Vous êtes sur la page 1sur 12

Analisis Valuasi Saham PT Bank Negara Indonesia Tbk dan

PT Bank Rakyat Indonesia Tbk


Oleh:

Rizki Fatakhi (1606953423)

Desinta Putri Eliyana (1606952830)

Pendahuluan

Industri perbankan di Indonesia cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya.


Berdasarkan data Pricewaterhouse Cooper (PwC) dalam survey “Indonesian Banking Survey
2017”, industri perbankan memiliki tingkat perkembangan (growth) 2,9%. Meskipun growth
rate tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan pasar global (dengan growth rate
global sebesar 3,9%), hasil survey menunjukkan 63% banker tetap optimis bahwa growth rate
industri perbankan di Indonesia dapat meningkat lebih tinggi dari 2,9% karena industri
perbankan di Indonesia memiliki margin yang tinggi dan cukup kompetitif dibandingkan
dengan negara-negara di Asia Tenggara, terutama bank yang dimiliki oleh pemerintah, seperti
PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI).

Dengan melihat prospek yang cenderung positif dari industri perbankan, maka ini
merupakan salah satu industri yang menjadi pusat perhatian para investor yang akan
mengalami permintaan yang cukup besar. Merujuk pada buku Essential of Investments
(2013), valuasi saham dapat dilakukan dengan berbagai cara, beberapa di antaranya adalah
dengan menggunakan metode Dividend Discount Model (DDM) dan metode Earning Multiple
(dengan menggunakan analisis Price-Earning Ratio (PER) dan Price Earning Growth (PEG)).

Penulis akan menganalisis terhadap valuasi saham BBNI dan BBRI dengan kedua
metode tersebut, dengan menggunakan data dari laporan keuangan kedua perusahaan
tersebut dari tahun 2010-2016. Analisis dilakukan dengan cara membandingkan pengambilan
keputusan dari perhitungan proyeksi dan teori yang dijabarkan di buku Essential of
Investments (2013), dengan mempertimbangkan apakah saham BBRI dan BBNI mengalami
overvalue (ekspektasi nilai saham menurun di tahun berikutnya) atau undervalue (ekspektasi
nilai saham meningkat di tahun berikutnya), serta merekomendasi saham mana yang lebih
baik dari kedua saham tersebut (BBNI dan BBRI).

1
Analisis Saham dengan Metode DDM

Analisis ini dilakukan dengan empat tahap:

1. Membuat keputusan dengan cara membandingkan nilai intrinsik (P0 proyeksi)


berdasarkan data proyeksi (pada tahun berjalan) dengan harga saham aktual pada
tahun berikutnya (under/over value)
2. Membuat evaluasi proyeksi keputusan dari poin 1 dengan melihat perubahan harga
saham
3. Membuat evaluasi proyeksi keputusan dari poin 1 dengan cara membandingkan nilai
intrinsik (P0 aktual) berdasarkan data aktual pada tahun berikutnya dengan harga
saham aktual pada tahun berikutnya (under/over value).
4. Membuat analisis konsistensi dari evaluasi poin 2 dan poin 3.

Rumus DDM diperoleh dengan cara berikut:

𝐷0 (1 + 𝑔)
𝑃0 =
𝑘−𝑔

Di mana D0 adalah dividen per saham tahun berjalan yang diperoleh dari laporan
keuangan perusahaan yang bersangkutan, dan P0 adalah nilai intrinsik saham perusahaan
yang bersangkutan.

Tingkat kapitalisasi pasar (k) diperoleh dengan menggunakan CAPM:

𝑘 = 𝑟𝑓 + 𝛽(𝑟𝑚 − 𝑟𝑓)

Di mana rf adalah tingkat pengembalian yang diperoleh dari investasi dengan risk-free
(penulis menggunakan yield SPN setiap tahun yang bersangkutan yang memiliki jatuh tempo
selama setahun), rm adalah rata-rata tingkat pengembalian pasar (IHSG) selama setahun,
dan beta adalah slope antara rata-rata tingkat capital gain perusahaan selama setahun dan
risiko premi pasar.

Sedangkan growth (g) diperoleh dengan cara berikut:

𝑔 = 𝑅𝑂𝐸 𝑥 𝑏

Di mana ROE (Return on Equity) adalah rasio laba bersih kepentingan pengendali
perusahaan dan ekuitas perusahaan, serta b adalah rasio sisa dari laba yang diperoleh
setelah dikurangi oleh dividen.

