Vous êtes sur la page 1sur 59

PERBEDAAN PENINGKATAN INTENSITAS SINYAL

MENINGEN SEKUEN T2-FLAIR DENGAN T1WI PADA


PASIEN MENINGITIS TUBERKULOSIS MENGGUNAKAN
PEMERIKSAAN MRI KEPALA DENGAN KONTRAS
GADOLINIUM-DTPA DI RSUP
DR HASAN SADIKIN BANDUNG

Oleh:
Arie Hendarin
NPM : 131521120506

USULAN PENELITIAN TESIS

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian


Guna memperoleh gelar Spesialis Radiologi
Program Pendidikan Dokter Spesialis-1

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR.HASAN SADIKIN
BANDUNG
2016
PERBEDAAN PENINGKATAN INTENSITAS SINYAL
MENINGEN SEKUEN T2-FLAIR DENGAN T1WI PADA
PASIEN MENINGITIS TUBERKULOSIS MENGGUNAKAN
PEMERIKSAAN MRI KEPALA DENGAN KONTRAS
GADOLINIUM-DTPA DI RSUP
DR HASAN SADIKIN BANDUNG

Oleh:
Arie Hendarin
NPM : 131521120506

USULAN PENELITIAN TESIS

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian


Guna memperoleh gelar Spesialis Radiologi
Program Pendidikan Dokter Spesialis-1

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing pada tanggal


Seperti tertera dibawah ini

Bandung, Mei 2016

Prof. Dr. Rista D. Soetikno, dr., Sp.Rad(K)-RA, M.Kes dr. Harry Galuh N, Sp.Rad(K)-RA

Ketua Tim Pembimbing Anggota Tim Pembimbing

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang Penelitian ........................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 8

1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 9

1.4 Kegunaan Penelitian ................................................................................. 9

1.4.1 Kegunaan Ilmiah ............................................................................... 9

1.4.2 Kegunaan Praktis .............................................................................. 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, PREMIS DAN

HIPOTESIS ........................................................................................................... 11

2.1 Kajian Pustaka ........................................................................................ 11

2.1.1 Meningitis Tuberkulosis ................................................................. 11

2.1.2 Prinsip Dasar MRI .......................................................................... 22

2.2 Kerangka Pemikiran ............................................................................... 35

2.3 Premis ..................................................................................................... 38

2.4 Hipotesis ................................................................................................. 39

BAB III SUBJEK DAN METODE PENELITIAN ............................................. 40

3.1 Populasi Penelitian ................................................................................. 40

3.2 Subjek Penelitian .................................................................................... 40

3.2.1 Pemilihan Subjek Penelitian ........................................................... 40

3.2.2 Kriteria Inklusi ................................................................................ 40

iii
3.2.3 Kriteria Ekslusi................................................................................ 41

3.3 Metoda Penarikan Sampel ...................................................................... 41

3.3.1 Pengambilan sampel........................................................................ 41

3.3.2 Ukuran Sampel ................................................................................ 42

3.4 Metode Penelitian ................................................................................... 43

3.4.1 Bentuk dan Rancangan Penelitian ................................................... 43

3.4.2 Identifikasi Variabel Penelitian ....................................................... 43

3.4.3 Definisi Operasional Variabel ......................................................... 44

3.5 Pengolahan dan Analisis Data ................................................................ 45

3.5.1 Pengolahan Data.............................................................................. 45

3.5.2 Analisis Data ................................................................................... 46

3.6 Tata Cara Penelitian ............................................................................... 47

3.7 Alur Penelitian ....................................................................................... 49

3.8 Implikasi Etis .......................................................................................... 49

3.9 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................ 50

3.9.1 Waktu Penelitian ............................................................................. 50

3.9.2 Tempat Penelitian............................................................................ 50

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 51

iv
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Penyakit tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang

disebabkan karena infeksi bakteri kelompok Mycobacterium. Kelompok

Mycobacterium yang paling banyak menyebabkan penyakit ini adalah

Mycobacterium tuberculosis. Penyakit TB utamanya menyerang organ paru

namun penyakit ini bisa juga bermanifestasi sebagai TB ekstra paru.1

Penyakit TB sampai saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan di

dunia. Menurut laporan World Health Organization (WHO) tahun 2013

diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB pada tahun 2012 yang 410.000 orang

diantaranya meninggal dunia. Mayoritas pasien TB (sekitar 75%) adalah pasien

dengan kelompok usia yang produktif secara ekonomi (usia 15-50 tahun). Seorang

pasien TB dewasa diperkirakan akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya

sebanyak 3-4 bulan. Hal tersebut menyebabkan kehilangan pendapatan tahunan

rumah tangganya sebanyak 20-30%. Penyakit TB juga dapat memberikan

dampak sosial seperti stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat.1

Indonesia sekarang ini berada pada rangking ke-5 negara dengan beban TB

tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660.000

dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian

akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per tahunnya.2

1
2

Penyakit TB bisa bermanifestasi sebagai TB ekstra paru. Di antara penyakit TB

ekstra paru yang paling berbahaya adalah penyakit TB pada susunan saraf pusat

(SSP) karena memiliki angka mortalitas yang tinggi dan sering menyebabkan

gejala sisa berupa defisit neurologis (neurologic sequelae) pada pasien yang tidak

meninggal. Penyakit TB pada SSP memiliki angka kejadian sebesar 1% dari

semua kasus TB dan 5-10% dari semua kasus TB ekstra paru. Penyakit TB pada

SSP seringkali bersifat mematikan bila tidak segera ditangani. Angka kematian

akibat penyakit ini bisa mencapai 30%. Dari semua pasien TB pada SSP yang

dinyatakan sembuh, hanya 18% diantaranya yang dapat kembali normal secara

neurologis maupun intelektual.3-5

Meningitis tuberkulosis (meningitis TB) merupakan salah satu bentuk dari

penyakit TB pada SSP yang paling banyak ditemukan. Penyakit ini ditandai

dengan adanya peradangan pada selaput otak (meningen) akibat infeksi kuman

Mycobacterium tuberculosis yang berasal dari penyebaran hematogen dari infeksi

TB di tempat lainnya (paling banyak dari TB paru). Meningitis TB menjadi

penyebab kematian dan kecacatan terbesar no.7 di seluruh dunia. Penyakit ini

menempati urutan ke-5 dari semua TB ekstra paru, memiliki angka kejadian 5,2%

dari semua TB ekstra paru dan angka kejadian 0,7% dari semua kasus TB.

Penyakit ini bisa menyerang semua kelompok usia dengan angka kejadian lebih

banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan sebanyak dua banding satu. 6-8

Diagnosis definitif meningitis TB hanya bisa ditegakkan dengan menemukan

kuman TB dalam cairan serebro spinal (CSS) baik dengan metode pewarnaan

langsung, kultur ataupun dengan metode polymerase chain reaction (PCR). Tetapi
3

pemeriksaan tersebut selain memakan waktu yang cukup lama juga jarang

memberikan hasil yang positif. Sampai saat ini tidak ada metode diagnostik yang

cukup cepat dan sensitif untuk menegakkan diagnosis meningitis TB. Angka

sensitifitas metode pewarnaan langsung untuk menemukan basil tahan asam

(BTA) adalah kurang dari 20% sementara dengan metode kultur adalah sebesar

25-70% (literatur lain menyebutkan 40-80%) dan dengan metode PCR adalah

sebesar 56%. Angka penemuan BTA pada pasien dewasa adalah sebesar 80% dan

pada anak hanya sebesar 15-20%. Riwayat infeksi TB sebelumnya ataupun kontak

dengan penderita TB bisa ada atau tidak. Keberadaan TB aktif di organ lain hanya

positif pada kurang dari 50% kasus. Hal ini ditambah dengan gejala klinis dari

meningitis TB seringkali tidak jelas sehingga penegakkan diagnosis meningitis TB

menjadi sulit.7,9-12

Marais et al telah membuat algoritma dan sistem skoring dalam menegakkan

diagnosis meningitis TB. Menurut Marais et al pasien yang secara klinis

mengarah pada kecurigaan meningitis TB bisa dibagi berdasarkan sistem skoring

menjadi 4 kelompok yaitu definite, probable, possible dan bukan meningitis TB.

Sistem skoring ini mencakup penilaian terhadap gejala klinis, gambaran

laboratorium CSS (melalui punksi lumbal) dan gambaran radiologi. Kriteria

definite mencakup ditemukannya basil tahan asam (BTA) dan atau kuman TB

secara mikrobiologi baik dengan pewarnaan langsung, kultur CSS maupun dengan

metode PCR. Kriteria probable dan possible bisa ditegakkan tanpa harus

menemukan adanya BTA ataupun kuman TB. Kedua kriteria terakhir ini

mencakup penilaian diantaranya terhadap gambaran radiologi khususnya


4

pemeriksaan computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI)

kepala.13,14

Gambaran CT dan MRI kepala yang menunjang ke arah diagnosis meningitis

TB adalah ditemukannya penyangatan meningeal (meningeal enhancement)

terutama di daerah basal setelah pemberian kontras, hidrosefalus, serta gambaran

lesi iskhemik terutama di daerah ganglia basalis. Andronikou et al mengatakan

bahwa bila ketiga tanda ini ditemukan disertai gejala dan tanda klinis yang

menunjang maka hal tersebut adalah 100% spesifik untuk meningitis TB.

Penyangatan meningeal terutama di daerah basal merupakan gambaran yang

paling sering ditemukan pada pemeriksaan CT dan MRI pada meningitis TB.

