Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Jika merujuk kepada sejarah berdirinya Kota Bandung, memang tak bisa
dipungkiri bahwa Kota Bandung didirikan dan dijadikan sebagai kawasan
pemukiman oleh Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda melalui Gubernur Jenderal
Herman Willem Daendels yang mengeluarkan Surat Keputusan tanggal 25
September 1810 tentang Pembangunan Sarana dan Prasarana di Kota Bandung
yang kelak dikemudian hari peristiwa ini diabadikan sebagai Hari Jadi
Kota Bandung.Kota Bandung secara resmi mendapat status gemeente (Kota)
dari Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz pada tanggal 1 April 1906 dengan luas
wilayah waktu itu sekitar 900 ha dan bertambah menjadi 8.000 ha pada tahun
1949 sampai terakhir bertambah menjadi sekitar 167,7 km2 pada saat ini
(sumber : Wikipedia 2015).Kota Bandung berada di tatar Priangan dikelilingi
secara administratif oleh Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota
Cimahi dan Kabupaten Sumedang dan secara geografis dikelilingi pegunungan
dan berada di dataran yang tinggi. Kota Bandung mempunyai penduduk yang
berjumlah kurang lebih 2,7 juta jiwa dan mayoritas berprofesi dalam bidang jasa.
Kota Bandung tidak seperti kota/kabupaten lain di wilayah propinsi Jawa Barat
yang sejarah berdirinya memang terbentuk dari sebuah pusat pemerintahan
pada masa lalu atau masa kerajaan, seperti Kabupaten Sumedang yang terkenal
dengan Kerajaan Sumedang Larang, Kabupaten Ciamis yang pada abad ke-16-
17 pernah berdiri Kerajaan Galuh di sana, Kabupaten Tasikmalaya yang identik
dengan Sejarah Sukapura dan Kesultanan Cirebon yang merupakan embrio dari
Kabupaten Cirebon yang sudah barang tentu dalam kehidupan sosialnya akan
bersinggungan dengan masalah-masalah budaya terutama yang bersifat
tradisional. Di wilayah-wilayah tersebut hingga kini masih tersisa kegiatan-
kegiatan yang bersifat budaya atau ritual yang oleh Pemerintah
Kota/Kabupatennya dijadikan potensi wisata. Kota Bandung memang tidak
mempunyai sejarah yang berkaitan dengan aktifitas budaya secara praktis
mengingat proses awal berdirinya kota tidak didasari oleh sejarah tradisi. Namun
dinamika pembangunan dan perkembangan kota telah membuktikan bahwa Kota
Bandung mempunyai potensi dalam sektor budaya yang bisa dioptimalkan.
Dinamika pembangunan yang dimaksud adalah perluasan wilayah kota. Wilayah
bagian utara Kabupaten Bandung yang mempunyai potensi budaya yang
sebelumnya menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten Bandung, sejalan
dengan perkembangan wilayah dan Rencana Tata Ruang Propinsi Jawa Barat,
pada periode tahun 1980-1990 telah menjadi wilayah Kota Bandung sehingga
segala sesuatunya menjadi kewenangan Pemerintah Kota Bandung. Salah satu
contoh wilayah yang sebelumnya masuk dalam wilayah Kabupaten Bandung dan
sekarang menjadi bagian dari Kota Bandung adalah Kecamatan Ujung Berung,
sebagian Kecamatan Sukasari, Kecamatan Gedebage dan Kecamatan Cibiru.
Hal ini tentu saja tidak menjadi sebuah beban bagi Pemerintah Kota Bandung
akan tetapi sebaliknya akan menjadi sebuah peluang untuk lebih
mensejahterakan warga Kota Bandung.
Salah satu contoh potensi budaya di Kota Bandung adalah di Kampung Cirateun
yang berada di Kelurahan Isola Kecamatan Sukasari dimana terdapat satu
sumber daya alam berupa sumber mata air (dalam bahasa sunda : Seke) yang
oleh warga sekitar dijadikan sumber penunjang kehidupan sehari-hari.
