Vous êtes sur la page 1sur 21

ASAL-USUL PESANTREN DAN PEMBENTUKAN KARAKTER KEBUDAYAAN

NUSANTARA: KAJIAN TEKS DAN SEJARAH

Oleh Ahmad Baso

“Itulah sebabnya maka banyak kramat [baca: pesantren] di Tanah Jawa itu tatkala zaman Pasai
alah [takluk] oleh Majapahit itu...”.

---- Hikayat Raja-raja Pasai.

Dari Mandala ke Pesantren: Karakter Kelembagaan dan Kebudayaan

Dari mana kita memulai berbicara asal-mula kehadiran pesantren?

Banyak menyebut asal-usul pesantren pada lembaga mandala, pawiyatan atau asrama.
Ketiga lembaga ini dikenal dalam tradisi pendidikan komunitas Hindu-Budha sebelum
Islam. Sebutan mandala muncul dalam teks Tantu Panggelaran dari sekitar 16.1 Istilah
pawiyatan disebut oleh Ki Hajar Dewantara dalam satu tulisannya di tahun 1930-an. 2
Sementara asrama disebut dalam teks Sri Tanjung dari abad 16, yang menggambarkan
suasana pertapaan di Prangalas di bawah asuhan Tambapetra yang arif, beruban, dan
ahli pengobatan.3

Untuk tahu asal-usul kemunculan pesantren, saya mau kutip dulu apa yang ditulis Denys
Lombard dalam sejarah Jawa pra Majapahit:
Kalau dilihat dari daftar perubahan – yang mencakup [pertama] kaum agama yang menjauh
dari raja dan melanjutkan politik pembukaan tanah sendiri [atau babad alas], [kedua] para
bhré yang ingin memperoleh otonomi kembali seperti para raka zaman dahulu, [ketiga]
peranan yang semakin besar dari kaum pedagang dan lalu lintas uang, munculnya ‘klien-klien’
atau kawula yang merupakan bagian dari jaringan antarpribadi dan, akhirnya, [keempat]
munculnya pemilik tanah yang lolos dari sistem bermasyarakat yang berlaku di wanua –
sudah jelas bahwa perubahan-perubahan itu sangat mendalam .4

Ada perubahan, tapi tidak sekedar dinamika yang akan berlalu begitu saja. Itu adalah
“perubahan yang sangat mendalam” dalam bahasa Lombard yang struktural.
“Mendalam” artinya sesuatu yang kolektif dan struktural sedang terjadi dalam rentang
waktu yang panjang. Dan perkembangan itu menyangkut nasib bersama orang-orang
Jawa – dan juga Nusantara. Dengan kata lain, keempat perkembangan yang didata oleh
Lombard di atas membawa bentuk-bentuk baru ke dalam bangunan peradaban Jawa
sejak itu. Mentalitas, cara berekonomi, pola kemasyarakat dan bangunan politik pun
ikut berubah, dan mengambil bentuk dan substansi yang baru pula. Perubahan ini yang

1 Dwi Ratna Nurhajarini, dkk., Kajian Mitos dan Nilai Budaya dalam Tantu Panggelaran (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999). Untuk sebutan pondok pesantren sebagai pengganti
“mandala” di masa Hindu-Budha, disebut misalnya dalam Pigeaud, Literature of Java, vol. 1, hal. 79.
2 Ki Hajar Dewantara, “Systeem Pondok itulah Systeem Nasional”, dalam Karja Ki Hadjar Dewantara:
Bagian Pendidikan.
3 Prijono, Sri Tanjung: Een Javaansch Verhaal (1938).
4 Lombard, Nusa Jawa, jilid 3, hal. 35. Bhre adalah gelar kehormatan yang dipakai para penguasa Jawa di
abad 15; sedangkan raka adalah sebutan untuk penguasa-penguasa lokal yang sering muncul dalam
prasasti.
akan diwarnai dan “ditumpangi” oleh para Wali Songo di era Majapahit sebagai
kendaraan untuk menggerakkan sejarah baru di Nusantara dimana pesantren sebagai
salah satu penggeraknya.
Saya hanya akan menyoroti bagian pertama dari keempat perkembangan itu yang
melapangkan jalan bagi kemunculan Wali Songo membawa peradaban baru. Yaitu,
“kaum agama yang menjauh dari raja dan melanjutkan politik pembukaan tanah sendiri
[atau babad alas]”. Teks Tantu Panggelaran membantu kita mengaitkan asal-mula
kehadiran pesantren dengan perkembangan kaum agama yang menjauh dari raja,
melanjutkan politik pembukaan tanah sendiri lalu mendirikan mandala-mandala di era
sebelum Wali Songo.5 Ia juga membantu kita memperjelas posisi strategis mandala
tersebut dalam konteks geografis kultural masa pra-Islam. Juga memperjelas alasan
mengapa kalangan Wali Songo mengubah atau mentransformasikan kelembagaan
mandala menjadi basis pesantren.
Tantu Panggelaran ditulis sekitar tahun 1557 dalam bahasa Jawa Tengahan dalam
bentuk prosa. Jadi dari masa-masa kemunculan dakwah Wali Songo di pesisir Jawa. Tapi,
menurut Pigeaud yang mengedit teks ini, buku ini belum dipengaruhi oleh dakwah
Islam di pesisir. Ia disusun di daerah pedalaman Jawa. Kemungkinan ia berasal dari
masa-masa sebelum Majapahit.6 Meski dari pedalaman, tapi teks ini dikenal punya
karakter independen dari konstruksi pusat-pusat kekuasaan masa itu seperti Majapahit
atau Pajajaran.7 Karakter independen teks ini terwujud dalam isinya. Ia tidak berbicara
raja-raja atau kehidupan kraton. Tapi tentang berbagai komunitas beserta tradisi lisan
dan cerita-ceritanya, yang digambarkan sebagai wilayah merdeka dan berdaulat.

Cerita berawal dari pengisian Tanah Jawa atau Nusantara dengan kehidupan manusia,
pemindahan gunung Mahameru dari India ke Tanah Jawa, kisah-kisah Batara Guru dan
istrinya, Batara Uma, beserta dewa-dewa di Tanah Jawa. Awalnya Batara Guru
mengutus Sang Hyang Brahma dan Dewa Wisnu untuk membuat sepasang laki dan
perempuan sebagai bibit kemunculan umat manusia di atas Tanah Jawa. Mereka
mengepal-ngepal tanah untuk dijadikan manusia. Batara Brahma membuat manusia
laki-laki; sementara Wisnu membuat manusia perempuan. (Pola bercerita ini kemudian
ditransformasikan oleh orang-orang pesantren menjadi cerita pengisian umat manusia
di Tanah Jawa dari Negeri Rum. Sementara kisah penciptaan manusia pertama
mengikuti tradisi penciptaan Nabi Adam. Lalu, bagaimana dengan dewa-dewa? Mereka
dijadikan keturunan Nabi Adam alaihissalam. Sedangkan pimpinan atau pemandu
manusia-manusia pertama di Jawa ini adalah para ulama, seperti disebut misalnya
dalam teks-teks Jayabaya).

Kehidupan manusia waktu itu masih primitif – telanjang bulat, belum mengenal
kebudayaan dan peradaban. Untuk itu Batara Guru meminta dewa-dewa turun ke dunia
untuk mengajarkan berbagai macam pengetahuan dan keterampilan kepada manusia.
Batara Brahma menjadi pandai besi; ia minta bantuan dari lima unsur kekuatan: partiwi
(bumi, tanah), apah (air), teja (cahaya), bayu (angin) dan akasa (langit). Batara Iswara
mengajarkan bahasa; Batara Wiswakarma mengajarkan cara membuat rumah; Wisnu

5 Kata mandala bukan hanya menunjukkan arti tempat bertapa atau perguruan. Mandala bisa juga berarti
lingkungan cincin kekuasaan sang raja, wilayah kraton, atau negara. Lihat P.J. Zoetmulder & S.O. Robson,
Kamus Jawa Kuna–Indonesia (terj. Darusuprapta & Sumarti Suprayitna) (Jakarta: KITLV-Jakarta &
Gramedia Pustaka Utama, 2000), cet. 3, Bagian 1, hal. 642, tentang beberapa pengertian kata ini.
6 Lihat Th. Pigeaud, De Tantu Panggelaran: Een Oud-Javaansch Prozageschrift, uigeven, vertaald en
toegelicht (Proefschrift Doktoral di Universitas Leiden) (‘s-Gravenhage, 1924).
7 Lihat Poerbatjaraka, Kapustakan Djawi (Jakarta & Amsterdam: Djambatan, 1954), cet. 2, hal. 56-9.
menjadi pemimpin seluruh umat manusia (ilmu politik), menjadi raja. Sementara
istrinya, Batara Sri, mengajarkan cara memintal, menenun, dan cara berpakaian.
Sementara Batara Mahadewa belajar menjadi pandai emas. Bagawan Ciptagupta
menjadi pelukis. [(Pola bercerita ini kemudian ditransformasikan oleh orang-orang
pesantren cerita-cerita tentang Wali Songo mengajarkan berbagai pengetahuan dan
keterampilan, membawa peradaban ekonomi ke Nusantara, seperti akan dibahas dalam
buku ini.]

Sejak itu muncul teknik pertanian, yang dimulai dari penemuan bibit pertama.
Diceritakan bahwa Hyang Kandiawan (Batara Wisnu) beranak lima orang. Kelimanya
memburu kendaraan Batari Sri berupa empat ekor burung: burung perkutut, burung
puter, burung derkuku merah, burung merpati hitam. Ketika masing-masing burung itu
ditembak dengan katapel, jatuhlah temboloknya. Tembolok burung perkutut berisi biji
warna putih; tembolok burung merpati hitam berisi biji warna hitam; tembolok burung
puter berisi biji warna kuning harum semerbak; tembolok burung derkuku merah berisi
biji merah. Sang Mangkuhan, putra sulung Wisnu, menyemaikan biji putih, merah dan
hitam, yang kemudian menjadi padi, dadi pari (dengan beras merah, putih dan hitam).
Sementara biji kuning menjadi kunyit. 8 [Cerita Dewi Sri ini kemudian ditransformasikan
oleh Sunan Giri menjadi cerita tentang para malaikat pembawa rezeki dan ilmu
pertanian yang diajarkan ulama pesantren9].

Ada beberapa ciri khas mengapa mandala ini disebut sebagai wilayah merdeka dan
berdaulat, seperti dituturkan dalam teks Tantu Panggelaran. Karakter ini relevan untuk
membaca kehadiran pesantren di era Wali Songo. Sekaligus membantu memperjelas
hakekat dan karkater kebudayaan yang dibangun orang-orang pesantren di kemudian
hari. Tanpa karakter merdeka dan berdaulat ini, peradaban Nusantara tidak akan punya
arti.

Pertama, dari segi asal-usulnya, mandala muncul di pedalaman, di desa-desa. Tantu


Panggelaran menuturkan awal kemunculan mandala:
Kahucapa tatwa sih Bhatara Parameçwara tumulusakna magawe tantu [praçista] ri
Yawadwipa.

Makaryya ta sira mandala, makulambi magundala sira, tumitihi su[ra]ngga patarana, tinher
manganakna dewaguru sira, umisyani sira patapan kabeh, kadyana: katyagan, pangajaran,
pangubwanan, pa[ma]nguywan, pangabtan, gurudeça; hangundagi, angaremban;

Siragawe hika kabeh; masamoha ta sira sang watek dewata kabeh, mangambuli to sira
makaryya humah sing kayu tan wurung, sarwwasidda [mun huwusal], matangnyan ring
sarwwasidda ngaraning mandala mangke.

Çighra siragawe humah, maluwaran sang dewata sira kabeh, arep ta sira magaweha rereban,
tinher ing gunung rereban ngaranya mangke, pangreban sang dewata nguni kacaritanya
Mawelawela sukaning dewata kabeh; tinhor Mandala ri Sukawela ngaranya mangke.

