Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Oleh:
Arie Hendarin
NPM : 131521120506
Oleh:
Arie Hendarin
NPM : 131521120506
Prof. Dr. Rista D. Soetikno, dr., Sp.Rad(K)-RA, M.Kes dr. Harry Galuh N, Sp.Rad(K)-RA
ii
DAFTAR ISI
HIPOTESIS ........................................................................................................... 11
iii
3.2.3 Kriteria Ekslusi................................................................................ 41
iv
1
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit TB sampai saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan di
diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB pada tahun 2012 yang 410.000 orang
dengan kelompok usia yang produktif secara ekonomi (usia 15-50 tahun). Seorang
Indonesia sekarang ini berada pada rangking ke-5 negara dengan beban TB
dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian
1
2
ekstra paru yang paling berbahaya adalah penyakit TB pada susunan saraf pusat
(SSP) karena memiliki angka mortalitas yang tinggi dan sering menyebabkan
gejala sisa berupa defisit neurologis (neurologic sequelae) pada pasien yang tidak
semua kasus TB dan 5-10% dari semua kasus TB ekstra paru. Penyakit TB pada
SSP seringkali bersifat mematikan bila tidak segera ditangani. Angka kematian
akibat penyakit ini bisa mencapai 30%. Dari semua pasien TB pada SSP yang
dinyatakan sembuh, hanya 18% diantaranya yang dapat kembali normal secara
penyakit TB pada SSP yang paling banyak ditemukan. Penyakit ini ditandai
dengan adanya peradangan pada selaput otak (meningen) akibat infeksi kuman
penyebab kematian dan kecacatan terbesar no.7 di seluruh dunia. Penyakit ini
menempati urutan ke-5 dari semua TB ekstra paru, memiliki angka kejadian 5,2%
dari semua TB ekstra paru dan angka kejadian 0,7% dari semua kasus TB.
Penyakit ini bisa menyerang semua kelompok usia dengan angka kejadian lebih
banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan sebanyak dua banding satu. 6-8
kuman TB dalam cairan serebro spinal (CSS) baik dengan metode pewarnaan
langsung, kultur ataupun dengan metode polymerase chain reaction (PCR). Tetapi
3
pemeriksaan tersebut selain memakan waktu yang cukup lama juga jarang
memberikan hasil yang positif. Sampai saat ini tidak ada metode diagnostik yang
cukup cepat dan sensitif untuk menegakkan diagnosis meningitis TB. Angka
(BTA) adalah kurang dari 20% sementara dengan metode kultur adalah sebesar
25-70% (literatur lain menyebutkan 40-80%) dan dengan metode PCR adalah
sebesar 56%. Angka penemuan BTA pada pasien dewasa adalah sebesar 80% dan
pada anak hanya sebesar 15-20%. Riwayat infeksi TB sebelumnya ataupun kontak
dengan penderita TB bisa ada atau tidak. Keberadaan TB aktif di organ lain hanya
positif pada kurang dari 50% kasus. Hal ini ditambah dengan gejala klinis dari
menjadi sulit.7,9-12
menjadi 4 kelompok yaitu definite, probable, possible dan bukan meningitis TB.
definite mencakup ditemukannya basil tahan asam (BTA) dan atau kuman TB
secara mikrobiologi baik dengan pewarnaan langsung, kultur CSS maupun dengan
metode PCR. Kriteria probable dan possible bisa ditegakkan tanpa harus
menemukan adanya BTA ataupun kuman TB. Kedua kriteria terakhir ini
kepala.13,14
bahwa bila ketiga tanda ini ditemukan disertai gejala dan tanda klinis yang
menunjang maka hal tersebut adalah 100% spesifik untuk meningitis TB.
paling sering ditemukan pada pemeriksaan CT dan MRI pada meningitis TB.