Pemerintah Kota Bandung melalui PDAM Tirta Wening sudah mengelola sumber
mata air ini dengan membangunan bak penampungan untuk dipergunakan oleh
warga sekitar dan warga Kota Bandung di wilayah lain melalui pembuatan pipa-
pipa saluran air dan menjadi sumber baku air bersih. Sumber mata air ini tidak
muncul tiba-tiba tetapi karena proses alam berdasarkan topografis dan geografis
wilayah pegunungan telah memunculkan titik keluarnya air dari dalam tanah. Jika
merujuk kepada sejarah dan budaya masyarakat etnis sunda, mata air ini
menjadi sesuatu yang sangat sakral sebagai sumber kehidupan. Masyarakat
etnis sunda yang terkenal sangat menghargai alam sebagai hasil ciptaan yang
maha kuasa telah mengenal ritual atau tradisi bersyukur terhadap Tuhan atas
karunianya. Hal ini dibuktikan dengan dikenalnya ritual Syukuran atau Ruwatan
yang diadakan setiap tahun berdasarkan penanggalan kala sunda. Kegiatan ini
berbentuk aktifitas membesihkan sumber mata air, menjaga kebersihan dan
memanjatkan doa. Kegiatan ini dilakukan dengan ciri khas masyarakat sunda
menggunakan pakaian adat sunda, membawa sajian khas sunda dan sarana
ritual lainnya. Kegiatan ini pernah dilakukan rutin setiap tahun oleh masyarakat
Kampung Cirateun yang dipimpin oleh sesepuh masyarakat, namun kini sejalan
dengan perkembangan jaman kegiatan ritual ini sudah tidak lagi dilaksanakan.
Potensi budaya lain yang bisa dijadikan nilai jual wisata selain fungsi-fungsi yang
lain adalah di Kampung Ranca Bayawak Kelurahan Cisaranten Kidul Kecamatan
Gedebage. Daerah ini merupakan lahan persawahan yang sangat luas yang
berada di wilayah selatan kawasan Gedebage dan di tengah-tengah persawahan
itu terdapat hutan dan habitat Burung Kuntul (dalam bahasa sunda : Blekok)
yang hingga sekarang masih beranakpinak. Secara periodik burung-burung ini
bermigrasi, setiap jam 6 pagi ratusan burung blekok berterbangan ke segala
arah setelah sebelumnya memakan ikan-ikan kecil (dalam bahasa sunda :
Burayak) di kolam-kolam sekitar persawahan lalu sekitar jam 5 sore kembali
berdatangan untuk hinggap di atas pohon-pohon besar. habitat burung jenis ini
hidup di kawasan hutan itu. Fenomena alam ini dianggap sesuatu yang luar
biasa disaat Kota Bandung sedang mencanangkan konsep teknopolis atau kota
metroplitan yang berkonotasi dengan kehidupan modern dan bangunan-
bangunan beton sebagai pusat kegiatan. Fenomena ini bisa terjadi dan burung-
burung blekok bisa terpelihara karena ada sebuah keyakinan masyarakat
setempat sesuai petuah para orang tua terdahulu bahwa burung-burung blekok
tersebut tidak boleh diganggu. Masyarakat setempat meyakini jika ada orang
yang mengganggu burung tersebut akan mendapat musibah (dalam bahasa
sunda dikenal istilah Pamali).Untuk masyarakat Sunda, istilah pamali sudah tidak
asing lagi untuk didengar bahkan diucapkan. Istilah pamali disangkutpautkan
dengan hukum yang berlaku di masyarakat. Hal-hal yang dipamalikan ini yang
sering kita dengar dari orang tua kita. Di setiap daerah memiliki jenis pamali yang
berbeda.Masyarakat Sundadalam hal ini adalah masyarakat yang tumbuh dan
hidup dalam budaya Sunda dan menjadi warga mayoritas di Kota Bandung yang
dikenal dengan budaya yang sangat menjunjung tinggi sopan santun, periang,
ramah-tamah (someah), murah senyum, lemah-lembut dan sangat menghormati
orang tua. Sistem kepercayaan tradisional masyarakat Sunda mengajarkan
keselarasan hidup dengan alam yang terlihat dalam istilah silih asih, silih asah
dan silih asuh atau saling mengasihi, saling menyempurnakan atau memperbaiki
diri dan saling melindungi. Selain itu Sunda juga memiliki sejumlah nilai-nilai lain
seperti kesopanan, rendah hati terhadap sesama, hormat kepada yang lebih tua,
dan menyayangi kepada yang lebih kecil. Pada kebudayaan Sunda,
keseimbangan spiritual dipertahankan dengan cara melakukan upacara-upacara
adat atau ritual dansikap gotong royong dilakukan untuk mempertahankan
keseimbangan sosial.
