Vous êtes sur la page 1sur 21

Referat

Sesak Nafas

Disusun Oleh:
Nur Sabrina binti Mohd Rokis
112016396
Pembimbing:
dr. Tony Darmadi, Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RUMAH SAKIT BAYUKARTA KARAWANG
PERIODE 27 SEPTEMBER 2017 – 3 FEBRUARI 2018
DAFTAR ISI
Daftar Isi............................................................................................................................2
Kata Pengantar....................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................5
2.1 Definisi.............................................................................................................5
2.2 Etiologi.............................................................................................................5
2.3 Klasifikasi.........................................................................................................7
2.4 Patofisiologi......................................................................................................7
2.5 Manifestasi Klinis.............................................................................................13
2.6 Anamnesis......................................................................................................15
2.7 Pemeriksaan....................................................................................................16
2.8 Penatalaksanaan...............................................................................................19
BAB III KESIMPULAN...................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................22

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa karena kehendak-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah dengan judul “Sesak Nafas”.
Makalah ini dibuat sebagai salah satu tugas dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Dalam. Mengingat pengetahuan dan pengalaman penulis serta waktu yang tersedia untuk
menyusun makalah ini sangat terbatas, penulis sadar masih banyak kekurangan baik dari
segi isi, susunan bahasa, maupun sistematika penulisannya. Untuk itu kritik dan saran
pembaca yang membangun sangat penulis harapkan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Tony Darmadi,
SpPD selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit
Bayukarta Karawang, yang telah memberikan masukan yang berguna dalam penyusunan
makalah ini.
Akhir kata penulis berharap kiranya maklah ini dapat menjadi masukan yang berguna dan
bisa menjadi informasi bagi tenaga medis dan profesi lain terkait dengan masalah kesehatan
pada umumnya, khususnya tentang gejala sesak nafas.

Karawang, 3 Januari 2018

Nur Sabrina binti Mohd Rokis

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem respirasi merupakan salah satu proses vital di mana regulasinya tak hanya diatur
dalam batang otak, tetapi juga korteks serebri. Tiap individu memiliki kontrol terhadap
pernafasannya. Persepsi sensorik yang diperoleh dari aktivitas respirasi mempengaruhi laju
dan pola pernafasan masing-masing individu. Apabila ada gangguan pada pernafasan dapat
memunculkan persepsi sensorik bernafas yang tidak nyaman atau kesulitan bernafas yang
secara umum disebut sebagai sesak nafas.
Sesak nafas dapat terjadi pada semua usia, termasuk juga anak. Secara umum sesak nafas
dapat disebabkan oleh proses intratoraks yaitu dari sistem kardiopulmonal atau oleh proses
sistemik. Sesak nafas merupakan gejala kompleks yang menunjukkan adanya kondisi yang
berpotensi menyebabkan perubahan pada homeostasis yang kemudian berlanjut pada
respon adaptif dari tubuh.
Dyspneu adalah istilah kedokteran untuk kondisi sesak. Pada orang sehat, pernapasan
adalah aktivitas refleks, artinya pernapasan adalah aktivitas tidak sadar. Tidak diperlukan
perintah khusus dari otak untuk melakukan aktivitas bernapas. Sebaiknya, sesak napas
diartikan sebagai kondisi dimana dibutuhkan usaha berlebih untuk bernapas dan aktivitas
bernapas menjadi aktivitas sadar. Dyspneu merupakan suatu gejala yang menandakan suatu
kelainan pada tubuh pasien. Dari segi anatomic, metabolic, dan juga psikis dapat menjadi
penyebab dari dyspneu. Tatalaksana yang spesifik dan benar juga harus diambil untuk
memastikan prognosis pasien yang lebih baik.
Oleh karena itu perlu kita telusuri riwayat klinis pasien untuk dapat mendiagnosis dengan
benar kelainan yang mendasari dari dyspneu tersebut, pada referat ini akan dibahas
mengenai beberapa penyebab dyspneu, patofisiologinya dan tatalaksana.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Dispnea atau sesak napas adalah perasaan sulit bernapas ditandai dengan napas yang
pendek dan penggunaan otot bantu pernapasan. Dispnea dapat ditemukan pada penyakit
kardiovaskular, emboli paru, penyakit paru interstisial atau alveolar, gangguan dinding
dada, penyakit obstruktif paru (emfisema, bronkitis, asma), kecemasan.1
Dispnea adalah istilah kedokteran untuk kondisi sesak. Pada orang sehat, pernapasan adalah
aktivitas refleks, artinya pernapasan adalah aktivitas tidak sadar. Tidak diperlukan perintah
khusus dari otak untuk melakukan aktivitas bernapas. Sebaiknya, sesak napas diartikan
sebagai kondisi dimana dibutuhkan usaha berlebih untuk bernapas dan aktivitas bernapas
menjadi aktivitas sadar. Sesak napasmerupakan keluhan subyektif (keluhan yang dirasakan
oleh pasien) berupa rasa tidak nyaman, nyeri atau sensasi berat, selama proses pernapasan.
Pada sesak napas, frekuensi pernapasan meningkat di atas 24 kali per menit.Sesak
napas merupakan gejala dari suatu penyakit serius yang tidak boleh diremehkan karena
dapat menyebabkan kematian. Oleh karena itu harus dicari penyebab awal dan segera
diatasi.1
Terdapat beberapa bentuk sesak nafas yang bias dirasakan oleh pasien yaitu:2
 Ortopneu : dispnea yang terjadi pada posisi berbaring
 Platipneu : dispnea yang terjadi pada posisi tegak dan akan membaik jika penderita
dalam posisi berbaring
 Takipnea : frekuensi napas yang cepat yang dapat muncul dengan atau tanpa
dispnea
 Dispnea de effort : sesak napas ketika aktivitas dan membaik setelah istirahat
 Nokturnal paroksismal dispnea : sesak pada malam hari dan memerlukan posisi
duduk dengan segera untuk bernapas

