Vous êtes sur la page 1sur 30

Siapa tak kenal Bandung?

sebuah kota yang berada di wilayah provinsi Jawa


Barat dan menyandang status ibu kotaprovinsi. Bandung sebuah kota dengan
berbagai predikat yang melekat sesuai fungsi dan sejarahnya. Kita sering
mendengar nama Kota Kembang, nama yang berkaitan dengan ciri kota yang
konon dahulu kala dihiasi tumbuhan berbunga di setiap sudut kota dan mojang
Bandung yang terkenal cantik bagaikan bunga atau kembang di pagi hari.
Demikian pula dengan julukan Kota Pendidikan, sebuah predikat yang tidak
salah ditujukan kepada Kota Bandung mengingat sejarah bangsa telah
melahirkan tokoh pendiri negara dan beberapa orang penting lainnya yang
mengenyam pendidikan di perguruan tinggi di Kota Bandung dan
bermunculannya lembaga-lembaga pendidikan tinggi di Kota Bandung dan
menjadi kota tujuan pendidikan. Julukan lain untuk Kota Bandung seolah tidak
pernah habis sesuai dengan prestasi atau cerita yang membentuknya seperti
Kota Lautan Api, Kota Kuliner, Kota Fashion dan lain-lain. Berbagai macam
julukan itu telah membentuk sebuah nilai jual bagi Kota Bandung dalam sektor
pariwisata. Namun, dari berbagai macam predikat itu, ada satu nilai yang kita
lupa atau memang tidak pernah terfikir bahwa Kota Bandung tidak pernah
mendapat julukan sebagai Kota Budaya meskipun sebenarnya Kota Bandung
mempunyai potensi dalam sektor budaya yang bisa dijadikan andalan sektor
pariwisata. Dalam hal ini, Kota Bandung tidak perlu berlebihan mengklaim
sebagai Kota Pusat Budaya di Jawa Barat atau dalam konteks kebudayaan
disebut sebegai Puseur Budaya Sunda karena pada kenyataannya Kota
Bandung tidak pernah menjadi tempat kegiatan atau tempat berkembangnya
etnis/budaya Sunda yang mayoritas tinggal di Jawa Barat.

Jika merujuk kepada sejarah berdirinya Kota Bandung, memang tak bisa
dipungkiri bahwa Kota Bandung didirikan dan dijadikan sebagai kawasan
pemukiman oleh Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda melalui Gubernur Jenderal
Herman Willem Daendels yang mengeluarkan Surat Keputusan tanggal 25
September 1810 tentang Pembangunan Sarana dan Prasarana di Kota Bandung
yang kelak dikemudian hari peristiwa ini diabadikan sebagai Hari Jadi
Kota Bandung.Kota Bandung secara resmi mendapat status gemeente (Kota)
dari Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz pada tanggal 1 April 1906 dengan luas
wilayah waktu itu sekitar 900 ha dan bertambah menjadi 8.000 ha pada tahun
1949 sampai terakhir bertambah menjadi sekitar 167,7 km2 pada saat ini
(sumber : Wikipedia 2015).Kota Bandung berada di tatar Priangan dikelilingi
secara administratif oleh Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota
Cimahi dan Kabupaten Sumedang dan secara geografis dikelilingi pegunungan
dan berada di dataran yang tinggi. Kota Bandung mempunyai penduduk yang
berjumlah kurang lebih 2,7 juta jiwa dan mayoritas berprofesi dalam bidang jasa.

Kota Bandung tidak seperti kota/kabupaten lain di wilayah propinsi Jawa Barat
yang sejarah berdirinya memang terbentuk dari sebuah pusat pemerintahan
pada masa lalu atau masa kerajaan, seperti Kabupaten Sumedang yang terkenal
dengan Kerajaan Sumedang Larang, Kabupaten Ciamis yang pada abad ke-16-
17 pernah berdiri Kerajaan Galuh di sana, Kabupaten Tasikmalaya yang identik
dengan Sejarah Sukapura dan Kesultanan Cirebon yang merupakan embrio dari
Kabupaten Cirebon yang sudah barang tentu dalam kehidupan sosialnya akan
bersinggungan dengan masalah-masalah budaya terutama yang bersifat
tradisional. Di wilayah-wilayah tersebut hingga kini masih tersisa kegiatan-
kegiatan yang bersifat budaya atau ritual yang oleh Pemerintah
Kota/Kabupatennya dijadikan potensi wisata. Kota Bandung memang tidak
mempunyai sejarah yang berkaitan dengan aktifitas budaya secara praktis
mengingat proses awal berdirinya kota tidak didasari oleh sejarah tradisi. Namun
dinamika pembangunan dan perkembangan kota telah membuktikan bahwa Kota
Bandung mempunyai potensi dalam sektor budaya yang bisa dioptimalkan.
Dinamika pembangunan yang dimaksud adalah perluasan wilayah kota. Wilayah
bagian utara Kabupaten Bandung yang mempunyai potensi budaya yang
sebelumnya menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten Bandung, sejalan
dengan perkembangan wilayah dan Rencana Tata Ruang Propinsi Jawa Barat,
pada periode tahun 1980-1990 telah menjadi wilayah Kota Bandung sehingga
segala sesuatunya menjadi kewenangan Pemerintah Kota Bandung. Salah satu
contoh wilayah yang sebelumnya masuk dalam wilayah Kabupaten Bandung dan
sekarang menjadi bagian dari Kota Bandung adalah Kecamatan Ujung Berung,
sebagian Kecamatan Sukasari, Kecamatan Gedebage dan Kecamatan Cibiru.
Hal ini tentu saja tidak menjadi sebuah beban bagi Pemerintah Kota Bandung
akan tetapi sebaliknya akan menjadi sebuah peluang untuk lebih
mensejahterakan warga Kota Bandung.

Dunia Pariwisata merupakan salah satu sektor dalam pembangunan. Tidak


semua Kota/Kabupaten mempunyai potensi pariwisata di wilayahnya.
Pemerintah Pusat menempatkan sektor pariwisata sebagai urusan pilihan dalam
nomenklatur pembangunan. Sementara sektor kebudayaan mempunyai posisi
yang lebih strategis dalam pembangunan sehingga Pemerintah Pusat
menempatkan sektor kebudayaan sebagai urusan yang wajib dikelola oleh setiap
Pemerintahan di seluruh Indonesia. Sektor pembangunan mempunyai peran dan
fungsi masing-masing bagi kepentingan masyarakat. Sektor-sektor
pembangunan ini mempunyai fungsi selain sebagai sektor yang berpotensi
menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pariwisata di Kota Bandung
menjadi sebuah sektor andalan dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
melalui sarana dan obyek wisata di Kota Bandung. Sementara di satu sisi,
budaya merupakan bidang kajian yang holistik menyeluruh, berpotensi untuk
dioptimalkan tidak saja bagi sumber Pendapatan Asli Daerah tetapi bisa
dijadikan sumber potensi ekonomi, sosial, kesadaran hukum, ekosistem atau
pengendalian lingkungan hidup sertakesadaran kolektif yang menjadi sebuah
potensi yang multifungsi.

Salah satu contoh potensi budaya di Kota Bandung adalah di Kampung Cirateun
yang berada di Kelurahan Isola Kecamatan Sukasari dimana terdapat satu
sumber daya alam berupa sumber mata air (dalam bahasa sunda : Seke) yang
oleh warga sekitar dijadikan sumber penunjang kehidupan sehari-hari.
Pemerintah Kota Bandung melalui PDAM Tirta Wening sudah mengelola sumber
mata air ini dengan membangunan bak penampungan untuk dipergunakan oleh
warga sekitar dan warga Kota Bandung di wilayah lain melalui pembuatan pipa-
pipa saluran air dan menjadi sumber baku air bersih. Sumber mata air ini tidak
muncul tiba-tiba tetapi karena proses alam berdasarkan topografis dan geografis
wilayah pegunungan telah memunculkan titik keluarnya air dari dalam tanah. Jika
merujuk kepada sejarah dan budaya masyarakat etnis sunda, mata air ini
menjadi sesuatu yang sangat sakral sebagai sumber kehidupan. Masyarakat
etnis sunda yang terkenal sangat menghargai alam sebagai hasil ciptaan yang
maha kuasa telah mengenal ritual atau tradisi bersyukur terhadap Tuhan atas
karunianya. Hal ini dibuktikan dengan dikenalnya ritual Syukuran atau Ruwatan
yang diadakan setiap tahun berdasarkan penanggalan kala sunda. Kegiatan ini
berbentuk aktifitas membesihkan sumber mata air, menjaga kebersihan dan
memanjatkan doa. Kegiatan ini dilakukan dengan ciri khas masyarakat sunda
menggunakan pakaian adat sunda, membawa sajian khas sunda dan sarana
ritual lainnya. Kegiatan ini pernah dilakukan rutin setiap tahun oleh masyarakat
Kampung Cirateun yang dipimpin oleh sesepuh masyarakat, namun kini sejalan
dengan perkembangan jaman kegiatan ritual ini sudah tidak lagi dilaksanakan.