Jika ditinjau dari sektor pariwisata, jelas fenomena ini akan menjadi nilai jual
kepada para wisatawan, seperti halnya fenomena Gua Lalay di beberapa tempat
wisata seperti di Pelabuhan Ratu di Kabupaten Sukabumi dan di beberapa
tempat lainnya, dimana para wisatawan akan datang pada jam-jam tertentu
untuk sekedar menyaksikan fenomena ribuan kelelawar berterbangan keluar dari
dalam gua. Pemerintah Kota Bandung bisa menjadikan proses terbang dan
hinggapnya sekelompok burung blekok sebagai atraksi wisata alam dan wisata
budaya di Kota Bandung. Selain fungsi wisata, fenomena ini juga dapat dijadikan
sebuah pembentukan mental warga akan sebuah kesadaran hukum ketika
sebuah petuah orang tua untuk tidak mengganggu kehidupan burung-burung
blekok diikuti dan dipatuhi oleh masyarakat dengan harapan akan terbentuk
mental atau kesadaran warga Kota Bandung untuk selalu mematuhi aturan-
aturan yang ada. Keuntungan lain dengan dilestarikannya burung blekok di
wilayah Gedebage Kota Bandung adalah dengan akan terpeliharanya hutan di
lokasi tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan konsep hutan Kota yang saat ini
menjadi isu di balik pembangunan sebuah Kota Metropolitan seiring dengan
akan dibangunannya kawasan perumahan, kawasan bisnis dan pusat
pemerintahan di Gedebage yang kelak akan dipenuhi oleh bangunan-bangunan
beton.Menurut ensiklopedia Indonesia, Hutan kota adalah sekelompok pohon
yang tumbuh di dalam atau di pinggiran kota dimana terdapat jenis tanaman atau
pohon yang tumbuh. Hutan kota bisa juga merupakan hutan yang disisakan pada
perkembangan kota. Hutan Kota mempunyai fungsi yang penting untuk
keseimbangan ekologi manusia dalam berbagai hal seperti kebersihan udara,
ketersediaan air tanah, kehidupan satwa dalam kota dan sebagai tempat wisata.
Fungsi lain dari konsep hutan kota adalah meningkatkan estetika kota dan
kawasan pendidikan selain berfungsi secara ekonomis bisa dimanfaatkan untuk
kawasan wisata dan membuka lapangan kerja baru seperti pemandu wisata,
pedagang dan cinderamata. Mengenai konsep ini, Pemerintah Pusat telah
menerbitkan regulasi mengenai hutan kota melalui Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota. Kementerian
Kehutanan dalam rangkaian peringatan Hari Lingkungan Hidup (HLH) se-Dunia
2015 mengatakan bahwa Terdapat 3 (tiga) peran strategis Hutan Kota yaitu
menjaga kualitas lingkungan hidup, menjaga jumlah dan fungsi hutan dan
menjaga keseimbangan ekosistem dan keberadaan sumber daya alam untuk
kelangsungan kehidupan.
Lantas langkah apa yang harus disikapi oleh Pemerintah Kota Bandung melihat
potensi-potensi budaya yang ada di Kota Bandung? Sebuah pemikiran yang
sederhana ketika Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung yang
mempunyai tugas pokok dan fungsi di bidang kebudayaan dan pariwisata
menindaklanjutinya dengan membuat kajian mendalam tentang fenomena di
Cirateun dan Ranca Bayawak yang melibatkan ahli antropologi, sosiologi,
planologi, para budayawan dan masyarakat pemerhati serta warga sekitar. Hasil
kajian ini akan dijadikan bahan untuk penyusunan Rancangan Peraturan Daerah
di bidang kebudayaan dan pariwisatauntuk selanjutnya dijadikan Peraturan
Daerah yang mengatur tentang Kebudayaan dan Pariwisata oleh Walikota
Bandung bersama DPRD Kota Bandung menyusulregulasi yang sudah
diterbitkan berkaitan dengan pelestarian seni dan budaya di Kota Bandung yaitu
Perda Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Kawasan dan Bangunan
Cagar Budaya, Perda Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pelestarian Seni Tradisional
dan Perda Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pelestarian, Penggunaan dan
Pengembangan Sastra, Aksara dan Bahasa Sunda. Hal-hal lain tentang potensi-
potensi budaya yang ada di Kota Bandung seperti kesenian Reak dan Benjang di
wilayah Ujung Berung sampai saat ini sudah menjadi kegiatan rutin Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung dan dilaksanakan setiap tahun dan
tinggal dioptimalkan pengelolaannya agar kelak dapat menjadi kegiatan yang
menjadi unggulan sektor pariwisatadi Kota Bandung.