Bhatara sira mayajna suka, matangnyan ring Sukayajna ngaranya wekasan.

Bhatara Guru sira mapurwwa taruka, Sukayajna tambeyaning hana mandala.10

8 Nurhajarini, dkk., Kajian Mitos dan Nilai Budaya dalam Tantu Panggelaran, hal. 12-3, 75.
9 Lihat Ahmad Baso, Pesantren Studies 3A (akan terbit).
10 Nurhajarini, dkk., Kajian Mitos dan Nilai Budaya dalam Tantu Panggelaran, hal. 29, 93 – dengan
perbaikan redaksi terjemahan.
(Tersebutlah tentang hakikat kesejatian Bathara Parameswara, yakni membuat tempat tinggal
di Tanah Jawa (Yawadwipa) untuk selama-lamanya.

Untuk itu ia membuat mandala, memakai baju khas wiku (pendeta), memakai anting-anting,
menduduki tempat duduk berlapik kain merah. Lalu, sebagai dewa-guru,11 memimpin
upacara-upacara keagamaan, merintis berdirinya mandala-mandala dan tempat-tempat
pertapaan semua, yang berupa: tempat belajar ilmu-ilmu, pengajaran, biara, pertapaan,
tempat tinggal para rohaniwan, dan tempat belajar keterampilan, seperti membangun rumah.

Sang guru-desa atau wiku desa ini membangun sendiri rumahnya.

Dewa-dewa lainnya ikut bersama-sama membuat rumah dari kayu. Semua pun bisa rampung
dan terlaksana dengan baik (saruwasidda). Mandala itu kemudian dinamakan Saruwasidda.

Sesaat ia menyegerakan membuat rumah hingga rampung, lalu para dewa pun bubar. Mereka
kemudian akan membuat tempat perisitirahatan atau rereban. Dan tempat itu kemudian
dinamakan Gunung Rereban. Karena dahulu ceritanya itu adalah tempat peristirahatan para
dewa.

Tampak jelaslah kepuasan para dewa (mawelawela sukaning). Mandala di gunung tersebut
kemudian dinamakan Mandala ri Sukawela.

Kemudian di satu tempat lagi Bathara Guru dengan senang mengadakan pengorbanan
(mayajna suka). Akhirnya dinamakan tempat itu Mandala Sukayajna.

Bathara Guru mulai merintis menempatinya. Di Sukayajna itulah awal mula adanya mandala.)

Keberadaan mandala di wilayah pedalaman ini menunjukkan kualitas pertama


kemandirian, merdeka dan berdaulat. Dalam karya-karya sastra Jawa kuno atau
Kakawin, daerah pedesaan di sekitar mandala dikenal makmur.

Dalam Sumanasantaka gubahan Mpu Monaguna dari masa Kediri (sekitar abad 13),
misalnya, disebut sebuah kabuyutan dan kadewagurwan yang berada dekat sungai dan
berada di sebuah desa yang sangat ramai dengan aktifitas perdagangan dan pertanian. 12
Desa itu memiliki hamparan sawah luas, dan juga tambak-tambak untuk pembuatan
garam. Memang dalam teks-teks kakawin istilah kabuyutan, kadewagurwan,
wanasrama, patapan, pajaran, pangalusan, parahyangan, katyagan semakna dan identik
dengan mandala.13
11 Dalam Sumanasantaka ada sebutan kadewagurwan untuk sebuah nama perguruan dan tempat
pertapaan. Jadi kata dewa-guru bisa diartikan pimpinan pondok. Lihat dalam Peter Worsley, dkk., (editor),
Kakawin Sumanasantaka (Mati karena Bunga Sumanasa) Karya Mpu Monaguna: Kajian Sebuah Puisi Epik
Jawa Kuno (Jakarta: EFEO, KITLV, & Yayasan Obor, 2014), hal. 180; dan, P.J. Zoetmulder, Kalangwan: Sastra
Jawa Kuno Selayang-Pandang (Jakarta: Djambatan, 1984), cet. 3, hal. 380.
12 Lihat Worsley, dkk., (editor), Kakawin Sumanasantaka, hal 178-dst. Jan Wisseman Christie juga
menyebut keberadaan sebuah desa-mandala dalam jaringan perdagangan. Lihat Christie, “Negara,
Mandala, and Despotic State”, hal. 82. Desa-desa-mandala atau sima ini juga menyebut sejumlah
penghuninya sebagai pengrajin keramik dan alat-alat rumah tangga. Lihat Ibid., hal. 88.
13 Lihat dalam P.J. Zoetmulder, Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang-Pandang (Jakarta: Djambatan,
1984), cet. 3, hal. 377-85, dan 256-9. Tentang istilah kabuyutan, lihat Edi S. Ekadjati , “Priangan
Historiography”, dalam Gerrit Schutte and Heather Sutherland (editor), Papers of the Dutch-Indonesian
Historical Conference (Leiden & Jakarta: Bureau of Indonesian Studies under the Auspices of the Dutch and
Indonesian Steering Committees of the Indonesian Studies Programme, 1982), hal. 66-7; dan, “Cultural
Plurality: The Sundanese of West Java”, dalam Ann Kumar & John H. McGlynn (editor), Illuminations: The
Writing Traditions of Indonesia (Jakarta: Lontar Foundation, 1996), hal. 121.
Selain itu, ada pula mandala yang berdiri di dekat hutan. Sehingga disebut talun-talun,
yakni bidang-bidang tanah yang dibabat dari hutan, kemudian diolah oleh manusia
untuk pertanian dan pendirian perguruan. Dalam Tantu Panggelaran, disebut tanah-
tanah di pedalaman yang dikuasai oleh para rama (disebut “mpu rama-rama”). Dari
tanah-tanah tersebut, sebidang tanah di talun (dekat hutan) pun dibuka untuk
pendirian mandala.14 Praktik membuka tanah di talun ini kemudian disebut babad alas –
seperti akan dibahas dalam bab berikut. 15 Pertapa atau pandita yang tinggal di hutan
dan pedalaman itu disebut wiku talun atau wiku dusun. Dalam teks Tantu Panggelaran,
seperti dikutip di atas, pandita desa itu disebut guru-desa. Sementara pandita yang
tinggal di kraton disebut wiku nagara atau wiku haji.16
Kemudian, ada arti tersendiri mengapa ada penyebutan “gurudeça” dalam Tantu
Panggelaran. Ini menunjukkan karakter mandala dan guru-gurunya yang independen
dari kekuasaan kraton. Ada sejumlah teks-teks kakawin dari masa sebelum Wali Songo
yang berceritera tentang para wiku dan kawi (ulama pujangga) istana yang
meninggalkan dunia kraton, melakoni hidup sebagai pandita desa di pedalaman.
Diceritakan misalnya dalam Sumanasantaka, ada seorang wiku yang tinggal di kraton
(sehingga disebut wiku haji) yang dijumpai sang raja dalam perjalanannya di pedesaan
pinggir hutan. Karena alasan tertentu (politis misalnya), sang wiku kemudian
menyingkir ke pedesaan, lalu mendirikan mandala. 17 Kepentingannya jelas, seperti
ditandaskan dalam teks Sumanasantaka, “singgih kottaman ing wanasrama sabha sang
ataki-taki nisparigraha” (sungguh hebat sebuah pertapaan seperti ini yang menjadi
tempat orang-orang yang ingin hidup bebas dari keterikatan [kekuasaan kraton, yakni
menjadi mandiri dan berdaulat]).18

Ada pula Mpu Prapanca, penulis Negarakartagama yang terkenal dari era Majapahit itu,
yang kecewa dengan kehidupan kraton, hingga akhirnya mundur ke pedalaman
mendirikan mandala.19 Praktik berjarak dari kekuasaan politik ini disebut awukiran,
yakni mengundurkan diri di pegunungan guna melakukan ulah kebatinan, bertapa,
mengumpulkan tenaga atau mendirikan perguruan.20

Kedua, mandala bukan hanya merupakan tempat bertapa. Tapi juga merupakan tempat
produksi pengetahuan dan keterampilan teknik. Ini menunjukkan kemandirian dalam
produksi pengetahuan dan praktik agama, keterampilan, ekonomi, bahkan ilmu politik.
Katyagan, pangajaran, pangubwanan, pa[ma]nguywan, pangabtan, gurudeça;
hangundagi, angaremban adalah deretan fungsi mandala dalam menyebar ilmu
pengetahuan dan berbagai pengetahuan teknik. Sebutan-sebutan ini sebetulnya hampir
sama dan identik. Katyagan juga semakna dengan mandala, wanasrama, patapan,
pajaran, pangalusan, atau parahyangan.21

14 Nurhajarini, dkk., Kajian Mitos dan Nilai Budaya dalam Tantu Panggelaran, hal. 55.
15 Tentang penyebaran praktik-praktik babad alas di masa itu yang mengkondisikan kemunculan
mandala dan hakikat berpolitik di luar kraton, lihat Lombard, Nusa Jawa, jilid 3, hal. 28-35. Tentang
penyebaran mandala-mandala di Jawa abad 14, lihat Th. G. Th. Pigeaud, Java in the 14th Century: A Study
in Cultural History (The Negara-Kertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 A.D.) (The Hague:
Martinus Nijhoff, 1960-1963), vol. 4, hal. 484-dst.
16 Lihat Zoetmulder, Kalangwan, hal. 187, 273.
17 Lihat Worsley, dkk., (editor), Kakawin Sumanasantaka, hal. 150-1.
18 Ibid., hal. 180.
19 Zoetmulder, Kalangwan, hal. 187.
20 Ibid., hal. 201.
21 Ibid., hal. 256-9.
Dalam teks Tantu Panggelaran ada tradisi ngaji kitab di mandala: “mangaji tigarahasya,
mangaji tigalana, mangaji tigatepet” (mengaji ilmu-ilmu tiga rahasia, mengaji tiga jalan
pengembaraan, dan mengaji tiga jalan kebenaran dan keutamaan). 22 Adanya kitab
(pustaka) di tanah sima (kemudian menjadi tanah perdikan di era Wali Songo)
mengkondisikan munculnya mandala (agawe ta sira pustaka ... weksan tang sima
tinaruka mandala).23

Sementara dalam teks Sumanasantaka disebut seorang pandita yang “wruh angaji”
(menguasai baca kitab suci), “wiku rajya kawi wruh angaji” (seorang pendeta raja, yang
juga seorang pujangga yang menguasai dan bisa membaca kitab-kitab suci), “syapeka ta
kunang pangajyan ika manghuwusaken ika yan bisangaji” (Siapa gerangan guru yang
mengajarin mereka sehingga bisa membaca kitab?). 24 Sedangkan dalam kakawin
Arjunawijaya karya Mpu Tantular dari abad 14, disebut kata “guru pangajyan”.25 Bahasa
“ngaji kitab” yang berlaku di pesantren, kemungkinan diambil dari sini.