gambaran CT dan MRI yang paling sensitif dan spesifik untuk meningitis
TB.5,9,15-18
meningeal. Selain itu penyangatan meningeal juga lebih mudah terlihat pada
pemeriksaan MRI dibandingkan pada CT. Kelainan lain seperti lesi iskhemik dan
dengan CT.19-21
5
disebut T1WI post contrast). Sekarang ini, MRI kepala sekuen T2 Fluid
(selanjutnya disebut T2-FLAIR post contrast) banyak diteliti oleh para ahli untuk
meningitis dengan sekuen T2-FLAIR post contrast lebih sensitif daripada T1WI
sensitifitas untuk T2-FLAIR post contrast adalah sebesar 100% sedangkan angka
sensitifitas untuk T1WI post contrast hanya sebesar 50%. Kedua sekuen ini
pasien suspek meningitis, MRI kepala sekuen T2-FLAIR post contrast memiliki
angka sensitifitas yang lebih baik yaitu sebesar 96% dibandingkan sekuen T1WI
post contrast yang hanya memiliki angka sensitifitas sebesar 68%. Kedua sekuen
memiliki angka spesifitas yang sama yaitu sebesar 85,71%. Penelitian ini
6
memiliki tingkat spesifitas yang lebih tinggi yaitu sebesar 79% dibandingkan
dengan T1WI post contrast yang hanya sebesar 57% dalam mendeteksi
pemeriksaan CSS) yang dilakukan MRI kepala, sekuen T2-FLAIR post contrast
memiliki akurasi yang lebih besar daripada sekuen T1WI post contrast dalam
contrast adalah sebesar sebesar 90.3% (28/31) sedangkan sekuen T1WI post
kenaikan intensitas sinyal sekuen T1WI sebelum dan sesudah pemberian kontras
sekuen T1WI post contrast (155.91±76.31). Hal ini diduga terkait dengan efek
pemendekan waktu relaksasi T1 yang lebih besar pada sekuen T1WI post contrast
FLAIR post contrast lebih mudah terlihat dibandingkan sekuen T1WI post
Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh para ahli radiologi mengenai
post contrast namun tetap hipointens pada sekuen T2-FLAIR post contrast. Hal
contrast tidak akan terganggu oleh gambaran intensitas sinyal dari aliran vena
subarakhnoid dan akan lebih jelas terlihat dibandingkan pada sekuen T1WI post
gadolinium-DTPA pada suatu struktur sudah bisa terdeteksi pada sekuen T2-
contrast.26-28
Berdasarkan uraian di atas maka disusun tema sentral penelitian ini sebagai
berikut :
8
Meningitis TB adalah jenis TB ekstra paru yang paling berbahaya. Diagnosis pasti
meningitis TB sulit ditegakkan karena pemeriksaan mikrobiologi untuk
menemukan BTA dan atau kuman TB membutuhkan waktu yang lama dan tidak
selalu memberikan hasil yang positif. Pemeriksaan MRI merupakan pemeriksaan
penunjang yang penting untuk membantu mendiagnosis meningitis TB.
Penyangatan meningeal terutama di daerah basal adalah gambaran MRI yang
paling sensitif dan spesifik untuk meningitis TB. Deteksi penyangatan meningeal
pada MRI juga tergantung pada sekuen yang digunakan. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan di Italia, Pakistan dan Singapura didapatkan bahwa MRI kepala
sekuen T2-FLAIR post contrast lebih sensitif dan spesifik daripada sekuen T1WI
post contrast dalam mendeteksi penyangatan meningeal pada pasien dengan
suspek meningitis. Hal ini terkait dengan kemampuan sekuen T2-FLAIR post
contrast dalam menekan intensitas sinyal dari vena-vena subarakhnoid sehingga
gambaran penyangatan meningeal lebih jelas terlihat dengan konsentrasi
gadolinium-DTPA yang lebih rendah dibandingkan sekuen T1WI post contrast.
Penelitian di India menyebutkan bahwa secara kualitatif sekuen T2-FLAIR post
contrast lebih akurat dibandingkan T1WI post contrast dalam mendeteksi
penyangatan meningeal pada pasien dengan meningitis. Penyangatan meningeal
pada pasien meningitis lebih mudah terlihat pada sekuen T2-FLAIR post contrast
dibandingkan dengan sekuen T1WI post contrast namun bila dihitung secara
kuantitatif kenaikan nilai rata-rata intensitas sinyal sekuen T2-FLAIR post
contrast justru lebih rendah dibandingkan sekuen T1WI post contrast.
dilakukan di lingkungan RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, karena itu penulis
sekuen MRI yang paling optimal dalam mendeteksi penyangatan meningeal pada
langkah penanganan yang lebih cepat dan tepat yang pada akhirnya diharapkan
BAB II
HIPOTESIS
merupakan selaput otak yang terdiri dari duramater, arakhnoidmater dan piamater.
