Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Pendahuluan
Dengan melihat prospek yang cenderung positif dari industri perbankan, maka ini
merupakan salah satu industri yang menjadi pusat perhatian para investor yang akan
mengalami permintaan yang cukup besar. Merujuk pada buku Essential of Investments
(2013), valuasi saham dapat dilakukan dengan berbagai cara, beberapa di antaranya adalah
dengan menggunakan metode Dividend Discount Model (DDM) dan metode Earning Multiple
(dengan menggunakan analisis Price-Earning Ratio (PER) dan Price Earning Growth (PEG)).
Penulis akan menganalisis terhadap valuasi saham BBNI dan BBRI dengan kedua
metode tersebut, dengan menggunakan data dari laporan keuangan kedua perusahaan
tersebut dari tahun 2010-2016. Analisis dilakukan dengan cara membandingkan pengambilan
keputusan dari perhitungan proyeksi dan teori yang dijabarkan di buku Essential of
Investments (2013), dengan mempertimbangkan apakah saham BBRI dan BBNI mengalami
overvalue (ekspektasi nilai saham menurun di tahun berikutnya) atau undervalue (ekspektasi
nilai saham meningkat di tahun berikutnya), serta merekomendasi saham mana yang lebih
baik dari kedua saham tersebut (BBNI dan BBRI).
1
Analisis Saham dengan Metode DDM
𝐷0 (1 + 𝑔)
𝑃0 =
𝑘−𝑔
Di mana D0 adalah dividen per saham tahun berjalan yang diperoleh dari laporan
keuangan perusahaan yang bersangkutan, dan P0 adalah nilai intrinsik saham perusahaan
yang bersangkutan.
𝑘 = 𝑟𝑓 + 𝛽(𝑟𝑚 − 𝑟𝑓)
Di mana rf adalah tingkat pengembalian yang diperoleh dari investasi dengan risk-free
(penulis menggunakan yield SPN setiap tahun yang bersangkutan yang memiliki jatuh tempo
selama setahun), rm adalah rata-rata tingkat pengembalian pasar (IHSG) selama setahun,
dan beta adalah slope antara rata-rata tingkat capital gain perusahaan selama setahun dan
risiko premi pasar.
𝑔 = 𝑅𝑂𝐸 𝑥 𝑏
Di mana ROE (Return on Equity) adalah rasio laba bersih kepentingan pengendali
perusahaan dan ekuitas perusahaan, serta b adalah rasio sisa dari laba yang diperoleh
setelah dikurangi oleh dividen.
2
1. Analisis Saham dengan Metode DDM – Proyeksi Nilai Intrinsik (P0)
BBNI
BBRI
3
2. Analisis Saham dengan Metode DDM – Evaluasi Proyeksi Pertama: Keputusan
Sebelumnya dengan P Aktual Tahun Berikutnya
BBNI
Berikut merupakan hasil evaluasi data BBNI dari poin 1 dengan perubahan
harga saham:
Berdasarkan evaluasi tersebut, proyeksi dari tahun 2013 dan 2014 dianggap
tidak tepat karena harga saham BBNI ternyata meningkat di periode berikutnya,
sedangkan keputusan sebelumnya adalah menjual saham tersebut, dan investor
mengalami opportunity loss apabila mengambil keputusan berdasarkan proyeksi
tersebut. Sedangkan pada tahun 2010, 2011, dan 2014, keputusan yang diambil
sudah tepat karena harga saham BBNI memang menurun di periode berikutnya,
sehingga investor tidak memperoleh rugi yang lebih besar lagi. Di tahun 2012
keputusan yang diambil berdasarkan proyeksi sudah tepat karena harga saham di
tahun berikutnya memang meningkat, sehingga investor mengalami capital gain dari
saham yang dibeli.
BBRI
Berikut merupakan hasil evaluasi data BBNI dari poin 1 dengan perubahan
harga saham:
Berdasarkan evaluasi tersebut, proyeksi dari tahun 2010, 2011, 2012, 2013,
dan 2015 dianggap tidak tepat karena harga saham BBRI cenderung mengalami
peningkatan di setiap periode, sedangkan keputusan sebelumnya adalah menjual
saham tersebut, dan investor mengalami opportunity loss apabila mengambil
4
keputusan berdasarkan proyeksi tersebut. Sedangkan pada tahun 2014, keputusan
yang diambil sudah tepat karena harga saham BBNI memang menurun di periode
berikutnya, sehingga investor tidak memperoleh rugi yang lebih besar lagi.