Selain untuk kepentingan tradisi kesufian (tapa), mandala juga ditujukan untuk
pengembangan ilmu-ilmu pengetahuan dan teknologi. Seperti ilmu pangadyan (ilmu
politik), ilmu kabhayan panglayar (ilmu pelayaran dan maritim), ilmu mahawanetha
(ilmu transportasi darat), ilmu bahudenda (ilmu hukum dan peradilan), dan juga ilmu
pandai emas.26

Dalam teks Sumanasantaka disebut ada pertapa yang nelayan, berdagang dan juga
pertapa yang mencangkul sawah dengan penuh semangat (mpu tapa ramya mamuluku
katungku-tungkulan).27 Ini menunjukkan bahwa mandala juga mengajarkan ilmu
maritim dan pertanian, dari teori hingga praktiknya. Di mandala pula ada kaderisasi
“penyair pesisir” (kawi pasisi), yakni calon-calon pujangga-ulama yang paham betul
dunia pesisir, dunia nelayan, dan juga sekaligus dunia perdagangan. 28 Dari dari sanalah
kemudian muncul hakikat kemandirian dan kedaulatan mandala: “singgih kottaman ing
wanasrama sabha sang ataki-taki nisparigraha” (sungguh hebat sebuah pertapaan
seperti ini yang menjadi tempat orang-orang yang ingin hidup bebas dari keterikatan
[kekuasaan kraton, yakni menjadi mandiri dan berdaulat]). 29 Perhatikan, kata-kata ini

22 Nurhajarini, dkk., Kajian Mitos dan Nilai Budaya dalam Tantu Panggelaran, hal. 59. Dalam buku ini,
ketiga jenis ilmu ini tidak diterjemahkan. Zoetmulder dalam Kamus Jawa Kuna-Indonesia hanya menyebut
ketiga ilmu itu sebagai “nama-nama aji”. Dalam kamus tersebut juga disebut bahwa aji adalah kitab suci
atau teks-teks yang berisi aturan-aturan untuk seorang brahmana, atau instruksi-instruksi tentang
administrasi, politik, praktik kekuasaan, atau untuk penciptaan puisi. Aji juga berarti formula yang sangat
suci atau kuat secara magis. Lihat Zoetmulder & Robson, Kamus Jawa Kuna–Indonesia, bagian 2, hal. 1250-
1, bagian 1 hal. 17.
23 Ibid., hal. 57, 123. Di sini ada kekeliruan. Tanah sima diterjemahkan sebagai tanah pekuburan!
Pembahasan tentang tanah sima, lihat di bawah.
24 Worsley, dkk., (editor), Kakawin Sumanasantaka, hal. 150, 206, 366. Lihat juga Zoetmulder, Kalangwan,
hal. 184.
25 Lihat Peter J. Worsley, “Mpu Tantular’s Kakawin Arjunawijaya and Conceptions of Kingship in
Fourteenth Century Java”, dalam J.J. Ras & S.O. Robson (editor), Variation, Transformation and Meaning:
Studies on Indonesian Literatures in Honour of A. Teeuw (Leiden: KITLV Press, 1991), hal. 184.
26 Nurhajarini, dkk., Kajian Mitos dan Nilai Budaya dalam Tantu Panggelaran, hal. 53, 59.
27 Worsley, dkk., (editor), Kakawin Sumanasantaka, hal. 180-1.
28 Ibid., hal. 178-180. Disebut pula dalam teks: “Puhawang wahu-wahw amrti-mrti katonku siwingku sanu;
turidangku kadanda n alawas aharep wwaten ing banawa (Kudambakan seorang nakoda untuk menjadi
suamiku, ia yang baru mulai berniaga di mancanegara, sekian lama aku mendambakan dibawa naik
kapal). Ibid., hal. 206-7.

29 Ibid., hal. 180.


muncul dalam konteks mandala yang menguasai tanah dan sumber-sumber ekonomi,
aktor utama kaderisasi para santri yang menguasai sekian ilmu dan teknik. Mereka
bukan hanya belajar teori, tapi bekerja atas tanah, berdagang, dan mengamalkan ilmu-
ilmu itu, seperti ditunjukkan di bawah.

Ketiga, selain karena babad alas, ada pula yang disebut tanah sima tempat mandala
berdiri. Tanah sima ini dihibahkan oleh sang raja kepada kalangan agamawan untuk
tujuan-tujuan keagamaan. Karena dihibahkan maka tanah itu bebas pajak, bebas pula
dari kewajiban lainnya yang dibebankan kepada tanah-tanah lainnya. Seperti akan
diterangkan di bawah, tanah sima ini kemudian diubah oleh Wali Songo menjadi tanah
perdikan. Dalam Tantu Panggelaran, ada cerita penyerahan tanah sima kepada seorang
resi atau pandita untuk dijadikan mandala (pinakasusuk sima sang resi). Itu disertai
penetapan mandat dan misi ideologisnya: winkas ta sira sang resi taruna tapa yowana
sambegaha ring rat kabeh (dipesanlah kepada sang resi yang taruna [kader muda], tapa-
yowana [santri muda], untuk menyayangi seluruh alam semesta). 30 Tentang ideologi
pendirian mandala ini akan dibahas di bawah.

Pemberian tanah sima ini merupakan bukti otonomi hukum yang dinikmati para
pemegang sima. Dan berdampak dalam tata kelola pemerintahan dan juga dalam
keputusan-keputusan peradilan yang mengurus perkara hak penguasaan tanah. Tanah-
tanah sima ini tidak bisa diganggu oleh pejabat-pejabat pemungut pajak; tidak pula bisa
dipindahtangankan kepada orang lain. Hasil-hasil apapun yang mereka peroleh dalam
pertanian, kerajinan atau perdagangan, tidak bisa dipungut pajak oleh pemerintah. 31
Segenap tuntutan hukum yang ingin merampas hak sima atau ingin mencabut status
tanah tersebut, jelas akan gugur dengan sendirinya di depan hukum.
Begitu kuatnya posisi sima ini, sehingga mandala-mandala yang berdiri di atasnya betul-
betul mandiri dalam mengelola urusan rumah tangganya. Walaupun sima waktu itu
awalnya adalah ciptaan raja, namun para pemegang sima telah memanfaatkan hak-hak
istimewa mereka sedemikian rupa sehingga mereka tidak lagi wajib mendukung raja.
Ketika kekuasaan raja runtuh, sima tetap bertahan, bahkan menjadi makmur!
Bagaimana implikasinya kemudian dalam kemunculan pesantren di era Wali Songo,
akan diungkap di bawah.

Keempat, teks Tantu Panggelaran memberi pengakuan atas independensi mandala-


mandala – dengan meminjam otoritas dewa-dewa. Bahkan dewa-dewa pun tunduk pada
kekuasaan mandala. Dewa-dewa digambarkan sebagai pandita pengembara lalu
menetap di suatu tempat mendirikan mandala. Dari sini kita lihat asal-usul munculnya
sebutan santri kelana. Diceritakan pula bahwa para dewa mendambakan diri mereka
menjadi pertapa, sebagai pendeta. Ada cerita seorang pandita yang sangat sakti, yang
bikin heboh para dewata. Ketika seorang pandita membalikkan air kotoran pembuangan
Sang Hyang Teken Wuwung, kembali ke halaman rumahnya di angkasa, Sang Hyang
Teken Wuwung menjadi heran akan kesaktian sang pandita. Sehingga sang dewa ingin
berguru kepada sang pandita tersebut. Yakni, menjadi wiku, pertapa, atau nyantri dan
berguru.32

30 Nurhajarini, dkk., Kajian Mitos dan Nilai Budaya dalam Tantu Panggelaran, hal. 44, 109.
31 Riboet Darmosoetopo, Sima dan Bangunan Keagamaan di Jawa Abad IX-X TU (Yogyakarta: Prana Pena,
2003), hal. 61.
32 Nurhajarini, dkk., Kajian Mitos dan Nilai Budaya dalam Tantu Panggelaran, hal. 33-4, 97-8.
Kewajiban memelihara mandala juga ditekankan untuk menjaga independensi mereka –
agar tidak diganggu oleh pihak-pihak manapun. Ada pesan Batara Guru kepada para
dewa-dewa agar menindak tegas orang-orang yang akan menghancurkan mandala-
mandala. “Jika menghancurkan penetapan tempat para pertapa, pastilah akan jatuh ke
dalam neraka, tidak sampai ke surga. Perhatikanlah semua pesanku,” tandas Batara
Guru.33 Ini jelas-jelas pengakuan kedaulatan mandala yang disakralkan melalui sabda
dewa-dewa – sehingga raja manapun harus mematuhinya.

Kelima, Tantu Panggelaran memperjelas posisi mandala sebagai basis produksi


ekonomi. Artinya, pelajaran dalam mandala tentang berbagai macam ilmu dan
keterampilan di atas itu tentu tidak akan berguna kalau tidak langsung diamalkan dan
diterapkan. Karena posisi mandala berada dekat dengan sumber-sumber air, tanah
subur dan hasil alam lainnya, maka ilmu-ilmu pengelolaan alam, ekonomi, pertanian
dan perdagangan pun langsung diterapkan. Seperti gambaran tentang seorang pandita
yang menggarap sendiri sawahnya dalam teks Sumanasantaka.

Tantu Panggelaran menceritakan bagaimana para pandita membuat danau (ranu) untuk
bersuci di tempat pertapaan, untuk mengalirkan air. Tetesan airnya mengalir, menjadi
telaga, dan juga sebagai tempat pemandian dan bersuci. Ketika air itu melimpah dan
mengakibatkan banjir, muncul upaya untuk membendung air tersebut. Sehingga
muncullah ilmu baru, ilmu tata kelola air atau irigasi dan pengairan. 34 Sementara dalam
Sumanasantaka, sebuah mandala berdiri di sebuah desa pedalaman yang ramai dengan
kegiatan perdagangan. “Norapek pada lobha labha kaharepnya” (mereka semua
bersemangat; hasrat meraup keuntungan memenuhi pikiran mereka), demikian
gambaran tentang etos kerja para pedagang ini. 35 Jadi, pertanian, pengairan dan
perdagangan adalah bentuk kongkret pelaksanaan misi ideologis kehadiran mandala di
pedalaman. Ketiganya membentuk hakikat ilmu ekonomi Nusantara, yang akan
dikembangkan kemudian oleh orang-orang pesantren.

Keenam, teks Tantu Panggelaran memperjelas ideologi mandala berdasar


penguasaannya atas sumber-sumber produksi ekonomi di atas. Yaitu “mangke pwaku
hamahayu rat kabeh” (mengatur kebaikan buat seluruh manusia); “sambegaha ring rat
kabeh” (untuk menyayangi seluruh alam semesta); “pinakaçarananira ngraksa
bhuwana” (alat untuk menjaga buana); “maphala swastahaning rat kabeh” (membawa
ketenteraman di seluruh dunia), “hamahayu rat kabeh” (mengatur kebaikan seluruh
alam).36

Teks Tantu Panggelaran di atas jelas menggambarkan satu kehidupan komunitas di luar
dari pusat kraton. Hidup dengan tradisinya, komunitas-komunitas ini digambarkan
sebagai wilayah yang merdeka dari segala kekuasaan pusat. Komunitas-komunitas
independen itu bernama mandala, asrama atau sima. Walaupun sima waktu itu awalnya
adalah ciptaan raja, namun mereka telah memanfaatkan hak-hak istimewa mereka
sedemikian rupa sehingga mereka tidak lagi wajib mendukung raja. Seperti disinggung
di atas, ketika kekuasaan raja runtuh, sima tetap bertahan, bahkan menjadi makmur.
33 Ibid., hal. 42, 107.
34 Ibid., hal. 110, 111. Disebut di sana: “tinambaknira kroda bhatari, mangembong manalaga, mangdadi
ranu ring gunung Kampud (dibendunglah air bah kemarahan Batari, sehingga menggenang dan menjadi
telaga, lalu sebuah danau terbentuk di Gunung Kampud).
35 Worsley, dkk., (editor), Kakawin Sumanasantaka, hal. 156.
36 Nurhajarini, dkk., Kajian Mitos dan Nilai Budaya dalam Tantu Panggelaran, hal. 44, 45, 46, 47, 109.
Mengapa demikian? Karena sima mewakili perkembangan “collective destinies” sejarah
Jawa. Ini kemudian ditumpangi oleh Wali Songo ketika mendirikan pesantren.