melibatkan leptomeningen.8,29,30
angka kejadian sebesar 1% dari semua kasus TB dan 5-10% dari semua kasus TB
ekstra paru. Penyakit TB pada SSP seringkali bersifat mematikan bila tidak segera
ditangani. Angka kematian akibat penyakit ini bisa mencapai 30%. Dari semua
pasien TB pada SSP yang dinyatakan sembuh, hanya 18% diantaranya yang dapat
Meningitis TB merupakan salah satu bentuk dari penyakit TB pada SSP yang
paling banyak ditemukan. Penyakit ini ditandai dengan adanya peradangan pada
11
12
terbesar no.7 di seluruh dunia. Penyakit ini menempati urutan ke-5 dari semua TB
ekstra paru, memiliki angka kejadian 5,2% dari semua TB ekstra paru dan angka
kejadian 0,7% dari semua kasus TB. Penyakit ini bisa menyerang semua
kelompok usia dengan angka kejadian lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada
batang yang terdiri dari 125 spesies. Kelompok kuman ini dibagi menjadi 3
penyakit TB, (2) Mycobacterium non tuberculosis yang menjadi penyebab infeksi
gejala klinis dan gambaran radiologi yang berbeda-beda. Dari semua kelompok di
panjang ±2-4 µm dan lebar ±0,2-0,5 µm. Bakteri ini termasuk obligat aerob
dengan waktu pertumbuhan yang lambat (15-20 jam). Pada media kultur
kuman yang tergolong basil tahan asam (BTA) ini terlihat sebagai struktur batang
berwarna merah.31
Infeksi TB pada otak dimulai dari infeksi TB di tempat lainnya di dalam tubuh
(umumnya berasal dari paru). Pada TB paru kuman TB mencapai paru-paru lewat
dapat menyebar ke aliran darah menyebabkan bakteremia dan bisa sampai ke otak
foci. Rich foci ini kemudian bisa ruptur dan melepaskan kuman TB aktif ke daerah
14
sekitarnya. Hal ini kemudian akan menstimulasi imunitas seluler yang dimediasi
Lokasi rupturnya Rich foci sangat menentukan proses patologi yang terjadi
selanjutnya. Apabila Rich foci ruptur di daerah subarakhnoid maka akan timbul
eksudat yang bisa menyebabkan vaskulitis dan pada akhirnya menyebabkan lesi
Parenkim otak dilindungi oleh sistem sawar darah-otak (blood brain barrier)
yang terdiri dari sel endotel mikrovaskular, tight junction dan membaran basalis
yang ditopang oleh prosesus sel astrosit. Sistem ini sangat efektif melindungi otak
dari zat-zat hidrofilik dan kuman patogen yang bersirkulasi dalam darah. Kuman
TB diduga bisa menembus sawar darah otak melalui makrofag yang sudah
Gambar 2.2 Sistem sawar darah otak terdiri dari sel endotel mikrovaskular, tight
junction dan membaran basalis yang ditopang oleh prosesus sel
astrosit.
Dikutip dari : Be et al32
Gambar 2.3 Patogenesis meningitis TB. Ruptur Rich foci di daerah subarakhnoid
menyebabkan lepasnya kuman TB yang memicu respon inflamasi
pada meningen menyebabkan meningitis.
Dikutip dari : Be et al32
16
TB. Gejala dan tanda meningitis TB seringkali tidak khas. Tes diagnostik yang
cepat, sensitif dan terjangkau belum tersedia. Selama ini diagnosis meningitis TB
Virus (HIV) maupun sumber daya yang tersedia di masing-masing tempat. Hal ini
sesuai dengan rekomendasi yang dikeluarkan oleh para ahli pada pertemuan
bulan Mei tahun 2009 di Cape Town, Afrika Selatan. Pasien dengan suspek
pemeriksaan CSS (dengan punksi lumbal) dan pemeriksaan CT atau MRI kepala
tanda sebagai berikut : nyeri kepala, demam, muntah, kaku kuduk, kejang, defisit
neurologis fokal, penurunan kesadaran atau gejala non spesifik lainnya seperti
mudah tersinggung, lelah dan lemah. Gejala ini umumnya berlangsung lebih dari
2 minggu. Pasien dengan suspek meningitis TB lalu dinilai dengan skor Marais
A. Possible
Pasien termasuk kategori ini bila memiliki skor Marais total 6-9 poin (bila
pemerikaan CT atau MRI kepala tidak tersedia) atau 6-11 poin (bila
dilakukan.
B. Probable
Pasien termasuk kategori ini bila memiliki skor Marais total ≥10 poin (bila
pemerikaan CT atau MRI kepala tidak tersedia) atau ≥12 poin (bila
C. Definite
Pasien termasuk kategori ini bila ditemukannya BTA pada CSS, hasil
D. Bukan meningitis TB
Kriteria Skor
Klinis Nilai maksimum : 6
1. Gejala lebih dari 5 hari 4
2. Terdapat gejala sistemik sugestif TB :
penurunan berat badan, keringat malam,
batuk persisten lebih dari 2 minggu 2
3. Riwayat kontak TB positif (hanya untuk 2
anak di bawah 10 tahun)
4. Defisit neurologis fokal 1
5. Parese nervus kranialis 1
6. Penurunan kesadaran 1
Gambar 2.4 Algoritma penegakkan diagnosis meningitis TB. Pasien dengan suspek
meningitis TB harus dilakukan pemeriksaan CT atau MRI kepala dan
atau lumbal punksi CSS lalu dinilai dengan skor Marais kemudian
dikelompokkan menjadi possible, probable, definite atau bukan
meningitis TB.
