13. Setelah operasi selesai, pasien diawasi di
ruang pemulihan. Tanda vital tetap dipantau
dan diberikan penanganan jika terjadi
komplikasi, dan dilakukan penilaian dengan
Bromage score.

7. Pemeriksaan 1. Darah rutin (trombosit)


Penunjang 2. Faktor koagulasi
3. Untuk kasus dengan dugaan malformasi
vertebra : foto vertebra lumbal.

8. Edukasi 1. Puasa 6 jam sebelumnya.


2. Informed consent
3. Resiko dan komplikasi

9. Prognosis Ad vitam : dubia


Ad sanam : dubia
Ad fungsionam : dubia

10. Tingkat Evidens -

3
11. Tingkat -
Rekomendasi

12.Penelaah Kritis 1. dr. Sugeng Budi Santosa, SpAn,KMN


2. dr. Heri Dwi Purnomo, SpAn,M.Kes.

13. Indikator Medis Bromage Score ≤ 2

14. Kepustakaan 1. Butterworth, J.F., D.C. Mackey, J.D.


Wasnick. Morgan & Mikhail’s Clinical
Anaesthesiology 5th ed. New York: Lange
Medical Books/McGraw-Hill. 2013
2. Barash, P.G., B.F. Cullen, R.K. Stoelting.
Clinical Anaesthesia 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins.
2006

Surakarta, Agustus 2014

Ketua Komite Medik Ketua KSM Anestesiologi & Terapi Intensif

Dr.dr.Untung Alifianto,SpBS dr. Sugeng Budi Santosa,SpAn.KMN


NIP.19550305 198312 1 001 NIP. 19590620 1987011 1 001

RSUD Dr.Moewardi
Direktur

drg.Basoeki Soetardjo,MMR
NIP 19581018 198603 1 009

4
Panduan Praktik Klinis
KSM : Anestesiologi dan Terapi Intensif
RSUD Dr.MOEWARDI
2012 -2014

ANESTESI UMUM
1. Subtopik Anestesi Umum

2. Tinjauan Umum Keadaaan hilangnya rasa sakit yang terjadi


pada seluruh tubuh disertai hilangnya
kesadaran yang bersifat reversibel akibat
pemberian obat anestesi. Zat anestesi dapat
diberikan secara inhalasi, intravena,
intramuskuler, subkutan, per-oral, per-rektal.
Trias anestesi yaitu hipnotik (hilang kesadaran),
analgetik dan relaksasi.
Analgesia :
Terjadi hambatan sensoris, di sini stimulasi
nyeri dihambat secara sentral sehingga tidak
dapat diartikan di korteks serebri. Analgesia
bisa terjadi dalam berbagai tingkatan dimulai
dengan light analgesia (stadium I) sampai true
analgesia dimana semua sensasi hilang.
Relaksasi:
Bisa terjadi karena adanya hambatan motoris
dan hambatan refleks. Pada hambatan motoris
terjadi depresi area motorik di otak dan
hambatan impuls efferent, sehingga terjadi
relaksasi otot rangka. Efek depresi motoris ini
tergantung dari kedalaman anestesi, dimana
otot pernafasan / diafragma yang paling akhir
terdepresi.
Hipnotik:
Terjadi hambatan mental. Ada beberapa
tingkatan dimulai dari tenang, sedasi, light

5
sleep atau hipnosis, deep sleep atau narkosis,

complete anaesthesia, dan terakhir terjadi


depresi medulla oblongata.

3. Indikasi 1. Operasi infant dan anak-anak.


2. Operasi yang luas.
3. Operasi pada pasien dengan kelainan
mental.
4. Bila pasien menolak anestesi lokal/regional.
5. Operasi yang lama.
6. Operasi dimana dengan anestesi lokal tidak
praktis dan tidak menguntungkan.
7. Pasien dalam terapi anti koagulan.
8. Pasien yang alergi terhadap obat anestesi
lokal.

4. Kontraindikasi Tidak ditemukan kontraindikasi mutlak terhadap


tehnik ini.
Kontraindikasi relatif:
1. Riwayat hipertermia malignan.
2. Alergi terhadap zat / agen anestesi.

5. Peralatan 1. Mesin anestesia. Memeriksa terlebih dulu


sumber gas apakah sudah terhubung baik
dengan mesin. Selanjutnya memeriksa
flow-meter, vaporizer, katub inspirasi,
katub ekspirasi, katup APL (adjustable
pressure limit) valve, anesthetic breathing
circuit, reservoir bag, CO2 absorber canister
apakah telah terpasang dengan baik.
Setelah itu memeriksa apakah ada
kebocoran gas atau uap dalam sistem
sirkuit mesin tersebut.
2. Alat untuk menjaga patensi jalan nafas
(oral, nasal), sungkup muka, LMA (laringeal
mask airway), laringoskop, pipa
endotrakeal, Magill Forceps, stylet
(introducer), plester, stetoskop, konektor
pipa endotrakeal dengan mesin, pipa
nasogatrik. Alat pengisap (suction) harus
diperiksa berfungsi baik.
3. Obat obat anestesia umum, intravena pro-
pofol, ketamin) dan inhalasi N2O, halothane,
isoflurane, sevoflurane, dan desflurane.
4. Obat kegawatdaruratan seperti adrenalin,

6
sulfas atropin, efedrin, aminofilin, steroid,
obat anti aritmia (lidokain, amiodaron), loop

iuretics, inotropik, vasopressor (norepine-


phrine), obat hipotensif (nitroglycerin, nitro-
pruside), antikonvulsan (diazepam, MgSO4),
pelemas otot, obat antidotum (naloxon,
anticholinesterase dan bila ada flumazenil,
dantrolen), Natrium bicarbonate, Calcium
gluconas, KCl, morphine dan opioid lainnya
(fentanyl, pethidine).
5. Alat untuk menanggulangi difficult
intubation (video laringoskop, fibre optic
laryngsokop) termasuk peralatan trakeo-
stomi merupakan option.
6. Alat monitor standar non invasif seperti
EKG, NIBP, saturasi O2, suhu, ETCO2 harus
dipersiapkan dan dicek layak pakai atau
tidak.

6. Tehnik 1. Memasang jalur intravena dan memastikan


infus lancar.
2. Melakukan pemantauan tanda vital,
oksigenasi, tekanan darah, nadi, EKG, suhu,
dan aliran cairan infus
3. Premedikasi diberikan secara intravena atau
intramuskuler atau inhalasi. Setelah itu,
dilakukan induksi dengan obat anestesi
intravena, intramuskuler, atau langsung
dengan obat anestesi inhalasi.
4. Melakukan penanganan jalan nafas karena
dapat terjadi sumbatan jalan nafas yang
parsial atau total dengan Triple Airway
Manouver (ekstensi kepala, tarik angulus
mandibula, buka mulut), sungkup muka
(face mask), pengisapan lendir / saliva /
muntahan, pemasangan pipa oropharing
(mayo), intubasi endotrakheal.
5. Melakukan pemantauan tanda vital,
oksigenasi, tekanan darah, nadi, EKG, suhu,
dan aliran cairan infus, ventilasi (dengan
ETCO2 kalau ada), produksi urin, dan jumlah
perdarahan.
6. Mengatur kebutuhan obat untuk
mempertahankan sedasi, analgesi dan
relaksasi.

7
7. Pada akhir operasi memastikan pasien
bernafas spontan dan volume nafas adekuat
(kecuali bila direncanakan untuk melanjut-

kan bantuan nafas pasca bedah). Bila perlu


diberikan obat antidotum (reversal).
8. Mengakhiri anestesi dengan mulus, dan
mengawasi masa pemulihan. Melakukan
pengawasan terhadap komplikasi pasca
bedah dan penanggulangan terhadap mual
muntah, nyeri, obstruksi jalan nafas,
gangguan oksigenasi, bradipnea, apnea,
gangguan tekanan darah, dan lama pulih
sadar.

7. Pemeriksaan 1. Hitung darah lengkap


Penunjang 2. Ureum, kreatinin, dan elektrolit.
3. Glukosa darah.
4. Fungsi liver
5. Faktor koagulasi
6. EKG.
7. Foto thoraks dan foto cervical (bila perlu)

8. Edukasi 1. Puasa 6 jam sebelum operasi


2. Informed consent
3. Resiko dan komplikasi dari anestesi umum.

9. Prognosis Ad vitam : dubia


Ad sanam : dubia
Ad fungsionam : dubia
-
10. Tingkat Evidens
-
11. Tingkat
Rekomendasi

12.Penelaah Kritis 1. dr.H. Marthunus Judin,SpAn


2. dr. Sugeng Budi Santosa,SpAn.KMN

13. Indikator Medis 1. Aldrette Score ≥ 8 (untuk pasien dewasa)


2. Steward Score ≥ 5 (untuk pasien anak)

14. Kepustakaan 1. Butterworth, J.F., D.C. Mackey, J.D. Wasnick.


Morgan & Mikhail’s Clinical Anaesthesiology
5th ed. New York: Lange Medical
Books/McGraw-Hill. 2013
2. Barash, P.G., B.F. Cullen, R.K. Stoelting.

8
Clinical Anaesthesia 5th ed.

Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins.


2006

Surakarta, Agustus 2014


Ketua Komite Medik Ketua KSM Anestesiologi & Terapi Intensif

Dr.dr.Untung Alifianto,SpBS dr. Sugeng Budi Santosa,SpAn.KMN


NIP.19550305 198312 1 001 NIP. 19590620 1987011 1 001

RSUD Dr.Moewardi
Direktur

drg.Basoeki Soetardjo,MMR
NIP 19581018 198603 1 009

9
Panduan Praktik Klinis
KSM : Anestesiologi dan Terapi Intensif
RSUD Dr.MOEWARDI
2012 -2014

ALAT MONITORING INVASIF


1. Subtopik Arterial line

2. Tinjauan Umum Suatu prosedur pemasangan minimal invasive


untuk pengukuran tekanan darah sistemik
secara rutin dan analisa gas darah, terutama di
pakai pada perawatan pasien critical di
intensive care unit dan kamar operasi.

3. Indikasi 1. Pengukuran tekanan darah sistemik


2. Analis gas darah
3. Didapatkan kesulitan dalam menggunakan
metode pengukuran non invasif, misalnya
pada kondisi obesitas morbid, luka bakar
yang luas, pasien trauma yg tidak
memungkinkan menggunakan peralatan
non invasif.

4. Kontraindikasi 1. Sepsis lokal (semua route)


2. Diathesa hemorrhagik atau pengobatan
antikoagulan (vena subclavia dan vena
jugularis interna)
3. Penyakit paru berat (vena subclavia)
4. Aneurysma arteria carotis (vena jugularis
interna)

5. Peralatan 1. Antiseptik
2. Lokal anestesi lidokain 2%
3. Spuit 10 ml, 3ml
4. Heparin
5. IV kateter, needle ukuran 18/20 dengan
kanulasi plastik atau 14/16 untuk
hemodialisis
6. Sarung tangan steril
7. Bengkok
8. Cairan NaCl 0,9% (25 ml)

10
9. Plester

6. Tehnik • Persiapan
1. Lakukan allen test untuk mengecek
sirkulasi kolateral

2. Heparin 3-5 ml heparinized saline (50 unit)


3. IV kateter, needle 18/20 dengan kanulasi
plastik atau 14/16 untuk hemodialisis
4. Posisi pergelangan dan tangan (dorsofleksi)
5. Lokal anestesi lidokain 2%
 Insersi
1. Identifikasi arteri radialis
2. Jarum 45 derajat menuju arah lengan
3. Masukkan hingga darah keluar
4. Masukkan guide wire ke dalam arteri
5. Pindahkan jarum
6. Flushing kanula plastik dengan tehnik
seldinger
7. Berikan heparin saline 2cc
8. Sambungkan pada stopcock
9. Kemudian dihubungkan dengan
tranduser dan infus set

7. Pemeriksaan 1. Darah rutin


Penunjang 2. Elektrokardiografi
3. Analisa gas darah

8. Edukasi 1. Perdarahan
2. Komplikasi akut dan kronik
3. Tanda dan gejala trombosis arteri, emboli
serebral, aneurisma.
4. Tanda dan gejala infeksi/flebitis
5. Monitoring patensi arterial line akibat
bekuan darah
6. Kemungkinan cedera syaraf setelah
pemasangan
7. Perubahan posisi arterial line
8. Prognosis
9. Prognosis Ad vitam : dubia
Ad sanam : dubia
Ad fungsionam : dubia
-
10. Tingkat Evidens
-
11. Tingkat

11
Rekomendasi

12.Penelaah Kritis Sub Divisi Anestesi kardiovaskuler


1. dr. Purwoko SpAn,KAKV
2. dr. Bambang Novianto P,Sp An.M.Kes.Perf.

13. Indikator Medis 1. Angka kejadian infeksi


2. Analisa gas darah

14. Kepustakaan 1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ.


Clinical Anaesthesiology, 5th ed, New York:
Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2013
2. Yosef Shahar Bar, Rebecca A. Schroeder,
and Jonathan B. Mark.2008. Hemodynamic
Monitoring in Longnecker David E, David L.
Brown Mark F. Newman. Anesthesiology,
New york, The McGraw-Hill Companies.

Surakarta, Agustus 2014


Ketua Komite Medik Ketua KSM Anestesiologi & Terapi Intensif

Dr.dr.Untung Alifianto,SpBS dr. Sugeng Budi Santosa,SpAn.KMN


NIP.19550305 198312 1 001 NIP. 19590620 1987011 1 001

RSUD Dr.Moewardi
Direktur

drg.Basoeki Soetardjo,MMR
NIP 19581018 198603 1 009

12
Panduan Praktik Klinis
KSM : Anestesiologi dan Terapi Intensif
RSUD Dr.MOEWARDI
2012 -2014

ANESTESI BLOK SARAF TEPI


1. Subtopik Blok Saraf Aksiler

2. Tinjauan Umum Blok aksila biasanya dipilih untuk anestesi


ekstremitas atas bagian distal. Blok aksila
adalah teknik anestesi regional dasar dan yang
paling umum untuk blokade pleksus brakialis.
Risiko rendah, lokasi dangkal, dan analgesia
yang baik dari otot-otot lengan atas membuat
blok ini cocok untuk prosedur rawat jalan.