2.2 Etiologi
Sesak napas dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar berdasarkan penyebabnya :1

5
 Organik (kelainan pada organ tubuh seperti jantung, ginjal, gangguan metabolisme)
 Non organik (gangguan psikis yang tidak disertai kelainan fisik).

1. Kardiak
- Gagal jantung - Hiipertrofi ventrikel kiri
- Penyakit arteri koroner - Hipertrofi katup asimetrik
- Kardiomiopati - Perikarditis
- Disfungsi katup - Aritmia
2. Pulmonal
- Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
- Asma
- Penyakit paru restriktif
- Penyakit paru herediter
- Pneumotoraks
- Efusi pleura
3. Gabungan kardiak atau pulmonal
- PPOK dengan hipertensi pulmonal atau cor pulmonale
- Emboli paru kronik
- Trauma
4. Nonkardiak atau nonpulmonal
- Kondisi metabolik, misal asidosis metabolik, hipertiroidism
- Nyeri
- Penyakit neurmuskular, misal muscular dystrophy syndrome,
- Penyakit otorinolaringeal
- GERD
- Penyakit hati, misal sirosis hati
- Penyait ginjal, misal gagal ginjal akut (AKI), gagal ginjal kronis (CKD)
5. Fungsional: Gelisah, panic, hiperventilasi
6. Drug induce.

2.3 Klasifikasi
Sesak nafas dapat dibagikan menurut waktu dan gejalanya. Berikut adalah klasifikasi
dyspnea menurut lama berjalannya gejala sesak nafas:2
1. Dyspnea (Sesak Nafas) akut
Dyspnea (Sesak Nafas) akut dengan awal yang tiba-tiba merupakan penyebab
umum kunjungan ke ruang gawat darurat. Penyebab dyspnea akut diantaranya
penyakit pernapasan (paru-paru dan pernapasan), penyakit jantung atau trauma
dada. Sesak nafas yang berlangsung < 1 bulan.

6
2. Dyspnea (Sesak Nafas) kronis
Dyspnea (Sesak Nafas) kronis (menahun) dapat disebabkan oleh asma, Penyakit
Paru Obstruktif Kronis (PPOK), emfisema, inflamasi paru-paru, tumor, kelainan
pita suara. Klasifikasi berdasarkan gambaran klinis pasien. Sesak nafas yang
berlangsung > 1 bulan.
American Thoracic Society juga telah mengeluarkan Shortness of Breath Scale sebagai panduan klasifikasi sesak nafas menurut gejala yang dideritai.3

Tingkat Derajat Kriteria


0 Normal Tidak ada kesulitan bernapas kecuali aktivitas berat
1 Ringan Terdapat kesulitan bernapas, napas pendek-pendek
ketika terburu buru atau ketika nenuju puncak landai
2 Sedang Berjalan lebih lambat dari pada kebanyakan orang yang
berusia sama karena sulit bernapas atau harus berhenti
berjalan untuk bernapas
3 Berat Berhenti berjalan setelah 90 meter untuk bernapas atau
setelah berjalan beberapa menit
4 Sangat berat Terlalu sulit untuk bernapas bila meninggalkan rumah
atau memekai baju atau membuka baju

2.4 Patofisiologi
1. Kemoreseptor4,5
Perubahan pH, pCO2, dan pO2 darah arteri dapat dideteksi oleh kemoreseptor
sentral dan perifer. Stimulasi reseptor ini mengakibatkan peningkatan aktivitas
motorik respirasi. Aktivitas motorik respirasi ini dapat menyebabkan hiperkapnia
dan hipoksia, sehingga memicu terjadinya dispnea. Menurut studi, terdapat pula
peran serta kemoreseptor karotid yang langsung memberikan impuls ke korteks
serebri, meskipun hal ini belum dibuktikan secara luas.
Hiperkapnia akut yang terjadi pada seseorang sesungguhnya lebih dikaitkan
terhadap ketidaknormalan keluaran saraf motorik dibanding aktivitas otot
respiratorik. Hal ini disebabkan gejala umum hiperapnia akut berupa urgensi untuk
bernapas yang sangat menonjol. Sensasi ini disebabkan oleh meningkatnya tekanan
parsial karbondioksida pada pasien-pasien, khususnya yang mengalami quadriplegia
maupun yang mengalami paralisis otot pernapasan. Penderita sindrom hipoventilasi

