Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Awal mula
Achmad Soebardjo lahir dari pasangan Teuku
Muhammad Yusuf (ayah) - Wardinah (Ibu). Ayahnya
masih keturunan bangsawan Aceh dari Pidie. Kakek
Achmad Soebardjo dari pihak ayah adalah Ulee Balang
dan ulama di wilayah Lueng Putu, sedangkan Teuku Yusuf adalah pegawai pemerintahan
dengan jabatan Mantri Polisi di wilayah Teluk Jambe, Kerawang. Sedangkan Ibu Achmad
Soebardjo adalah keturunan Jawa-Bugis, dan merupakan anak dari Camat di Telukagung,
Cirebon. Teuku Abdul Manaf adalah nama yang di berikan ayahnya pada saat awal,
sedangkan ibunya memberinya nama Achmad Soebardjo. Nama Djojoadisoerjo
ditambahkannya sendiri setelah dewasa, saat ia ditahan di penjara Ponorogo karena
"Peristiwa 3 Juli 1946". Ia bersekolah di Hogere Burger School, Jakarta (saat ini setara
dengan Sekolah Menengah Atas) pada tahun 1917. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya
di Universitas Leiden, Belanda dan memperoleh ijazah Meester in de Rechten (saat ini setara
dengan Sarjana Hukum) di bidang undang-undang pada tahun 1933.
Riwayat perjuangan
Semasa masih menjadi mahasiswa, Soebardjo aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia melalui beberapa organisasi seperti Jong Java dan Persatuan Mahasiswa Indonesia
di Belanda. Pada bulan Februari 1927, ia pun menjadi wakil Indonesia bersama dengan
Mohammad Hatta dan para ahli gerakan-gerakan Indonesia pada persidangan antarbangsa
"Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Penjajah" yang pertama di Brussels dan
kemudiannya di Jerman. Pada persidangan pertama itu juga ada Jawaharlal Nehru dan
pemimpin-pemimpin nasionalis yang terkenal dari Asia dan Afrika. Sewaktu kembalinya ke
Indonesia, ia aktif menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), dan kemudian Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Peristiwa Rengasdengklok
Peristiwa Rengasdengklok adala peristiwa yang terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945 dimana
para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana, Shodanco Singgih, dan
pemuda lain, membawa Soekarno dan Moh. Hatta ke Rengasdengklok. Tujuannya adalah
agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang.
Naskah proklamasi
Konsep naskah proklamasi disusun oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Soebardjo di
rumah Laksamana Muda Maeda. Setelah selesai dan beragumentasi dengan para pemuda,
dinihari 17 Agustus 1945, Bung Karno pun segera memerintahkan Sayuti Melik untuk
mengetik naskah proklamasi.
Wafat
Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo meninggal dunia pada 15 Desember 1978 dalam usia 82
tahun di Rumah Sakit Pertamina, Kebayoran Baru, akibat flu yang menimbulkan komplikasi.
Ia dimakamkan di rumah peristirahatnya di Cipayung, Bogor. Pemerintah mengangkat
almarhum sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2009 melalui Keppres No. 58/TK/2009.
Abdul Wahid Hasyim
Sepulang dari tanah suci, putra kelima dari K.H. Hasyim as`ari ini aktif diorganisasi yang
didirikan oleh Ayahnya. Pada tahun 1938 ia menjadi pengurus NU ranting Cukir dan terus
menanjak, pada tahun 1940 menjadi pengurus tingkat pusat PBNU dengan memimpin
Departemen Ma`arif yang membidangi pendidikan. Beliau, seorang tokoh agama yang
berpikiran luas jauh kedepan melintasi batas formal keagamaan. Kepemimpinannya terus
terasah, dan terbukti dipercayanya beliau untuk menjadi ketua Majelis Syuro Muslimin
Indonesia (Masyumi) pada 24 Oktober 1943. Pada bidang pendidikan, belai mendirikan
sekolah Tinggi Islam di jakarta pada tahun 1944 yang pengelolaannya diserahkan kepada
KH. A Kahar Muzakkir. Dalam biografi Abdul Wahid Hasyim tercatat, bahwa menjelang
kemerdekaan pada tahun 1945, beliau menjadi anggota BPUPKI dan PPKI.
Ayah dari mendiang Presiden Republik Indonesia ke 4, K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus
Dur ini merupakan seorang ulama yang dikenal moderat, substantive dan inklusif. Rumusan
teks pancasila sila pertama `` Ketuhanan Yang Maha Esa`` merupakan bagian dari buah
pemikirannya untuk menggantikan kalimat ``Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi
Pemeluknya. `Membaca Biografi Abdul Wahid Hasyim, kita akan menemukan betapa pada
usia yang masih muda, beliau memiliki wawasan yang sangat luas mengenai pemikiran
agama, Negara, pendidikan, politik, kemasyarakatan dan tentunya pula tentang pesantren
yang menjadi basis dari NU.