Andronikou et al dan Sanei et al mengatakan bahwa tanda ini merupakan

gambaran CT dan MRI yang paling sensitif dan spesifik untuk meningitis

TB.5,9,15-18

Pemeriksaan MRI kepala dengan kontras gadolinium-diethylene

triaminepentaacetic acid (gadolinium-DTPA) memiliki sensitifitas yang lebih

baik daripada CT kepala dengan kontras dalam mendeteksi keberadaan

penyangatan meningeal pada meningitis TB. Angka sensitifitas MRI adalah

sebesar 97% sedangkan CT sebesar 70% dalam mendeteksi penyangatan

meningeal. Selain itu penyangatan meningeal juga lebih mudah terlihat pada

pemeriksaan MRI dibandingkan pada CT. Kelainan lain seperti lesi iskhemik dan

tuberkuloma juga lebih banyak terdeteksi dengan pemeriksaan MRI dibandingkan

dengan CT.19-21
5

Sekuen MRI kepala yang dipakai ikut menentukan dalam mendeteksi

keberadaan penyangatan meningeal. Sekuen MRI kepala yang paling sering

digunakan untuk mendeteksi keberadaan penyangatan meningeal adalah T1

Weighted Imaging dengan pemberian kontras gadolinium-DTPA (selanjutnya

disebut T1WI post contrast). Sekarang ini, MRI kepala sekuen T2 Fluid

Attenuated Inversion Recovery dengan pemberian kontras gadolinium-DTPA

(selanjutnya disebut T2-FLAIR post contrast) banyak diteliti oleh para ahli untuk

mendeteksi keberadaan penyangatan meningeal pada meningitis TB.22,23

Penelitian yang dilakukan oleh Splendiani et al di Italia tahun 2005

memberikan kesimpulan bahwa pemeriksaan MRI kepala pada pasien suspek

meningitis dengan sekuen T2-FLAIR post contrast lebih sensitif daripada T1WI

post contrast dalam mendeteksi keberadaan penyangatan meningeal. Angka

sensitifitas untuk T2-FLAIR post contrast adalah sebesar 100% sedangkan angka

sensitifitas untuk T1WI post contrast hanya sebesar 50%. Kedua sekuen ini

memiliki angka spesifitas yang sama dalam mendeteksi penyangatan meningeal

yaitu sebesar 100%.22

Penelitian yang dilakukan oleh Vaswani et al di Pakistan tahun 2014

memberikan kesimpulan bahwa dalam mendeteksi penyangatan meningeal pada

pasien suspek meningitis, MRI kepala sekuen T2-FLAIR post contrast memiliki

angka sensitifitas yang lebih baik yaitu sebesar 96% dibandingkan sekuen T1WI

post contrast yang hanya memiliki angka sensitifitas sebesar 68%. Kedua sekuen

memiliki angka spesifitas yang sama yaitu sebesar 85,71%. Penelitian ini
6

merekomendasikan penggunaan T2-FLAIR post contrast sebagai salah satu

sekuen rutin untuk mendeteksi meningitis.24

Penelitian yang dilakukan oleh Parmar et al di Singapura tahun 2005

memberikan kesimpulan bahwa MRI kepala sekuen T2-FLAIR post contrast

memiliki tingkat spesifitas yang lebih tinggi yaitu sebesar 79% dibandingkan

dengan T1WI post contrast yang hanya sebesar 57% dalam mendeteksi

penyangatan meningeal pada pasien dengan suspek meningitis. Kedua sekuen

memiliki angka sensitifitas yang sama yaitu sebesar 85%.23

Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad di India tahun 2015 memberikan

kesimpulan bahwa dari 31 pasien dengan meningitis (sudah dibuktikan dengan

pemeriksaan CSS) yang dilakukan MRI kepala, sekuen T2-FLAIR post contrast

memiliki akurasi yang lebih besar daripada sekuen T1WI post contrast dalam

mendeteksi penyangatan meningeal. Angka akurasi sekuen T2-FLAIR post

contrast adalah sebesar sebesar 90.3% (28/31) sedangkan sekuen T1WI post

contrast memiliki akurasi sebesar 54.8% (17/31) dalam mendeteksi penyangatan

meningeal. Penelitian ini juga mengukur penyangatan meningeal secara kuantitatif

yaitu dengan menghitung kenaikan intensitas sinyal sekuen T2-FLAIR sebelum

dan sesudah pemberian kontras gadolinium-DTPA lalu dibandingkan dengan

kenaikan intensitas sinyal sekuen T1WI sebelum dan sesudah pemberian kontras

gadolinium-DTPA. Nilai intensitas sinyal didapatkan dengan memasang region of

interrest (ROI) di lokasi yang secara kualitatif terlihat ada penyangatan

meningeal. Secara kuantitatif didapatkan kenaikan nilai rata-rata intensitas sinyal

sekuen T2-FLAIR post contrast (106.48±67.07) lebih rendah dibandingkan


7

sekuen T1WI post contrast (155.91±76.31). Hal ini diduga terkait dengan efek

pemendekan waktu relaksasi T1 yang lebih besar pada sekuen T1WI post contrast

dibandingkan pada sekuen T2-FLAIR post contrast. Namun penelitian ini

mengakui bahwa secara keseluruhan penyangatan meningeal pada sekuen T2-

FLAIR post contrast lebih mudah terlihat dibandingkan sekuen T1WI post

contrast sehingga pemakaian sekuen T2-FLAIR post contrast direkomendasikan

untuk mendeteksi keberadaan meningitis secara dini.25

Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh para ahli radiologi mengenai

lebih baiknya kemampuan sekuen T2-FLAIR post contrast dibandingkan sekuen

T1WI post contrast dalam mendeteksi penyangatan meningeal pada meningitis.

Mathews et al mengatakan bahwa aliran lambat (slow flow) dari vena-vena di

ruang subarakhnoid akan memberikan gambaran hiperintens pada sekuen T1WI

post contrast namun tetap hipointens pada sekuen T2-FLAIR post contrast. Hal

ini menyebabkan gambaran penyangatan meningeal pada sekuen T2-FLAIR post

contrast tidak akan terganggu oleh gambaran intensitas sinyal dari aliran vena

subarakhnoid dan akan lebih jelas terlihat dibandingkan pada sekuen T1WI post

contrast. Mamourian memperlihatkan bahwa efek penyangatan dari kontras

gadolinium-DTPA pada suatu struktur sudah bisa terdeteksi pada sekuen T2-

FLAIR post contrast pada konsentrasi gadolinium-DTPA seperempat kali lebih

rendah dibandingkan konsentrasi gadolinium-DTPA pada sekuen T1WI post

contrast.26-28

Berdasarkan uraian di atas maka disusun tema sentral penelitian ini sebagai

berikut :
8

Meningitis TB adalah jenis TB ekstra paru yang paling berbahaya. Diagnosis pasti
meningitis TB sulit ditegakkan karena pemeriksaan mikrobiologi untuk
menemukan BTA dan atau kuman TB membutuhkan waktu yang lama dan tidak
selalu memberikan hasil yang positif. Pemeriksaan MRI merupakan pemeriksaan
penunjang yang penting untuk membantu mendiagnosis meningitis TB.
Penyangatan meningeal terutama di daerah basal adalah gambaran MRI yang
paling sensitif dan spesifik untuk meningitis TB. Deteksi penyangatan meningeal
pada MRI juga tergantung pada sekuen yang digunakan. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan di Italia, Pakistan dan Singapura didapatkan bahwa MRI kepala
sekuen T2-FLAIR post contrast lebih sensitif dan spesifik daripada sekuen T1WI
post contrast dalam mendeteksi penyangatan meningeal pada pasien dengan
suspek meningitis. Hal ini terkait dengan kemampuan sekuen T2-FLAIR post
contrast dalam menekan intensitas sinyal dari vena-vena subarakhnoid sehingga
gambaran penyangatan meningeal lebih jelas terlihat dengan konsentrasi
gadolinium-DTPA yang lebih rendah dibandingkan sekuen T1WI post contrast.
Penelitian di India menyebutkan bahwa secara kualitatif sekuen T2-FLAIR post
contrast lebih akurat dibandingkan T1WI post contrast dalam mendeteksi
penyangatan meningeal pada pasien dengan meningitis. Penyangatan meningeal
pada pasien meningitis lebih mudah terlihat pada sekuen T2-FLAIR post contrast
dibandingkan dengan sekuen T1WI post contrast namun bila dihitung secara
kuantitatif kenaikan nilai rata-rata intensitas sinyal sekuen T2-FLAIR post
contrast justru lebih rendah dibandingkan sekuen T1WI post contrast.

Penelitian mengenai perbedaan peningkatan intensitas sinyal meningen sekuen

T2-FLAIR dengan T1WI pada pasien meningitis tuberkulosis menggunakan

pemeriksaan MRI kepala dengan kontras gadolinium-DTPA belum pernah

dilakukan di lingkungan RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, karena itu penulis

tertarik untuk menelitinya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas maka dapat dibuat rumusan

masalah sebagai berikut : Apakah terdapat perbedaan peningkatan intensitas

sinyal meningen sekuen T2-FLAIR dengan T1WI pada pasien meningitis


9

tuberkulosis menggunakan pemeriksaan MRI kepala dengan kontras gadolinium-

DTPA di RSUP Dr.Hasan Sadikin Bandung ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan peningkatan

intensitas sinyal meningen sekuen T2-FLAIR dengan T1WI pada pasien

meningitis tuberkulosis menggunakan pemeriksaan MRI kepala dengan kontras

gadolinium-DTPA di RSUP Dr.Hasan Sadikin Bandung.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Ilmiah

Penelitian ini diharapkan dapat menyediakan data ilmiah mengenai perbedaan

peningkatan intensitas sinyal meningen sekuen T2-FLAIR dengan T1WI pada

pasien meningitis tuberkulosis menggunakan pemeriksaan MRI kepala dengan

kontras gadolinium-DTPA di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, sehingga dapat

digunakan sebagai data pendahuluan untuk penelitian selanjutnya.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Kegunaan praktis penelitian ini bagi radiolog adalah untuk mendapatkan

sekuen MRI yang paling optimal dalam mendeteksi penyangatan meningeal pada

kasus meningitis tuberkulosis dan meningkatkan kewaspadaan serta deteksi dini

terhadap penyakit meningitis tuberkulosis sehingga dapat diambil langkah-


10

langkah penanganan yang lebih cepat dan tepat yang pada akhirnya diharapkan

dapat menurunkan angka mortalitas dan kecacatan akibat penyakit ini.


11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, PREMIS DAN

HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Meningitis Tuberkulosis

2.1.1.1 Definisi Meningitis Tuberkulosis

Meningitis tuberkulosis (meningitis TB) adalah peradangan pada meningen

akibat infeksi kronis kuman Mycobacterium tuberculosis pada otak. Meningen

merupakan selaput otak yang terdiri dari duramater, arakhnoidmater dan piamater.