7
sentral kongenital yang mengalami desentisasi respons ventilatorik terhadap
CO2 tidak merasakan sensasi sesak napas ketika penderita tersebut henti napas atau
diminta untuk menghirup kembali CO2 yang telah dihembuskan. Dengan kata
lain, mekanisme yang turut serta dalam sensasi sesak napas ini adalah kenaikan
pCO2 dan penurunan pO2dibawah normal. Ketika nilai pCO2 normal dan ventilasi
normal, tekanan parsial oksigen harus diturunkan di bawah 6.7 kPa untuk bisa
menghasilkan sensasi sesak napas.
2. Hiperkapnia4
Kemoreseptor yang ada biasanya tidak merupakan penyebab langsung terjadinya
dispnea. Namun, dispnea yang diinduksi oleh kemoreseptor biasanya merupakan
penyebab dari stimulus lain, seperti hiperkapnia. Hiperkapnia dapat menginduksi
terjadinya dispnea melalui peningkatan stimulus refleks ke aktivitas otot-otot
respiratorik. Pada pasien-pasien yang diberikan agen blokade neuromuskular, ketika
mereka diberikan ventilator dan tekanan tidal CO2 dinaikkan sebanyak 5 mmHg,
seluruh subjek sontak merasakan sensasi sesak napas. Namun, pada pasien dengan
penyakit-penyakit respiratorik umumnya, tetap tidak dijumpai kaitan antara
hiperkapnia dan dispnea. Contohnya, pasien COPD yang biasanya mengakami
hiperkapnia kronik tidak serta merta mengalami dispnea. Menurut studi, hal ini
disebabkan karena peningkatan tekanan parsial karbondioksida tersebut dimodulasi
dengan perubahan pH pada kemoreseptor sentral, sehingga sensasi yang dihasilkan
berbeda pula.
3. Hipoksia5
Hipoksia berkaitan dengan kejadian dispnea baik secara langsung (indepenen, tidak
harus ada perubahan ventilasi) maupun tidak langsung (perubahan kondisi hipoksia
dengan terapi oksigen mampu membuat keadaan penderita sesak napas membaik).
Namun, hubungan antara hipoksia dengan dispnea tidak absolut; beberapa pasien
dengan dispnea tidak mengalami hipoksia, begitu pula sebaliknya.
4. Metaboreseptor5,6
Metaboreseptor berada pada otot rangka. Aktivitasnya biasanya diinduksi oleh
produk akhir metabolisme. Metaboreseptor ini dapat merupakan sumber sinyal

8
aferen yang berakibat pada persepsi sesak napas ketika berolahraga. Ketika
seseorang berolahraga berat, jarang sekali ditemui kondisi hipoksemia maupun
hiperkapnia, namun tendensi untuk mengalami gejala sesak napas cenderung tinggi.
Lebih-lebih, perubahan pH darah tidak terlalu signifikan di awal-awal latihan.
Sensasi dispnea tersebut disinyalir berasal dari metaboreseptor yang ada pada otot
rangka. Namun, kondisi detailnya belum terlalu diketahui.
5. Reseptor Vagal4
Terdapat studi yang menyatakan bahwa adanya udara segar yang langsung
dipajankan ke muka atau saluran napas atas dapat menurunkan gejala sesak napas.
Beberapa reseptor dingin ini diinervasi oleh nervus vagus serta berfungsi memonitor
perubahan aliran di saluran napas atas dengan mendeteksi perubahan temperaturnya.
Ada setidaknya empat atau lima tipe-tipe reseptor pernapasan selain reseptor
tersebut yang diinervasi nervus vagus. Reseptor-reseptor ini disinyalir mampu
menimbulkan sensasi dispnea, meskipun mekanismenya sendiri masih kompleks.
Reseptor-reseptor utamanya adalah Slowly Adapting Stretch Receptors (SARS),
Rapidly Adapting Stretch Receptors (RARs), dan Reseptor Serat-C.
6. SARs5
SAR dapat ditemui di otot polos dari saluran napas besar. Reseptor ini berlanjut ke
serat aferen bermyelin di vagus. Inhalasi karbondioksida, anestetik volatil, dan
furosemid dinilai mampu mempengaruhi kerja reseptor ini. Stimulasi reseptor ini
dapat menurunkan sensasi dispnea. Inhalasi karbondioksida menghambat aktivitas
mereka dengan kerja langsung ke kanal K+ yang sensitif terhadap 4-aminopiridin.
Sementara, anestetik tertentu dapat menginhibisi atau menstimulasi reseptor
tergantung konsentrasi dan tipe reseptor SAR-nya. Lebih lanjut, furosemid bekerja
secara tidak langsung terhadap reseptor sensorik di epitel saluran napas, dimana
SAR mampu disensitisasi dengan inhalasinya.
7. RARs5
RAR dikenal sebagai terminal tak bermielin yang terhubung dengan serat aferen
bermyelin nervus vagus (Aδ). Reseptor ini beradaptasi cepat untuk
mempertahankan inflasi dan deflasi paru. RAR dapat diaktifkan oleh berbagai iritan