Dikutip dari : Marais et al13
komplikasi vaskular berupa lesi iskhemik atau infark. Pemeriksaan MRI kepala
tanpa kontras pada tahap awal penyakit biasanya tidak menunjukkan adanya
waktu relaksasi T1 dan T2. Penyangatan meningeal umumnya bisa terlihat dengan
DTPA. Tempat yang paling sering terkena adalah ruang subarakhnoid di daerah
dan fissura sylvii kadang bisa terjadi pada beberapa kasus. Adapun keterlibatan
meningitis TB yang paling sering ditemukan, tanda ini relatif lebih jarang
ditemukan pada pasien dewasa dibandingkan pada anak-anak. Salah satu faktor
Angka sensitifitas MRI adalah sebesar 97% sedangkan CT sebesar 70% dalam
juga lebih mudah terlihat pada pemeriksaan MRI dibandingkan pada CT.
terutama di daerah basal merupakan gambaran CT dan MRI yang paling sensitif
desak oleh lesi intraparenkimal (tuberkuloma) atau bisa juga akibat peradangan
(ependimitis/ventrikulitis).33
Lesi iskhemik atau infark terjadi akibat vaskulitis yang pada tahap lanjut dapat
menyebabkan oklusi pada pembuluh darah yang terkena. Mayoritas infark pada
meningitis TB (75%) terjadi di daerah “TB zone” yaitu daerah yang diperdarahi
21
oleh arteri striata media dan arteri thalamoperforating. Daerah ini meliputi
nukleus kaudatus, talamus anteromedial dan bagian anterior limb ataupun genu
dari kapsula interna. Lesi iskhemik yang terjadi seringkali bersifat bilateral dan
simetris.33,35
yang menggunakan radiasi non ionisasi (dalam hal ini gelombang frekuensi radio)
Mesin MRI terdiri dari magnet berukuran besar dengan kekuatan magnet yang
kuat (dinyatakan dalam Tesla). Suatu antena (coil) digunakan untuk mengirimkan
pasien yang diperiksa dan coil yang sama digunakan untuk menerima gelombang
radio yang dipancarkan dari tubuh pasien. Sinyal gelombang radio yang diterima
oleh coil akan dianalisis oleh komputer dan ditransformasi menjadi gambar yang
bermakna.36
memperlihatkan kontras antara struktur anatomi yang berbeda dan juga antara
anatomi normal dengan patologi. Kontras pada MRI dibentuk oleh berbagai
macam faktor intrinsik dan ekstrinsik. Ada tiga faktor utama yang menentukan
kontras pada MRI, yaitu waktu relaksasi T1 (T1 recovery), waktu relaksasi T2 (T2
Waktu relaksasi T1 adalah waktu yang dibutuhkan oleh suatu jaringan untuk
magnetization) sebesar 63% dari nilai awal. Keadaan ini disebabkan akibat
Beberapa jenis zat atau jaringan memiliki waktu relaksasi T1 yang pendek di
23
atau jaringan yang memiliki waktu relaksasi T1 yang panjang di antaranya adalah
Waktu relaksasi T2 adalah waktu yang dihabiskan oleh suatu jaringan agar
sehingga hanya tersisa 37% dari nilai awal. Keadaan ini disebabkan akibat adanya
interaksi antara proton (spin) dengan proton (spin) lainnya sehingga terjadi
relaksasi T2 disebut juga dengan istilah spin-spin relaxation. Beberapa jenis zat
intraselular, hemosiderin, feritin, dll. Zat atau jaringan yang memiliki waktu
repetition time (TR) yaitu waktu dari mulai diberikannya RF pulse ke RF pulse
adalah echo time (TE) yaitu waktu dari mulai diberikannya RF pulse ke
penerimaan sinyal frekuensi radio yang dipancarkan tubuh pasien oleh coil.39
Sekuen denyut (pulse sequence, selanjutnya disebut sekuen) pada MRI adalah
penerapan berbagai macam gradien dan pengaturan interval / waktu dari fungsi-
fungsi di atas. Sekuen MRI banyak ragamnya namun secara garis besar dibagi
menjadi 2 kelompok besar yaitu sekuen spin echo dan gradient echo. Kedua tipe
sekuen ini memiliki perbedaan utama pada metode spin rephasing-nya. Sekuen
T1WI) merupakan salah satu sekuen spin echo yang menghasilkan gambar dengan
kontras terutama berasal dari perbedaan waktu relaksasi T1 jaringan / organ yang
Pada T1WI, zat atau jaringan yang memiliki waktu T1 relaksasi pendek
(seperti lemak) akan memberikan intensitas sinyal yang tinggi (hiperintens). Zat
atau jaringan yang memiliki waktu T1 relaksasi panjang (seperti air) akan
Gambar 2.9 Perbedaan kontras antara lemak (waktu relaksasi T1&T2 pendek)
dengan air (waktu relaksasi T1&T2 panjang). Untuk menghasilkan
gambar dengan sekuen T1WI, TR dan TE harus dibuat pendek
sehingga efek kontras gambar akibat perbedaan waktu relaksasi T1
menjadi maksimal dan perbedaan waktu relaksasi T2 menjadi
minimal.
