Vous êtes sur la page 1sur 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


PPOK ( Penyakit Paru Obtruktif Kronis) merupakan salah satu gangguan
pernapasan yang akan semakin sering dijumpai di masa mendatang di
Indonesia, mengingat makin bertambahnya rerata umur orang Indonesia,
bertambahnya jumlah perokok dan bertambahnya polusi udara.
PPOK ( Penyakit Paru Obtruktif Kronis) merupakan penyakit paru kronis
yang ditandai dengan gejala sesak napas yang hebat dan batuk berulang. Pada
PPOK gejala penyakit dapat terjadi karena adanya kerusakan pada saluran
napas dan jaringan paru yang mengakibatkan timbulnya hambatan pada aliran
udara yang mengalir di dalam saluran pernapasan. Kerusakan ini terjadi
sebagai akibat dari paparan yang berulang dan terus – menerus terhadap gas
dan partikel beracun.
PPOK ( Penyakit Paru Obtruktif Kronis) diperkirakan mempengaruhi 32
juta orang di Amerika Serikat dan merupakan penyebab utama kematian
ketiga di negara ini. Pasien biasanya memiliki gejala bronkitis kronis dan
emfisema, namun triad klasik juga mencakup asma. Bronkitis kronis
didefinisikan secara klinis sebagai adanya batuk produktif kronis selama 3
bulan selama masing-masing 2 tahun berturut-turut (penyebab batuk lainnya
dikeluarkan). Emfisema didefinisikan secara patologis sebagai pembesaran
abnormal ruang permanen yang distal ke bronkiolus terminal, disertai dengan
kerusakan dinding dan tanpa fibrosis yang jelas.
BAB II
TINJUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Paru Obtruktif Kronis (PPOK)


2.1.1 Definisi
PPOK ( Penyakit Paru Obtruktif Kronik ) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif
nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri atas bronkitis kronis dan
emfisema atau gabungan keduanya. Bronkitis kronis adalah kelainan saluran
napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun,
sekurang-kurangnya dua tahun berturut-turut, tidak disebabkan penyakit lainnya.
Emfisema adalah kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga
udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.
PPOK ( Penyakit Paru Obtruktif Kronik ) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai oleh adanya hambatan pada aliran udara di dalam saluran napas yang
berlangsung secara progressif dan berhubungan dengan paparan berulang terhadap
gas dan partikel beracun. Gas dan partikel beracun akan menimbulkan peradangan
pada saluran pernapasan. Peradangan yang berlangsung kronis akan menimbulkan
kerusakan pada struktur saluran pernapasan, mengakibatkan terjadinya
penyempitan saluran napas, dan pengeluaran dahak yang berlebihan. PPOK dapat
dicegah dan diobati, namun saluran napas dan jaringan paru yang telah mengalami
kerusakan tidak dapat kembali membaik seperti semula atau hanya membaik
sebagian. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema paru atau kombinasi
darikeduanya.