3. Indikasi Indikasi umum dari blok aksila adalah:


1. Prosedur bedah lengan bawah
2. Pembedahan pergelangan tangan
3. Pembedahan tangan

4. Kontraindikasi 1. Pasien menolak


2. Alergi anestesi lokal
3. Infeksi di tempat penyuntikan.
4. Limfadenopati aksila
5. Gangguan pembekuan darah berat
6. Penyakit saraf perifer sebelumnya

5. Peralatan 1. Persiapan obat dan alat anestesi umum


serta kit emergensi.
2. Duk lubang steril
3. Sarung tangan steril, pena penanda,
elktroda
4. Spuit 3cc untuk infiltrasi.
5. Stimulator saraf perifer
6. Spuit 20cc yang telah diisi dengan anestesi
lokal yang dipilih.
7. Obat anestesi lokal

13
6. Tehnik Dengan atau tanpa stimulator saraf tepi:
1. Periksa kesiapan alat (blok perifer,
resusitasi)dan obat yang diperlukan.
2. Siapkan kelengkapan tindakan untuk
asepsis dan antisepsis.
3. Pasang monitor standar pada pasien dan

amati tanda vital pasien.


4. Pasang jalur intravena pada ekstremitas lain
yang tidak diblok.
5. Premedikasi bila perlu.
6. Posisikan pasien dengan kepala pasien
miring ke arah sisi yang tidak diblok, dan
lengan yang akan diblok abduksi dan fleksi
di sendi siku sehingga aksila terekspose.
7. Tentukan landmark ......
8. Raba denyut arteri aksilaris pada lengan
yang akan diblok.
9. Lakukan asepsis.
10. Antisepsis daerah penyuntikan.
11. Anestesia lokal daerah penyuntikan.
12. Jarum stimulator 2 inci dihubungkan dengan
nerve stimulator, dengan arus 1,5 mA,
disuntikkan pada daerah di atas denyut
arteri aksilaris.
13. Amati adanya respon twitch tangan.
Kecilkan arus sampai didapat twitch
adekuat dengan arus 0,2 -0,4 mA.
Sesuaikan posisi jarum bila perlu.
14. Hubungkan syringe berisi anestesia lokal
dengan jarum stimulator. Aspirasi dan
injeksikan anestesia lokal secara pelan dan
aspirasi sering.
15. Bila perlu dapat dicari respon motorik
nervus medianus, ulnaris, radialis satu
persatu.

7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan darah rutin


Penunjang 2. Pemeriksaan waktu pembekuan, jika
diperlukan faktor pembekuan

8. Edukasi 1. Monitor jalan nafas, pernafasan maupun


sirkulasi darah, intensitas dan dermatom,
osteotom, miotom yang terblok.
2. Penatalaksanaan rasa tidak nyaman pasien

14
selama blok interskalenus pleksus
brakhialis.
3. Komplikasi yang terjadi, pencegahan dan
penatalaksanaannya.
4. Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat

9. Prognosis Dubia

10. Tingkat Evidens -

11. Tingkat -
Rekomendasi
12.Penelaah Kritis Konsultan anestesi regional
1. dr. Sugeng Budi Santosa,SpAn.KMN
2. dr. Heri Dwi Purnomo,SpAn.M.Kes.

13. Indikator Medis 1. Hilangnya rangsang nyeri


2. Tidak ada gangguan di sirkulasi darah

14. Kepustakaan 1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ.


Clinical Anaesthesiology, 5th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill;
2013.
2. Hadzic A. Textbook of Regional Anesthesia
and Acute Pain Management. New York
Society of Regional Anesthesia/Mc Graw-Hill
2007

Surakarta, Agustus 2014


Ketua Komite Medik Ketua KSM Anestesiologi & Terapi Intensif

Dr.dr.Untung Alifianto,SpBS dr. Sugeng Budi Santosa,SpAn.KMN


NIP.19550305 198312 1 001 NIP. 19590620 1987011 1 001

RSUD Dr.Moewardi
Direktur

drg.Basoeki Soetardjo,MMR
NIP 19581018 198603 1 009

15
Panduan Praktik Klinis
KSM : Anestesiologi dan Terapi Intensif
RSUD Dr.MOEWARDI
2012 -2014

BLOK SARAF TEPI


1. Subtopik Blok nervus femoral

2. Tinjauan Umum Blok femoral adalah bagian anestesi regional


yang menyebabkan anestesi lokal pada daerah
kaki yang dipersyarafi oleh nervus femoralis,
akibat injeksi obat anestesi lokal. Blok ini
mempengaruhi bagian anterior dan medial
tungkai atas.

3. Indikasi 1. Operasi pada daerah kaki bagian atas, lutut,


bagian medioventral kaki bagian bawah
yang dipersyarafi nervus saphenus
2. Terapi nyeri post amputasi

4. Kontraindikasi Absolut
1. Pasien mondok
2. Alergi anestesi lokal
3. Infeksi atau hematom pada daerah injeksi
4. Terapi antikoagulan
5. Lesi pada nervus di bawah daerah blok
Relatif
1. Hemoragik diatesis
2. Penyakit sistem syaraf pusat
3. Cedera syaraf lokal

5. Peralatan 1. Persiapan peralatan dan obat anestesi


umum
2. Akses intra vena
3. Monitor EKG
4. Pulse oksimetri
5. Obat-obatan emergency

16
6. Nerve stimulator
7. Jarum untuk regional anestesi
8. Spuit 3 cc, 5 cc, 10 cc
9. Obat anestesi lokal
10. Disinfectan
11. Sarung tangan steril
12. Duk lubang

6. Tehnik 1. Pasien dalam posisi supine


2. Dilakukan tindakan disinfektan pada daerah
injeksi
3. Ligamen inguinal diidentiikasi lalu membuat
garis antara spina iliaka anterior superior
dan tuberkel pubis.
4. Di pertengahan garis tersebut arteri
femoralis diidentiikasi dengan palpasi.
5. Injeksi obat anestesi lokal untuk infiltrasi
6. Lokasi penusukan tegak lurus kulit di 2 cm
lateral dari arteri femoralis dan 2 cm distal
dari garis ligamen inguinal dengan
kedalaman 2-3 cm.
7. Identii kasi kontraksi muskulus
kuadriseps atau patellar snap , lalu
turunkan < 0,5 mA,
8. Lalu injeksi 20-30 ml anestetik lokal
9. Tutup dengan kasa steril daerah injeksi
10. Observasi sampai efek obat lokal anestesi
bekerja.

Gambar blok femoral

7. Pemeriksaan 1. Darah rutin


Penunjang 2. Elektrocardiografi

17
3. Foto rontgen

8. Edukasi 1. Komplikasi akut dan kronik


2. Tanda dan gejala intoksikasi obat lokal
anestesi
3. Tanda dan gejala cedera syaraf
4. Tanda dan gejala infeksi dan hematom
5. Monitoring patensi jalan nafas dan
kesadaran

6. Prognosis

9. Prognosis Ad vitam : Dubia


Ad sanam : Dubia
Ad fungsionam : Dubia
-
10. Tingkat Evidens
-
11. Tingkat
Rekomendasi

12.Penelaah Kritis Sub Divisi Anestesi Regional


1. dr. Sugeng Budi Santosa,SpAn.KMN
2. dr. Heri Dwi Purnomo,SpAn.M.Kes.

13. Indikator Medis 1. Visual analaog scale


2. Angka kejadian intoksikasi obat lokal anestesi
3. Angka kejadian infeksi dan hematom

14. Kepustakaan 1. Morgan GE Jr. Mikhail MS, Murray MJ. Clinical


Anesthesiology, 5th ed. USA: McGraw-Hill Co.;
2013
2. Meier G, Büttner J. Regional Anesthesi: Pocket
Compendium of Peripheral Nerve Blocks.
Munich: Arcis Publ. Co.; 2004.
3. Jankovic D. Regional Nerve Blocks and
InfiItration Therapy Textbook and Color Atlas
3rd Edition. Germany : ABW
Wissenschaftsverlag. : 2004

Surakarta, Agustus 2014


Ketua Komite Medik Ketua KSM Anestesiologi & Terapi Intensif

Dr.dr.Untung Alifianto,SpBS dr. Sugeng Budi Santosa,SpAn.KMN


NIP.19550305 198312 1 001 NIP. 19590620 1987011 1 001

18
RSUD Dr.Moewardi
Direktur

drg.Basoeki Soetardjo,MMR
NIP 19581018 198603 1 009

Panduan Praktik Klinis


KSM : Anestesiologi dan Terapi Intensif
RSUD Dr.MOEWARDI
2012 -2014

ANESTESI BLOK SARAF TEPI


1. Subtopik Blok nervus sciatik

2. Tinjauan Umum Blok sciatik adalah bagian anestesi regional


yang menyebabkan anestesi lokal pada daerah
kaki yang dipersyarafi oleh nervus sciatik,
akibat injeksi obat anestesi lokal. Pleksus
sakralis (L4-5, S1-3) membentuk saraf skiatik,
sekitar 2 cm lebarnya ketika keluar dari pelvis.

3. Indikasi 1. Operasi pada daerah kaki dan ankle


2. Sebagai terapi nyeri pada post operasi lutut

4. Kontraindikasi Absolut
1. Pasien mondok
2. Alergi anestesi lokal
3. Infeksi atau hematom pada daerah injeksi
4. Terapi antikoagulan
5. Lesi pada nervus di bawah daerah blok
Relatif
1. Hemoragik diatesis
2. Penyakit sistem syaraf pusat
3. Cedera syaraf lokal

5. Peralatan 1. Persiapan alat dan obat anestesi umum


2. Akses intra vena
3. Monitor EKG
4. Pulse oksimetri
5. Obat-obatan emergensi (kit emergensi)
6. Nerve stimulator
7. Jarum untuk regional anestesi

19
8. Spuit 3 cc, 5 cc, 10 cc
9. Obat anestesi lokal
10. Disinfectan
11. Sarung tangan steril
12. Duk lubang

6. Tehnik 1. Pasien diposisikan lateral dekubitus (Sim’s


position) ke arah berlawanan dengan saraf
yang akan diblok.

2. Batasan yang digunakan adalah trokanter


mayor, spina iliaka posterior superior, dan
hiatus sakral.
3. Garis pertama dibuat dari trokanter mayor
dan spina iliaka posterior superior dan garis
kedua dari trokanter mayor dan hiatus
sakral.
4. Titik tengah dari garis trokanter mayor dan
spina iliaka posterior superior diberi tanda
dan dibuat garis tegak lurus dengan titik
tengah itu ke arah kaudal hingga
bersilangan dengan garis trokanter mayor
dan hiatus sakral (kurang lebih 5 cm), titik
persilangan itu merupakan lokasi blok.
5. Jarum dimasukkan tegak lurus hingga
terdapat respon motorik muskulus gluteal,
pergelangan kaki, kaki, dan jari kaki.
6. Setelah semua respon motorik didapat,
turunkan stimulator hingga < 0,5 mA, lalu
masukkan 20-30 ml anestetik lokal

20
Gambar blok sciatik

7. Pemeriksaan 1. Darah rutin


Penunjang 2. Elektrokardiografi
3. Foto rontgen

8. Edukasi 1. Komplikasi akut dan kronik


2. Tanda dan gejala intoksikasi obat lokal
anestesi
3. Tanda dan gejala cedera syaraf

4. Tanda dan gejala infeksi dan hematom


5. Monitoring patensi jalan nafas dan
kesadaran
6. Prognosis

9. Prognosis Ad vitam : Dubia


Ad sanam : Dubia
Ad fungsionam : Dubia
10. Tingkat Evidens -
11. Tingkat -
Rekomendasi
12.Penelaah Kritis Sub Divisi Anestesi Regional
1. dr. Sugeng Budi Santosa,SpAn.KMN
2. dr. Heri Dwi Purnomo,SpAn.M.Kes.

13. Indikator Medis 1. Visual analog scale


2. Angka kejadian intoksikasi obat lokal
anestesi
3. Angka kejadian infeksi dan hematom

14. Kepustakaan 1. Morgan GE Jr. Mikhail MS, Murray MJ.


Clinical Anesthesiology, 5th ed. USA:
McGraw-Hill Co.; 2013
2. Meier G, Büttner J. Regional Anesthesi:
Pocket Compendium of Peripheral Nerve
Blocks. Munich: Arcis Publ. Co.; 2004.
3. Jankovic D. Regional Nerve Blocks and
InfiItration Therapy Textbook and Color
Atlas 3rd Edition. Germany : ABW
Wissenschaftsverlag. : 2004

Surakarta, Agustus 2014


Ketua Komite Medik Ketua KSM Anestesiologi & Terapi Intensif

21
Dr.dr.Untung Alifianto,SpBS dr. Sugeng Budi Santosa,SpAn.KMN
NIP.19550305 198312 1 001 NIP. 19590620 1987011 1 001

RSUD Dr.Moewardi
Direktur

drg.Basoeki Soetardjo,MMR
NIP 19581018 198603 1 009

Panduan Praktik Klinis


KSM : Anestesiologi dan Terapi Intensif
RSUD Dr.MOEWARDI
2012 -2014

ANESTESI PADA BEDAH UROLOGI


1. Subtopik Benign Prostate Hypertrophy - Trans Urethral
Resection of Prostate (TURP)

2. Tinjauan Umum Benign Prostate Hypertrophy adalah


Pembesaran non malignan dari prostat akibat
pertumbuhan berlebih kelenjar dan stroma dari
kelenjar prostat tersebut. Gejala muncul
sebagai akibat penekanan kanalis uretra dan
gangguan aliran urine yang normal.
Trans Urethral Resection of Prostate (TURP)
adalah standar pembedahan endoskopik untuk
kasus Benign Prostat Hypertrophy (pembesaran
prostat jinak) dengan cara bedah elektro
(electrosurgical) atau metode alternatif lain
yang bertujuan untuk mengurangi perdarahan,
masa rawat inap, dan absorpsi cairan saat
operasi.

3. Anamnesis 1. Frekuensi berkemih yang meningkat pada


malam hari (frequency).
2. Rasa berkemih yang tiba-tiba muncul dan
tak tertahankan (urgency).
3. Pancaran urine yang lemah (hesitancy).
4. Urine masih tersisa setelah berkemih.
5. Perlu mendorong atau mengejan saat mulai
berkemih dan mempertahankan aliran
urine.
6. Urine menetes pada akhir berkemih.

4. Pemeriksaan Fisik 1. Tekanan darah, nadi, respirasi, suhu, nyeri,

22
dan berat badan.
2. Distensi kandung kemih pada daerah
suprapubik.
3. Pemeriksaan neurologi untuk defisit
sensoris dan motoris.
4. Pemeriksaan colok dubur.

5. Diagnosis 1. Pemeriksaan ultrasonografi (abdominal,


renal, transrectal)
2. Urografi intravena

6. Diagnosis banding 1. Kanker buli-buli.


2. Kanker prostat.
3. Batu buli-buli.
4. Batu uretra.
5. Nyeri pelvis kronis.
6. Sistitis interstisial.
7. Gangguan neurogenik buli-buli.
8. Prostatitis bakterial.
9. Striktur uretra.
10. Infeksi saluran kemih.