Duramater disebut juga dengan istilah pakhimeningen sedangkan arakhnoidmater

dan piamater disebut juga dengan istilah leptomeningen. Meningitis TB umumnya

melibatkan leptomeningen.8,29,30

2.1.1.2 Epidemiologi Meningitis Tuberkulosis

Secara epidemiologi penyakit TB pada Sistem Saraf Pusat (SSP) memiliki

angka kejadian sebesar 1% dari semua kasus TB dan 5-10% dari semua kasus TB

ekstra paru. Penyakit TB pada SSP seringkali bersifat mematikan bila tidak segera

ditangani. Angka kematian akibat penyakit ini bisa mencapai 30%. Dari semua

pasien TB pada SSP yang dinyatakan sembuh, hanya 18% diantaranya yang dapat

kembali normal secara neurologis maupun intelektual.3-5

Meningitis TB merupakan salah satu bentuk dari penyakit TB pada SSP yang

paling banyak ditemukan. Penyakit ini ditandai dengan adanya peradangan pada

11
12

selaput otak (meningen) akibat infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis yang

berasal dari penyebaran hematogen dari infeksi TB di tempat lainnya (paling

banyak dari TB paru). Meningitis TB menjadi penyebab kematian dan kecacatan

terbesar no.7 di seluruh dunia. Penyakit ini menempati urutan ke-5 dari semua TB

ekstra paru, memiliki angka kejadian 5,2% dari semua TB ekstra paru dan angka

kejadian 0,7% dari semua kasus TB. Penyakit ini bisa menyerang semua

kelompok usia dengan angka kejadian lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada

perempuan sebanyak dua banding satu.6-8

2.1.1.3 Etiologi Meningitis Tuberkulosis

Kuman Mycobacterium adalah kelompok basil tahan asam (BTA) berbentuk

batang yang terdiri dari 125 spesies. Kelompok kuman ini dibagi menjadi 3

kelompok yaitu : (1) Mycobacterium tuberculosis yang menjadi penyebab utama

penyakit TB, (2) Mycobacterium non tuberculosis yang menjadi penyebab infeksi

Mycobacterium atipikal dan (3) Mycobacterium leprosy yang menjadi penyebab

penyakit kusta. Masing-masing kelompok ini menyebabkan penyakit dengan

gejala klinis dan gambaran radiologi yang berbeda-beda. Dari semua kelompok di

atas, Mycobacterium tuberculosis merupakan 98% penyebab infeksi

Mycobacterium pada SSP.8

Kuman Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri berbentuk batang dengan

panjang ±2-4 µm dan lebar ±0,2-0,5 µm. Bakteri ini termasuk obligat aerob

dengan waktu pertumbuhan yang lambat (15-20 jam). Pada media kultur

Lowenstein-Jensen dibutuhkan waktu ±4-6 minggu sampai ada koloni bakteri


13

yang dapat terlihat secara makroskopis. Pada pewarnaan dengan Ziehl-Neelsen

kuman yang tergolong basil tahan asam (BTA) ini terlihat sebagai struktur batang

berwarna merah.31

Gambar 2.1 Kuman Mycobacterium tuberculosis terlihat sebagai struktur batang


berwarna merah pada pewarnaan Ziehl-Neelsen.
Dikutip dari : Todar31

2.1.1.4 Patogenesis Meningitis Tuberkulosis

Infeksi TB pada otak dimulai dari infeksi TB di tempat lainnya di dalam tubuh

(umumnya berasal dari paru). Pada TB paru kuman TB mencapai paru-paru lewat

saluran nafas. Kuman TB kemudian difagositosis oleh makrofag alveolar di dalam

parenkim paru. Apabila sistem kekebalan tubuh penderita menurun, kuman TB

dapat menyebar ke aliran darah menyebabkan bakteremia dan bisa sampai ke otak

kemudian dideposit di daerah yang kaya oksigen seperti di daerah meningen,

subpial atau subependimal membentuk fokus-fokus infeksi yang dinamakan Rich

foci. Rich foci ini kemudian bisa ruptur dan melepaskan kuman TB aktif ke daerah
14

sekitarnya. Hal ini kemudian akan menstimulasi imunitas seluler yang dimediasi

oleh limfosit T yang akhirnya menimbulkan reaksi inflamasi di daerah tersebut.32

Lokasi rupturnya Rich foci sangat menentukan proses patologi yang terjadi

selanjutnya. Apabila Rich foci ruptur di daerah subarakhnoid maka akan timbul

inflamasi pada meningen (meningitis). Proses inflamasi menyebabkan timbulnya

eksudat yang bisa menyebabkan vaskulitis dan pada akhirnya menyebabkan lesi

iskhemik. Eksudat juga bisa mengobliterasi daerah subarakhnoid dan sisterna

terutama di daerah basal menyebabkan hidrosefalus.32

Parenkim otak dilindungi oleh sistem sawar darah-otak (blood brain barrier)

yang terdiri dari sel endotel mikrovaskular, tight junction dan membaran basalis

yang ditopang oleh prosesus sel astrosit. Sistem ini sangat efektif melindungi otak

dari zat-zat hidrofilik dan kuman patogen yang bersirkulasi dalam darah. Kuman

TB diduga bisa menembus sawar darah otak melalui makrofag yang sudah

terinfeksi oleh kuman TB.32


15

Gambar 2.2 Sistem sawar darah otak terdiri dari sel endotel mikrovaskular, tight
junction dan membaran basalis yang ditopang oleh prosesus sel
astrosit.
Dikutip dari : Be et al32

Gambar 2.3 Patogenesis meningitis TB. Ruptur Rich foci di daerah subarakhnoid
menyebabkan lepasnya kuman TB yang memicu respon inflamasi
pada meningen menyebabkan meningitis.
Dikutip dari : Be et al32
16

2.1.1.5 Diagnosis Meningitis Tuberkulosis

Klinisi menghadapi kesulitan dalam menegakkan diagnosis pasti meningitis

TB. Gejala dan tanda meningitis TB seringkali tidak khas. Tes diagnostik yang

cepat, sensitif dan terjangkau belum tersedia. Selama ini diagnosis meningitis TB

dilakukan berdasarkan data klinis, laboratorium dan pemeriksaan radiologi

menggunakan berbagai macam kriteria yang tidak standardisasi. Marais et al

membuat suatu panduan yang terstandardisasi dalam menegakkan diagnosis

meningitis TB tanpa memandang usia, status infeksi Human Immunodefficiency

Virus (HIV) maupun sumber daya yang tersedia di masing-masing tempat. Hal ini

sesuai dengan rekomendasi yang dikeluarkan oleh para ahli pada pertemuan

ilmiah dan workshop internasional tentang meningitis TB yang diadakan pada

bulan Mei tahun 2009 di Cape Town, Afrika Selatan. Pasien dengan suspek

meningitis TB dinilai dengan skor Marais menggunakan kriteria klinis,

pemeriksaan CSS (dengan punksi lumbal) dan pemeriksaan CT atau MRI kepala

lalu dikelompokkan ke dalam 4 kategori yaitu possible, probable, definite atau

bukan meningitis TB.13

Pasien disebut dengan suspek meningitis TB apabila menderita gejala dan

tanda sebagai berikut : nyeri kepala, demam, muntah, kaku kuduk, kejang, defisit

neurologis fokal, penurunan kesadaran atau gejala non spesifik lainnya seperti

mudah tersinggung, lelah dan lemah. Gejala ini umumnya berlangsung lebih dari

2 minggu. Pasien dengan suspek meningitis TB lalu dinilai dengan skor Marais

dan dikelompokkan ke dalam kategori sebagai berikut :13


17

A. Possible

Pasien termasuk kategori ini bila memiliki skor Marais total 6-9 poin (bila

pemerikaan CT atau MRI kepala tidak tersedia) atau 6-11 poin (bila

pemerikaan CT atau MRI kepala tersedia). Salah satu pemeriksaan

penunjang baik itu pemeriksaan CSS, CT atau MRI kepala wajib

dilakukan.

B. Probable

Pasien termasuk kategori ini bila memiliki skor Marais total ≥10 poin (bila

pemerikaan CT atau MRI kepala tidak tersedia) atau ≥12 poin (bila

pemerikaan CT atau MRI kepala tersedia). Minimal 2 poin harus berasal

dari kriteria pemeriksaan CSS atau radiologi.

C. Definite

Pasien termasuk kategori ini bila ditemukannya BTA pada CSS, hasil

kultur CSS ataupun PCR positif untuk kuman Mycobacterium tuberculosis

atau pada pemeriksaan autopsi terlihat adanya meningitis.

D. Bukan meningitis TB

Pasien termasuk kategori bukan meningitis TB apabila tidak memenuhi

ketiga kategori di atas.


18

Tabel 2.1 Sistem Skoring Marais

Kriteria Skor
Klinis Nilai maksimum : 6
1. Gejala lebih dari 5 hari 4
2. Terdapat gejala sistemik sugestif TB :
penurunan berat badan, keringat malam,
batuk persisten lebih dari 2 minggu 2
3. Riwayat kontak TB positif (hanya untuk 2
anak di bawah 10 tahun)
4. Defisit neurologis fokal 1
5. Parese nervus kranialis 1
6. Penurunan kesadaran 1

CT atau MRI Kepala Nilai maksimum : 6


1. Penyangatan meningeal di daerah basal 2
2. Hidrosefalus 1
3. Infark 1
4. Tuberkuloma 2
5. Hiperdensitas pada CT kepala tanpa 2
kontras

CSS Nilai maksimum : 4


1. Jernih 1
2. Jumlah sel : 10-500 per µl 1
3. Predominan limfosit 1
4. Konsentrasi protein > 1 g/l 1
5. Rasio glukosa CSS/plasma < 50% 1

Infeksi TB di organ lainnya Nilai maksimum : 4


1. Kesan foto thoraks menunjukkan adanya 2/4
TB paru aktif (skor 2) atau TB milier
(skor 4)
2. Pemeriksaan radiologi CT, MRI atau 2
USG menunjukkan adanya infeksi TB
pada organ lain
3. BTA atau kuman Mycobacterium 4
tuberculosis didapatkan pada spesimen
lain selain CSS seperti sputum, darah,
urine, kelenjar getah bening, dll
4. Tes nucleic acid amplification dari 4
spesimen ekstraneural positif untuk
kuman Mycobacterium tuberculosis

Dikutip dari : Marais et al13


19

Gambar 2.4 Algoritma penegakkan diagnosis meningitis TB. Pasien dengan suspek
meningitis TB harus dilakukan pemeriksaan CT atau MRI kepala dan
atau lumbal punksi CSS lalu dinilai dengan skor Marais kemudian
dikelompokkan menjadi possible, probable, definite atau bukan
meningitis TB.
Dikutip dari : Marais et al13

2.1.1.6 Gambaran MRI Meningitis Tuberkulosis

Gambaran MRI kepala yang paling sering ditemukan pada meningitis TB

adalah penyangatan meningeal terutama di daerah basal, hidrosefalus dan

komplikasi vaskular berupa lesi iskhemik atau infark. Pemeriksaan MRI kepala

tanpa kontras pada tahap awal penyakit biasanya tidak menunjukkan adanya

abnormalitas pada meningen namun seiring dengan perjalanan penyakit, terlihat

adanya perubahan sinyal di daerah ruang subarakhnoid akibat pemendekan dari

waktu relaksasi T1 dan T2. Penyangatan meningeal umumnya bisa terlihat dengan

sekuen T1 weighted imaging (T1WI) setelah pemberian kontras gadolinium-

DTPA. Tempat yang paling sering terkena adalah ruang subarakhnoid di daerah

basal di antaranya adalah sisterna interpedunkular, sisterna pontin, sisterna

perimesensefalik dan sisterna suprasellar. Keterlibatan sulci di daerah konveksitas


20

dan fissura sylvii kadang bisa terjadi pada beberapa kasus. Adapun keterlibatan

meningen di daerah serebelum dan tentorium jarang terjadi.33

Menurut Marais et al, meskipun penyangatan meningeal merupakan tanda

meningitis TB yang paling sering ditemukan, tanda ini relatif lebih jarang

ditemukan pada pasien dewasa dibandingkan pada anak-anak. Salah satu faktor

penyebab sulitnya mendeteksi penyangatan meningeal pada pasien meningitis TB

dewasa adalah karena sedikitnya eksudat yang terbentuk di daerah basal.13,34

Angka sensitifitas MRI adalah sebesar 97% sedangkan CT sebesar 70% dalam

mendeteksi penyangatan meningeal pada meningitis TB. Penyangatan meningeal

juga lebih mudah terlihat pada pemeriksaan MRI dibandingkan pada CT.