Dari Independensi Mandala-Sima ke Independensi Pesantren: Karakter Manusia


Pesantren

Ketika Wali Songo muncul, target mereka bukan membangun Demak atau melapangkan
jalan berdirinya Pajang pengganti Demak. Banten dan Cirebon dibangun Sunan Gunung
Jati bukan sebagai target utama. Yang pertama-tama adalah merebut atau menumpangi
“collective destinies” ini, yakni memanfaatkan dan menumpangi “perubahan yang sangat
mendalam” itu.

Fenomena kalangan agamawan menyingkir dari dunia kraton adalah fenomena baru di
era kerajaan-kerajaan Hindu Budha di Jawa Timur. Yang umum terjadi adalah hubungan
harmonis antara raja-raja dan pemuka agama. Raja Airlangga dari abad 11 misalnya
naik ke tampuk kekuasaan berkat dukungan kaum brahmana. Perkembangan baru ini
baru mendapatkan pijakan yang kuat sejak masa Singasari. Dalam kitab Pararaton,
disebut “[Ken Angrok, pendiri Kerajaan Singasari] angungsi sira ring mandaleng
Bulalak” (Ken Arok menyepi dan berguru di sebuah mandala di Bulalak).37

Kehadiran seorang guru-pandita bagi Ken Arok di luar kraton menunjukkan bahwa
peran agamawan di luar kraton mulai diperhitungkan. Guru-pandita ini bernama Mpu
Tapa Wangkeng dan meramalkan Arok akan jadi raja suatu hari nanti. 38 Teks
Sumanasantaka dari abad 13 juga menyebut seorang pengasuh mandala dengan sebutan
“mpu tapa”.39 Dalam konteks ini mandala sudah masuk ke dalam ranah politik,
kaderisasi calon raja dari pedesaan.40 Inilah saat dimana kaum agama menjauh dari
kraton, tapi menentukan permainan politik dalam kraton. Jadi ini sebuah fenomena
yang mendalam dan struktural – bukan lagi sesuatu yang lewat begitu saja.

Di era Majapahit fenomena serupa juga bermunculan. Para agamawan menduduki posisi
independen. Seperti terbukti dari teks-teks kakawin seperti Negara Kertagama dan
Tantu Panggelaran. Negarakertagama (pupuh 33.1) misalnya menyebut pengembaraan
Raja Hayam Wuruk ke pedalaman, mengunjungi mandala-mandala di Pegunungan

37 Lihat J. Brandes, Pararaton (Ken Arok) of Het Boek der Koningen van Tumapel en van Majapahit,
uitgeven en toegelicht (VBG vol. XLIX) (Batavia: Albrecht & Co., 1897), hal. 1, 35. Juga dikutip dalam J.J. Ras,
“Hikayat Banjar and Pararaton: A Structural Comparison of Two Chronicles”, dalam C.M.S. Hellwig & S.O.
Robson (editor), A Man of Indonesian Letters: Essays in Honour of Professor A. Teeuw (VKI no. 21)
(Dordrecht: Foris, 1986), hal. 199. Di sini saya berbeda dengan Brandes dan Ras. Yang pertama
menerjemahkan mandaleng dengan “gebied”, wilayah atau daerah kekuasaan; sedang yang kedua
menerjemahkannya dengan “community”. Sementara dalam Kamus Jawa Kuna–Indonesia yang disusun
Zoetmulder bersama Robson, ditemukan kata mandaleng yang dikembalikan kepada arti mandala sebagai
komunitas agamawan. Lihat Zoetmulder & Robson, Kamus Jawa Kuna–Indonesia, bagian 1, hal. 642.
Saya justru lebih membuatnya eksplisit: mandaleng berasal dari mandala; jadi mandaleng berarti berguru
di mandala. Ini seperti yang kita temukan dalam kata masantren, dan itu berarti berguru di sebuah
pesantren.
38 Lihat Brandes, Pararaton (Ken Arok), hal. 5-8. Dalam teks ini kerap dijumpai kata amandala dan buyut
atau kabuyutan yang semakna dengan berguru di mandala atau perguruan. Nama Mpu Tapa Wangkeng
dan kata buyut juga disebut dalam teks Tantu Panggelaran dalam arti guru atau berguru di mandala ini.
Lihat Nurhajarini, dkk., Kajian Mitos dan Nilai Budaya dalam Tantu Panggelaran, hal. ..... 55. Cuma saya
tidak bisa memastikan, apakah ini identitas untuk orang yang sama atau orang yang berbeda.
39 Worsley, dkk., (editor), Kakawin Sumanasantaka, hal. 180-1.
40 Tema kaderisasi calon raja dari pedesaan ini juga dilakoni oleh Wali Songo dan murid-muridnya. Lihat
buku saya, Pesantren Studies 4A.
Hyang. Di mandala Sagara misalnya, para iringan raja singgah untuk beberapa lama dan
membayar dengan artha (uang cash) makanan yang disantapnya.41 Sebuah mandala lagi
berdiri di atas tanah sima di kaki Gunung Penanggungan, di tepi Kali Porong. Pemegang
tanah sima ini berkuasa penuh atas tanah yang dikuasainya, memungut pajak kerajaan
(drwya haji) serta memperluas wilayah pertanian. 42 Ini bukti kekuasaan independen
mandala-mandala dalam politik sekaligus ekonomi!43

Apalagi, seperti dicatat Lombard, di masa itu ada kecenderungan untuk memperbanyak
jumlah sima. Selain sebagai manipulasi simbol untuk merangkul kalangan agama masuk
kembali ke kraton, juga untuk kepentingan legitimasi kekuasaan dan pendapatan
kerajaan.44 Bahkan dalam kraton didirikan satu unit kerja kearsipan khusus yang
ditujukan untuk mendaftarkan tanah milik otonom atau sima swatantra. Ada sebanyak
27 tanah sima, dan itu belum termasuk tanah darma lepas atau tanah milik bebas.
Tanah-tanah tersebut kemudian diberi semacam akta tanah, untuk memberi kepastian
secara hukum yang mengikat sang raja, agar “segala-galanya beres, tanpa mungkin
timbul gugatan, dan bahwa bukti itu dapat diturunkan untuk masa yang akan datang
(tumuse satusnira helem).45

Coba perhatikan, pada satu sisi, kecenderungan sang raja adalah memperbanyak jumlah
sima. Konsekuensinya, surplus hasil ekonomi makin menumpuk di tangan kalangan
agamawan. Seiring dengan perluasan jaringan sima yang kaya dengan sumber-sumber
ekonomi. Sementara pada sisi lain, para raja melihat sudut pandang pendapatan
ekonomi. Yakni, mereka berkepentingan untuk mengembangkan budi-daya padi pada
konteks wanua (jaringan desa-desa). Di sini para petani penggarap didorong untuk
membuka hutan atau babad alas untuk memperluas area persawahan. 46 Dalam analisis
Christie, perluasan area sawah itu terjadi sejak awal milenum kedua. Dan jelas
menguntungkan kalangan agamawan di mandala-mandala, karena terjadi perluasan dan
penyebaran tanah-tanah sima. Soalnya, yang membuka hutan dan membentuk sawah itu
adalah para agamawan. Atau pembukaan sawah itu menghidupkan semakin banyak lagi
tanah-tanah sima.47 Dari kedua perkembangan ini, perkembangan jaringan tanah-tanah
sima dan perluasan tanah sawah jelas membutuhkan sistem pengairan dan
pengembangan irigasi yang baik.48 Dan, seperti disebut di atas, para agamawan pun
sudah siap dengan bekal pengetahuan dan teknik mereka dalam mengelola air.

41 Lihat Pigeaud, Java in the Fourteenth Century, vol. 1, hal. 35.


42 Lihat Lombard, Nusa Jawa, jilid 3, hal. 28; dan, B. Schrieke, “Iets over het Perdikan-instituut”. TBG, vol.
58, tahun 1919, hal. 395.
43 Tentang status tanah-tanah sima ini, antara yang independen dan merdeka dan yang masih terikat
dengan raja-raja, lihat di bawah, di bagian yang membicarakan perubahan mendalam keempat yang
ditumpangi oleh Wali Songo.
44 Lihat Richadiana Kartakusuma, “Tinjauan Kembali Isi Prasasti Poh (827 S/907 M): Sedikit Catatan
tentang Alasan Pemilihan Suatu Desa Perdikan”, dalam Proceedings Analisis Hasil Penelitian Arkeologi,
Trowulan, 18-23 Nopember 1991 (Analisis Sumber Tertulis Masa Klasik) (Jakarta: Proyek Penelitian
Purbakala Jakarta Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994-1995), hal. 82-90.
45 Pigeaud, Java in the Fourteenth Century, vol. 3, hal. 86-7; Lombard, Nusa Jawa, jilid 3, hal. 16, 182.
46 Lombard, Nusa Jawa, jilid 3, hal. 17.
47 Lihat Jan Wisseman Christie, “States without Cities: Demographic Trends in Early Java”. Indonesia, No.
52, Oktober 1991, hal. 30-1; “Negara, Mandala, and Despotic State”, hal. 77-9; dan, “Water and Rice in
Early Java and Bali”, dalam Peter Boomgaard (editor), A World of Water: Rain, Rivers and Seas in Southeast
Asian Histories (Leiden: KITLV Press, 2007), hal. 241-2.

48 Christie, “Negara, Mandala, and Despotic State”, hal. 78-9.


Proyek-proyek irigasi besar dari abad 11 hingga 15 terbanyak dilakukan di daerah Jawa
Timur. Tepatnya di daerah lembah Sungai Brantas. Setidak-tidaknya ada lima sistem
irigasi yang ditemukan di sana:49

Pertama, Prasasti Kandangan dari tahun 1350 menyebut pengembangan irigasi di hulu
Kali Konto dari lereng Gunung Kawi. Kali ini mengalir ke barat sampai bermuara di Kali
Brantas di utara Kertosono. Irigasi tersebut yang sudah dibangun sejak abad 10
mengairi wilayah persawahan di wilayah Kediri. Pengembangan ini dilakukan oleh
seorang rangga Sapu dan menyatakan bahwa bendungan itu dapat dipakai oleh semua
penduduk yang tinggal di sebelah timur Daha, yaitu di Kediri.

Kedua, Prasasti Kalagyan atau Kamalagyan (utara Kali Porong) tahun 1037 M menyebut
pembangunan sebuah bendungan untuk membendung aliran air sungai Kali Mas cabang
Kali Brantas agar tidak membanjiri daerah persawahan di timur, namun dialihkan ke
utara. Limpahan air di utara itu kemudian menjadi tanah persawahan, yang menyuburi
daerah sekitar Surabaya (sehingga menjadi salah satu daerah penghasil beras di abad
17).50 Adanya proyek irigasi di wilayah hilir Kali Brantas ini memungkinkan penanaman
padi dua kali dalam setahun. Terutama sejak abad awal 15. 51

Ketiga, pembangunan irigasi di daerah Terik, agak tenggara dari kota Majapahit, yang
merupakan kawasan hutan yang kemudian diubah menjadi areal persawahan di wilayah
kerajaan Majapahit di abad 14. Tidak mengherankan bila ada yang menyatakan bahwa
puncak perkembangan organisasi pengairan pada masa Jawa kuno terjadi setelah
kerajaan Majapahit berdiri pada abad 13. Dan para petani Majapahit kala itu mampu
mengumpulkan cukup banyak uang pirak dari panenan sawahnya, jika mereka bertani
dengan baik dan rajin.52

Keempat, Piagam Trailokyapuri dari tahun 1486 di masa pemerintahan wangsa


Girindrawardhana, wangsa terakhir dari Majapahit. Di sana disebut tentang
pembangunan irigasi di selatan Kali Porong di kaki Gunung Penanggungan, untuk
mengairi wilayah persawahan daerah sima Trailokyapuri.