Pada Biografi Abdul Wahid Hasyim disebutkan pula, bahwa beliau merupakan anggota
termuda dari 62 orang anggota BPUPKI. Beliau juga tokoh termuda dari Sembilan tokoh
nasional yang menandatangani piagam Djakarta, sebuah kesepakatan yang membidani
lahirnya proklamasi dan konstitusi Negara. Setelah kemerdekaan, pada September 1945,
beliau ditunjuk menjadi menteri Negara. Berlanjut pada Kabinet Syahrir pada tahun 1946
beliau juga menjadi Menteri. Pada tahun 1950 dalam Kabinet Hatta, Natsir dan Sukiman
Beliau ditunjuk menjadi Menteri Agama. Perhatiannya pada pendidikan sangatlah besar dan
pada tahun 950 Beliau mengeluarkan peraturan berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam
(PTAIN) yang menjadi cikal bakal IAIN atau UIN.
Pada tahun 1953, tepatnya pada 18 April, Beliau melakukan perjalanan menuju Sumedang
untuk menghadiri rapat NU dengan ditemani puteranya Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Sesampainya di Cimindi, mobil yang ditumpangi selip dan tidak dapat dikendalikan oleh
sopir hingga menabrak truk yang mengakibatkan K.H. Wahid Hasyim terlempar keluar.
Kecelakaan tersebut membuat beliau koma, dan akhirnya wafat pada 19 april 1953 dalam
usia yang masih muda 39 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Pesantren Tebu Ireng Jombang.
Dalam ulasan Biografi Abdul Wahid Hasyim dijelaskan, beliau mendapat anugerah sebagai
Pahlawan Nasional sesuai darma bakti terbaiknya pada Negara Republik Indonesia.
Mohammad Yamin
Agama : Islam
Zodiac : Virgo
BIOGRAFI
Muhammad Yamin lahir pada tanggal 24 Agustus 1903 di Sawahlunto, Sumatera Barat.
Yamin merupakan pahlawan nasional, budayawan, dan aktivis hukum terkenal di Indonesia.
M. yamin termasuk salah satu pakar hukum dan juga merupakan penyair terkemuka angkatan
pujangga baru. Ia banyak menghasilkan karya tulis pada dekade 1920 yang sebagian dari
karyanya menggunakan bahasa melayu. Karya-karya tulis M. Yamin diterbitkan dalam jurnal
Jong Sumatra. Ia juga merupakan salah satu pelopor puisi modern. M. Yamin banyak menulis
buku sejarah dan sastra yang cukup di kenal yaitu Gajah Mada (1945), Sejarah Peperangan
Diponegoro, Tan Malaka(1945) Tanah Air (1922), Indonesia Tumpah Darah (1928), Ken
Arok dan Ken Dedes (1934), Revolusi Amerika, (1951)
Karir M. Yamin dalam dunia politik dimulai ketika ia diangkat sebagai ketua Jong Sumatera
Bond pada tahun 1926 sampai 1928. Setelah itu pada tahun 1931, ia bergabung ke Partai
Indonesia. Tetapi partai tersebut dibubarkan. Karir politiknya berlanjut ketika M. Yamin
mendirikan partai Gerakan Rakyat Indonesia bersama Adam Malik, Wilipo, dan Amir
Syarifudin.
Sebagai sastrawan, gaya puisi suami dari Siti Sundari ini dikenal dengan gaya berpantun yang
banyak menggunakan akhiran kata berima. Tak hanya itu, ia pun disebut-sebut sebagai orang
pertama yang menggunakan bentuk soneta pada tahun 1921 sekaligus pelopor Angkatan
Pujangga Baru yang berdiri pada tahun 1933. Dibesarkan dalam dunia pendidikan yang
berlatar belakang Belanda, bukan berarti Yamin, sapaannya, memihak Belanda yang kala itu
menduduki Indonesia. Semangat nasionalismenya tetap berkobar dan dibuktikan dalam
bentuk karya sastra dan menghindari kalimat yang kebarat-baratan.
M. Yamin juga merupakan anggota BPUPKI dan anggota panitia Sembilan di mana akhirnya
berhasil merumuskan Piagam Jakarta. Piagam Jakarta ini merupakan cikal bakal dan
merupakan dasar dari terbentuknya UUD 1945 dan Pancasila. Tercatat M. yamin juga pernah
diangkat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Setelah Indonesia merdeka, Yamin banyak duduk di jabatan-jabatan penting negara, di
antaranya adalah menjadi anggota DPR sejak tahun 1950, Menteri Kehakiman (1951-1952),
Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (1953–1955), Menteri Urusan Sosial dan
Budaya (1959-1960), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), dan Ketua Dewan Pengawas
IKBN Antara (1961–1962).
M. Yamin meninggal pada tanggal 17 Oktober 1962. Ia wafat di Jakarta dan dimakamkan di
desa Talawi, Kabupaten Sawahlunto, Sumatera Barat. Ia meninggal ketika ia menjabat
sebagai Menteri Penerangan. M. Yamin dianugerahi gelar pahlawanan nasional pada tahun
1973 sesuai dengan SK Presiden RI No. 088/TK/1973.
PENDIDIKAN
KARIR
PENGHARGAAN
Gelar pahlawanan nasional pada tahun 1973 sesuai dengan SK Presiden RI No. 088/TK/1973
Bintang Mahaputra RI
Tanda penghargaan dari Corps Polisi Militer sebagai pencipta lambang Gajah Mada dan
Panca Darma Corps
Tanda penghargaan Panglima Kostrad atas jasanya menciptakan Petaka Komando Strategi
Angkatan Darat