Fenomena ini sebenarnya sangat potensial dijadikan atraksi wisata selain


berfungsi sebagai sarana menggugah kembali kesadaran kolektif masyarakat
untuk memelihara lingkungan dan kesadaran menghargai dan memelihara alam
sekitar. Kesadaran Kolektif dalam hal ini adalah seluruh kepercayaan dan
perasaan bersama dalam sebuah masyarakat akan membentuk suatu sistem
yang tetap dan punya kehidupan sendiri, kesadaran kolektif bisa terwujud melalui
kesadaran individu (Durkheim dalam Teori Sosiologi : Doyle P. Johnson,
1986).Salah satu kendala kenapa ritual memelihara mata air di Kampung
Cirateun adalah karena tidak adanya transfer knowledge tentang ritual ini dari
para orang tua kepada generasi penerus atau bisa saja tidak terlaksana kembali
karena faktor anggaran penunjang acara. Untuk itu tidak salah jika Pemerintah
Kota Bandung menjadikan acara ini sebagai salah satu atraksi wisata bagi turis
lokal atau mancanegara yang akan menghasilkan pendapatan asli daerah Kota
Bandung. Hal ini sangat memungkinkan terlaksana mengingat potensi-potensi
yang menjadikan kegiatan sebagai lahan wisata sudah tersedia seperti pelaku
atraksi, kepastian waktu pelaksanaan, akses transportasi dan dukungan warga
sekitar serta alat-alat ritual yang masih tersimpan dan dipelihara oleh sesepuh
Kampung Cirateun hingga kini.

Potensi budaya lain yang bisa dijadikan nilai jual wisata selain fungsi-fungsi yang
lain adalah di Kampung Ranca Bayawak Kelurahan Cisaranten Kidul Kecamatan
Gedebage. Daerah ini merupakan lahan persawahan yang sangat luas yang
berada di wilayah selatan kawasan Gedebage dan di tengah-tengah persawahan
itu terdapat hutan dan habitat Burung Kuntul (dalam bahasa sunda : Blekok)
yang hingga sekarang masih beranakpinak. Secara periodik burung-burung ini
bermigrasi, setiap jam 6 pagi ratusan burung blekok berterbangan ke segala
arah setelah sebelumnya memakan ikan-ikan kecil (dalam bahasa sunda :
Burayak) di kolam-kolam sekitar persawahan lalu sekitar jam 5 sore kembali
berdatangan untuk hinggap di atas pohon-pohon besar. habitat burung jenis ini
hidup di kawasan hutan itu. Fenomena alam ini dianggap sesuatu yang luar
biasa disaat Kota Bandung sedang mencanangkan konsep teknopolis atau kota
metroplitan yang berkonotasi dengan kehidupan modern dan bangunan-
bangunan beton sebagai pusat kegiatan. Fenomena ini bisa terjadi dan burung-
burung blekok bisa terpelihara karena ada sebuah keyakinan masyarakat
setempat sesuai petuah para orang tua terdahulu bahwa burung-burung blekok
tersebut tidak boleh diganggu. Masyarakat setempat meyakini jika ada orang
yang mengganggu burung tersebut akan mendapat musibah (dalam bahasa
sunda dikenal istilah Pamali).Untuk masyarakat Sunda, istilah pamali sudah tidak
asing lagi untuk didengar bahkan diucapkan. Istilah pamali disangkutpautkan
dengan hukum yang berlaku di masyarakat. Hal-hal yang dipamalikan ini yang
sering kita dengar dari orang tua kita. Di setiap daerah memiliki jenis pamali yang
berbeda.Masyarakat Sundadalam hal ini adalah masyarakat yang tumbuh dan
hidup dalam budaya Sunda dan menjadi warga mayoritas di Kota Bandung yang
dikenal dengan budaya yang sangat menjunjung tinggi sopan santun, periang,
ramah-tamah (someah), murah senyum, lemah-lembut dan sangat menghormati
orang tua. Sistem kepercayaan tradisional masyarakat Sunda mengajarkan
keselarasan hidup dengan alam yang terlihat dalam istilah silih asih, silih asah
dan silih asuh atau saling mengasihi, saling menyempurnakan atau memperbaiki
diri dan saling melindungi. Selain itu Sunda juga memiliki sejumlah nilai-nilai lain
seperti kesopanan, rendah hati terhadap sesama, hormat kepada yang lebih tua,
dan menyayangi kepada yang lebih kecil. Pada kebudayaan Sunda,
keseimbangan spiritual dipertahankan dengan cara melakukan upacara-upacara
adat atau ritual dansikap gotong royong dilakukan untuk mempertahankan
keseimbangan sosial.

Jika ditinjau dari sektor pariwisata, jelas fenomena ini akan menjadi nilai jual
kepada para wisatawan, seperti halnya fenomena Gua Lalay di beberapa tempat
wisata seperti di Pelabuhan Ratu di Kabupaten Sukabumi dan di beberapa
tempat lainnya, dimana para wisatawan akan datang pada jam-jam tertentu
untuk sekedar menyaksikan fenomena ribuan kelelawar berterbangan keluar dari
dalam gua. Pemerintah Kota Bandung bisa menjadikan proses terbang dan
hinggapnya sekelompok burung blekok sebagai atraksi wisata alam dan wisata
budaya di Kota Bandung. Selain fungsi wisata, fenomena ini juga dapat dijadikan
sebuah pembentukan mental warga akan sebuah kesadaran hukum ketika
sebuah petuah orang tua untuk tidak mengganggu kehidupan burung-burung
blekok diikuti dan dipatuhi oleh masyarakat dengan harapan akan terbentuk
mental atau kesadaran warga Kota Bandung untuk selalu mematuhi aturan-
aturan yang ada. Keuntungan lain dengan dilestarikannya burung blekok di
wilayah Gedebage Kota Bandung adalah dengan akan terpeliharanya hutan di
lokasi tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan konsep hutan Kota yang saat ini
menjadi isu di balik pembangunan sebuah Kota Metropolitan seiring dengan
akan dibangunannya kawasan perumahan, kawasan bisnis dan pusat
pemerintahan di Gedebage yang kelak akan dipenuhi oleh bangunan-bangunan
beton.Menurut ensiklopedia Indonesia, Hutan kota adalah sekelompok pohon
yang tumbuh di dalam atau di pinggiran kota dimana terdapat jenis tanaman atau
pohon yang tumbuh. Hutan kota bisa juga merupakan hutan yang disisakan pada
perkembangan kota. Hutan Kota mempunyai fungsi yang penting untuk
keseimbangan ekologi manusia dalam berbagai hal seperti kebersihan udara,
ketersediaan air tanah, kehidupan satwa dalam kota dan sebagai tempat wisata.
Fungsi lain dari konsep hutan kota adalah meningkatkan estetika kota dan
kawasan pendidikan selain berfungsi secara ekonomis bisa dimanfaatkan untuk
kawasan wisata dan membuka lapangan kerja baru seperti pemandu wisata,
pedagang dan cinderamata. Mengenai konsep ini, Pemerintah Pusat telah
menerbitkan regulasi mengenai hutan kota melalui Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota. Kementerian
Kehutanan dalam rangkaian peringatan Hari Lingkungan Hidup (HLH) se-Dunia
2015 mengatakan bahwa Terdapat 3 (tiga) peran strategis Hutan Kota yaitu
menjaga kualitas lingkungan hidup, menjaga jumlah dan fungsi hutan dan
menjaga keseimbangan ekosistem dan keberadaan sumber daya alam untuk
kelangsungan kehidupan.