7. Pemeriksaan 1. Darah rutin.


penunjang 2. Faktor koagulasi.
3. Urinalisis dan kultur urine.
4. Prostate Spesific Antigen
5. Elektrolit, BUN, dan kreatinin.
6. Ultrasonografi.
7. Pemeriksaan histopatologi.
8. Urografi intravena

8. Manajemen Tehnik anestesi terpilih bergantung pada


anestesi penyakit penyerta dan riwayat pasien. Anestesi
regional memiliki beberapa kelebihan daripada
anestesi umum karena memungkinkan deteksi
status mental, dan sindrom TURP yang lebih
dini. Anestesi epidural tidak memiliki manfaat
yang lebih daripada anestesi spinal.
Anestesi regional:
 Spinal anestesi dengan 12,5 – 15 mg
bupivacaine.
Anestesi umum:
1. Dimulai dengan induksi dan pemeliharaan
anestesi standar. Pelumpuh otot tidak wajib
diberikan, meskipun diketahui bahwa
pergerakan pasien selama prosedur mesti

23
dihindari.
2. Perdarahan biasanya sedang, kecuali jika
sinus venosus terbuka. Sulit menghitung
perdarahan karena adanya cairan irigasi
yang digunakan untuk membilas darah dan
jaringan agar lapangan operasi tetap jelas.
3. Pengawasan tanda vital melalui monitor
standar.
4. Pengawasan terhadap kemungkinan ter-
jadinya sindrom TURP. Faktor yang mempe-

ngaruhi meliputi penyerapan cairan irigasi


meliputi: tehnik pembedahan; tekanan
hidrostatik cairan irigasi
(ketinggian cairan); jumlah sinus venosus
yang terbuka; tekanan vena perifer; durasi
pembedahan; dan pengalaman ahli bedah.
Reseksi sebaiknya dibatasi selama 1 jam
atau kurang. Terapi yang dapat diberikan
diuretik furosemide 5 – 20 mg/IV dan
pemberian saline hipertonik (misalnya
saline 3% 100 ml selama 1 – 2 jam). Kadar
natrium dipertahankan di atas 120.
5. Pada posisi litotomi, dapat terjadi
penekanan nervus peroneal pada caput
fibula lateral yang menyebabkan drop foot.

9. Edukasi 1. Puasa makanan padat 5 jam sebelum


prosedur.
2. Puasa air jernih 3 jam sebelum prosedur.
3. Informed consent.
4. Resiko dan komplikasi anestesi.

10. Prognosis Ad vitam : Dubia


Ad sanam : Dubia
Ad fungsionam : Dubia

11. Tingkat evidence -


12. Tingkat -
rekomendasi

13. Penelaah Klinis 1. dr. Heri Dwi Purnomo,SpAn.M.Kes.


2. dr. Husni Thamrin, SpAn.M.Kes.

14. Indikator medis 1. Tanda vital stabil durante prosedur.


2. Tidak dijumpai gejala sindrom TURP.
3. Perdarahan terkontrol.

24
4. Elektrolit dalam batas normal.

15. Kepustakaan 1. Butterworth, J.F., D.C. Mackey, J.D. Wasnick.


Morgan & Mikhail’s Clinical Anaesthesiology
5th ed. New York: Lange Medical
Books/McGraw-Hill. 2013
2. Hines, R.L., K.E. Marschall. Stoelting’s
Anesthesia and Co-Existing Disease 6th ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders. 2012.

3. Jaffe, R.A., S.I. Samuels. Anesthesiologist’s


Manual of Surgical Procedures. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins. 2009.

Surakarta, Agustus 2014


Ketua Komite Medik Ketua KSM Anestesiologi & Terapi Intensif

Dr.dr.Untung Alifianto,SpBS dr. Sugeng Budi Santosa,SpAn.KMN


NIP.19550305 198312 1 001 NIP. 19590620 1987011 1 001

RSUD Dr.Moewardi
Direktur

drg.Basoeki Soetardjo,MMR
NIP 19581018 198603 1 009

25
Panduan Praktik Klinis
KSM : Anestesiologi dan Terapi Intensif
RSUD Dr.MOEWARDI
2012 -2014

PEMASANGAN KATETER INTRAVENA


1. Subtopik Central venous catheter

2. Tinjauan Umum Central venous catheter atau kateter vena


sentral merupakan suatu tindakan berupa
pemasangan kateter vena pada pembuluh darah
vena yang langsung menuju ke jantung.

3. Indikasi 1. Monitoring tekanan vena sentral


2. Resusitasi cairan
3. Cardiac arrest
4. Kesulitan mendapatkan akses vena perifer
5. Jalur infus cairan konsentrat
6. Menempatkan pacemaker intravena
7. Cardiac catheterization
8. Pulmonary angiography
9. Hemodialisis

4. Kontra Indikasi 1. Gangguan pembekuan darah


2. Terapi koagulan atau trombolitik
3. Kelainan anatomi lokal
4. Selulitis, luka bakar, dermaittis yang berat
pada daerah pemasangan
5. Vasculitis

5. Peralatan 1. Kateter CVP


2. Set CVP
3. Spuit 5 ml, spuit 10 ml
4. Antiseptik
5. Obat anestesi lokal

26
6. Sarung tangan steril
7. Bengkok, mangkok 2 buah
8. Cairan NaCl 0,9% (25 ml)
9. Plester
10. Heparin

6. Tehnik • Teknik kanulasi v. subklavia


1. Baringkan pasien dengan posisi kepala ke
bawah 30o dengan kepala diarahkan kearah

berlawanan dengan tempat penusukan.


2. Fiksasi kepala dan badan sehingga tidak
bergerak.
3. Kenakan sarung tangan, dan bersihkan
daerah dada atas dengan cairan antiseptik.
4. Tentukan tempat penusukan 1 cm di bawah
pertengahan klavikula atau antara sepertiga
tengah dan sepertiga medial klavikula.
5. Berikan anestesi lokal dengan suntikan
infiltrasi Lignokain 1% dan tutup daerah
sekitar dengan kain penutup steril
hubungkan jarum dengan semprit dan
tusukkan jarum di bawah klavikula dan
arahkan ke tonjolan supra sternal.
6. Dorong jarum sambil menarik pompa
semprit menyusur bawah klavikula.
7. Segera setelah keluar darah lepaskan
semprit dari jarum sambil menutup ujung
jarum untuk mencegah emboli udara.
8. Bila tidak berhasil tarik kembali jarum
kearah kulit sambil tetap menarik pompa
semprit kemudian dorong kembali jarum
dengan arah sedikit lebih ke atas
9. Masukkan kawat pemandu ke dalam jarum
dan pembuluh darah, jahit kateter ke kulit
dan tarik kembali kawat pemandu.
10. Tutup ujung kateter sebelum
menghubungkan dengan pipa IVFD untuk
mencegah emboli udara .
11. Fiksasi dengan plester dan buat foto toraks
untuk memastikan letak kateter dan
memastikan tidak ada pneumotoraks.
• Teknik kanulasi v. jugularis interna
1. Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih

27
rendah 15-300 dengan kepala di arahkan ke
kiri dan pegang atau fiksasi kepala dan
badan anak.
2. Kenakan sarung tangan dan bersihkan
daerah leher dengan cairan antiseptik
kemudian tutup daerah sekitar dengan kain
penutup steril.
3. Tentukan tempat penusukan pada puncak
segitiga yang dibentuk oleh m. sterno kleido
mastoideus dan klavikula dan dan suntikkan
dengan cara infiltrasi Lignokain untuk anes-

tesi lokal.
4. Hubungkan jarum dengan semprit kemudian
arahkan ujung jarum dengan sudut 30o
tusukkan ke arah puting dada sambil
menarik pompa semprit untuk melakukan
aspirasi.
5. Segera setelah darah keluar lepaskan
semprit dari jarum , tutup ujung jarum
untuk mencegah masuknya udara.
6. Bila tidak berhasil tarik kembali ke arah kulit
dan dorong kembali 5-10o ke arah lateral.
7. Masukkan kawat pemandu ke dalam jarum
dan pembuluh darah, cabut jarum dengan
memastikan kawat tetap pada tempatnya
dan kemudian masukkan kateter melalui
kawat pemandu ke dalam vena.
8. Jahit kateter ke kulit dan tarik kawat
pemandu, tutup ujung kateter untuk
mencegah masuknya emboli udara dan
hubungkan dengan set IVFD.
9. Fiksasi dengan plester dan buat foto toraks
untuk memastikan letak kateter dan
memastikan tidak ada pneumotoraks.
• Teknik kanulasi v. femoralis
1. Baringkan pasien telentang dengan paha
sedikit abduksi dan fiksasi tungkai bawah.
2. Kenakan sarung tangan dan bersihkan kulit
dengan cairan antiseptik kemudian tutup
dengan kain penutup steril.
3. Tentukan tempat penusukan dengan
meraba a. femoralis. V. femoralis terletak
sebelah medial dari a. femoralis.
4. Berikan suntikan infiltrasi dengan Lignokain
untuk melakukan anestesi lokal dan

28
hubungkan jarum dengan semprit kemudian
bilas dengan larutan NaCl steril.
5. Dengan tetap meraba arteri dengan satu jari
tusuk jarum dengan sudut 450 ke arah
umbilikus.
6. Dorong jarum sambil menarik semprit untuk
melakukan aspirasi.
7. Setelah darah keluar lepaskan semprit dari
jarum kemudian masukkan kawat pemandu
kemudian cabut jarum dengan perlahan
kemudian masukkan introducer atau

kateter.
8. Dorong kateter sampai ke vena cava
inferior. Jahit kateter ke kulit dan tarik
kembali kawat pemandu kemudian
hubungkan dengan set infus dan fiksasi
dengan plester.

7. Pemeriksaan 1. Darah rutin


penunjang 2. Glukosa darah sewaktu
3. Foto thorax PA
4. Elektrokardiografi
5. Analisa gas darah

8. Edukasi 1. Komplikasi akut dan kronik


2. Tanda dan gejala emboli udara
3. Tanda dan gejala pneumothorak
4. Tanda dan gejala infeksi
5. Monitoring patensi CVC akibat bekuan darah
6. Kemungkinan cedera syaraf setelah
pemasangan
7. Perubahan posisi kateter
8. Prognosis

9. Prognosis Ad vitam : Dubia


Ad sanam : Dubia
Ad fungsionam : Dubia

10. Tingkat evidence -

11. Tingkat -
Rekomendasi

12. Penelaah Kritis Sub Divisi Anestesi kardiovaskuler


1. dr. Purwoko,SpAn.KAKV
2. dr. Bambang Novianto Putro,SpAn.M.Kes.

29
13. Indikator medis 1. Angka kejadian pneumothorak
2. Angka kejadian sepsis

14. Kepustakaan 1. Chamedes L and Hazinski MF : Pediatric


Advanced Life Support, American Heart
AssociationandAmerican Academy of
Pediatrics, Emergency cardiovascular Care
Program 1997–1999.
2. Roberts and Hedges. Clinical Procedures in
Emergency Medicine, 4th edition, 2004.
3. McIntosh W . Central venous catheters :

reasons for insertion and removal. Paediatric


Nursing.2003. Vol 15, No 1

Surakarta, Agustus 2014


Ketua Komite Medik Ketua KSM Anestesiologi & Terapi Intensif

Dr.dr.Untung Alifianto,SpBS dr. Sugeng Budi Santosa,SpAn.KMN


NIP.19550305 198312 1 001 NIP. 19590620 1987011 1 001

RSUD Dr.Moewardi
Direktur

drg.Basoeki Soetardjo,MMR
NIP 19581018 198603 1 009

30
Panduan Praktik Klinis
KSM : Anestesiologi dan Terapi Intensif
RSUD Dr.MOEWARDI
2012 -2014

ANESTESI BEDAH DASAR


1. Subtopik Hernia

2. Tinjauan Umum Penonjolan peritoneum yang berisi alat viscera


dari rongga abdomen melalui suatu lokus
minoris resistensi baik bawaan maupun didapat.
Viscera cavum peritonium menonjol melalui
defek atau bagian lemah dari bagian muskulo-
aponeurotik dinding perut. Terdiri atas cincin,
kantong dan isi hernia.

3. Anamnesis 1. Keluhan utama pasien dan sudah berapa


lama diderita.
2. Benjolan pada perut yang bisa bersifat
hilang timbul sesuai posisi tubuh ataupun
menetap.
3. Mual, muntah, BAB, makan dan minum
terakhir.
4. Nyeri saat manipulasi baik secara spontan
maupun manual.

4. Pemeriksaan Fisik 1. Tekanan darah, nadi, respirasi, suhu, nyeri,


dan berat badan.
2. Pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien
berdiri dan duduk dengan dan tanpa
manuver Valsava.
3. Inspeksi, auskultasi, palpasi, dan perkusi
abdomen.
4. Menentukan lokasi, ukuran, sifat,

31
konsistensi benjolan atau massa.

5. Diagnosis Anamnesis dan pemeriksaan klinis.

6. Diagnosis 1. Abses genitalia


Banding 2. Lipoma.
3. Limfadenitis.
4. Pseudoaneurisma.
5. Tumor.
6. Varikokel.
7. Undesensus testis.

7. Pemeriksaan 8. Epididimitis akut.


Fisik 9. Hidrokel.
10. Torsio testis.

8. Pemeriksaan 1. Darah rutin.


penunjang 2. Faktor koagulasi.
3. Fungsi liver dan ginjal.
4. Glukosa darah.
5. Elektrolit.
6. Ultrasonografi abdomen.
7. Foto polos abdomen.
8. CT Scan abdomen.

9. Manajemen 1. Tehnik anestesi terpilih adalah anestesi


Anestesi umum dengan intubasi endotrakheal dan
epidural analgesia.
2. Induksi pasien dengan hernia yang disertai
tanda-tanda akut abdomen beresiko
mengalami aspirasi pulmonal. Sehingga
sebaiknya melakukan intubasi sadar atau
rapid sequence induction dengan penekanan
cricoid. Suction diperlukan untuk
mengamankan jalan napas selama
laringoskopi.
3. Koreksi hipovolemik dengan resusitasi
cairan yang tepat.
4. Pemeliharaan standar tanpa N2O. Analgetik
dapat diberikan melalui kateter epidural.
5. Hemodinamik pasien dipantau selama
operasi, diusahakan tetap stabil.
6. Ekstubasi dilakukan jika pengaruh obat
pelumpuh otot sudah hilang dan fungsi
respirasi sudah kembali normal (spontan).