Dikutip dari : Westbrook37
26
Gambar 2.10 MRI kepala potongan aksial dengan sekuen T1WI. Tampak
gambaran lemak yang hiperintens dengan CSS yang hipointens.
Dikutip dari : Westbrook39
Sekuen inversion recovery merupakan salah satu sekuen spin echo yang
memiliki ciri khas berupa adanya RF pulse 180° pada awal sekuen (dinamakan
180° inverting pulse). Hal ini menyebabkan vektor magnet total (net
Pada sekuen ini TR merupakan waktu dari 180° inverting pulse ke 180° inverting
pulse selanjutnya. Waktu inversi (time inversion / TI) adalah waktu dari mulai
mengeksitasi spin.39
Waktu inversi (TI) merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan
panjang (TI : 1700 – 2000 milidetik) untuk menekan sinyal dari CSS sehingga
gambaran CSS (atau cairan transudat lainnya) menjadi sangat hipointens. T2-
FLAIR menggunakan TR dan TE yang panjang (TR > 2500 milidetik, TE > 70
gambar yang dihasilkan serupa dengan T2WI namun dengan sinyal CSS yang
hipointens. Kekurangan sekuen ini adalah waktu pengambilan gambar yang relatif
lama dibandingkan sekuen lainnya. Tapi hal ini dapat diatasi dengan penggunaan
teknik fast sequence untuk T2-FLAIR sehingga waktu pengambilan gambar bisa
lebih dipersingkat.39
Gambar 2.11 Perbedaan kontras antara lemak dan air pada sekuen inversion
recovery. Sekuen T2-FLAIR menggunakan TI yang panjang untuk
menekan sinyal dari CSS, TR dan TE dibuat panjang agar
dihasilkan gambar dengan pembobotan T2.
Dikutip dari : Westbrook37
28
Gambar 2.12 MRI kepala potongan aksial dengan sekuen T2-FLAIR. Tampak
gambaran serupa T2WI namun dengan CSS yang sangat hipointens
Dikutip dari : Westbrook37
Media kontras pada MRI memiliki pengaruh pada medan magnet lokal dengan
cara merubah waktu relaksasi T1 dan T2 dari struktur atau organ yang dimasuki
oleh media kontras tersebut. Media kontras yang paling banyak digunakan pada
gadolinium bersifat toksik pada tubuh. Gadolinium dapat dibuat aman dengan
merupakan zat paramagnetik yang memiliki efek positif pada medan magnet lokal
dengan hasil akhir berupa pemendekan dari waktu relaksasi T1 dan T2 pada
struktur atau organ yang diperiksa. Hal ini menyebabkan intensitas sinyal
oleh kontras gadolinium-DTPA (selanjutnya sekuen ini disebut dengan T1WI post
kepala T1WI post contrast dan T2-FLAIR post contrast terlihat adanya gambaran
dengan sekuen T2-FLAIR post contrast lebih sensitif dan spesifik daripada T1WI
Pada penelitian yang dilakukan oleh Ahmad di India tahun 2015, dari 31 pasien
dengan meningitis yang dilakukan MRI kepala didapatkan hasil bahwa secara
kualitatif sekuen T2-FLAIR post contrast memiliki akurasi sebesar 90.3% (28/31)
hanya memiliki akurasi sebesar 54.8% (17/31). Penelitian ini juga mengukur
kelainan otak superfisial seperti meningitis lebih mudah dan lebih jelas terlihat
pada MRI kepala sekuen T2-FLAIR post contras daripada T1WI post contrast.
meningeal pada T2-FLAIR post contrast akan lebih jelas terlihat dibandingkan
32
T1WI post contrast karena tidak adanya faktor pengganggu dari penyangatan
sudah bisa terdeteksi pada sekuen T2-FLAIR post contrast pada konsentrasi
FLAIR post contrast dan T1WI post contrast bukan disebabkan karena perbedaan
post contrast dan T2-FLAIR post contrast dapat digunakan untuk memperkirakan
Gambar 2.15 MRI kepala potongan aksial sekuen T2-FLAIR post contrast (kiri)
memperlihatkan penyangatan meningeal di daerah tentorium
serebeli dan sulci di daerah frontotemporalis bilateral yang lebih
jelas terlihat dibandingkan sekuen T1WI post contrast (kanan)
Dikutip dari : Vaswani 24
33
Gambar 2.16 Penelitian Ahmad di India tahun 2015, (a) T1WI (b) T1WI post
contrast (c) T2-FLAIR (d) T2-FLAIR post contrast. Penelitian ini
mengukur secara kuantitatif perbedaan kenaikan intensitas sinyal
antara T2-FLAIR post contrast dengan T1WI post contrast.
