Vous êtes sur la page 1sur 47

PENGARUH TEKNIK RELAKSASI GUIDED IMAGERY TERHADAP

TINGKAT NYERI PASIEN PRE OPERASI FRAKTUR


DI RUANG ORTHOPEDI RSUD ULIN
BANJARMASIN

SKRIPSI

OLEH :
AKHMAD ZARJANI
NPM. 1614201120553

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S.1 KEPERAWATAN
BANJARMASIN,
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem musculoskeletal merupakan salah satu sistem tubuh yang sangat
berperan terhadap fungsi pergerakan dan mobilitas seseorang. Masalah atau
gangguan pada tulang akan dapat mempengaruhi sistem pergerakan seseorang.
Salah satu masalah musculoskeletal yang sering kita temukan di sekitar kita
adalah fraktur atau patah tulang Fraktur merupakan istilah hilangnya
kontinuitas tulang, tulang rawan, baik yang bersifat total atau sebagian
(Novita, 2012). Fraktur juga dikenal sebagai patah tulang yang disebabkan
oleh trauma atau tenaga fisik, kekuatan dan sudut tenaga fisik, keadaan itu
sendiri, serta jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur
yang terjadi lengkap atau tidak lengkap (Helmi, 2012).

Fraktur dapat terjadi akibat adanya tekanan yang berlebih dibandingkan


kemampuan tulang dalam menahan tekanan, tekanan yang terjadi pada tulang
dapat berupa tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau
oblik, tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal, tekanan
sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur impaksi, dislokasi
atau fraktur dislokasi (Helmi, 2012).

Berdasarkan data World Health Organization (WHO) dalam Djamal, Rompas,


dan Bawotong (2015) dan Fadliyah (2014), kasus fraktur terjadi di dunia
kurang lebih 13 juta orang pada tahun 2008, dengan angka prevalensi sebesar
2,7%. Sementara pada tahun 2009 terdapat kurang lebih 18 juta orang dengan
angka prevalensi sebesar 4,2%. Tahun 2010 meningkat menjadi 21 juta orang
dengan angka prevalensi 3,5%. Fraktur merupakan suatu keadaan dimana
terjadi diistegritas tulang, penyebab terbanyak adalah insiden kecelakaan,
tetapi faktor lain seperti proses degeneratif juga dapat berpengaruh terhadap

1
2

kejadian fraktur (Rohimin, 2009). Penyebab yang berbeda, dari hasil survey
tim Depkes RI didapatkan 25% penderita fraktur yang mengalami kematian,
45 mengalami cacat fisik, 15% mengalami stress psikologis karena cemas dan
bahkan depresi, dan 10% mengalami kesembuhan dengan baik. (Rohimin,
2009).

Menurut Potter & Perry (2006) Setiap individu pernah yang namanya
mengalami nyeri dalam suatu tindakan tertentu. Nyeri merupakan alasan yang
paling umum orang mencari perawat kesehatan. Walaupun merupakan salah
satu dari gejala yang sering terjadi di bidang medis namun nyeri merupakan
salah satu yang paling sedikit dipahami individu yang merasakan nyeri merasa
tertekan atau menderita dan mencari upaya untuk menghilangkan nyeri.
Dimana nyeri bersifat subjektif dan sangat bersifat individual. Nyeri seringkali
dijelaskan dalam istilah proses distruktif jaringan seperti di tusuk-tusuk, panas
terbakar, melilit, mual dan muntah (Judha et al.,2012). Nyeri dapat terjadi
akibat trauma atau luka pre operasi.

Intervensi nyeri bisa dilakukan dengan strategi penatalaksanaan nyeri,


mencakup baik pendekatan farmakologi maupun non-farmakologi.
Pendekatan ini diseleksi berdasarkan pada kebutuhan dan tujuan klien.
Intervensi akan berhasil bila nyeri belum menjadi hebat, dan keberhasilan
terbesar sering dicapai jika beberapa intervensi diterapkan secara stimulant
(Smeltzer & Bare, 2014).

Manajemen nyeri dengan melakukan teknik relaksasi merupakan tindakan


eksternal yang mempengaruhi respon internal individu terhadap nyeri.
Manajemen nyeri dengan intervensi relaksasi mencakup latihan pernafasan
dalam, relaksasi progesif, relaksasi guided imagery, dan meditasi ( Brunner &
Suddart, 2014).
3

Nyeri merupakan sensasi yang sangat tidak menyenangkan dan bervariasi


pada tiap individu. Nyeri dapat mempengaruhi seluruh pikiran seseorang,
mengatur aktivitasnya, dan mengubah kehidupan orang tersebut. Nyeri
merupakan faktor psikososial yang perlu diungkap lewat komunikasi
terapeutik, karena seorang perawat perlu mendapatkan data baik secara
subjektif maupun objektif untuk menilai seberapa besar pengaruh nyeri
tersebut pada pasien (Berman, Snyder, Kozier, & Erb, 2003).

Penanganan nyeri dengan melakukan teknik relaksasi merupakan tindakan


keperawatan yang dilakukan untuk mengurangi nyeri. Penanganan nyeri
dengan tindakan relaksasi mencakup teknik relaksasi nafas dalam dan guided
imagery.

Relaksasi adalah sebuah keadaan dimana seseorang terbebas dari tekanan dan
kecemasan atau kembalinya keseimbangan (equilibrium) setelah terjadinya
gangguan. Tujuan dari teknik relaksasi adalah mencapai keadaan relaksasi
menyeluruh, mencakup keadaan relaksasi secara fisiologis, secara kognitif,
dan secara behavioral. Secara fisiologis, keadaan relaksasi ditandai dengan
penurunan kadar epinefrin dan non epinefrin dalam darah, penurunan
frekuensi denyut jantung (sampai mencapai 24 kali per menit), penurunan
tekanan darah, penurunan frekuensi nafas (sampai 4-6 kali per menit),
penurunan ketegangan otot, metabolisme menurun, vasodilatasi dan
peningkatan temperatur pada extermitas (Rahmayati, 2010).

Guided imagery merupakan teknik yang menggunakan imajinasi seseorang


untuk mencapai efek positif tertentu (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever,
2010). Teknik ini dimulai dengan proses relaksasi pada umumnya yaitu
meminta kepada klien untuk perlahan-lahan menutup matanya dan fokus pada
nafas mereka, klien didorong untuk relaksasi mengosongkan pikiran dan
memenuhi pikiran dengan bayangan untuk membuat damai dan tenang
(Rahmayati, 2010).
4

Teknik guide imagery yaitu menurut Patricia (dalam kalsum,2007) adalah


suatu teknik yang menggunakan imajinasi individu dengan imajinasi terarah
untuk mengurangi stres atau nyeri. Menurut Rank (2010) menyatakan guided
imagery merupakan teknik perilaku kognitif dimana seseorang dipandu untuk
membayangkan kondisi yang santai atau tentang pengalaman yang
menyenangkan. Guided imagery dapat berfungsi sebagai pengalih perhatian
dari stimulasi yang menyakitkan dengan demikian dapat mengurangi respon
nyeri. Mekanisme imajinasi positif dapat melemahkan psikoneuroimmunologi
yang mempengaruhi respon stres, selain itu dapat melepaskan endorphin yang
melemahkan respon rasa sakit dan dapat mengurangi rasa sakit atau
meningkatkan ambang nyeri (Hart,2008).

Guided imagery cocok digunakan hanya pada nyeri ringan sampai sedang
(Brunner & Suddart, 2014). Adapun menurut Tamsuri (2006) bahwa Guided
imagery merupakan kegiatan klien membuat suatu bayangan yang
menyenangkan, dan mengonsentrasikan diri pada bayangan tersebut serta
berangsur-angsur membebaskan diri dari perhatian terhadap nyeri. Sehingga
peneliti tertarik untuk meneliti apakah guided imagery dapat menurunkan
nyeri pre operasi fraktur.