Andronikou et al dan Sanei et al mengatakan bahwa penyangatan meningeal

terutama di daerah basal merupakan gambaran CT dan MRI yang paling sensitif

dan spesifik untuk meningitis TB.17-19

Hidrosefalus pada meningitis TB umumnya berupa tipe communicating namun

terkadang tipe non communicating juga bisa terjadi. Hidrosefalus tipe

communicating terjadi akibat terobliterasinya sisterna di daerah basal oleh eksudat

inflamasi. Hidrosefalus tipe non communicating terjadi sekunder akibat efek

desak oleh lesi intraparenkimal (tuberkuloma) atau bisa juga akibat peradangan

granulomatus pada sel-sel ependim yang melapisi ventrikel

(ependimitis/ventrikulitis).33

Lesi iskhemik atau infark terjadi akibat vaskulitis yang pada tahap lanjut dapat

menyebabkan oklusi pada pembuluh darah yang terkena. Mayoritas infark pada

meningitis TB (75%) terjadi di daerah “TB zone” yaitu daerah yang diperdarahi
21

oleh arteri striata media dan arteri thalamoperforating. Daerah ini meliputi

nukleus kaudatus, talamus anteromedial dan bagian anterior limb ataupun genu

dari kapsula interna. Lesi iskhemik yang terjadi seringkali bersifat bilateral dan

simetris.33,35

Gambar 2.5 (Kiri) MRI Kepala T1WI dengan kontras gadolinium-DTPA


memperlihatkan penyangatan meningeal di daerah sisterna basalis
dan hidrosefalus kommunikans (Kanan) MRI kepala diffusion
weighted imaging (DWI) memperlihatkan infark akut di daerah
nukleus kaudatus kiri.
Dikutip dari : Bathla G5

Gambar 2.6 Autopsi pasien meningitis TB Potongan aksial di daerah suprasellar


memperlihatkan eksudat tebal mengobliterasi sisterna suprasellar dan
sebagian pons.
Dikutip dari : Osborn8
22

2.1.2 Prinsip Dasar MRI

MRI (magnetic resonance imaging) merupakan salah satu modalitas radiologi

yang menggunakan radiasi non ionisasi (dalam hal ini gelombang frekuensi radio)

untuk menghasilkan gambar yang berguna bagi kepentingan diagnosis penyakit.

Mesin MRI terdiri dari magnet berukuran besar dengan kekuatan magnet yang

kuat (dinyatakan dalam Tesla). Suatu antena (coil) digunakan untuk mengirimkan

gelombang radio (radio frequency pulse disingkat RF pulse) ke bagian tubuh

pasien yang diperiksa dan coil yang sama digunakan untuk menerima gelombang

radio yang dipancarkan dari tubuh pasien. Sinyal gelombang radio yang diterima

oleh coil akan dianalisis oleh komputer dan ditransformasi menjadi gambar yang

bermakna.36

Semua gambar (images) pada pemeriksaan radiologi harus bisa

memperlihatkan kontras antara struktur anatomi yang berbeda dan juga antara

anatomi normal dengan patologi. Kontras pada MRI dibentuk oleh berbagai

macam faktor intrinsik dan ekstrinsik. Ada tiga faktor utama yang menentukan

kontras pada MRI, yaitu waktu relaksasi T1 (T1 recovery), waktu relaksasi T2 (T2

decay) dan densitas proton (proton density).37

Waktu relaksasi T1 adalah waktu yang dibutuhkan oleh suatu jaringan untuk

mendapatkan kembali (recover) magnetisasi longitudinal (longitudinal

magnetization) sebesar 63% dari nilai awal. Keadaan ini disebabkan akibat

adanya transfer energi dari proton (spin) ke lingkungan sekitarnya (lattice)

sehingga waktu relaksasi T1 disebut juga dengan istilah spin-lattice relaxation.

Beberapa jenis zat atau jaringan memiliki waktu relaksasi T1 yang pendek di
23

antaranya jaringan lemak, methemoglobin, protein, gadolinium-DTPA, dll. Zat

atau jaringan yang memiliki waktu relaksasi T1 yang panjang di antaranya adalah

tulang kortikal, udara, cairan edema, CSS, kalsifikasi, dll. 37,38

Gambar 2.7 Kurva waktu relaksasi T1


Dikutip dari : Westbrook37

Waktu relaksasi T2 adalah waktu yang dihabiskan oleh suatu jaringan agar

terjadi pengurangan (decay) magnetisasi transversal (transverse magnetization)

sehingga hanya tersisa 37% dari nilai awal. Keadaan ini disebabkan akibat adanya

interaksi antara proton (spin) dengan proton (spin) lainnya sehingga terjadi

pengurangan koherensi (loss of coherence) dari magnetisasi transversal. Waktu

relaksasi T2 disebut juga dengan istilah spin-spin relaxation. Beberapa jenis zat

atau jaringan memiliki waktu relaksasi T2 yang pendek di antaranya jaringan

lemak, tulang kortikal, udara, kalsifikasi, deoksihemoglobin, methemoglobin

intraselular, hemosiderin, feritin, dll. Zat atau jaringan yang memiliki waktu

relaksasi T2 yang panjang di antaranya adalah cairan edema, CSS,

methemoglobin ekstraselular, dll.37,38


24

Gambar 2.8 Kurva waktu relaksasi T2


Dikutip dari : Westbrook37

Parameter eksternal yang berhubungan dengan waktu relaksasi T1 adalah

repetition time (TR) yaitu waktu dari mulai diberikannya RF pulse ke RF pulse

berikutnya. Parameter eksternal yang berhubungan dengan waktu relaksasi T2

adalah echo time (TE) yaitu waktu dari mulai diberikannya RF pulse ke

penerimaan sinyal frekuensi radio yang dipancarkan tubuh pasien oleh coil.39

Sekuen denyut (pulse sequence, selanjutnya disebut sekuen) pada MRI adalah

kombinasi dari beberapa RF pulse yang diberikan dengan urutan tertentu,

penerapan berbagai macam gradien dan pengaturan interval / waktu dari fungsi-

fungsi di atas. Sekuen MRI banyak ragamnya namun secara garis besar dibagi

menjadi 2 kelompok besar yaitu sekuen spin echo dan gradient echo. Kedua tipe

sekuen ini memiliki perbedaan utama pada metode spin rephasing-nya. Sekuen

spin echo menggunakan RF pulse 180° untuk spin rephasing-nya sedangkan

sekuen gradient echo menggunakan sistem gradien untuk spin rephasing-nya.

Penggunaan sekuen MRI sangat menentukan kontras gambar yang dihasilkan. 39


25

2.1.2.1 Sekuen T1 Weighted Imaging

Sekuen pembobotan gambar T1 (T1 Weighted Imaging, selanjutnya disebut

T1WI) merupakan salah satu sekuen spin echo yang menghasilkan gambar dengan

kontras terutama berasal dari perbedaan waktu relaksasi T1 jaringan / organ yang

diperiksa. Kontras gambar akibat efek perbedaan waktu relaksasi T2 dibuat

seminimal mungkin. Untuk menghasilkan gambar dengan sekuen T1WI, TR dan

TE harus dibuat pendek (TR : 400 – 700 milidetik, TE : 10 – 30 milidetik).39

Pada T1WI, zat atau jaringan yang memiliki waktu T1 relaksasi pendek

(seperti lemak) akan memberikan intensitas sinyal yang tinggi (hiperintens). Zat

atau jaringan yang memiliki waktu T1 relaksasi panjang (seperti air) akan

memberikan intensitas sinyal yang rendah (hipointens).39

Gambar 2.9 Perbedaan kontras antara lemak (waktu relaksasi T1&T2 pendek)
dengan air (waktu relaksasi T1&T2 panjang). Untuk menghasilkan
gambar dengan sekuen T1WI, TR dan TE harus dibuat pendek
sehingga efek kontras gambar akibat perbedaan waktu relaksasi T1
menjadi maksimal dan perbedaan waktu relaksasi T2 menjadi
minimal.
Dikutip dari : Westbrook37
26

Gambar 2.10 MRI kepala potongan aksial dengan sekuen T1WI. Tampak
gambaran lemak yang hiperintens dengan CSS yang hipointens.
Dikutip dari : Westbrook39

2.1.2.2 Sekuen T2-Fluid Attenuated Inversion Recovery

Sekuen inversion recovery merupakan salah satu sekuen spin echo yang

memiliki ciri khas berupa adanya RF pulse 180° pada awal sekuen (dinamakan

180° inverting pulse). Hal ini menyebabkan vektor magnet total (net

magnetization vector / NMV) di awal sekuen mengalami inversi sebesar 180°.

Pada sekuen ini TR merupakan waktu dari 180° inverting pulse ke 180° inverting

pulse selanjutnya. Waktu inversi (time inversion / TI) adalah waktu dari mulai

diberikannya 180° inverting pulse sampai diberikannya RF pulse 90° untuk

mengeksitasi spin.39

Waktu inversi (TI) merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan

pembobotan gambar (image weighting) pada sekuen inversion recovery. Sekuen

fluid attenuated inversion recovery (FLAIR) menggunakan waktu TI yang


27

panjang (TI : 1700 – 2000 milidetik) untuk menekan sinyal dari CSS sehingga

gambaran CSS (atau cairan transudat lainnya) menjadi sangat hipointens. T2-

FLAIR menggunakan TR dan TE yang panjang (TR > 2500 milidetik, TE > 70

milidetik) untuk menghasilkan efek FLAIR dengan pembobotan T2 sehingga

gambar yang dihasilkan serupa dengan T2WI namun dengan sinyal CSS yang

hipointens. Kekurangan sekuen ini adalah waktu pengambilan gambar yang relatif

lama dibandingkan sekuen lainnya. Tapi hal ini dapat diatasi dengan penggunaan

teknik fast sequence untuk T2-FLAIR sehingga waktu pengambilan gambar bisa

lebih dipersingkat.39

Gambar 2.11 Perbedaan kontras antara lemak dan air pada sekuen inversion
recovery. Sekuen T2-FLAIR menggunakan TI yang panjang untuk
menekan sinyal dari CSS, TR dan TE dibuat panjang agar
dihasilkan gambar dengan pembobotan T2.
Dikutip dari : Westbrook37
28