2
1. Analisis Saham dengan Metode DDM – Proyeksi Nilai Intrinsik (P0)

BBNI

Berikut merupakan hasil perhitungan data BBNI dari serangkaian perhitungan


dengan melakukan proyeksi berdasarkan rumus-rumus tersebut:

Berdasarkan proyeksi tersebut, penulis berpendapat bahwa nilai saham BBNI


pada seluruh periode, kecuali periode 2012, mengalami overvalue. Hal ini disebabkan
nilai intrinsik saham tersebut lebih rendah dibandingkan dengan harga jual saham saat
itu. Sedangkan pada tahun 2012 terjadi kondisi yang sebaliknya, saham tersebut
mengalami undervalue, karena nilai intrinsik saham tersebut lebih tinggi dibandingkan
dengan harga jual saham saat itu. Berdasarkan proyeksi tersebut, penulis memberikan
saran untuk tidak membeli saham BBNI (atau menjual saham tersebut jika sudah
terlanjur membelinya) pada periode 2010, 2011, 2013, 2014, 2015 dan 2016; serta
membeli saham BBNI (atau tidak menjual saham tersebut jika sudah sudah memiliki
saham tersebut) pada periode 2012. Hasil proyeksi yang negatif dan/atau terlalu kecil
akan dijelaskan di poin 4.

BBRI

Berikut merupakan hasil perhitungan data BBRI dari serangkaian perhitungan


dengan melakukan proyeksi berdasarkan rumus-rumus tersebut:

Berdasarkan proyeksi tersebut, penulis berpendapat bahwa nilai saham BBRI


pada seluruh periode mengalami overvalue. Hal ini disebabkan nilai intrinsik saham
tersebut lebih rendah dibandingkan dengan harga jual saham saat itu. Berdasarkan
proyeksi tersebut, penulis memberikan saran untuk tidak membeli saham BBRI (atau
menjual saham tersebut jika sudah terlanjur membelinya) dari periode 2010-2016.
Hasil proyeksi yang negatif dan/atau terlalu kecil akan dijelaskan di poin 4.

3
2. Analisis Saham dengan Metode DDM – Evaluasi Proyeksi Pertama: Keputusan
Sebelumnya dengan P Aktual Tahun Berikutnya

BBNI

Berikut merupakan hasil evaluasi data BBNI dari poin 1 dengan perubahan
harga saham:

Berdasarkan evaluasi tersebut, proyeksi dari tahun 2013 dan 2014 dianggap
tidak tepat karena harga saham BBNI ternyata meningkat di periode berikutnya,
sedangkan keputusan sebelumnya adalah menjual saham tersebut, dan investor
mengalami opportunity loss apabila mengambil keputusan berdasarkan proyeksi
tersebut. Sedangkan pada tahun 2010, 2011, dan 2014, keputusan yang diambil
sudah tepat karena harga saham BBNI memang menurun di periode berikutnya,
sehingga investor tidak memperoleh rugi yang lebih besar lagi. Di tahun 2012
keputusan yang diambil berdasarkan proyeksi sudah tepat karena harga saham di
tahun berikutnya memang meningkat, sehingga investor mengalami capital gain dari
saham yang dibeli.

BBRI

Berikut merupakan hasil evaluasi data BBNI dari poin 1 dengan perubahan
harga saham:

Berdasarkan evaluasi tersebut, proyeksi dari tahun 2010, 2011, 2012, 2013,
dan 2015 dianggap tidak tepat karena harga saham BBRI cenderung mengalami
peningkatan di setiap periode, sedangkan keputusan sebelumnya adalah menjual
saham tersebut, dan investor mengalami opportunity loss apabila mengambil

4
keputusan berdasarkan proyeksi tersebut. Sedangkan pada tahun 2014, keputusan
yang diambil sudah tepat karena harga saham BBNI memang menurun di periode
berikutnya, sehingga investor tidak memperoleh rugi yang lebih besar lagi.