9
seperti ammonia, uap eter, asap rokok, serta oleh mediator imunologik dan
perubahan patologik saluran napas hingga paru. Pneumotoraks juga dapat
menstimulasi RAR, sehingga RAR dianggap berkontribusi terhadap kejadian
dispnea. Inhalasi furosemid mampu menurunkan aktivitas RAR, sehingga inhalasi
bahan kimia ini mampu memperingan dispnea.
8. Reseptor Serat-C4,6
Dua kelompok reseptor serat-C memiliki hubungan langsung ke sirkulasi bronkial
atau pulmonal. Reseptor ini dikenal dengan nama reseptor kapiler jukstapulmoner,
atau reseptor J. Lokalisasi reseptor ini terletak dekat kapiler alveolar dan merespon
peningkatan cairan interstisial diluar kapiler. Reseptor Serat-C Pulmoner berasal
dari parenkim paru (injeksi obat ke arteri pulmoner dapat berpengaruh ke kerja
reseptor ini), sementara Reseptor Serat-C Bronkial menginervasi mukosa saluran
napas (injeksi obat ke arteri bronkial dapat berpengaruh ke reseptor ini). Reseptor
pulmoner insensitif terhadap autakoid seperti bradikinin, histamin, serotonin, dan
prostaglandin, sementara serat bronkial sensitif terhadap bahan kimia intrinsik
tersebut. Namun, kedua grup reseptor ini memiliki respon yang sama terhadap
inhalasi anestetik volatil.
Kongesti paru adalah stimulan yang kuat untuk reseptor ini, namun hal ini tidak
memiliki efek yang kuat terhadap terjadinya sesak napas kecuali disertai aktivitas
berat. Stimulan lainnya adalah capsaicin, namun efeknya hanya menyebabkan
sensasi ringan di dada. Dengan kata lain, adanya induksi langsung ke reseptor ini
tidak sontak menyebabkan gejala sesak napas, harus ada mekanisme penyerta lain
atau aktivitas dari reseptor lain.
9. Reseptor Dinding Dada6
Sinyal aferen dari mekanoreseptor di sendi, tendon, dan otot dada berlanjut ke otak
dan dapat menyebabkan dispnea. Sebagai contoh, sinyal aferen dari otot interkostal
(grup I, II, atau keduanya) memiliki jaras langsung ke korteks serebral.
Vibrasi dari dinding dada mengaktivasi muscle spindle. Aktivasi ini dapat
menginduksi sensasi dispnea. Jaras yang berasal dari kelompok otot interkostalis
dinilai penting dalam timbulnya sensasi dispnea ini. Aferen nervus frenikus juga

10
terbukti mampu memodulasi aktivitas diafragma. Aktivitas ini mempengaruhi
propriosepsi respiratorik dan memicu dispnea.
10. Jaras Dispnea6
Tidak terlalu banyak informasi yang diketahui mengenai jaras saraf dispnea, dan
mekanismenya dinilai lebih kompleks dibanding nyeri. Namun, diketahui bahwa
aktivitas aferen dari otot repiratorik dan reseptor vagal berlanjut ke batang otak,
kemudian ke area talamus.
Dispnea dibuktikan mengaktivasi beberapa area di otak, seperti insula kanan
anterior, vermis serebelum, amygdala, korteks singulum anterior, dan korteks
singulum posterior. Area ini juga diaktifkan oleh sensasi nyeri dan stimulasi tidak
menyenangkan lainnya (haus, mual).
11. Perintah Motorik dan Central Corollary Discharge5,6
Sensasi dispnea menunjukkan kesadaran seseorang untuk mengubah aktivitas
motorik respirasinya. Ketika batang otak atau korteks motorik mengirim perintah
eferen ke otot-otot ventilator, beberapa jaras juga disambungkan ke korteks
sensorik. Hubungan ini yang disebut central corollary discharge. Akibatnya,
kesadaran penuh untuk usaha ekstra bernapas timbul.
12. Konsep Afferent Mismatch5,6
Disosiasi antara amplitudo output motorik dan input sensorik dari mekanoreseptor
perifer dapat menyebabkan atau memperparah dispnea. Sebagai contoh, ketika kita
merasakan sensasi sesak napas, seperti mekanisme central corollary
discharge sebelumnya, kita akan merespon dengan usaha sadar tambahan untuk
menarik napas. Usaha tambahan ini justru mampu memperparah dispnea dengan
menambah sensasi ketidaknyamanan bernapas, sementara otot-otot ventilator
melemah akibat peningkatan beban mekanik.
Lebih lanjut, Campbell dan Howell menyatakan bahwa ketidakseimbangan antara
ketegangan otot respiratorik memicu dispnea. Ketidakseimbangan itu mampu dipicu
oleh mekanisme neurofisiologik tertentu. Dalam keadaan normal, terdapat
hubungan yang seimbang antara kekuatan otot respiratorik dengan volume udara
yang masuk. Namun, akibat adanya dispnea, tidak terjadi balance atara aliran udara