Gambar 2.12 MRI kepala potongan aksial dengan sekuen T2-FLAIR. Tampak
gambaran serupa T2WI namun dengan CSS yang sangat hipointens
Dikutip dari : Westbrook37

2.1.2.3 Efek Kontras Gadolinium-DTPA

Media kontras pada MRI memiliki pengaruh pada medan magnet lokal dengan

cara merubah waktu relaksasi T1 dan T2 dari struktur atau organ yang dimasuki

oleh media kontras tersebut. Media kontras yang paling banyak digunakan pada

pemeriksaan MRI adalah senyawa berbasis gadolinium. Sebagai elemen tunggal,

gadolinium bersifat toksik pada tubuh. Gadolinium dapat dibuat aman dengan

cara diikat (binding/chelating) dengan molekul lainnya misalnya dengan

diethylene triaminepentaacetic acid (DTPA). Pada suhu tubuh, gadolinium-DTPA

merupakan zat paramagnetik yang memiliki efek positif pada medan magnet lokal

dengan hasil akhir berupa pemendekan dari waktu relaksasi T1 dan T2 pada

struktur atau organ yang diperiksa. Hal ini menyebabkan intensitas sinyal

meningkat (gambaran hiperintens) pada sekuen T1WI di daerah yang dimasuki


29

oleh kontras gadolinium-DTPA (selanjutnya sekuen ini disebut dengan T1WI post

contrast). Dosis gadolinium-DTPA yang dianjurkan adalah 0,2 ml/KgBB dengan

dosis maksimal 20 ml dan diberikan secara intravena.37 39

Pada sekuen T2-FLAIR, pemberian kontras gadolinium-DTPA memberikan

efek yang sama yaitu peningkatan intensitas sinyal (gambaran hiperintens) di

daerah yang dimasuki kontras gadolinium-DTPA (sekuen T2-FLAIR setelah

pemberian kontras gadolinium-DTPA selanjutnya disebut dengan T2-FLAIR post

contrast). Peningkatan intensitas sinyal pada T2-FLAIR post contrast

berhubungan dengan efek pemendekan waktu relaksasi T1 yang lebih dominan

dibandingkan pemendekan waktu relaksasi T2.26

Gambar 2.13 Efek kontras gadolinium-DTPA adalah memperpendek waktu


relaksasi T1 dan T2. Hal ini terlihat sebagai peningkatan intensitas
sinyal (gambaran hiperintens) baik pada sekuen T1WI post contrast
maupun T2-FLAIR post contrast
Dikutip dari : Schild40
30

2.1.2.4 Sekuen MRI dan Penyangatan Meningeal Pada Meningitis

Penyangatan meningeal pada meningitis terjadi karena adanya kerusakan

(breakdown) pada sawar darah-otak akibat reaksi inflamasi di daerah

subarakhnoid. Penyangatan meningeal yang terjadi umumnya berupa penyangatan

leptomeningen (leptomeningeal enhancement). Pada meningitis terjadi kebocoran

(leakage) kontras gadolinium-DTPA dari intravaskular ke dalam CSS. Pada MRI

kepala T1WI post contrast dan T2-FLAIR post contrast terlihat adanya gambaran

hiperintens di ruang-ruang subarakhnoid seperti di daerah sulci dan sisterna.41

Gambar 2.14 Pola penyangatan meningeal pada meningitis. Terdapat gambaran


hiperintens di ruang-ruang subarakhnoid seperti di daerah sulci dan
sisterna
Dikutip dari : Smirniotopoulos 41

Pada penelitian yang dilakukan oleh Splendiani et al di Italia tahun 2005,

Vaswani et al di Pakistan tahun 2014 dan Parmar et al di Singapura tahun 2005

disimpulkan bahwa pemeriksaan MRI kepala pada pasien suspek meningitis

dengan sekuen T2-FLAIR post contrast lebih sensitif dan spesifik daripada T1WI

post contrast dalam mendeteksi keberadaan penyangatan meningeal.22-24


31

Pada penelitian yang dilakukan oleh Ahmad di India tahun 2015, dari 31 pasien

dengan meningitis yang dilakukan MRI kepala didapatkan hasil bahwa secara

kualitatif sekuen T2-FLAIR post contrast memiliki akurasi sebesar 90.3% (28/31)

dalam mendeteksi penyangatan meningeal sedangkan sekuen T1WI post contrast

hanya memiliki akurasi sebesar 54.8% (17/31). Penelitian ini juga mengukur

penyangatan meningeal secara kuantitatif yaitu dengan menghitung kenaikan

intensitas sinyal sekuen T2-FLAIR sebelum dan sesudah pemberian kontras

gadolinium-DTPA lalu dibandingkan dengan kenaikan intensitas sinyal sekuen

T1WI sebelum dan sesudah pemberian kontras gadolinium-DTPA. Secara

kuantitatif didapatkan kenaikan nilai rata-rata intensitas sinyal sekuen T2-FLAIR

post contrast (106.48±67.07) lebih rendah dibandingkan sekuen T1WI post

contrast (155.91±76.31). Namun penelitian ini mengakui bahwa secara

keseluruhan penyangatan meningeal pada sekuen T2-FLAIR post contrast lebih

mudah terlihat dibandingkan sekuen T1WI post contrast sehingga pemakaian

sekuen T2-FLAIR post contrast direkomendasikan untuk mendeteksi keberadaan

meningitis secara dini.25

Menurut Mathews et al dan Stuckey et al, penyangatan meningeal pada

kelainan otak superfisial seperti meningitis lebih mudah dan lebih jelas terlihat

pada MRI kepala sekuen T2-FLAIR post contras daripada T1WI post contrast.

Aliran darah yang lambat pada vena-vena di ruang subarakhnoid dapat

menyebabkan gambaran hiperintens pada T1WI post contrast namun tetap

hipointens pada T2-FLAIR post contrast. Keadaan ini menyebabkan penyangatan

meningeal pada T2-FLAIR post contrast akan lebih jelas terlihat dibandingkan
32

T1WI post contrast karena tidak adanya faktor pengganggu dari penyangatan

aliran darah lambat pada vena-vena subarakhnoid. Mamourian memperlihatkan

bahwa efek penyangatan dari kontras gadolinium-DTPA pada suatu struktur

sudah bisa terdeteksi pada sekuen T2-FLAIR post contrast pada konsentrasi

gadolinium-DTPA seperempat kali lebih rendah dibandingkan konsentrasi

gadolinium-DTPA pada sekuen T1WI post contrast. Mathews et al dan Galassi et

al menyimpulkan bahwa perbedaan penyangatan meningeal antara sekuen T2-

FLAIR post contrast dan T1WI post contrast bukan disebabkan karena perbedaan

urutan sekuen yang dikerjakan terlebih dahulu setelah pemberian kontras

gadolinium-DTPA. Menurut Nazarpoor nilai intensitas sinyal pada sekuen T1WI

post contrast dan T2-FLAIR post contrast dapat digunakan untuk memperkirakan

konsentrasi kontras gadolinium-DTPA pada struktur yang diamati.26-28,42,43

Gambar 2.15 MRI kepala potongan aksial sekuen T2-FLAIR post contrast (kiri)
memperlihatkan penyangatan meningeal di daerah tentorium
serebeli dan sulci di daerah frontotemporalis bilateral yang lebih
jelas terlihat dibandingkan sekuen T1WI post contrast (kanan)
Dikutip dari : Vaswani 24
33

Gambar 2.16 Penelitian Ahmad di India tahun 2015, (a) T1WI (b) T1WI post
contrast (c) T2-FLAIR (d) T2-FLAIR post contrast. Penelitian ini
mengukur secara kuantitatif perbedaan kenaikan intensitas sinyal
antara T2-FLAIR post contrast dengan T1WI post contrast.
Menggunakan perangkat lunak komputer tertentu, dibuat ROI
(region of interrest) di daerah yang akan dilihat intensitas sinyalnya.
Angka yang muncul adalah derajat kecerahan (brightness) yang
menggambarkan intensitas sinyal.
Dikutip dari : Ahmad25

2.1.2.5 Diagnosis Banding Penyangatan Meningeal

Peningkatan sinyal di ruang subarakhnoid bisa ditemukan pada kondisi lain

selain meningitis seperti perdarahan subarakhnoid, stroke, pasien yang

mendapatkan suplemen oksigen dan pasien yang pernah mendapatkan kontras

gadolinium-DTPA ataupun kontras iodium dalam 7 hari terakhir.25

Menurut Stuckey ada beberapa kondisi yang dapat menyebabkan gambaran

hiperintens pada sekuen T2-FLAIR yaitu sebagai berikut :42,44

A. Perdarahan subarakhnoid

Pada keadaan ini terjadi pemendekan waktu relaksasi T1 dan pemanjangan

waktu relaksasi T2 yang berhubungan dengan tingginya kadar protein


34

pada CSS yang telah bercampur dengan darah. Kedua hal tersebut

menyebabkan gambaran hiperintens pada T2-FLAIR.

B. Karsinomatosis meningeal

Keadaan hiperintens pada T2-FLAIR pada karsinomatosis meningeal di

daerah subarakhnoid terjadi akibat meningkatnya kadar protein dan jumlah

sel yang menyebabkan . Hal ini hampir serupa dengan keadaan meningitis.

C. Tumor subarakhnoid yang mengandung lemak

Tumor jenis ini menyebabkan pemendekan waktu relaksasi T1 yang pada

sekuen T2-FLAIR bisa tampak sebagai gambaran hiperintens.

D. Stroke akut

Pada stroke akut terutama tipe infark, gambaran hiperintens pada vaskular

di daerah ruang subarakhnoid pada T2-FLAIR terjadi akibat stenosis

sangat berat (>90%) atau oklusi total dari pembuluh darah yang

menyebakan stasis aliran darah yang menyebabkan pemendekan waktu

relaksasi T1 dan pemanjangan waktu relaksasi T2.

E. Suplemen oksigen

Efek paramagnetik yang lemah dari suplemen oksigen berkonsentrasi

tinggi (100%) dapat menyebabkan pemendekan dari waktu relaksasi T1

sehingga menyebabkan gambaran hiperintens pada ruang subarakhnoid.

F. Pemberian media kontras intravena

Bozzao et al menyimpulkan bahwa pemberian kontras gadolinium-DTPA

intravena pada pasien dengan gangguan pada sawar darah otak (misalnya

pada keadaan inflamasi) menyebabkan kontras gadolinium-DTPA masuk


35

ke dalam ruang subarakhnoid dan menyebabkan gambaran hiperintens.

Keadaan ini (penyangatan meningeal) bisa bertahan selama 2 – 24 jam.

G. Artefak akibat gerakan kepala

Gerakan kepala yang berlebihan dapat menyebabkan artefak berupa

gambaran hiperintens di daerah ruang subarakhnoid. Hal ini terjadi karena

CSS pada bidang pencitraan tidak terkena inversion pulse sehingga efek

atenuasi sinyal pada CSS tidak terjadi.