Lantas langkah apa yang harus disikapi oleh Pemerintah Kota Bandung melihat
potensi-potensi budaya yang ada di Kota Bandung? Sebuah pemikiran yang
sederhana ketika Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung yang
mempunyai tugas pokok dan fungsi di bidang kebudayaan dan pariwisata
menindaklanjutinya dengan membuat kajian mendalam tentang fenomena di
Cirateun dan Ranca Bayawak yang melibatkan ahli antropologi, sosiologi,
planologi, para budayawan dan masyarakat pemerhati serta warga sekitar. Hasil
kajian ini akan dijadikan bahan untuk penyusunan Rancangan Peraturan Daerah
di bidang kebudayaan dan pariwisatauntuk selanjutnya dijadikan Peraturan
Daerah yang mengatur tentang Kebudayaan dan Pariwisata oleh Walikota
Bandung bersama DPRD Kota Bandung menyusulregulasi yang sudah
diterbitkan berkaitan dengan pelestarian seni dan budaya di Kota Bandung yaitu
Perda Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Kawasan dan Bangunan
Cagar Budaya, Perda Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pelestarian Seni Tradisional
dan Perda Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pelestarian, Penggunaan dan
Pengembangan Sastra, Aksara dan Bahasa Sunda. Hal-hal lain tentang potensi-
potensi budaya yang ada di Kota Bandung seperti kesenian Reak dan Benjang di
wilayah Ujung Berung sampai saat ini sudah menjadi kegiatan rutin Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung dan dilaksanakan setiap tahun dan
tinggal dioptimalkan pengelolaannya agar kelak dapat menjadi kegiatan yang
menjadi unggulan sektor pariwisatadi Kota Bandung.

Dari pemaparan tulisan diatas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa kajian-
kajian budaya dan pariwisata merupakan sebuah tantangan bagi Pemerintah
Kota Bandung yang merupakan pelaksana pembangunan di Kota Bandung
dengan berbagai predikat dan berbagai julukannya untuk bisa memaksimalkan
semua potensi yang ada di Kota Bandung yang bisa menjadi sumber
Pendapatan Asli Daerah dan juga sebagai indikator terwujudnya Bandung Juara
dalam segala bidang. (penulis adalah Sarjana Antropologi, Kepala Sub Bagian
TU UPT Padepokan Seni Mayang Sunda pada Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kota Bandung)

Asal-Usul Bandung Disebut Kota Kembang


BANDUNG, infobdg.com – Tahun 1896 Bandung belum menjadi kota tetapi hanya
“kampung”. Penduduknya yang terdata 29.382 orang, sekitar 1.250 orang
berkebangsaan Eropa, mayoritas orang Belanda. Saat itu Bandung hanyalah desa
udik yang belepotan lumpur, bahkan Jalan Braga yang kemudian melegenda di
Bandung masih berupa jalan tanah becek bertahi sapi dan kuda.

Pada tahun 1896 itulah “Desa Bandung” diusulkan menjadi lokasi pertemuan Pengurus
Besar Perkumpulan Pengusaha Perkebunan Gula (Bestuur van de Vereniging van
Suikerplanters) yang berpusat di Surabaya. Karena masih kampung, tentu saja fasilitas
Bandung belum memadai sebagai kota kongres. Meneer Jacob, seorang panitia kongres
waktu itu mendapat masukan dari Meneer Schenk, seorang Tuan Perkebunan
(onderneming) di Priangan untuk memeriahkan dan menghangatkan dingin pegunungan
dan suasana pertemuan waktu itu. Didatangkanlah Noniek-Noniek Cantik Indo-Belanda
dari Perkebunan Pasirmalang. Singkat kata, kongres itu pun “sukses besar”. Bagi
pengusaha perkebunan gula yang banyak datang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur,
kongres di Bandung sangat berkesan dan merasa “lekker kost zonder ongkos”. Usai kongres,
para peserta lantas menebarkan istilah “De Bloem der Indische Bergsteden”(Bunganya kota
pegunungan di Hindia Belanda). Tetapi sebutan “bloem” oleh pengusaha perkebunan yang
puas atas “layanan” selama kongres itu lebih mengarah pada servis yang diberikan oleh
Noniek-Noniek Cantik Indo-Belanda itu.

Kalau sebutan Kembang dirujukkan pada bunga dalam makna harfiah, tentu tidak tepat
pada masa itu, seratus tahun lalu, karena hanya ada satu taman di Bandung. Dalam
buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, Haryoto Kunto menulis bahwa kembang yang
dimaksud ialah Kembang Dayang yang dalam bahasa Sunda sama dengan WTS (Wanita
Tunasusila) atau PSK (Pekerja Seks Komersial), sebuah istilah salah kaprah yang
disebarkan oleh kalangan keblinger. Dalam makna kias, sebutan WTS bagi Bandung muncul
karena kota ini akan disoleki, dirias, dihias hanya ketika akan dikunjungi pejabat negara,
tamu resmi dari dalam dan luar negeri. Analogi ini cukup mengena juga.

Pada waktu kongres itu, yakni pada acara penutupannya, didatangkan juga “zangeres”,
yaitu biduan/nita yang berasal dari Paris, Prancis. Sudah rahasia umum, para pengusaha
perkebunan memang kaya raya sehingga hiburan apapun yang ada di Eropa akan mereka
sewa dan didatangkan ke Jawa. Tapi sayang, ketika artis akan menyanyi, tiada piano di
Bandung. Pada saat itu, tidak ada satu pun piano di “kampung” Bandung. Tapi untunglah,
ada piano rongsokan yang bisa diutak-atik diperbaiki oleh Jan Fabricius lalu dibawa
ke Societeit Concordia yang letaknya di sebelah Hotel Homann. Tapi malangnya lagi, tidak
ada satu orang pun angggota panitia yang bisa main piano waktu itu. Untunglah ada Mama
Homann, seorang ibu yang menjadi istri pemilik Hotel Savoy Homann di Bandung.
Sekian dekade kemudian, muncullah ragam sanjungan untuk Bandung sebagai Kota
Kembang, baik dalam arti harfiah maupun maknawiah. Satu lagu yang enak didengar
adalah lagu Kota Kembang yang dinyanyikan oleh Tetty Kadi, biduanita era 1970-an. Sebait
liriknya di bawah ini.

“Kota Kembang yang selalu, sangat kurindukan

Di sana aku dibesarkan, diasuh ayah bunda,

Tiada pernah kulupakan, hingga aku dewasa”

Apapun asal-usulnya, Bandung tetaplah kota yang kucinta. Bandung, I love youuu! :*

Ex Undis Sol, Motto Salah Kota Bandung

Penulis : Gede H. Cahyana

Asal-Usul Bandung Disebut Kota Kembang was originally published on infobdg.com

(Source: infobdg.com)
InfoBandung,-

Kota Bandung memiliki banyak sekali julukan. Salah satunya adalah julukan
Kota Kembang. Tapi tahukah kamu awal mula Kota Bandung mendapatkan
julukan Kota Kembang?

Berdasarkan penelusuran, penyematan julukan Kota Kembang untuk Kota


Bandung ini terdapat dua versi. Versi yang pertama menyebutkan bahwa pada
zaman dahulu, Kota Bandung dinilai sangat cantik dengan tumbuhnya pohon-
pohon dan bunga-bunga yang tumbuh. Banyak ratusan jenis bunga yang
tumbuh di Kota ini. Atas dasar itulah, Kota Bandung dijuluki sebagai Kota
Kembang.

Nah untuk versi yang kedua terdengar cukup menyedihkan. Dikutip dari laman
Bandung Aktula, sejarahwan Haryoto Kunto dalam bukunya berjudul Wajah
Bandoeng Tempo Doeloe, mengatakan jika kembang yang dimaksud
adalah Kembang Dayang atau dalam bahasa Sunda memiliki arti yang sama
dengan wanita tunasusila.

TEMPAT BELI BUNGA DI KOTA


BANDUNG
Istilah tersebut dapat muncul disebabkan ketika itu pada tahun 1896, Bestuur
van de Vereninging van Suikerplanters dari Pengurus Besar Perkumpulan
Pengusaha Perkebunan Gula yang berkedudukan di Surabaya akan menggelar
kongres. Saat itu Ia memilih Kota Bandung sebagai tempat penyelenggaraan
kongres.