11
yang masuk dengan usaha yang diberikan oleh otot-otot dada. Namun, dispnea tidak
semata-mata disebabkan oleh kelainan dari kerja otot dinding dada (dalam kasus
hiperkapnia, sesoerang juga mampu mengalami sensasi dispnea dengan adanya
tambahan agen blokade neuromuskular). Konsep dari Campbell dan Howell tadi
akhirnya disempurnakan, sehingga dispnea dinilai merupakan akibat dari disosiasi
sinyal motorik ke otot pernapasan dan informasi aferen yang didapatkan. Konsep ini
dinamakan disosiasi neuromekanik.
13. Dispnea Pada Penyakit Tertentu6
Pada penyakit yang menyerang sistem pernapasan, patofisiologi dispnea tidak
spesifik terhadap satu jalur saja. Ada banyak mekanisme yang dibutuhkan untuk
bisa menimbulkan sensasi dispnea pada penyakit-penyakit tersebut. Pengetahuan
mengenai patofisiologi yang mendasari penyakit-penyakit (seperti asma, COPD)
menjadi dasar hipotesis mekanisme dispnea pada penyakit ini.
Pada asma, beban otot inspirasi meningkat, sehingga usaha yang dibutuhkan untuk
melawan resistensi aliran napas akibat bronkokonstriksi juga meningkat. Ketika
terjadi hiperinflasi, otot inspirasi menjadi memendek. Kejadian ini mampu
mengubah radius kurvatura diafragma, sehingga terjadi mechanical disadvantage.
Akibatnya, dibutuhkan usaha tambahan untuk mencapai threshold agar terjadi
inspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Pada asma, sensasi dispnea juga
diperkirakan berasal dari stimulasi reseptor vagal.
Pada pasien dengan kelainan neurologik seperti myastenia gravis, dibutuhkan usaha
yang lebih besar untuk memberikan neural drive agar otot-otot respirasi yang
melemah terstimulasi. Output neuromotor yang meningkat ini, melalui jalur central
corollary discharge, dirasakan sebagai peningkatan efek respiratorik. Akibatnya,
terjadi dispnea.
Pada pasien COPD, reseptor pada saluran napas dan kemoreseptor berkontribusi
terhadap patofisiologi dispnea. Hipoksia akut atau kronik atau hiperkapnia pada
COPD juga menyebabkan dispnea tersebut. Selain itu, pada penderita penyakit
dengan kelainan dinamika pernapasan, kompresi mekanik tersebut dapat dideteksi
oleh serabut aferen vagus.

12
Pasien-pasien yang menerima treatment ventilasi mekanik biasanya sesak napas
meskipun kerja otot pernapasannya berkurang. Penyebabnya bisa jadi merupakan
peningkatan tekanan parsial karbondioksida yang tidak sesuai dengan kebutuhan
tidal pasien.
Pada kasus emboli paru, ketidakseimbangan mekanika respirasi atau pertukaran gas
menjadi patofisiologi dasar sesak napas yang menjadi gejala. Pada laporan kasus,
dispnea yang terjadi pada pasien emboli paru mampu diobati dengan lisis bekuan
darah. Kemungkinan yang paling kuat, reseptor tekanan di pembuluh darah
pulmoner atau atrium kanan serta serabut C di pembuluh paru memediasi sensasi
tersebut.

2.5 Manifestasi Klinis


Gejala umum dari sesak nafas:2,3,7
1. Angina (nyeri dada)
Penderita sesak nafas maupun penderita penyakit jantung kerap dan sering kali
mengalami nyeri di bagian dada ketika mengambil maupun menghela nafas.
Sehingga membuat penderita sesak nafas tidak dapat melakukan pekerjaan yang
terbilang cukup berat atau yang banyak menyita tenaga.
2. Cepat merasa lelah
Rasa lelah yang cepat timbul merupakan tanda umum dank has dari penderita sesak
nafas. Ketika usia melakukan suatu pekerjaan yang cukup banyak memakan tenaga.
Nafas penderita umumnya terdengar seperti terenggah-enggah seperti orang habis
lari.
3. Sering mengalami batuk
Batuk diperlukan oleh penderita sesak nafas sebagai salah satu cara melegakan
aliran udara yang tersedak didalam tenggorokan dan mengeluarkan lender yang
menyumbat penyebab sulitnya aliran udara dan oksigen untuk measuk ke paru-paru.
Bahkan pada keadaan yang kronis, penderita sesak nafas sering mengalami batuk
kering hingga batuk darah. Untuk mengekspresikannya atau melegakan nafas
penderita harus melakukan batuk. Hal ini disebabkan oleh stimulasi refleks batuk