2.2 Kerangka Pemikiran

Meningitis tuberkulosis (meningitis TB) adalah peradangan pada meningen

(umumnya leptomeningen) akibat infeksi kronis kuman Mycobacterium

tuberculosis pada otak. Patogenesis terjadinya meningitis TB dimulai dari infeksi

TB dari tempat lain di dalam tubuh (umumnya berasal dari paru) yang menyebar

secara hematogen kemudian sampai ke otak dan dideposit di daerah meningen,

subpial atau subependimal membentuk fokus-fokus infeksi yang dinamakan Rich

Foci. Rich Foci ini kemudian bisa ruptur dan melepaskan kuman TB aktif ke

daerah sekitarnya. Hal ini kemudian akan menstimulasi imunitas seluler yang

dimediasi oleh limfosit T yang akhirnya menimbulkan reaksi inflamasi di daerah

tersebut.8,29,30,32

Untuk menegakkan diagnosis pasti dari meningitis TB bukan hal yang mudah.

Gejala dan tanda meningitis TB seringkali tidak khas. Tes diagnostik yang cepat,

sensitif dan terjangkau belum tersedia. Untuk mendiagnosis meningitis TB, pasien

dengan suspek meningitis TB dinilai dengan skor Marais menggunakan kriteria


36

klinis, pemeriksaan CSS (dengan punksi lumbal) dan pemeriksaan CT atau MRI

kepala lalu dikelompokkan ke dalam 4 kategori yaitu possible, probable, definite

atau bukan meningitis TB.13

Gambaran CT atau MRI kepala yang paling sering ditemukan pada meningitis

TB adalah penyangatan meningeal terutama di daerah basal, hidrosefalus dan

komplikasi vaskular berupa lesi iskhemik. Menurut Marais et al, meskipun

penyangatan meningeal merupakan tanda meningitis TB yang paling sering

ditemukan, tanda ini relatif lebih jarang ditemukan pada pasien dewasa

dibandingkan pada anak-anak. Sedikitnya eksudat di daerah basal menjadi salah

satu faktor penyebab sulitnya mendeteksi penyangatan meningeal pada pasien

meningitis TB dewasa. Menurut Pienaar sensitifitas MRI lebih baik daripada CT

dalam mendeteksi penyangatan meningeal sehingga penyangatan meningeal lebih

mudah terlihat pada pemeriksaan MRI dibandingkan pada CT. Penyangatan

meningeal terutama di daerah basal merupakan gambaran MRI yang paling

sensitif dan spesifik untuk meningitis TB 13,18,19,33,34

Penyangatan meningeal pada meningitis terjadi karena adanya kerusakan

(breakdown) pada sawar darah-otak akibat reaksi inflamasi di daerah

subarakhnoid. Penyangatan meningeal yang terjadi umumnya berupa penyangatan

leptomeningen (leptomeningeal enhancement). Pada meningitis terjadi kebocoran

(leakage) kontras gadolinium-DTPA dari intravaskular ke dalam CSS. Pada MRI

kepala sekuen T1WI post contrast terlihat adanya gambaran hiperintens di ruang-

ruang subarakhnoid seperti di daerah sulci dan sisterna.41


37

Pada sekuen T2-FLAIR, pemberian kontras gadolinium-DTPA memberikan

efek yang sama yaitu peningkatan intensitas sinyal (gambaran hiperintens) di

daerah yang dimasuki kontras. Peningkatan intensitas sinyal pada T2-FLAIR post

contrast berhubungan dengan efek pemendekan waktu relaksasi T1 yang lebih

dominan dibandingkan pemendekan waktu relaksasi T2.26

Pada penelitian yang dilakukan oleh Splendiani et al di Italia, Vaswani et al di

Pakistan dan Parmar et al di Singapura disimpulkan bahwa pemeriksaan MRI

kepala pada pasien suspek meningitis dengan sekuen T2-FLAIR post contrast

lebih sensitif dan spesifik daripada T1WI post contrast dalam mendeteksi

keberadaan penyangatan meningeal. Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad,

Mathews et al dan Stuckey et al menyimpulkan bahwa penyangatan meningeal

pada sekuen T2-FLAIR post contrast lebih mudah dan lebih jelas terlihat

dibandingkan pada sekuen T1WI post contrast karena pada T2-FLAIR post

contrast aliran darah lambat pada vena-vena subarakhnoid tidak akan memberikan

penyangatan sehingga tidak akan menganggu gambaran penyangatan meningeal

yang timbul. Mamourian memperlihatkan bahwa efek penyangatan dari kontras

gadolinium-DTPA pada suatu struktur sudah bisa terdeteksi pada sekuen T2-

FLAIR post contrast pada konsentrasi gadolinium-DTPA seperempat kali lebih

rendah dibandingkan konsentrasi gadolinium-DTPA pada sekuen T1WI post

contrast. Ahmad mengukur penyangatan meningeal secara kuantitatif yaitu

dengan menghitung kenaikan intensitas sinyal sekuen T2-FLAIR sebelum dan

sesudah pemberian kontras gadolinium-DTPA lalu dibandingkan dengan kenaikan

intensitas sinyal sekuen T1WI sebelum dan sesudah pemberian kontras


38

gadolinium-DTPA. Nazarpoor menyatakan bahwa nilai intensitas sinyal pada

sekuen T1WI post contrast dan T2-FLAIR post contrast dapat digunakan untuk

memperkirakan konsentrasi gadolinium-DTPA pada struktur yang diamati.22-24.25-


28,42,43

2.3 Premis

Berdasarkan kerangka pemikiran yang berhasil dikumpulkan dari berbagai

kepustakaan, dirumuskan premis-premis sebagai berikut:

Premis 1 :

Gambaran MRI yang paling sering didapatkan pada meningitis TB adalah

penyangatan meningeal terutama di daerah basal. Tanda ini merupakan gambaran

MRI yang paling sensitif dan spesifik untuk meningitis TB.13,18

Premis 2 :

Penyangatan meningeal pada MRI kepala sekuen T2-FLAIR post contrast lebih

mudah dan lebih jelas terlihat dibandingkan pada sekuen T1WI post contrast.26,42

Premis 3 :

Penyangatan meningeal bisa diukur dengan cara menghitung perbedaan intensitas

sinyal antara sekuen MRI sebelum dan setelah pemberian kontras gadolinium-

DTPA.25
39

2.4 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran serta premis-premis yang berhasil

dikumpulkan, maka hipotesis dari penelitian ini adalah :

Terdapat perbedaan peningkatan intensitas sinyal meningen sekuen T2-FLAIR

dengan T1WI pada pasien meningitis tuberkulosis menggunakan pemeriksaan

MRI kepala dengan kontras gadolinium-DTPA di RSUP Dr. Hasan Sadikin

Bandung.
40

BAB III

SUBJEK DAN METODE PENELITIAN

3.1 Populasi Penelitian

Populasi penelitian adalah pasien meningitis tuberkulosis (meningitis TB) di

RSUP Dr. Hasan Sakidin Bandung pada periode bulan Januari 2015 sampai bulan

Maret 2016.

3.2 Subjek Penelitian

3.2.1 Pemilihan Subjek Penelitian

Subjek penelitian yang dipilih adalah semua pasien meningitis TB dewasa di

RSUP Dr. Hasan Sakidin Bandung yang telah memenuhi kriteria inklusi yang

telah ditentukan dan bersedia mengisi lembar informed concern sampai dengan

besar sampel minimal terpenuhi. Subjek penelitian dipilih secara consecutive

admission yaitu sesuai urutan datang penderita.

3.2.2 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi subjek penelitian ini adalah :

1. Penderita yang datang ke poliklinik saraf atau instalasi gawat darurat

(IGD) RSUP Dr. Hasan Sakidin Bandung yang pada pemeriksaan klinis

dan laboratorium termasuk ke dalam kriteria possible, probable atau

definite meningitis TB.

40
41

2. Penderita tidak memiliki kontraindikasi terhadap pemeriksaan MRI kepala

dengan kontras gadolinium-DTPA.

3. Pasien bersedia menjadi subjek penelitian.

3.2.3 Kriteria Ekslusi

Kriteria eksklusi subjek penelitian ini adalah :

1. Pasien tidak kooperatif sehingga pada gambaran MRI kepala terdapat

gambaran motion artefact.

2. Pasien menderita penyakit atau memiliki riwayat penyakit keganasan baik

di otak ataupun organ lainnya.

3. Pasien menderita penyakit perdarahan subarakhnoid.

4. Pasien pernah mendapatkan injeksi kontras gadolinium-DTPA atau

iodium dalam waktu 7 hari sebelumnya.

3.3 Metoda Penarikan Sampel

3.3.1 Pengambilan sampel

Pengambilan sampel dilakukan pada pasien meningitis TB dewasa yang

dilakukan pemeriksaan MRI kepala dengan kontras gadolinium-DTPA di RSUP

Dr. Hasan Sakidin Bandung yang masuk ke dalam kriteria inklusi dengan metode

non probability sampling. Cara pengambilan sampel adalah melalui consecutive

admissions (berdasarkan urutan datang penderita) sampai besar sampel minimal

terpenuhi.
42

3.3.2 Ukuran Sampel

Besar sampel minimal untuk penelitian analitik data berpasangan ditentukan

berdasarkan rumus berikut :45

 Z   Z  S 
2

n   
  x1  x 2  

Keterangan :

n = Jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini

Zα = Kesalahan tipe I

Zβ = Kesalahan tipe II

S = Simpangan baku dari selisih nilai rerata antar kelompok

x1 – x2 = Perbedaan rerata minimal yang dianggap bermakna

Perhitungan :

Penulis menetapkan kesalahan tipe I sebesar 5% (Zα = 1,960) dan kesalahan tipe II

sebesar 10% (Zβ = 1,282) dengan hipotesis dua arah. Perbedaan rerata minimal

yang dianggap bermakna adalah 150 (x1 – x2 = 150). Simpangan baku didapatkan

dari penelitian pendahuluan yaitu sebesar 210 (S = 210). Maka dapat dilakukan

perhitungan jumlah sampel minimal sebagai berikut :

 Z   Z  S 
2

n   
 x1  x 2  

 1,960  1,282 210 


2

n   
 150 

n  20,60  21
43

Berdasarkan hasil perhitungan di atas, besar sampel minimal untuk penelitian

ini adalah sebesar 21 orang.

3.4 Metode Penelitian

3.4.1 Bentuk dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan studi deskriptif analitik komparatif dengan rancangan

cross sectional yaitu mengukur variabel-variabel yang akan dibandingkan pada

waktu bersamaan kemudian dilakukan analisa statistik komparatif untuk

mengetahui perbedaan peningkatan intensitas sinyal meningen sekuen T2-FLAIR

dengan T1WI setelah pemberian kontras gadolinium-DTPA pada pemeriksaan

MRI kepala pasien meningitis tuberkulosis di RSUP Dr.Hasan Sadikin Bandung.