Penggunaan manajemen nonfarmakologi lebih ekonomis dan tidak ada efek


sampingnya jika dibandingkan dengan penggunaan manajemen farmakologi.
Selain juga mengurangi ketergantungan pasien terhadap obat-obatan
(Burroughs, 2001,dalam endrayani sehono 2010). Salah satu manajemen non-
farmakologi adalah teknik relaksasi Guided Imagery dimana tehnik relaksasi
ini bermanfaat mengurangi ketegangan otot karena adanya proses konsentrasi
untuk membayangkan sesuatu yang membuat perasaan senang dan juga
dengan iringan musik klasik akan menambah konsentrasi maka akan membuat
tubuh menjadi relaks dan nyaman sehingga akan mengurangi intensitas nyeri.
5

Pengambilan data yang dilakukan peneliti pada tanggal ...... di Ruang


Orthopedi RSUD Ulin Banjarmasin didapatkan data pasien yang menjalani
post operasi fraktur pada bulan..... berjumlah ....orang dengan rata-rata
....orang perbulan..

Berdasarkan hasil yang peneliti temukan diatas dan karena mudahnya teknik
relaksasi guided imagery sebagai salah satu cara untuk mengurangi nyeri
pada pasien peneliti berminat mengadakan penelitian tentang pengaruh teknik
relakasasi guided imagery terhadap tingkat nyeri pasien pre operasi fraktur di
ruang orthopedi RSUD Ulin Banjarmasin

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat di rumuskan masalah
penelitian yaitu” Apakah Ada Pengaruh Teknik Relaksasi Guided Imagery
Terhadap Intensitas Nyeri Pada pasien Pre Operasi fraktur Di Ruang
Orthopedi RSUD Ulin Banjarmasin 2017.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum peneliti ini adalah menganalisis pengaruh teknik relaksasi
guided imagery terhadap penurunan nyeri pada pasien pre operasi fraktur
di Ruang Orthopedi RSUD Ulin Banjarmasin.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengidentifikasi tingkat nyeri pasien pre operasi fraktur sebelum
di berikan pengaruh teknik relaksasi guided imagery di Ruang
Orthopedi RSUD Ulin Banjarmasin.
1.3.2.2 Mengidentifikasi tingkat nyeri pasien pre operasi fraktur sesudah
di berikan pengaruh teknik relaksasi guided imagery di Ruang
Orthopedi RSUD Ulin Banjarmasin..
6

1.3.2.3 Menganalisis pengaruh pemberian relaksasi guided imagery


terhadap penurunan nyeri pada pasien pre operasi fraktur di
Ruang Orthopedi RSUD Ulin Banjarmasin.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi RSUD Ulin Banjarmasin
Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi RSUD Ulin
Banjarmasin dalam menetapkan kebijakan-kebijakan untuk klien pre
operasi fraktur dan meningkatkan pelayanan kesehatan, khususnya
dalam menangani klien yang mengalami nyeri pasca operasi.
1.4.2 Bagi Perawat RSUD Ulin
Sebagai bahan pustaka dalam rangka menambah informasi tentang ilmu
keperawatan, khususnya teknik relaksasi guided imagery didalam
memberikan asuhan keperawatan untuk mengatasi nyeri pre operasi.
1.4.3 Bagi institusi pendidikan
Menambah bahan referensi bagi perpustakaan dan dapat menjadi bahan
masukan mengenai teknik relaksasi untuk menurunkan nyeri serta dapat
digunakan sebagai bahan masukan penelitian sejenis lainnya.
1.4.4 Bagi peneliti
Sebagai wawasan ilmu pengetahuan, pengalaman dan perkembangan
pribadi terutama dari segi ilmiah menerapkan ilmu yang telah diperoleh.

1.5 Penelitian Terkait


Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan sebelumnya yang berhubungan
dengan penelitian ini adalah :
1.5.1 Penelitian yang dilakukan oleh Fadli (2017), mahasiswa STIKES
Muhammadiyah Sidrap. dengan judul pengaruh distraksi pendengaran
terhadap intensitas nyeri pada klien fraktur di rumah sakit Nene
Mallomo Kabupaten Sindenreng Rappang. Perbedaan penelitian ini
dengan penelitian tersebut adalah dalam penelitian ini menggunakan
terapi teknik relaksasi guided imagery terhadap tingkat nyeri pasien pre
7

operasi fraktur sedangkan penelitian tersebut menggunakan pengaruh


distraksi pendengaran terhadap intensitas nyeri pada klien fraktur.

1.5.2 Penelitian yang dilakukan oleh Chandra Kristianto Patasik, Jou Tangka,
Julia Rottie (2013), dengan judul Efektivitas teknik relaksasi nafas
dalam dan guided imagery terhadap penurunan nyeri pada pasien post
operasi section caesare di Iriana D Blu Rsup Prof.Dr.R.D.Kandau
Manado. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah
pada penelitian tersebut menggunakan Efektivitas teknik relaksasi
nafas dalam dan guided imagery terhadap penurunan nyeri pada pasien
post operasi section caesare sedangkan pada penelitian ini lebih
terfokus pada teknik relaksasi guided imagery terhadap tingkat nyeri
pasien pre operasi fraktur.
8

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Konsep Fraktur

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya


disebabkan oleh rudapaksa (mansjoer et al, 2000, dalam wahid,2013).
Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans And
Dokumentation menyebutkan bahwa fraktur adalah rusaknya kontinuitas
tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang
dapat diserap oleh tulang.

Fraktur merupakan istilah dari hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan,


baik yang bersifat total maupun sebagian. Secara ringkas dan umum, fraktur
adalah patah tulang yang disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan
dan sudut tenaga fisik, keadaan tulang itu sendiri, serta jaringan lunak
disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi lengkap atau
tidak lengkap (Noor Helmi, Zairin, 2012).

Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada fraktur
tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang. Pada beberapa
keadaan trauma muskuloskeletal, fraktur dan dislokasi terjadi bersamaan. Hal
ini terjadi apabila disamping kehilangan hubungan yang normal antara kedua
permukaan tulang disertai pula fraktur persendian (Noor Helmi, Zairin, 2012).

2.1.1 Proses Fraktur

Untuk mengetahui mengapa dan bagaimana tulang mengalami fraktur,


pemeriksaan perlu mengenal anatomi dan fisiologi tulang sehingga
9

pemeriksa mampu lebih jauh mengenal keadaan fisik tulang dan


keadaan trauma yang dapat menyebabkan tulang patah. Pada beberapa
keadaan, kebanyakan proses fraktur terjadi karena kegagalan tulang
menahan tekanan terutama tekanan membengkok, memutar, dan
tarikan. Trauma muskuloskeletal yang biasa menjadi fraktur dapat
dibagi menjadi trauma langsung dan trauma tidak langsung.

a. Trauma Langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan
terjadi pada daerah terkanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat
komunitif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.

b. Trauma Tidak Langsung


Trauma Tidak Langsung merupakan suatu kondisi trauma
dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur. Misalnya
jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada
klavikula. Pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh.

Fraktur juga bisa terjadi akibat adanya tekanan yang berlebih


dibandingkan kemampuan tulang dalam menahan tekanan. Tekanan
yang terjadi pada tulang dapat berupa hal-hal berikut.

a. Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau


oblik.
b. Tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal.
c. Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur
impaksi, dislokasi, atau fraktur dislokasi.
d. Kompresi vertikal dapat menyebabkan fraktur kominutif atau
memecah, misalnya pada badan vertebra, talus, atau fraktur buckle
pada anak-anak.
10

e. Trauma langsung disertai dengan resistensi pada satu jarak tertentu


dan akan menyebabkan fraktur oblik atau fraktur .
f. Fraktur remuk (brus fracture)
g. Trauma karena tarikan pada ligamen atau tendon akan menarik
sebagian tulang.

2.1.2 Klasifikasi Fraktur

Klasifikasi fraktur dapat dibagi dalam klasifikasi penyebab, klasifikasi


jenis, klasifikasi klinis, dan klasifikasi radiologis.

Klasifikasi Penyebab

2.1.2.1 Fraktur Traumatik

Disebabkan oleh trauma yang tiba-tiba mengenai tulang dengan


kekuatan yang besar. Tulang tidak mampu menahan trauma
tersebut sehingga terjadi fraktur.

2.1.2.2 Fraktur Patologis

Disebabkan oleh kelemahan tulang sebelumnya akibat kelainan


patologis di dalam tulang. Fraktur patologis terjadi pada daerah-
daerah tulang yang telah menjadi lemah karena tumor atau
proses patologis lainnya. Tulang sering kali menunjukkan
penurunan densitas. Penyebab yang paling sering fraktur –
fraktur semacam ini adalah tumor, baik primer maupun
metastasis.