Yang menarik perhatian kita adalah keempat pembangunan irigasi di atas ternyata
berpusat di Jawa Timur, dengan dengan pusat kekuasaan Majapahit hingga ke pesisir
timur (wilayah Sidoarjo hingga Surabaya kini) dan bekas kerajaan Daha (daerah Kediri
dan sekitarnya). Yang terakhir menjadi daerah subur karena adanya irigasi di hulu Kali
Konto dari lereng Gunung Kawi, mengalir ke barat sampai bermuara di Kali Brantas di
utara Kertosono, serta mengairi wilayah persawahan di Kediri. Di tahun 1959, arkeolog
Sutjipto Wirjosuparto pernah menulis makalah berjudul “Apa sebabnya Kediri dan
daerah sekitarnya tampil ke muka dalam sejarah?”. Dan itu menunjukkan posisi strategis
Kediri sebagai wilayah surplus ekonomi. Ketika Majapahit yang berbasis di Trowulan

49 Lombard, Nusa Jawa, jilid 3, hal. 19-20, 183.


50 Boechari, Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti (Jakarta: KPG, EFEO, Departemen Arkeologi-
FIB-UI, & Institut Français Indonesia, 2012), hal. 294.
51 Jan Wisseman Christie, “Water and Rice in Early Java and Bali”, hal. 243. Laporan utusan Cina yang
datang ke daerah Kali Brantas hingga ke ibukota Majapahit di tahun 1416, menyebut panen padi dua kali
dalam setahun. Lihat W.P. Groeneveldt, “Notes on the Malay Archipelago and Malacca, compiled from
Chinese resources” (VBG, vol. 39) (Batavia: Albrecht & Co., 1880), hal. 48.

52 Daud Aris Tanudirjo, “Pertanian Majapahit sebagai Puncak Evolusi Budaya”, dalam Sartono Kartodirdjo,
dkk., (editor), 700 Tahun Majapahit (1293-1993), hal. 133-4.
mengalami dekadensi akibat perang saudara, ibukota pun kemudian pindah ke Daha,
Kediri, sejak akhir abad 15.53

Strategi-strategi Wali Songo Menanamkan Pesantren dalam Konteks Perubahan


Besar di era Majapahit

Keempat perkembangan di atas betul-betul strategis untuk misi peradaban Wali Songo.
Perkembangan tanah sima (disebut tanah “perdikan” di era Wali Songo), pergerakan
kaum agamawan di pedalaman, babad alas dan pengembangan irigasi itu ditumpangi
oleh Wali Songo untuk melakukan strategi-strategi “menumpangi” perubahan besar itu.
Dalam setiap strategi itu pesantren dihadirkan sebagai semacam “paku bumi” yang
mengakarkan misi keislaman di bumi Nusantara, hingga menjadi satu kesatuan genius
peradaban baru yang disebut Sunan Giri “Din Arab Jawi” atau Islam Nusantara.54

Strategi Pertama, para Wali menyasar kalangan ajar, pandita atau wiku di jaringan
tanah-tanah sima (termasuk mandala-mandala di tanah-tanah subur) untuk diislamkan.
Meski tidak sedikit terjadi bentrokan. Daerah yang sudah dibuka itu kemudian menjadi
pesantren.
Teks Sajarah Banten misalnya menggambarkan proses pengislaman tanah-tanah
mandala di wilayah Banten. Teks dari abad 17 hingga awal abad 18 ini menceriterakan
kedatangan Maulana Hasanuddin (Sultan Banten pertama, wafat pada 1570), putra
Sunan Gunung Jati, datang ke Gunung Pulosari. Di sana terdapat 800 ajar yang
semuanya diislamkan. Tinggal gurunya, Pucuk Unum atau Pucuk Umun, yang
menghilang. Tempat ini dulunya dimiliki oleh Brahmana Kandali. Mandala Gunung
Pulosari kemudian berubah menjadi pesantren, ketika Sunan Gunung Jati sendiri yang
pertama mengajarkan putranya itu ilmu-ilmu keislaman. Mulai ilmu keimanan (tauhid),
fiqih, ilmu usul, ilmu sharaf dan nahwu, serta ilmu tafsir dan hadis. 55

Setelah itu, Maulana Hasanuddin pada gilirannya mengkader ke-800 ajar ini. 56 Ia
dibantu oleh pengawalnya yang kemudian menjadi “lurah pondok”, seorang jin Muslim
bernama Santri. Jin ini awalnya memberontak, tapi kemudian bisa ditaklukkan oleh

53 Tome Pires melaporkan di tahun 1513 bahwa ibukota sebuah Kerajaan Hindu-Budha di Jawa (tidak
disebut nama Majapahit) ada di Daha (Kediri). Dalam penilaian Noorduyn, ibukota Majapahit pindah ke
Kediri di antara tahun 1486 dan 1513. Lihat J. Noorduyn, “Concerning the Reliability of Tomeé Pires data
on Java”. BKI, vol. 132, no: 4, tahun 1976, hal. 469; dan “Majapahit in the Fifteenth Century”. BKI, vol. 134,
no. 2/3, tahun 1978, hal. 207-274.

54 Lihat penjelasannya dalam bukusa ya, Islam Nusantara, jilid 1; dan, The Intellectual Origins of Islam
Nusantara.
55 [Pangkur] “Labete punika kuna; patapane sang Barmana Kandali; wikana pan anakisun; sampun sami
pinajar; mider-mider nulya alungguh wangun; mangka winuruk kang putra; bab iman ing Islam aglis.
Lan ilmu pekih ika; lan winuruk ilmu usul tumuli; winuruk malih kang ilmu; sarap punika; ilmu nahu lan
mantep [mantiq] puniku; lan ilmu tapsir punika, lan malih kang ilmu hadis”.
(Tempat pertapaan dan mandala ini di masa lalu dimiliki oleh pendeta Brahmana Kandali. Bersama yang
lainnya, putra sang sunan pun yang pernah mengembara nyatri di berbagai tempat, kemudian ngaji di
hadapan Sunan Gunung Jati, lalu mengajikannya kepada para penghuni mandala ini. Dengan penuh
semangat dan tidak surut, mereka semua ngaji bab tauhid, keimanan dan dasar-dasar keislaman, ilmu
fiqih, ilmu ushul, ilmu sharaf dan nahwu [semantik dan gramatika bahasa Arab], juga ilmu manthiq [logika
Aristotelian], ilmu tafsir, dan ilmu hadis.)
Titik Pudjiastuti, “Sajarah Banten: Edisi Kritik Teks” (Tesis MA tidak diterbitkan) (Jakarta: Fakultas Pasca
Sarjana Universitas Indonesia, 1991), hal. 193.
56 Ibid., hal. 193-4.
Maulana Hasanuddin. Ini mirip plot dalam Tantu Panggelaran tentang pendirian sebuah
mandala yang dimulai dari sebuah pertikaian antara raksasa penghuni tempat bakal
mandala dan sang resi. Raksasa itu bisa dikalahkan, lalu menjadi “santri”-nya sang resi.
Disebutkan pula bahwa Maulana Hasanuddin melakukan hal serupa di Gunung Karang
(yang kemudian menjadi Pesantren Karang) dan di Gunung Ler (Gunung Lancar atau
Gunung Aseupan kini).57 Setelah Maulana Hasanuddin jadi raja pertama di Banten,
pesantren ini tetap dipertahankan. Alasannya, kalau mandala atau pesantren di Banten
ini kosong (suwung), maka itu itu pertanda bahwa negeri Jawa ini akan rusak dan binasa
(aja oleh suwung ing Pulosari punik[a] tandhane yen arep rusak nagara Jawa puniki).58

Di berbagai tempat pertapaan atau mandala ini, para ajar dikader untuk melanjutkan
tradisi keagamaan dan pengetahuan Wali Songo (lampahing wali). Mereka membantu
mengislamkan penduduk sekitar, mengajarkan syariat agama (pranataning syarengat),
mencetak kader-kader penulisan-ulang teks-teks Hindu-Budha, hingga menguasai
sumber-sumber ekonomi. Dan dari sana mereka kemudian diajarkan untuk menjadi
aktor kaderisasi ilmu ekonomi Nusantara.59

Contoh lain adalah apa yang diceritakan oleh Babad Pacitan.60 Kegiatan babad dan
pembukaan pesantren oleh Batara Katong, murid Sunan Kalijaga, di daerah subur
Pacitan (Ponorogo) mendapat tantangan dari pengikut agama Majapahit ini. Kiai
Buwana Keling, pandita-pemimpin komunitas buda di daerah itu, tidak mau tunduk.
Dakwah secara halus pun tidak diterima. Akhirnya Batara Katong bersama Kiai Siti
Geseng, Kiai Posong dan Syekh Maulana Maghribi menerima tantangan duel dari Kiai
Buwana Keling. Pandita buda ini terbunuh. Kepala dan badannya dikubur terpisah, agar
tidak bangkit kembali. Para pengikutnya kemudian menyatakan perang, namun
akhirnya bisa dikalahkan. Daerah subur Pacitan dengan sumber air dan hutan yang
melimpah, akhirnya menjadi daerah santri.61
Demikian pula yang kita lihat dalam konfrontasi antara Syekh Amongraga (putra Sunan
Giri Prapen) dan seorang ajar Hindu-Budha di atas Gunung Sawal, tidak jauh dari
Gunung Ceremai (wilayah Cirebon-Kuningan kini), seperti disebut dalam Serat
Centhini.62 Ceritanya, Resi Narawita sudah sejak awal menunjukkan gelagat menantang.
Syekh Amongraga bukannya disambut dengan ramah, tapi langsung dihujani bebatuan
dari atas gunung. Maka perdebatan pun dimulai. Sang resi diajak masuk Islam. Namun
dengan arogan, sang resi menolak, sambil menantang untuk beradu ilmu dan kesaktian
dengannya. Maka terjadilah pertarungan hingga dua hari dua malam. Akhir cerita, sang
resi kalah, lalu masuk Islam dengan syahadat, meski masih tetap arogan, lalu
menghilang. Perjalanan Syekh Amongrogo di bagian awal teks Serat Centhini memang

57 Ibid., hal. 90-1. Tentang Pesantren Karang ini, lihat pembahasannya dalam PESANTREN STUDIES 2A,
Bab 4.
58 Pudjiastuti, “Sajarah Banten”, hal. 196.
59 Tentang posisi strategis ketiga mandala ini di Banten Girang (di antaranya sebagai pusat penanaman
lada di abad 16) sehingga menjadi target Islamisasi Sunan Gunung Jati dan Maulana Hasanuddin, lihat
dalam terutama Claude Guillot, dkk., Banten sebelum Zaman Islam: kajian Arkeologi di Banten Girang,
932?-1526 (Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, EFEO, Bentang, 1996), bagian kedua.
60 Teks ini bersama teks-teks lainnya dari Ponorogo dibahas oleh Onghokham dalam “The Residency of
Madiun: Pryayi dan Peasant in the Nineteenth Century” (Disertasi PhD. tidak diterbitkan) (New Haven:
Yale University, 1975), bab pertama.
61 Onghokham, “The Residency of Madiun”, hal. 30-1.
62 Lihat Serat Centhini Latin, Jilid 1, hal. 139-41.
ditujukan untuk mengislamkan tanah-tanah mandala dan merangkul komunitas-
komunitas buda seperti Tengger.63

Dalam konteks ini mandala ditransformasikan oleh Wali Songo menjadi sebuah
kekuatan baru. Para penghuninya bukan hanya menjadi muslim, tapi juga diarahkan
untuk berbuat sesuatu untuk bangsa ini. Posisi strategis mandala-mandala ini sudah
dipahami betul oleh para Wali dan murid-muridnya. Yakni bagaimana dikembangkan
menjadi kekuatan ekonomi independen yang akan membawa misi Wali Songo. Ketika
mandala-mandala itu berubah menjadi pesantren, lalu tanah-tanah sima menjadi tanah-
tanah perdikan atau pamutihan, kekuatan ekonomi itu kemudian digerakkan oleh
orang-orang pesantren. Kasus Pesantren Wanamarta yang dibahas dalam bab 6 hingga
bab 8 adalah contoh dari kekuatan pesantren yang berasal dari desa pamutihan dan
menjadi penggerak ekonomi Nusantara ini.