Salah seorang panitia kongres, Tuan Jacob mendapat masukan dari Meneer
Schenk untuk menhadirkan noni-noni cantik Indo-Belanda dari wilayah
perkebunan Pasirmalang untuk menghibur para pengusaha gula
tersebut. Setelah kongres, para tamu menyatakan sangat puas. Kongres
dikatakan sukses besar. Dari mulut peserta kongres itu kemudian keluar istilah
dalam bahasa Belanda De Bloem der Indische Bergsteden atau ‘bunganya’ kota
pegunungan di Hindia Belanda. Dari situ muncul julukan kota Bandung
sebagai kota kembang.

MENTERI Kesehatan Republik Indonesia menganugerahkan penghargaan Anugerah


Swasti Saba Wistara 2017 kepada Pemerintah Kota Bandung. Penghargaan itu atas
keberhasilannya menyelenggarakan kota sehat.
Penghargaan Anugerah Swasti Saba Wistara tersebut diterima langsung Wali Kota
Bandung Ridwan Kamil di Gedung Sasana Bhakti Praja kemendagri, Jalan Merdeka
Utara, Jakarta Pusat, Selasa, 28 November 2017. Sementara Kementerian Kesehatan
diwakili oleh Staf Ahli di Bidang Desentralisasi Kesehatan Pattiselanno Roberth
Johan.
Kota Bandung meraih penghargaan Anugerah Swasti Saba Wistara karena menerapkan
prinsip-prinsip pola hidup bersih sehat. Selain itu, dinilai telah membuat berbagai
inovasi dalam bidang manajemen kesehatan, lingkungan, dan pelayanan kesehatan.
Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek menjelaskan, penghargaan Swasti Saba Wistara
diberikan kepada pemerintah kota/kabupaten yang telah memberikan banyak
kontribusi dan komitmen besar terhadap tujuan pembangunan kesehatan. Ada
sembilan indikator sebuah kota layak mendapatkan kategori sebagai Kota Sehat.
"Penghargaan Swasti Saba Wistara diberikan kepada kota yang dinilai mampu
membangun sinergitas antara pemerintah dan masyarakat guna membangun sektor
kesehatan," kaya Nila.

Semangat melayani
Ridwan Kamil mengucapakan terima kasih kepada seluruh masyarakat yang
berkontribusi atas diraihnya penghargaan ini. "Terima kasih kepada masyarakat dan
jajaran Pemkot Bandung atas kerja keras," cuitnya di akun Twitter pribadinya
@ridwankamil.
Pihaknya kemudian mengajak masyarakat untuk lebih semangat dalam membenahi
Kota Bandung. Khususnya melayani kesehatan masyarakat.
"Mari kita layani kesehatan warga dengan dengan semangat baik," cuitnya.
Seperti diketahui, berbagai inovasi pelayanan dalam bidang kesehatan telah
digelorakan Pemkot Bandung. Salah satunya program Layad Rawat yang
menghadirkan pelayanan kesehatan dari pintu ke pintu.***
Sembilan Masalah Pendidikan Kota
Bandung
Oleh: Dewiyatini

27 September, 2015 - 10:35

PENDIDIKAN

BANDUNG,(PRLM).- Sembilan masalah krusial di bidang pendidikan belum mampu


diatasi dalam dua tahun masa kepemimpinan pasangan Ridwan Kamil dan Oded M.
Danial. Setiap tahun, masalah serupa terus berulang.
Ketua Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI) Kota Bandung Iwan Hermawan mencatat
sejumlah masalah pendidikan mulai di tataran guru, sekolah, hingga Dinas Pendidikan.
Berikut sembilan masalah tersebut:
1. Kota Bdg belum mampu memberikan Biaya Operasional pendidikan, sehingga belum
bisa menggratiskan pendidikan sampai SMA/SMK.
2. Kota Bandung belum membuat regulasi penyusunan, penggunaan dan pelaporan
Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS), sehingga belum ada keseragaman
posting RKAS antar satu sekolah dan sekolah lainnya.
3. Kota Bandung belum mampu meberantas penyakit-penyakit pendidikan seperti
penyalahgunaan dana pemerintah dan masyarakat, pungutan -pungutan,penjualan-
penjualan seragam/LKS/Buku paket/atribut sekolah, pemaksaan Les dan renang.
4. Tidak adanya ketegasan dalam memberikan sanksi kepada para pelanggar sehingga
tidak menimbulkan efek jera kepada pelaku.
5. Tidak ada kekompakkan kinerja antara pejabat Disdik.
6. Belum mampu memetakan dan memeratakan guru, sehingga guru masih harus
mencari sendiri sekolah untuk memenuhi kewajibannya 24 jam tata muka per minggu.
7. Lamban dalam rekrutmen dan periodisasi masa tugas kepala sekolah, sehingga ada
beberapa kepala sekolah yang habis masa jabatannya terlambat diberhentikan.
8. Terjadi kekacauan dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dalam 2 tahun
terakhir.
9. Seringkali Dinas Pendidikan menggelar kegiatan yg membebankan biaya kepada
sekolah.(Dewiyatini/A-147)***

BANDUNG, (PRLM).- Pemerintahan Kota (Pemkot) Bandung mengklaim laju


pertumbuhan penduduknya bisa dikendalikan dan dinyatakan seimbang dengan angka
kelahiran. Sehingga laju pertumbuhan penduduk di Kota Bandung optimis bisa ditekan.
“Meski begitu kita terus menggeliatkan KB kesehatan terlebih saat ini jumlah penduduk
di dunia sudah berjumlah 7 miliar, ini berpengaruh terhadap daya dukung lingkungan
dan daya dukung alam dan sumber-sumber makanan yang semakin lama akan semakin
mengalami kelangkaan terlebih di Indonesia lahan-lahannya kian menyusut. Dan itu
menjadi persoalan dimasa depan,” kata Sekertaris Daerah Edi Siswadi usai membuka
Pencanangan Bakti TNI Kesehatan Terpadu Kodim 0618 Kota Bandung di lapangan
Pendawa, Kelurahan Arjuna, Kecamatan Cicendo, Kamis (24/5/12).
Pemkot sendiri kata Edi Siswadi, saat ini tengah membina usia produktif untuk
mengatur keluarganya tepatnya mengimbau agar memiliki dua anak saja serta
mengimbau kaum pria untuk turun berperan aktif.
“Sehingga saat peningkatan pertumbuhan penduduk bisa dikendalikan, Bandung akan
memiliki SDM yang berkualitas, cerdas dan sehat serta kesejahteraan keluarganya
maksimal. Upaya Kami telah berhasil mencapai angka di bawah satu persen. Hanya saja
persoalannya kini kita pun terkena dampak laju pertumbuhan penduduk urban, kalau
tidak bisa diimbangi bisa menimbulkan persoalan-persoalan baru,” kata Edi.
Kepala Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (PPKB) Kota Bandung
Popong W Nuraeni mengatakan, dari jumlah penduduk sekitar 2,4 juta jiwa, ternyata
laju penduduk alaminya dibawah 1 persen atau 0,46 persen sedang angka total fertility
rate (angka kelahirannya (TFR)) sekitar pada poin 1,7.
“Itu berarti pertumbuhan penduduk dengan kelahiran di Bandung masih wajar, dan
angka tersebut membantah anggapan program KB stagnan. Namun idealnya, penduduk
itu tanpa pertumbuhan dari misalnya satu orang ibu memiliki dua anak salah satunya
wanita, itu berarti satu ibu digantikan satu anak wanita,” kata Popong.
Sebelumnya Dandim 0618 Kota Bandung Wawan Hermawan mengatakan kegiatan
bakti TNI itu merupakan kegiatan rutin yang dilakukan satuannya guna membantu
program pemerintah dan membantu memudahkan masyarakat untuk mendapat akses
menggunakan alat kontrasespi. (A-113/A-88)***
31 Mei 2010. Hingga hari terahkir pencacahan penduduk di Kota Bandung tahun 2010,
yaitu pada 31 Juni, Badan Pusat Statistik mencatat jumlah penduduk Kota Bandung
mencapai 2.358.206 jiwa.
Dari jumlah tu, rinciannya adalah laki-laki sebanyak 1.197.849 jiwa dan perempuan
1.160.357 jiwa.
Sementara itu, data BPS tahun 2015 menyebut jumlah penduduk Kota Bandung
mencapai 2.481.469 jiwa dengan rincian jumlah laki-laki 1.253.274 jiwa dan jumlah
perempuan 1.228.195 jiwa.
Jika berlandaskan pada catatan itu, artinya, jumlah penduduk Kota Bandung dari tahun
ke tahun selama periode 2010-2015 bertambah 24.652 jiwa.
Dari rincian itu terlihat bahwa jumlah penduduk laki-laki selalu lebih banyak dari
perempuan. Maka tidak heran jika Wali Kota Bandung Ridwan Kamil selalu menyindir
soal laki-laki jomblo dalam gurauannya di media sosial.
Akan tetapi, laman Wikipedia mencantumkan bahwa jumlah penduduk Kota Bandung
adalah 2.771.138 jiwa. Sementara secara naisonal, dari hasil sensus penduduk pada
2010 itu, BPS menyatakan jumlah penduduk Indonesia adalah sebanyak 237.556.363
jiwa.
Terlepas dari perhitungan itu, Kota Bandung—sebagai ibukota Jawa Barat dan Kota
kedua terbesar di Indoensia setelah Jakarta—punya daya tarik tersendiri untuk
memancing kedatangan penduduk dari luar daerah.
Banyaknya perguruan tinggi ternama di Kota Bandung menjadi magnet bagi para
penuntut ilmu untuk berdatangan. Hal itu bahkan sudah terjadi sejak masa
pendudukan Belanda.
Suhu udaranya yang sejuk juga menjadi alasan banyak pendatang yang betah berlama-
lama tinggal di Kota Bandung dan memutuskan untuk menetap permanen.
Selain itu, pertambahan penduduk kota Bandung juga berhubungan kuat dengan
adanya sarana transportasi kereta api yang dibangun sekitar tahun 1880. Jalur itu
menghubungkan Kota Bandung dengan Jakarta. Belum lagi akses jalan tol Cipularang
yang saat ini mempermudah akses dri Jakarta ke Kota Bandung.
Pada 1941 silam, jumlah penduduk Kota Bandung tercatat sebanyak 226.877 jiwa.
Jumlah penduduknya bertambah drastis setelah peristiwa bersejarah Long March
Siliwangi. Setelah persitiwa itu, angka penduduk Kota Bandung meningkat hampir 3
kali lipat. Data tahun 1950 menunjukkan jumlah penduduk Kota Bandung yaitu
644.475 jiwa.***