2.1.2.3 Fraktur Stress.

Disebabkan oleh trauma yang terus-menerus pada suatu tempat


tertentu.
11

Klasifikasi Jenis Fraktur

Berbagai jenis fraktur tersebut adalah sebagai berikut

2.1.2.4 Fraktur Terbuka.

2.1.2.5 Fraktur Tertutup.

2.1.2.6 Fraktur Kompresi.

2.1.2.7 Fraktur Stres.

2.1.2.8 Fraktur Avulsi.

2.1.2.9 Greenstick Fraktur (Frakturlentuk Atau Salah Satu Tulang Patah


Sedang Sisi Lainnya Membengkok).

2.1.2.10 Fraktur Transversal.

2.1.2.11 Fraktur Kominutif (Tulang Pecah Menjadi Beberapa Fragmen).

2.1.2.12 Fraktur Impaksi (Sebagian Fragmen Tulang Masuk Ke Dalam


Tulang Lainnya).

Klasifikasi klinis

Manifestasi dari kelainan akibat trauma pada tulang bervariasi. Klinis


yang didapatkan akan memberikan gambaran pada kelainan tulang.
Secara umum keadaan patah tulang secara klinis dapat diklasifikasikan
sebagai berikut.
12

2.1.2.13 Fraktur Terbuka (open fracture).

Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan


dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan lunak,
dapat berbentuk dari dalam (from within) atau dari luar (from
without).

2.1.2.14 Fraktur Dengan Komplikasi (Complicated Fracture)

Fraktur dengan komplikasi adalah fraktur yang disertai dengan


komplikasi misalnya mal-union,delayed union, non-union,serta
infeksi tulang.

Klasifikasi Radiologis

Klasifikasi fraktur berdasarkan penilaian radiologis yaitu penilaian


lokasi/ letak fraktur, meliputi: diafisial, metafisial, intraartikular, dan
fraktur dengan dislokasi (Noor Helmi, Zairin, 2012).

2.1.3 Patofisiologi

Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya


pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih
besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada
tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas
tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta
saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus
tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan
terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera
berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami
13

nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai


dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel
darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses
penyembuhan tulang nantinya (Noor Helmi, Zairin, 2012).

2.1.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Fraktur

2.1.4.1 Faktor Ekstrinsik

Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang


tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat
menyebabkan fraktur.

2.1.4.2 Faktor Intrinsik

Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan


daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi
dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau
kekerasan tulang.

2.1.5 Manifestasi klinik

2.1.5.1 Deformitas

2.1.5.2 Bengkak Atau Edema

2.1.5.3 Echimosis (Memar)

2.1.5.4 Spasme Otot

2.1.5.5 Nyeri

2.1.5.6 Kurang atau Hilang Sensasi

2.1.5.7 Krepitasi
14

2.1.5.8 Pergerakan Abnormal

2.1.5.9 Rontgen Abnormal

2.1.6 Test Diagnostik

2.1.6.1 Pemeriksaan Rontgen : menentukan lokasi atau luasnya fraktur


atau luasnya trauma, scan tulang, temogram, scan CI:
memperlihatkan fraktur juga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.

2.1.6.2 Hitung Darah Lengkap : HB mungkin meningkat atau menurun

2.1.6.3 Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk


ginjal.

2.1.6.5 Profil Koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan


darah, transfusi multiple, atau cedera hati.

2.2 Pre Operasi

Keperawatan perioperatif adalah istilah yang digunakan untuk


menggambarkan keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan dengan
pengalaman pembedahan pasien. Kata “perioperatif” adalah suatu istilah
gabungan yang mencakup tiga fase pengalaman pembedahan – pre operatif,
intra operatif, dan pasca operatif (Brunner & Suddart, 2001). Pendidikan
perioperatif yang terstruktur meliputi standar AORN (2002) dan demonstrasi
latihan perioperatif telah meningkatkan hasil akhir seperti tingkat bertanya
nyeri, fungsi paru, lama tinggal, dan tingkat kecemasan pasien (Potter &
Perry, 2010).

Fase pre operatif dimulai ketika keputusan untuk intervensi bedah dibuat dan
berakhir ketika pasien dikirim ke meja operasi. Pasien dipindahkan ke ruang
pre bedah di atas tempat tidur atau brankar sekitar 15-30 menit sebelum
15

anastesi dimulai (Muttaqin & Sari, 2009). Lingkup aktivitas keperawatan


selama waktu tersebut dapat mencakup penetapan pengkajian dasar pasien di
tatanan klinik atau di rumah, menjalani wawancara pre operatif, dan
menyiapkan pasien untuk anastesi yang diberikan dan pembedahan.
Bagaimanapun, aktivitas keperawatan mungkin dibatasi sehingga melakukan
pengkajian pasien pre operatif di tempat atau ruang operasi (Brunner &
Suddart, 2001).

Pengkajian harus terlebih dahulu dilakukan pada pre operatif. Tujuan dari
pengkajian pasien sebelum operasi adalah untuk menetapkan fungsi normal
pasien perioperatif untuk mencegah dan meminimalkan kemungkinan
komplikasi pascaoperasi. Sebagian besar pengkajian dimulai sebelum
memasuki ruang bedah, tempat penyedia layanan kesehatan, klinik tempat
penerimaan, klinik anestesi, atau melalui telepon (Potter & Perry, 2010).

Reaksi Pasien yang merasa bosan, maka tingkat kewaspadaan terhadap nyeri
meningkat sehingga mempersepsikan nyeri lebih akut. Teknik distraksi dapat
mengalihkan tingkat kewaspadaan klien akan nyerinya bahkan meningkatkan
toleransi terhadap persepsi nyeri yang diterima sehingga dapat mengatasi
nyeri selama pelaksanaan prosedur invasif (Muttaqin, 2008, dalam Machebya
Novita Padang, Dkk. 2017).

2.3 Konsep nyeri

2.3.1 Pengertian

Arthur C. Curton (1983) dalam Prasetyo (2010) mengatakan bahwa


nyeri merupakan suatu mekanisme proteksi bagi tubuh, timbul ketika
jaringan sedang rusak, dan menyebabkan individu tersebut bereaksi
untuk menghilangkan rasa nyeri.
16

Melzack dan Wall (1988) dalam Judha dkk. (2012) mengatakan bahwa
nyeri adalah pengalaman pribadi, subjektif, yang dipengaruhi oleh
budaya, persepsi seseorang, perhatian, dan variabel-variabel psikologis
lain, yang mengganggu perilaku berkelanjutan dan memotivasi setiap
orang untuk menghentikan rasa tersebut.

Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak


menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang bersifat subjektif.

Keluhan sensori yang dinyatakan seperti pegel, linu, ngilu, dan


seterusnya dapat dianggap sebagai modalitas (Muttaqin & Sari, 2008).

Caffery sebagaimana dikutip oleh Potter & Perry (2005), menyatakan


nyeri adalah segala sesuatu yang dikatakan seseorang tentang nyeri
tersebut dan terjadi kapan saja ketika seseorang mengatakan bahwa ia
merasa nyeri. Nyeri merupakan sensasi tidak menyenangkan yang
terlokalisasi pada suatu bagian tubuh. Nyeri seringkali dijelaskan dalam
istilah proses distruksi jaringan seperti ditusuk-tusuk, panas terbakar,
melilit, seperti emosional, pada perasan takut, mual dan muntah.
Terlebih dari, setiap perasaan nyeri dan intensitas sedang sampai kuat
disertai oleh rasa cemas dan keinginan kuat untuk melepaskan diri dari
atau meniadakan perasaan itu (Judha et al, 2012).

Rasa nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh, timbul bila ada


jaringan rusak dan hal ini akan menyebabkan individu bereaksi dengan
memindahkan stimulasi nyeri. Nyeri adalah segala sesuatu yang
17

dikatakan seseorang tentang nyeri tersebut dan terjadi kapan saja


seseorang mengatakan bahwa ia merasa nyeri (Potter & Perry, 2006).

Judha et al. (2012) menyatakan nyeri biasa terjadi karena adanya


rangsangan mekanik atau kimia pada daerah kulit di ujung-ujung syaraf
bebas yang disebut nosireseptor. Pada kehidupan nyeri dapat bersifat
lama dan ada yang singkat, berdasarkan lama waktu terjadinya inilah
maka nyeri dibagi menjadi dua :

2.3.1.1 Nyeri akut

Nyeri akut sebagian terbesar, diakibatkan oleh penyakit, radang,


atau injuri jaringan. Nyeri jenis ini biasanya awitannya datang
tiba-tiba, sebagai contoh, setelah trauma atau pembedahan dan
mungkin menyertai kecemasan atau distres emosional. Nyeri
akut mengindikasikan bahwa kerusakan atau cedera sudah
terjadi. Nyeri akut biasanya berkurang sejalan dengan terjadinya
penyembuhan. Nyeri ini umumnya terjadi kurang dari 6 (enam)
bulan penyebab nyeri yang paling sering adalah tindakan
diagnosa dan pengobatan. Dalam beberapa kejadian jarang
menjadi kronik.