Strategi Kedua, Wali Songo membangun basis di sekitar Majapahit, di sekitar wilayah
subur Kali Brantas, dari hulu hingga ke Surabaya. Dari hulu, sumber mata air dan
pengairan terdapat di Gunung Penanggungan, yang juga basis para ajar dan mandala-
mandala. Sehingga dianggap kramat. Daerah ini kemudian dikuasai oleh Demak pada
1543.64

Kita tahu cerita Syekh Jumadil Kubro dan putranya, Syekh Makdum Ibrahim Asmara.
Syekh Jumadil Kubro dikabarkan mendatangi Majapahit dan diberikan sebidang tanah
sima di sekitar Trowulan, ibukota Majapahit. Makam beliau di Troloyo (pinggiran kota
Trowulan) bersama belasan makam muslim lainnya masih sering diziarahi hingga kini. 65
Sementara Syekh Makdum Asmara menikah dengan putri Campa, lalu menurunkan
63 Sebuah teks berjudul Cariyose Telaga Ranu [naskah kode Leiden CB 145 (I)] menyebut Syekh Maulana
Ishaq dan Syekh Jumadil Kubra sebagai saudara dari dua pertapa. Satunya bernama Ki Seh Dadaputih
yang tinggal di Gunung Bromo (Tengger); satunya lagi bernama Ki Seh Nyampo di Sukudomas. Lihat
Martin van Bruinessen, “Najmuddin al-Kubra, Jumadil Kubra and Jamaluddin al-Akbar: Traces of
Kubrawiyya Influence in early Indonesian Islam”. BKI, vol. 150, tahun 1994, no. 2, hal. 321.

Dalam Serat Centhini disebut pertemuan sang tokoh dengan seorang ajar Hindu-Budha di Tengger dan
bersama-sama ngaji kitab perbandingan agama karya Syekh Nuruddin ar-Raniri berjudul Kitab
Bayanudayan (maksudnya Kitab at-Tibyan fi Ma’rifati-l-Adyan). Lihat Serat Centhini Latin, Jilid 1, hal. 230-
dst.
Sementara dalam laporan orang-orang Belanda yang pertama datang ke Banten di tahun 1596, disebut
adanya orang-orang Pasuruan yang datang ke Gunung Besar (maksudnya Gunung Karang dimana ada
Pesantren Karang yang dikunjungi Syekh Amograga, tokoh Serat Centhini) untuk tinggal di sebuat tempat
bernama Sura. Ini setelah mendapat perkenan dari Sultan Banten. Meski daerah Banten masa itu sudah
diislamisasi, mereka tetap ingin hidup di sana bertetangga dengan kalangan santri. Orang-orang Pasuruan
ini disebut orang-orang Tengger yang beragama Hindu. Lihat G.P. Rouffaer & J.W. Ijzerman (editor), De
Eerste Schipvaart der Nederlanders naar Oost-Indië onder Cornelis De Houtman 1595—1597: Journalen,
Documenten en Andere Bescheiden (Vol. I: D'eerste Boeck van Willem Lodewycksz (‘s-Gravenhage:
Martinus Nijhoff, 1915), hal. 128. Daerah Sura yang dimaksud diperkirakan berada di sekitar kaki Gunung
Karang dan Gunung Pulosari. Di tempat itu ada dua desa dengan nama awalan “mandala”: Mandalasari
dan Mandalawangi. Lihat Guillot, dkk., Banten sebelum Zaman Islam, hal. 99.
Dari penamaan kedua desa ini, tampak jelas bahwa orang-orang Tengger ini tidak hanya tinggal di sana
apa adanya, tapi juga mendirikan mandala – berdampingan dengan Pesantren Karang dan Pesantren
Pulosari.
64 Lihat H.J. de Graaf & Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke
Mataram (Seri Terjemahan Javanologi Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara & KITLV
No. 2) (Jakarta: Grafitipers, 1986), cet. 2, hal. 60, 66.
65 Foto makamnya terdapat dalam van Bruinessen, “Najmuddin al-Kubra, Jumadil Kubra and Jamaluddin
al-Akbar”, hal. 322. Satu versi menyebut ada di Yogyakarta. Versi lain, yang didukung oleh almarhum Gus
Dur yang sempat ziarah ke sana, terdapat di Tosora, Wajo, Sulawesi Selatan.
Raden Rahmat dan Raden Santri. Raden Rahmat kemudian dikenal dengan nama Sunan
Ampel. Keduanya kemudian datang ke Majapahit. Di sana ada bibinya (dikenal pula
dengan putri Campa) yang menikah dengan Raja Brawijaya. Dalam Babad Tanah Jawi
disebut, Raden Rahmat kemudian menikah dengan putri Tumenggung Wilatikta
(bernama Ki Gede Manila), lalu diberi tanah sima di Ampel Denta. 66

Pemberian tanah di Troloyo dan Ampel untuk dakwah wali itu adalah bukti praktik
kebebasan beragama yang diberikan Raja Majapahit kepada Sunan Ampel. Kebijakan
raja ini selaras dengan politik penganugerahan tanah-tanah sima untuk kalangan
agamawan. Seorang raja yang ingin menjalankan darma, ingin selamat dan menyatu
dengan dunia ketuhanan, mencapai tujuan hakiki dalam beragama, harus memberikan
atau menganugerahkan darma lepas: memberi kemerdekaan kepada kalangan
agamawan. Komponen inti dalam pemerdekaan itu adalah pemberian tanah atau
pengakuan atas tanah yang ditempati kalangan agamawan itu sebagai tanah yang
berdaulat, dalam arti bebas pajak dan tidak terikat dengan aturan kerja bakti untuk raja.
Di sini arti pemerdekaan berarti kedaulatan penuh atas tanah. Ini adalah sumber
legitimasi raja, sekaligus juga sumber kekuatan sang agamawan. Dengan status ini,
tanah darma lepas memberi pendasaran baru bagi kemunculan pesantren sebagai
kekuatan ekonomi baru – dengan tanah sebagai basisnya. Di sinilah sebetulnya hakikat
berbicara tentang pesantren, tidak bisa dilepaskan dari pendasaran ekonomi ini. Ya
karena soal kedaulatan tanah ini.67

Strategi ketiga: strategi babad alas di tanah-tanah subur di daerah pesisir utara Jawa.
Putra Raja Brawijaya dari seorang istri asal Cina, bernama Raden Patah, datang ke
Ampel Denta berguru, dinikahkan dengan cucu Sunan Ampel, lalu diminta untuk babad
alas di daerah hutan Glagah Wangi yang kemudian menjadi Desa Bintara. Penunjukan
daerah Bintara ini punya nilai strategisnya sendiri. Dalam catatan Christie berdasarkan
temuan-temuan arkeologis di sekitar Demak hingga Rembang, di masa Hindu-Budha
daerah ini sudah dikenal kaya dengan pertanian subur, berkembangnya tanah-tanah
sima, perdagangan dan industri kerajinan keramik. Semuanya berbasis di mandala-
mandala.68 Sebuah penelitan arkeologis menemukan adanya 92 koin tembaga mirip
picis Cina dalam bentuk gobog di Demak dari sekitar abad 13-14.69

Di daerah inilah Raden Patah membangun pesantren pertama kali, seperti disebut
Babad Tanah Jawi dan Babad Cirebon.70 Kedua teks ini menggambarkan asal-usul
kelahiran Demak dari basis mesjid dan pesantren. Ini sebelum berdirinya Mesjid Agung

66 Lihat Babad Tanah Jawi (edisi Meinsma), hal. 27-8; Sjamsudduha, Sejarah Sunan Ampel: Guru Para
Wali di Jawa dan Perintis Pembangunan Kota Surabaya (Surabaya: Jawa Pos Press, 2004), terutama bagian
1. Tumenggung Wilatikta juga punya putra bernama Jaka Said yang kemudian dikenal dengan nama
Sunan Kalijaga. Dalam versi lain, seperti dalam Babad Demak Pesisiran, Sunan Ampel disebut menikah
dengan putri Arya Teja dari Tuban. Lihat dalam Suripan Sadi Hutomo, dkk., Penelitian Bahasa dan Sastra
Babad Demak Pesisiran (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1984), hal. 121.
67 Lihat buku saya, Pesantren Studies 3A.
68 Lihat Christie, “States without Cities”, hal. 30; dan, “Negara, Mandala, and Despotic State”, hal. 81.
69 Lihat dalam Robert S. Wicks, “Monetary Developments in Java between the Ninth and Sixteenth
Centuries: A Numismatic Perspective”. Indonesia, No. 42, Oktober 1986, hal. 75.

70 Babad Cirebon aksara pegon (kode Br 36 PNRI Jakarta), hal. 33-4. Naskah ini ditulis oleh Penghulu
Cirebon bernama Haji Abdul Qohar di abad 18, lalu disalin ulang oleh santri Muhammad Nur di abad 19.
Lalu dilatinkan dalam J.L.A. Brandes (editor), Babad Tjerbon: Uitvoerige inhoudsopgave en noten (VBG vol.
59) (Batavia: Albrecht & Co., 1911), hal. 78.
Demak yang menandai peresmian kesultanan Islam pertama di Jawa bernama
Kesultanan Demak.
Babad Tanah Jawi menyebut:71

Amangsuli cariyosipun Radèn Patah, ingkang kantun wontên ing Ngampèl Dênta, kadhaupakên
kalih putranipun Nyai Agêng Maloka ingkang pambayun, wayahipun Sunan ing Ngampèl Dênta,
anuntên Radèn Patah nyuwun pitêdah, ing pundi ênggènipun badhe jêmjêm adhêdhêkah, Sunan ing
Ngampèl Dênta inggih asuka pitêdah, Radèn Patah kapurih lumampah ngilèn lêrês.
Bilih manggih galagah arum ambêtipun, punika dipun dhêkahana, awit panggenan punika badhe
dados nagari, sarta gêmah raharja. Radèn Patah lajêng lumampah anjog ing wana agêng, amanggih
galagah wangi ambêtipun. Wana punika anama ing Bintara, ing ngriku Radèn Patah adhêdhêkah,
botên antawis lami kathah têtiyang dhatêng, sami tumut gêgriya ing ngriku, sarta sami ambabadi
wana, angadêgakên masjid. Sangsaya kathah têtiyang dhatêng, sami anggêguru dhatêng Radèn
Patah.

(Diceritakan tentang Raden Patah; seusai ngaji di Ampel Denta, menikah dengan putri Nyai Ageng
Maloka, cucu Sunan Ampel, lalu meminta dimana harus bertempat tinggal (adhêdhêkah). Sang
Sunan kemudian memberi petunjuk: Raden Patah berjalan lurus ke arah barat. Kalau menemukan
pohon gelagah yang berbau harum.
Maka itulah tempat idealnya. Karena daerah itu akan menjadi negeri yang makmur-sejahtera.
Raden Patah kemudian menuruti nasehat gurunya itu. Membuka hutan besar di sana, dinamai
daerah itu Bintara, dan di sanalah Raden Patah bertempat tinggal, diikuti orang lainnya,
membangun rumah, sehingga membentuk satu kampung. Mereka sama-sama membuka hutan,
mendirikan mesjid, lalu berguru kepada Raden Patah.)

Lalu dari Babad Cerbon:

“[Mijil] Yata kesah Raden Patah nuli; amanggih ing gon; kang acukul gelagah wangine; caketan desa
Bintara adi; ing kana akardi; panggenan satuhu.
Malah ngadek Jum’ahe wus dadi; jum’ah hing wong; masyhur Pasantren Demak arane; lami-lami
katah angungsi; umah-umah dadi; arja kadi datu.”