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Wajib pajak di Kota Bandung, masih


banyak yang belum membayar pajak. Menurut Wali Kota Bandung M
Ridwan Kamil, jumlah wajib pajak di Kota Bandung yang terdaftar
berjumlah 750 ribu tetapi yang menyampaikan SPT hanya sekitar 600
ribu. Dari jumlah tersebut, yang membayar pajak hanya 60 persen dari
jumlah yang menyampaikan SPT.

"Jadi yang sekitar 360 ribu saja. Jadi sebanyak 40 persen masyarakat
Kota Bandung masih kurang disiplin membayar pajak," ujar Ridwan
Kamil yang akrab disapa Emil usai Sosialisasi Pengisian dan
Penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi dengan E-Filling dan
Amnesti Pajak oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung
Cibeunying di Audiotorium Balai Kota, Jalan Wastukancana, Kota
Bandung, Senin (13/3).

Emil pun mengimbau pada semua masyarakat di Kota Bandung untuk


segera menyampaikan SPT-nya dan membayar kewajiban membayar
pajak. Karena, di Kota Bandung sendiri uang pajaknya sangat terasa
yang diaplikasikan dengan pembangunan tata Kota yang nyaman.

Emil mengatakan, pendapatan pajak Kota Bandung cukup terasa. Hal


itu, terlihat dari banyaknya pembangunan taman-taman, pelebaran jalan
hingga 90 persen, trotoarnya dibuat nyaman, serta pelayanan
pendidikan dan kesehatan gratis untuk masyarakat yang kurang mampu.

Apalagi, kata Emil, dengan perkembangan teknologi saat ini tidak ada
alasan lagi bagi masyarakat untuk malas mengurusi perpajakan. Melalui
aplikasi e-filling ini akan memudahkan masyarakat dalam pengurusan
tanggung jawab dalam membayar pajak untuk proses pembangunan
Kota yang sehat. "Jadi, dengan dukungan teknologi yang sudah
berkembang saat ini, tidak ada lagi alasan bagi masyarakat untuk tidak
disiplin membayar pajak," katanya.

Sebagai komitmen Pemerintah Kota Bandung, kata dia, pihaknya telah


berkordinasi dengan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung
Cibeunying untuk melaksanakan sosialisasi kepada Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) sebagai bentuk ajakan kepada semua SKPD
yang di lingkungan Pemkot Bandung. Secara simbolis, Emil mengisi
Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) elektronik yang dikenal dengan
sebutan e-filling. Menurut Emil, pengisian pajak ini sangat mudah karena
hanya memasukan Nomor Pokok Wajib Pajak dan password dengan
memakan waktu hanya 100 detik atau kurang dari 2 menit.

"Alhamdulillah secara simbolis e-filling sudah bisa diisi. Hanya dengan


waktu kurang dari 2 menit semuanya beres," katanya.