2.3.1.2 Nyeri kronik

Nyeri kronik, secara luas dipercaya menggambarkan


penyakitnya. Nyeri ini konstan dan intermiten yang menetap
sepanjang suatu periode waktu. Nyeri kronik sulit untuk
menentukan awitannya. Nyeri ini dapat menjadi lebih berat yang
dipengaruhi oleh lingkungan dan faktor kejiwaan. Nyeri kronik
berlangsung lebih lama (lebih dari enam bulan) dibandingkan
18

dengn nyeri akut dan resisten terhadap pengobatan. Nyeri ini


dapat dan sering menyebabkan masalah yang berat bagi pasien.

2.3.2 Jenis-jenis nyeri

Price & wilson (2005), mengklasifikasikan nyeri berdasarkan lokasi


atau sumber (Judha et al, 2012) antara lain:

2.3.2.1 Nyeri somatik superfisia (kulit)

Nyeri kulit berasal dari struktur-struktur superfisial kulit dan


jaringan subkutis. Stimulus yang efektif untuk menimbulkan
nyeri di kulit dapat berupa rangsang mekanis, suhu, kimiawi,
atau listrik. Apakah kulit hanya yang terlibat, nyeri sering
dirasakan sebagai penyengat ,tajam, meringis atau seperti
terbakar, tetapi apabila pembuluh darah ikut berperan
menimbulkan nyeri, sifat nyeri menjadi berdeyut.

2.3.2.2 Nyeri somatik dalam

Nyeri somatik dalam mengacu kepada nyeri yang berasal dari


otot, tendon, ligamentum, tulang, sendi dan arteri.

Struktur-struktur ini memiliki lebih sedikit reseptor nyeri


sehingga lokalisasi nyeri kulit dan cenderung menyebar
kedaerah sekitarnya.

2.3.2.3 Nyeri visera


19

Nyeri visera mengacu kepada nyeri yang berasal dari organ-


organ tubuh. Reseptor nyeri visera lebih jarang dibandingkan
dengan respon nyeri somatik dan terletak dinding otot polos
organ-organ berongga. Mekanisme utama yang menimbulkan
nyeri visera adalah peragangan atau distensi abnormal dinding
atau kapsul organ, iskimia dan peradangan.

2.3.2.4 Nyeri alih

Nyeri alih didefinisikan sebagai nyeri berasal dari salah satu


daerah ditubuh tetapi dirasakan terletak di daerah lain. Nyeri
visera sering dialihkan kedermaton (daerah kulit) yang
dipersarafi oleh segmen medula spinalis yang sama dengan
viksus yang nyeri tersebut berasal dari masa mudigah , tidak
hanya di tempat organ tersebut berada pada masa dewasa.

2.3.2.5 Nyeri neuropati

Sistem saraf secara normal menyalurkan rangsangan yang


merugikan dari sistem saraf tepi (SST) ke sistem saraf pusat
(SSP) yang menimbulkan perasaan nyeri. Dengan demikian, lesi
di SST atau SSP dapat menyebabkan gangguan nyata hilang
sensasi nyeri. Nyeri neuropatik sering memiliki kualitas seperti
terbakar, perih atau seperti terserang listrik. Pasien dengan nyeri
neuropatik menderita akibat instabilitas Sistem Saraf Otonom
(SSO). Dengan demikian, nyeri sering bertambah parah oleh
stres emosi atau fisik (dinding, kelelahan) dan mereda oleh
relaksasi.
20

2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri

Adapun beberapa faktor nyeri yang mempengaruhi nyeri menurut


muttaqin & Sari (2008), antara lain:

2.3.3.1 Usia

Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri,


khususnya pada anak dan lansia. Perbedaan perkembangan
yang diitemukan diantara kelompok usia ini dapat
mempengaruhi anak dan lansia bereaksi terhadap nyeri. Anak
yang masih kecil mempunyai kesulitan memahami nyeri dan
prosuder yang dilakukan perawat yang menyebabkan nyeri.
Anak-anak kecil yang belum dapat mengucapkan kata-kata juga
mengalami kesulitan untuk mengungkapkan secara verbal dan
mengekspresikan nyeri kepada orang tua atau perawat.

2.3.3.2 Jenis kelamin

Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara makna


dalam respon terhadap nyeri. Diragukan apakah hanya jenis
kelamin saja yang merupakan suatu faktor dalam
mengekspresikan nyeri. Toleransi nyeri sejak lama telah
menjadi sunyek penelitian yang melibatkan pria dan wanita,
akan tetapi toleransi terhadap nyeri dipengaruhi oleh faktor-
faktor biokimia dan merupakan hal yang unik pada setiap
individu tanpa memperhatikan jenis kelamin.

2.3.3.3 Kebudayaan

Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu


mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan
21

apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi


bagaimana bereaksi terhadap nyeri. Petugas kesehatan sering
kali berasumsi bahwa cara mereka lakukan dan apa yang mereka
yakini sama dengan cara dan keyakinan orang lain.

2.3.3.4 Makna nyeri

Pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap


nyeri. Hal ini juga dikaitkan secara dekat dengan latar belakang
budaya individu tersebut. Individu mempersipsikan dengan cara
berbeda-beda apabila nyeri tersebut memberikan kesan
ancaman, suatu kehilangan, hukuman dan tantangan. Misalnya
seseorang wanita yang melahirkan akan mempersepsikan nyeri,
akibat cedera karena pukulan pasangannya. Derajat dan kualitas
nyeri yang dipersiapkan nyeri klien berhubungan dengan makna
nyeri.

2.3.3.5 Perhatian

Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang


meningkatkan sedangkan upaya pengalihan dihubungkan
dengan respon nyeri yang menurun. Dengan memfokuskan
perhatian dan konsentrasi klien pada stimulus yang lain, maka
perawat menempatkan nyeri pada kesadaran yang perifer.
Biasanya hal ini menyebabkan toleransi nyeri individu
meningkat, khususnya terhadap nyeri yang berlangsung hanya
selama waktu pengalihan.
22

2.3.3.6 Ansietas

Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas


seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat
menimbulkan suatu perasaan ansietas. Pola bangkitan otonom
adalah sama dalam nyeri ansietas. Paice (1991) melaporkan
suatu bukti bahwa stimulus nyeri mengaktifkan bagian sistem
limbik dapat memproses reasi emosi seseorang, khususnya
ansietas. Sistem limbik dapat memproses reaksi emosi
seseorang, khususnya ansietas. Sistem limbik dapat memproses
reaksi emosi seseorang terhadap nyeri, yakni memperburuk atau
menghilangkan nyeri.

2.3.3.7 Keletihan

Kelitihan meningkatkan persepsi nyeri, rasa kelelahan


menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan
kemampuan koping. Hal ini dapat menjadi masalah umum pada
setiap individu yang menderita penyakit dalam jangka lama.
Apabila keletihan disertai kesulitan tidur, maka persepsi nyeri
terasa lebih berat dan jika mengalami suatu proses periode tidur
yang baik maka nyeri berkurang.

2.3.3.8 Pengalaman sebelumnya

Pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa


individu akan menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa
yang akan datang. Apabila individu sejak lama sering
mengalami serangkaian episode nyeri tanpa pernah sembuh
maka rasa takut akan muncul, dan juga sebaliknya. Akibatnya
23

klien akan lebih siap untuk melakukan tindakan-tindakan yang


diperlukan untuk menghilangkan nyeri.

2.3.3.9 Gaya koping

Pengalaman nyeri dapat menjadi suatu pengalaman yang


membuat merasa kesepian, gaya koping mempengaruhi
mengatasi nyeri.