13
oleh benda asing yang masuk ke dalam laring dan akumulasi sekret pada saluran
pernapasan bawah. Bronkitis kronik, asma, tuberkulosis, dan pneumonia merupakan
penyakit dengan gejala batuk yang mencolok.
4. Terhentinya nafas sesaat ketika tidur
Penderita sesak nafas hendaknya menggunakan dua bantal untuk menyangga kepala
agar lebih tinggi. Apabila penderita sesak nafas tidur hanya menggunakan satu
bantal dan bantal tersebut tidak memiliki massa yang cukup baik untuk menyangga
kepala. Maka ketika penderita sesak nafas akan merasakan kesulitan ketika menarik
nafas bahkan terkadang nafas dapat terhenti beberapa saat.
5. Gangguan irama jantung dan paru
Sesak nafas emang memiliki kaitan erat dengan penyakit jantung. Penderita
penyakit jantung dan sesak nafas seringkali mengalami gangguan pada irama
jantung. Terkadang tanpa disadari jantung berpacu dengan cepat. Ronki basah
berupa suara napas diskontinu/ intermiten, nonmusikal, dan pendek, yang
merupakan petunjuk adanya peningkatan sekresi di saluran napas besar. Terdapat
pada pneumonia, fibrosis, gagal jantung, bronkitis, bronkiektasis. Wheezing/
mengik berupa suara kontinu, musikal, nada tinggi, durasi panjang. Wheezing dapat
terjadi bila aliran udara secara cepat melewati saluran napas yang mendatar/
menyempit. Ditemukan pada asma, bronkitis kronik, CPOD, penyakit jantung.
Stridor adalah wheezing yang terdengar saat inspirasi dan menyeluruh. Terdengar
lebih keras di leher dibanding di dinding dada. Ini menandakan obstruksi parsial
pada larink atau trakea. Pleural rub adalah suara akibat pleura yang inflamasi. Suara
mirip ronki basah kasar dan banyak.
6. Jari tabuh dan sianosis
Jari tabuh adalah perubahan bentuk normal falanx distal dan kuku tangan dan kaki,
ditandai dengan kehilangan sudut kuku, rasa halus berongga pada dasar kuku, dan
ujung jari menjadi besar. Tanda ini ditemukan pada tuberkulosis, abses paru, kanker
paru, penyakit kardiovaskuler, penyakit hati kronik, atau saluran pencernaan.
Sianosis adalah berubahnya warna kulit menjadi kebiruan akibat meningkatnya
jumlah Hb tereduksi dalam kapiler.

14
2.6 Anamnesis
Keluhan awal akut disebabkan adanya gangguan fisiologis akut seperti serangan asma
bronkial, emboli paru, pneumotoraks. Serangan berkepanjangan selama berjam-jam hingga
berhari-hari lebih sering akibat eksaserbasi penyakit paru yang kronik atau perkembangan
proses sedikit demi sedikit seperti pada efusi pleura atau gagal jantung kongestif.6
Gejala yang menyertai dapat berupa nyeri dada yang disertai dengan sesak kemungkinan
disebabkan oleh emboli paru, atau penyakit pleura, batuk yang disertai dengan sesak,
khususnya sputum purulen mungkin disebabkan oleh infeksi napas atau proses radang
kronik (misalnya bronkitis atau radang mukosa saluran napas lainnya), demam dan
menggigil mendukung adanya suatu infeksi, dan hemoptisis mengisyaratkan ruptur
kapiler/vaskular, misalnya karena emboli paru, tumor atau radang saluran napas.
Pada anamnesis juga harus ditanyakan apakah ada terpajan keadaan lingkungan atau obat
tertentu seperti alergen seperti serbuk, jamur atau zat kimia mengakibatkan terjadinya
bronkospasme dengan bentuk keluhan sesak, debu, asap, dan bahan kimia yang
menimbulkan iritasi jalan napas berakibat terjadinya bronkospasme pada pasien yang
sensitif dan juga obat-obatan yang dimakan atau injeksi dapat menyebabkan reaksi
hipersensitivitas yang menyebabkan sesak.6,78