BBNI
Berikut merupakan hasil evaluasi keputusan atas proyeksi saham BBNI dari
poin 1 dengan keputusan yang diambil dengan menggunakan nilai intrinsik aktual dan
harga di tahun berikutnya:
BBRI
Berikut merupakan hasil evaluasi keputusan atas proyeksi saham BBRI dari
poin 1 dengan keputusan yang diambil dengan menggunakan nilai intrinsik aktual dan
harga di tahun berikutnya:
5
Berdasarkan evaluasi kedua tersebut (dengan menggunakan data-data aktual
di tahun berikutnya), keputusan tahun 2010-2016 sudah tepat karena seluruh proyeksi
yang dilakukan pada tahun 2010-2016 menunjukkan bahwa saham BBRI mengalami
overvalue dan data aktual juga menunjukkan hasil yang sama (overvalue). Namun, hal
ini perlu dianalisis lebih lanjut, karena faktanya harga saham BBRI cenderung
mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hasil proyeksi dan aktual yang negatif
dan/atau terlalu kecil akan dijelaskan di poin 4.
Berikut merupakan ikhtisar dari evaluasi poin 2 dan poin 3 untuk saham BBNI:
Sedangkan berikut merupakan ikhtisar dari evaluasi poin 2 dan poin 3 untuk
saham BBRI:
a) Pada tahun 2010 dan 2014, kondisi IHSG sedang sangat kuat (dengan tingkat
bunga IHSG sebesar 48,48% dan 35,46% per tahun), sehingga nilai intrinsik
saham menjadi BBNI dan BBRI tahun 2010 dan 2014 menjadi negatif.
b) Pada tahun 2012, growth BBNI termasuk tinggi (11,33%) sangat dekat dengan
dengan tingkat kapitalisasi pasar (k) nya (12,81%) dan lebih besar
dibandingkan dengan rata-rata growth selama 7 tahun (10,62%). Hal ini
6
menyebabkan nilai intrinsik BBNI saat itu cukup tinggi, karena semakin dekat
gap antara k dan growth, semakin tinggi nilai intrinsik nya. Berbeda dengan
BBRI, Growth BBRI pada tahun 2012 hanya 4,65%, berbeda secara signifikan
dengan BBNI (11,33%), sehingga nilai intrinsik saham BBRI sangat kecil.
c) Pada tahun 2011, 2013, 2015, dan 2016, kondisi IHSG sedang sangat lemah
(dengan tingkat bunga IHSG sebesar 6,26%, 0,58%, -11,17% dan 17,37% per
tahun), sehingga nilai intrinsik saham BBNI dan BBRI menjadi negatif.
Menurut Zvi, Bodie (2013), metode DDM ini dapat digunakan apabila
perusahaan memiliki growth yang konstan, serta kondisi pasar dan growth perusahaan
pada kondisi normal. Selain itu, apabila tingkat kapitalisasi pasar (k) sama dengan
growth, nilai saham menjadi tidak terhingga. Berdasarkan analisis di poin 4, kondisi
yang dibutuhkan untuk menggunakan DDM menjadi tidak dapat terpenuhi karena
growth perusahaan dan kondisi pasar yang cenderung tidak stabil. Sebagai alternatif,
penulis menyarankan:
a) Apabila kondisi pasar sedang tidak normal, sebaiknya memperoleh k dari cara
selain menggunakan CAPM, seperti dengan menggunakan dividend payout
ratio. Cost of equity (k) merupakan biaya yang digunakan perusahaan untuk
mengelola modal sehingga dapat diartikan juga sebagai dividen, sehingga k
dapat diperoleh dari dividend payout ratio.
b) Apabila kondisi pasar sedang memburuk, sebaiknya investor keluar dari pasar
saham dan mencari alternatif investasi lain di security risk free (contohnya:
SPN).
c) Apabila growth rate perusahaan sedang tidak dalam kondisi normal, sebaiknya
menggunakan metode lain dalam melakukan valuasi saham, seperting
menggunakan metode Free Cash Flow dan membandingkannya dengan nilai
pasar perusahaan.
7
2. Memberikan rekomendasi antara saham BBRI dan BBNI menggunakan data aktual
dari PER dan PEG perusahaan
3. Membuat analisis akurasi dari proyeksi pada poin 1 dan data aktual pada poin 2.
𝑃0
𝑃𝐸𝑅 =
𝐸𝑃𝑆0
Di mana P0 adalah nilai intrinsik saham di periode berjalan yang diperoleh dari metode
DDM dan EPS 0 adalah jumlah laba bersih kepentingan pengendali dibagi dengan rata-rata
tertimbang jumlah saham yang beredar.
𝑃𝐸𝑅
𝑃𝐸𝐺 =
𝑔
𝑔 = 𝑅𝑂𝐸 𝑥 𝑏
Di mana ROE (Return on Equity) adalah rasio laba bersih kepentingan pengendali
perusahaan dan ekuitas perusahaan, serta b adalah rasio sisa dari laba yang diperoleh
setelah dikurangi oleh dividen.