3.4.2 Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah variabel independen dan

dependen.

1. Variabel independen atau variabel bebas yaitu variabel yang

keberadaannya mempengaruhi variabel lain. Dalam penelitian ini variabel

independen adalah sekuen MRI kepala.

2. Variabel dependen atau variabel terikat yaitu variabel yang

keberadaannya dipengaruhi oleh variabel lain. Dalam penelitian ini

variabel dependen adalah peningkatan intensitas sinyal meningen.


44

3.4.3 Definisi Operasional Variabel

3.4.3.1 Sekuen MRI kepala

- Sekuen MRI kepala adalah kombinasi dari beberapa RF pulse yang diberikan

dengan urutan tertentu, penerapan berbagai macam gradien dan pengaturan

interval / waktu dari fungsi-fungsi di atas. Sekuen MRI secara garis besar

dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu sekuen spin echo dan gradient echo.

Pemilihan sekuen MRI sangat menentukan intensitas sinyal dan kontras

gambar yang dihasilkan.39

- T1WI post contrast adalah salah satu jenis sekuen spin echo yang

menghasilkan gambar dengan kontras terutama berasal dari perbedaan waktu

relaksasi T1 jaringan / organ yang diperiksa. Post contrast maksudnya adalah

setelah pemberian kontras gadolinium-DTPA intravena.39

- T2-FLAIR post contrast adalah salah satu jenis sekuen spin echo yang

memilki ciri khas berupa adanya RF pulse 180° pada awal sekuen. Nilai TI

diatur pada nilai tertentu agar dapat menekan intensitas sinyal yang berasal

dari CSS. Post contrast maksudnya adalah setelah pemberian kontras

gadolinium-DTPA intravena.39

- Hasil ukur : 1. T1WI post contrast.

2. T2-FLAIR post contrast.

- Skala ukur : nominal.


45

3.4.3.2 Peningkatan Intensitas Sinyal Meningen

- Intensitas sinyal meningen adalah nilai derajat kecerahan (brightness) dari

suatu region of interrest (ROI) yang dibuat di daerah meningen. Peningkatan

intensitas sinyal didapatkan dengan cara menghitung selisih nilai intensitas

sinyal antara sekuen sebelum dan setelah pemberian kontras gadolinium-

DTPA.25,43

- Peningkatan intensitas sinyal meningen T1WI post contrast didapatkan

dengan menghitung selisih nilai intensitas sinyal antara sekuen T1WI dengan

T1WI post contrast.

- Peningkatan intensitas sinyal meningen T2-FLAIR post contrast didapatkan

dengan menghitung selisih nilai intensitas sinyal antara sekuen T2-FLAIR

dengan T2-FLAIR post contrast.

- Skala ukur : ordinal.

3.5 Pengolahan dan Analisis Data

3.5.1 Pengolahan Data

Data yang terkumpul diolah secara komputerisasi untuk mengubah data

menjadi informasi. Adapun langkah-langkah dalam pengolahan data dimulai dari:

- Editing, yaitu memeriksa kebenaran data yang diperlukan.

- Coding, yaitu mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka

atau bilangan.

- Data entry, yaitu memasukkan data hasil pemeriksaan dan pengukuran subjek

penelitian ke dalam program komputer.


46

- Cleaning, yaitu apabila semua data dari subjek penelitian telah selesai

dimasukkan, maka perlu dicek kembali untuk melihat kemungkinan-

kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan dan

sebagainya, kemudian dilakukan koreksi.

3.5.2 Analisis Data

Analisis univariabel bertujuan untuk menggambarkan karakteristik sampel

subjek penelitian yang meliputi usia, jenis kelamin serta intensitas sinyal

meningen sekuen T1WI, T2-FLAIR, T1WI post contrast dan T2-FLAIR post

contrast yang disajikan dalam jumlah dan presentase untuk data kategorik dan

rerata, standar deviasi, median, minimum dan maksimum untuk data numerik.

Nilai intensitas sinyal (derajat kecerahan/brightness) didapatkan dengan

memasang region of interrest (ROI) di lokasi yang secara kualitatif terlihat ada

penyangatan meningeal (umumnya di daerah sisterna basalis dan ambien). Lokasi

dan ukuran ROI dibuat sama untuk semua sekuen agar dapat dibandingkan.

Ukuran ROI dibuat sedemikian rupa sehingga hanya mencakup struktur ruang

subarakhnoid. Perangkat lunak yang digunakan untuk membuat ROI dalam

penelitian ini adalah RadiAnt DICOM Viewer for Windows versi 2.2.9 64 bit.

Sebelum analisis bivariabel dilakukan, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas

data kenaikan intensitas sinyal meningen sekuen T2-FLAIR post contrast dan

T1WI post contrast untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal atau tidak.

Jika nilai p lebih besar dari alfa 5% (0,05) maka data berdistribusi normal. Namun

jika nilai p lebih kecil dari alfa 5% (0,05) maka data tidak berdistribusi normal.
47

Analisis bivariabel dilakukan untuk menguji perbedaan peningkatan intensitas

sinyal meningen sekuen T2-FLAIR post contrast dengan sekuen T1WI post

contrast pada pasien meningitis tuberkulosis di RSUP Dr. Hasan Sadikin

Bandung. Apabila data berdistribusi normal, pengujian selanjutnya dilakukan

dengan menggunakan metode parametrik yaitu uji T dua kelompok berpasangan

sedangkan jika data tidak berdistribusi normal, maka pengujian dilakukan dengan

menggunakan metode non-parametrik yaitu uji Wilcoxon. Analisis data dilakukan

dengan menggunakan program Statistical Product and Service Solution (SPSS)

for windows versi 22.0 pada derajat kepercayaan 95% dengan nilai p ≤ 0,05.

3.6 Tata Cara Penelitian

Subjek penelitian mulai bulan Januari 2015 sampai dengan bulan Maret 2016,

dilakukan:

1. Subjek dengan suspek meningitis TB dilakukan pemeriksaan klinis dan

laboratorium.

2. Dengan skor Marais subjek dikelompokkan ke dalam possible, probable,

definite atau bukan meningitis TB.

3. Subjek penelitian yang masuk kriteria possible, probable atau definite

meningitis TB diberikan informed consent mengenai prosedur penelitian

serta efek samping yang akan diterima.

4. Subjek penelitian yang bersedia mengikuti penelitian dan menandatangani

informed consent dinilai berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.

5. Dilakukan pemeriksaan MRI kepala dengan kontras gadolinium-DTPA.


48

6. Subjek penelitian selanjutnya dikumpulkan dan diperiksa (sesuai langkah

no.5) secara consecutive admission sampai besar sampel minimal

terpenuhi.

7. Data dicatat dan dikumpulkan untuk analisis.

Teknik pemeriksaan MRI kepala dengan kontras gadolinium-DTPA

Pemeriksaan MRI kepala dilakukan dengan mesin MRI Magnetom Essenza 1,5

Tesla dari Siemens. Coil yang digunakan adalah coil khusus untuk kepala.

Parameter untuk sekuen T1WI dan T1WI post contrast adalah TR 450 milidetik,

TE 10 milidetik, slice thickness 5 mm, interslice gap 1,5 mm, FOV 230 mm.

Waktu total pengambilan sekuen T1WI dan T1WI post contrast adalah 2 menit

dan 59 detik. Parameter untuk sekuen T2-FLAIR dan T2-FLAIR post contrast

adalah TR 9000 milidetik, TE 87 milidetik, TI 2500 milidetik, slice thickness 5

mm, interslice gap 1,5 mm, FOV 230 mm. Waktu total pengambilan sekuen T2-

FLAIR dan T2-FLAIR post contrast adalah 3 menit dan 38 detik. Dosis

pemberian kontras gadolinium-DTPA intravena adalah 0,2 ml/KgBB. Sekuen T2-

FLAIR post contrast dilakukan langsung setelah sekuen T1WI post contrast

selesai.
49

3.7 Alur Penelitian

Penderita dewasa dengan klinis dan laboratorium

menyokong ke Meningitis TB possible, probable atau definite

Informed consent

Kriteria inklusi

Kriteria eksklusi

Pemeriksaan dan analisis MRI kepala dengan kontras

Analisis data

3.8 Implikasi Etis

Berdasarkan tata cara pelaksanaan penelitian, penelitian ini memerlukan

informed consent dan persetujuan tertulis dari pasien setelah diberikan penjelasan

dari peneliti untuk diikutsertakan sebagai subjek penelitian. Ditinjau dari segi etis,

dalam penelitian ini dapat timbul beberapa masalah etika penelitian yang

bermakna yaitu rasa tidak nyaman saat dilakukan pemeriksaan MRI kepala, skin

test dan pemberian kontras gadolinium-DTPA intravena.

Subjek penelitian dapat merasa tidak nyaman karena harus mengganti pakaian

atas dan bawah dengan pakaian khusus tanpa kancing, melepaskan perhiasan dan

benda-benda terbuat dari logam yang ada pada seluruh tubuh, saat pasien dipasang

coil di kepala dan saat pasien dimasukkan ke dalam mesin MRI. Pasien mungkin

akan merasa tidak nyaman saat mendengarkan bunyi-bunyian yang berasal dari
50

mesin MRI. Hal lain yang bisa mengganggu kenyamanan pasien adalah bahwa

pasien harus berbaring di dalam mesin MRI tanpa bergerak dalam waktu kurang

lebih 30-45 menit.

Kendala di atas dapat diatasi dengan cara melakukan pemberian informasi

yang jelas sebelum dilakukan pemeriksaan MRI kepala, skin test dan pemberian

kontras gadolinium-DTPA intravena. Seluruh subjek penelitian diberikan

kebebasan untuk keluar dari penelitian apabila yang bersangkutan menghendaki.