32
10. Edukasi 1. Puasa 6 jam sebelum prosedur.
2. Informed consent.
3. Resiko dan komplikasi anestesi.

11. Prognosis Ad vitam : Dubia


Ad sanam : Dubia
Ad fungsionam : Dubia

12. Tingkat evidence -

13. Tingkat -
rekomendasi

14. Penelaah Klinis 1. dr. RTH. Supraptomo,SpAn


2. dr. Fitri Hapsari,SpAn

15. Indikator medis 1. Tanda vital stabil durante prosedur.


2. Balans cairan positif
3. Perdarahan terkontrol.

16. Kepustakaan 1. Butterworth, J.F., D.C. Mackey, J.D.


Wasnick. Morgan & Mikhail’s Clinical
Anaesthesiology 5th ed. New York: Lange
Medical Books/McGraw-Hill. 2013
2. Hines, R.L., K.E. Marschall. Stoelting’s
Anesthesia and Co-Existing Disease 6th ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders. 2012.
3. Jaffe, R.A., S.I. Samuels. Anesthesiologist’s
Manual of Surgical Procedures. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins. 2009.
4. Debas, H.T.. Gastrointestinal Surgery:
Patophysiology and Management. New York:
Springer. 2009.

Surakarta, Agustus 2014


Ketua Komite Medik Ketua KSM Anestesiologi & Terapi Intensif

Dr.dr.Untung Alifianto,SpBS dr. Sugeng Budi Santosa,SpAn.KMN


NIP.19550305 198312 1 001 NIP. 19590620 1987011 1 001

RSUD Dr.Moewardi
Direktur

33
drg.Basoeki Soetardjo,MMR
NIP 19581018 198603 1 009

Panduan Praktik Klinis


KSM : Anestesiologi dan Terapi Intensif
RSUD Dr.MOEWARDI
2012 -2014

BLOK SARAF TEPI


1. Subtopik Blok Saraf Infraklavikula

2. Tinjauan Umum Blok Infraklavikula biasanya dipilih untuk


anestesi lengan atas distal dan lengan bawah
termasuk pergelangan tangan dan tangan. Blok
infraklavikula sering digunakan untuk blokade
pleksus brakialis mengingat mempunyai resiko
rendah, lokasi dangkal, dan analgesia yang baik
dari otot-otot lengan atas membuat blok ini
cocok untuk prosedur bedah lengan atas
terutama prosedur bedah tulang.

3. Indikasi Indikasi umum dari blok aksila adalah:


1. Prosedur bedah lengan atas distal
2. Prosedur bedah lengan bawah
3. Pembedahan pergelangan tangan
4. Pembedahan tangan

4. Kontra Indikasi Meliputi :


1. Infeksi di tempat penyuntikan.
2. Limfadenopati aksila
3. Gangguan pembekuan darah berat
4. Penyakit saraf perifer sebelumnya

5. Peralatan 1. Persiapan obat dan alat anestesi umum.


2. Duk lubang steril

34
3. Sarung tangan steril, pena penanda,
elktroda
4. Spuit 3cc untuk infiltrasi.
5. Stimulator saraf perifer
6. Spuit 20cc yang telah diisi dengan anestesi
lokal yang dipilih.
7. Obat anestesi lokal

6. Teknik Dengan stimulator saraf tepi, pendekatan


vertikal:
1. Periksa kesiapan alat (blok perifer,
resusitasi) dan obat yang diperlukan dan
cek kesiapan alat.

2. Siapkan kelengkapan tindakan untuk


asepsis dan antisepsis.
3. Pasang monitor standar pada pasien dan
amati tanda vital pasien.
4. Pasang jalur intravena pada ekstremitas lain
yang tidak diblok.
5. Premedikasi bila perlu.
6. Posisikan pasien dengan kepala pasien
miring ke arah sisi yang tidak diblok, dan
lengan yang akan diblok posisi sejajar
dengan tubuh pasien.

7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan darah rutin.


penunjang 2. Pemeriksaan waktu pembekuan dan faktor-
faktor pembekuan bila perlu

8. Edukasi 1. Monitor ABC, intensitas dan dermatom,


osteotom, miotom yang terblok.
2. Penatalaksanaan rasa tidak nyaman pasien
selama blok interskalenus pleksus
brakhialis.
3. Komplikasi yang terjadi, pencegahan dan
penatalaksanaannya.
4. Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat

9. Prognosis -

10. Tingkat Evidence -

11. Tingkat -
Rekomendasi

35
12. Penelaah Kritis Konsultan anestesi regional
1. dr. Sugeng Budi Santosa,SpAn.KMN
2. dr. Heri Dwi Purnomo,SpAn.M.Kes

13. Indikator Medis 1. Visual analog scale


2. Angka kejadian intoksikasi obat lokal
anestesi
3. Angka kejadian infeksi dan hematom

14. Kepustakaan 1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ.


Clinical Anaesthesiology, 5th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill;
2013
2. Hadzic A. Textbook of Regional Anesthesia

and Acute Pain Management. New York


Society of Regional Anesthesia/Mc Graw-Hill
3. Jankovic D. Regional Nerve Blocks and
InfiItration Therapy Textbook and Color
Atlas 3rd Edition. Germany : ABW
Wissenschaftsverlag. : 2004

Surakarta, Agustus 2014


Ketua Komite Medik Ketua KSM Anestesiologi & Terapi Intensif

Dr.dr.Untung Alifianto,SpBS dr. Sugeng Budi Santosa,SpAn.KMN


NIP.19550305 198312 1 001 NIP. 19590620 1987011 1 001

RSUD Dr.Moewardi
Direktur

drg.Basoeki Soetardjo,MMR
NIP 19581018 198603 1 009

36
Panduan Praktik Klinis
KSM : Anestesiologi dan Terapi Intensif
RSUD Dr.MOEWARDI
2012 -2014

BLOK SARAF TEPI


1. Subtopik Blok Saraf Interskalenus

2 Tinjauan Umum Blok interskalenus dipilih untuk anestesi daerah


bahu dan lengan atas. Blok interskalenus harus
dilakukan dengan hati-hati karena komplikasi
yang serius bisa terjadi misalnya kelumpuhan
otot diafragma dan sindrom horner.

3. Indikasi Indikasi umum dari blok aksila adalah:


1. Prosedur bedah di bahu termasuk duapertiga
lateral klavikula
2. Pembedahan humerus proksimal dan sendi
bahu.

4. Kontraindikasi Meliputi :
1. Penolakan pasien.
2. Alergi anestesi lokal.
3. Infeksi di tempat injeksi
4. Gangguan pembekuan darah berat
5. Penyakit saraf perifer sebelumnya

5. Peralatan 1. Persiapan obat dan alat anestesi umum.


2. Duk lubang steril
3. Sarung tangan steril, pena penanda,
elktroda
4. Spuit 3cc untuk infiltrasi.

37
5. Stimulator saraf perifer
6. Spuit 20cc yang telah diisi dengan anestesi
lokal yang dipilih.
7. Obat anestesi lokal

6. Teknik 1. Periksa kesiapan alat (blok perifer,


resusitasi) dan obat (blok perifer, resusitasi)
yang diperlukan dan cek kesiapan alat.
2. Siapkan kelengkapan tindakan untuk
asepsis dan antisepsis.
3. Pasang monitor standar pada pasien dan
amati tanda vital pasien.

4. Pasang jalur intravena pada ekstremitas lain


yang tidak diblok.
5. Premedikasi bila perlu.
6. Posisikan pasien dengan kepala pasien
miring ke arah sisi yang tidak diblok.
7. Gambar landmark blok interskalenus :
bagian posterior otot
sternocleidomastoideus pars clavicularis,
vena jugularis eksterna,dan clavicula. Raba
otot scalenus anterior dan medial di bagian
posterior otot sternocleidomastoideus pars
clavicula, di dekat vena jugularis eksterna.
8. antisepsis daerah penyuntikan
9. Anestesia lokal daerah penyuntikan.
10. Jarum stimulator 2 inch dihubungkan
dengan nerve stimulator, dengan arus 1,5
mA, disuntikkan pada daerah antara otot
skalenus anterior dan medial dengan arah
sedikit caudal dan posterior. Perhatikan
jarum jangan masuk lebih dari 2cm.
11. Amati adanya respon positif berupa twitch
otot deltoid, lengan atas , lengan bawah
atau tangan. Kecilkan arus sampai didapat
twitch adekuat dengan arus 0,2 -0,4 mA.
Sesuaikan posisi jarum bila perlu.
12. Hubungkan syringe berisi anestesia lokal
dengan jarum stimulator. Aspirasi dan
injeksikan anestesia lokal secara pelan dan
aspirasi sering

7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan darah rutin


penunjang 2. Pemeriksaan waktu pembekuan dan faktor
pembekuan jika diperlukan

38
8. Edukasi 1. Monitor ABC , intensitas dan dermatom,
osteotom , miotom yang terblok.
2. Penatalaksanaan rasa tidak nyaman pasien
selama blok interskalenus pleksus
brakhialis.
3. Komplikasi yang terjadi, pencegahan dan
penatalaksanaannya.
4. Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat

9. Prognosis -

10. Tingkat Evidence -

11. Tingkat -
Rekomendasi

12. Penelaah Kritis Konsultan anestesi regional


1. dr. Sugeng Budi Santosa,SpAn.KMN
2. dr. Heri Dwi Purnomo,SpAn.M.Kes.

13. Indikator Medis 1. Visual analog scale


2. Angka kejadian intoksikasi obat lokal
anestesi
3. Angka kejadian infeksi dan hematom

14. Kepustakaan 1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ.


Clinical Anaesthesiology, 5th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill;
2013
2. Hadzic A. Textbook of Regional Anesthesia
and Acute Pain Management. New York
Society of Regional Anesthesia/Mc Graw-Hill
2007
3. Jankovic D. Regional Nerve Blocks and
InfiItration Therapy Textbook and Color
Atlas 3rd Edition. Germany : ABW
Wissenschaftsverlag. : 2004

Surakarta, Agustus 2014


Ketua Komite Medik Ketua KSM Anestesiologi & Terapi Intensif

Dr.dr.Untung Alifianto,SpBS dr. Sugeng Budi Santosa,SpAn.KMN


NIP.19550305 198312 1 001 NIP. 19590620 1987011 1 001

39
RSUD Dr.Moewardi
Direktur

drg.Basoeki Soetardjo,MMR
NIP 19581018 198603 1 009

Panduan Praktik Klinis


KSM : Anestesiologi dan Terapi Intensif
RSUD Dr.MOEWARDI
2012 -2014

ANESTESI BEDAH MINIMAL INVASIF


1. Subtopik Laparaskopi

2. Tinjauan Umum Prosedur invasif minimal yang digunakan untuk


alat diagnostik dan prosedur terapi operasi,
penggunaan dapat dilakukan pada operasi
sistem gastro intestinal (kolon, gaster, lien,
operasi hepar), operasi ginekologi
(histerektomi), operasi urologi (nefrektomi)
pada daerah punggung, pelvis dan thoraks,
kepala atau leher, pada pengambilan jaringan
untuk kepentingan biopsi jaringan guna
pengobatan bahkan untuk prosedur jantung dan
vaskuler.

3. Anamnesis 1. Keluhan utama pasien dan sudah berapa


lama diderita.
2. Mual, muntah, atau distensi abdomen.
3. Riwayat BAB.
4. Riwayat penyakit penyerta lainnya.

4. Pemeriksaan 1. Tekanan darah, nadi, respirasi, suhu, nyeri,


Fisik dan berat badan.
2. Pemeriksaan bising usus, adanya nyeri
tekan, massa, defans muskuler, dan
ascites.

40
3. Pemeriksaan colok dubur.

5. Diagnosis -

6. Diagnosis -
Banding

7. Pemeriksaan 1. Darah rutin.


penunjang 2. Faktor koagulasi.
3. Fungsi liver dan ginjal.
4. Glukosa darah.
5. Elektrolit.
6. Ultrasonografi abdomen.

7. Foto polos abdomen.


8. Analisis gas darah.
9. CT Scan abdomen.

8. Manajemen 1. Dua tujuan utama selama pemeliharaan


Anestesi pasien untuk operasi laparoskopi dengan
general anestesia adalah penjagaan
normokapnea dan terapi perubahan
hemodinamik.
2. Pasien harus diposisikan dengan baik untuk
menghindari cedera saraf.
3. Kemiringan pasien ke bawah tidak melebihi
15 – 20 derajat.
4. Ventilasi dengan sungkup muka sebelum
intubasi dapat mengisi udara ke lambung
yang harus diaspirasi sebelum operator
memasang trokar untuk mencegah perforasi
lambung terutama pada laparaskopi
supramesokolik.
5. Kandung kencing dikosongkan sebelum
prosedur laparaskopi.
6. Tekanan darah, laju jantung, EKG,
kapnograf, pulse oksimetri harus dipantau
secara terus menerus.
7. ETCO2 harus dipantau dengan hati-hati
untuk menghindari hiperkapnia dan
mendeteksi emboli gas.
8. Kanulasi arteri radialis dapat menolong
mengukur langsung PaO2.
9. Hiperkapnia biasanya dimulai beberapa
menit setelah insuflasi CO2.

41
10. Jika tekanan darah meningkat, pilihan terapi
termasuk pendalaman anestesi inhalasi dan
pemberian agen seperti nitropruside,
esmolol, atau calsium channel blocker .
Terapi dengan agonis alfa seperti klonidin
atau deksmedetomidin adalah strategi yang
lain.
11. Untuk meminimalkan masalah
hemodinamik, tekanan intra abdominal
sebaiknya dijaga pada tekanan rendah bila
mungkin.
Tehnik Anestesi:
Anestesi umum dengan intubasi endotrakea dan

dan napas kendali merupakan teknik yang


paling aman. Selama pneumoperitoneum, napas
kendali harus disesuaikan untuk
mempertahankan PETCO2 sekitar 35 mm Hg.
Peningkatan tonus vagal selama laparaskopi
dapat dicegah dengan pemberian atropin.
Menambah laju napas lebih baik dari pada
meningkatkan volume tidal. N2O bukanlah
kontraindikasi untuk laparaskopi cholesis-
tektomi. Penggunaan LMA sebagai alternatif
intubasi endotrakea, walaupun tidak menjamin
terhindar dari aspirasi isi lambung.
Anestesi regional masih dapat dilakukan untuk
ligasi tuba; Anestesia regional seperti, teknik
epidural atau spinal yang dikombinasi dengan
posisi kepala rendah (head-down) dipergunakan
untuk laparaskopi ginekologi tanpa meng-
ganggu ventilasi. Keuntungan anestesi regional
antara lain, lebih sedikit memerlukan sedatif
dan narkotik, relaksasi cukup baik untuk
tindakan laparaskopi selain ligasi tuba.

