Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Argentometri berasal dari bahasa latin Argentum yang berarti perak. Argentometri
merupakan analisa kuantitatif volumetri untuk menentukan kadar halogen dalam sampel dengan
menggunakan larutan standar AgNO3 pada suasana tertentu. Metode argentometri disebut juga
dengan metode pengendapan karena pada argentometri terjadi pembentukan senyawa yang
relative tidak larut atau endapan. Larutan AgNO3 merupakan larutan standar sekunder sehingga
harus distandarisasi dengan larutan standar primer terlebih dahulu. Larutan standar primer adalah
larutan yang mempunyai kadar tertentu atau tetap, sedangkan larutan standar sekunder adalah
larutan yang kadarnya tidak tetap atau dapat berubah-ubah. Larutan standar primer yang biasa
digunakan untuk standarisasi larutan AgNO3 adalah NaCl. Pada analisa argentometri titik akhir
titrasi ditentukan oleh terbentuknya larutan berwarna atau timbulnya kekeruhan yang pertama.
Ada tiga metode yang dapat digunakan dalam analisa argentometri yaitu, metode Mohr, metode
Fajans, dan metode Volhard.
II.1. Metode Analisa Argentometri
Berikut ini adalah metode yang digunakan dalam analisa Argentometri:
a. Metode Mohr
Digunakan untuk menetapkan kadar ion halogen yang dilakukan dalam
suasana netral dengan indikator K2CrO4 dan larutan standar AgNO3. Ion kromat akan
bereaksi dengan ion perak membentuk endapan merah coklat dari perak kromat (Dedi
Sholeh Effendi, 2012).
Reaksi: Ag+ + Cl- → AgCl (endapan putih) (2.1)
2Ag+ + CrO42- → Ag2CrO4 (endapan merah coklat) (2.2)
Dasar titrasi dengan metode ini adalah suatu pengendapan bertingkat dari
AgCl dan setelah semua mengendap baru terjadi endapan Ag2CrO4. Untuk lebih
jelasnya kita dapat melihat contoh berikut.
Misal dalam larutan NaCl 0,1 M terdapat adanya indikator K2CrO4 yang
mempunyai konsentrasi 0,01 M, maka konsentrasi Ag+ untuk mengendapkan ion Cl-
dan CrO42- dapat dihitung.
Untuk mengendapkan ion Cl-
Pada saat ini terjadi titik kesetaraan. Baik ion klorida maupun ion perak tak
ada yang berlebih, dan masing-masing konsentrasi adalah kuadrat (dari) Ksp. Pada
kurva titrasi titik ini disebut titik ekivalen (TE), yaitu titik pada kurva yang
menunjukkan jumlah gram ekivalen titran sama dengan jumlah gram ekivalen zat
yang dititrasi.
Ksp AgCl = 1,0 x 10-10
[Ag+] = [Cl-]
[Ag+]2 = 1,0 x 10-10
[Ag+] = 1,0 x 10-5
Untuk mengendapkan ion CrO42-
Ksp Ag2CrO4 = 2 x 10-12
[Ag+]2 [CrO42-] = 2 x 10-12
[Ag+]2 [10-2] = 2 x 10-12
[Ag+]2 = 2 x 10-10
[Ag+] = 1,4 x 10-5
Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa banyaknya ion perak yang dibutuhkan
untuk mengendapkan ion kromat lebih besar dari yang dibutuhkan untuk
mengendapkan ion klorida. Jadi pada saat TAT terjadi, ion klorida praktis telah
mengendap semua, sehingga perak kromat baru mengendap setelah semua ion klorida
mengendap membentuk perak klorida.
Hal-hal yang diperhatikan dalam penggunaan metode Mohr:
1. Baik untuk menentukan ion klorida dan bromida tetapi tidak cocok untuk ion
iodida dan tiosianida.
2. Titrasi dalam suasana netral atau sedikit alkalis, pH 7 – 10,5.
3. Tidak cocok untuk titrasi larutan yang berwarna, seperti CuCl2 (biru), CaCl2
(perak), NiCl (hijau) karena akan menyulitkan pengamatan saat TAT.
4. Tidak bisa untuk garam-garam Cl dan Br yang terhidrolisakarena terbentuk
endapan yang tak diharapkan. Misal garam Cl atau Br dengan kation Al, Fe, Bi,
Sn, Sb, dan Mg.
5. Larutan tidak boleh mengandung CO32-, SO42-, PO43- , C2O42- karena akan
mengendap dengan Mg.