2.7 Pemeriksaan
1. Pemeriksaan fisik2,3
Pemeriksaan fisik secara menyeluruh harus dilakukan dengan teliti. Pemeriksaan
dimulakan dari head to toe dan dilakukan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi
di setiap bagian tubuh.
2. Teknik radiologi3
Toraks merupakan tempat yang ideal untuk pemeriksaan radiologi. Parenkim paru
yang berisi udara memberikan resistensi yang kecil terhadap jalannya sinar X,
karena itu parenkim menghasilkan bayangan yang sangat bersinar-sinar. Jaringan
lunak dinding dada, jantung dan pembuluh-pembuluh darah besar serta diafragma
lebih sukar ditembus sinar X dibandingkan parenkim paru sehingga bagian ini akan
tampak lebih padat pada radiogram. Struktur toraks yang bertulang (termasuk iga,

15
sternum dan vertebra) lebih sulit lagi ditembus, sehingga bayangannya lebih padat
lagi. Tujuan pemeriksaan foto thoraks untuk :
a. Menilai adanya kelainan jantung, misalnya kelainan letak jantung,
pembesaran atrium atau ventrikel, pelebaran dan penyempitan aorta.
b. Menilai kelainan paru, misalnya edema paru, emfisema paru, tuberculosis
paru.
c. Menilai adanya perubahan struktur pada ekstra kardiak
d. Gangguan pada dinding thoraks: Fraktur iga dan fraktur sternum.
e. Gangguan rongga pleura: Pneumothoraks, Hematothoraks, Efusi pleura
f. Gangguan pada diafaragma: Paralisis saraf fernikus.
g. Menilai letak alat-alat yang dimasukan ke dalam organ di rongga thoraks
misalnya: ETT,CVP,Swan Ganz,NGT, dan yang lainnya.
3. Radiografi Dada Rutin3
Dilakukan pada suatu jarak standar setelah inspirasi maksimum dan menahan napas
untuk menstabilkan diafragma. Radiograf diambil dengan sudut pandang postero
anterior dan kadang juga diambil dari sudut pandang lateral dan melintang.
Radiograf yang dihasilkan memberikan informasi sebagai berikut:
a. Status rangka toraks termasuk iga, pleura dan kontur diafragmadan saluran
napas atas pada waktu memasuki dada.
b. Ukuran, kontur dan posisi mediastinum dan hilus paru,termasuk jantung,
aorta, kelenjar limfe dan percabangan bronkus.
c. Tekstur dan derajat aerasi parenkim paru
d. Ukuran, bentuk, jumlah dan lokasi lesi paru termasuk kavitasi tanda fibrosis
dan daerah konsolidasi.
Penampilan radiografi dada yang normal bervariasi dalam beberapa hal bergantung
pada jenis kelamin, usia dan keadaan pernapasan.
4. Tomografi computer (CT Scan)3
Yaitu suatu teknik gambaran dari suatu “irisan paru” yang diambil sedemikian rupa
sehingga dapat diberikan gambaran yang cukup rinci. CT scan dipadukan dengan
radiograf dada rutin. CT scan berperan penting dalam:

16
a. Mendeteksi ketidaknormalan konfigurasi trakea serta cabang utama
brronkus.
b. Menentukan lesi pada pleura atau mediastinum (nodus, tumor, struktur
vaskular).
c. Dapat mengungkapkan sifat serta derajat kelaianan bayangan yang terdapat
pada paru dan jaringan toraks lain
CT scan bersifat tidak infasif sehingga CT scan mediastinum sering digunakan
untuk menilai ukuran nodus limfe mediastinum dan stadium kanker paru, walaupun
tidak seakurat bila menggunakan mediastisnokopi.
5. Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI)3
MRI menggunakan resonansi magnetic sebagai sumber energy untuk mengambil
gambaran potongan melintang tuubuh. Gambaran yang dihasilkan dalam berbagai
bidang, dapat membedakan jaringan yang normal dan jaringan yang terkena
penyakit (pada CT scan tidak dapat dibedakan), dapat membedakan antara
pembuluh darah dengan struktur nonvascular, walaupun tanpa zat kontras. Namun,
MRI lebih mahal dibandingkan CT scan. MRI khususnya digunakan dalam
mengevaluasi penyakit pada hilus dan mediastinum.
6. Ultrasounds4,5
Tidak dapat mengidentifikasi penyakit parenkim paru. Namun, ultrasound dapat
membantu mendeteksi cairan pleura yang akan timbul dan sering digunakan dalam
menuntun penusukan jarum untuk mengambil cairan pleura pada torakosentesis.
7. Angiografi Pembuluh Paru4,5
Tindakan dilakukan dengan memasukkan cairan radoopak melalui kateter yang
dimasukkan lewat vena lengan ke dalam atrium kanan, ventrikel kanan lalu ke
dalam arteri pulmonalis utama. Teknik ini digunakan untuk menentukan lokasi
emboli massif atau untuk menentukan derajat infark paru. Resiko utama dalam
angiografi yaitu timbulnya aritmia jantung saat kateter dimasukkan ke dalam bilik
jantung.
8. Pemindaian Paru