Dari pemaparan tulisan diatas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa kajian-
kajian budaya dan pariwisata merupakan sebuah tantangan bagi Pemerintah
Kota Bandung yang merupakan pelaksana pembangunan di Kota Bandung
dengan berbagai predikat dan berbagai julukannya untuk bisa memaksimalkan
semua potensi yang ada di Kota Bandung yang bisa menjadi sumber
Pendapatan Asli Daerah dan juga sebagai indikator terwujudnya Bandung Juara
dalam segala bidang. (penulis adalah Sarjana Antropologi, Kepala Sub Bagian
TU UPT Padepokan Seni Mayang Sunda pada Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kota Bandung)
Pada tahun 1896 itulah “Desa Bandung” diusulkan menjadi lokasi pertemuan Pengurus
Besar Perkumpulan Pengusaha Perkebunan Gula (Bestuur van de Vereniging van
Suikerplanters) yang berpusat di Surabaya. Karena masih kampung, tentu saja fasilitas
Bandung belum memadai sebagai kota kongres. Meneer Jacob, seorang panitia kongres
waktu itu mendapat masukan dari Meneer Schenk, seorang Tuan Perkebunan
(onderneming) di Priangan untuk memeriahkan dan menghangatkan dingin pegunungan
dan suasana pertemuan waktu itu. Didatangkanlah Noniek-Noniek Cantik Indo-Belanda
dari Perkebunan Pasirmalang. Singkat kata, kongres itu pun “sukses besar”. Bagi
pengusaha perkebunan gula yang banyak datang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur,
kongres di Bandung sangat berkesan dan merasa “lekker kost zonder ongkos”. Usai kongres,
para peserta lantas menebarkan istilah “De Bloem der Indische Bergsteden”(Bunganya kota
pegunungan di Hindia Belanda). Tetapi sebutan “bloem” oleh pengusaha perkebunan yang
puas atas “layanan” selama kongres itu lebih mengarah pada servis yang diberikan oleh
Noniek-Noniek Cantik Indo-Belanda itu.
Kalau sebutan Kembang dirujukkan pada bunga dalam makna harfiah, tentu tidak tepat
pada masa itu, seratus tahun lalu, karena hanya ada satu taman di Bandung. Dalam
buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, Haryoto Kunto menulis bahwa kembang yang
dimaksud ialah Kembang Dayang yang dalam bahasa Sunda sama dengan WTS (Wanita
Tunasusila) atau PSK (Pekerja Seks Komersial), sebuah istilah salah kaprah yang
disebarkan oleh kalangan keblinger. Dalam makna kias, sebutan WTS bagi Bandung muncul
karena kota ini akan disoleki, dirias, dihias hanya ketika akan dikunjungi pejabat negara,
tamu resmi dari dalam dan luar negeri. Analogi ini cukup mengena juga.
Pada waktu kongres itu, yakni pada acara penutupannya, didatangkan juga “zangeres”,
yaitu biduan/nita yang berasal dari Paris, Prancis. Sudah rahasia umum, para pengusaha
perkebunan memang kaya raya sehingga hiburan apapun yang ada di Eropa akan mereka
sewa dan didatangkan ke Jawa. Tapi sayang, ketika artis akan menyanyi, tiada piano di
Bandung. Pada saat itu, tidak ada satu pun piano di “kampung” Bandung. Tapi untunglah,
ada piano rongsokan yang bisa diutak-atik diperbaiki oleh Jan Fabricius lalu dibawa
ke Societeit Concordia yang letaknya di sebelah Hotel Homann. Tapi malangnya lagi, tidak
ada satu orang pun angggota panitia yang bisa main piano waktu itu. Untunglah ada Mama
Homann, seorang ibu yang menjadi istri pemilik Hotel Savoy Homann di Bandung.