9. Edukasi 1. Puasa 6 jam sebelum prosedur.


2. Informed consent.
3. Resiko dan komplikasi anestesi.

10. Prognosis Ad vitam : Dubia


Ad sanam : Dubia
Ad fungsionam : Dubia

11. Tingkat evidence -

42
12. Tingkat -
rekomendasi

13. Penelaah Klinis 1. dr. Eko Setijanto,SpAn.KIC


2. dr. Ardhana Tri Arianto,M.Si.Med.,SpAn

14. Indikator medis 1. Tanda vital stabil durante prosedur.


2. Tidak dijumpai gejala keracunan CO2.
3. Perdarahan terkontrol.
4. PaCO2 dibawah 50 mmHg.

15. Kepustakaan 1. Butterworth, J.F., D.C. Mackey, J.D.


Wasnick. Morgan & Mikhail’s Clinical
Anaesthesiology 5th ed. New York: Lange

Medical Books/McGraw-Hill. 2013


2. Hines, R.L., K.E. Marschall. Stoelting’s
Anesthesia and Co-Existing Disease 6th ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders. 2012.
3. Jaffe, R.A., S.I. Samuels. Anesthesiologist’s
Manual of Surgical Procedures. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins. 2009.
4. Debas, H.T.. Gastrointestinal Surgery:
Patophysiology and Management. New
York: Springer. 2009.

Surakarta, Agustus 2014


Ketua Komite Medik Ketua KSM Anestesiologi & Terapi Intensif

Dr.dr.Untung Alifianto,SpBS dr. Sugeng Budi Santosa,SpAn.KMN


NIP.19550305 198312 1 001 NIP. 19590620 1987011 1 001

RSUD Dr.Moewardi
Direktur

drg.Basoeki Soetardjo,MMR
NIP 19581018 198603 1 009

43
Panduan Praktik Klinis
KSM : Anestesiologi dan Terapi Intensif
RSUD Dr.MOEWARDI
2012 -2014

MANAJEMEN ANESTESI PRE-EKLAMPSI


1. Pengertian Preeklampsia adalah kelainan malfungsi endotel
( Definisi ) pembuluh darah atau vaskular yang menyebar
luas sehingga terjadi vasospasme setelah usia
kehamilan 20 minggu, mengakibatkan ter-
jadinya penurunan perfusi organ dan peng-
aktifan endotel yang menimbulkan terjadinya
hipertensi, edema nondependen, dan dijumpai
proteinuria 300 mg per 24 jam atau 30 mg/dl
(>+1 pada dipstick) dengan nilai sangat
fluktuatif saat pengambilan urin sewaktu

2. Anamnesis Pada anamnesis biasanya didapatkan :


1. Kehamilan
2. Riwayat darah tinggi
3. Keluhan penglihatan kabur
4. Keluhan nyeri kepala
5. Keluhan nyeri epigastrium

3. Pemeriksaan Meliputi :
Fisik 1. Tekanan darah, nadi, respirasi, suhu, BMI.
2. Menentukan tingkat kesadaran dan status
mental.

44
3. Abdomen : Nyeri tekan abdomen.

4. Kriteria 1. Tekanan darah sistolik/diastolik > 160/110


Diagnosis mmHg sedikitnya enam jam pada dua kali
pemeriksaan. Tekanan darah ini tidak
menurun meskipun ibu hamil sudah dirawat
di rumah sakit dan telah menjalani tirah
baring.
2. Proteinuria > 5 gram/24 jam atau > 3 +
dipstik pada sampel urin sewaktu yang
dikumpulkan paling sedikit empat jam
sekali.
3. Oliguria < 400 ml / 24 jam.
4. Kenaikan kadar kreatinin plasma > 1,2
mg/dl. Ketonemia / ketonuria positif.
5. Gangguan visus dan serebral : penurunan
kesadaran, nyeri kepala persisten, skotoma,

dan pandangan kabur.


6. Nyeri epigastrium pada kuadran kanan atas
abdomen akibat teregangnya kapsula
glisson.
7. Edema paru dan sianosis.
8. Hemolisis mikroangipatik karena mening-
katnya enzim laktat dehidrogenase.
9. Trombositopenia (trombosit < 100.000
mm3)
10. Oligohidroamnion, pertumbuhan janin
terhambat, dan abrupsio plasenta.
11. Gangguan fungsi hepar karena peningkatan
kadar enzim ALT dan AST

5. Diagnosis Pre-Eklampsi

6. Diagnosis 1. Hipertensi kronik


Banding 2. Hipertensi gestasional
3. HELLP syndrome

7. Pemeriksaan 1. Darah rutin


Penunjang 2. Protein Urin
3. LDH
4. Fungsi liver
5. Fungsi Ginjal
6. ECG
7. Faktor Pembekuan Darah

8. Terapi Pre operasi :

45
Hipertensi dan hipovolemia harus terkontrol.
Pastikan tidak ada profil faktor koagulasi yang
mengalami kelainan
Durante Operasi:
Pihan teknik anestesi yang digunakan adalah
Regional Anestesi ataupun General Anestesi
Monitoring tekanan darah selama durante
operasi sangat penting
Post Operasi
Monitoring Keadaan Umum,Tekanan Darah,dan
Nyeri post Operasi, bila perlu rawat ICU.

9. Edukasi 1 Kontrol intake cairan


2. Kontrol tekanan darah
3. Jika digunakan GA, makan/minum jika bising
usus (+)

4. Jika digunakan spinal, tirah baring 24 jam


10. Edukasi 1 kontrol intake cairan
2. kontrol Tekanan darah
11. Prognosis Ad Vitam : dubia
Ad Sanationam : dubia
Ad Fumgsionam : dubia
12. Tingkat Evidens -
13. Tingkat -
Rekomendasi
14. Penelaah Kritis 1. dr. Purwoko,SpAn.KAKV
2. dr. Eko Setijanto,SpAn.KIC
15. Indikator Medis 1. Tekanan darah sistolik/diastolik < 160/110
mmHg sedikitnya enam jam pada dua kali
pemeriksaan.
2. Proteinuria < 5 gram/24 jam atau < 3 +
dipstik pada sampel urin sewaktu yang
dikumpulkan paling sedikit empat jam sekali.
3. Produksi urin normal 0,5 – 1 cc/kgBB/jam
4. Kenaikan kadar kreatinin plasma < 1,2 mg/dl.
Ketonemia / ketonuria negatif.
5. Auskultasi paru tiap 6 jam suara dasar
vesikuler di kedua lapangan paru
16. Kepustakaan 1. Morgan & Mikhail’s Clinical Anaesthesiology
5th ed. New York: Lange Medical
Books/McGraw-Hill. 2013

46
2. Barash, P.G., B.F. Cullen, R.K. Stoelting.
Clinical Anaesthesia 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins.
2006.

Surakarta, Agustus 2014


Ketua Komite Medik Ketua KSM Anestesiologi & Terapi Intensif

Dr.dr.Untung Alifianto,SpBS dr. Sugeng Budi Santosa,SpAn.KMN


NIP.19550305 198312 1 001 NIP. 19590620 1987011 1 001

RSUD Dr.Moewardi
Direktur

drg.Basoeki Soetardjo,MMR
NIP 19581018 198603 1 009

Panduan Praktik Klinis


KSM : Anestesiologi dan Terapi Intensif
RSUD Dr.MOEWARDI
2012 -2014

MANAJEMEN ANESTESI PADA TONSILITIS AKUT DAN KRONIK


1. Pengertian Tonsilitis Kronik adalah radang kronik pada
(Definisi) tonsila palatina yang disebabkan oleh banteri
non spesifik.
Jenis tonsilitis kronik, ada 3 (tiga) yaitu :
 Hipertrofikans
 Folikularis
 Fibrotika

2. Anamnesis 1. Sakit menelan ringan (masih bisa makan


nasi)
2. Kadang-kadang sub febris
3. Adanya riwayat obstruksi sleep apneu
4. Lesu, lemah, batuk, pilek, pusing.
5. Proses radang pada tonsila palatina

3. Pemeriksaan 6. Tonsil ditekan sakit ringan


Fisik 7. Jaringan perut pada tonsil
8. Kripte melebar
9. Terdapat detritus pada tonsil
10. Tonsil besar derajat III (ada kesulitan

47
makan/nafas)
11. Pembesaran Adenoid
12. Adanya tanda tanda sindrom pickwickian
13. Malampati skor
14. Patensi airway (mulut dan hidung)

4. Kriteria Pembesaran tonsil


Diagnosis

5. Diagnosis Tonsilitis akut, tonsillitis kronik

6. Diagnosis 1. Faringitis.
Banding 2. Nasofaringitis.
3. Tonsilitis lingualis

7. Pemeriksaan 1. DR3
Penunjang 2. PT/APTT
3. Gol Darah

4. Ureum – Creatinin
5. SGOT/SGPT
6. Na,K,Cl.
7. BGA (k/p)

8. Terapi Pre Operatif


1. Persiapan Pasien, Apakah pasien
mempunyai riwayat Obstructive Sleep
Apnea Syndrome.
2. Evaluasi patensi jalan nafas
3. Persiapan Alat dan obat,termasuk persiapan
untukk teknik intubasi sulit
Durante Operatif
1. Induksi dengan agen IV,agen inhalasi,
oxygen dan N2O
2. Tracheal intubasi dilakukan jika anestesi
sudah dalam dengan menggunakan obat
pelumpuh otot kerja singkat
3. Monitoring saturasi oksigen,ECG, end tidal
CO2
Post Operasi
1. Ekstubasi pasien secara sadar penuh
2. Pastikan Pack sudah terambil
3. Awasi Keadaan umum, Tanda vital dan

48
saturasi Oksigen
4. Awasi perdarahan dari tonsil post op
5. Awasi PONV

9. Edukasi 1. Informed consent


2. Mual pasca operasi
3. Perdarahan pasca operasi
4. Nyeri pasca operasi
5. Makan / minum jika bising usus (+)

10. Prognosis Ad Vitam : dubia


Ad Sanationam : dubia
Ad Fumgsionam : dubia

11. Tingkat Evidence -

12. Tingkat -
Rekomendasi

13. Penelaah Kritis 1. dr. RTh. Supraptomo,SpAn


2. dr. Fitri Hapsari Dewi,SpAn

14. Indikator Medis 1. Perdarahan berhenti


2. Nyeri minimal (VAS < 3)
3. Mual muntah minimal

15. Kepustakaan 1. Morgan & Mikhail’s Clinical Anaesthesiology


5th ed. New York: Lange Medical
Books/McGraw-Hill. 2013
2. Barash, P.G., B.F. Cullen, R.K. Stoelting.
Clinical Anaesthesia 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins.
2006.

Surakarta, Agustus 2014


Ketua Komite Medik Ketua KSM Anestesiologi & Terapi Intensif

Dr.dr.Untung Alifianto,SpBS dr. Sugeng Budi Santosa,SpAn.KMN


NIP.19550305 198312 1 001 NIP. 19590620 1987011 1 001

49
RSUD Dr.Moewardi
Direktur

drg.Basoeki Soetardjo,MMR
NIP 19581018 198603 1 009

Panduan Praktik Klinis


KSM : Anestesiologi dan Terapi Intensif
RSUD Dr.MOEWARDI
2012 -2014

MANAJEMEN ANESTESI PADA PERITONITIS


1. Pengertian Peritonitis didefinisikan suatu proses inflamasi
(Definisi) membran serosa yang membatasi rongga
abdomen dan organ-organ yang terdapat
didalamnya. Peritonitis dapat bersifat lokal
maupun generalisata, bakterial ataupun
kimiawi.
Peradangan peritoneum dapt disebabkan oleh
bakteri, virus, jamur, bahan kimia, iritan, dan
benda asing.

2. Anamnesis 1. Nyeri Abdomen


2. Anoreksia,Mual dan muntah
3. Tidak BAB
4. Tidak bisa kentut
5. Demam
6. Produksi urine

3. Pemeriksaan Tanda vital dan produksi urin untuk melihat


Fisik tanda tanda dehidrasi dan kelainan elektrolit,

50
keseimbangan asam basa, tanda sepsis
 Tanda vital sangat berguna untuk menilai
derajat keparahan atau komplikasi yang
timbul pada peritonitis. Pada keadaan
asidosis metabolic dapat dilihat dari
frekuensi pernafasan yang lebih cepat
daripada normal sebagai mekanisme
kompensasi untuk mengembalikan ke
keadaan normal. Takikardi, berkurangnya
volume nadi perifer dan tekanan nadi yang
menyempit dapat menandakan adanya syok
hipovolemik. Hal-hal seperti ini harus segera
diketahui dan pemeriksaan yang lebih
lengkap harus dilakukan dengan bagian
tertentu mendapat perhatian khusus untuk
mencegah keadaan yang lebih buruk.

 Inspeksi
Tanda paling nyata pada penderita dengan
peritonitis adalah adanya distensi dari
abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda
distensi abdomen tidak menyingkirkan
diagnosis peritonitis, terutama jika
penderita diperiksa pada awal dari
perjalanan penyakit, karena dalam 2-3 hari
baru terdapat tanda-tanda distensi
abdomen. Hal ini terjadi akibat penumpukan
dari cairan eksudat tapi kebanyakan distensi
abdomen terjadi akibat ileus paralitik.

 Auskultasi
Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan

51
penuh perhatian. Suara usus dapat
bervariasi dari yang bernada tinggi pada
seperti obstruksi intestinal sampai hamper
tidak terdengar suara bising usus pada
peritonitis berat dengan ileus. Adanya suara
borborygmi dan peristaltic yang terdengar
tanpa stetoskop lebih baik daripada suara
perut yang tenang. Ketika suara bernada
tinggi tiba-tiba hilang pada abdomen akut,
penyebabnya kemungkinan adalah perforasi
dari usus yang mengalami strangulasi.
 Perkusi
Penilaian dari perkusi dapat berbeda
tergantung dari pengalaman pemeriksa.
Hilangnya pekak hepar merupakan tanda
dari adanya perforasi intestinal, hal ini
menandakan adanya udara bebas dalam
cavum peritoneum yang berasal dari intes-

intestinal yang mengalami perforasi.