Sementara menurut Kepala KPP Pratama Cibeunying, Andi Setiawan,


saat ini pengisiain SPT tahunan pribadi menggunakan e-filling. Jadi, tak
harus antre karena bisa lewat email. Adanya dukungan dari Pemkot
Bandung, bisa meningkatkan kepatuhan wajib pajak. "Ya, kepatuhan
tingkat kepatuhan wajib pajak harus terus ditingkatkan," katanya.
31 Maret 1990. ”Sebaik-baiknya kota, adalah kota yang berencana”. Demikianlah
kalimat pembuka esai Haryoto Kunto yang dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat
edisi 31 Maret 1990. Esai itu berjudul ”Tata Ruang Kota Bandung Masa Mendatang”.
Sangat besar kemungkinan, yang dimaksud ’Masa Mendatang’ dalam esai itu adalah
Kota Bandung hari ini.
Apa yang dia uraikan dalam tulisannya 27 tahun lalu itu boleh jadi adalah semacam
”ramalan” sekaligus harapan akan Bandung sebagai kota yang ideal dan nyaman untuk
ditinggali.
Sejauh mana semua visi itu terwujud sekarang? Jika cermat, Anda akan banyak
menemukan kesesuaian. Berikut ini esai utuhnya kami hadirkan kembali untuk Anda.
Selamat membaca.
***
Yang perlu ditanyakan sekarang adalah, perencanaan kota yang bagaimanakah yang
cukup efisien, memenuhi kebutuhan warga kota dan juga sesuai dengan tuntutan
zaman?
Pertanyaan tadi amat sederhana, namun kelewat suilt untuk menemukan jawaban yang
gamblang. Kecuali bila kita berhasil menjabarkan pertanyaan itu ke dalam beberapa
komponen permasalahan kota, agar satu per satu dapat dicarikan cara
penanggualangannya.
Mengupas dan membicarakan masalah kota, terutama yang ada hubungan atau kaitan
dengan persoalan yang lagi dihadapi oleh Bandung, memang sangat relevan. Meningat,
bahwa Bandung yang pemerintahan kotanya lagi berhari-jadi yang ke-84, pada tanggal
1 April 1990 ini, masih mengalami problem dalam penataan kotanya.
Dua Alternatif
Dalam sistem penataan kota, kita dihadapkan kepada dua pilihan, yakni: (1) menganut
prinsip 'master plan' atau 'rencana induk kota' (RIK) yang telah dikenal di Inggris
semenjak abad ke-19 yang lalu; atau (2) prinsip 'zoning plan' yang banyak dianut oleh
kota-kota besar di Amerika Serikat. Para perancang di negara adikuasa ini membagi
kota dalam beberapa kawasan fungsional yang sering disebut zones. Penataan kota
dengan zoning plan tergolong mahal dan menuntut jaringan lalu lintas dan angkutan
kota yang efisien. Pada awal pertumbuhan kota-kota besar di AS, prinsip master
plan kurang dikenal di negeri itu.
Adapun penataan kota di Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda
lebih banyak mengacu kepada kebijakan rancangan gaya Inggris, yang menganut
prinsip master plan. Adapun perencanaan kota yang menggunakan prinsip master
plan, memandang kota dalam satu kesatuan untuk perancangan.
Penataan kota di Indonesia pada zaman kolonial dulu banyak sekali dipengaruhi oleh
gaya perencanaan Inggris. Terbukti bahwa pola 'garden city' (kota taman) yang
digandrungi orang Inggris pada akhir abad yang lalu, sempat pula diterapkan di
beberapa kota di Nusantara (Dr. Ir. Thomas Nix, "Stedebouw in Indonesien de
Stedebouwkundige Voringeving", 1949)
Bahkan sejak awal tahun 1920-an, prinsip master plan telah dipakai oleh beberapa kota
besar di Indonesia. Semua ini berkat usaha Ir. Thomas Karsten, seorang perancang kota
yang jempolan, yang telah menyusun rencana induk kota bagi: Semarang (1916),
Bandung (1935), Batavia (1936), Madiun (1929), Magelang, Cirebon, Malang (1930),
Bogor (1920), Jatinegara, Yogyakarta, Solo, Purwokerto, Palembang, Padang, Medan
dan Banjarmasin (Erica Bogaers, "Ir. Thomas Karsten en de Oniwikkeling van de
Stedebouw in Nederlands Indie 1915-1940", 1983).
Rencana Induk Kota (RIK)
Dengan memilih prinsip master plan sebagai wahana penataan kota, maka ada
beberapa kendala yang timbul sebagai efek sampingan, yakni:
RIK terkadang kelewat ambisius, tidak praktis dan kurang aplikatif. Semua itu, sebagai
konsekuensi dari RIK yang menampung cita-cita yang ideal dan gagasan-gagasan yang
berbau filosofis.
Pada gilirannya, kesulitan pertama yang timbul adalah, bagaimana menjabarkan dan
menerjemahkan 'gagasan muluk' ke dalam program-program yang realistis, yang
mengantisipasi keperluan masyarakat. Begitu pula dalam dimensi waktu, program
jangka panjang dalam RIK harus dapat dibagi dalam program jangka pendek menurut
urutan skala prioritas.
Padahal, RIK yang baik dan memadai harus mengacu kepada: faktor kemampuan
manusia yang tinggal di kota, potensi sosial-ekonomi, kebutuhan dasar warga kota, dan
realitas fisik kawasan kota.
Betapa ambisiusnya kota-kota besar di Indonesia dalam menyusun RIK, tercermin dari
usaha untuk mencantumkan segala macam 'fungsi' kegiatan sebaga warna identitas
sebuah kota. RIK ingin memborong fungsi kota sebagai: kota industri, kota
perdagangan, pendidikan pariwisata, kota budaya, kota pelabuhan, kota militer, dan
lain sebagainya.
Sebagai contoh, Surabaya sering menamakan diri sebagai kota "Indarmadi", singkatan
dari: industri, dagang, maritim dan pendidikan. Adapun dalam RIK Kotamadya
Bandung tahun 1971, fungsi yang dicakup meliputi kegiatan: kota industri, kota
perdagangan, kota wisata, kota pendidikan, ibukota provinsi, dan sebagai kota budaya.
Fungsi-fungsi tidak jelas cuma membebani kota ini di luar kemampuannya.
Untuk menata dan mengembangkan Kota Bandung, beberapa upaya perencanaan telah
ditempuh, sejak masa sebelum tahun 1971.
Perangkat rencana pembangunan Kota Bandung
(1) Sebelum tahun 1971, Bandung telah menyusun suatu master plan sebagai alat untuk
melakukan terapi penyelesaian masalah kota yang dikenal sebagai ‘Rencana Struktur
Kota Bandung’.
(2) Tahun 1971 telah dikembangkan ‘Rencana Induk Kotamadya Bandung 1971-1991’.
(3) Kemudian pada tahun 1985 telah disusun ‘Rencana Induk Kota’ (RIK) tahun 1985-
2005 yang lengkap dengan ‘Rencana Bagian Wilayah Kota’ (RBWK) bagi wilayah
Bojonagara, Cibeunying, Karees, Tegallega, dan Wilayah Pusat Kota, disertai dengan
‘Rencana Terperinci Kota’ (RTK) untuk beberapa bagian kawasan kegiatan kota.
(4) Pada tahun 1974 telah dikembangkan suatu konsepsi memberikan arahan untuk
mengurangi beban Kota Bandung, melalui suatu pendekatan pengembangan wilayah,
yang ditujukan untuk mendorong kota-kota kecil di sekitar Bandung berperan sebagai
"semberani sandingan" (Djoko Sujarto, "Masalah dan Perkembangan Kota Bandung",
1988).
(5) Berdasarkan PP No. 16 Tahun 1987, wilayah administrasi Kotamadya Bandung
diperluas dari 8.098 menjadi 17.000 ha.
Selain dari perangkat rencana pembangunan kota tadi, kelengkapan peraturan daerah
dan undang-undang yang berkaitan dengan pembangunan kota, sementara ini telah
cukup memadai sebagai bekal penataan Kota Bandung. Namun bila kita mau bersikap
jujur, kendati Bandung telah meraih predikat "Adipura" (julukan kota terbaik di
Indonesia), namun sampai kini masih terasa dan ditemui kejanggalan-kejanggalan
dalam penataan kota ini. Terutama bila kita persoalkan tentang wajah arsitektur dari
Kota Kembang ini. Jadi di mana letak kesalahannya?
Kesalahan atau problemnya terdapat pada: (1) kesalahan dalam pemahaman konsepsi,
(2) 'sistem pengelolaan kota' atau 'urban management', (3) kurang cepat mengantisipasi
aspirasi kebutuhan masyarakat.
Fungsi wilayah yang diambangkan
Dalam suatu wawancara dengan radio 'KLCBS' di awal tahun 1988 yang lalu, Bapak
Wali Kotamadya Bandung, Ateng Wahyudi menyatakan, bahwa dalam pengaturan dan
pembangunan kota, Pemda condong menerapkan penataan gaya Inggris, yang memberi
peluang terjadinya ‘fungsi campuran’ atau mixed zoning di sementara kawasan Kota
Bandung.
Beranjak dari pemilihan konsep tersebut, maka dalam buku "Rencana Induk Kota 1985-
2005" kita temukan istilah—daerah dengan fungsi diambangkan. Maksudnya, suatu
wilayah kota yang masih belum jelas fungsi dan peruntukannya, ditunggu dalam
periode tertentu, hingga jelas bentuk kegiatan dominan di kawasan tersebut. Lalu,
ditetapkan fungsi wilayah tersebut secara tetap dan pasti. Jadi menurut Ir. Djoko
Sujarto M.Sc., dosen pada jurusan Planologi ITB yang ikut menangani penyusunan RIK
Bandung, tidak ada kawasan kota yang secara permanen terus-terusan diambangkan
fungsinya. Semua mengenal waktu!
Menurut Djoko Sujarto, buat mengenal kawasan yang diambangkan atau floating area
perlu dilengkapi dengan wahana kebijakan sebagai berikut: (1) Pemda harus memiliki
perangkat pengendali secara terus-menerus memantau aktivitas ekonojmi dan
perubahan yang terjadi pada wilayah yang diambangkan itu. (2) Status fungsi
diambangkan mengenal batas, 20 tahun umpamanya, sebelum ditentukan secara pasti
fungsi peruntukannya. (3) Dalam proses penataan kota harus ada kesinambungan
kebijakan. Jangan sampai terjadi, seperti apa yang dikatakan oleh Menteri PU, Ir.
Radinal Moochtar, "pembangunan kota sering kali cuma mengikuti selera pimpinan
daerah". Sehingga acapkali terjadi, ganti wali kota, ganti kebijaksanaan!
Konsep ‘wilayah diambangkan’ terkadang kurang dipahami oleh pihak pengelola kota,
ungkap Ir. Mochtarram Karyoedi, rekan Djoko Sujarto di Planologi ITB. Bila Kota
Bandung dibagi dalam tiga lingkaran konsentris, maka akan terdapat: (1) kawasan pusat
kota (central business district "CBD") atau ‘inti kota’ (2) kawasan sub-inti (sub-center),
(3) kawasan pinggiran kota (periphery). Pembangunan dan penataan ruang kawasan
pusat kota dilakukan dengan ketat, dan peruntukannya telah mantap dan pasti.
Sedangkan, kawasan sub-center masih toleran terhadap fungsi campuran. "Namun ini
bukan berarti bebas membangun segala jenis macam jenis kegiatan, tanpa
mempertimbangkan harmoni dan penyesuaian (compatible) terhadap lingkungan yang
telah ada," ujar Mochtarram pula.
Kesalahan dalam pemahaman konsep ‘wilayah diambangkan’ terlihat pada kawasan
sub-center Jl. Sumatera. Pada ruas jalan itu terhadap pusat perbelanjaan (Bandung
Indah Plaza) yang berhampiran dengan kompleks militer (bangunan Kodam Siliwangi).
Sedang di ujung selatan Jl. Sumatera, sebuah kompleks hiburan (Cinemaplex) dibangun
berhadapan dengan rumah sakit yang memerlukan suasana tenang dan tentram.
Ir. Djoko Sujarto tak dapat menyembunyikan kerisauan hatinya, atas terjadinya
'penetrasi' terhadap fungsi kawasan Jl. Dago, Cihampelas, Cipaganti, dan Jl. Pasirkaliki,
yang beralih dari kawasan pemukiman kini menjadi pusat bisnis dan perdagangan.
Bahkan menurut Sujarto, keselarasan kawasan ‘Kompleks Kotamadya Bandung’ sebagai
jantung administrasi kota bakal terganggu, bola kehadiran bangunan baru, bertingkat,
tidak ditata dengan semestinya (Djoko Sujarto, "Penataan Ruang Kawasan Kompleks
Kotamadya Bandung", 1990).