Sekian dekade kemudian, muncullah ragam sanjungan untuk Bandung sebagai Kota
Kembang, baik dalam arti harfiah maupun maknawiah. Satu lagu yang enak didengar
adalah lagu Kota Kembang yang dinyanyikan oleh Tetty Kadi, biduanita era 1970-an. Sebait
liriknya di bawah ini.
Apapun asal-usulnya, Bandung tetaplah kota yang kucinta. Bandung, I love youuu! :*
(Source: infobdg.com)
InfoBandung,-
Kota Bandung memiliki banyak sekali julukan. Salah satunya adalah julukan
Kota Kembang. Tapi tahukah kamu awal mula Kota Bandung mendapatkan
julukan Kota Kembang?
Nah untuk versi yang kedua terdengar cukup menyedihkan. Dikutip dari laman
Bandung Aktula, sejarahwan Haryoto Kunto dalam bukunya berjudul Wajah
Bandoeng Tempo Doeloe, mengatakan jika kembang yang dimaksud
adalah Kembang Dayang atau dalam bahasa Sunda memiliki arti yang sama
dengan wanita tunasusila.
Salah seorang panitia kongres, Tuan Jacob mendapat masukan dari Meneer
Schenk untuk menhadirkan noni-noni cantik Indo-Belanda dari wilayah
perkebunan Pasirmalang untuk menghibur para pengusaha gula
tersebut. Setelah kongres, para tamu menyatakan sangat puas. Kongres
dikatakan sukses besar. Dari mulut peserta kongres itu kemudian keluar istilah
dalam bahasa Belanda De Bloem der Indische Bergsteden atau ‘bunganya’ kota
pegunungan di Hindia Belanda. Dari situ muncul julukan kota Bandung
sebagai kota kembang.
Semangat melayani
Ridwan Kamil mengucapakan terima kasih kepada seluruh masyarakat yang
berkontribusi atas diraihnya penghargaan ini. "Terima kasih kepada masyarakat dan
jajaran Pemkot Bandung atas kerja keras," cuitnya di akun Twitter pribadinya
@ridwankamil.
Pihaknya kemudian mengajak masyarakat untuk lebih semangat dalam membenahi
Kota Bandung. Khususnya melayani kesehatan masyarakat.
"Mari kita layani kesehatan warga dengan dengan semangat baik," cuitnya.
Seperti diketahui, berbagai inovasi pelayanan dalam bidang kesehatan telah
digelorakan Pemkot Bandung. Salah satunya program Layad Rawat yang
menghadirkan pelayanan kesehatan dari pintu ke pintu.***
Sembilan Masalah Pendidikan Kota
Bandung
Oleh: Dewiyatini
PENDIDIKAN
"Jadi yang sekitar 360 ribu saja. Jadi sebanyak 40 persen masyarakat
Kota Bandung masih kurang disiplin membayar pajak," ujar Ridwan
Kamil yang akrab disapa Emil usai Sosialisasi Pengisian dan
Penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi dengan E-Filling dan
Amnesti Pajak oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung
Cibeunying di Audiotorium Balai Kota, Jalan Wastukancana, Kota
Bandung, Senin (13/3).
Apalagi, kata Emil, dengan perkembangan teknologi saat ini tidak ada
alasan lagi bagi masyarakat untuk malas mengurusi perpajakan. Melalui
aplikasi e-filling ini akan memudahkan masyarakat dalam pengurusan
tanggung jawab dalam membayar pajak untuk proses pembangunan
Kota yang sehat. "Jadi, dengan dukungan teknologi yang sudah
berkembang saat ini, tidak ada lagi alasan bagi masyarakat untuk tidak
disiplin membayar pajak," katanya.
Sedikit catatan berdasarkan pengamatan Ir. Yuswadi Salya M.Arc, dari jurusan
Arsitektur ITB. Ternyata ada kecenderungan terjadinya alih fungsi dan penetrasi di
sementara jalan protokol Kota Bandung, akibat dari tingginya 'pajak bumi bangunan'
(PBB). Sehingga rumah tinggal yang tidak produktif kemudian beralih fungsi menjadi
toko, hotel, bank, restoran, tempat kursus, foto copy, kios, warung, bengkel show room
dan lain sebagainya. Kawasan permukiman yang kini mulai beralih fungsi menjadi
kawasan perdagangan adalah Jl. Buahbatu, Sukajadi, Setiabudhi dan Jl. Riau.