2.1.2 Etiologi
PPOK dapat disebabkan oleh beberapa faktor berikut :
1. Faktor internal
a. Genetik
ɑ-1-antitripsin (AAT) adalah sejenis protein yang berperan sebagai
inhibitor diproduksi dihati dan bekerja pada paru-paru. Seseorang dengan
kelainan genetik kekurangan enzin tersebut akan mudah terserang PPOK.
Enzim ini bekerja menetralkan enzim proteolitik yang sering dikeluarkan
pada saat terjadi peradangan dan kerusakan jaringa, termasuk jaringan paru.
Defisiensi AAT adalah suatu kelainan yang diturunkan secara autosom
rersesif. Yang sering menderita emfisema paru adalah pasien dengan gen S
atau Z.
b. Gender/ jenis kelamin
Peran gender dalam menentukan risiko PPOK belum jelas. Dimasa lalu
penelitian menunjukkan prevalensi dan kematian pada PPOK lebih besar
terjadi pada laki-laki daripada perempuan. Pada penelitian di beberapa
negara akhir-akhir ini prevalensi penyakit ini sekarang hampir sama anatar
laki-laki dan perempuan, yang mungkin mencerminkan perubahan gaya
hidup merokok dengan menggunakan tembakau.
c. Nutrisi
Seseorang dengan gizi buruk, malnutrisi dan penurunan berat badan dapat
mengurangi kekuatan massa otot pernapasan dan adaya tahan tubuh. Dalam
sebuah penelitian terdapat hubungan antara kelaparan, anabolic dan status
katabolic dengan perkembanagan emfisema. Penelitian lain menyebutkan
seorang wanita dengan ekkeurangan gizi kronis karena anorexia nervousa
pada gambaran CT Scan pru-parunya menunjukkan adanya emfisema.
2. Faktor eksternal
a. Asap rokok
Asap rokok merupakan faktor utama penyebab terjadinya PPOK. Perokok
mempunyai prevalensi lebih tinggi mengalami gangguan pernapasan.
Menurut buku Report of the WHO Expet Commite on Smoking Control,
merokok adalah penyebab utama timbulnya bronkitis kronis dan emfisema
paru. Terdapat hubungan yang erat antara merokok dan penurunan VEP
(tekanan volume ekspirasi) dlam 1 detik. Secara patologis merokok akan
menyebabkan hyperplasia kelenjar mukus bronus dan metaplasia skuamus
epitel saluran pernapasan dan bronkokonstriksi akut. Selain itu merokok
juga dapat mnyebabkan inhibisi aktifitas sel rambut getar, makrofag alveoli
dan surfaktan.
b. Polusi lingkungan
Tingginya kadar polusi udara didaerah perkotaan berbahaya bagi individu
terutama pembakaran dari bahan bakar kendaraan, bila ditambah dengan
merokok akan meningkatkan risiko terjadinya PPOK. Zat- zat kimia seperti
zat pengoksidasi N2O, hidrokarbon, aldehid dan ozon dapat menyebabkan
bronchitis kronis.
c. Infeksi
Infeksi oleh virus dan bakteri memberikan kontribusi dalam
berkembangnya PPOK. Riwayat infeksi pernapasan pada anak-anak telah
berhubungan dengan fungsi paru-paru yang berkurang dan meningkatnya
gejala pernapasan saat dewasa. Infeksi saluran pernapasan bagian atas pada
seorang pasien bronchitis kronik hampir selalu menyebabkan infeksi paru
bagian bawah, serta menambah kerusakan paru.
d. Status sosial ekonomi
Dalam sebuah penelitian menyebutkan risiko PPOK berkembang
berbanding terbalik dengan status sosial ekonomi. Kematian pada
bronchitis kronis ternyata terjadi lebih banyak pada golongan sosial
ekonomi rendah. Pola ini diperkirakan mencerminkan udara yang buruk,
kepadatan lingkungan, gizi buruk sebagai faktor yang berkaitan dengan
sosial ekonomi yang rendah.
e. Pekerjaan
Paparan intens dan berkepanjangan untuk debu tempat kerja ditemukan di
pertambangan batubara, pertambangan emas, dan industry tekstil kapas dan
bahan kimia seperti kadmium, isosianat, dan asap dari pengelasan telah
terlibat dalam obstruksi aliran udara.