Sedikit catatan berdasarkan pengamatan Ir. Yuswadi Salya M.Arc, dari jurusan
Arsitektur ITB. Ternyata ada kecenderungan terjadinya alih fungsi dan penetrasi di
sementara jalan protokol Kota Bandung, akibat dari tingginya 'pajak bumi bangunan'
(PBB). Sehingga rumah tinggal yang tidak produktif kemudian beralih fungsi menjadi
toko, hotel, bank, restoran, tempat kursus, foto copy, kios, warung, bengkel show room
dan lain sebagainya. Kawasan permukiman yang kini mulai beralih fungsi menjadi
kawasan perdagangan adalah Jl. Buahbatu, Sukajadi, Setiabudhi dan Jl. Riau.
Ir. Sandi A Siregar M.Ar., seorang sahabat yang tengah mengikuti program doktor di
Leuven Belgia, mengimbau kepada para pengelola kota agar dalam pembangunan dan
penataan kota, menggunakan ‘pikiran sehat’ (common sense) yang berwawasan sejarah.
Maksudnya, pengelola kota jangan suka berdalih "tidak sesuai dengan planning kota,"
kemudian mau menggusur rumah sakit, bangunan sekolah atau kuburan, semata guna
menyediakan lahan kosong buat para investor atau developer yang haus tanah. Bila
logika ini diikuti terus, jangan-jangan Bandung ini, jalur rel kereta api harus
dipindahkan karena menghalangi kelancaran arus lalu-lintas utara-selatan.
Begitu pula Pabrik Kina, kompleks militer dan pabrik senjata, harus dicarikan lokasi
baru. Dengan berlalunya sang waktu, pabrik dan kuburan yang semula terletak di
pinggiran kota, kemudian menjadi terletak di tenga daerah permukiman penduduk. Hal
itu terjadi akibat mekar, meluasnya wilayah kota. Oleh karena itu kurang beralasan, bila
kehadiran fasilitas kota dan bangunan lama yang sudah ada sejak dahulu, kemudian
digusur atau dihanurkan. Kasus semacam itu hampir serupa dengan kecenderungan
kabupaten baru, setelah ibu kota lama berubah status menajdi kotamadya.
"Lalu bagaimana bila di belakang hari nanti, ibukota yang baru itu berkembang menjadi
kotamadya? Apa mesti mencari ibukota kabupaten yang baru lagi?" tanya Mendagri
Rudini yang tak menyukai ide-ide yang tak logis.
Dari dua menjadi tiga dimensi
Perencanaan kota pada masa lalu, cukup memperhatikan dua faktor utama, yakni: (1)
tata guna tanah atau land use planning dalam artian dua dimensi, dan (2) bentuk
aktivitas/kegiatan di atas lahan yang bersangkutan.
Namun, bila kita sudah bicara perkara ‘Asperko’ (Arsitektur Perkotaan) maka masalah
menjadi lebih kompleks. Karena sosok arsitektur kota telah menginjak aspek 'tiga
dimensi' atau 'tata ruang' kota.
Adapun yang disebut 'tata ruang kota' meliputi: (1) Ruang di bawah permukaan tanah,
menyangkut struktur geologis, galian dan bahan tambang, ari tanah, batuan, kabel
telepon, pipa air minum, pipa gas, saluran air limbah dan lain-lain; (2) Segala macam
bangunan, kegiatan manusia, pepohonan, pergerakan barang dan manusia yang terjadi
di perukaan tanah; (3) Meliputi pula benda, gerakan, kegiatan dan kondisi alami di
angkasa seperti: bangunan pencakar langit, antene radio-TV, polusi udara, pesawat
terbang yang lalu-lalang, huja, mega, sinar bulan, cahaya matahari, puncak gunung-
gemunung, burung terbang, sampai masalah seakin menipisnya ozon. Semua aspek
tersebut punya kaitan dan tercakup dalam proses penataan ruang kota.
Pada masa lalu, untuk memohon 'izin bangunan' orang cuma mempertimbangkan
denah baungan (overvlak) dan 'garis sempadan bangunan' (GSB) atau 'Rooilijn'.
Padahal untuk penataan bangunan secara 'dua dimensi' masih harus
mempertimbangkan: 'garis sepadan jalan' (GSJ), kemudian juga garis sepadan samping
dan belakang bangunan. Dan masih ada beberapa faktor pertimbangan lainnya seperti,
fungsi kawasan dan ciri visual lingkungan sekitar. Jadi faktor pertimbangan bukan
cuma building coverage ratio (BCR) atau koifisien dasar bangunan (KDB) saja.
Izin bangunan dalam penataan ruang kota mempertimbangkan banyak faktor, antara
lain:
(1) Koifisien dasar bangunan (KDB)
(2) Koifisien lantai bangunan (KLB) yang menunjukkan jumlah lantai bangunan
(3) Ketinggian bangunan (dalam ukuran meter) dan diizinkan.
(4) Memenuhi syarat dan ketentuan 'peraturan bangunan' (building code/ building
regulation).
(5) Memenuhi persyaratan arsitektonis dan teknis.
Untuk memberikan pertimbangan terhadap permohonan izin bangunan yang sesuai
dengan prosedur yang semestinya, Pemda Kotamadya Bandung perlu dibantu oleh
sebuah tim khusus. Seperti Pemda DKI Jaya, dibantu oleh 'tim pengarah arsitektur'
(TPA). Menurut Dr. IR. Moh. Danisworo, M.Arc., MUP, yang duduk menjadi anggota
'TPA' di DKI, tim tersebut terdiri dari para ahli instansi: Direktorat Cipta Karya,
kalangan profesi, perguruan tinggi dan orang DKI. Dan kalau di Bandung akan didirkan
semacam TPA itu, maka kalangan budayawan dapat diikutsertakan.
Kehadiran 'tim pengarah arsitektur' di Bandung sangat urgen sekali. Mengingat, dalam
dasawarsa terakhir, beberapa bangunan bertingkat, ukuran besar, mulai bermunculan
di segenap penjuru Kota Bandung. Bahkan di kawasan Alun-alun dalam waktu yang
tidak terlalu lama lagi, bakal berdiri sebuah bangunan bank berlantai 15, yang pasti
bakal menimbulkan masalah, dampak, dan konsekuensi terhadap lingkungan
sekitarnya. Terlebih lagi, bangunan bank tersebut bakal mendominasi citra visual
kawasan Alun-alun.