Ir. Sandi A Siregar M.Ar., seorang sahabat yang tengah mengikuti program doktor di
Leuven Belgia, mengimbau kepada para pengelola kota agar dalam pembangunan dan
penataan kota, menggunakan ‘pikiran sehat’ (common sense) yang berwawasan sejarah.
Maksudnya, pengelola kota jangan suka berdalih "tidak sesuai dengan planning kota,"
kemudian mau menggusur rumah sakit, bangunan sekolah atau kuburan, semata guna
menyediakan lahan kosong buat para investor atau developer yang haus tanah. Bila
logika ini diikuti terus, jangan-jangan Bandung ini, jalur rel kereta api harus
dipindahkan karena menghalangi kelancaran arus lalu-lintas utara-selatan.
Begitu pula Pabrik Kina, kompleks militer dan pabrik senjata, harus dicarikan lokasi
baru. Dengan berlalunya sang waktu, pabrik dan kuburan yang semula terletak di
pinggiran kota, kemudian menjadi terletak di tenga daerah permukiman penduduk. Hal
itu terjadi akibat mekar, meluasnya wilayah kota. Oleh karena itu kurang beralasan, bila
kehadiran fasilitas kota dan bangunan lama yang sudah ada sejak dahulu, kemudian
digusur atau dihanurkan. Kasus semacam itu hampir serupa dengan kecenderungan
kabupaten baru, setelah ibu kota lama berubah status menajdi kotamadya.
"Lalu bagaimana bila di belakang hari nanti, ibukota yang baru itu berkembang menjadi
kotamadya? Apa mesti mencari ibukota kabupaten yang baru lagi?" tanya Mendagri
Rudini yang tak menyukai ide-ide yang tak logis.
Dari dua menjadi tiga dimensi
Perencanaan kota pada masa lalu, cukup memperhatikan dua faktor utama, yakni: (1)
tata guna tanah atau land use planning dalam artian dua dimensi, dan (2) bentuk
aktivitas/kegiatan di atas lahan yang bersangkutan.
Namun, bila kita sudah bicara perkara ‘Asperko’ (Arsitektur Perkotaan) maka masalah
menjadi lebih kompleks. Karena sosok arsitektur kota telah menginjak aspek 'tiga
dimensi' atau 'tata ruang' kota.
Adapun yang disebut 'tata ruang kota' meliputi: (1) Ruang di bawah permukaan tanah,
menyangkut struktur geologis, galian dan bahan tambang, ari tanah, batuan, kabel
telepon, pipa air minum, pipa gas, saluran air limbah dan lain-lain; (2) Segala macam
bangunan, kegiatan manusia, pepohonan, pergerakan barang dan manusia yang terjadi
di perukaan tanah; (3) Meliputi pula benda, gerakan, kegiatan dan kondisi alami di
angkasa seperti: bangunan pencakar langit, antene radio-TV, polusi udara, pesawat
terbang yang lalu-lalang, huja, mega, sinar bulan, cahaya matahari, puncak gunung-
gemunung, burung terbang, sampai masalah seakin menipisnya ozon. Semua aspek
tersebut punya kaitan dan tercakup dalam proses penataan ruang kota.
Pada masa lalu, untuk memohon 'izin bangunan' orang cuma mempertimbangkan
denah baungan (overvlak) dan 'garis sempadan bangunan' (GSB) atau 'Rooilijn'.
Padahal untuk penataan bangunan secara 'dua dimensi' masih harus
mempertimbangkan: 'garis sepadan jalan' (GSJ), kemudian juga garis sepadan samping
dan belakang bangunan. Dan masih ada beberapa faktor pertimbangan lainnya seperti,
fungsi kawasan dan ciri visual lingkungan sekitar. Jadi faktor pertimbangan bukan
cuma building coverage ratio (BCR) atau koifisien dasar bangunan (KDB) saja.
Izin bangunan dalam penataan ruang kota mempertimbangkan banyak faktor, antara
lain:
(1) Koifisien dasar bangunan (KDB)
(2) Koifisien lantai bangunan (KLB) yang menunjukkan jumlah lantai bangunan
(3) Ketinggian bangunan (dalam ukuran meter) dan diizinkan.
(4) Memenuhi syarat dan ketentuan 'peraturan bangunan' (building code/ building
regulation).
(5) Memenuhi persyaratan arsitektonis dan teknis.