1. Analisis Saham dengan Metode Earning Multiple (PER dan PEG) – Proyeksi
Berikut merupakan hasil perhitungan proyeksi PER dan PEG BBNI dan BBRI
dari serangkaian berdasarkan rumus-rumus tersebut:
Rekomendasi diberikan berdasarkan PER dan PEG yang lebih kecil, karena
semakin kecil PER dan PEG, semakin cepat investor memperoleh return (balik modal).
PER yang kecil mengindikasikan bahwa saham tersebut mengalami undervalue,
sedangkan PEG yang kecil mengindikasikan bahwa PER yang ada dikompensasi juga
8
oleh growth yang tinggi. Untuk PER dan PEG yang negatif, ambil yang lebih mendekati
0, dengan mengasumsikan bahwa investor mengeluarkan 1 rupiah terhadap
perusahaan yang memiliki value yang lebih besar (mendekati 0) ketika kedua
perusahaan memiliki PER dan PEG yang negatif.
a. Tahun 2010, 2012, 2014, dan 2016 PER dan PEG BBRI sama-sama lebih kecil
dibandingkan dengan BBNI, sehingga sebaiknya investor memilih saham
BBRI.
b. Tahun 2011 PER dan PEG BBRI lebih besar dibandingkan dengan BBNI,
namun PER dan PEG BBNI saat itu negatif sedangkan BBRI positif, sehingga
secara rasional, investor sebaiknya memilih saham yang tidak memiliki value
negatif.
c. Tahun 2013, PER BBRI lebih mendekati nol dibandingkan dengan BBNI,
sehingga dari perspektif PER sebaiknya investor memilih saham BBRI.
Namun, PEG BBNI lebih mendekati nol dibandingkan dengan PEG BBRI. Hal
ini mengindikasikan bahwa PEG BBNI dapat dikompensasi dengan growth
yang lebih tinggi, sehingga sebaiknya investor memilih saham BBNI
dibandingkan dengan BBRI.
d. Tahun 2015, PER dan PEG BBRI sama-sama lebih mendekati nol
dibandingkan dengan BBNI, sehingga sebaiknya investor memilih saham
BBRI.
2. Analisis Saham dengan Metode Earning Multiple (PER dan PEG) – Aktual
Berikut merupakan hasil perhitungan PER dan PEG BBNI dan BBRI dari
serangkaian berdasarkan rumus-rumus tersebut dengan menggunakan data aktual di
tahun berikutnya:
Berdasarkan proyeksi tersebut, tidak ada PER dan PEG perusahaan yang
negatif karena penulis menggunakan harga saham aktual di tahun berikutnya Berikut
rincian interpretasi dari setiap rekomendasi yang diberikan:
9
a. Tahun 2010, 2011, dan 2014, PER dan PEG BBRI sama-sama lebih kecil
dibandingkan dengan BBNI, sehingga sebaiknya investor memilih saham
BBRI.
b. Tahun 2012, 2013, dan 2015, PER dan PEG BBNI sama-sama lebih kecil
dibandingkan dengan BBNI, sehingga sebaiknya investor memilih saham
BBNI.
Berikut merupakan hasil evaluasi keputusan atas proyeksi saham dengan data
aktual di tahun berikutnya:
Berdasarkan pengamatan penulis, keputusan yang diambil dengan metode PER dan
PEG lebih tepat dibandingkan dengan metode DDM, karena tingkat akurasi dalam
memprediksi saham lebih konsisten dibandingkan dengan metode DDM. Namun, untuk
menghitung PER dan PEG, harus mencari P0 terlebih dahulu, yang dihitung dari metode
DDM. P0 dapat menjadi bias apabila kondisi pasar dan perusahaan tidak dalam kondisi
10
normal. Sebagai alternatif, sebaiknya dalam menghitung DDM, sebaiknya investor
mempertimbangkan hal-hal berikut ini:
a) Apabila kondisi pasar sedang tidak normal, sebaiknya memperoleh k dari cara selain
menggunakan CAPM, seperti dengan menggunakan dividend payout ratio. Cost of
equity (k) merupakan biaya yang digunakan perusahaan untuk mengelola modal
sehingga dapat diartikan juga sebagai dividen, sehingga k dapat diperoleh dari
dividend payout ratio.
b) Apabila kondisi pasar sedang memburuk, sebaiknya investor keluar dari pasar saham
dan mencari alternatif investasi lain di security risk free (contohnya: SPN).
c) Apabila growth rate perusahaan sedang tidak dalam kondisi normal, sebaiknya
menggunakan metode lain dalam melakukan valuasi saham, seperting menggunakan
metode Free Cash Flow dan membandingkannya dengan nilai pasar perusahaan.
11
DAFTAR PUSTAKA
Bodie, Z., Kane, A., Marcus, AJ. (2013). Essentials of Investments - 13th Edition, New York:
Irwin-McGraw Hill.
12