Menggunakan perangkat lunak komputer tertentu, dibuat ROI
(region of interrest) di daerah yang akan dilihat intensitas sinyalnya.
Angka yang muncul adalah derajat kecerahan (brightness) yang
menggambarkan intensitas sinyal.
Dikutip dari : Ahmad25
A. Perdarahan subarakhnoid
pada CSS yang telah bercampur dengan darah. Kedua hal tersebut
B. Karsinomatosis meningeal
sel yang menyebabkan . Hal ini hampir serupa dengan keadaan meningitis.
D. Stroke akut
Pada stroke akut terutama tipe infark, gambaran hiperintens pada vaskular
sangat berat (>90%) atau oklusi total dari pembuluh darah yang
E. Suplemen oksigen
intravena pada pasien dengan gangguan pada sawar darah otak (misalnya
CSS pada bidang pencitraan tidak terkena inversion pulse sehingga efek
TB dari tempat lain di dalam tubuh (umumnya berasal dari paru) yang menyebar
Foci. Rich Foci ini kemudian bisa ruptur dan melepaskan kuman TB aktif ke
daerah sekitarnya. Hal ini kemudian akan menstimulasi imunitas seluler yang
tersebut.8,29,30,32
Untuk menegakkan diagnosis pasti dari meningitis TB bukan hal yang mudah.
Gejala dan tanda meningitis TB seringkali tidak khas. Tes diagnostik yang cepat,
sensitif dan terjangkau belum tersedia. Untuk mendiagnosis meningitis TB, pasien
klinis, pemeriksaan CSS (dengan punksi lumbal) dan pemeriksaan CT atau MRI
Gambaran CT atau MRI kepala yang paling sering ditemukan pada meningitis
ditemukan, tanda ini relatif lebih jarang ditemukan pada pasien dewasa
kepala sekuen T1WI post contrast terlihat adanya gambaran hiperintens di ruang-
daerah yang dimasuki kontras. Peningkatan intensitas sinyal pada T2-FLAIR post
kepala pada pasien suspek meningitis dengan sekuen T2-FLAIR post contrast
lebih sensitif dan spesifik daripada T1WI post contrast dalam mendeteksi
pada sekuen T2-FLAIR post contrast lebih mudah dan lebih jelas terlihat
dibandingkan pada sekuen T1WI post contrast karena pada T2-FLAIR post
contrast aliran darah lambat pada vena-vena subarakhnoid tidak akan memberikan
gadolinium-DTPA pada suatu struktur sudah bisa terdeteksi pada sekuen T2-
sekuen T1WI post contrast dan T2-FLAIR post contrast dapat digunakan untuk
2.3 Premis
Premis 1 :
Premis 2 :
Penyangatan meningeal pada MRI kepala sekuen T2-FLAIR post contrast lebih
mudah dan lebih jelas terlihat dibandingkan pada sekuen T1WI post contrast.26,42
Premis 3 :
sinyal antara sekuen MRI sebelum dan setelah pemberian kontras gadolinium-
DTPA.25
39
2.4 Hipotesis
Bandung.
40
BAB III
RSUP Dr. Hasan Sakidin Bandung pada periode bulan Januari 2015 sampai bulan
Maret 2016.
RSUP Dr. Hasan Sakidin Bandung yang telah memenuhi kriteria inklusi yang
telah ditentukan dan bersedia mengisi lembar informed concern sampai dengan
(IGD) RSUP Dr. Hasan Sakidin Bandung yang pada pemeriksaan klinis
40
41
Dr. Hasan Sakidin Bandung yang masuk ke dalam kriteria inklusi dengan metode
terpenuhi.
42
Z Z S
2
n
x1 x 2
Keterangan :
Zα = Kesalahan tipe I
Zβ = Kesalahan tipe II
Perhitungan :
Penulis menetapkan kesalahan tipe I sebesar 5% (Zα = 1,960) dan kesalahan tipe II
sebesar 10% (Zβ = 1,282) dengan hipotesis dua arah. Perbedaan rerata minimal
yang dianggap bermakna adalah 150 (x1 – x2 = 150). Simpangan baku didapatkan
dari penelitian pendahuluan yaitu sebesar 210 (S = 210). Maka dapat dilakukan
Z Z S
2
n
x1 x 2
n
150
n 20,60 21
43
Variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah variabel independen dan
dependen.