3. Analisis Saham dengan Metode DDM – Evaluasi Proyeksi Kedua: Keputusan


Sebelumnya dibandingkan dengan Keputusan dari P0’ dengan P Aktual Tahun
Berikutnya

BBNI

Berikut merupakan hasil evaluasi keputusan atas proyeksi saham BBNI dari
poin 1 dengan keputusan yang diambil dengan menggunakan nilai intrinsik aktual dan
harga di tahun berikutnya:

Berdasarkan evaluasi kedua tersebut (dengan menggunakan data-data aktual


di tahun berikutnya), keputusan tahun 2011 dan 2012 tidak tepat. Tahun 2012 nilai
intrinsik saham BBNI mengalami undervalue (nilai intrinsik lebih besar dibandingkan
dengan harga saham saat itu), dan tahun 2013 mengalami overvalue (nilai intrinsik
lebih kecil dibandingkan dengan harga saham saat itu). Apabila di tahun 2012 nilai
intrinsik berdasarkan data aktual mengalami undervalue, keputusan yang tepat di
tahun 2011 adalah buy, sedangkan apabila di tahun 2013 mengalami overvalue,
keputusan yang tepat di tahun 2012 adalah sell. Hasil proyeksi dan aktual yang negatif
dan/atau terlalu kecil akan dijelaskan di poin 4.

BBRI

Berikut merupakan hasil evaluasi keputusan atas proyeksi saham BBRI dari
poin 1 dengan keputusan yang diambil dengan menggunakan nilai intrinsik aktual dan
harga di tahun berikutnya:

5
Berdasarkan evaluasi kedua tersebut (dengan menggunakan data-data aktual
di tahun berikutnya), keputusan tahun 2010-2016 sudah tepat karena seluruh proyeksi
yang dilakukan pada tahun 2010-2016 menunjukkan bahwa saham BBRI mengalami
overvalue dan data aktual juga menunjukkan hasil yang sama (overvalue). Namun, hal
ini perlu dianalisis lebih lanjut, karena faktanya harga saham BBRI cenderung
mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hasil proyeksi dan aktual yang negatif
dan/atau terlalu kecil akan dijelaskan di poin 4.

4. Analisis Konsistensi Evaluasi Poin 2 dan Poin 3

Berikut merupakan ikhtisar dari evaluasi poin 2 dan poin 3 untuk saham BBNI:

Sedangkan berikut merupakan ikhtisar dari evaluasi poin 2 dan poin 3 untuk
saham BBRI:

Tabel tersebut menunjukkan banyak tidak konsistensinya evaluasi


pengambilan keputusan dari proyeksi yang dilakukan di poin 1. Pada umumnya, tidak
konsistensinya evaluasi dari pengambilan keputusan berdasarkan proyeksi
disebabkan oleh beberapa hal berikut ini:

a) Pada tahun 2010 dan 2014, kondisi IHSG sedang sangat kuat (dengan tingkat
bunga IHSG sebesar 48,48% dan 35,46% per tahun), sehingga nilai intrinsik
saham menjadi BBNI dan BBRI tahun 2010 dan 2014 menjadi negatif.
b) Pada tahun 2012, growth BBNI termasuk tinggi (11,33%) sangat dekat dengan
dengan tingkat kapitalisasi pasar (k) nya (12,81%) dan lebih besar
dibandingkan dengan rata-rata growth selama 7 tahun (10,62%). Hal ini

6
menyebabkan nilai intrinsik BBNI saat itu cukup tinggi, karena semakin dekat
gap antara k dan growth, semakin tinggi nilai intrinsik nya. Berbeda dengan
BBRI, Growth BBRI pada tahun 2012 hanya 4,65%, berbeda secara signifikan
dengan BBNI (11,33%), sehingga nilai intrinsik saham BBRI sangat kecil.
c) Pada tahun 2011, 2013, 2015, dan 2016, kondisi IHSG sedang sangat lemah
(dengan tingkat bunga IHSG sebesar 6,26%, 0,58%, -11,17% dan 17,37% per
tahun), sehingga nilai intrinsik saham BBNI dan BBRI menjadi negatif.

5. Kesimpulan Analisis Menggunakan Metode DDM

Menurut Zvi, Bodie (2013), metode DDM ini dapat digunakan apabila
perusahaan memiliki growth yang konstan, serta kondisi pasar dan growth perusahaan
pada kondisi normal. Selain itu, apabila tingkat kapitalisasi pasar (k) sama dengan
growth, nilai saham menjadi tidak terhingga. Berdasarkan analisis di poin 4, kondisi
yang dibutuhkan untuk menggunakan DDM menjadi tidak dapat terpenuhi karena
growth perusahaan dan kondisi pasar yang cenderung tidak stabil. Sebagai alternatif,
penulis menyarankan:

a) Apabila kondisi pasar sedang tidak normal, sebaiknya memperoleh k dari cara
selain menggunakan CAPM, seperti dengan menggunakan dividend payout
ratio. Cost of equity (k) merupakan biaya yang digunakan perusahaan untuk
mengelola modal sehingga dapat diartikan juga sebagai dividen, sehingga k
dapat diperoleh dari dividend payout ratio.
b) Apabila kondisi pasar sedang memburuk, sebaiknya investor keluar dari pasar
saham dan mencari alternatif investasi lain di security risk free (contohnya:
SPN).
c) Apabila growth rate perusahaan sedang tidak dalam kondisi normal, sebaiknya
menggunakan metode lain dalam melakukan valuasi saham, seperting
menggunakan metode Free Cash Flow dan membandingkannya dengan nilai
pasar perusahaan.

Analisis Saham dengan Metode Earning Multiple (PER dan PEG)

Analisis ini dilakukan dengan tiga tahap:

1. Memberikan rekomendasi antara saham BBRI dan BBNI menggunakan proyeksi


growth dari PER dan PEG perusahaan

7
2. Memberikan rekomendasi antara saham BBRI dan BBNI menggunakan data aktual
dari PER dan PEG perusahaan
3. Membuat analisis akurasi dari proyeksi pada poin 1 dan data aktual pada poin 2.

Rumus PER diperoleh dengan cara berikut:

𝑃0
𝑃𝐸𝑅 =
𝐸𝑃𝑆0

Di mana P0 adalah nilai intrinsik saham di periode berjalan yang diperoleh dari metode
DDM dan EPS 0 adalah jumlah laba bersih kepentingan pengendali dibagi dengan rata-rata
tertimbang jumlah saham yang beredar.

Sedangkan Rumus PEG diperoleh dengan cara berikut:

𝑃𝐸𝑅
𝑃𝐸𝐺 =
𝑔

Di mana growth (g) diperoleh dengan cara berikut:

𝑔 = 𝑅𝑂𝐸 𝑥 𝑏

Di mana ROE (Return on Equity) adalah rasio laba bersih kepentingan pengendali
perusahaan dan ekuitas perusahaan, serta b adalah rasio sisa dari laba yang diperoleh
setelah dikurangi oleh dividen.

1. Analisis Saham dengan Metode Earning Multiple (PER dan PEG) – Proyeksi

Berikut merupakan hasil perhitungan proyeksi PER dan PEG BBNI dan BBRI
dari serangkaian berdasarkan rumus-rumus tersebut:

Berdasarkan proyeksi tersebut, beberapa PER dan PEG perusahaan negatif


meskipun kedua perusahaan tersebut tidak mengalami kerugian. Hal ini disebabkan
P0 yang diperoleh dari proyeksi negatif.

Rekomendasi diberikan berdasarkan PER dan PEG yang lebih kecil, karena
semakin kecil PER dan PEG, semakin cepat investor memperoleh return (balik modal).
PER yang kecil mengindikasikan bahwa saham tersebut mengalami undervalue,
sedangkan PEG yang kecil mengindikasikan bahwa PER yang ada dikompensasi juga

8
oleh growth yang tinggi. Untuk PER dan PEG yang negatif, ambil yang lebih mendekati
0, dengan mengasumsikan bahwa investor mengeluarkan 1 rupiah terhadap
perusahaan yang memiliki value yang lebih besar (mendekati 0) ketika kedua
perusahaan memiliki PER dan PEG yang negatif.

Berikut rincian interpretasi dari setiap rekomendasi yang diberikan:

a. Tahun 2010, 2012, 2014, dan 2016 PER dan PEG BBRI sama-sama lebih kecil
dibandingkan dengan BBNI, sehingga sebaiknya investor memilih saham
BBRI.
b. Tahun 2011 PER dan PEG BBRI lebih besar dibandingkan dengan BBNI,
namun PER dan PEG BBNI saat itu negatif sedangkan BBRI positif, sehingga
secara rasional, investor sebaiknya memilih saham yang tidak memiliki value
negatif.
c. Tahun 2013, PER BBRI lebih mendekati nol dibandingkan dengan BBNI,
sehingga dari perspektif PER sebaiknya investor memilih saham BBRI.
Namun, PEG BBNI lebih mendekati nol dibandingkan dengan PEG BBRI. Hal
ini mengindikasikan bahwa PEG BBNI dapat dikompensasi dengan growth
yang lebih tinggi, sehingga sebaiknya investor memilih saham BBNI
dibandingkan dengan BBRI.
d. Tahun 2015, PER dan PEG BBRI sama-sama lebih mendekati nol
dibandingkan dengan BBNI, sehingga sebaiknya investor memilih saham
BBRI.