2.3.3.10 Dukungan keluarga dan sosial

Faktor lain yang bermakna mempengaruhi respon nyeri adalah


kehadiran orang-orang terdekat klien dan bagaimana sikap
mereka terhadap klien. Walaupun nyeri dirasakan, kehadiran
orang yang bermakna bagi pasien akan meminimalkan
kesepian dan ketakutan. Apabila tidak ada keluarga atau teman,
seringkali mengalami nyeri membuat klien semakin tertekan,
sebaliknya tersedianya seseorang yang memberi dukungan
sangatlah berguna karena akan membuat seseorang merasa
lebih nyaman. Kehadiran orang tua sangat penting bagi anak-
anak yang mengalami nyeri.

2.3.4 Fisiologi Nyeri

Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi, dan perilaku. Cara yang
paling baik untuk memahami pengalaman nyeri, akan membantu untuk
menjelaskan tiga komponen fisiologis berikut, yakni : resepsi, persepsi,
dan reaksi. Stimulus penghasil nyeri mengirimkan impuls melalui
serabut perifer. Serabut nyeri memasuki medula spinalis dan menjalani
salah satu dari beberapa rute saraf dan akhirnya sampai di dalam massa
24

pewarna abu-abu di medula spinalis. Terdapat pesan nyeri dapat


berinteraksi dengan sel-sel saraf inhibitor, mencegah stimulus nyeri
sehingga tidak mencapai otak atau ditranmisi tanpa hambatan ke korteks
serebral, maka otak mengintrerpretasi kualitas nyeri dan memproses
informasi tentang pengalaman dan pengetahuan yang lalu serta asosiasi
kebudayaan dalam upaya mempersipsikan nyeri ( Potter & Perry, 2006).

2.3.5 Pengkuran Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan


oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan
individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan
sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan
pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon
fisiologis tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan
teknik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu
sendiri (Tamsuri, 2007).

2.3.6 Karateristik nyeri

Menurut Judha et al (2012) Karakteristik nyeri dapat dilihat atau diukur


berdasarkan lokasi nyeri, durasi nyeri (menit, jam, hari, atau bulan),
irama / periodenya (terus menerus, hilang timbul, periode bertambah
atau berkurang intensitas) dan kualitas ( nyeri seperti di tusuk-tusuk,
terbakar, sakit nyeri dalam atau superfisial, atau bahkan seperti di
gancet).
25

Karakteristik dapat juga dilihat nyeri berdasarkan metode PQRST, P


Provocate ( faktor pencetus atau pengurang) , Q Quality (gambaran atau
sifat nyeri ), R Region ( lokasi nyeri), S Savera (keparahan atau skala
nyeri ), T Time ( berapa lama nyeri dirasakan) . Berikut keterangannya :

2.3.6.1 P : Provocate

tenaga kesehatan harus mengkaji tentang penyebab


terjadinya nyeri pada penderita, dalam hal ini perlu
dipetimbangkan bagian-bagian tubuh mana yang mengalami
cedera termasuk menghubungkan antara nyeri yang diderita
dengan faktor fisiologisnya, karena biasa terjadinya nyeri
hebat karena dari faktor fisiologis bukan dari luka.

2.3.6.2 Q : Quality

kualitas nyeri merupakan sesuatu yang subjektif yang


diungkapkan oleh klien, seringkali klien mendeskripsikan
nyeri dengan kalimat nyeri seperti ditusuk, terbakar, sakit
nyeri dalam atau superfisial, atau bahkan seperti di gancet.

2.3.6.3 R : Ragion

untuk mengkaji lokasi, tenaga kesehatan meminta penderita


untuk menunjukkan semua bagian / daerah yang dirasakan
tidak nyaman. Untuk melokalisasi lebih spesifik maka
sebaiknya tenaga kesehatan meminta penderita untuk
menunjukkan daerah yang nyerinya minimal sampai kearah
nyeri. Namun hal ini akan sulit dilakukan apabila nyeri yang
dirasakan bersifat menyebar atau difuse.
26

2.3.6.4 S : Savera

tingkat keparahan merupakan hal yang paling subyektif yang


dirasakan oleh penderita, karena akan diminta bagaimana
kualitas nyeri, kualias nyeri harus bisa gambarkan
menggunakan skala yanng sifatnya kuantitas.

2.3.7 Skala atau pengukuran nyeri

2.3.7.1 Skala intensitas nyeri numerik

Keterangan :

Tidak nyeri = Bila skala intensitas nyeri numerik 0

Nyeri ringan = Bila skala intensitas nyeri numerik 1-4

Nyeri sedang = Bila skala intensitas nyeri numerik 5-7

Nyeri hebat = Bila skala intensitas nyeri numerik 8-10


27

2.3.7.2 Skala Intensitas Nyeri Deszkripsi

2.3.7.3 Skala analog visual

Keterangan :

Tidak nyeri = 0

Nyeri sangat hebat = 10

2.3.7.4 Skala Nyeri Menurut Bourbanis

Keterangan :

a. Tidak nyeri = 1

b. Nyeri ringan, secara obyektif klien dapat berkomunikasi = 1-3

c. Nyeri sedang, secara obyektif klien mendesis, dapat


menenjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat
mengikuti perintah dengan baik = 4-6
28

d. Nyeri berat, secara obyektif klien terkadang tidak dapat


mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan dapat
menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat di atasi dengan alih posisi
nafas panjang dan distraksi = 7-9

e. Nyeri sangat berat, pasien tidak mampu lagi berkomunikasi =


10

2.3.7.5 Skala Wajah

2.4 Penatalaksanaan Nyeri

Menurut Potter & Perry (2006), ada dua metode umum untuk terapi nyeri
antara lain :

2.4.1 Pendekatan Farmakologis

Beberapa agens farmakologis digunakan untuk menangani nyeri. Semua


agen tersebut memerlukan resep dokter. Keputusan perawat, dalam
menggunakan obat-obatan dan penatalaksanaan klien yang menerima
terapi farmakologis, membantu dalam upaya memastikan penanganan
nyeri yang mungkin dilakukan.

2.4.1.1 Terapi Farmakologis

Jenis-jenis obat- obat farmaologis menurut Muttaqin & Sari


(2008), antara lain :

a) Analgesik
29

Analgesik merupakan metode yang paling umum untuk


mengatasi nyeri. Walaupun analgesik dapat menghilangkan
nyeri dengan efektif, perawat dan dokter masih cenderung
tidak melakukan upaya analgesik dalam penanganan nyeri
karena informasi obat yang tidak benar, adanya kekhawatiran
klien akan mengalami ketagihan obat, cemas akan melakukan
kesalahan dalam menggunakan analgesik narkotik, dan
pemberian obat yang kurang dari yang diresepkan. Perawat
harus mengetahui obat-obatan yang tersedia untuk
menghilangkan nyeri dan efek-efek farmakologis obat-obatan
tersebut.

Analgesik terbagi menjadi tiga jenis , yaitu :

1. Non-narkotik dan obat-obatan anti-anflamasi nonsteroid


(NSAIDs)

2. Analgesik narkotik atau Opiat

3. Obat tambahan (adjuvan) atau ko-analgesik

2.4.2 Pendekatan Non-Farmakologis

Judha et al. (2012) menjelaskan manajemen nyeri nonfarmakologis


merupakan tindakan menurunkan respons nyeri tanpa menggunakan
agen farmakologi. Manajemen nyeri non-farmakologi sangat beragam,
yaitu:

a. Imaginery

Metode ini menggunakan memori tentang peristiwa-peristiwa yang


menyenangkan bagi anda atau mengembangkan pemikiran-pemikiran
anda untuk mengurangi nyeri. Atlet menggunakan imagery seperti
30

gambar kemenangannya dalam perlumbaan, dan penderita kanker


membayangkan chemotherapi yang membunuh sel kanker.

b. Teknik relaksasi

Ketegangan otot, kecemasan, nyeri adalah perasaan yang tidak


nyaman. Masing-masing perasaan secara individu dapat memperhebat
perasaan yang lain dan menciptakan suatu siklus hebat. Teknik
relaksasi dapat membantu memutuskan siklus ini. Teknik ini meliputi
meditasi, yoga, musik, dan ritual keagamaan. Penggunaan teknik
relaksasi tidak menyiratkan bahwa nyeri itu tidak nyata, tetapi hanya
membantu menurunkan ketakutan atau kecemasan berhubungan
dengan nyeri sedemikian rupa sehingga tidak bertambah buruk.

c. Distraksi

Metode ini berfokus pada perhatian seseorang atas sesuatu selain dari
nyeri. Teknik ini paling efektif untuk nyeri yang dirasakan sesaat saja,
sebagai contoh, injeksi dan pengambilan darah.

d. TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation)

Alat ini bekerja seperti menggunakan tempelan dikulit. Tempelan ini


memancarkan impuls yang akan memblok nyeri pada nervesnya.
Metode penghilang rasa sakit menggunakan mesin TENS
(Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation) dipilih jika rasa sakit
ingin hilang tanpa menggunakan obat. Mesin ini merupakan sensor
elektronik yang membantu tubuh menahan rasa sakit dengan
mengirim pulsa arus listrik ke punggung. Beberapa elektroda
ditempelkan di atas saraf punggung menuju rahim dan dihubungkan
dengan panel kontrol yang di pegang untuk menambah atau
mengurangi arus listrik. Alat ini mudah digunakan dan tidak
membahayakan.
31

2.5 Konsep Guided Imagery

2.5.1 Definisi

Guided Imagery atau Imagery terbimbing adalah pengembangan fungsi


mental yang mengekspresikan diri secara dinamika melalui proses
psikofisiologikal melibatkan seluruh indra dan membawa perubahan
terhadap perilaku, persepsi atau respon fisiologik dengan bimbingan
seseorang atau melalui media (Endang Nurgiwiati,2015).