- Sekuen MRI kepala adalah kombinasi dari beberapa RF pulse yang diberikan
interval / waktu dari fungsi-fungsi di atas. Sekuen MRI secara garis besar
dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu sekuen spin echo dan gradient echo.
- T1WI post contrast adalah salah satu jenis sekuen spin echo yang
- T2-FLAIR post contrast adalah salah satu jenis sekuen spin echo yang
memilki ciri khas berupa adanya RF pulse 180° pada awal sekuen. Nilai TI
diatur pada nilai tertentu agar dapat menekan intensitas sinyal yang berasal
gadolinium-DTPA intravena.39
DTPA.25,43
dengan menghitung selisih nilai intensitas sinyal antara sekuen T1WI dengan
- Coding, yaitu mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka
atau bilangan.
- Data entry, yaitu memasukkan data hasil pemeriksaan dan pengukuran subjek
- Cleaning, yaitu apabila semua data dari subjek penelitian telah selesai
subjek penelitian yang meliputi usia, jenis kelamin serta intensitas sinyal
meningen sekuen T1WI, T2-FLAIR, T1WI post contrast dan T2-FLAIR post
contrast yang disajikan dalam jumlah dan presentase untuk data kategorik dan
rerata, standar deviasi, median, minimum dan maksimum untuk data numerik.
memasang region of interrest (ROI) di lokasi yang secara kualitatif terlihat ada
dan ukuran ROI dibuat sama untuk semua sekuen agar dapat dibandingkan.
Ukuran ROI dibuat sedemikian rupa sehingga hanya mencakup struktur ruang
penelitian ini adalah RadiAnt DICOM Viewer for Windows versi 2.2.9 64 bit.
data kenaikan intensitas sinyal meningen sekuen T2-FLAIR post contrast dan
T1WI post contrast untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal atau tidak.
Jika nilai p lebih besar dari alfa 5% (0,05) maka data berdistribusi normal. Namun
jika nilai p lebih kecil dari alfa 5% (0,05) maka data tidak berdistribusi normal.
47
sinyal meningen sekuen T2-FLAIR post contrast dengan sekuen T1WI post
sedangkan jika data tidak berdistribusi normal, maka pengujian dilakukan dengan
for windows versi 22.0 pada derajat kepercayaan 95% dengan nilai p ≤ 0,05.
Subjek penelitian mulai bulan Januari 2015 sampai dengan bulan Maret 2016,
dilakukan:
laboratorium.
terpenuhi.
Pemeriksaan MRI kepala dilakukan dengan mesin MRI Magnetom Essenza 1,5
Tesla dari Siemens. Coil yang digunakan adalah coil khusus untuk kepala.
Parameter untuk sekuen T1WI dan T1WI post contrast adalah TR 450 milidetik,
TE 10 milidetik, slice thickness 5 mm, interslice gap 1,5 mm, FOV 230 mm.
Waktu total pengambilan sekuen T1WI dan T1WI post contrast adalah 2 menit
dan 59 detik. Parameter untuk sekuen T2-FLAIR dan T2-FLAIR post contrast
mm, interslice gap 1,5 mm, FOV 230 mm. Waktu total pengambilan sekuen T2-
FLAIR dan T2-FLAIR post contrast adalah 3 menit dan 38 detik. Dosis
FLAIR post contrast dilakukan langsung setelah sekuen T1WI post contrast
selesai.
49
Informed consent
Kriteria inklusi
Kriteria eksklusi
Analisis data
informed consent dan persetujuan tertulis dari pasien setelah diberikan penjelasan
dari peneliti untuk diikutsertakan sebagai subjek penelitian. Ditinjau dari segi etis,
dalam penelitian ini dapat timbul beberapa masalah etika penelitian yang
bermakna yaitu rasa tidak nyaman saat dilakukan pemeriksaan MRI kepala, skin
Subjek penelitian dapat merasa tidak nyaman karena harus mengganti pakaian
atas dan bawah dengan pakaian khusus tanpa kancing, melepaskan perhiasan dan
benda-benda terbuat dari logam yang ada pada seluruh tubuh, saat pasien dipasang
coil di kepala dan saat pasien dimasukkan ke dalam mesin MRI. Pasien mungkin
akan merasa tidak nyaman saat mendengarkan bunyi-bunyian yang berasal dari
50
mesin MRI. Hal lain yang bisa mengganggu kenyamanan pasien adalah bahwa
pasien harus berbaring di dalam mesin MRI tanpa bergerak dalam waktu kurang
yang jelas sebelum dilakukan pemeriksaan MRI kepala, skin test dan pemberian
Pengumpulan data dilakukan mulai dari bulan Januari 2015 sampai Maret
Sadikin Bandung.