2. Analisis Saham dengan Metode Earning Multiple (PER dan PEG) – Aktual

Berikut merupakan hasil perhitungan PER dan PEG BBNI dan BBRI dari
serangkaian berdasarkan rumus-rumus tersebut dengan menggunakan data aktual di
tahun berikutnya:

Berdasarkan proyeksi tersebut, tidak ada PER dan PEG perusahaan yang
negatif karena penulis menggunakan harga saham aktual di tahun berikutnya Berikut
rincian interpretasi dari setiap rekomendasi yang diberikan:

9
a. Tahun 2010, 2011, dan 2014, PER dan PEG BBRI sama-sama lebih kecil
dibandingkan dengan BBNI, sehingga sebaiknya investor memilih saham
BBRI.
b. Tahun 2012, 2013, dan 2015, PER dan PEG BBNI sama-sama lebih kecil
dibandingkan dengan BBNI, sehingga sebaiknya investor memilih saham
BBNI.

3. Analisis Saham dengan Metode DDM – Evaluasi Proyeksi Kedua: Keputusan


Sebelumnya dibandingkan dengan Keputusan dari P0’ dengan P Aktual Tahun
Berikutnya

Berikut merupakan hasil evaluasi keputusan atas proyeksi saham dengan data
aktual di tahun berikutnya:

Berdasarkan evaluasi kedua tersebut, keputusan yang diperoleh dari proyeksi


di tahun berjalan sudah tepat, karena sudah sesuai dengan kondisi aktual di tahun
berikutnya.

4. Kesimpulan Analisis Menggunakan Metode Earning Multiple (PER dan PEG)

Berdasarkan data yang diperoleh penulis, akurasi pengambilan keputusan


dengan menggunakan proyeksi dari metode Earning Multiple sudah akurat. Namun,
P0 yang dalam melakukan proyeksi yang diperoleh dari metode DDM dapat menjadi
bias apabila menggunakan data yang tidak tepat. Sebaiknya investor melakukan
alternatif perhitungan yang penulis jelaskan pada poin 5 metode DDM agar tidak
mendapatkan proyeksi nilai intrinsik saham yang bias.

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan pengamatan penulis, keputusan yang diambil dengan metode PER dan
PEG lebih tepat dibandingkan dengan metode DDM, karena tingkat akurasi dalam
memprediksi saham lebih konsisten dibandingkan dengan metode DDM. Namun, untuk
menghitung PER dan PEG, harus mencari P0 terlebih dahulu, yang dihitung dari metode
DDM. P0 dapat menjadi bias apabila kondisi pasar dan perusahaan tidak dalam kondisi

10
normal. Sebagai alternatif, sebaiknya dalam menghitung DDM, sebaiknya investor
mempertimbangkan hal-hal berikut ini:

a) Apabila kondisi pasar sedang tidak normal, sebaiknya memperoleh k dari cara selain
menggunakan CAPM, seperti dengan menggunakan dividend payout ratio. Cost of
equity (k) merupakan biaya yang digunakan perusahaan untuk mengelola modal
sehingga dapat diartikan juga sebagai dividen, sehingga k dapat diperoleh dari
dividend payout ratio.
b) Apabila kondisi pasar sedang memburuk, sebaiknya investor keluar dari pasar saham
dan mencari alternatif investasi lain di security risk free (contohnya: SPN).
c) Apabila growth rate perusahaan sedang tidak dalam kondisi normal, sebaiknya
menggunakan metode lain dalam melakukan valuasi saham, seperting menggunakan
metode Free Cash Flow dan membandingkannya dengan nilai pasar perusahaan.

11
DAFTAR PUSTAKA

Bodie, Z., Kane, A., Marcus, AJ. (2013). Essentials of Investments - 13th Edition, New York:
Irwin-McGraw Hill.

PwC. (2017). Indonesian Banking Survey 2017.


https://www.pwc.com/id/en/publications/assets/financialservices/ibs-2017.pdf.
diakses pada Desember 12, 2017.

12

Vous aimerez peut-être aussi