2.1.3 Patofisiologi
Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK
yang diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian
proksimal perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya
suatu inflamasi yang kronik dan perubahan structural pada paru. Terjadinya
peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil dengan peningkatan formasi
volikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar saluran nafas
mengkibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas kecil
berkurang akibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflmasi, yang
meningkat sesuai berat sakit.
Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam
keadaan seimbang. Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi
kerusakan di paru. Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan
kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru.
Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya kan
menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya kan
menimbulkan kerusakan sel dan inflamasi. Proses inflamasi akan
mengaktifkan sel makrofag alveoli, aktivasi sel tersebut akan menyebabkan
dilepaskannya faktor kemtataktik neutrofil seperti interleuktin 8 dan leukotrien
B4. Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease
yang merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding
alveoli dan hipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan menyebabkan
dilepaskannya limfosit CD8, selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses
inflamasi. Pada keadaan normal terdapat ketidakseimbangan antara oksidan
dan antioksidan. Enzim NADPH yang ada dipermukaan makroag dan neutrofil
akan mentransfer satu electron ke molekul oksigen menjadi anion superoksida
dengan bantuan enzim superoksid dismutase. Zat hydrogen peroksida (H2O2)
yang toksik akan diubah menjadi OH dengan menerima electron dari ion feri
menjadi ion fero, ion fero dengan halide akan diubah mejadi anion hipohalida
(HOCL).
Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi
batuk kronis sehingga percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi.
Penurunan fungsi paru terjadi sekunder setelah perubahan struktur saluran
napas. Krusakan struktur berupa destruksi alveoli yang menuju kearah
emfisema karena produksi radikal bebas yang berlebihan oleh leukosit dan
polusi asap rokok.
Gambar. 1 Patofisiologi PPOK

2.1.4 Manifestasi Klinis


2.1.4.1 Dipsnea
Dipsnea sering menjadi alasan utama pasien PPOK mencari bantuan
tenaga kesehatan. Dipsnea digambarkan sebagai usaha bernapas yang
meningkat, berat, kelaparan udara tau gasping. Sesak napas pada PPOK
bersifat persisten dan progresif. Awalnya sesak nafas hanya dirasakan
ketika beraktifitas seperti berjalan, berlari dan naik tangga yang dapat
dihindari, tetapi ketika fungsi paru memburuk, sesak napas lebih progresif
dan mereka tidak dapat melakukan aktifitasnya. Medical Research
International (2007) melakukan pengkajian pada pasien PPOK yang
mengalami sesak napas dengan menggunakan kuistioner Medical
Research Council Dipsnea Scale.
2.1.4.2 Batuk
Batuk kronis menjadi gejala pertama dari pasien PPOK, setelah merokok
atau terpapar oleh polutan lingkungan. Pada awalnya
2.1.4.3 Blue blaters
Pada tahap lanjut PPOK pasien akan mengalami blue blaters yaitu kondisi
batuk produktif dan berulang kali mengalami infeksi pernapasan yang
dapat dapat berlangsung selama bertahun-tahun sebelum Nampak
gangguan fungsi paru. Awitan penyakit biasanya dimulai dari usia 20-30
tahun yang akan diikuti munculnya dipsnea pada saat melakukan aktifitas
fisik. Tampak gejala berkurangnya napas sehingga mengalami
hipoventilasi menjadi hipoksia dan hiperkapnia. Hipoksia kronis ini akan
merangsang ginjal untuk eritropoietin meningkatkan produksi sel darah
merah sehingga menjadi polisitemia sekunder. Kadar Hb dapat mencapai
20 g/ 100 ml atau lebih dan sianosis mudah tampak karena Hb yang
treduksi mudah mrencapai kadar 5g/100 ml, walaupun hanya sebagian
kecil dari Hb yang tereduksi Blue bleters adaiah gambaran khas pada
bronchitis kronis, dimana pasien gemuk sianosis, terdapat oedema tungkai
dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
2.1.4.4 Produksi sputum
Pasien PPOK umunya disertai batuk produktif. Batuk kronis dan
pembentukan sputum mukoid atau mukopurulen selama sedikitnya 3 bulan
dalam setahun, sekurang- kurangnya 2 tahun berturut- turut merupakan
gejala klinis dari bronkitis kronis.
2.1.4.5 Wheezing dan sesak dada
Wheezing dan sesak dada adalah gejala yang spesifik dan bervariasi dari
satu psien dengan pasien yang lain. Gejala ini dijumpai pada PPOK berat
atau sangat berat. Percabangan trakeobroncial melebar dan memanjang
selama inspirasi, tetapi sulit untuk memaksakan udara keluar dari
bronkiolus yang sempit (mngalami oedem dan berisi mukus), yang dalam
kondisi normal akan berkontraksi sampai pada tingkat tertentu pada saat
ekspirasi. Udara terperangkap pada bagian distal tempat penyumbatan
sehingga terjadi hiperinflasi progresif paru. Sewaktu pasien berusaha
memaksakan udara keluar akan timbul mengi ekspirasi memanjang ayng
merupakan cirri khas asma. Sedangkan sesak dada adalah kondisi yang
buruk sebagai kontraksi isometric otot-otot interkostal.
2.1.4.6 Perubahan bentuk dada
Pada pasien PPOK dengan stadium lanjut akan ditemukan tanda-tanda
hiperinflasi paru seperti barrel chest diamana diafragma terletak lebih
rendah dan bergerak tidak lancer, kifosis, diameter antero-posterior
bertambah.