Untuk memberikan pertimbangan terhadap permohonan izin bangunan yang sesuai
dengan prosedur yang semestinya, Pemda Kotamadya Bandung perlu dibantu oleh
sebuah tim khusus. Seperti Pemda DKI Jaya, dibantu oleh 'tim pengarah arsitektur'
(TPA). Menurut Dr. IR. Moh. Danisworo, M.Arc., MUP, yang duduk menjadi anggota
'TPA' di DKI, tim tersebut terdiri dari para ahli instansi: Direktorat Cipta Karya,
kalangan profesi, perguruan tinggi dan orang DKI. Dan kalau di Bandung akan didirkan
semacam TPA itu, maka kalangan budayawan dapat diikutsertakan.
Kehadiran 'tim pengarah arsitektur' di Bandung sangat urgen sekali. Mengingat, dalam
dasawarsa terakhir, beberapa bangunan bertingkat, ukuran besar, mulai bermunculan
di segenap penjuru Kota Bandung. Bahkan di kawasan Alun-alun dalam waktu yang
tidak terlalu lama lagi, bakal berdiri sebuah bangunan bank berlantai 15, yang pasti
bakal menimbulkan masalah, dampak, dan konsekuensi terhadap lingkungan
sekitarnya. Terlebih lagi, bangunan bank tersebut bakal mendominasi citra visual
kawasan Alun-alun.
Diskominfo – PPID
Kebudayaan merupakan salah satu daya tarik pariwisata Indonesia yang perlu dikembangkan secara khusus di
Kota Bandung. Oleh karena itu di tahun 2017 ini Kota Bandung mengembangkan sektor kebudayaan agar
Hal tersebut disampaikan oleh Wali Kota Bandung M. Ridwan Kamil dalam sambutannya pada acara
Musyawarah Daerah Asosiasi Pelaku Pariwisata Indonesia (ASPPI) DPD Jawa Barat yang diadakan di Hotel
Disparbud Provinsi Jawa Barat Kabid Pengembangan ESDM Rusyandi, Kepala Disbudpar Kota Bandung
Dewi Kaniasari, Ketua Umum ASPPI Djohari Somad, dan Ketua DPD Jawa Barat ASPPI Deaz Alexandrie.
“Jadi di Disbudpar ini saya kembangkan Bud-nya dulu, lalu nanti par-nya muncul mengiringi.”, ucap pria yang
Menurutnya lagi unsur budaya di tanah sunda masih belum terlalu menonjol dibandingkan dengan daerah
lainnya.
“Misalkan Bali punya dua hal, satu alam satu budaya, di tanah sunda ini Jawa Barat punya alam, budayanya
Oleh karena itu tahun ini Kota Bandung mulai mencoba menciptakan kawasan berwawasan budaya sunda,
salah satunya adalah Pusat Budaya Sunda yang rencananya akan dibangun di Cibiru.
“Seperti Kampung Naga, saya copy kesini. Tapi didalamnya retail, jadi semua ada, ada pernak-pernik, ada
kulinernya. Jadi nanti turis kalau berkunjung tidak hanya ke Saung Udjo saja, tapi bisa ke Pusat Budaya Sunda
Senada dengan Wali Kota Bandung, Ketua Umum ASPPI Djohari Somad dalam sambutannya mengatakan
“Jawa barat memiliki potensi pariwisata yang tinggi dengan kearifan lokalnya.” ucap Djohari.
Pariwisata merupakan sektor utama pendapatan asli daerah (PAD) Kota Bandung. Berdasarkan penuturan
Ridwan, Kota Bandung memiliki pertumbuhan ekonomi 7,6 persen, sedangkan Indonesia tumbuh sekitar 5%.
“Jadi kita termasuk yang tercepat, diatas rata-rata Indonesia.” tutur Ridwan.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung juga setuju dengan pernyataan Ridwan, karena
“Kepariwisataan merupakan core business di Kota Bandung karena menunjang 70% PAD di Kota Bandung
yang berasal dari sektor ekonomi kreatif, perhotelan, dan hiburan.” tutur Kaniasari.
ASPPI merupakan organisasi yang heterogen terdiri dari beragam pelaku industri pariwisata, seperti
perhotelan, biro travel, transportasi, restoran, dan sebagainya. Oleh karena itu ASPPI merupakan mitra kerja