17
Pemindaian paru dengan menggunakan isotop, walaupun merupakan metode yang
kurang dapat diandalkan untuk mendeteksi emboli paru, tetapi prosedur ini lebih
aman dibandingkan dengan angiografi. Terdapat 3 pemindaian paru yaitu
pemindaian perfusi, pemindaian ventilasi, dan pemindaianinhalasi. Prosedur ini
digunkan untuk mendetekasi fungsi normal paru, suplai vaskuler pulmonal, dan
pertukaran gas.
9. Endoskopi4
Merupakan suatu teknik yang memungkinkan visualisasi langsung trakea dan
cabang-cabang utamanya. Cara ini paling sering digunakan untuk memastikan
diagnosis karsinoma bronkogenik, tetapi dapat juga digunakan untuk mengangkat
benda asing.
10. Pemeriksaan biopsy4
Biopsi pleural diselesaikan dengan biopsi jarum pleural atau dengan pleuroskopi,
yang merupakan eksplorasi visual bronkoskopi serat optik yang dimasukka kedalam
spasium pleural. Biopsi pleural dilakukan ketika terdapat kebutuhan untuk kultur
atau pewarnaan jaringan untuk mengidentifikasi tuberkulosis atau fungi.
11. Sputum3,5
Spesimen sputum diambil untuk mengidentifikasi tipe organisms yang berkembang
dalam sputum. Suatu sputum kultur dan sensitivitas sputum (C dan S)
mengidentifikasi mikroorganisme tertentu dan resistansi serta sensitivitasnya
terhadap obat. Spesimen sputum juga dapat diambi I untuk mengidentifikasi adanya
tuberkel basilus (TB), sputum untuk basilus cepat-asam (sputum for acid-fast
bacillus [AFB]). Spesimen AFB diperoleh riga hari berturut-turut pada awal pagi
hari. Sputum untuk sitologi adalah spesimen sputum yang diambil untuk
mengidentifikasi kanker paru abnormal dengan tipe set. Pemeriksaan ini dilakukan
dengan melakukan serangkaian pengumpulan spesimen riga hari berturut-turut pada
awal pagi hari.
Perawat harus memastikan spesimen sputum yang mengandung lendir dari bagian
dalam bronkus dan bukan saliva. Carat warna, konsistensi, jumlah, dan bau sputum

18
dan dokumentasi tanggal dan waktu spesimen dikirim ke laboratorium khusus untuk
dianalisis.

2.8 Penatalaksanaan
Dalam menangani dyspneu, kita perlu tahu penyakit atau kelainan yang menyertainya.
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang harus dilakukan dengan baik
dan benar, sehingga kita dapat menindak lanjuti sesuai dangan problem utamanya. Karena
dyspneu merupakan suatu gejala dari suatu penyakit atau sindrom.7,8

Tabel 1. Penatalaksanaan dyspneu berdasarkan penyakit atau kelainan yang mendasarinya

19
BAB III
KESIMPULAN

Sesak napas atau dyspneu merupakan suatu gela dari penyakit atau kelainan yang dimiliki
oleh pasien, dimana disaat kita memberikan tatalaksana kita harus mencari penyakit atau
kelainan yang mendasarinya terlebih dahulu, seperti yang berasal dari paru itu sendiri,
jantung, otak, otot, organ lain seperti ginjal, dan hati atau bahkan bersifat psikis. Dengan
mencari kelainan yang ada kita secara perlahan dapat memperbaiki gejala dyspneu tersebut.

20
Daftar Pustaka

1. Morgan WC, Hodge HL. Diagnostic evaluation of dyspnea. Diakses pada 2 Januari
2018. Dari: http://www.aafp.org/afp/980215ap/morgan.html
2. Fraser Health. Dyspnea: symptom guidelines. Diakses pada 2 Januari 2018. Dari:
https://www.fraserhealth.ca/media/Dyspnea.pdf
3. Chemo Care. Dyspnea (shortness of breath). Diakses pada 2 Januari 2018. Dari:
http://www.chemocare.com/MANAGING/dyspnea.asp
4. Diseases of The Resporatory System. Diakses pada: 2 Januari 2018. Dari:
http://classes.midlandstech.edu/carterp/Courses/bio225/chap24/lecture6.htm
5. Manning HL, Schwartzstein RM, Epstein FH [editor]. Pathophysiology of Dyspnea. N
Engl J Med 1995; 333:1547-1553.
6. T, Nishino. Dyspnoea: Underlying Mechanisms and Treatment: Mechanisms of
Dyspnoea. Br J Anaesth. 2011;106(4):463-474.
7. Manning HL, Schwartzstein RM, Epstein FH [editor]. Pathophysiology of Dyspnea.
N Engl J Med 1995; 333:1547-1553.
8. Anonymous. Dyspnea: How to Assess and Palliate Dyspnea (Air-Hunger). 2006.
Diunduh dari: http://summit.stanford.edu/pcn/M07_Dyspnea/pathophys.html

21

Vous aimerez peut-être aussi