(Dikisahkan Raden Patah mengikuti petunjuk gurunya [Sunan Ampel di Surabaya], untuk menuju
ke arah barat, ke daerah tempat tumbuhnya pohon gelagah yang wangi. Setelah hutan itu dibabad
alas, muncul kemudin satu pekampungan dan desa yang diberi nama Desa Bintara.
Di sana Raden Patah kemudian mendirikan Shalat Jumat bersama para jemaah di Hari Jumat.
Sehingga daerah itu dikenal dengan nama Pesantren Demak. Banyak orang kemudian pindah ke
sana, mendirikan rumah dan perkampungan baru. Lama-kelamaan menjadi sebuah kota yang
ramai, lalu menjadi pusat kerajaaan atau kesultanan).

Perhatikan proses sosial-historis berdirinya pesantren hingga menjadi Kesultanan


Demak:
Pertama, itu dimulai dari babad alas atau membuka hutan Glagah Wangi untuk lahan
pertanian dan pengairan. Ini merupakan tahap membangun basis ekonomi masyarakat.
Artinya, bagi para ulama dan pendakwah Islam ini – sebelum berpikir macam-macam
tentang membangun peradaban Indonesia – yang dipikirkan pertama-tama adalah
bagaimana rakyat kita itu sejahtera dan terpenuhi kebutuhan pangan, sandang dan
papannya (tempat tinggal) terlebih dahulu.
Kedua, dari babad alas muncul perkampungan baru. Orang-orang kemudian mengungsi
ke perkampungan baru tersebut, yang kemudian diberi nama Desa Bintara. Ini
merupakan konstruksi basis sosial kemasyarakatan Islam Nusantara. Masyarakat yang
dibangun itu berdasarkan semangat “berkampung” atau “jamaah”: yakni guyub, saling
71 Babad Tanah Jawi (edisi Meinsma), hal. 33-4. Babad Tanah Jawi asalnya dari Kadilangu, Demak, abad
17, lalu dikumpulkan dan ditulis ulang oleh Kiai Yosodipuro abad 18, kemudian diterbitkan oleh Balai
Pustaka Jakarta di tahun 1930.
tolong-menolong, suka gotong royong, dan musyawarah-mufakat dalam mengatasi
masalah. Dari pembukaan lahan pertanian dan perkampungan ini, muncul pasar yang
menggambarkan menyatunya kehidupan ekonomi dan komunitas guyub berkampung
ini.
Ketiga, setelah berhimpun banyak rumah, perkampungan terbentuk, desa dan pasar
dibangun, maka didirikanlah mesjid pertama untuk Shalat Jumat. Sebelum mesjid
berdiri, masyaraat menunaikan ibadah sehari-hari di langgar. Setelah terpenuhi jumlah
warga yang memungkinkan sahnya didirikan Shalat Jumat, barulah warga itu
mendirikan mesjid. Dari sinilah kemudian mesjid menjadi pusat peradaban
perkampungan itu, sekaligus menjadi pusat kegiatan keislaman. Ini adalah konstruksi
basis religiusitas masyarakat Nusantara, dimana mesjid jadi titik tumpunya.
Keempat, setelah basis sosial dan keagamaan berdiri, anak-anak pun butuh pendidikan.
Raden Patah kemudian membangun pesantren. Namanya Pesantren Demak. Nama
Demak diambil dari kata "dzu ma'", artinya daerah yang punya sumber air, untuk bersuci
dan untuk kehidupan masyarakat. Ini merupakan rintisan membangun basis pendidikan
dan pengajaran kebangsaan untuk penduduk Nusantara. Jadi dari sini bisa kita lihat
nama Demak pertama-tama bukan nama untuk sebuah kerajaan, tapi nama pesantren!
Kelima, perkampungan itu makin ramai, lalu menjadi kota (arja). Sebutan kota atau arja
waktu itu dipakai untuk menunjukkan posisi Demak sebagai titik penghubung lalu lintas
pergerakan manusia dan juga sebagai salah satu jalur peradaban. Ini konstruksi
kehidupan kosmopolit dan kebangsaan Nusantara.
Keenam, terakhir, baru kemudian kota Demak itu jadi datu, kerajaan atau kesultanan
dengan Raden Patah sebagai raja pertama. Setelah itu para Wali Songo bangun Mesjid
Agung Demak di kota itu seperti kita kenal kini.

Strategi Keempat, Wali Songo menyasar wilayah Kediri. Sehingga terjadi pertarungan
antara kekuatan pro Daha-Majapahit dan kekuatan pro-Wali Songo, seperti direkam
dalam Babad Kedhiri dan Serat Darmogandhul.72 Kita tahu, seperti dijelaskan di atas,
daerah Kediri adalah wilayah subur yang kaya hasil pertanian. Tome Pires menyebutnya
sebagai daerah ibukota kerajaan Jawa Hindu yang kaya. Ketika Sunan Bonang datang ke
daerah ini untuk diislamkan, orang-orang Kediri kemudian melawan. Itu disimbolkan
dalam rupa jin bernama Buta Locaya yang menantang Sunan Bonang – sebagaimana
disebut dalam teks Babad Kedhiri dan Serat Darmogandhul.73 Baru kemudian Giri datang
menaklukkan Kediri di antara tahun 1548-1552. Disebut dalam Babad Sangkala: Sunan
Giri datang ke Kediri pada tahun Jawa 1470 atau 1548 M; lalu di tahun Jawa 1473 atau
1551 M Daha terbakar habis; akhirnya, pada tahun 1552, Kediri direbut. 74

Strategi Kelima, menguasai daerah-daerah kaya di pesisir dan pedalaman sekaligus.


Kekuatan pesisir ada di Tuban dan Giri (wilayah Gresik); pedalaman Pengging (dekat
Salatiga kini) dan Tembayat (wilayah Klaten kini). Mertua Sunan Ampel berasal dari
72 Lihat Palmer W. van den Broek (editor dan penerjemah), De Geschiedenis van het Rijk Kediri
(opgeteekend in het Jaar 1873 door Mas Soema-Sentika van Aanteekeningen en eene Vertaling Voorzien en
Uitgegeven) (Leiden: E.J. Brill, 1902); dan, G.W.J. Drewes, “The Struggle between Javanism and Islam as
Illustrated by the Serat Dermagandul”. BKI, vol. 122, no. 3, tahun 1966, hal. 309-365. Pembahasan tentang
teks-teks Babad Kedhiri dan Serat Darmogandhul yang dianggap anti santri ini, lihat dalam PESANTREN
STUDIES 2C.
73 Lihat van den Broek, De Geschiedenis van het Rijk Kediri, hal. 120-dst.
74 Lihat dalam Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati (Seri Terjemahan Javanologi
Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara & KITLV No. 3) (Jakarta: Grafitipers, 1987), cet.
2, hal. 62.
Tuban. Ibu angkat Sunan Giri, Nyai Gede Pinatih, adalah seorang pedagang kaya raya.
Giri adalah wilayah yang dijinakkan oleh Majapahit, tapi tidak berhasil. 75 Juga mau
ditaklukkan oleh Mataram sejak tahun 1613 di era Sultan Agung.

Sedangkan Pengging adalah daerah kaya yang betul-betul independen sehingga ingin
ditundukkan Majapahit. Independensi orang-orang Pengging dalam mengelola kekayaan
ekonomi mr sendiri ditunjukkan dalam upaya mengangkat sendiri seorang raja lepas
dari Majapahit. Dan itu dilakukan atas restu seorang pandita bernama Ki Ajar Saloka. 76
Ketika Demak berdiri, seorang putra Raja Brawijaya yang berguru kepada Syekh Siti
Jenar, Ki Ageng Pengging, datang mengislamkan Pengging. 77 Kemudian Ki Ageng
Pengging, sebagai santri, petani, dan orang desa, tetap mempertahankan
independensinya – sekaligus menjaga kemakmuran rakyat. Babad Tanah Jawi pun
menyebut Pengging: “dèrèng wontên sowan dhatêng ing Dêmak” (Pengging belum mau
menghadap ke Demak).78

Raja Demak menginginkan keluarga Pengging yang sama-sama keturunan Brawijaya


untuk gabung ke kraton. Keluarga Jaka Tingkir, pendiri Kesultanan Pajang, berasal dari
sini. Ayahnya bernama Ki Ageng Pengging, putra Brawijaya itu. Ia meninggalkan dunia
kraton dan merengkuh dunia kesantrian dan menekuni pertanian. Sepeninggal ayahnya,
Jaka Tingkir diasuh oleh Nyai Ronda, seorang janda kaya raya dari hasil pertanian, di
Tingkir (selatan Salatiga kini). Babad Tanah Jawi menyebut beliau “sugih mas picis,
kèringan ing tôngga desa”, punya aset uang emas dan uang picis yang melimpah, serta
disegani oleh para tetangga dan orang-orang desa. 79 Jaka Tingkir lalu dikader oleh
Sunan Kalijaga. Keturunannya kemudian menurunkan ulama-ulama besar di Jawa
hingga ke Syaikhuna Cholil Bangkalan dan Hadlratusysyekh KH Hasyim Asy’ari. 80

Sementara Tembayat adalah wilayah subur dan merupakan titik-temu perlintasan lalu
lintas darat dan sungai yang menghubungkan pedalaman dan pesisir. Raja-raja berebut
menguasai daerah ini karena potensi pajak dan cukai perdagangan dan transportasi
yang menggiurkan. Desa Taji (dekat Tembayat) misalnya berada di tepi Kali Bengawan
Solo dan merupakan daerah perlintasan strategis yang menghubungkan jalur darat
antara Mataram dan Pajang, dan juga jalur sungai yang menghubungkan kota-kota
strategis di sepanjang sungai hingga ke Tuban dan Gresik, di pesisir. 81 Desa Taji muncul
75 Lihat dalam Babad Tanah Jawi (edisi Balai Pustaka), jilid 3; juga dalam Serat Centhini Latin, jilid 1.
76 Lihat Soewito Santoso, Babad Tanah Jawi (Galuh Mataram) (Surabaya: Citra Jaya Murti, 1970 [?]), hal.
64-8. Naskah rujukan Santoso untuk bukunya ini adalah teks Museum Radya Pustaka Kraton Surakarta
kode RP no. 128.
77 Pandangan tentang Syekh Siti Jenar sebagai pembentuk kedaulatan ekonomi orang-orang desa,
memang belum banyak dibahas. Yang banyak justru adalah pembahasan para sarjana tentang kontroversi
Syekh Siti Jenar berhadapan para Wali Songo. Salah satu teks berjudul Babad Jaka Tingkir atau Babad
Pajang memberi gambaran berimbang tentang posisi Syekh Siti Jenar ini, terutama soal pelajaran
independensi ini. Dalam teks inilah kita dapatkan konstruksi Ki Ageng Pengging, murid Syekh Siti Jenar
dan ayah Jaka Tingkir, sebagai seorang desa, santri dan petani. Lihat teks itu dalam Moelyono
Sastronaryatmo (editor dan pengalih aksara), Babad Jaka Tingkir (Babad Pajang) (Jakarta: Proyek
Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981).
78 Lihat kisahnya dalam Babad Tanah Jawi (edisi Meinsma), hal. 53-7.
79 Babad Tanah Jawi (edisi Meinsma), hal. 57.
80 Lihat dalam Saifullah Ma’shum (editor), Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU (Bandung:
Mizan & Yayasan Saifuddin Zuhri, 1998).
81 Tentang jalur pelayaran sungai menyusuri Kali Bengawan Solo dan tempat-tempat strategis
penyeberangan dan persinggahan di sepanjang sungai itu hingga ke muaranya di Surabaya di era
Majapahit, lihat dalam J. Noorduyn, “Further Topographical Notes on the Ferry Charter of 1358, with
Appendices on Djipang and Bodjanegara”. BKI, vol. 124, no. 4, tahun 1968, hal. 460-481. Di sini disebut
sebagai bandar cukai yang bernilai ekonomis bagi Mataram sejak awal abad 17. Tapi di
sekitar desa strategis ini pula muncul basis-basis pesantren dan jaringan ekonomi-
perdagangannya – yang kemudian berhimpun menjadi jaringan. Seperti Desa Wedi,
Tasik dan Tembayat. Daerah ini kemudian dikuasai oleh Ki Ageng Pandanaran yang
kemudian dikenal dengan nama Sunan Tembayat, murid Sunan Kalijaga. Beliau
mendirikan pesantren dan melakukan kaderisasi di wilayah itu.