Biasanya ini merupakan tanda awal dari
peritonitis.
Jika terjadi pneumoperitoneum karena
rupture dari organ berongga, udara akan
menumpuk di bagian kanan abdomen di
bawah diafragma, sehingga akan ditemukan
pekak hepar yang menghilang.
• Palpasi
Palpasi adalah bagian yang terpenting dari
pemeriksaan abdomen pada kondisi ini.
Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah
dengan palpasi daerah yang kurang
terdapat nyeri tekan sebelum berpindah
pada daerah yang dicurigai terdapat nyeri
tekan. Ini terutama dilakukan pada anak
dengan palpasi yang kuat langsung pada
daerah yang nyeri membuat semua
pemeriksaan tidak berguna. Kelompok
orang dengan kelemahan dinding abdomen
seperti pada wanita yang sudah sering
melahirkan banyak anak dan orang yang
sudah tua, sulit untuk menilai adanya
kekakuan atau spasme dari otot dinding
abdomen. Penemuan yang paling penting
adalah adanya nyeri tekan yang menetap

52
lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut
nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan
biasanya didapatkan spasme otot abdomen
secara involunter. Orang yang cemas atau
yang mudah dirangsang mungkin cukup
gelisah, tapi di kebanyakan kasus hal
tersebut dapat dilakukan dengan
mengalihkan perhatiannya. Nyeri tekan
lepas timbul akibat iritasi dari peritoneum
oleh suatu proses inflamasi. Proses ini dapat
terlokalisir pada apendisitis dengan
perforasi local, atau dapat menjadi
menyebar seperti pada pancreatitis berat.
Nyeri tekan lepas dapat hanya terlokalisir
pada daerah tersebut atau menjalar ke titik
peradangan yang maksimal.
Pada peradangan di peritoneum parietalis,
otot dinding perut melakukan spasme
secara involunter sebagai mekanisme per -

tahanan. Pada peritonitis, reflek spasme otot


menjadi sangat berat seperti papan

4. Kriteria Diagnosis Peritonitis

5. Diagnosis 1. Ileus obstruktif.


Banding 2. Ileus Paralitik.

6. Pemeriksaan 1. DR3
Penunjang 2. Analisa Gas darah
3. Serum elektrolit
4. Faal pembekuan darah
5. Fungsi ginjal
6. Foto Thorax PA/Lateral
7. Foto Polos abdomen

7. Terapi Pre Operatif


 Manajemen Cairan, koreksi dehidrasi
 Koreksi elektrolit
Durante Operatif
Pilhan teknik Operasi dengan RSI
The Seven P’s of Rapid Sequence Intubation
• Preparation
• Preoxygenation
• Pretreatment
• Paralysis with induction

53
• Positioning
• Placement with proof
• Post intubation management
Post Operatif
Perawatan ICU, Manajemen Nyeri Post operasi
dan sepsis

8. Edukasi 1. Informed consent dengan pasien dan


keluarga.
2. Puasa pre operatif dan bila diperlukan pasca
operasi
3. Pasang IV line jarum besar / kateter vena
sentral
4. perawatan khusus pasca operasi

9. Prognosis Ad Vitam : dubia


Ad Sanationam : dubia
Ad Fumgsionam : dubia

10. Tingkat Evidence I/II/III/IV

11. Tingkat A/B/C


Rekomendasi

12. Penelaah Kritis 1. dr. RTH Supraptomo,SpAn


2. dr. Fitri Hapsari Dewi, Sp. An

13. Indikator Medis 1. Tanda dehidrasi, gangguan elektrolit dan


asam basa teratasi
2. Tanda tanda sepsis dalam perbaikan
3. Nyeri pasca operasi minimal (VAS < 3)
4. Bising usus (+)

14. Kepustakaan 1. Morgan & Mikhail’s Clinical Anaesthesiology


5th ed. New York: Lange Medical
Books/McGraw-Hill. 2013
2. Barash, P.G., B.F. Cullen, R.K. Stoelting.
Clinical Anaesthesia 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins.
2006.
3. Jaffe, R.A., S.I. Samuels. Anesthesiologist’s
Manual of Surgical Procedures. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins. 2009.
4. Debas, H.T.. Gastrointestinal Surgery:
Patophysiology and Management. New York:
Springer. 2009.

54
Surakarta, Agustus 2014
Ketua Komite Medik Ketua KSM Anestesiologi & Terapi Intensif

Dr.dr.Untung Alifianto,SpBS dr. Sugeng Budi Santosa,SpAn.KMN


NIP.19550305 198312 1 001 NIP. 19590620 1987011 1 001

RSUD Dr.Moewardi
Direktur

drg.Basoeki Soetardjo,MMR
NIP 19581018 198603 1 009

Panduan Praktik Klinis


KSM : Anestesiologi dan Terapi Intensif
RSUD Dr.MOEWARDI
2012 -2014

EPIDURAL ANESTESI
1. Pengertian Merupakan teknik anesthesia neuraxial yang
(Definisi) dapat digunakan untuk indikasi yang lebih luas
daripada spinal anestesi. Yang mana tek nik ini
dapat dilakukan pada level servikal, torakal,
lumbal maupun sakral

2. Indikasi  Operasi di ekstremitas bawah


 Operasi didaerah perineum
 Operasi di daerah perut atas dan bawah
 Operasi obstetri dan ginekologi
 Penatalaksanaan nyeri paska operasi di
servikal, torakal, lumbal dan nyeri kronis.

3. Kontra Indikasi  Infeksi ditempat injeksi


 Pasien menolak
 Coagulopathi
 Hypovolemia berat
 Tekanan intrakranial meningkat
 Stenosis aorta berat

55
 Stenosis katup mitral berat.

4. Peralatan  Doek dan Handschoen steril


 Betadine dan alkohol
 Jarum epidural
 O2
 Tape
 Lidocain
 Epinefrin 1:200000
 Spuit 3/5/10

5. Teknik 1. Lakukan tindakan septik antiseptik pada


medan operasi, lalu pasang doek steril.
2. Infiltrasi lokal anestesi di tempat suntikan
3. Insersi jarum epidural pada daerah
vertebra yang diinginkan.
4. Setelah terasa masuk ke rongga epidural
(ditandai dengan hilangnya tahanan).
5. Insersi kateter (jika ingin menggunakan

6. Lakukan tindakan septik antiseptik pada


medan operasi, lalu pasang doek steril.
7. Infiltrasi lokal anestesi di tempat suntikan
8. Insersi jarum epidural pada daerah
vertebra yang diinginkan.
9. Setelah terasa masuk ke rongga epidural
(ditandai dengan hilangnya tahanan).
10. Insersi kateter (jika ingin menggunakan
epidural kontinyu), dilakukan tes dengan
lidokain + adrenalin sesuai dosis.
11. Lakukan tes ketingggian level blok.
12. Monitor tanda vital tiap 2 menit untuk 20
menit pertama, lalu tiap 5 menit untuk
selanjutnya.
13. Antisipasi efek samping yang timbul
14. Pencatatan dan pelaporan.
15. Di ruang pulih sadar pasien dirawat dengan
posisi fowler, beri O2 2-3 L/menit monitor
tanda vital tiap 5 menit, monitor blok syaraf
dengan skor bromage.
16. Tanda vital stabil skor bromage < 2, tak
ada efek samping lain pasien dipindah ke
ruang rawat inap, kondisi sebaliknya pasien
dirujuk ke ruang intensif.
17. Penggunaan epidural kontinyu dapat

56
dilakukan dengan berbagai cara (Syringe
pump, Syringe injector, penyuntikan
berkala) sesuai kondisi pasien, selama
waktu yang diperlukan. Disertai
pemantauan tanda – tanda vital secara
berkala.
18. Setelah penggunaan analgetik epidural
dianggap cukup, kateter epidural dicabut
dengan peralatan steril, maksimal 1 minggu
setelah pemasangan.

6. Pemeriksaan Foto tulang belakang, laboratorium; darah


Penunjang rutin, waktu pembekuan dan jika perlu faktor
koagulasi

7. Edukasi 1. Informed consent


2. Nyeri saat pemasangan kateter epidural

8. Prognosis Ad Vitam : dubia


Ad Sanationam : dubia
Ad Fungsionam : dubia

9. Tingkat Evidence I/II/III/IV

10. Tingkat A/B/C


Rekomendasi

11. Penelaah Kritis 1. dr. Sugeng Budi Santosa, Sp. An, KMN
2. dr. Heri Dwi Purnomo, Sp. An

12. Indikator Medis 1. Visual analaog scale


2. Angka kejadian intoksikasi obat lokal
anestesi
3. Angka kejadian infeksi dan hematom

13. Kepustakaan 1. Morgan GE Jr. Mikhail MS, Murray MJ.


Clinical Anesthesiology, 5th ed. USA:
McGraw-Hill Co.; 2013
2. Meier G, Büttner J. Regional Anesthesi:
Pocket Compendium of Peripheral Nerve
Blocks. Munich: Arcis Publ. Co.; 2004.
3. Jankovic D. Regional Nerve Blocks and
InfiItration Therapy Textbook and Color
Atlas 3rd Edition. Germany : ABW
Wissenschaftsverlag. : 2004

57
Surakarta, Agustus 2014
Ketua Komite Medik Ketua KSM Anestesiologi & Terapi Intensif

Dr.dr.Untung Alifianto,SpBS dr. Sugeng Budi Santosa,SpAn.KMN


NIP.19550305 198312 1 001 NIP. 19590620 1987011 1 001

RSUD Dr.Moewardi
Direktur

drg.Basoeki Soetardjo,MMR
NIP 19581018 198603 1 009

Panduan Praktik Klinis


KSM : Anestesiologi dan Terapi Intensif
RSUD Dr.MOEWARDI
2012 -2014

ANESTESI PADA FRAKTUR SENDI PANGGUL


1. Subtopik Fraktur sendi panggul

2. Tinjauan umum Fraktur sendi panggul sering terjadi pada


geriatri dan biasa disertai osteoporosis. Fraktur
sendi panggul biasanya disertai dengan trauma
mayor pada femur atau pelvis. Pada umumnya
pasien fraktur sendi panggul mempunyai
penyakit penyerta seperti penyakit arteri
koroner, penyakit cerebrovaskuler, Penyakit
Paru Obstruktif menahun, diabetes mellitus dan
lain-lain

3. Anamnesis 1. Penyebab fraktur (trauma, osteoporosis)


2. Penyakit penyerta/ Riwayat Penyakit Dahulu
(penyakit arteri koroner, penyakit
cerebrovaskuler, Penyakit Paru Obstruktif
menahun, diabetes mellitus)
3. Riwayat obat-obatan yang diminum

58
(antikoagulan, terapi diabetes mellitus, dan
lain-lain)
4. Riwayat asupan oral

4. Pemeriksaan 1. Tanda vital (tekanan darah, nadi, respiratory


Fisik rate, suhu, Visual analogue scale)
2. Status Airway, breathing dan circulation
(ABC)
3. Pemeriksaan Neurologis (Glasgow Coma
Scale, pupil) terutama pada kasus trauma
4. Pemeriksaan trauma di bagian tubuh lainnya
5. Pemeriksaan status hidrasi

5. Kriteria 1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik


Diagnosis menunjang fraktur sendi panggul
2. Foto rontgen hip

6. Diagnosis 1. Fraktur pelvis


Banding 2. Fraktur femur
3. Trauma abdomen
4. Stroke atau cedera saraf

7. Pemeriksaan 1. Darah rutin


Penunjang 2. Gula darah sewaktu
3. Elektrolit
4. Fungsi ginjal
5. Fungsi liver
6. Status koagulasi
7. Foto rontgen hip, femur dan pelvis

8. Manajemen • Pre Operasi


Anestesi - Pasien fraktur sendi panggul sering
datang dalam keadaan dehidrasi akibat
intake oral yang tidak adekuat. Setelah
status hidrasi ditentukan maka dehidrasi
dapat diterapi dengan pemberian cairan
intravena.
- Tergantung dari lokasi fraktur, kehilangan
darah pada fraktur sendi panggu; bisa
signifikan (subtrochanter/intertrochanter
> base of femoral neck > transcervical >
subcapital). Untuk mengatasinya maka
sebelum pasien menjalani operasi, jalur
intravena harus terpasang (minimal 2
jalur dengan catheter vena ukuran besar)
serta bila diperlukan dapat disediakan
darah.

59
- Pada pasien sendi panggul juga sering
ditemukan adanya hipoksia yang bisa
disebabkan oleh emboli lemak ataupun
akibat atelektasis bibasiler, congesti
pulmo akibat congestive heart failure.
Terapi hipoksia dapat dilakukan dengan
terapi suportif oksigen dan ventilasi serta
diatasi penyebabnya.
• Durante operasi
- Pilihan anestesi antara general anesthesi
dan regional anesthesia masih dievaluasi
dimana pada pemakaian regional
anesthesi dapat menurunkan risiko deep
vein thrombosis pasca operasi dan angka
mortalitas dapat diturunkan
- Teknik anestesi neuraxial selain dapat
digunakan durante operasi juga
mempunyai keuntungan untuk analgesia
pasca operasi (misal : intrathecal opioid).

- Perhatian khusus diberikan untuk tipe


reduksi dan fiksasi
 Fraktur proximal femur mungkin dilakukan
pinning percutaneus dalam posisi supine.
 Fraktur ekstrakapsuler membutuhkan implan
intrameduler dan ekstrameduler.
 Fraktur intrakapsuler dengan malposisi
mungkin membutuhkan fiksasi internal,
hemiarthroplasty atau total hip replacement.
Hemiarthroplasty dan total hip replacement
biasanya dilakukan dengan posisi lateral
decubitus yang dapat menyebabkan
perdarahan yang banyak dan berpotensi
menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik.

9. Edukasi 1. Teknik anestesi yang dipilih


2. Risiko anestesi dan operasi
3. Komplikasi yang mungkin terjadi
4. Persediaan darah transfusi
5. Perawatan pasca operasi

60
6. Prognosis

10. Prognosis Ad vitam : dubia


Ad sanam : dubia
Ad fungsionam : dubia

11. Tingkat Evidence -

12. Tingkat -
Rekomendasi

13. Penelaah Kritis 1. dr. Sugeng Budi Santosa,SpAn.KMN


2. dr. Heri Dwi Purnomo,SpAn.M.Kes.