Alur respon imagery terdiri dari alur neuroendokrin dan alur sistem
syaraf autonomic. Berdasarkan alur respon neuroendokrin, guided
imagery dapat mempengaruhi hypothalamus kelenjar pituitary dan
adrenal sehingga menurunkan glukokortikoid dan kadar catecholamine.
Sedangkan dari alur sistem syaraf autonomik, terdapat hubungan antara
sistem syaraf simpatik dan parasimpatik yang dapat merespon terhadap
stimulas nyata dan imaginatif.

Guided Imagery pada dasarnya mengarahkan diri sendiri untuk berpikir


dan berimajinasi secara positif sehingga merangsang serotonin untuk
mengeluarkan zat kimiawi yang bersifat menyenangkan sehingga
menurunkan kecemasan dan meningkatkan sistem imunitas tubuh
(Tusek, Cwynar,2000, dalam Endang Nurgiwiati,2015).

Guided Imagery (imajinasi terbimbing) adalah menggunakan imajinasi


seseorang dalam suatu cara yang direncanakan secara khusus untuk
mencapai efek positif tertentu. Sebagai contoh, imajinasi terbimbing
untuk relaksasi dan meredakan nyeri dapat terdiri atas menggabungkan
napas berirama lambat dengan suatu bayangan mental relaksasi dan
kenyamanan. Dengan mata terpejam, induvidu diinstrusikan untuk
membayangkan bahwa dengan setiap napas yang diekshalasi secara
lambat ketegangan otot dan ketidaknyamanan dikeluarkan,
32

menyebabkan tubuh yang rileks dan nyaman. Setiap kali menghirup


napas, klien harus membayangkan energi penyembuh dialirkan
kebahagian yang tidak nyaman. Setiap kali napas dihembuskan, klien
diintruksikan untuk membayangkan bahwa udara yang di hembuskan
membawa pergi nyeri dan ketegangan (Muttaqin & Sari, 2008).

Imagery merupakan teknik relaksasi seperti meditasi dan self hipnosis


yang aman terutama jika dibimbing oleh tenaga kesehatan professional
dan terlatih. Beberapa orang melaporkan menggunakan teknik ini
merasa mudah, tetapi memerlukan waktu, kesabaran, dan latihan yang
terus menerus, kadang-kadang memerlukan seseorang atau media seperti
audiotape, atau CD, yang membimbing agar lebih konsentrasi sehingga
disebut dengan guided imagery (imagery yang terbimbing) dan latihan
ini dapat dilakukan pada ruangan nyaman dan tenang, biasanya
memerlukan waktu 10-5 menit, dapat dilakukan setiap hari.

2.5.2 Fisiologi Guided imagery

Imajinasi terbimbing (Guided imagery) merupakan suatu teknik yang


menuntut seseorang untuk membentuk sebuah bayangan / imajinasi
tentang hal-hal yang disukai. Imajinasi yang terbentuk tersebut akan
diterima sebagai rangsangan oleh berbagai indra, kemudian rangsangan
tersebut akan di jalani ke batang otak menuju sensor thalamus.
Ditalamus rangsangan diformat sesuai dengan bahasa otak, sebagian
kecil rangsangan itu ditransmisikan ke amigdala dan hipokampus
sekitarnya dan sebagian besar lagi dikirim ke konteks serebri, dikorteks
serebri terjadi proses asosiasi pengindraan dimana rangsangan dianalisis,
dipahami dan disusun menjadi sesuatu yang nyata sehingga otak
mengenali objek dan arti kehadiran tersebut. Hipokampus berperan
sebagai penentean sinyal sensorik di anggap penting atau tidak sehingga
jika hipokampus hingga diproses menjadi memori. Ketika terdapat
rangsangan berupa bayangan tentang hal-hal yang disukai tersebut,
33

memori yang telah tersimpan akan muncul kembali dan menimbulkan


suatu persepsi dari pengalaman sensasi yangt sebenarnya, walaupun
pengaruh / akibat yang timbul hanyalah suatu memori dari suatu sensasi
(Guyanton and Hall, 2007).

2.5.3 Tujuan Guided imagery

Guided imagery mempunyai elemen yang secara umum sama dengan


relaksasi, yaitu sama-sama membawa klien kearah relaksasi. Tujuan dari
teknik Guided imagery yaitu menimbulkan respon psikofisiologis yang
kuat seperti perubahan dalam fungsi imun ( Potter & Perry, 2009 dalam
Hendy, 2014). Penggunaan Guided imagery tidak dapat memusatkan
perhatian pada banyak hal dalam satu waktu oleh karena itu klien harus
membayangkan satu imajinasi yang sangat kuat dan menyenangkan (
Brannon & Freist, 2000 dalam Hendy, 2014).

2.5.4 Manfaat

Manfaat dari teknik Guided imagery yaitu sebagai intervensi perilaku


untuk mengatasi kecemasan, stres, dan nyeri ( Smeltzer dan Bare,2002
dalam Hendy, 2014) menjelaskan aplikasi klinik Guided imagery yaitu
sebagai penghancur sel kangker, untuk mengontrol dan mengurangi rasa
nyeri, serta untuk mencapai ketenangan dan ketentraman ( Potter &
Perry, 2009 dalam Hendry, 2014).

Guided imagery merupakan imajinasi yang direncanakan secara khusus


untuk mencapai efek positif. Dengan membahayakan hal – hal yang
menyenangkan maka akan terjadi perubahan aktifitas motorik sehingga
otot–otot yang tegang menjadi relaks, respon terhadap bayangan
menjadi semakin jelas. Hal tersebut terjadi karena rangsangan imajinasi
berupa hal – hal yang menyenangkan akan menjalankan ke batang otak
menuju sensor thalamus untuk di format. Sebagian kecil ransangan itu di
34

transmisikan ke amigdala dan hipokampus, sebagian lagi di kirim ke


korteks serebri. Sehingga pada konteks serebri akan terjadi asosiasi
pengindraan. Pada hipokampus hal-hal yang menyenangkan akan
diproses menjadi sebuah memori. Ketika terdapat rangsangan berupa
imajinasi yang menyenangkan memori yang tersimpan akan muncul
kembali dan menimbulkan suatu proses. Dari hipokampus rangsangan
yang telah mempunyai makna dikirim ke amigdala yang akan
membentuk pola respon yang sesuai dengan makna rangsangan yang
diterima. Sehingga subjek akan lebih mudah untuk mengasosiasikan
dirinya dalam menurunkan sesuai nyeri yang dialami (dalam Hendry,
2014).

2.5.5 Langkah-langkah

Teknik ini dimulai dengan proses relaksasi pada uumnya yaitu meminta
kepada klien untuk perlahan – lahan menutup matanya dan fokus pada
nafas mereka, klien di dorong untuk relaksasi mengosongkan pikiran
dan memenuhi pikiran dengan bayangan untuk membuat damai dan
tenang (Rahmayati, 2010 dalam Patastik et al, 2013).