2.1.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan PPOK bertujuan untuk menghilangkan atau
mengurangi obtruksi yang terjadi seminimal mungkin agar secepatnya
oksigenasi dapat kembali normal. Keadaan ini diusahakan dan
dipertahankan untuk menghindari perburukan penyakit. Secara garis besar
penatalaksanaan PPOK dibagi menjadi :
1. Penatalaksanaan umum
Penatalaksanaan umum meliputi pendidikan pada pasien dan keluarga,
menghentikan rokok dan zat-zat inhalasi yang bersifat mengiritasi,
menciptakan lingkungan yang sehat, mencukupi kebutuhan cairan,
mengkonsumsi diet yang cukup.
2. Pentalaksanaan farmakologi
1. Terapi Farmakologi
a. Bronkodilator
Merupakan obat utama untuk mengurangi obtruksi saluran napas
yang terdapat pada penyakit paru obtruktif. Obat-obat golongan
bronkodilator adalah obat-obat utama untuk manajemen PPOK.
Bronkodilator golongan inhalasi lebih disukai terutama jenis long
acting karena lebih efektif dan nyaman, pilihan obat diantaranya
adalah golongan β2 Agonis, Antikolinergik, Teofilin.
b. Antikolinergik
Obat yang termasuk pada golongan ini adalah ipratropium,
oxitropium dan tiopropium bromide. Efek utamanya adalah
memblokade efek asetilkolin pada reseptor muskarinik. Efek
bronkodilator dari short acing antikolinergik inhalasi lebih lama
disbanding short acting β2 agonist. Tiopropium memiliki waktu
kerja lebih dri 24 jam. Aksi kerjanya dapat mengurangi ekserbasi
dan hospitalisasi, memperbaiki gejala dan status kesehatan, serta
memperbaiki efektivitas rehabilitasi pulmonal. Efek samping yang
bisa timbul akibat penggunaan antikolinergik adalah mulut kering.
Meskipun bisa menimbulkan gejala pada prostat tapi tidak ada data
yang dapat membuktikan hubungan kausatif antara gejala prostat
dan penggunaan obat tersebut.
c. Methylxanthine
Contoh obat yang tergolong methylxanthine adalah teofilin. Obat
ini berperan dalam perubahan otot-otot inspirasi. Namun obat ini
tidak direkomendasikan jika tersedia obat lain.
d. Glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid bermanfaat dalam pengolaan ekserbasi PPOK,
dengan memperpendek waktu pemulihan, meningkatkan fungsi
paru dan mengurangi hipoksemia. Disamping itu
glukokortikosteroid juga dapat mengirangi risiko kekambuhan
yang lebih awal, kegagalan pengobatan dan memperpendek masa
rawat inap.
2. Terapi Farmakologi Lain
a. Vaksin : pemberian vaksin influenza dapat mengurangi risiko
penyakit yang parah dan menurunkan angka kematian sekitar 50%.
Vaksin mengandung virus yang telah dilemahkan lebih efektif
diberikan kepada pasien PPOK lanjut, yang diberikan setiap satu
tahun sekali. Vaksin Pneumokokkal Polisakarida dianjurkan untuk
pasien PPOK usia 65 tahun keatas.
b. Alpha-1 Augmentation Therapy : terapi ini ditujukan untuk pasien
muda dengan defisiensi alpha-1 antitripsin herediter berat. Terapi