6. Larutan tidak boleh mengandung ion Pb2+ dan Ba2+ karena akan
mengendap sebagai garam kromat yang berwarna. Dihilangkan dengan
penambahan Na2CO3 jenuh.
b. Metode Fajans
Dalam metode ini digunakan indikator adsorpsi. Bila suatu senyawa organik
yang berwarna diadsorpsi pada permukaan suatu endapan, dapat terjadi modifikasi
struktur organiknya, dan warna itu dapat sangat berubah dan dapat menjadi lebih tua.
Gejala ini dapat digunakan untuk mendeteksi titik akhir titrasi pengendapan garam
perak.
Mekanisme bekerjanya indikator semacam itu berbeda dari mekanisme apapun
yang telah dibahas sejauh ini. Fajans menemukan fakta bahwa fluoresein dan beberapa
fluoresein tersubstitusi dapat bertindak sebagai indikator untuk titrasi perak. Bila perak
nitrat ditambahkan ke dalam suatu larutan natrium klorida, partikel perak klorida yang
sangat halus itu cenderung memegangi pada permukaannya (mengadsorpsi) sejumlah
ion klorida berlebihan yang ada dalam larutan itu. Ion-ion klorida ini dikatakan
membentuk lapisan teradsorpsi primer dan dengan demikian menyebabkan partikel
koloidal perak klorida itu bermuatan negatif. Partikel negatif ini kemudian cenderung
menarik ion-ion positif dari dalam larutan untuk membentuk lapisan adsorpsi sekunder
yang terikat lebih longgar.
Apabila klorida berlebih:
(AgCl) . Cl- M+
Lapisan Primer Lapisan Sekunder
Jika perak nitrat terus menerus ditambahkan sampai ion peraknya berlebih, ion-
ion ini akan menggantikan ion klorida dalam lapisan primer. Maka partikel-partikel
menjadi bermuatan positif, dan anion dalam larutan ditarik untuk membentuk lapisan
sekunder.
Apabila perak berlebih:
(AgCl) . Ag+ X-
Lapisan Primer Lapisan Sekunder
Fluoresein merupakan asam organik lemah yang dapat dilambangkan
dengan HFI. Bila fluoresein ditambahkan ke dalam labu titrasi, anionnya, FI-, tidaklah
diserap oleh perak klorida koloidal selama ion-ion klorida masih berlebih. Tetapi bila
ion perak berlebih, ion FI- dapat ditarik ke permukaan partikel yang bermuatan positif.
Saat titik akhir titrasi:
(AgCl) . Ag+ FI-
Agregat yang dihasilkan akan berwarna merah muda, dan warna itu cukup kuat
untuk digunakan sebagai indikator visual. Gambar 2.1 menunjukkan struktur molekul
indikatoe fluoresin. Gambar 2.2 menunjukkan peristiwa yang terjadi pada saat titrasi
metode Fajans.
FI-
+
Ag+ Ag Ag+ +
Ag+ - Ag
- Cl- Cl- Cl Cl- Ag+ FI-
Ag+ Cl
+
Cl- Ag
-
Cl AgCl Cl- AgCl FI- + Cl- AgCl Cl- Ag+
Ag
Cl- - Cl- Cl- Cl- Cl- Ag+ -
Ag+ Cl Ag+ Ag+ FI
Ag+ Ag+
Sebelum titik ekivalen Saat titik ekivalen Saat titik akhir titrasi
c. Metode Volhard
Metode ini menggunakan prinsip back to titration, yaitu pada sampel
halogenida ditambah suatu larutan standar AgNO3 secara berlebih, kemudian sisa
AgNO3 dititrasi kembali dengan larutan standar NH4CNS. Indikator yang dipakai
adalah Ferri Amonium Sulfat. Dalam prosesnya larutan harus bersifat asam dengan
tujuan untuk mencegah hidrolisa garam ferri menjadi ferri hidroksida yang warnanya
mengganggu pengamatan TAT. Suasana asam dapat dibuat dengan menambahkan
HNO3 pekat. Tetapi penggunaan HNO3 tidak terlalu pekat karena dapat menyebabkan
NH4CNS teroksidasi menjadi NO dan CO2.
3NH4CNS + 13HNO3 → 16NO + 3CO2 + 3NH4HSO4 + 5H2O (2.3)
Pada metode ini dalam mekanisme reaksinya akan terbentuk perak klorida dan perak
tiosianat.