Menurut Kozier & Erb, (2009) dalam Hedry, (2014) mengatakan bahwa
langkah-langkah dalam melakukan Guided Imagery yaitu :

2.5.5.1 Untuk persiapan, mencari lingkungan yang nyaman dan tenang,


bebas dari distraksi. Lingkungan yang bebas dari distraksi diperlukan
oleh subjek guna berfokus pada imajinasi yang dipilih. Untuk
pelaksanaan, subjek harus tahu rasional dan keuntungan dari teknik
imajinasi terbimbing. Subjek merupakan partisipan aktif dalam latihan
imajinasi dan harus memahami secara lengkap tentang apa yang harus
dilakukan dan hasil akhir yang diharapkan. Selanjutnya memberikan
35

kebebasan kepada subjek. Membantu subjek ke posisi yang nyaman


dengan cara : membantu subjek untuk bersandar dan meminta menutup
matanya. Posisi nyaman dapat meningkatkan fokus subjek selama
latihan imajinasi. Menggunakan sentuhan jika hal ini tidak membuat
subjek terasa terancam. Bagi beberapa subjek, sentuhan fisik mungkin
mengganggu karena kepercayaan budaya dan agama mereka.

2.5.5.2 Langkah berikutnya menimbulkan relaksasi. Dengan cara


memanggil nama yang disukai. Berbicara jelas dengan nada yang tenang
dan netral. Meminta subjek menarik nafas dalam dan perlahan untuk
merelaksasikan semua otot. Untuk mngatasi nyeri atau stres, dorong
subjek untuk membayangkan hal-hal yang menyenangkan. Setelah itu
membantu subjek merinci gambaran dari bayangannya. Mendorong
subjek untuk menggunakan semua inderanya dalam menjelaskan
bayangan dan lingkungan bayangan tersebut.

2.5.5.3 Langkah selanjutnya meminta subjek untuk menjelaskan


perasaan fisik dan emosional yang ditimbulkan oleh bayangannya.
Dengan mengarahkan subjek untuk mengeksplorasi respon terhadap
bayangan karena ini akan memungkinkan subjek memodifikasi
imajinasinya. Respon negatif dapat diarahkan kembali untuk
memberikan hasil akhir yang lebih positif. Selanjutnya memberikan
umpan balik kontinyu kepada subjek. Dengan memberi komentar pada
tanda-tanda relaksasi dan ketentraman. Setelah itu membawa subjek
keluar dari bayangan. Setelah pengalaman imajinasi dan mendiskusikan
perasaan subjek mengenai pengalamannya tersebut. Serta
mengidentifikasi setiap hal yang dapat meningkatkan pengalaman
imajinasi. Selanjutnya motivasi subjek untuk mempraktikkan teknik
imajinasi secara mandiri.
36

Guided imagery merupakan teknik yang menggunakan imajinasi


seseorang untuk mencapai efek positif tertentu (Smeltzer, Bare, &
Hinkle, 2010).Teknik ini dimulai dengan proses relaksasi pada
umumnya yaitu meminta kepada klien untuk perlahan-lahan menutup
matanya dan fokus pada nafas mereka, klien didorong untuk relaksasi
mengosongkan pikiran dan memenuhi pikiran dengan bayangan untuk
membuat damai dan tenang (Rahmayati, 2010).

2.6 Kerangka Konsep


Pre Operasi
Fraktur

Teknik Relaksasi
Guided Imagery

Nyeri Sebelum Nyeri Sesudah


Diberikan Teknik Diberikan Teknik
Guided Imagery Guided Imagery

2.7 Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah ada pengaruh teknik relaksasi guided
imagery terhadap tingkat nyeri pasien pra operasi fraktur di ruang Orthopedi
RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2018.
BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian pra-eksperimental dengan


bentuk penelitian one-group pra-post design dimana penelitian ini dilakukan
dengan melakukan wawancara dan observasi (pengukuran) skala nyeri
sebelum dan setelah diberikan intervensi pada satu kelompok klien pre
operasi fraktur.

01 X 02

Skema 3.1 one-group pretest-posttest design

Keterangan;

O1 : Pretest (skala nyeri sebelum dilakukan intervensi)


X : Intervensi (teknik relaksasi guided imagery)
O2 : Posttest (skala nyeri sesudah dilakukan intervensi)

3.2 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati


dari sesuatu yang didefinisikan tersebut. Karakteristik yang dapat diamati
(diukur) itulah yang merupakan kunci definisi operasional. Dapat diamati
artinya memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran
secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena yang kemudian dapat
diulangi lagi oleh orang lain (Nursalam, 2015).

38
39

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Operasional Parameter Alat Ukur Skala katagori

1. Variabel Suatu tindakan/ Reponden akan Pemutar Ordinal Pemberian


independen: intervensi keperawatan dibimbing relaksasi rekaman suara intervensi
Intervensi yang diberikan pada guided imagery (MP3/handph sesuai SOP
pemberian responden pre operasi melalui sebuah one dan teknik
teknik relaksasi fraktur dengan cara rekaman berisi headset) relaksasi
guided imagery teknik relaksasi guided petunjuk guided
imagery (imajinasi bimbingan relaksasi imagery
terbimbing) responden guided imagery.
diiringi dengan
mendengarkan rekaman
berdurasi kurang lebih 11
menit dengan
menggunakan
MP3/handphone serta
headset.
2. Variabel: nyeri Pengalaman sensori dan Mengamati dan Skala Ordinal 1.Tidak
Pre operasi emosional yang tidak mengukur skala intensitas nyeri=0
fraktur menyenangkan akibat nyeri ringan sampai nyeri numerik
nyeri yang dirasakan sangat berat. 2. Nyeri
pasien pre operasi ringan=
fraktur. Terdiri dari nyeri 1-4
ringan sampai sangat
berat. 3.Nyeri
sedang= 5-
7

4. Nyeri
hebat=
8-10
40

3.3 Populasi, Sampel, dan Sampling

3.3.1 Populasi
Menurut Nursalam (2015) Populasi dalam penelitian adalah subjek
memenuhi kriteria yang telah ditetapkan. Populasi yang digunakan oleh
peneliti ini adalah seluruh klien pre operasi fraktur.....Orang yang
didapatkan dari rata-rata jumlah pasien pre operasi fraktur per bulan.
3.3.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan krakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut (Sugiyono, 2009).

3.3.3 Teknik sampling pada penelitian ini menggunakan accidental sampling,


yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti, dapat
digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang yang kebetulan
ditemui cocok sebagai sumber data. Penelitian ini menentukan besar
sampel berdasarkan waktu yang ditentukan oleh peneliti dan
berdasarkan kriteria sampling yang ditentukan peneliti

3.3.3.1 Kriteria inklusi


Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari
suatu populasi target yang terjangkau dan akan diteliti antara
lain:
a. Pasien dengan tingkat kesadaran normal.
b. Pasien tidak mengalami gangguan pendengaran
c. Pasien yang berusia 17- > 50 tahun
d. pasien bisa berkomunikasi dengan baik
41

e. pasien bersedia menjadi responden dan mengikuti aturan


sampai selesai penelitian.
f. Pasien berada ditempat penelitian.

3.3.3.2 Kriteria ekslusi


Kriteria ekslusi adalah menghilangkan/mengeluarkan subjek
yang memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab.
a. Pasien yang mengalami kegelisahan, ketakutan
b. Pasien menunjukkan rasa tidak nyaman saat diberikan
relaksasi guided imagery.

3.4 Tempat dan Waktu Penelitian


3.4.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Ruang Orthopedi RSUD Ulin
Banjarmasin. lokasi ini dipilih karena RSUD Ulin Banjarmasin
merupakan rumah sakit pendidikan dan menjadi rujukan utama di
Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
3.4.2 Waktu penelitian
Waktu pengumpulan data dilakukan dari bulan Maret smpai
bulan.....Pengumpulan data, adapun seiring jadwal penelitian dapat lihat
pada tabel 3.4 :
No. Kegiatan Rentang Waktu

1. Penentuan payung penelitian 03-31 Oktober 2017

2. Bimbingan proposal dan Skripsi (P1 13 November 2017-10 Juli


dan P2) 2018

3. Seminar Proposal 26 Desember 2017-28


Pebruari 2018

4. Revisi Proposal 02 Januari 2018-23 April 2018


42

5 Prosedur komite etik, penelitian dan 9 Januari 2018-23 April 2018


bimbingan hasil penelitian (P1 dan
P2)
6. Ujian Skripsi 13 Maret 2018-24 Juli 2018

7. Yudisium 2 Agustus 2018

8. Wisuda Akan ditentukan Kemudian

3.5 Alat Pengumpulan Data


Alat yang digunakan pada pengumpulan data (Nursalam, 2010)
3.5.1 Instrumen Variabel Independen
Alat penelitian relaksasi guided imagery yakni sebuah pemutar
(MP3/Handphone) yang berisi rekaman suara bimbingan relaksasi
imajinasi yang berdurasi 11 menit, serta sebuah headset agar klien bisa
fokus terhadap terapi, dan rekaman suara di buat oleh peneliti
berdasarkan dari SOP yang dibuat (pedoman terlampir).