14. Indikator Medis 1. Darah rutin (hematokrit)


2. PT. APTT, INR
3. Foto rontgen hip

15. Kepustakaan 1. Fracture of the Hip. Morgan and Mikhail’s


Clinical Anesthesiology 5th Ed. P. 793-8

1. Michael K. Urban. Anesthesia for Orthopedic


Surgery. Miller's Anesthesia 7th ed. Chapter
70
2. Surgery of The Hip. Barash clinical
Anesthesia 5th ed. P. 1119-20

Surakarta, Agustus 2014


Ketua Komite Medik Ketua KSM Anestesiologi & Terapi Intensif

Dr.dr.Untung Alifianto,SpBS dr. Sugeng Budi Santosa,SpAn.KMN


NIP.19550305 198312 1 001 NIP. 19590620 1987011 1 001

RSUD Dr.Moewardi
Direktur

drg.Basoeki Soetardjo,MMR
NIP 19581018 198603 1 009

61
Panduan Praktik Klinis
KSM : Anestesiologi dan Terapi Intensif
RSUD Dr.MOEWARDI
2012 -2014

ANESTESI PADA KARSINOMA MAMMAE


1. Subtopik Karsinoma mammae

2. Tinjauan Umum Karsinoma mammae merupakan keganasan


yang sering terjadi pada wanita berusia 20
hingga 90 tahun (terutama di atas 40 tahun).
Teknik operasi pada umumnya berupa total
atau simpel mastektomi, radikal mastektomi
dan diseksi nodul limfe aksilaris

3. Anamnesis 1. Riwayat Karsinoma mammae kontralateral


2. Riwayat radioterapi/ kemoterapi
3. Riwayat keluarga yang menderita
Karsinoma mammae
4. Riwayat operasi dan anestesi
5. Penyakit penyerta

4. Pemeriksaan 1. Tanda vital (tekanan darah, nadi,


Fisik respiratory rate, suhu, Visual analogue
scale)

62
2. Keadaan umum dan kesadaran
3. Status Airway (difficult airway)
4. Pemeriksaan fisik cor dan pulmo
5. Pemeriksaan massa tumor, staging dan
metastase

5. Kriteria 1. Pemeriksaan histopatologis


Diagnosis 2. Pemeriksaan tumor marker

6. Diagnosis 1. Fibroadenoma mammae


Banding 2. Mastitis

7. Pemeriksaan 1. Darah rutin


Penunjang 2. Gula darah sewaktu
3. Elektrolit
4. Status koagulasi
5. Fungsi ginjal
6. Fungsi liver
7. Foto rontgen thorax PA
8. Elektrokardiogram

9. CT Scan/ MRI

8. Pemeriksaan • Pre Operasi


Fisik  Pada umumnya pasien tidak mempunyai
penyakit penyerta. Perhatian khusus
diberikan pada adanya metastase ke
tulang, otak, liver, paru dan lain-lain.
- Respirasi : gangguan respirasi dapat
terjadi pada pasien yang telah
mendapatkan radioterapi (x-ray
therapy).
- Kardiovaskuler: agen kemoterapi
(doxorubicin) dapat menyebabkan
kardiomegali berat. Jika agen ini
dipakai dapat menyebabkan disfungsi
kardiak berat dan disarankan untuk
konsultasi ke bagian kardiologi serta
pemeriksaan cardiac imaging.
- Neurologi: metastase ke susunan
saraf pusat dapat menyebabkan
defisit neurologis, peningkatan TIK
dan perubahan status mentalis.
Dianjurkan untuk pemeriksaan CT
scan atau MRI.
- Hematologi: anemia bisa terjadi

63
akibat agen kemoterapi dan penyakit
kronis.
 Pemasangan 2 jalur intravena dengan
kanul besar serta sedia darah untuk
antisipasi perdarahan masif.
• Durante operasi
 General anesthesi
- Induksi dilakukan sesuai standar
induksi pada umumnya dengan
memperhatikan kondisi pasien.
- Pemakaian pelumpuh otot pada diseksi
aksila harus dihindarkan saat
maintenance sehingga dapat dilakukan
identifikasi nervus menggunakan nerve
stimulator
- Pemberian obat profilaksis untuk post
operation naussea and vomitus (PONV)

 Regional Anesthesi
- Blok paravertebral unilateral dapat
digunakan pada lumpectomy modified
radical mastectomy (diperlukan blok
pada level T1 - T6)
• Post Operasi
 Tatalaksana nyeri
 Tatalaksana PONV
 Tatalaksana komplikasi lain
(pneumothoraks, trauma psikologis)

9. Edukasi 1. Persiapan operasi dan anestesi


2. Jenis operasi dan anestesi
3. Komplikasi yang mungkin terjadi
4. Perawatan pasca operasi
5. Prognosis

10. Prognosis Ad vitam : dubia


Ad sanam : dubia
Ad fungsionam : dubia

11. Eviedence -

12. Rekomendasi -

64
13. Penelaah Kritis 1. dr. H. Marthunus Judin,SpAn
2. dr. R.Th. Supraptomo,SpAn

14. Indikator Medis 1. Hemoglobin dan hematokrit


2. Tumor marker
3. FNAB

15. Kepustakaan 1. Jaffe, Richard A.; Samuels, Stanley I.;


Schmiesing, Clifford A.; Golianu, Brenda.
Breast Surgery. Dalam Anesthesiologist's
Manual of Surgical Procedures, 4th Edition.
Chapter 7.10
2. Denise J. Wedel, Terese T. Horlocker. Nerve
block. Dalam Miller's Anesthesia 7th edition.
Chapter 52.
3. Hines & Marschall: Stoelting's Anesthesia
and Co-Existing Disease, 5th ed.

Surakarta, Agustus 2014


Ketua Komite Medik Ketua KSM Anestesiologi & Terapi Intensif

Dr.dr.Untung Alifianto,SpBS dr. Sugeng Budi Santosa,SpAn.KMN


NIP.19550305 198312 1 001 NIP. 19590620 1987011 1 001

RSUD Dr.Moewardi
Direktur

drg.Basoeki Soetardjo,MMR
NIP 19581018 198603 1 009

65
Panduan Praktik Klinis
KSM : Anestesiologi dan Terapi Intensif
RSUD Dr.MOEWARDI
2012 -2014

ANESTESI PADA CEDERA KEPALA BERAT


1. Subtopik Cedera Kepala Berat

2. Tinjauan Umum Cedera kepala merupakan penyebab kematian


dari 50% kasus trauma. Cedera kepala berat
terjadi apabila GCS pasien ≤ 8 dan pada
umumnya disertai lesi spesifik (fraktur cranium,
SDH/EDH, contusio cerebri). Craniotomi
biasanya dilakukan untuk evaluasi hematom
(EDH,SDH,ICH) dan dekompensasi untuk
menyediakan ruang bagi edema cerebri.

3. Anamnesis 1. Riwayat trauma (kejadian cedera kepala).


2. Kesadaran pasien saat kejadian hingga
sampai IGD.
3. Mual dan muntah saat kejadian hingga
sampai di IGD.
4. RPD penyakit-penyakit yang dapat

66
menyebabkan penurunan kesadaran (DM,
Hipertensi, Epilepsi, Stroke) dan obat-
obatan.

4. Pemeriksaan 1. Tanda vital (Tekanan darah, nadi, respirasi


Fisik rate, suhu).
2. Menentukan patensi jalan nafas, adekuat
atau tidaknya pernafasan dan
hemodinamik.
3. Menilai kesadaran (Glasgow Coma Scale /
GCS), lateralisasi, dan pupil.
4. Memeriksa ada tidaknya trauma di bagian
tubuh yang lain (trauma thorak, trauma
abdomen, fraktur tulang panjang, fraktus
pelvis).

5. Kriteria Penurunan kesadaran (GCS ≤ 8)


Diagnosis

Tabel GCS (Glasgow Coma Scale)

Perilaku Respon Nilai


4
Spontan
3
Buka Mata Bila disuruh dengan
2
(Eye Opening perkataan
1
Response) Bila dirangsang nyeri
Tidak ada
5
Orientasi baik
4
Respon verbal Berbicara kacau
3
(Best Verbal Berkata tetapi tidak
2
Response) benar
1
Tidak ada arti
Tidak ada
Respon 6
Sesuai dengan
Motorik (Best 5
perintah
Motor 4
Menunjuk pada tempat
Response) 3
nyeri
2
Menarik bila
1
dirangsang
Fleksi tidak normal

67
Ekstensi
Tidak ada
15
Respon sadar
<8
Total nilai Koma dalam
3
Tidak respon total

6. Diagnosis 1. Metabolik (hipoglikemik, KAD, koma


Banding hepatikum, dll)
2. Stroke
3. Epilepsi
4. Syok hipovolemik / hemoragik

7. Pemeriksaan 1. Darah rutin


Penunjang 2. GDS
3. Elektrolit
4. Fungsi ginjal
5. Fungsi liver
6. Analisis gas darah
7. CT Scan kepala tanpa kontras

8. Foto rontgen thorak


9. Foto rontgen cervical AP/lateral

8. Manajemen  Pra operasi :


Anestesi  Penilaian patensi jalan nafas, adekuasi
ventilasi dan oksigenasi, koreksi hipotensi
bersamaan dengan evaluasi neurologi dan
trauma.
 Semua pasien trauma harus dianggap
mengalami fraktur cervikal sehingga harus
dilakukan imobilisasi leher.
 Pasien dengan GCS ≤8, kehilangan refleks
menelan, serta hipoventilasi dilakukan
tindakan intubasi.
 Pilihan terapi antara medikamentosa dan
operasi ditentukan oleh temuan klinis dan
radiografi (CT Scan).
 Manajemen intraoperasi :
 Monitoring non invasif (tekanan darah, nadi,
saturasi, ECG, suhu) dan monitoring invasif
(CVP, arterial line).
 Teknik anestesidan agen anestesi didesain
untuk memenuhi perfusi cerebal dan

68
mencegah peningkatan TIK (pemilihan obat
untuk neuroanestesi).
 Hipotensi bisa terjadi akibat efek
vasodilatasi obat induksi dan hipovolemia
dimana harus diterapi dengan infus cairan
ataupun agonis -adrenergic bila
diperlukan.
 Hipertensi bisa disebabkan oleh stimulasi
operasi ataupun peningkatan TIK secara akut
(reflek cushing). Terapi hipertensi bisa
menggunakan penambahan dosis agen
inhalasi, peningkatan konsentrasi anestesi
inhalasi ataupun obat anti hipertensi.
 Cerebral perfusion pressure dipertahankan
antara 70-110 mmHg.
 Hiperventilasi yang menyebabkan PaCO2<
30 harus dihindari untuk mencegah
penurunan berlebihan dari deliveri oksigen.
 Acute Repiratory Distress Syndrome /
ARDS bisa terjadi akibat pelepasan
tromboplastin di otak dalam jumlah besar,

aspirasi pulmonum dan edema


pulmoneurogenic. Apabila terjadi ARDS atau
gangguan pada fungsi paru maka pada
ventilator dapat digunakan PEEP.
 Pasca operasi :
 Pertimbangan untuk ekstubasi tergantung
pada beratnya trauma, ada tidaknya trauma
thorak atau abdomen, penyakit yang telah
diderita sebelumnya, dan tingkat kesadaran
praoperasi.
 Peningkatan TIK yang persisten
membutuhkan paralisis, sedasi, dan
hiperventilasi yang kontinyu.

9. Edukasi 1. Tingkat keparahan cedera kepala dan terapi


yang akan diberikan
2. Lesi neurologik yang telah terjadi atau
mungkin terjadi pasca operasi
3. Masalah khusus yang dihadapi
4. Perawatan pasca operasi
5. Prognosis

10. Prognosis Ad vitam : dubia


Ad sanam : dubia

69
Ad fungsionam : dubia

11. Tingkat Evidence -

12. Tingkat
Rekomendasi

13. Penelaah Kritis 1. dr. MH. Sudjito,SpAn.KNA


2. dr. Ardana Tri Arianto,M.Si.Med.,SpAn

14. Indikator Medis 1. CT scan kepala non kontras


2. Foto rontgen cervical AP/Lateral dan thorax
3. Analisa gas darah
4. Mengatasi peningkatan tekanan intrakranial

15. Kepustakaan 1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ.


Clinical Anaesthesiology, 5th ed, New
York: Lange Medical.
2. John C. Drummond, Piyush M. Patel.
Neurosurgical Anesthesia. Miller's
Anesthesia 7th edition. Chapter 63

3. Longnecker David E, David L. Brown Mark F.


Newman. Anesthesiology, New york, The
McGraw-Hill Companies.

Surakarta, Agustus 2014


Ketua Komite Medik Ketua KSM Anestesiologi & Terapi Intensif

Dr.dr.Untung Alifianto,SpBS dr. Sugeng Budi Santosa,SpAn.KMN


NIP.19550305 198312 1 001 NIP. 19590620 1987011 1 001

RSUD Dr.Moewardi
Direktur

drg.Basoeki Soetardjo,MMR
NIP 19581018 198603 1 009

70
Panduan Praktik Klinis
KSM : Anestesiologi dan Terapi Intensif
RSUD Dr.MOEWARDI
2012 -2014

PEMASANGAN KATETER PULMONAL ARTERI


1. Subtopik SwanGanz catheter

2. Tinjauan Umum SwanGanz catheter atau kateter arteri pulmonal


merupakan suatu tindakan berupa pemasangan
kateter pada pembuluh darah vena yang langsung
menuju ke jantung.

3. Indikasi 1. Monitoring tekanan arteri pulmonal


2. Menghitung Cardiac Output dan Cardiac Index

4. Kontra Indikasi 1. Gangguan pembekuan darah


2. Terapi koagulan atau trombolitik
3. Kelainan anatomi lokal
4. Selulitis, luka bakar, dermaittis yang berat
pada daerah pemasangan

71
5. Vasculitis

5. Peralatan 1. Kateter SwanGanz


2. Set SGZ
3. Spuit 5 dan10 cc
4. Antiseptik
5. Obat anaestesi local
6. Sarung tangan steril
7. Bengkok,com 2 buah
8. Cairan NaCl 0,9% (25 ml)
9. Plester
10. Heparin

6. Tehnik • Teknik kanulasi v. jugularis interna


1. Baringkan pasien dengan posisi kepala ke
samping kiri dengan kepala diarahkan
kearah berlawanan dengan tempat
penusukan.
2. Fiksasi kepala dan badan sehingga tidak
bergerak.
3. Kenakan sarung tangan dan bersihkan
daerah leher dengan cairan antiseptik

kemudian tutup daerah sekitar dengan kain


penutup steril.
4. Tentukan tempat penusukan pada puncak
segitiga yang dibentuk oleh m. sterno kleido
mastoideus dan klavikula dan dan suntikkan
dengan cara infiltrasi Lignokain untuk
anestesi lokal.
5. Hubungkan jarum dengan semprit kemudian
arahkan ujung jarum dengan sudut 30o
tusukkan ke arah puting dada sambil
menarik pompa semprit untuk melakukan
aspirasi.
6. Segera setelah darah keluar lepaskan
semprit dari jarum , tutup ujung jarum
untuk mencegah masuknya udara.
7. Bila tidak berhasil tarik kembali ke arah kulit
dan dorong kembali 5-10o ke arah lateral.
8. Masukkan kawat pemandu ke dalam jarum
dan pembuluh darah, cabut jarum dengan
memastikan kawat tetap pada tempatnya
dan kemudian masukkan kateter melalui
kawat pemandu ke dalam vena.
9. Jahit kateter ke kulit dan tarik kawat

72
pemandu, tutup ujung kateter untuk
mencegah masuknya emboli udara dan
hubungkan dengan set IVFD.
10. Fiksasi dengan plester dan buat foto toraks
untuk memastikan letak kateter dan
memastikan tidak ada pneumotoraks.