Cl- + AgNO3 encer → AgCl (2.4)
AgNO3 sisa + NH4CNS → AgCNS (2.5)
CNS- sisa + Fe3+→ FeCNS2+ (merah darah) (2.6)
Perak klorida lebih mudah larut daripada perak tiosianat, dan klorida itu cenderung
melarut kembali menurut reaksi.
AgCl + CNS- → AgCNS + Cl- (2.7)
Tetapan kesetimbangan reaksi ini ditentukan oleh angka banding tetapan hasil
kali kelarutan perak klorida terhadap perak tiosianat. Karena tetapan yang pertama
lebih besar daripada yang kedua, maka reaksi tersebut di atas sangat cenderung untuk
berjalan dari kiri ke kanan. Jadi tiosianat dapat dihabiskan tidak hanya oleh ion perak
yang berlebih, tetapi juga oleh endapan perak klorida itu sendiri. Jika ini terjadi, akan
diperoleh hasil yang terlalu rendah dalam analisis klorida. Tetapi reaksi ini dapat
dicegah dengan menyaring perak kloridanya. Untuk penetapan kadar Br - tidak perlu
penyaringan karena tetapan hasil kali kelarutan AgBr lebih kecil daripada AgCNS,
sedangkan untuk I- penambahan indikator setelah mendekati TAT karena bila I-
bertemu indikator Fe3+ terjadi I2 yang sering menyebabkan kesalahan titrasi.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam metode Volhard:
1. Larutan harus bersifat asam, tujuannya untuk menghindari hidrolisa garam ferri
menjadi ferri hidroksida yang warnanya mengganggu pengamatan TAT.
2. HNO3 yang digunakan untuk memberikan suasana asam jangan terlalu pekat
sebab akan mengoksidasi NH4CNS menjadi NO dan CO2. Dimana CO2 yang
terbentuk dapat bereaksi dengan H2O membentuk H2CO3 yang dapat bereaksi
dengan Ag+ dan menghasilkan Ag2CO3 yang berwarna putih sehingga
menyulitkan pengamatan saat TAT. Selain itu kadar Fe3+ akan berkurang,
sehingga kemungkinan TAT akan terjadi jauh.
3. Endapan AgCl yang terbentuk harus disaring dulu, dicuci dengan air dan air
cucian dijadikan satu dengan filtrat baru dititrasi dengan NH4CNS.
Perry, R. H. And C. H. Dikton. 1985. Chemical Engineering Handbook 6th edition. New York:
McGraw Hill Book Co. Inc.
Underwood, A. I. And Day R. A. 1983. Analisa Kimia Kuantitatif 5th edition. Diterjemahkan
oleh R. Soendoro. Jakarta: Erlangga.
Vogel, A. I. Buku Teks Anorganik Kualitatif Makro dan Semi Makro. Diterjemahkan oleh Ir.
Sutiono dan Dr. A. Hadyono Pudjaatmadja. Jakarta : Penerbit P. T. Kalman
Media Pustaka.
Effendi, Dedi Sholeh. 2012. Jurnal Kandungan Klor Tanaman Kelapa Sawit Berdasarkan Jenis
Tanah Dan Penggunaan Pupuk. Diakses dari
http://perkebunan.litbang.deptan.go.id. 23 Agustus 2014.
BAB I
PENDAHULUAN
.
II.3. Keuntungan Gravimetri
Walaupun gravimetri telah digantikan dari segi rutinnya dengan instrumental,
namun gravimetri sebenarnya lebih cepat dan teliti daripada instrumen yang perlu
dikalibrasi. Alat pada umumnya memberikan hanya pengukuran relatif dan harus
dikalibrasi atas dasar cara gravimetri atau titimetri klasik. Jika analit merupakan suatu
konstanta pertama (> 1%) ketelitian dari berbagai bagian perseribu dapat diharapkan, jika
contoh tak terlalu kompleks. Jika analit minoritas kurang dari 1%, cara gravimetri biasanya
tidak digunakan.
Perry, R. H. And C. H. Dikton. 1985. Chemical Engineering Handbook 6th edition. New York:
McGraw Hill Book Co. Inc.
Underwood, A. I. And Day R. A. 1983. Analisa Kimia Kuantitatif 5th edition. Diterjemahkan
oleh R. Soendoro. Jakarta: Erlangga.
Vogel, A. I. Buku Teks Anorganik Kualitatif Makro dan Semi Makro. Diterjemahkan oleh Ir.
Sutiono dan Dr. A. Hadyono Pudjaatmadja. Jakarta : Penerbit P. T. Kalman
Media Pustaka.