Adanya bangunan-bangunan berlantai banyak di Bandung, menuntut pula peralatan


pemadam kebakaran yang canggih, bila waktu-waktu terjadi musibah kebakaran.
Dari segi penataan visual, hadirnya bangunan berlantai banyak memerlukan
pengecekan (review) terhadap persyaratan teknis, orientasi lingkungan, material
bangunan, sirkulasi lalu-lintas orang dan kendaraan, tempat parkir, gaya atau bentuk
arsitektur bangunan, layak bangun sesuai dengan building code/regulation yang
berlaku. Gedung yang baru dibangun harus kontekstual, menyesuaikan diri dengan
lingkungan sekitarnya.
Oleh karena itu beberapa arsitek di Kota Bandung, kurang sependapat dengan
rekomendasi dari Thomas Klaas, yang mengusulkan agar bangunan di sepanjang jalan
protokol Kota Bandung, terdiri atas gedung berlantai empat. Tanpa menyesuaikan
dengan karakter visual tiap kawasan jalan. Akibatnya kita saksikan bangunan-bangunan
toko di jalan protokol, seperti di Jl. Otto Iskandardinata tegak berderet 'peti-peti sabun'
nan tunggal rupa, memberi kesan seperti pertokoan di Glodok Jakarta. Jalur jalan yang
semula terlihat luas dan lebar, sejak diapit oleh deretan bangunan tingkat empat yang
tegak meter trotoar, terlihat sempit membentuk lorong panjang yang agak gelap.
Daerah kantong di Kota Bandung
Di Kota Bandung ini banyak terdapat 'kantong-kantong' permukiman penduduk yang
terisolasi, dikelilingi tembok yang rapat dari bangunan pertokoan di pinggir jalan.
Dalam pertumbuhannya kemudian, kantong-kantong permukiman tersebut berubah
menjadi daerah kumuh. Seperti yang terdapat di belakang pertokoan Jl. Braga, Pasasr
Baru, Astana Anyar, Gardujati dan beberapa jalan lainnya.
Kantong-kantong permukiman penduduk itu perlu diremajakan, dengan cara
membangun rumah flat yang lebih sehat. Dan upaya ini merupakan program
peremajaan kota. Dan menghilangkan kesenjangan sosial di dalam kota!
Dengan membuka atau membongkar kawasan kantong tersebut, maka rasionalisasi
penggunaan lahan di pusat kota dan pusat perdagangan dapat dilaksanakan. Selain itu,
sebagian lahan bekas kantong pemukiman dapat digunakan untuk tempat parkir,yang
kini terasa kurang banyak di kawasan pusat kesibukan kota.

Peremajaan kantong hunian penduduk tidak terlepas dari pengamanan terhadap


bahaya kebakaran.
Untuk Kota Bandung, sudah tiba saatnya, membangun rumah susun di tengah kota,
sebagai eksperimen percontohan, yang dapat diikuti oleh daerah kantong hunian
penduduk, yang banyak tersebdar di kawasan Kota Bandung.
Tantangan memasuki abad 21
Sebagaimana juga kota-kota besar di Indonesia lainnya, Bandung menghadapi tiga
tantangan masa depan yang harus dihadapi, yaitu:
(1) Bandung tetap dicita-citakan menjadi kota yang "bersih hijau berbunga" (berhiber)
(2) Perluasan wilayah Kota Bandung menjadi 17.000 ha, membawa konsekuensi dan
beban baru.
(3) Bandung bakal menanggung beban berat sebagai kota multi-fungsi.
Untuk menghadapi ketiga tantangan tersebut, perlu diupayakan:
(1) Peningkatan sistem pengelolaan kota yang ditangani secara profesional, namun
tetap mengayomi warga kota dan manusiawi.
(2) Pendekatan yang koordinatif dan strategis.
(3) Memadukan perangkat perencanaan pembangunan kota dengan perangkat
peraturan perundangan secara konsekuen dan konsisten.
Ciri visual Kota Bandung menjelang tahun 2000
Suatu studi 'futuristik' (melihat jauh ke depan) yang dilakukan oleh Ir. Adhi Mursid IAI
(1987), meramalkan bahwa desain arsitektur kota-kota Indonesia yang akan datang,
adalah desain rancangan yang mampu mewujudkan kota dengan masyarakat yang
padat, tetapi tetap indah dan nyaman dihuni serta bahagia dengan ciri-ciri sebagai
berikut:
(1) dibangun dengan aparat pengelola yang lengkap dan peralatan standar, kendati yang
cukup efektif dengan wahana master plan, detail plan, site plan, rancang bangun
rekayasa berikut peraturan dan perundangan (peruntukan lahan, tata letak, GSB, GSJ,
KDB, KLB, kepadatan penduduk, peraturan bangunan, prosedur IMB, IPB dan lain-
lain).
(2) Kota-kota dengan bangunan-bangunan bertingkat banyak dalam jumlah dan kian
dominan
(3) Kota-kota dengan jaringan layang.
(4) Kota-kota dengan sistem angkutan umum yang kian dominan, kian cepat, murah
dan aman.
(5) Kota-kota dengan tataguna lahan campura yang efisien.
(6) Kota-kota dengan fasilitas lingkungan yang memadai.
(7) Kota-kota yang mempunyai ciri visual masing-masing.
(8) Kota-kota dengan bangunan-bangunan yang low energy consuming (hemat energi).
(9) Masih jadi pertanyaan apakah kota-kota masa depan akan berciri akrab, berhiber,
indah, tertib, dan menyenangkan? Hal itu tantangan bagi kita bersama.
Ramalan tentang ciri visual kota-kota Indonesia (termasuk Kota Bandung) menjelang
tahun 2000 yang dicoba dilukiskan dengan kecenderungan atas masih tergantung
kemampuan, sikap, dan kerja keras para pengelola kota dan para profesional yang
mendukungnya, yaitu kita sendiri.***

Diskominfo – PPID

Kebudayaan merupakan salah satu daya tarik pariwisata Indonesia yang perlu dikembangkan secara khusus di

Kota Bandung. Oleh karena itu di tahun 2017 ini Kota Bandung mengembangkan sektor kebudayaan agar

pengembangan pariwisata dapat timbul.

Hal tersebut disampaikan oleh Wali Kota Bandung M. Ridwan Kamil dalam sambutannya pada acara

Musyawarah Daerah Asosiasi Pelaku Pariwisata Indonesia (ASPPI) DPD Jawa Barat yang diadakan di Hotel

Grand Pasundan Kota Bandung, Minggu (9/4/2017).


Acara tersebut dibuka oleh Sekretaris Daerah Kota Bandung Yossi Irianto dan dihadiri juga oleh perwakilan

Disparbud Provinsi Jawa Barat Kabid Pengembangan ESDM Rusyandi, Kepala Disbudpar Kota Bandung

Dewi Kaniasari, Ketua Umum ASPPI Djohari Somad, dan Ketua DPD Jawa Barat ASPPI Deaz Alexandrie.

“Jadi di Disbudpar ini saya kembangkan Bud-nya dulu, lalu nanti par-nya muncul mengiringi.”, ucap pria yang

akrab disapa Emil ini.

Menurutnya lagi unsur budaya di tanah sunda masih belum terlalu menonjol dibandingkan dengan daerah

lainnya.

“Misalkan Bali punya dua hal, satu alam satu budaya, di tanah sunda ini Jawa Barat punya alam, budayanya

belum maksimal, bukan tidak ada.” ungkap Ridwan.

Oleh karena itu tahun ini Kota Bandung mulai mencoba menciptakan kawasan berwawasan budaya sunda,

salah satunya adalah Pusat Budaya Sunda yang rencananya akan dibangun di Cibiru.

“Seperti Kampung Naga, saya copy kesini. Tapi didalamnya retail, jadi semua ada, ada pernak-pernik, ada

kulinernya. Jadi nanti turis kalau berkunjung tidak hanya ke Saung Udjo saja, tapi bisa ke Pusat Budaya Sunda

ini.” tutur Ridwan.

Senada dengan Wali Kota Bandung, Ketua Umum ASPPI Djohari Somad dalam sambutannya mengatakan

bahwa kebudayaan sunda memiliki potensi yang tinggi untuk berkembang.

“Jawa barat memiliki potensi pariwisata yang tinggi dengan kearifan lokalnya.” ucap Djohari.

Pariwisata merupakan sektor utama pendapatan asli daerah (PAD) Kota Bandung. Berdasarkan penuturan

Ridwan, Kota Bandung memiliki pertumbuhan ekonomi 7,6 persen, sedangkan Indonesia tumbuh sekitar 5%.

“Jadi kita termasuk yang tercepat, diatas rata-rata Indonesia.” tutur Ridwan.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung juga setuju dengan pernyataan Ridwan, karena

pendapatan Kota Bandung sebagian besar berasal dari sektor pariwisata.

“Kepariwisataan merupakan core business di Kota Bandung karena menunjang 70% PAD di Kota Bandung

yang berasal dari sektor ekonomi kreatif, perhotelan, dan hiburan.” tutur Kaniasari.

ASPPI merupakan organisasi yang heterogen terdiri dari beragam pelaku industri pariwisata, seperti

perhotelan, biro travel, transportasi, restoran, dan sebagainya. Oleh karena itu ASPPI merupakan mitra kerja

Pemerintah Kota Bandung dalam memajukan pertumbuhan kota.

Vous aimerez peut-être aussi