7. Pemeriksaan 1. Darah rutin


penunjang 2. Glukosa darah sewaktu
3. Foto thorax PA
4. Elektrocardiografi
5. Analisa gas darah

8. Edukasi 1. Komplikasi akut dan kronik


2. Tanda dan gejala emboli udara
3. Tanda dan gejala pneumothorak
4. Tanda dan gejala infeksi
5. Monitoring patensi SGZ akibat bekuan darah
6. Kemungkinan cedera syaraf setelah
pemasangan
7. Perubahan posisi kateter
8. Prognosis

9. Prognosis Ad vitam : Dubia


Ad sanam : Dubia
Ad fungsionam : Dubia

10. Tingkat evidence -

11. Tingkat -
Rekomendasi

12. Penelaah Kritis Sub Divisi Anestesi kardiovaskuler


1. dr. Purwoko,SpAn.KAKV
2. dr. Bambang Novianto P,SpAn.M.Kes.Perf.

13. Indikator medis 1. Angka kejadian pneumothorak


2. Angka kejadian sepsis

14. Kepustakaan 1. Chamedes L and Hazinski MF : Pediatric


Advanced Life Support, American Heart
AssociationandAmerican Academy of
Pediatrics, Emergency cardiovascular Care
Program 1997–1999.
2. Roberts and Hedges. Clinical Procedures in
Emergency Medicine, 4th edition, 2004.
3. McIntosh W . Central venous catheters :

73
reasons for insertion and removal. Paediatric
Nursing.2003. Vol 15, No 1

Surakarta, Agustus 2014


Ketua Komite Medik Ketua KSM Anestesiologi & Terapi Intensif

Dr.dr.Untung Alifianto,SpBS dr. Sugeng Budi Santosa,SpAn.KMN


NIP.19550305 198312 1 001 NIP. 19590620 1987011 1 001

RSUD Dr.Moewardi
Direktur

drg.Basoeki Soetardjo,MMR
NIP 19581018 198603 1 009

Panduan Praktik Klinis


KSM : Anestesiologi dan Terapi Intensif
RSUD Dr.MOEWARDI
2012 -2014

PENGELOLAAN EMERGENCY KIT


1. Subtopik Peralatan Emergency Kit

2. Tinjauan Umum Emergency kit adalah tempat sederhana untuk


menyimpan alat-alat dan obat-obatan
emergency guna penanganan kasus-kasus
kegawatdaruratan.

3. Kegunaan Untuk menangani kasus - kasus kegawat-


Emergency kit daruratan di lingkungan Rumah Sakit atau diluar
Rumah Sakit dimana tidak terdapat alat-alat
atau obat-obat emergensi.

4. Perlengkapan Peralatan:
Emergency kit 1. Tas Emergency
2. Stetoskop
3. Laringoskop
4. Orofaringeal airway dan nasofaringeal

74
airway
5. Endotrakeal tube dan stilet
6. Plester
7. Pulse Oksimetri
8. Senter
9. Sarung tangan
10. Bag valve mask
11. Spuit 3 ml, 5 ml, 10 ml
Obat-obatan :
1. Epinefrin
2. Efedrin
3. Sulfas atropin
4. Aminophilin
5. Dexamethason

5. Pengelolaan 1. Penggunaan dan pengelolaan emergency kit


Emergency kit dapat dilakukan oleh tenaga ahli dan tenaga
kesehatan seperti dokter dan perawat
2. Alat-alat dan obat-obatan emergency harus
selalu tersedia lengkap dan bersih di dalam
tas emergency dan selalu di periksa keleng-

kapan sebelum dan setelah tindakan


emergency.
3. Emergency kit selalu diperiksa setiap
minggu untuk memastikan tidak adanya
alat-alat dan obat-obatan yang kurang serta
untuk mengetahui jika ada alat-alat atau
obat-obatan yang rusak atau sudah
kadaluarsa.
4. Emergency kit disimpan pada suhu
ruangan 25°C - 30ºC dan hindari
penyimpanan pada suhu panas atau
lembab.

6. Edukasi -

7. Prognosis -

8. Tingkat Evidence -

9. Tingkat -
Rekomendasi

10. Penelaah Kritis 1. dr. Sugeng Budi Santosa, SpAn.KM

75
2. dr. Heri Dwi Purnomo, SpAn,M.Kes.

11. Indikator Medis -

12. Kepustakaan 1. http://www.google.co.id.Hospital Pharmacy


Keeps Emergency Medical Kits in chest-BFID
Journal.
2. http://www.google.co.id.Obat-obat
emergensi pada anestesi,20 September
2011.

12. Kepustakaan 3. http://www.google.co.id.Penyimpanan Obat


di Rumah Sakit.

Surakarta, Agustus 2014


Ketua Komite Medik Ketua KSM Anestesiologi & Terapi Intensif

Dr.dr.Untung Alifianto,SpBS dr. Sugeng Budi Santosa,SpAn.KMN


NIP.19550305 198312 1 001 NIP. 19590620 1987011 1 001

RSUD Dr.Moewardi
Direktur

drg.Basoeki Soetardjo,MMR
NIP 19581018 198603 1 009

76
Panduan Praktik Klinis
KSM : Anestesiologi dan Terapi Intensif
RSUD Dr.MOEWARDI
2012 -2014

PENGELOLAAN PASIEN PASCA ANESTESI


1. Subtopik Pengelolaan pasien di Ruang Pulih Sadar

2. Tinjauan Umum Pengelolaan pasien pasca anestesi bertujuan


untuk menjaga kondisi optimal pasien setelah
tindakan anestesi,melakukan deteksi dini
terhadap kemungkinan perburukan dan
memberikan tatalaksana yang dibutuhkan
terhadap kemungkinan tersebut.
*Aldrette score(Dewasa)
Pre Anestesi Vital Sign/Source
Tek sistolik 20% dari 2
pre anestesi
Sirkulasi
20-50% 1
>50 0
Kesadaran Sadar Penuh 2
Bangun Jika dipanggil 1

77
Belum Respon 0
Mampu 2
Bernafas&batuk
Respirasi
Sesak 1
Apnea 0
Hangat, kulit kering, 2
merah muda
Warna kulit
Pucat,dingin 1
Sianosis 0
Mampu menggerakan 4
ekstremitas 2
Ekstremitas Mampu menggerakan 2
ekstremitas 1
Mampu menggerakan 0
ekstremitas 0
*Steward Score(Anak-anak)
Pre Anestesi Vital Sign/Source
Sadar penuh 2
Kesadaran Bangun jika dipanggil 1
Belum Respon 0

Batuk / menangis 2
Berusaha bernafas 1
Respirasi
Perlu bantuan 0
bernafas
Gerakan beraturan 2
Aktivitas
Gerakan tanpa tujuan 1
motorik
Tidak bergerak 0
* Bromage Score(SAB/Sub Arachnoid Blok)
Pre anestesi vital sign/source
Gerakan penuh dari tungkai 0
Tak mampu ekstensi tungkai 1
Tak mampu flexi lutut 2
Tak mampu flexi pergelangan kaki 3
3. Indikasi Seluruh pasien pasca tindakan anestesi

4. Kontraindikasi -

5. Peralatan 1. Alat untuk oksigenasi dan menjaga patensi


airway (oral, nasal), sungkup muka,
laringoskop, pipa endotrakeal, plester,
stetoskop, Alat pengisap (suction) harus

78
tersedia dan berfungsi baik.
2. Obat kegawatdaruratan seperti adrenalin,
sulfas atropin, efedrin, aminofilin, steroid,
obat anti aritmia (lidokain, amiodaron),
loop diuretics, inotropik, vasopressor
(norepine-phrine), obat hipotensif
(nitroglycerin, nitro-pruside), antikonvulsan
(diazepam, MgSO4), pelemas otot, obat
antidotum (naloxon, anticholinesterase dan
bila ada flumazenil), Natrium bicarbonate,
Calcium gluconas, KCl, morphine dan opioid
lainnya (fentanyl, pethidine).
3. Alat monitor standar non invasif seperti
EKG, NIBP, saturasi O2, suhu, ETCO2 harus
dipersiapkan dan dicek layak pakai atau
tidak.

6. Tehnik * Anestesi Umum:


1. Patensi jalan nafas , tanda-tanda vital,
oksigenasi dan Tingkat kesadaran dinilai
segera saat pasien masuk ruang pulih
sadar.

2. Pengukuran takanan darah dan laju


pernafasan dilakukan tiap 5 menit
selama 15 menit atau hingga pasien
stabil dan selanjutnya tiap 15 menit.
3. Pengukuran dengan pulse oksimeter
dilakukan berkelanjutan pada seluruh
pasien.
4. Fungsi neuromuskuler dinilai secara
klinis (contoh mengangkat kepala dan
kekuatan menggenggam).
5. Pengukuran suhu tubuh dilakukan
minimal satu kali selama di ruang pulih
sadar.
6. Dilakukan pengkajian tambahan : peni-
laian skala nyeri,ada atau tidaknya mual
dan muntah,cairan masuk dan keluar
termasuk urin,perdarahan dan drainage.
7. Setelah dilakukan penilaian awal pasien,
dilakukan pencatatan yang meliputi:
a. Riwayat Pre operatif (termasuk
status mental, gangguan komu-
nikasi, ganggaun penglihatan, gang-
guan pendengaran atau gangguan

79
mental)
b. Kejadian terkait intraoperatif (jenis
anestesi, prosedur pembedahan,
kekurangan darah, penggantian
cairan, antibiotik dan pengobatan lain
yang relevan, serta komplikasi yang
ada)
c. Problem pasca operasi yang mungkin
terjadi.
d. Antisipasi kebutuhan terapi di ruang
pulih sadar seperti antibiotik
e. Instruksi pasca anestesi (Anal-getik,
terapi mual dan muntah, perawatan
kateter epidural atau perineural,
termasuk kebutuhan penatalak-
sanaan nyeri akut, pemberian cair-
an/penggunaan produk darah,
rontgen thorax untuk folow up
pemasangan vena sentral,dan lain-
lain.

* Regional Anestesi:
1. Pasien yang masih tersedasi dan
hemodinamik belum stabil setelah
regional anestesi diberikan suplementasi
oksigen.
2. Level sensorik dan motorik dicatat secara
periodik untuk mencatat regresi blok.
3. Bila diperlukan dilakukan tindakan
pencegahan berupa padding atau
peringatan untuk mencegah trauma
akibat pergerakan tangan yang tak
terkoordinasi setelah blok pleksus
brachialis.
4. Tekanan darah dimonitor ketat setelah
anestesi spinal dan epidural.
5. Pemasangan kateter urin pada pasien
anestesi spinal atau epidural lebih dari 4
jam.
* Kontrol Nyeri dan Komplikasi lain
1. Nyeri ringan hingga sedang dapat
diberikan paracetamol, ibuprofen,

80
hidrocordon, atau oxcycordon. Sebagai
alternatif dapat diberikan ketorolac
trhomethamin (15 – 30 mg pada pasien
dewasa) atau paracetamol (15 mg/kg
atau 1gr jika pasien >50kg) diberikan
secara intravena.
2. Bila didapatkan nyeri paska operasi
sedang sampai berat atau bila tidak
memungkinkan pemberian analgetik oral,
dapat diberikan opioid parenteral atau
intraspinal, blok saraf single shot maupun
kontinyu, epidural kontinyu, maupun
kombinasi beberapa teknik tersebut.
3. Bila didapatkan agitasi persisten dapat
diberikan sedasi dengan midazolam 0,5-
1mg(0,05mg/kg pada anak-anak)
intravena secara intermiten.
4. Bila didapatkan mual atau muntah,dapat
diberikan ondansetron 4mg(0,1mg/kg
pada pediatrik),granicetron 0,01-
0,04mg/kg.
5. Hipotermia diatasi dengan pemasangan
penghangat atau warmer.

6. Bila didapatkan shivering/menggigil dapat


diberikan petidin dosis kecil(10-25mg).

7. Kriteria pindah 1. Dewasa Aldrette score≥8


ruangan 2. Anak-anak Steward score≥5
3. Regional Anestesi Bromage score≤2

8. Edukasi 1. Komplikasi pasca tindakan anestesi


2. Komplikasi pasca operasi

9. Prognosis Ad vitam : dubia


Ad sanam : dubia
Ad fungsionam : dubia

10. Tingkat Evidens -

11. Tingkat -
Rekomendasi

12. Penelaah kritis 1. dr.H. Marthunus Judin,SpAn


2. dr. Sugeng Budi Santosa,SpAn.KMN

13.Indikator Medis 1. Aldrette Score ≥ 8 (untuk pasien dewasa)

81
2. Steward Score ≥ 5 (untuk pasien anak)
3. Bromage Score ≤2 (untuk pasien Regional)

14.Kepustakaan 1. Butterworth, J.F., D.C. Mackey, J.D.


Wasnick. Morgan & Mikhail’s Clinical
Anaesthesiology 5th ed. New York: Lange
Medical Books/McGraw-Hill. 2013
2. Barash, P.G., B.F. Cullen, R.K. Stoelting.
Clinical Anaesthesia 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins.
2006.

14.Kepustakaan 3. Butterworth, J.F., D.C. Mackey, J.D.


Wasnick. Morgan & Mikhail’s Clinical
Anaesthesiology 5th ed. New York: Lange
Medical Books/McGraw-Hill. 2013

Surakarta, Agustus 2014


Ketua Komite Medik Ketua KSM Anestesiologi & Terapi Intensif

Dr.dr.Untung Alifianto,SpBS dr. Sugeng Budi Santosa,SpAn.KMN


NIP.19550305 198312 1 001 NIP. 19590620 1987011 1 001

RSUD Dr.Moewardi
Direktur

82
drg.Basoeki Soetardjo,MMR
NIP 19581018 198603 1 009

83

Vous aimerez peut-être aussi