Disebut dalam teks Babad Tembayat, Sunan Kalijaga memberi nasehat kepada Adipati
Pandanarang (kemudian menjadi Sunan Tembayat). Di antaranya disebut nasehat sang
Sunan Kali:
Ngibadaha salawase; lawan angadegna iman; Islamna wong Semarang; nginguwa santri lan kaum;
karyaa bedhug lan langgar. ...

Dadya paguron sireku; tunggunen kang mesjid iki; iki mesjid saking Mekah; Jabalkat pinangka
dhingin; ngadegna Jumuwah sira; angumpulna para santri.82

(Selama hidupmu tekunlah beribadah. Jaga dan perkuat imanmu. Islamkanlah orang-orang
Semarang. Jaga dan ayomi kaum santri dan orang kauman sebagai saudaramu. Serta dirikan
bedug dan langgar. Dirikan pesantren [paguron]. Rawatlah mesjid ini. Mesjid ini berasal dari
Mekah. Yang dibawa ke Jabalkat ini 83 Dirikan shalat Jum’at. Himpun dan kumpulkan para
santri).84

Desa Taji yang memegang peran penting, karena setiap pengembara atau pelaku bisnis yang
memanfaatkan jalur pelayaran sungai ini harus melewati Desa Taji. Ibid., hal. 471.

Arti penting wilayah ini kemudian ditangkap oleh VOC dan juga oleh orang-orang kraton yang mendirikan
kraton baru, kraton Surakarta, dekat sungai ini. Versi kraton menyebut alasannya itu pada ramalan dan
perhitungan tempat yang baik. Sementara pertimbangan VOC yang merestui tempat itu adalah komersial.
Itu pula yang dibaca oleh Tan Malaka dalam satu tulisannya berjudul Naar de Republiek Indonesia (1925),
untuk menggerakkan revolusi kemerdekaan. Menurutnya itu dimulai dari merebut basis-basis ekonomi
Kompeni di daerah ini:
“Semua organisasi revolusioner harus kita arahkan dengan seluruh kekuatan kita ke tempat-tempat
dimana musuh mengerahkan kekuatan-kekuatan tempur paling utama, dan dimana kita bisa memeproleh
kemenangan. Kalau kita orang-orang Indonesia memilih medan pertempuran, maka ternyata bahwa
kekuatan musuh (ekonomis, politik dan militer) tidak berkumpul di satu tempat, namun tersebar. Dengan
demikian sebagai kekuatan militer dipilihnya Priangan sebagai titik pusat. Kekuatan politik memang
ditempatkan di Batavia, namun toh juga dihubungkan dengan kekuatan militer di Priangan. Kekuatan
ekonomi, boleh dikatakan, terletak di Lembah Solo (Solovallei), yaitu di residensi Yogya, Solo, Madiun,
Rembang, Kediri, dan Surabaya, diisi dengan kekuatan penuh dengan pabrik gula, jalan kereta, kapal,
fabrik minyak, fabrik mesin, bank dan barang-barang bisnis lainnya. Dengan begitu ternyata bahwa
imperialisme Belanda di Indonesia tidak terpusat pada hanya satu tempat”.
Dikutip dalam Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (Jakarta: Gramedia,
2003), hal. 132 – huruf miring dari teks asli.
Perhatikan pula, bukankah daerah ini merupakan basis-basis tempat berdirinya pesantren sejak masa
Tembayat di abad 16 hingga di masa KH Abdul Wahab Chasbullah nyantri di pertengahan kedua abad 19
sebagai santri kelana di sepanjang sungai ini hingga ke Surabaya? Rapatnya hubungan pesantren dengan
basis-basis ekonomi Kompeni ini akan dibahas dalam PESANTREN STUDIES 5.
82 Serat Babad Tembayad, Jilid 2, hal. 135, 144.

83 Jabalkat merujuk kepada sebuah tempat dimana Sunan Pandanarang mendirikan mesjid dan pondok,
dan menyebarkan Islam pertama kali di daerah pedalaman selatan Jawa Tengah. Oleh gurunya, Sunan
Kalijaga, ia diperintahkan untuk menyebarkan agama Islam ke daerah Klaten. Di daerah Bayat, Klaten
bagian selatan, beliau mendirikan pesantren di bukit Jabalkat, sebuah dataran dengan ketinggian 300
meter di atas permukaan laut. Dalam satu tulisan Rinkes (TBG, vol. 53, tahun 1911), disebut bagaimana
Mesjid Tembayat ini sepeninggal sang sunan sering menjadi oase perlindungan bagi kalangan oposisi
yang memberontak terhadap kraton dan Kompeni.
Kesimpuan dan Penutup: Pesantren, Pembangunan Basis Ekonomi dan Karakter
Kebudayaan “Merdeka”

Kemunculan pesantren adalah bagian desain besar para Wali Songo dalam menumpangi
peubahan-perubahan besar yang terjadi di era Majaphit, tapi asal-usul peubahan itu
sudah muncul di era sebelumnya. Dimulai dari pergerakan para agamawan ke
pedalaman, munculnya mandala-mandala yang mandiri di daerah subur yang dekat
irigasi, penyebaran tanah-tanah sima menjadi kekuatan ekonomi besar, itu semua
ditransformasikan oleh Wali Songo menjadi basis komunitas pesantren yang
independen. Sumber-sumber kemandirian itu sudah dijelaskan secara terperinci, dari
ekonomi, politik hingga kultural dan keagamaan. Termasuk ideologi kemandirian itu,
yang mengefektifkan pesantren sebagai penggerak peradaban Nusantara. Totalitas basis
kemandirian itu disebut tanah atau desa perdikan. Dari sana muncul ideologi khas kaum
santri di Nusantara: “mardikakaken”, pemerdekaan.
Ideologi pemerdekaan itu di era Majapahit dirumuskan demikian: “singgih kottaman ing
wanasrama sabha sang ataki-taki nisparigraha” (sungguh hebat sebuah pertapaan dan
mandala seperti ini yang menjadi tempat orang-orang yang ingin hidup bebas dari
keterikatan [kekuasaan kraton, yakni menjadi mandiri dan berdaulat]). 85 Kata
nisparigraha ini kemudian kemudian dibahasakan oleh Serat Centhini “mardikakakên”
untuk memperjelas karakter kebudayaan kaum santri itu:

[Asmaradana]

[N]gèlmi Jawarab ginulang.


Priayi gêng lankung lantip; graitaning kaluhuran; asih mring pêkir miskine; mardikakakên
ngulama; nêtêpakên ngibadah; kurmat ing agama rasul; mrih tangkar ngèlmi sarengat. 86

(Dalam ilmunya orang-orang Nusantara [Jawi-Arab] diajarkan bahwa para priyayi agung
mengutamakan sesuatu yang bermanfaat dan mencari keluhuran adalah mengasihi fakir
miskin, memerdekakan para ulama, menekuni amal-ibadah, menghormati agama Rasulullah
shallallahualaihiwasallam, sehingga ilmu syariat tetap terjaga dan diamalkan.)

Strategi-strategi Wali Songo dalam proses Islamisasi Nusantara dimulai dari membuka
tanah, menggerakkan ekonomi, pertanian dan perdagangan dihidupkan, lalu bangun
mesjid jami, terus dirikan pesantren, baru kemudian tatanan sosial dan politik. Sunan
Ampel mengajar Raden Patah babad alas di daerah Bintara yang kemudian menjadi
Demak. Sementara Sunan Gunung Jati mengkader putranya, yang kelak menjadi sultan
pertama Banten bernama Maulana Hasanuddin, untuk membuka pesantren di atas
gunung yang sebelumnya merupakan basis mandala, serta membuka perkampungan
pertama di Sorosowan (yang kemudian menjadi pusat kerajaan Banten) dengan
pertama-tama membuka pasar.
Setelah Raden Patah dan Maulana Hasanuddin menjadi raja, pada gilirannya pintu
kemerdekaan kepada pesantren dibuka lebar. Di Banten berdiri Pesantren Kasunyatan,
beberapa kilometer dari pusat kraton. Di Demak, para wali diberi kebebasan
mendirikan pesantren – bahkan untuk rival politik sekalipun, seperti terhadap Ki Ageng

84 Lihat modus pengislaman di Tembayat dan jaringan pesantrennya ini dalam teks BG no. 575 seperti
dimuat dalam D.A. Rinkes, “De Heiligen van Java, IV: Ki Pandan Arang te Tembajat”. TBG, vol. 53, tahun
1911, hal. 435-582.
85 Worsley, dkk. (editor), Kakawin Sumanasantaka, hal. 180.
86 Serat Tjenthini (ed. Raden Ngabehi Soeradipoera), jilid 4, hal. 54.
Pengging, ayahanda Jaka Tingkir. Pendiri Kesulatanan Pajang itu sendiri adalah hasil
kaderisasi dalam pesantren yang independen ini. Ini menunjukkan bahwa pergantian
kekuasaan dan jatuh-bangunnya dinasti politik tidak berpengaruh pada keberadaan
pesantren. Bahkan pesantren menjadi aktor kaderisasi raja-raja baru, untuk sebuah
dinasti baru – asalkan sang raja ingat kewajiban atau darmanya untuk memberi
kemerdekaan kepada pesantren, untuk membagun pesantren di atas dasar tanah yang
mandiri dan independen ini.
Memang, fungsi tanah-tanah perdikan adalah untuk memelihara dan menjaga jantung
kehidupan bangsa ini – dalam menjaga kedaulatan tanah, otonomi masyarakat desa,
kolektifitas dan solidaritas masyarakat, serta kesejahteraan sosial bangsa ini. Maka jelas
tujuan utama tanah perdikan bertemu dan bahkan mendasari tujuan bernegara kita:
penghayatan keagamaan, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mensejahterakan
masyarakat.
Untuk mencapai tujuan itu Serat Centhini misalnya mengajarkan dinamika ekonomi
masyarakat desa harus tumbuh dan berkembang dalam konteks komunitas desa
perdikan, seperti ditunjukkan dalam keberadaan desa perdikan “pesantren ageng”
Wanamarta.87 Dalam konteks ini, desa perdikan hadir sebagai kiblat penguatan
kesejahteraan sosial rakyat, karena ditandai dari lancarnya kegiatan ekonomi. Di sini
basis desa perdikan pesantren membawa kekuatan kepada bangsa dan negara ini,
karena ada kekuatan ekonomi dan perdagangan yang menjadi andalan, yang tidak
tunduk pada kondisi jatuh-bangunnya kuasa politik.
Selain itu, dalam situasi krisis yang dihadapi bangsa ini, dalam situasi perang melawan
agresi bangsa asing dan juga dalam situasi krisis pangan atau paceklik yang ditimbulkan
oleh berkurangnya produksi pertanian, desa perdikan pesantren hadir sebagai benteng
terakhir bangsa ini untuk tetap survive dan selamat menerobos krisis.

Itulah hakikat kemunculan pesantren dalam sejarah peradaban Nusantara kita. Jadi
bukan muncul karena ada proyek bantuan pesantren dari Kementerian Agama.***

87 Dibahas dalam Pesantren Studies 3A.

Vous aimerez peut-être aussi