3.9 Waktu dan Tempat Penelitian

3.9.1 Waktu Penelitian

Pengumpulan data dilakukan mulai dari bulan Januari 2015 sampai Maret

2016. Rencana analisis data dilakukan bulan Juni 2016.

3.9.2 Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di lingkungan Departemen Radiologi RSUP Dr. Hasan

Sadikin Bandung.
51

DAFTAR PUSTAKA

1. Subuh M, Priohutuomo S, Widaningrum C. Pedoman Nasional


Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia;2014.
2. Aditama TY, Subuh M. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia
2010-2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;2011.
3. Rock RB, Olin M, Baker CA, Molitor TW, Peterson PK. Central Nervous
System Tuberculosis: Pathogenesis and Clinical Aspects. Clinical
Microbiology Reviews. 2008;21(2):243–61.
4. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP,
Harmoniati ED. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia;2009.
5. Bathla G, Khandelwal G, Maller VG, Gupta A. Manifestations of cerebral
tuberculosis. Singapore Med J. 2011 Feb;52(2):124-30; quiz 31.
6. Ramachandran TS. Tuberculous Meningitis. 2014 [diunduh 21 Maret
2016]. Tersedia dari: http://emedicine.medscape.com/article/1166190-
overview#a5.
7. Supantini D. Upaya Untuk Meningkatkan Perolehan Hasil Kultur Positif
Dari Cairan Serebro Spinal Penderita Meningitis Tuberkulosis. Jurnal
Kedokteran Maranatha 2004;3(2):82-95.
8. Osborn AG. Osborn's Brain Imaging. Utah: Amirsys;2012. hlm. 889-896.
9. Sher K, Firdaus, Abbasi A, Bullo N, Kumar S. Stages of Tuberculous
Meningitis: a Clinicoradiologic Analysis. Journal of the College of
Physicians and Surgeons Pakistan. 2013;23(6):405-8.
10. Thwaites G, Fisher M, Hemingway C, Scott G, Solomon T, Innes J.
British Infection Society Guidelines For The Diagnosis And Treatment Of
Tuberculosis Of The Central Nervous System In Adults And Children.
Journal of Infection. 2009;59:167-87.
11. Kumara R, Singha SN, Kohlib N. A Diagnostic Rule For Tuberculous
Meningitis. Arch Dis Child. 1999;81:221-4.
12. Marx GE, Chan ED. Tuberculous Meningitis: Diagnosis And Treatment
Overview. Tuberc Res Treat. 2011;2011:798764.
13. Marais S, Thwaites G, Schoeman JF, Torok ME, Misra UK, Prasad K, et
al. Tuberculous Meningitis: A Uniform Case Definition For Use In
Clinical Research. Lancet Infect Dis. 2010 Nov;10(11):803-12.
14. Solomons RS, Wessels M, Visser DH, Donald PR, Marais BJ, Schoeman
JF, et al. Uniform Research Case Definition Criteria Differentiate
Tuberculous And Bacterial Meningitis In Children. Clin Infect Dis. 2014
Dec 1;59(11):1574-8.
15. Przybojewski S, Andronikou S, Wilmshurst J. Objective CT criteria to
determine the presence of abnormal basal enhancement in children with
suspected tuberculous meningitis. Pediatr Radiol. 2006 Jul;36(7):687-96.

51
52

16. Chin JH. Tuberculous Meningitis: Diagnostic And Therapeutic


Challenges. Neurol Clin Pract. 2014 Jun;4(3):199-205.
17. Andronikou S, Smith B, Hatherhill M, Douis H, Wilmshurst J. Definitive
Neuroradiological Diagnostic Features Of Tuberculous Meningitis In
Children. Pediatr Radiol. 2004 Nov;34(11):876-85.
18. Sanei Taheri M, Karimi MA, Haghighatkhah H, Pourghorban R, Samadian
M, Delavar Kasmaei H. Central nervous system tuberculosis: an imaging-
focused review of a reemerging disease. Radiol Res Pract.
2015;2015:202806.
19. Pienaar M, Andronikou S, van Toorn R. MRI to demonstrate diagnostic
features and complications of TBM not seen with CT. Childs Nerv Syst.
2009 Aug;25(8):941-7.
20. Morgado C, Ruivo N. Imaging Meningo-Encephalic Tuberculosis. Eur J
Radiol. 2005 Aug;55(2):188-92.
21. Burrill J, Williams CJ, Bain G, Conder G, Hine AL, Misra RR.
Tuberculosis: A Radiologic Review. Radiographics. 2007 Sep-
Oct;27(5):1255-73.
22. Splendiani A, Puglielli E, De Amicis R, Necozione S, Masciocchi C,
Gallucci M. Contrast-Enhanced Flair In The Early Diagnosis Of Infectious
Meningitis. Neuroradiology. 2005 Aug;47(8):591-8.
23. Parmar H, Sitoh YY, Anand P, Chua V, Hui F. Contrast-Enhanced Flair
Imaging In The Evaluation Of Infectious Leptomeningeal Diseases. Eur J
Radiol. 2006 Apr;58(1):89-95.
24. Vaswani AK, Nizamani WM, Ali M, Aneel G, Shahani BK, Hussain S.
Diagnostic Accuracy of Contrast-Enhanced FLAIR Magnetic Resonance
Imaging in Diagnosis of Meningitis Correlated with CSF Analysis. ISRN
Radiol. 2014;2014:578986.
25. Ahmad A, Azad S, Azad R. Differentiation Of Leptomeningeal And
Vascular Enhancement On Post-Contrast Flair Mri Sequence: Role In
Early Detection Of Infectious Meningitis. J Clin Diagn Res. 2015
Jan;9(1):TC08-12.
26. Mathews VP, Caldemeyer KS, Lowe MJ, Greenspan SL, Weber DM,
Ulmer JL. Brain: gadolinium-enhanced fast fluid-attenuated inversion-
recovery MR imaging. Radiology. 1999 Apr;211(1):257-63.
27. Galassi W, Phuttharak W, Hesselink JR, Healy JF, Dietrich RB, Imbesi
SG. Intracranial Meningeal Disease: Comparison Of Contrast-Enhanced
Mr Imaging With Fluid-Attenuated Inversion Recovery And Fat-
Suppressed T1-Weighted Sequences. AJNR Am J Neuroradiol. 2005
Mar;26(3):553-9.
28. Mamourian AC, Hoopes PJ, Lewis LD. Visualization of intravenously
administered contrast material in the CSF on fluid-attenuated inversion-
recovery MR images: an in vitro and animal-model investigation. AJNR
Am J Neuroradiol. 2000 Jan;21(1):105-11.
29. Rabou AA, Jha P. Tuberculous Meningitis. 2016 [diunduh 31 Maret
20016]. Tersedia dari: http://radiopaedia.org/articles/tuberculous-
meningitis.
53

30. Osborn AG, Salzman KL, Jhaveri MD. Diagnostic Imaging : Brain. Edisi
ke-3. Philadelphia: Elsevier;2016. hlm. 678-681.
31. Todar K. Mycobacterium Tuberculosis And Tuberculosis. 2012 [diunduh
1 April 2016]. Tersedia dari:
http://www.textbookofbacteriology.net/tuberculosis.html.
32. Be NA, Kim KS, Bishai WR, Jain SK. Pathogenesis of central nervous
system tuberculosis. Curr Mol Med. 2009 Mar;9(2):94-9.
33. Gupta RK, Kumar S. Magnetic Resonance Imaging of Neurological
Diseases in Tropics. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers;2014.
34. Srikanth SG, Taly AB, Nagarajan K, Jayakumar PN, Patil S.
Clinicoradiological Features Of Tuberculous Meningitis In Patients Over
50 Years Of Age. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2007 May;78(5):536-8.
35. Hsieh FY, Chia LG, Shen WC. Locations of cerebral infarctions in
tuberculous meningitis. Neuroradiology. 1992;34(3):197-9.
36. Hacking C, Jones J. MRI (introduction). 2016 [diunduh 19 April 2016].
Tersedia dari: http://radiopaedia.org/articles/mri-introduction.
37. Westbrook C, Roth CK, Talbot J. MRI in Practice. Edisi ke-4. West
Sussex: Blackwell Publishing;2011.
38. Woodruff WW. Fundamentals of Neuroimaging. Philadelphia: W.B.
Saunders Company;1993.
39. Westbrook C. MRI at a Glance. Edisi ke-3. West Sussex: John Wiley &
Sons, Ltd.;2016.
40. Schild HH. MRI Made Easy. Berlin: Schering AG;1990.
41. Smirniotopoulos JG, Murphy FM, Rushing EJ, Rees JH, Schroeder JW.
Patterns Of Contrast Enhancement In The Brain And Meninges.
Radiographics. 2007 Mar-Apr;27(2):525-51.
42. Stuckey SL, Goh TD, Heffernan T, Rowan D. Hyperintensity In The
Subarachnoid Space On Flair Mri. AJR Am J Roentgenol. 2007
Oct;189(4):913-21.
43. Nazarpoor M, Poureisa M, Daghighi MH. Comparison of maximum signal
intensity of contrast agent on t1-weighted images using spin echo, fast spin
echo and inversion recovery sequences. Iran J Radiol. 2012 Dec;10(1):27-
32.
44. Bozzao A, Floris R, Fasoli F, Fantozzi LM, Colonnese C, Simonetti G.
Cerebrospinal fluid changes after intravenous injection of gadolinium
chelate: assessment by FLAIR MR imaging. Eur Radiol. 2003
Mar;13(3):592-7.
45. Dahlan MS. Besar Sampel Dan Cara Pengambilan Sampel Dalam
Penelitian Kedokteran Dan Kesehatan. Edisi ke-3. Jakarta: Salemba
Medika;2010. hlm. 72-75.
54

LAMPIRAN DUMMY TABLE

Tabel 4. 1 Karakteristik subjek penelitian berdasarkan usia dan jenis kelamin


pada pasien meningitis tuberkulosis di RSUP Dr. Hasan Sakidin
Bandung.
Variabel n %

Usia

Rerata (SD): …. (…..) tahun

Median (Min-Maks): …. (…-….) tahun

15-24 tahun … …
25-34 tahun … …
35-44 tahun … …
45-54 tahun … …
55-64 tahun … …
>65 tahun … …

Jenis Kelamin

Laki-laki … …
Perempuan … …
Total … …

Tabel 4. 2 Nilai Intensitas Sinyal (IS) Sekuen T1WI dan T1WI post contrast.
Pasien Nilai IS T1WI Nilai IS T1WI Kenaikan
post contrast IS
(a.u) (a.u) (a.u)
Pasien … … … …

Median … … …

Minimum-maksimum … … …

Rerata …
55

Tabel 4. 3 Nilai Intensitas Sinyal (IS) Sekuen T2-FLAIR dan T2-FLAIR post
contrast
Pasien Nilai IS Nilai IS Kenaikan
T2-FLAIR T2-FLAIR IS
post contrast (a.u)
(a.u) (a.u)
Pasien … … … …

Median … … …

Minimum-maksimum … … …

Rerata …

Tabel 4. 3 Uji normalitas kenaikan intensitas sinyal sekuen T2-FLAIR post contrast
dan T1WI post contrast
Variabel Uji Normalitas

Nilai p*) Distribusi data

Kenaikan intensitas sinyal

T2-FLAIR post contrast … (normal/tidak)


T1WI post contrast … (normal/tidak)

*) Shapiro Wilks Test

Tabel 4. 5 Perbandingan Kenaikan Nilai Intensitas Sinyal (IS) Sekuen T2-FLAIR


post contrast dengan T1WI post contrast
Sekuen Nilai p*)
T2-FLAIR T1WI
post contrast post contrast
Kenaikan Intensitas Sinyal
Rerata (SD) … … …

* Uji T (bila distribusi data normal) atau Uji Wilcoxon (bila distribusi data tidak normal)

Vous aimerez peut-être aussi