51
DAFTAR PUSTAKA
51
52
30. Osborn AG, Salzman KL, Jhaveri MD. Diagnostic Imaging : Brain. Edisi
ke-3. Philadelphia: Elsevier;2016. hlm. 678-681.
31. Todar K. Mycobacterium Tuberculosis And Tuberculosis. 2012 [diunduh
1 April 2016]. Tersedia dari:
http://www.textbookofbacteriology.net/tuberculosis.html.
32. Be NA, Kim KS, Bishai WR, Jain SK. Pathogenesis of central nervous
system tuberculosis. Curr Mol Med. 2009 Mar;9(2):94-9.
33. Gupta RK, Kumar S. Magnetic Resonance Imaging of Neurological
Diseases in Tropics. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers;2014.
34. Srikanth SG, Taly AB, Nagarajan K, Jayakumar PN, Patil S.
Clinicoradiological Features Of Tuberculous Meningitis In Patients Over
50 Years Of Age. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2007 May;78(5):536-8.
35. Hsieh FY, Chia LG, Shen WC. Locations of cerebral infarctions in
tuberculous meningitis. Neuroradiology. 1992;34(3):197-9.
36. Hacking C, Jones J. MRI (introduction). 2016 [diunduh 19 April 2016].
Tersedia dari: http://radiopaedia.org/articles/mri-introduction.
37. Westbrook C, Roth CK, Talbot J. MRI in Practice. Edisi ke-4. West
Sussex: Blackwell Publishing;2011.
38. Woodruff WW. Fundamentals of Neuroimaging. Philadelphia: W.B.
Saunders Company;1993.
39. Westbrook C. MRI at a Glance. Edisi ke-3. West Sussex: John Wiley &
Sons, Ltd.;2016.
40. Schild HH. MRI Made Easy. Berlin: Schering AG;1990.
41. Smirniotopoulos JG, Murphy FM, Rushing EJ, Rees JH, Schroeder JW.
Patterns Of Contrast Enhancement In The Brain And Meninges.
Radiographics. 2007 Mar-Apr;27(2):525-51.
42. Stuckey SL, Goh TD, Heffernan T, Rowan D. Hyperintensity In The
Subarachnoid Space On Flair Mri. AJR Am J Roentgenol. 2007
Oct;189(4):913-21.
43. Nazarpoor M, Poureisa M, Daghighi MH. Comparison of maximum signal
intensity of contrast agent on t1-weighted images using spin echo, fast spin
echo and inversion recovery sequences. Iran J Radiol. 2012 Dec;10(1):27-
32.
44. Bozzao A, Floris R, Fasoli F, Fantozzi LM, Colonnese C, Simonetti G.
Cerebrospinal fluid changes after intravenous injection of gadolinium
chelate: assessment by FLAIR MR imaging. Eur Radiol. 2003
Mar;13(3):592-7.
45. Dahlan MS. Besar Sampel Dan Cara Pengambilan Sampel Dalam
Penelitian Kedokteran Dan Kesehatan. Edisi ke-3. Jakarta: Salemba
Medika;2010. hlm. 72-75.
54
Usia
15-24 tahun … …
25-34 tahun … …
35-44 tahun … …
45-54 tahun … …
55-64 tahun … …
>65 tahun … …
Jenis Kelamin
Laki-laki … …
Perempuan … …
Total … …
Tabel 4. 2 Nilai Intensitas Sinyal (IS) Sekuen T1WI dan T1WI post contrast.
Pasien Nilai IS T1WI Nilai IS T1WI Kenaikan
post contrast IS
(a.u) (a.u) (a.u)
Pasien … … … …
Median … … …
Minimum-maksimum … … …
Rerata …
55
Tabel 4. 3 Nilai Intensitas Sinyal (IS) Sekuen T2-FLAIR dan T2-FLAIR post
contrast
Pasien Nilai IS Nilai IS Kenaikan
T2-FLAIR T2-FLAIR IS
post contrast (a.u)
(a.u) (a.u)
Pasien … … … …
Median … … …
Minimum-maksimum … … …
Rerata …
Tabel 4. 3 Uji normalitas kenaikan intensitas sinyal sekuen T2-FLAIR post contrast
dan T1WI post contrast
Variabel Uji Normalitas
* Uji T (bila distribusi data normal) atau Uji Wilcoxon (bila distribusi data tidak normal)