3.5.2 Instrumen Variabel Dependen


Instrumen pengumpulan data terdiri dari lembar observasi intesitas
nyeri dengan menggunakan pengukuran nyeri Numerical Rating Scale
(NRS) dan lembar observasi rasa nyeri sebelum dan sesudah diberikan
teknik relaksasi guided imagery.

Gambar 3.1 Numerical rating scales (Judha, et al. 2012)


43

3.6 Teknik Pengambilan Data

Pada tahap pengumpulan data dilakukan dengan cara meminta izin untuk
melaksanakan penelitian terlebih dahulu kepada Kepala Ruangan Orthopedi,
Kepala Instalasi Rekam Medik di RSUD Ulin Banjarmasin lalu setelah
mendapatkan izin peneliti baru melakukan penelitian. Observasi dilakukan
oleh peneliti sendiri dengan sebelumnya menjelaskan maksud dan tujuan
penelitian dan perlakuan apa yang akan diberikan lalu meminta kesediaan
klien untuk menjadi responden penelitian dengan menandatangani lembar
persetujuan menjadi responden. Pengumpulan data dilakukan dengan cara
mewawancarai responden sebanyak dua kali, yang pertama wawancara
dilakukan sebelum diberikan perlakuan dan yang kedua yaitu wawancara
setelah diberikan perlakuan dengan alat ukur yang sama tentang nyeri
langsung kepada responden mengenai skala nyeri pre operasi fraktur yaitu
apakah skala responden masuk dalam skala ringan, sedang, berat atau sangat
berat dengan menggunakan numerical rating scale.

Sebelum peneliti memberikan teknik guided imagery. Peneliti mengukur


tingkat skala nyeri responden sebelum diberi perlakuan. Kemudian
memberikan perlakuan kepada responden. Setelah di berikan teknik relaksasi
guided imagry kemudian peneliti mengukur skala nyeri responden sesudah
diberikan perlakuan. Peneliti mengukur penggunaan skala nyeri dengan
lembar kuesioner. Dimana kuesioner ini dilakukan secara wawancara oleh
peneliti.

3.7 Teknik Analisis Data

3.7.1 Pengolahan Data


Menurut Notoadmodjo (2010) Pengolahan data dilakukan dengan
menggunakan komputer. Langkah-langkah pengolahan data yang
dilakukan :

3.7.1.1 Editing
Data yang diperoleh dicek kebenarannya, serta kelengkapannya
apabila data tersebut tidak lengkap maka akan dilakukan
pengukuran ulang.
44

3.7.1.2 Coding
Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka)
Terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian
kode ini sangat penting bila pengolahan dan analisis data
menggunakan komputer. Biasanya dalam pemberian kode
dibuat juga daftar kode dan artinya dalam satu buku untuk
memudahkan kembali melihat lokasi dan arti suatu kode dari
suatu variabel, yaitu memasukan data ke spss seperti umur, jenis
kelamin, dan kode skala nyeri ringan 1-2, sedang 3-5, dan 6-7
berat.
3.7.1.3 Processing
Adalah kegiatan memasukkan data ke dalam program atau
“software” komputer.
3.7.1.4 Cleaning
Cleaning (pembersihan data) adalah kegiatan pengecekan
kembali untuk melihat kemungkinan adanya kesalahan kode,
ketidaklengkapan dan sebagainya kemudian dilakukan
pembetulan atau koreksi.

3.8 Teknik Analisa Data


3.8.1 Analisa Univariat Yaitu menjelaskan atau mendiskripsikan karakteristik
setiap variabel penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya
menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel.
Data hasil analisis univariat menggambarkan variabel dependen yaitu
tingkat nyeri klien pre operasi fraktur sebelum dan sesudah diberikan
terapi relaksasi n guided imagery pada klien pre operasi fraktur Di
Ruang Orthopedi RSUD Ulin Banjarmasin.

3.8.2 Analisis Bivariat


Teknik analisis bivariat untuk menganalisis variabel bebas terhadap
variabel terikat menggunakan Uji Wilcoxon Signed Rank Test. Uji ini
45

merupakan uji non parametris untuk mengukur signifikansi pengaruh


antara dua kelompok data berpasangan berskala ordinal atau interval
tetapi berdistribusi tidak normal digunakan karena data yang diuji
merupakan data kelompok sampel yang berpasangan dengan skala
ordinal. Asumsi atau syarat dari uji ini antara lain :
a. Variabel dependen berskala data ordinal atau interval / rasio.
b. Variabel independen terdiri dari dua kategori yang bersifat
berpasangan yang artinya subjek sebagai sumber data adalah satu
individu atau observasi yang sama.
c. Bentuk dan sebaran data antara dua kelompok yang berpasangan
adalah simetris.

Rumus Uji Wilcoxon Signed Rank Test adalah sebagai berikut:

Keterangan :

N = jumlah data

T = jumlah rangking dari nilai selisih yang negatif atau positif

Z = hasil uji Wilcoxon

Interpretasi hasil apabila nilai < alpha 0,05 maka


diinterpretasikan Ha diterima yaitu : ada pengaruh teknik
relaksasi guided imagery untuk mengatasi nyeri pada klien pre
operasi fraktur.
46

3.9 Etika Penelitian

Menurut Nursalam (2014) Secara umum prinsip etika dalam


penelitian/pengumpulan data dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu
prinsip manfaat, prinsip menghargai hak-hak subjek, dan prinsip keadilan.

3.9.1 Prinsip manfaat

3.9.1.1 Bebas dari penderitaan


Penelitian harus dilaksanakan tanpa mengakibatkan penderitaan
kepada subjek, khususnya jika menggunakan tindakan khusus.
3.9.1.2 Bebas dari eksploitasi

Partisipasi subjek dalam penelitian, harus dihindarkan dari


keadaan yang tidak menguntungkan. Subjek harus diyakinkan
bahwa partisipasinya dalam penelitian atau informasi yang telah
diberikan, tidak akan dipergunakan dalam hal-hal yang dapat
merugikan subjek dalam bentuk apa pun.

3.9.1.3 Risiko (benefits ratio)


Peneliti harus hati-hati mempertimbangkan risiko dan
keuntungan yang akan berakibat kepada subjek pada setiap
tindakan.

3.9.2 Prinsip menghargai hak asasi manusia (respect human dignity)

3.9.2.1 Hak untuk ikut/tidak menjadi responsden (right to self


determination) Subjek harus diperlakukan secara manusiawi.
Subjek mempunyai hak memutuskan apakah mereka bersedia
menjadi subjek ataupun tidak, tanpa adanya sangsi apa pun
atau akan berakibat terhadap kesembuhannya, jika mereka
seorang klien.

3.9.2.2 Hak untuk mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan


(right to full disclosure) Seorang peneliti harus memberikan
penjelasan secara rinci serta bertanggung jawab jika ada sesuatu
yang terjadi kepada subjek.
47

3.9.2.3 Informed consent


Subjek harus mendapatkan informasi secara lengkap tentang
tujuan penelitian yang akan dilaksanakan, mempunyai hak untuk
bebas berpartisipasi atau menolak menjadi responsden. Pada
informed consent juga perlu dicantumkan bahwa data yang
diperoleh hanya akan dipergunakan untuk pengembangan ilmu.

3.9.3 Prinsip Keadilan (right to justice)

3.9.3.1 Hak untuk mendapatkan pengobatan yang adil (right in fair


treatment)

Subjek harus diperlakukan secara adil baik sebelum. selama dan


sesudah keikut sertaannya dalam penelitian tanpa adanya
diskriminasi apabila ternyata mereka tidak bersedia atau
dikeluarkan dari penelitian.

3.9.3.2 Hak dijaga kerahasiaannya (right to privacy)

Subjek mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang


diberikan harus dirahasiakan, untuk itu perlu adanya tanpa nama
(anonymity) dan rahasia (confidentiality)

Vous aimerez peut-être aussi