ni sangat mahal, dan tidak tersedia dihampir semua negara dan
tidak direkomendasikan bagi pasien PPOK yang tidak ada
hubungannya dengan defisiensi alpha-1 antitripsin.
c. Antibiotik : penggunaannya untuk mengobati infeksi bacterial yang
mencetuskan eksaserbasi.
d. Mukolitik : seperti ambroksol, erdostein, carbocysteine, yang dapat
mengurangi produksi sputum dan kekentalan sputum. Sputum
kental pada pasien PPO terdiri dari derivate glikoprotein dan
derivate leukosit DNA.
e. Immunoregulator : pada sebuah program studi immunoregulator
pada pasien PPOK dapat menurunkan angka keparahan dan
frekuensi eksaserbasi.
f. Antitusif : meskipun batuk merupakan salah satu gejala PPOK
yang merepotkan, tetapi batuk mempunyai peran yang signifikan
sebagai mekanisme protektif. Dengan demikian penggunaan
antitusif secara rutin tidak direkomendasikan pada PPOK stabil.
g. Vasodilator : berbagai upaya pada hipertensi pulmonal telah
dilakukan diantaranya mengurangi beban ventrikel kanan,
meningkatkan curah jantung dan meningkatkan perfusi oksigen
jaringan. Hipoksemia pada PPOK terutama disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi, bukan karena
peningkatan shunt intrapulmonary dimana pemberian oksida nitrt
dapat memperburuk keseimbangan ventilasi dan perfusi. Sehingga
oksida nitrat merupakan kontraindikasi pada PPOK stabil.
h. Narkotin (morfin)
Morfin secara oral ataupun parenteral efektif untuk mengurangi
dispnea pada pasien PPOK pada tahap lanjut. Nikotin juga
diberikan sebagai obat antidepresan pada pasien dengan sindrom
paska merokok.
3. Terapi Oksigen
PPOK umumnya dikaitkan dengan hipoksemia progresif,
pemberian terapi oksigen bertujuan untuk mempertahankan
hemodinamika paru. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh The
British Medical Research Council ( MRC ) dan National Heart,
Lung, and Blood Institute’s Nocturnal Oxygen Therapy Trial (
NOTT ) menunjukkan bahwa terapi oksigen jangka panjang dapat
meningktakan kelangsungan hidup 2 kali lipat pada hipoksemia
pasien PPOK.Hipoksemia didefinisikan sebagai Pa O2 kurang dari
55 mmHg atau saturasi oksigen kurang dari 90%. Terapi oksigen
bertujuan memperbaiki kandungan oksigen arteri dan
memperbanyak aliran oksigen ke jantung dan otak serta organ vital
lainnya, memperbaiki vasokonstriksi pulmonal dan menurunkan
tekanan vaskular pulmonal.

Zab Mosenifar, MD. 2017. Tersedia di :


http://emedicine.medscape.com/article/297664-overview#a5.Chronic Obstructive
Pulmonary Disease (COPD). ( 3 Juni 2017)
Bulechek, Gloria & dkk. 2016. NIC ( Nursing Interventions Classification). Edisi
ke 6. Elsevier Global Right.

Moorhead, Sue & dkk. 2016. NOC ( Nursing Outcomes Classification ). Edisi ke
5 Elsevier Global Right.

Rohmah, Nikmatur & Saiful Walid. 2014. Proses Keperawatan Teori dan
Aplikasi. Yokyakarta : Ar-Ruzz Media.

Vous aimerez peut-être aussi